nilai budaya dalam sastra lisan rampi rampo the …

14
211 NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The Oral Tradition of Rampi Rampo Fitria Kantor Bahasa Jambi Jalan Arif Rahman Hakim No. 101, Telanaipura, Jambi Pos-el: [email protected] Naskah masuk:12 November 2018, disetujui: 2 Desember 2018, revisi akhir:10 Desember 2018 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai budaya yang mencerminkan sikap masyarakat Rantau Pandan. Masalah yang ditemukan nilai budaya apa saja yang mencerminkan sikap masyarakat Rantau Pandan. Metode yang digunakan metode kualitatif. Dalam pengambilan data digunakan metode penelitian lapangan. Data dianalisis dengan menggunakan kajian pembacaan heuristik dan hermeneutik Semiotika Riffaterre kemudian menemukan nilai budaya kebersamaan dan rendah hati pencerminan sikap masyarakat Rantau Pandan. Nilai kebersamaan terlihat masyarakat Rantau Pandan selalu mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, senasib sepenangungan, dan selalu bersama-sama dalam melaksanakan upacara adat. Sementara itu nilai rendah hati terlihat dari sikap masyarakat Rantau Pandan yang saling menghargai, ikhlas, dan tanpa pamrih dalam menyelesaikan suatu upacara`adat. Kata-Kata Kunci : nilai, budaya,semiotik, heuristik, hermeneutik Abstract This research aims to find out cultural value reflecting the behavior of Rantau Pandan’s community. The problem of the research is what cultural values which reflect the behavior of Rantau Pandan’s community. Field research method is used in collecting the data. The method used in this study is qualitative method. Data is analyzed by using the text reading of heuristic and hermeneutic of Riffaterre semiotic which is then found cultural value in form of togetherness and humility as the reflection of Rantau Pandan’s community behavior. The value of togetherness can be seen through the behavior of the community in prioritizing public importance than individual one. They are always together in conducting traditional ceremonies. Furthermore, the humility mirrored from Rantau Pandan’s community which respect and sincere in conducting traditional ceremonies. Keywords : value, cultural, semiotic, heuristic, hermeneutic

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

211

NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO

The Oral Tradition of Rampi Rampo

Fitria

Kantor Bahasa Jambi

Jalan Arif Rahman Hakim No. 101, Telanaipura, Jambi

Pos-el: [email protected] masuk:12 November 2018, disetujui: 2 Desember 2018, revisi akhir:10 Desember 2018

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai budaya yang mencerminkan sikap masyarakat Rantau Pandan. Masalah yang ditemukan nilai budaya apa saja yang mencerminkan sikap masyarakat Rantau Pandan. Metode yang digunakan metode kualitatif. Dalam pengambilan data digunakan metode penelitian lapangan. Data dianalisis dengan menggunakan kajian pembacaan heuristik dan hermeneutik Semiotika Riffaterre kemudian menemukan nilai budaya kebersamaan dan rendah hati pencerminan sikap masyarakat Rantau Pandan. Nilai kebersamaan terlihat masyarakat Rantau Pandan selalu mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, senasib sepenangungan, dan selalu bersama-sama dalam melaksanakan upacara adat. Sementara itu nilai rendah hati terlihat dari sikap masyarakat Rantau Pandan yang saling menghargai, ikhlas, dan tanpa pamrih dalam menyelesaikan suatu upacara`adat.

Kata-Kata Kunci : nilai, budaya,semiotik, heuristik, hermeneutik

AbstractThis research aims to find out cultural value reflecting the behavior of Rantau Pandan’s community. The problem of the research is what cultural values which reflect the behavior of Rantau Pandan’s community. Field research method is used in collecting the data. The method used in this study is qualitative method. Data is analyzed by using the text reading of heuristic and hermeneutic of Riffaterre semiotic which is then found cultural value in form of togetherness and humility as the reflection of Rantau Pandan’s community behavior. The value of togetherness can be seen through the behavior of the community in prioritizing public importance than individual one. They are always together in conducting traditional ceremonies. Furthermore, the humility mirrored from Rantau Pandan’s community which respect and sincere in conducting traditional ceremonies. Keywords : value, cultural, semiotic, heuristic, hermeneutic

Page 2: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

212

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018

I. PENDAHULUAN

Saat ini banyak sastra lisan di Indonesia

yang telah hilang dan hampir terlupakan

oleh masyarakat pendukungnya. Suripan

Budi Hutomo mengatakan fenomena itu

disebut sebagai ‘mutiara yang terlupakan’

(Hutomo, (1991). hlm. 3). Di samping ada

sastra lisan yang hilang, masih ada sastra

lisan yang bertahan dan telah mengalami

perubahan sesuai dinamika pemiliknya. Taum

juga mengatakan saat ini banyak kebudayaan

di Indonesia (termasuk di dalam sastra

lisan) masih tetap diciptakan dan dihayati

sebagai sarana komunikasi yang memainkan

peranan penting dalam situasi masa kini, yang

mengekpresikan situasi kekinian (2011, hlm.

