pbl 6 rahasia jabatan dan etika -k

29
Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Jabatan Karina Patricia (102010157/E-2) Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 - Jakarta Barat 11470 Email: [email protected] Pendahuluan Di dalam praktik kedokteran terdapat aspek etik, profesi dan disiplin profesi dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang tindih pada suatu isu tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dan lain sebagainya. Norma etik profesi disiplin profesi dan hukum pidana memang berada dalam satu garis,dengan etik profesi disatu ujung dan hukum pidana diujung lannya. Disiplin profesi terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung. Dalam praktek kedokteran, aspek etik, profesi, dan/atau disiplin profesi sering kali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik profesi yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku disiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki sanksi moral

Upload: karina-patricia-liem

Post on 29-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Jabatan

Karina Patricia (102010157/E-2)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6 - Jakarta Barat 11470

Email: [email protected]

Pendahuluan

Di dalam praktik kedokteran terdapat aspek etik, profesi dan disiplin profesi dan aspek

hukum yang sangat luas, yang sering tumpang tindih pada suatu isu tertentu, seperti pada

informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dan lain sebagainya.

Norma etik profesi disiplin profesi dan hukum pidana memang berada dalam satu

garis,dengan etik profesi disatu ujung dan hukum pidana diujung lannya. Disiplin profesi

terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung. Dalam praktek kedokteran,

aspek etik, profesi, dan/atau disiplin profesi sering kali tidak dapat dipisahkan dari aspek

hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik profesi yang telah diangkat menjadi norma

hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.

Aspek etik profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi

mengakibatkan penilaian perilaku disiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki sanksi

moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat

administratif.

Adapun kasus yang dihadapi adalah sebagai berikut. Seorang pasien laki-laki datang

ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama dokter tersebut, dan sangat

akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya dengan dokter tersebut. Kali ini

pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah melakukan hubungan dengan wanita

lain seminggu yang lalu. Sesudah itu, ia masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari

terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah

diperiksa ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya tahu, karena bisa

terjadi pertengkaran diantara keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada

pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga dengan istrinya maka

mungkin istrinya juga sudah tertular. Istrinya juga harus diobati.

Page 2: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Kode Etik Kedokteran 1

Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan

standar profesi yang tertinggi.

Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi

oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun

fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh

persetujuan pasien.

Pasal 6

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan

setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-

hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa

sendiri kebenarannya.

Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis

yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih

sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b

2 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 3: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan

sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki

kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau

penggelapan, dalam menangani pasien

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak

tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

Pasal 7d

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk

insani.

Pasal 8

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan

masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh

(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta

berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9

Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang

lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

Kewajiban Dokter Terhadap Pasien

Pasal 10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan

ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan

suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib menujuk

pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11

3 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 4: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat

berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam

masalah lainnya.

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang

pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu

memberikannya.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat

Pasal 14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin

diperlakukan.

Pasal 15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan

persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran/kesehatan.

Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,

sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-

4 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 5: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip

moral profesi.

Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistik

hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa sebelum tahun 1950-an paternalistik

dianggap sebagai sifat hubungan yang paling tepat, dimana dokter menentukan apa yang akan

dilakukan terhadap pasien berdasarkan prinsip beneficence (semua yang terbaik untuk

kepentingan pasien, dipandang dari kedokteran). Prinsip ini telah mengabaikan hak pasien

untuk turut menentukan keputusan. Sampai kemudian pada tahun 1970-an dikembangkanlah

sifat hubungan kontraktual antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada hak

otonomi pasien dalam menentukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Kemudian

sifat hubungan dokter-pasien tersebut dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi

hubungan ficuiary (atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang

menitikberatkan nila-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap

meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hukum dan peraturan saja,

dan disebut sebagai bottom line ethics.1

Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights dan

individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk

memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan John S. Mills berkata bahwa kontrol sosial atas

seseorang individu hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang

lain.

Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World Medical

Association (WMA) adalah “the rights to accept or to refuse treatment after receiving

adequate information”. Secara implisit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga

menyebutkannya demikian “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,... dst”.

