paper ilmu penyakit bakterial dan mikal ( alflatoksikosis )

12
PAPER ILMU BAKTERIAL DAN MIKAL “ Aflatoksikosis “ Kelompok 9 1. Hilarius S. Langobelen (1309012035) 2. Andreas U. J. Sipul (1309012038) 3. Ervin Elmakdvudz (1309012039) 4. Yohanes N. Koli (1309011040) 5. Lelita Antoh (1309015043) FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

Upload: yohaneskoli

Post on 14-Feb-2016

224 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus (Lewis, 2005). Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan. Penyakit-penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi aflatoksin disebut aflatoksikosis.

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Ilmu Penyakit Bakterial Dan Mikal ( Alflatoksikosis )

PAPER

ILMU BAKTERIAL DAN MIKAL

“ Aflatoksikosis “

Kelompok 9

1. Hilarius S. Langobelen (1309012035)

2. Andreas U. J. Sipul (1309012038)

3. Ervin Elmakdvudz (1309012039)

4. Yohanes N. Koli (1309011040)

5. Lelita Antoh (1309015043)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2015

Page 2: Paper Ilmu Penyakit Bakterial Dan Mikal ( Alflatoksikosis )

1. Etiologi

Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur

Aspergillus flavus dan A. parasiticus (Lewis, 2005). Aflatoksin merupakan kontaminan yang

paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak

negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh

jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat

penyimpanan dan proses pembuatan makanan. Penyakit-penyakit yang disebabkan karena

mengkonsumsi aflatoksin disebut aflatoksikosis.

Mikotoksin jamur diproduksi sebagai metabolit sekunder pada temperatur antara 24-

35o C, dengan kelembaban melebihi 7%. Jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus ini

terdapat di mana-mana dan dapat mencemari bahan makanan pokok seperti beras, jagung, ubi

kayu, kacang-kacangan, kacang tanah, cabe dan rempah-rempah. Pencemaran oleh jamur

pada proses penyimpanan, proses pengeringan hasil panen dapat terjadi di daerah yang

letaknya terbentang antara 40o lintang utara dan 40o lintang selatan garis katulistiwa. Di

negara berkembang, pemantauan dan penerapan standar peraturan berkaitan dengan

pencemaran aflatoksin masih kurang diperhatikan sehingga banyak orang terpajan terhadap

berbagai mikotoksin dalam kadar yang membahayakan. Kadar aflatoksin yang diperkenankan

pada bahan makanan untuk manusia berkisar antara 4-30 parts per billion (ppb), tergantung

dari negaranya (Henry, 1999; FDA, 2005)

Aflatoksin adalah kumpulan dari senyawa-senyawa yang mempunyai kemiripan satu

sama lain dengan sedikit perbedaan pada komposisi kimiawinya dan diproduksi oleh

Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Dikenal ada empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1

dan G2 (Gambar 1) ( Rodgers, 2002).

Page 3: Paper Ilmu Penyakit Bakterial Dan Mikal ( Alflatoksikosis )

Gambar 1. Empat Jenis Aflatoxin

Nama-nama ini diberikan berdasarkan atas warna fluoresensi yang ditimbulkan pada

medium agar dilihat di bawah sinar ultraviolet, seperti biru (blue atau B), atau hijau (green

atau G). Aflatoksin B2 dan G2 merupakan analog dari derivat dihidro dari B1 dan G1.

Diantara keempat isomer yang ditemukan, aflatoksin B1 (AFB1) merupakan yang paling

toksik dan paling karsinogenik. Aflatoksin B2 bersifat karsinogenik ringan, kemungkinan

karena enzim ini sebagian kecil diubah jadi AFB1(Lewis, 2005).

Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.

Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus.

Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka

senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan

M2, yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin.

2. Epidemiologi

Badan Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization) memperkirakan

bahwa kontaminasi mikotoksin meliputi sekitar 25% dari hasil pertanian di seluruh dunia

(Lewis, 2005). Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat, aflatoksin menempati tempat penting

karena akibat yang ditimbulkannya pada manusia, baik dalam jangka pendek maupun dalam

jangka panjang. Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini

tergantung pada lama dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis

tinggi dapat menyebabkan terjadinya aflatoksikosis akut yang dapat menimbulkan

manifestasi hepatotoksisitas atau pada kasus-kasus berat dapat terjadi kematian akibat

fulminant liver failure (Bannet, 2003; Fung, 2004).