13). Untuk itu, perlu diadakan pelestarian

sastra lisan untuk menggali dan mengkaji isi

yang terkandung sebagai sumber informasi

budaya baru sehingga dapat dimanfaatkan

untuk pembangunan bangsa. Salah satu cara

yang dapat dilakukan dengan menggali nilai-

nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam tulisan

Muhammad Alih Fakih A.R. (Lampung Post ,17 Februari 2008) mengatakan

sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya

masyarakat pemiliknya sastra lisan tidak

hanya mengandung unsur-unsur keindahan

(estetik), tetapi juga mengandung berbagai

informasi tentang nilai-nilai kebudayaan

sastra yang bersangkutan. Oleh karena

itu, sebagai salah satu data budaya, sastra

lisan dapat diperlakukan sebagai gerbang

memahami salah satu atau keseluruhan unsur

kebudayaan daerah yang bersangkutan.

Di samping itu dengan mempertahankan

nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam

suatu sastra juga akan dapat mengatur

keserasian, keselarasan, serta keseimbangan

dalam masyarakat pemiliknya. Karena

dalam berperilaku sehari-hari individu selalu

berpedoman pada nilai-nilai atau norma-

norma yang berlaku dalam kehidupan

masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai tersebut

dapat mempengaruhi tindakan prilaku

manusia, baik perorangan, kelompok ataupun

masyarakat secara keseluruhan tentang baik

buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

Sastra lisan Rampi Rampo yang ditemukan

di Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo,

Provinsi Jambi mengandung nilai-nilai budaya

masyarakat pemiliknya. Secara etimologis

kata Rampi Rampo berasal dari kata ampi yang berarti tampi, sedangkan Rampo artinya hampa/kosong/tidak berisi. Jadi

dapat diartikan secara etimologisnya Rampi Rampo merupakan satu kegiatan memisahkan

padi yang bernas dari padi yang hampa.

Ditinjau dari segi sastranya Rampi Rampo merupakan bentuk pantun yang bersahut-

sahutan yang diiringi oleh musik seperti

biola seperti biola, gedab, dan gong. Seiring

dengan perkembangan zaman Rampi Rampo mulai diiringi dengan biola dan keyboard.

Sebelum adanya istilah Rampi Rampo ini

dahulunya disebut sebagai lagu sakral yang

hanya bisa disampaikan ditempat-tempat

tertentu (wawancara dengan Subki Abu Bakar

tanggal 5 Mei 2014) . Kemudian berkembang

oleh seorang yang bernama Nuriah dari Desa

Lubuk Mayang, Kecamatan Rantau Pandan,

Kabupaten Bungo. Setelah itu barulah Rampi Rampo ini bisa dijumpai di berbagai acara,

seperti pesta perkawinan dan khitanan.

Dalam perkembangannya Rampi Rampo yang disampaikan tidak banyak yang berubah,

yang berubah hanya isi Rampi Rampo sudah

Page 3: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

213

Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria

diatur sendiri-sendiri sesuai dengan keinginan

pemainnya. Rampi Rampo yang disampaikan

umumnya berima ab–ab terdiri dari empat

baris, baris pertama dan kedua merupakan

sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan

isi. Menurut salah satu tokoh adat Subki dalam

hal penyampaiannya Rampi Rampo berbeda

dengan jenis pantun pada umumnya. Rampi Rampo ini disampaikan dengan irama naik

turun yang menyejukkan hati karena tujuan

Rampi Rampo sendiri untuk menyampaikan

perasaan hati yang sesungguhnya kepada

pendengarnya.

Dalam pertunjukkannya Rampi Rampo ini biasanya berisi pantun muda mudi yang

diucapkan secara spontan sesuai dengan

kondisi atau plot cerita pada saat pertunjukkan.

Dalam wawancara penulis dengan salah satu

tokoh adat Subki Abubakar di Desa Rantau

Pandan pada tanggal 14 Juni 2014 mengatakan

Rampi Rampo berisikan pantun-pantun muda

mudi dengan tidak ada batasan usianya.

Bertanak di tengah halamanAmbil penudung penutup nasiAyam sudah jinak makan di TanganTidak disangka terbang tinggi

Dari kapas menjadi benangBenang menjadi kainKita sama-sama lepas jangan dikenangSama-sama cari yang lain

Saya ke padang membeli minyakMinyak dibeli tiga sukuKerbau jalang liar hendak jinakSangat sayang kandang sudah ditunggu

Ditinjau dari segi pertunjukkan Rampi Rampo berupa musik vokal yang menyajikan

pantun-pantun dalam bentuk bersahutan (call and response) antara laki-laki dan perempuan.

(dikutip dari tulisan Utami dkk, 2012, hlm. 2).

Rampi Rampo ini biasanya dipertunjukkan

pada aktivitas-aktivitas masyarakat seperti,

pesta perkawinan, acara adat,berselang padi1.

Pada acara berselang ini biasanya sambil

menanam padi para bujang gadis berbalas

pantun dan anggota masyarakat lainnya

menyanyikan Rampi Rampo. Seiring dengan

perkembangan zaman Rampi Rampo telah

dilakukan oleh semua kalangan, baik tua

maupun muda, walaupun didominasi oleh

kalangan muda. Pertunjukkan Rampi Rampo

ini biasanya diikuti juga dengan tari tauh.2

Dalam perkembangannya sekarang ini Rampi Rampo tidak banyak yang berubah hanya

pantun yang disampaikan sudah diatur sendiri

disesuaikan dengan keinginan si pelantun.