Selanjutnya UU No 23/1992 tentang kesehatan juga memberikan hak kepada pasien untuk

memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini

kemudian diuraikan di dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis.

Suatu tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan

terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain

atau perbuatan melanggar hukum.

5 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 6: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent. Tindakan

medis terhadap pasien harus mendapat persetujuan (otorisasi) dari pasien tersebut, setelah ia

menerima dan memahami informasi yang diperlukan.

Aspek Medikolegal: Informed Consent

Di Indonesia, informed consent telah memperoleh justifikasi yuridis melalui Peraturan

Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/1989. Persetujuan tindakan medik (informed consent)

dalam praktik banyak mengalami kendala, karena faktor bahasa, faktor campur tangan

keluarga atau pihak ketiga dalam hal memberikan persetujuan, faktor perbedaan kepentingan

antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya.

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif

antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang

tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah

sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan

yang ditawarkan pihak lain.

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45

ayat 1 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008, informed consent

adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya

setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan

dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan informed consent adalah memberikan

perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu

kegagalan dan bersifat negatif. Consent dapat diberikan:

Dinyatakan (expressed)

1. Dinyatakan secara lisan.

2. Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan

bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang

berisiko mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang

persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif

harus memperoleh persetujuan tertulis.

Tidak dinyatakan (implied)

6 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 7: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan

tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini

tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam

praktek sehari-hari. Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan

mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.

Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan

sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan

dilakukan. Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat

dan keadaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.

Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu

sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan

consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia

mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan

orang yang dapat memberikan proxy-consent adalah suami/isteri, anak, orang tua, saudara

kandung dan lain-lain.

Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

Suatu kasus telah membuka mata orang Indonesia betapa riskannya proxy-consent ini, yaitu

ketika seorang kakek-kakek menurut dokter yang telah mengoperasinya hanya berdasarkan

persetujuan anaknya, padahal ia tidak pernah dalam keadaan tidak sadar atau tidak

kompeten.1

Rahasia Jabatan 1-3

Hakikat Rahasia Kedokteran

Rahasia jabatan bukan berdasarkan azas kepercayaan, diwajibkan bagi pejabat negara.

Sedangkan rahasia pekerjaan berdasarkan azas kepercayaan dan bersifat swasta.

Profesi kedokteran (bidang kesehatan) baru dapat berlangsung bila ada kerelaan pasien

untuk mengungkapkan keadaan dirinya, termasuk hal-hal yang amat pribadi. Bentuk

pengungkapan diri pasien dalam hubungannya dengan profesi kedokteran meliputi tindakan

anamnesis (wawancara), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorik. Hal ini berarti

7 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 8: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

semua data pribadinya diserahkan pada dokter yang memeriksanya (beserta staf medis

lainnya). Dalam keadaan memerlukan bantuan medik, seorang pasien berada dalam situasi

konflik. Di satu pihak pasien menderita dan sangat memerlukan bantuan orang lain (dokter),

tetapi di pihak lain lain pasien juga menginginkan rahasianya tetap utuh, demi ketentraman

batin dan integritas pribadinya. Nampaknya pasien yang datang ke dokter terpaksa harus

mengorbankan kepentingannya yang kedua (rahasia pribadi).2

Tradisi profesi kedokteran ternyata menghargai kerahasiaan pribadi tersebut sehingga

perlu mencantumkannya dalam etik kedokteran. Akibatnya dapat dikatakan bahwa kontruksi

hubungan dokter-pasien adalah berdasarkan azas kepercayaan. Artinya dokter percaya bahwa

pasien akan mengungkapkan keadaan diri yang seutuhnya, sedangkan pasien juga percaya

bahwa dokter akan menjaga rahasia yang diketahuinya, yaitu dinamakan rahasia kedokteran.

Pada perkembangan selanjutnya masyarakat menganggap masalah rahasia pribadi itu

merupakan kepentingan umum, karena menyangkut hak azasi seluruh masyarakat, sehingga

perlu diatur oleh hukum.2

Aspek Hukum

Penggunaan kata privasi, kerahasiaan dan keamanan seringkali tertukar. Akan tetapi

terdapat beberapa perbedaan yang penting, diantaranya:

Privasi adalah hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk bebas dari campur tangan

atau observasi terhadap hal-hal pribadi seseorang serta hak untuk mengontrol informasi-

informasi pribadi tertentu dan informasi kesehatan.