Wabah aflatoksikosis akut akibat makanan yang tercemar oleh aflatoksin dosis tinggi

dilaporkan pernah terjadi di Kenya, India, Thailand dan Malaysia( CAST, 2003; Lye, 1999).

Peristiwa ini timbul berkaitan dengan musim hujan yang datang pada waktu yang tidak biasa

yaitu pada saat panen sehingga maize hasil panen yang masih basah dan belum cukup kering

ini, yang disimpan di lumbung-lumbung menjadi lembab. Keadaan ini menyebabkan

terjadinya pertumbuhan jamur sehingga toksinnya mencemari hasil panen tersebut.

3. Patogenesis

Page 4: Paper Ilmu Penyakit Bakterial Dan Mikal ( Alflatoksikosis )

Rute utama penularan aflatoksin adalah inhalasi dan ingesti. Tempat metabolisme

utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga yang dimetabolisme di dalam darah dan

organ lainnya. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konjugasi, dan

dekonjugasi. Pada ketiga tahap tersebut, tubuh berusaha mengurangi efek racun dari

aflatoksin. Aflatoksin akan dikeluarkan oleh tubuh melalui cairan empedu, susu, telur, dan air

seni. Bila aflatoksin tidak dapat dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi perubahan

patologis dan menimbulkan beberapa gejala seperti keturunan lahir cacat (efek teratogenik)

dan kanker (manusia dan hewan). Pada hewan, aflatoksin menyebabkan bobot organ dalam

bervariasi (pembesaran hati, limpa, ginjal, fatty liver syndrome), pengurangan bursa fabricius

dan timus, perubahan tekstur dan warna organ (hati, tenggorokan), anemia, hemoragi,

imunosupresi, nefrosis, kerusakan kulit, dan penurunan efisiensi breeding (Ahmad, 2009).

4. Gejala klinis

Terdapat perbedaan kerentanan spesies terhadap aflatoksin. Pada hewan bila

mengkonsumsi aflatoksin B1 (AFB1) secara kronik akan menimbulkan efek karsinogenik.

Sedangkan bila dikonsumsi dosis besar akan memperlihatkan efek toksik akut. Perbedaan

spesies menentukan proses biokimia yang berbeda dalam kemampuan untuk

mendetoksifikasi aflatoksin. Perbedaaan kerentanan ini sebagian besar tergantung dari fraksi

dosis aflatoksin yang langsung bereaksi melalui berbagai jalur metabolisme yang

menyebabkan terjadinya paparan biologis yang sangat berbahaya sebagai hasil aktivasi

epoksida dan reaksi epoksida dengan protein dan DNA. Metabolit aflatoksin yang bersifat

karsinogenik adalah epoksida yang bereaksi dengan DNA pada posisi N7 guanin. Pada

manusia, usia muda dikatakan mempunyai derajat kerentanan paling besar (Williams, 2004).

Gejala awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain

berupa menurunnya efisiensi makanan, berkurangnya intake makanan, menurunnya

kecepatan pertumbuhan, rambut kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi, keparahan atau

kegagalan terapi atau vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti: bloody dysentery,

erisipelas, salmonellosis, pneumonia (Beasley, 1999).

Aflatoksikosis akut relatif jarang terjadi. Aflatoksikosis akut terjadi jika

mengkonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dalam jumlah banyak. Hal

menyebabkan terjadinya perlemakan di hati sehingga hati menjadi pucat, gangguan

Page 5: Paper Ilmu Penyakit Bakterial Dan Mikal ( Alflatoksikosis )

pembekuan darah secara normal menyebabkan terjadinya hemoragi, penurunan total protein

serum pada hati, aflatoksin terakumulasi di dalam darah dan menuju ke saluran

gastrointestinal, glomerular nefritis, dan kongesti paru-paru serta juga menimbulkan efek

mematikan. Aflatoksikosis kronis terjadi ketika mengkonsumsi makanan yang mengandung

aflatoksin dalam jumlah sedikit dengan jangka waktu yang lama. Menyebabkan kongesti hati

sampai hemoragi dan terbentuk zona nekrosa, proliferasi sel parenkim hati dan sel epitel

saluran empedu, kongesti ginjal serta kadang-kadang enteritis hemoragi. Ketika dikonsumsi

dalam jumlah rendah mengakibatkan gangguan sistem imun dan menjadi resisten.

Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai

dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian akibat edema otak dan

perlemakan hati, ginjal dan jantung. Keadaan-keadaan yang meningkatkan kecenderungan

untuk terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia meliputi terbatasnya ketersediaan

makanan, kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk berkembangbiaknya jamur di

dalam hasil pertanian dan bahan-bahan dagangan, dan masih kurangnya sistem yang

mengatur monitoring dan kontrol aflatoksin.

Gejala aflatoksikosis yang paling menonjol pada beberapa spesies seperti burung dan

mamalia antara lain hipolipidemia, hypercholesterolemia dan hypocarotenaemia di mana hal

ini dihubungkan dengan steatosis hepatik berat dan kehilangan berat badan (Farfan, 1999).

AFB1 merupakan karsinogen yang poten pada binatang, sehingga timbul perhatian terhadap

paparan aflatoksin konsentrasi rendah dalam jangka panjang pada manusia. Tahun 1988,

International Agency for Research on Cancer (IARC) memasukkan AFB1 dalam golongan

karsinogen pada manusia. Hal ini didukung oleh sejumlah studi epidemiologi yang dilakukan

di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara konsumsi aflatoksin dan

karsinoma sel hati.

5. Diagnosa

Diagnosa Aflatoksikosis dengan :

- Kromatografi

- Spektrometri

Page 6: Paper Ilmu Penyakit Bakterial Dan Mikal ( Alflatoksikosis )

- Pemeriksaan monoklonal antibody

- Enzimed-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

6. Pencegahan

Cara pengendalian cemaran mikotoksin umumnya dilakukan dengan pencegahan,

dilanjutkan dengan pemberantasan atau mengurangi kapang dan mikotoksin yang dihasilkan.

Pengendalian dimulai di tempat penyimpanan dilanjutkan pada pakan atau bahan penyusun

pakan. Pengendalian cemaran dimulai dengan menyingkirkan cemaran kapang dari pakan,

lalu mencegah perkembangbiakan kapang pada pakan. Selanjutnya dilakukan reduksi kapang

yang ada dalam pakan untuk mencegah kontaminasi ulang, dan terakhir desinfeksi pada area

yang tercemar kapang. Semua benda yang tercemar dibersihkan dengan desinfektan seperti

sodium hipoklorit (WHC, 2005).

Upaya pencegahan keracunan mikotoksin melalui kegiatan pada praproduksi

dilakukan dengan rotasi atau pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup kelompok

kapang patogen tertentu serta menanam varietas tanaman yang resisten. Panen diupayakan

jatuh pada musim panas atau kemarau dan hasil panen segera dikeringkan dan disimpan pada

tempat yang bebas serangga dengan sirkulasi udara yang baik. Untuk menghindari cemaran

mikotoksin dapat diupayakan dengan: 1) menghambat pertumbuhan kapang, 2) menyeleksi

dan detoksikasi pakan yang terkontaminasi, dan 3) mengikat toksin dengan bahan pengikat.

Cara yang umum dilakukan untuk mencegah cemaran mikotoksin adalah dekontaminasi

secara fisik melalui pencucian, menggunakan bahan kimia, dan secara biologik (pengendalian

biologis, menambah nilai gizi pada pakan yang tercemar, dan menambah senyawa pengikat

toksin) (Bahri & Widiastuti, 1998).

7. Pengobatan

Belum ada pengobatan yang efektif untuk keracunan. Namun ada beberapa pengikat

mikotoksin seperti alfafa, sodium bentonit, zeolit, arang aktif, dan kultur khamir

(Saccharomyces cerevisiae) dapat digunakan untuk mengurangi racun. Obat tradisional

seperti sambiloto dan bawang putih dapat pula digunakan. Sebaiknya selain diberi pengikat

mikotoksin, hewan juga perlu diberi asupan elektrolit, vitamin, dan gizi yang cukup (Bahri &

Widiastuti 1998; Rachmawati et al. 1999).