Selain itu Rampi Rampo juga sebagai sarana

hiburan. Salah satunya terlihat dalam pergaulan

muda mudi yang dapat menyampaikan isi hati

mereka kepada pasangannya. Rampi Rampo tidak membosankan karena antara pemain dan

penonton yang berada disekitar pertunjukkan

1 Upacara sastraonal masyarakat Rantau Pandan yang dilakukan

pada saat menanam padi dwah atau di ladang (umo) yang

dilakukan secara bersama-sama atau bergotong-royong ketika

musim panen tiba. Kegiatan ini telah dilakukan masyarakat

Rantau Pandan semenjak dahulunya. Kegiatan ini dimulai dari

malam hari dengan mengajak masyarakat untuk berkumpul di

rumah yang memiliki sawah. Sementara ibu-ibu mempersiapkan

makanan, para bujang gadis bisa saling ngobrol, supaya mereka

bisa saling mengakrabkan diri. Keesokan paginya barulah

kegiatan menanam padi dilakukan.

2 Tari yang menggambarkan pergaulan muda mudi yang

diwariskan turun temurun dan populer di Kabupaten Bungo.

Tauh biasanya ditarikan ketika menyambut Rajo, Berelek

Gedang, dan Beselang Gedang (gotong royong menuai padi).

Tari ini dimainkan oleh empat pasang, laki-laki dan perempuan

berpakaian Melayu menari diiringi Kelintang Kayu, Gong,

Gendang, dan Biola yang mengalunkan Krinok dan pantun-

pantun anak muda. (http://www.kidnesia.com) di akses tanggal

17 Juli 2014))

Page 4: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

214

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018

dapat menjalin komunikasi yang komunikatif

(dikutip dari Utami dkk, 2012, hlm. 3). Dengan

adanya kesempatan setiap orang bisa menjadi

pemain, maka plot cerita yang disajikan dalam

bentuk pantun menjadi beraneka ragam.

Dari uraian di atas menggambarkan

bahwa sastra lisan Rampi Rampo masih

bertahan dan memiliki peranan penting sikap

masyarakatnya. Inilah yang menjadi alasan

penulis untuk mengkaji nilai-nilai budaya

yang terkandung di dalamnya.

Bagaimana nilai budaya ini dapat menjadi

peranan penting dalam sikap masyarakat

Rantau Pandan. Selanjutnya penelitian ini

akan membahas nilai budaya apa saja yang

terkandung di dalam Rampi Rampo yang

berkaitan dengan sikap masyarakat Rantau

Pandan dengan melakukan analisis makna

heuristik dan hermeneutik teori semiotika

Riffaterre.

Kerangka Teori

Semiotika Riffatere

Untuk mel iha t kespes i f ikan dan

mengungkapkan makna Rampi Rampo

diperlukan teori yang sesuai. Rampi Rampo

termasuk jenis puisi bebas yang mempunyai

tanda-tanda yang khas, oleh karena itu teori

yang sesuai adalah pembacaan semiotika

Riffatere. Semiotika berasal dari bahasa

Yunani yakni semion yang berarti tanda.

Sementara itu Pradopo (2005, hlm. 119) juga

mengatakan ilmu semiotika ini menganggap

bahwa fenomena sosial/masyarakat dan

kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.

Sistem bahasa dan sastra merupakan

aspek yang penting dalam semiotik. Karya

sastra merupakan tanda yang bermakna yang

menggunakan medium bahasa. Preminger

(dalam Pradopo, 2005, hlm. 119) mengatakan

bahwa bahasa merupakan sistem semiotik

tingkat pertama yang sudah mempunyai arti

(meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa

ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem

semiotik tingkat kedua.

Selanjutnya konsep semiotik yang

digunakan dalam penelitian ini didasarkan

pada pemikiran Sausure yang dikembangkan

oleh Riffaterre. Konsep dasar Riffaterre

memperlakukan semua kata menjadi tanda

(1987, hlm. 2). Riffaterre mengatakan bahwa

pembacalah yang bertugas memberikan makna

dari tanda-tanda yang terdapat dalam karya

sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna

setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan

terhadapnya. (Riffaterre, 1987, hlm. 66)

Pemaknaan tanda-tanda dalam karya

sastra itu dapat dilakukan dengan pembacaan

heuristik dan hermeneutik. Pradopo (2005,

hlm. 135) mengatakan pembacaan heuristik

adalah pembacaan karya sastra berdasarkan

struktur bahasanya atau secara semiotik

berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat

pertama. Menurut Riffaterre (1978, hlm. 5)

pembacaan berdasarkan struktur bahasanya

atau merupakan pembacaan tingkat pertama

ini dilakukan untuk memahami makna secara

lingustik yang menangkap arti sesuai dengan

teks yang ada, dan diartikan dengan bahasa yang

sesuai dengan teks. Pembaca harus memiliki

kompetensi linguistik agar dapat menangkap

arti (meaning). Kompetensi linguistik yang

dimiliki pembaca itu sebagai sarana untuk

memahami beberapa hal yang disebut sebagai

ungramatikal (ketidakgramatikalan teks).

Sementara itu, Santosa (2004, hlm. 231)

juga mengungkapkan pembacaan heuristik

Page 5: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

215

Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria

adalah pembacaan yang didasarkan pada

konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan

alam) dan membangun serangkaian arti

yang heterogen atau tak gramatikal. Hal ini

dapat terjadi karena kajian didasarkan pada

pemahaman arti kebahasaan yang bersifat

lugas atau berdasarkan arti denotatif dari

suatu bahasa. Dalam pembacaan heuristik

ini pembacaannya dapat berupa pembuatan

sinopsis cerita. Pembacaan heuristik ini

merupakan penerangan kepada bagian-bagian

cerita secara berurutan.