Kerahasiaan merupakan pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu. Dalam

hal ini mencakup tanggungjawab untuk menggunakan, mengungkapkan, atau

mengeluarkan informasi hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu. Informasi yang

bersifat rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal.

Keamanan meliputi perlindungan fisik dan elektronik untuk informasi berbasis

komputer secara utuh, sehingga menjamin ketersediaan dan kerahasiaan. Termasuk ke

dalamnya adalah sumber-sumber yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan,

mengolah dan menyampaikan, alat-alat untuk mengatur akses dan melindungi informasi

dari pengungkapan yang tak disengaja maupun yang disengaja.

Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran pasal 47 ayat 2

yang menyatakan bahwa "rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh dokter

8 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 9: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

atau dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan". Hal yang sama dikemukakan dalam pasal

11 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.

Selanjutnya, pasal 1 PP yang sama menyatakan bahwa "yang dimaksud dengan rahasia

kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang dalam pasal 3 pada waktu

atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran". 2

Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang pengungkapan informasi

kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):

a. untuk kepentingan kesehatan pasien

b. untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan

hukum

c. permintaan pasien sendiri

d. berdasarkan ketentuan undang-undang

Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa:

(1) Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien

dengan ijin tertulis pasien;

(2) pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis tanpa

seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No 749a/ MENKES/PER/XII/1989

menyatakan dalam pasal 13, bahwa pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas (a)

hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam medis, (b) penggunaan oleh orang / Badan yang

tidak berhak.

Rahasia Jabatan dan Pembuatan SKA/VeR

Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 tentang lafal sumpah dokter

Demi Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa:

Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan. Saya akan

menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan

martabat pekerjaan saya.

Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan

kedokteran.

9 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 10: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan

karena keilmuan saya sebagai dokter........ dst.

Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran.

Pasal 1 PP No. 10/1966

Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh

orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan

pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.

Pasal 2 PP No. 10 /1966

Pengetahuan tersebut pasal l harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut

dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi

dari pada PP ini menentukan lain.

Pasal 3 PP No. 10/1966

Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:

a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.

b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,

pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri

kesehatan.

Pasal 4 PP No. 10/1966

Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang

tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri

kesehatan dapat melakukan tindakan administratip berdasarkan pasal UU tentang

tenaga kesehatan.

Pasal 5 PP No. 10/1966

Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang

disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-

tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.

Pasal 6 PPNo 10/1966

Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan

Pelindung Susila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.

Pasal 322 KUHP

10 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 11: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya

karena jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda

paling banyak sembilan ribu rupiah.

(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya

dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Pasal 48 KUHP

Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

MA I17/K/Kr/1968 2 Juli 1969

Dalam "noodtoestand" harus dilihat adanya:

(1)Pertentangan antara dua kepentingan hukum

(2)Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum

(3)Pertentangan antara dua kewajiban hukum

Pasal 49 KUHP

(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri

sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri

maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat

pada saat itu yang melawan hukum.

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan keguncangan

jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP

Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang,

tidak dipidana.

Pasal 51 KUHP

(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang

diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika

yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perinlah diberikan dengan

wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

11 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 12: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak

tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang

pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

UU RI NO. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Rekam Medis

Pasal 46

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat

rekam medis.

(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus segera dilengkapi setelah

pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.

(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas

yang memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 47

(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik

dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis

merupakan milik pasien.

(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus disimpan dan dijaga

kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan

kesehatan.

(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 2

diatur dengan Peraturan Menteri.

Rahasia Kedokteran

Pasal 48

12 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 13: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib

menyimpan rahasia kedokteran.