Daftar Pustaka

Page 7: Paper Ilmu Penyakit Bakterial Dan Mikal ( Alflatoksikosis )

Ahmad, R. Z. 2009. Cemaran Kapang Pada Pakan Dan Pengendaliannya. Jurnal Litbang

Pertanian, 28(1). http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3281093.pdf.

Bahri, S. dan R. Widiastuti. 1998. Beberapa mikotoksin pada bahan pangan dan pakan serta

kaitannya dengan kesehatan manusia dan hewan. Informasi Jamur Perhimpunan

Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia (4): 10−16.

Bannet JW, Klich M. Mycotoxins. Clin Microbiol Rev 2003; 16: 497-516.

Beasley V. Mycotoxins that affect the liver. New York: International Veterinary Information

Service (IVIS); 1999.

CAST. Mycotoxins: risks in plant, animal, and human systems. Task Force Report No. 139.

Ames. IA: Council for Agriculture Science and Technology; 2003.

Farfan JA. Aflatoxin B1-induced hepatic steatosis: role of carbonyl compounds and active

diols on steatogenesis. The Lancet 1999; 353: 747-48.

Food and Drug Administration. Foods-alduteration with aflatoxin (CPG7120.26). Available

at: http://www.fda.gov/ora/compiance_ref/cpg/cpgfod/cpg555.400.html.

Fung F, Clark RF. Health effects of mycotoxins: a toxicological overview. J Toxicol Clin

Toxicol 2004; 42: 217-34.

Henry SH, Bosch FX, Troxell TC, Bolger PM. Reducing liver cancer- global control of

aflatoxin. Science 1999; 286: 2453-4.

Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S, et al. Aflatoxin

contamination of commercial maize products during an outbreak of acute

aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya: Environ Health Perspect. 2005; 113:

1763-7.

Lye MS, Ghozali AA, Mohan J, Alwin N, Nair RC. An outbreak of acute hepatitic

encephalopathy due to severe aflatoxicosis in Malayzia. Am J Trop Med Hyg 1995;

53: 68-72.

Page 8: Paper Ilmu Penyakit Bakterial Dan Mikal ( Alflatoksikosis )

Rachmawati, S., Z. Arifin, dan P. Zahari. 1999. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

untuk mengurangi cemaran aflatoksin pada pakan ayam komersial. Jurnal Ilmu

Ternak dan Veteriner 4(1): 65−70.

Rodgers A, Vaughan P, Prentice T, Edejer TT, Evans D, Lowe J. Reducing risks, promoting

healthy life: In Campanini B, Haden A, editors. The Word Health Report ; Geneva:

Word Health Organization; 2002.

Williams JH, Phillips TD, Jolly PE, Stilles JK, Jolly CM, Aggarwal D. Human aflatoxicosis

in developing countries: a review of toxicology, exposure, potential health

consequences, and intervention. Am J Clin Nutr 2004; 80: 1106-22.

Workers Health Centre (WHC). 2005. Fungi. http://www.workershealth. com.au/facts028.

html:1−6.

Pertanyaan:

1. Pada diagnosa Aflatoksikosis, digunakan metode Spektrometri, Jelaskan! (Ewaldus

Patmawan)

2. Bagaimana Sambiloto dan Bawang Putih dapat digunakan dalam pengobatan

aflatoksikosis? (Annania Medja)

3. Apa itu Aflatoksikosis? Organisme ataukah toksin yang dihasilkan jamur? (Krispinus

Sehandi)

4. Mengapa kelompok lebih memilih mempresentasikan tentang Aflatoksikosis

(Aflatoksin) dan mengapa tidak dengan jenis Mikotoksikosis lainnya? (Drh. Elis)

Beberapa comoh tanaman obat seperti sambiloto telah diketahui mampu menghambat pertumbuhan kapang toksigenik Aspergillusfavus dan produksi aflatoksin daripadanya (WIDIASTUTI et al., 2000).