Metode yang kedua adalah pembacaan

hermeneutik atau retroaktif (pembacaan

ulang) yang merupakan pembacaan karya

sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat

kedua atau berdasarkan konvensi sastranya

untuk menginterpretasikan makna secara

utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca harus

lebih memahami apa yang sudah dia baca

untuk kemudian memidifikasi pemahamannya tentang hal itu (Riffaterre, 1987, hlm. 5).

Pada tataran ini akan terlihat hal-hal yang

semula tidak gramatikal menjadi kata-kata

yang ekuivalen (Riffaterre, 1987, hlm. 5--6).

Pembacaan hermeneutik, menurut Santosa

(2004, hlm. 234), adalah pembacaan yang

bermuara pada ditemukannya satuan makna

puisi secara utuh dan terpadu. Pradopo (2005,

hlm. 137) juga mengartikan pembacaan

hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan

konvensi sistem semiotik tingkat kedua

(makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca

harus meninjau kembali dan membandingkan

hal-hal yang telah dibacanya pada tahap

pembacaan heuristik. Dengan cara demikian,

pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam

pembacaan hermeneutik.

Nilai Budaya

Nilai budaya menurut Koentjaraningrat

(1985, hlm. 10) tingkat pertama kebudayaan

ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan

paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Nilai-

nilai budaya yang terkandung dalam Rampi Rampo merupakan cerminan masyarakat

yang melahirkannya.. Nilai-nilai budaya juga

merupakan konsep-konsep mengenai apa

yang hidup dalam akal pikiran sebagian besar

dari warga suatu masyarakat mengenai apa

yang mereka anggap bernilai, berharga, dan

penting dalam kehidupan, sehingga dapat

berfungsi sebagai pedoman dalam memberi

arah dan orientasi kepada warga masyarakat.

Nilai-nilai budaya disebut juga sebagai tingkat

yang paling absrak dari adat yang berdiri

dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam

pikiran sebagian besar dari warga masyarakat

mengenai hal-hal yang mereka anggap

bernilai dalam hidupnya (Koentjaraningrat,

1985, hlm. 9). Oleh karena itu nilai budaya

dianggap sebagai sesuatu yang berpengaruh

dan dapat dijadikan pegangan bagi suatu

masyarakat dalam menentukan seseorang

berprikemanusiaan atau tidaknya.

Sementara itu menurut menurut Clyde

Kluckhohn dalam Supsiolani (2008, hlm. 40)

mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi yang mempengaruhi

prilaku yang berhubungan dengan alam,

kedudukan manusia dengan alam, hubungan

orang dengan orang dan tentang hal-hal yang

diinginkan dan tidak diinginkan yang mungkin

bertalian dengan hubungan orang dengan

lingkungan dan sesama manusia. Sumaatmaja

(dalam Supsiolani (2008, hlm. 43) juga

mengatakan bahwa dalam perkembangannya

pengembangan dan penerapan kebudayaan

Page 6: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

216

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018

dalam kehidupan berkembang pula nilai-nilai

dalam masyarakat yang mengatur keserasian,

keselarasan, serta keseimbangan. Nilai

tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian

ini metode kualitatif. Melalui metode ini

peneliti mengamati, menganalisis, dan

mendeskripsikan nilai budaya yang ditemukan

sebagai pencerminan sikap masyarakat

Rantau Pandan. Kemudian hasil temuan

akan diuraikan dan dideskripsikan secara

lengkap berdasarkan objek dan data empiris

yang ditemukan di lapangan. (Santosa, 2012,

hlm. 70). Meleong mengatakan metode ini

menyajikan secara langsung hakikat hubungan

antara peneliti dan responden (2006, hlm. 5).

Dalam pengumpulan data dilakukan

dengan cara penelitian lapangan (field work) yang dilakukan dengan tiga tahap,

yakni 1) observasi dan pengamatan yang

dilakukan untuk mengamati secara langsung

kehidupan pertunjukkan Rampi Rampo

guna memperoleh gambaran Rampi Rampo dan ciri-ciri kelisanannya ; 2) wawancara

dilakukan dengan para pelaku Rampi Rampo.

Teknik wawancara ini dilakukan untuk

mendengar dan melihat secara langsung

pantun yang dilantunkan oleh pelantun Rampi Rampo. Teknik wawancara dilakukan secara

terbuka, artinya, pihak yang diwawancarai

mengetahui maksud dan tujuan wawancara

(Moleong, 2006, hlm. 189). Dalam melakukan

wawancara, peneliti menggunakan petunjuk

umum wawancara, yaitu membuat kerangka

dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan

dalam proses wawancara. Wawancara juga

dilakukan secara terstruktur karena peneliti

menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan. Dengan demikian,

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

tidak secara spontanitas, melainkan telah

dipersiapkan terlebih dahulu. Hasil wawancara

tersebut merupakan dokumen pribadi yang

menjadi salah satu bahan dokumenter dalam

penelitian ini. 3) Rekaman ; pengumpulan

data penelitian ini dilakukan dengan teknik

rekaman. Rampi Rampo yang direkam

kemudian ditulis dan ditransliterasikan.