(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,

memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,

permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangundangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

Pengungkapan Rahasia Kedokteran 1-3

Pada dasarnya rahasia kedokteran harus tetap disimpan walaupun pasien tersebut telah

meninggal. Jadi rahasia itu harus ikut dikubur bersama pasien. Rahasia kedokteran

merupakan hak pribadi pasien yang tidak diwariskan pada para ahli warisnya. Sehingga para

ahli waris itu juga tidak berhak mengetahui rahasia pribadi pasien. Rahasia kedokteran ini

begitu dijunjung tinggi dalam masyarakat, sehingga walaupun pengadilan meminta seorang

dokter untuk membuka rahasia kedokteran, seorang dokter memiliki hak tolak

(verschoningsrecht). Hak ini diatur dalam pasal 170 KUHAP, yang menentukkan bahwa

mereka yang diwajibkan menyimpan rahasia pekerjaan/jabatan dapat minta dibebaskan dari

kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Namun ayat kedua dari pasal 170

KUHAP tersebut membatasi hak tolak sesuai dengan pertimbangan hakim. Hal ini tentunya

diterapkan bila kepentingan yang dilindungi pengadilan lebih tinggi dari rahasia kedokteran.

Ada beberapa keadaan di mana pemegang rahasia kedokteran dapat membuka rahasia

tersebut tanpa terkena sanksi hukum. Keadaan tersebut dapat dibagi menjadi dua golongan

besar. Yang pertama, pembukaan rahasia kedokteran dengan kerelaan/ijin pasien. Yang

kedua, pembukaan rahasia kedokteran tanpa kerelaan/ijin pasien. Ketentuan pasal 50 KUHP

yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana oleh karena melakukan suatu

perbuatan untuk menjalankan undang-undang memperkuat peluang bagi tenaga kesehatan

dalam keadaan dan situasi tertentu dapat membuka rahasia kedokteran tanpa diancam pidana.

Hal ini mengakibatkan “bebasnya” para dokter dan tenaga administrasi kesehatan dalam

membuat visum et repertum dan dalam menyampaikan laporan tentang statistik kesehatan,

penyakit wabah dan karantina.

Alasan lain yang memperbolehkan membuka rahasia kedokteran adalah adanya ijin

atau persetujuan atau kuasa dari pasien itu sendiri, perintah jabatan (pasal 51 KUHP), daya

paksa (pasal 48 KUHP), dan dalam rangka membela diri (pasal 49 KUHP). Selain itu, etika

kedokteran umumnya membenarkan pembukaan rahasia kedokteran secara terbatas untuk

13 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 14: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

kepentingan konsultasi profesional, pendidikan, dan penelitian. Permenkes No. 749a juga

memberi peluang bagi penggunaan rekam medis untuk pendidikan dan penelitian. Dalam

kaitannya dengan keadaan yang memaksa dikenal dua keadaan, yaitu daya paksa yang

memadai (overmacht) dan keadaan yang memaksa (noodtoestand) seperti yang telah

dijelaskan dalam aspek hukum.

Rahasia Medis antara Suami dan Istri

Rahasia Medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter-pasien.

Ini berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang

dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien.

Hal ini di negara negara Barat merupakan sesuatu yang harus dijaga benar, karena

berdasarkan paham individualisme yang dianut. Hal ini berlainan dengan keadaan sosial

budaya di Indonesia, di negara kita yang bersifat Timur, jika ada seorang anggota keluarga

menderita sakit, tidak saja harus diketahui oleh keluarga kecilnya, tetapi juga merupakan

sesuatu yang harus diketahui pula oleh keluarga besarnya.

Merupakan hal yang lazim bahwa antara suami istri umumnya tidak ada rahasia.

Namun jika menyangkut suatu masalah seperti rahasia medis tertentu, juga di Indonesia, para

dokter haruslah bertindak lebih hati hati. Jika yang diderita penyakit penyakit umum seperti

usus buntu, wasir, influenza tidaklah menjadi persoalan diketahuinya. Lain halnya jika

menyangkut penyakit penyakit tertentu yang bisa menularkan seperti penyakit kelamin, atau

hal hal yang bersangkut paut dengan kehidupan seksual seperti keguguran, kehamilan,

kadangkala juga menyangkut penyakit jiwa, jika diminta suatu keterangan tertulis oleh suami

atau istrinya, apalagi jika yang meminta adalah seorang pengacara dari suami atau istri.