Kemudian melakukan analisis nilai budaya

yang terdapat di dalamnya. Untuk menemukan

nilai budaya yang terdapat di dalam Rampi Rampo data dianalisis terlebih dahulu dengan

menggunakan teori semiotika Riffaterre, yaitu

pembacaan heuristik dan hermeneutik

Sumber data dalam penelitian ini berasal

dari data primer dan data sekunder. Data primer

adalah pantun Rampi Rampo, sedangkan

data sekunder berupa tulisan-tulisan yang

membicarakan tentang pantun Rampi Rampo. Tulisan yang ditemukan dalam bentuk

makalah, media cetak, internet, dan hasil

wawancara dari beberapa orang informan.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Pembacaan Heuristik dan

Hermeneutik Rampi RampoDalam analisis ini Rampi Rampo ini dibagi

atas enam tema yang berasal dari tiga orang

pemantun. Bapak Abu Bakar (Pemantun 1),

Ibu Jumiati (Pemantun 2), dan Ibu Jariah

(Pemantun 3). Pembacaan heuristik dan

hermeneutik sastra lisan Rampi Rampo akan dibahas berdasarkan tema yang telah

dikelompokkan.

Pembacaan heuristik pantun Rampi Rmpo dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya.

Page 7: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

217

Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria

Untuk memperjelas arti dapat diberi sisipan

kata atau sinonim kata yang ditaruh dalam

kurung. Begitu juga struktur kalimatnya

disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan

tata bahasa normatif), bila perlu susunannya

dibalik untuk memperjelas arti. Sementara

itu pembacaan hermeneutik ditafsirkan

berdasarkan konvensi sastra, yaitu sistem

semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang

memberikan makna diantaranya konvensi

ketidaklangsungan ucapan (ekspresi).

Pembacaan heuristik dan hermeneutik

pada pantun Rampi Rampo akan dijabarkan

dijabarkan di bawah ini,

I. Tema 1

Tema satu dilantumkan oleh Bapak Abu

Bakar dan Ibu Jumiati. Perekaman dilakukan

pada tanggal 5 Mei 2014 di Desa Rantau

Pandan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.

Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)

Tebing tinggi menjual minyakOrang Hindu menjual ladoBukit Tinggi jalannyo semakRindu dikau ngan jalang jugo

(Di) Tebing tinggi (banyak) orang

menjual minyak. (Sementara itu) Orang

Hindu (banyak) yang menjual lada. (Di)

Bukittinggi jalannyo (banyak yang) (be)

semak. Rindu (dengan) dikau saya (akan

tetap) kunjungi juga.

Pelantun 2 (Ibu Jumiati)

Nganlah idak mengantang manihNgan mengantang sibuluh mayan Ngan idak cakap semanihNgan becakap nan iyo niayan

Saya tidak(akan) menakari gula.

Saya (akan) menakari buluh

Mayan. `Saya tidak (akan)

berbicara basa-basi. Saya (akan)

berbicara yang sebenarnya)

Tema satu ini berisikan pantun yang

mengungkapkan isi hati seorang pria yang

sedang merindukan kekasihnya yang sudah

lama tidak dikunjunginya. Semua kerinduan

itu akhirnya tak tertahankan kemudian ia

datang mengunjungi sang kekasih (Rindu dikau ngan jalang jugo) walaupun harus

banyak rintangan ia hadapi (Bukit Tinggi jalannyo semak). Setelah bertemu mereka pun

merasakan hal yang sama. Sang wanita pun

mengungkapkan kerinduan itu ketika bertemu.

Dan itu semua bukanlah sesuatu basa-basi

(Ngan idak cakap semanih), tetapi itulah yang

ia rasakan selama ini. (Ngan becakap nan iyo niayan)

II. Tema 2

Tema dua ini juga dilantukan oleh Bapak

Abu Bakar dan Ibu Jumiati pada tanggal 5

Mei 2014 di Desa Rantau Pandan, Kabupaten

Bungo, Provinsi Jambi.

Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)

Ambiek lemari kaco

Ambiek bilahlah penyuluok sirieh Kalu adik kurang picayo Alhamdulillah terimo kasih

(Mari di) ambil lemari kaca. (Setelah

itu) ambil buluh yang sudah dibelah

satang sirih. Kalau adik (masih) kurang

percaya. (Saya ucapkan) Alhamdulilah

terima kasih.

Page 8: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

218

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018

Pelantun 2 (Ibu Jumiati)

Buah parah jatuh ke lubukTibo di lubuk ayikpun dalamHati ngan marah boleh dibuju Hati ngan ibo jatuh ke dalam

Buah parah jatuh ke (dalam) lubuk. Tiba

di lubuk airpun (menjadi) dalam. Hati saya

(sedang) marah (sehingga) boleh dibujuk.

Hati saya (sangat) sedih jatuh ke dalam)

Tema dua ini berisikan ungkapan isi hati

seorang pria kepada seorang wanita bahwa ia

menyukainya, tetapi sang wanita tidak percaya

tentang apa yang diucapkannya. Kekecewaan

yang dirasakannya itu dianggapnya sebagai

suatu ujian bagi dirinya bahwa tidak mudah

untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

(Kalu adik kurang picayo). Sikap sang wanita

itu dianggap sebagai ujian yang harus ia

jalani dan ia tidak boleh kecewa akan semua

peristiwa yang telah terjadi. (Alhamdulillah

terimo kasih)Sang wanita mengatakan bahwa ia

mempunyai alasan kenapa ia tidak menanggapi

apa yang diungkapkan sang pria kepadanya. Ia

beralasan karena ia sedang sedih dan marah atas

prilaku sang pria yang pernah mengecewakannya (Hati ngan marah boleh dibujuk). Kesedihannya

ini telah lama dipendamnya sehingga ia tidak

bisa memaafkannya lagi. (Hati ngan ibo jatuh ke dalam)

III. Tema 3

Tema tiga ini juga dilantukan oleh Bapak

Abu Bakar dan Ibu Jumiati, dan pada tanggal 6

Mei 2014 di Desa Rantau Pandan, Kabupaten

Bungo, Provinsi Jambi.