Jika hendak memberitahukan hal hal demikian, maka haruslah diminta persetujuan

dari pasien yang bersangkutan. Misalnya dalam pemeriksaan seorang suami ternyata terkena

penyakit kelamin yang menular. Hal ini bisa ditularkan kepada istrinya melalui hubungan

seks. Atau penyakit menular lain seperti HIV/AIDS yang bisa membahayakan terutama

istrinya sendiri dan anggota keluarganya. Secara umum sebaiknya dokter merundingkannya

dengan pasien sendiri, cara bagaimana harus memberitahukan kepada istri/suaminya, karena

pasangannya harus diperiksa juga. Timbul persoalan jika yang diperiksa adalah istri yang

diantar oleh suaminya. Dalam hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari

kedua belah pihak untuk mengungkapkan. Apakah dokter dengan bebas boleh mengutarakan

bahwa istrinya sedang mengandung atau mengalami keguguran? Sebaiknya juga dibicarakan

14 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 15: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

dahulu dengan pasien itu, sebab ada kemungkinan bahwa sang suami baru saja kembali dari

luar negeri sesudah sekian bulan. Juga jika menyangkut penyakit kelamin, tidak dapat

dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak.4

Risiko Terhadap HIV/AIDS

Hal Umum tentang AIDS

Perjalanan penyakit AIDS belum diketahui dengan pasti. Masa inkubasi diperkirakan

5 tahun atau lebih. Diperkirakan bahwa sekitar 25 % dari orang yang terinfeksi HIV akan

menunjukkan gejala AIDS dalarn 5 tahun pertama. Sekitar 50 % dari yang terinfeksi dalam

10 tahun pertama akan mendapat AIDS. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya AIDS

pada orang yang seropositif belum diketahui dengan jelas.5

Menurunnya limfosit T4 di bawah 200 per ml. berarti prognosis.yang buruk.

Diperkirakan bahwa infeksi HIV yang berulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain

mempunyai peranan penting. Mortalitas pada penderita AIDS yang sudah sakit lebih dari 5

tahun mendekati 100%. Survival penderita AIDS rata-rata ialah 1-2 tahun.

Penularan AIDS terjadi melalui:

1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);

2. Penerimaan darah dan produk darah;

3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;

4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).5, 6

Dari semua kemungkinan cara penularan tersebut di atas, transmisi seksual adalah yang

paling dominan; oleh karena infeksi HIV erat hubungannya serta sering bersamaan dengan

penyakit menular seksual lainnya. Penyakit menular seksual lainnya terutama yang

menimbulkan ulkus genitalis (GUD), merupakan faktor pembantu yang sangat berperan

dalam transmisi HIV.

Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar bila terdapat

penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulserasi pada alat kelamin. HIV

telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang

terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah dan sperma. Hingga saat ini juga tidak

terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman, makanan, kolam

renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan

serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan.5, 6

Sejak tahun 1986 di Departemen Kesehatan telah dibentuk suatu panitia untuk

menanggulangi AIDS yang semula diketuai oleh Kepala Badan Penelitian dan

15 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 16: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Pengembangan Kesehatan dan kini diketuai Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit

Menular & Penyehatan Lingkungan Pemukiman.

Panitia ini merupakan wadah komunikasi/koordinasi serta pengolahan informasi

dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi AIDS. Adanya

panitia ini tidak mengurangi wewenang dan tugas dari unit-unit struktural di Departemen

Kesehatan, sesuai dengan bidang masing-masing.5

Rahasia Medis Pada Penderita AIDS

Dokter yang menghadapi pasien-pasien Penyakit Menular Seksual (PMS) dari aspek

kesehatan tidak akan banyak masalah karena banyak pilihan pengobatan dapat diberikan.

Masalahnya muncul apabila yang dihadapi adalah salah satu pasutri, anak di bawah umur,

pembantu rumah tangga adalah pasien yang telah mempunyai pasangan tetap/pacar. Apalagi

untuk pasien yang menderita HIV positif atau AIDS masalahnya akan menjadi lebih rumit

karena menyangkut masyarakat luas.4

Berbeda dengan PMS seperti gonorea, sifilis, atau herpes genitalis yang penularannya

terutama karena hubungan seksual, penularan AIDS bisa pula karena transfusi darah, melalui

jarum suntik yang terkontaminasi virus, dan melalui plasenta. Penyebaran penyakit

HIV/AIDS lebih berbahaya karena tidak saja mengganggu kesehatan tetapi juga mengundang

kematian. AIDS adalah singkatan Acquired Immunodeficiency Syndrome dan

menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem

kekebalan tubuh.

Sikap para dokter tentu akan berbeda bila yang dihadapi salah satu dari pasutri yang

menderita PMS. Hal ini bisa menularkan kepada istrinya. Atau penyakit menular lain seperti

HIV/AIDS yang bisa membahayakan terutama istrinya sendiri dan anggota keluarganya.

Persoalannya menjadi lebih mudah bila pasangannya telah mengetahui pasien menderita

PMS. Bila belum mengetahui, harapan dokter pada pasien adalah agar ia tidak menularkan

penyakitnya pada pasangan, sementara penyakitnya diobati.4

Secara umum sebaiknya dokter itu merundingkannya dengan pasien itu sendiri, cara

bagaimana ia harus memberitahukan kepada istri/suaminya, karena pasangannya harus

diperiksa juga. Dalam hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua

belah pihak untuk mengungkapkan. Berbicara terbuka di hadapan kedua pasutri tanpa

mengetahui terlebih dahulu apakah pasien setuju kalau penyakitnya boleh diketahui oleh

pasangannya bisa membawa persoalan tentang wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia

jabatan, dan pekerjaan yang menjurus pada perkara medik. Untuk itu, para dokter perlu

16 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 17: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

berhati-hati menghadapi situasi demikian. Bila dokter menduga pasangannya telah tertular

tanpa disadarinya, sebaiknya dokter mengobati pasien tanpa harus menyatakan ia telah

tertular, kecuali terpaksa bila pasien mau tahu tentang penyakitnya. Membuka rahasia pasien

kepada orang lain, biarpun dalam ikatan suami isteri harus dihindari dokter.

Masalah HIV/AIDS banyak sangkut pautnya dengan rahasia medis sehingga kita

harus berhati hati dalam menanganinya. Dalam mengadakan peraturan hukum, selalu terdapat

dilema antara kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus

dipertimbangkan kepentingan mana yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi,

Hak Asasi seseorang harus diindahkan, namun Hak Asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak.

Pembatasan dari Hak Asasi seseorang adalah Hak Asasi orang lain didalam masyarakat itu.

Dalam hal ada pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah terhadap

kepentingan masyarakat banyak. Kebebasan atas kepentingan individu tidak dipertahankan

sedemikian rupa sehingga sampai membahayakan kepentingan orang lain atau

masyarakatnya. Namun kita melihat ada pengecualian bersifat rahasia mutlak yang berkaitan

dengan HIV/AIDS.4

Dalam kasus kasus tertentu seorang dokter bisa berada dalam keadaan dilema jika

penyakit yang diderita pasien itu juga membahayakan masyarakat sekitarnya (HIV/AIDS,

penyakit kelamin, wabah, dan sebagainya). Tambah lagi jika pasien tidak memberikan

persetujuannya untuk diungkapkan rahasianya. Kecuali kalau memang sudah diwajibkan oleh

Undang Undang atau Peraturan yang lebih tinggi tingkatnya, maka dokter itu wajib untuk

melaporkan. Namun untuk HIV/AIDS tampaknya masih dalam kedudukan istimewa, karena

walaupun bisa membahayakan atau menularkan istri dan anak anaknya, ia tetap masih dapat

perlindungan hukum.

Masalah AIDS juga ada kaitan erat dengan informed consent. Merupakan tugas dan

kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi tentang penyakit penyakit yang

diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping wajib merahasiakannya.

Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga harus dilindungi.4

Namun sebaliknya juga bisa timbul pertanyaan, jika seorang pasien mengetahui

bahwa dirinya sudah mengidap HIV/AIDS seharusnya pasien pun wajib untuk

memberitahukannya, karena jika seandainya sampai harus dilakukan tindakan medis seperti

pembedahan terhadap pasien, maka dokter dan tenaga medis lain dapat tertular. Apakah

kepentingan perseorangan harus dimenangkan terhadap kepentingan orang lain (dokter,

perawat dan tenaga kesehatan lain)?