Pelantun 1 (Bapak Abu bakar)

Kobau siapo nan panjang tandoukKabau Ji Delah mudiklah TeboHati siapo yang idak maboukMengimak kau begalieh lain

(Siapa yang memiliki) kerbau yang

panjang tanduk. Kerbau (milik) Haji Delah

(telah) mudik (ke) Tebo. Hati siapa yang

tidak (akan) mabuk. Melihat kamu (telah)

berpaling ke yang lain)

Pelantun 2 (Ibu Jumiati)

Hiduplah api pagang jagungJagung dipanggang nan patah tigaIbo hati melingkung gunungApo dayo tangan dak sampai

Hiduplah api (di) panggang jagung.

Jagung (yang) dipanggang (menjadi)

nan patah tiga. Sedih hati(ku sampai)

melingkung gunung. Apa daya tangan

(ini) tidak sampai.

Tema tiga ini berisikan tentang kekecewaan

seorang pria terhadap sikap kekasihnya.

Sang wanita dianggap tidak setia karena

telah memilih orang lain selain dirinya untuk

dijadikan kekasih. (Mengimak kau begalieh lain) Semua itu mengakibatkan sang pria.

Sikap kekasihnya lupa diri dan berbuat sesuatu

di luar kesadarannya (Hati siapo yang idak mabouk)

Keputusan yang diambil Sang wanita juga

membuatnya sedih yang mendalam. (Ibo hati melingkung gunung) Semua itu ia lakukan

Page 9: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

219

Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria

karena sang pria bukanlah pria yang cocok

baginya. Diantara mereka ada perbedaan

yang terlalu jauh dan tidak mungkin untuk

dipersatukan. Apo dayo tangan dak sampai ). Akhirnya ia memutuskan memilih orang lain

yang dianggap cocok dengannya.

IV. Tema 4

Tema tiga ini dilantukan oleh Bapak

Abu Bakar, Ibu Jumiati, dan Ibu Juriah pada

tanggal 5 Mei 2014 di Desa Rantau Pandan,

Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.

Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)

Pegi ke talang menubo limbatLimbat ditubo kangkung mati Payah nian memasang jeratJerat dipasang burung nan lari

Pergi ke Talang (hendak) menuba ikan

lele. Lele(nya) dituba kodok(nya pun)

mati. Susah sekali (hendak) memasang

jerat. (Ketika) Jerat dipasang (banyak)

burung nan lari)

Mulung gemulung anak buayoAnak buayo mudik merampai Maksud hati melingkung gunungApo dayo tangan dak sampai

(Ada anak buaya) (ber)guling-guling

. (Seekor) anak buaya mudik (sedang)

bersenang-senang. Maksud hati (hendak)

memeluk gunung. Apa daya tangan (pun)

tak sampai.

Pelantun 2 (Ibu Jumiati)

Induklah abang kelingkinglah lain

Telapak tangan nan abang puloInduk malang,bapak ngan malang Tibo diengan malanglah sudah

Induklah (menjadi) merah (sehingga)

kelingking (menjadi) lain. Telapak tangan

(pun) (menjadi) merah pula. Induk (saya)

malang, bapak saya (pun) melarat,

(akibatnya) tiba di saya susah sekali.

Pelantun 3 (Ibu Juriah)

Layanglah-layang terbanglah melayangTibo di titin mengirai kepak Siapo bilang ngan dak sayingbadan sangsaro ya dek tidak tampak

( A d a ) l a y a n g - l a y a n g t e r b a n g

melayang. (Layang-layang) tiba di titin

mengembang(kan) sayap(nya). Siapa

(yang) bilang saya tidak sayang. Badan

(telah melarat) yo dik tidaklah nampak

Tema empat ini berisikan sikap seorang

pria yang telah melakukan berbagai usaha

untuk mendekati seorang wanita yang

dicintainya (Payah nian memasang jerat). Usaha itu selalu gagal karena Sang wanita

itu tidak berhasil ia dapatkan karena ia lebih

memilih pergi dengan pria lain yang ia sukai

dan meninggalkannya seorang diri (Jerat dipasang burung nan lari).

Sang wanita melakukan itu semua bukan

karena ia tidak menyukai Sang Pria, (Maksud hati melingkung gunung) tetapi karena terlalu

banyak perbedaan diantara mereka yang

membuat mereka tidak bisa bersatu.(Apo

Page 10: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

220

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018

dayo tangan dak sampai) Sikap Sang Wanita

tersebut membuat Sang Pria memutuskan

untuk pergi dan berusaha melupakan si wanita,

tetapi usaha itu tidak berhasil karena ia selalu

teringat dan tidak bisa melupakannya. Sikap

ini karena ia terlalu menyayangi Sang Wanita

(Siapo bilang ngan dak sayang). Semua itu

hanya bisa ia pendam dalam hati dan tidak

ada orang lain yang tahu. Perasaan yang

terpendam ini membuat ia selalu menderita

kesusahan dalam hidupnya (badan sangsaro ya dek tidak tampak)

V. Tema 5

Tema lima ini juga dilantukan oleh Bapak

Abu Bakar dan Ibu Juriah pada tanggal 5 Mei

2014 di Desa Rantau Pandan, Kabupaten

Bungo, Provinsi Jambi.

Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)

Apolah guno kain panjangBaju idak dibao matiApo guno kasih sayangKalo idak dibao jadi

Apa gunanya (memakai) kain panjang.

(Karena) baju tidak (akan) di bawa mati.

Apa guna(nya kita) (ber)kasih sayang.

Kalau tidak sampai (kita) jadi (pasangan)

Pelantun 3 (Ibu Juriah)

Jangan cemeh minyak tebayak Kini kepayang cupuk bebungo

Jangan cemeh bekasih sayangSayang betukuk dari lamo

Jangan (di)cemas(kan) minyak (itu)

tertumpah. (Karena) Kini Kepayang

kelopak (telah) berbunga. Jangan cemas

(untuk) berkasih sayng. (Karena) Sayang

(akan) bertambah dari lama.

Tema lima ini berisikan isi hati seorang

pria yang ingin menjalani hubungan yang

lebih serius dengan kekasihnya dengan ingin

segera menikahinya. Sikap Sang Pria ini tidak

ditaggapi oleh Sang wanita karena karena

mereka baru saling mengenal. Sang priapun

kecewa terhadap sikap sang wanita karena

menganggap ia tidak menyayanginya selama

ini. (Apo guno kasih sayang --Kalo idak dibao jadi )

Sang wanita menginginkan hubungan itu

hanya sebatas hubungan sepasang kekasih

dahulu supaya bisa lebih mengenal satu sama

lain. Sang Wanita menganggap hubungan

mereka belum terlalu lama dan belum perlu

terlalu cepat menikah. Biarlah hubungan ini

berjalan duhulu seperti sepasang kekasih

supaya rasa sayang ini bisa semakin mendalam.

( Jangan cemeh bekasih sayang--Sayang

betukuk dari lamo)

VI. Tema 6

Tema enam ini juga dilantukan oleh

Bapak Abu Bakar (Pelantun 1) dan Ibu Juriah

(Pelantun 3) pada tanggal 5 Mei 2014 di Desa

Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Provinsi

Jambi.

Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)

Sabut kelapo di tengah sawahBatang selasih di tengah sawahKelam kabut di ateh dunKasih ke adik idak berubah

(Ada) Sabut kelapa di tengah sawah.

(Selain itu) Batang Selasih (pun ada) di

Page 11: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

221

Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria

tengah sawah. (Walaupun cuaca) gelap

berkabut di atas dunia. Kasih (sayang) ke

adik tidak (akan) berubah.

Pelantun 3 (Ibu Juriah)

Padi pulut ,padi ketitil Padi gedang itam batangManih mulut segan di bibir Oi hati di dalam letak belakang

(Ada) padi ketan, (Ada) padi burung.

(Ada) padi besar, (Ada padi yang) hitam

batang(nya). Manis (di)mulut (menjadi)

segan di bibir. (Sehingga) hati di dalam

menjadi jauh sekali.

Pelantun 1 (Bapak Abu Bakar)

Lemari bekacoJam tangan bertali arlojiKalau adik kurang pecayo Sumpah tangan berjabat diri

(Ada sebuah) Lemari kaca. (Ada) jam

tangan bermerk arloji. Kalau adik kurang

percaya (pada saya). (Saya berani) (ber)

sumpah tangan bersalam diri.

Tema enam ini berisikan makna tentang

seorang pria berusaha meyakinkan wanita

yang dicintainya bahwa ia akan selalu setia dan

tidak akan pernah meninggalkan sang wanita

yang dicintainya walau apapun peristiwa

yang menimpanya. (Kelam kabut di ateh dun---Kasih ke adik idak berubah). Sang wanita

menganggapnya itu semua hanya rayuan sang

pria untuk merayunya. (Manih mulut segan di bibir) karena wanita menganggap rayuan itu

tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati

Sang Pria (Oi hati di dalam letak belakang) .

Sang pria pun tidak berhenti berusaha

merayunya. Ia terus berusaha meyakinkan sang

wanita bahwa apa yang dikatakannya itu hal

sebenarnya yang tulus dan datang dari relung

hatinya yang paling dalam. Sang pria pun

berani bersaksi kepada Tuhan bahwa ia akan

siap menderita dan pergi meninggalkannya

kalau semua itu tidak benar dan tidak bisa

dibuktikannya. (Kalau adik kurang pecayo -- Sumpah tangan berjabat diri)

2.3. Nilai-Nilai Budaya dalam Rampi Rampo

Dari pembacaan heuristik dan hermeneuti

di atas ditemukan nilai-nilai budaya Rampi Rampo yang dapat memperkokoh jati diri

dan meningkatkan rasa persatuan dalam

masyarakat Desa Rantau Pandan, antara lain :

1. Nilai Kebersamaan

Pantun Rampi Rampo di atas yang

menunjukkan adanya nilai kebersamaan dalam

masyarakat Rantau Pandan.

Jangan cemeh minyak tebayakKini kepayang cupuk bebungo

Jangan cemeh bekasih sayang Sayang betukuk dari lamo

(Jangan cemas minyak

tertumpah

Kini Kepayang kelopak

berbunga

Jangan cemas berkasih sayang

Sayang bertambah dari lama)

Apolah guno kain panjangBaju idak dibao matiApo guno kasih sayangKalo idak dibao jadi

Page 12: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

222

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018

( apa gunanya kain panjang

baji tidak di bawa mati

apa guna kasih sayang

kalau tidak sampai jadi)

Isi pantun menunjukkan bahwa di antara

kita haruslah tetap saling menjaga kasih sayang

supaya selalu tetap selalu bersama selamanya.