17 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 18: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Hal ini secara adil seharusnya juga perlu diwajibkan kepada pasiennya agar tidak

membahayakan orang lain. Namun sayangnya ketentuan ini belum ada, sehingga kita masih

berpedoman pada peraturan yang lama. Pengaturan hukum tentang HIV/AIDS di negara kita

pada saat ini hanya ada 2 yaitu4:

1. Instruksi Menteri Kesehatan RI No.72/Menkes/Inst/1988 tentang Kewajiban

Melaporkan Penderita dengan Gejala AIDS.

Untuk menemukan pasien AIDS sedini mungkin, ditetapkan bahwa petugas kesehatan

wajib melapor ke sarana kesehatan terdekat dengan memperhatikan kerahasiaan

pribadi pasien. Selanjutnya, sarana kesehatan pelayanan wajib segera melaporkan

secara rahasi melalui prosedru tertentu ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.

Sarana kesehatan yang dimaksud adalah balai pengobatan, pusat kesehatan

masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter/dokter

gigi/spesialis, dan sarana kesehatan lainnya. Kebijakan yang ditempuh adalah laporan

tersebut harus memperhatikan kerahasiaan identitas pasien dan nama pasien cukup

ditulis dengan inisial saja, begitu pula alamat pasien cukup diisi dengan nama

Kabupaten/Kotamadya saja.4, 7

2. Surat Keputusan Menko Kesra No. 9 Tahun 1994 tentang Strategi Nasional

Penanggulangan HIV/AIDS.

"Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV/AIDS harus didahului dengan

penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed

consent). Sebelum dan sesudahnya harus diberikan konseling yang memadai dan hasil

pemeriksaan wajib dirahasiakan."

Sejauh ini yang bisa diwajibkan menjalani uji HIV adalah kalangan anggota militer

dan narapidana. Para WTS (Wanita Tuna Susila) pun tidak boleh dipaksakan untuk menjalani

tes HIV seperti waktu waktu dulu. Dapat ditambahkan pula, pada lamaran kerja di

perusahaan dapat dimintakan persetujuannya untuk juga dilakukan tes HIV, tetapi ini secara

sukarela dan juga harus ada persetujuan. Jika hasilnya positif maka secara terselubung bisa

ditolak penerimaannya. Biasanya dilakukan dengan cara halus, memakai alasan lain.

Pemeriksaan HIV/AIDS tidak bisa diwajibkan karena bertentangan dengan HAM.4

Kesimpulan

18 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n

Page 19: PBL 6 Rahasia Jabatan Dan Etika -K

Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan dasar disiplin

kedokteran. Pada kasus ini, dokter harus dapat menghormati hak pasien dengan tidak

membuka rahasia kedokteran sebagaimana disebut pada pasal 322 KUHP. Disini peran

dokter juga sangat penting dalam memberikan edukasi mengenai penyakit kepada pasien dan

pentingnya pengobatan sedemikian rupa pada pasangan pasien oleh karena adanya faktor

penularan pada PMS. Dokter harus dapat mengetahui baik-buruknya dari tindakan yang

dilakukannya kepada pasien.

Daftar Pustaka

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetika dan hukum kedokteran: pengantar bagi

mahasiswa kedokteran dan hukum. Cetakan ke-2. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007. h.

29-39, 53-5, 62-3, 77-85.

2. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Ilmu kedokteran forensik. Cetakan

II. Jakarta: FKUI; 1997.

3. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan

bidang kedokteran. Jakarta: FKUI; 1994. h. 18, 25.

4. Guwandi J. Trilogi rahasia kedokteran. Jakarta: FKUI; 1992.

5. Gunawan S. Perkembangan masalah AIDS. Dalam: Setyonegoro K, Sidabutar RP,

Pringgoutomo S, Chandra B, Darmojo RB, Sadrach I, dkk. Cermin Dunia Kedokteran

No. 75. Jakarta: PT Kalbe Farma; 1992. h.5-9.

6. Zubairi, Samsuridjal. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III: HIV/AIDS di Indonesia.

Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 2861-8.

7. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Cetakan I.

Jakarta: Penerbit EGC; 2009.h.14-6, 144-7.

19 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n