Untuk menjaga kepentingan bersama ini rasa

persatuan harus ada dalam suatu kelompok

masyarakat. Apapun bentuk perbedaan yang

ada di antara mereka harus dicarikan jalan

keluarnya agar persatuan itu tetap terjaga,

salah satunya dengan bermusyawarah.

Dalam bermusyawarah harus mengutamakan

kepentingan umum daripada kepentingan diri

sendiri sehingga akan terlihat rasa senasib

sepenanggungan. Apapun yang dirasakan

seseorang dapat juga dirasakan oleh orang

lain. Inilah akan memperlihatkan tidak adanya

perbedaan di antara mereka.

Hal ini terlihat ketika masyarakat

Rantau Pandan akan mempersiapkan suatu

upacara adat. Mereka semua bersatu dan

saling membantu dalam upacara tersebut

sehingga tidak ada perbedaan di antara

mereka. Sebelum melaksanakan upacara itu

mereka awali dengan bermusyawarah. Kapan

dan di mana acara itu akan dilaksanakan.

Dalam pelaksananaan pelaku sastra juga tidak

mengharapkan materi. Mereka membantu

dengan ikhlas karena ingin meramaikan

proses pelaksanaan sebuah perkawinan secara

bersama-sama. Ini menunjukkan masyarakat

Rantau Pandan masih ingin menjaga rasa

persatuan diantara mereka.

Contoh nilai kebersamaan terlihat juga

ketika pelaksanaan sastra rampi rampo yang

dilaksanakan ketika upacara adat berselang nuai. Para masyarakat baik anak-anak, muda-

mudi, dan orang tua terlihat secara bersama-

sama ikut meramaikannnya. Dalam sastra

ini para muda mudi meramaikannya dengan

berbalas pantun sesama mereka. Mereka

datang dengan ikhlas dan tidak mengharapkan

balasan dari yang punya acara.

2. Nilai Rendah Hati

Rasa persatuan juga bisa ditingkatkan

dengan menghargai satu sama lain dalam

suatu kelompok masyarakat. Caranya tidak

memperlihatkan kelebihan diri dengan

memposisikan kita sama dengan orang lain.

Apapun posisi kita dalam suatu masyarakat

tetap mengganggap yang lain sama dengan

kita. Yang tua menghargai yang muda

yang kaya menghargai yang miskin, atau

yang pintar menghargai yang bodoh. Inilah

percerminan nilai rendah hati yang terlihat

dalam masyarakat Rantau Pandan.

Sikap ini terlihat bagaimana mereka

sama-sama menghargai dalam menjalankan

adat istiadat mereka. Semua mereka sama

dalam adat, tidak ada yang dibedakan.

Mereka memagang adat istiadat yang yang

telah diturunkan turun temurun dari nenek

moyang mereka. Sampai sekarang mereka

masih melaksanakan tata upacara perkawinan,

kematian, khitanan, dan upacara memanen

padi bujang gadis (berselang nuai) yang

sesuai dengan aturan adat. Dalam kegiatan

adat ini semua masyarakat, baik yang muda

tua, kaya miskin, dan bodoh dan pintar ikut

terlibat, mulai dari persiapan sampai kegiatan

itu dapat dilaksanakan dengan lancar. Mereka

melakukan itu semua tanpa pamrih dan tidak

mengharapkan sesuatu balasan dari tuan

Page 13: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

223

Nilai Budaya dalam Sastra ... Fitria

rumah yang melaksanakan kegiatan.

Nilai rendah hati ini tertuang dalam pantun

rampi rampo tentang menghargai seseorang

orang yang dicintainya. Ia rela melepaskan

orang yang dicintainya itu karena seseorang

itu tidak pantas untuk dirinya walaupun itu

terasa berat, tetapi harus tetap ia jalani. Ini

juga menunjukkan bahwa masyarakat Rantau

Pandan itu memiliki sifat menghargai, ikhlas

dan lapang dada dalam menjalankan dan

menghadapi sesuatu hal. Semua itu tertuang

dalam pantun yang telah diutarakan di atas ;

Hiduplah api pagang jagungJagung dipanggang nan patah tigaIbo hati melingkung gunungApo dayo tangan dak sampai(Hiduplah api panggang jagung

Jagung dipanggang nan patah

tiga

Sedih hati melingkung gunung

Apa daya tangan tidak sampai)

Mulung gemulung anak buayoAnak buayo mudik merampai Maksud hati melingkung gunungApo dayo tangan dak sampai

( guling-guling anak buaya

anak buaya mudik ber senang- senang)

maksud hati memeluk gunung

apa daya tangan tak sampai )

Lemari bekacoJam tangan bertali arlojiKalau adik kurang pecayoSumpah tangan berjabat diri

(Lemari berkaca

Jam tangan bermerk arloji

kalau adik kurang percayaSumpah tangan bersalam diri)

III. SIMPULAN

Dari analisis makna setelah dilakukan

pembacaan secara heuristik dan hermeneutik

pada pantun Rampi Rampo ditemukan

nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan

nilai kebersamaan dan nilai hati. Nilai

kebersamaan terlihat masyarakat Rantau

Pandan selalu mengutamakan kepentingan

umum daripada kepentingan pribadi, senasib

sepenanggungan, dan selalu bersama-sama

dalam melaksanakan upacara adat. Hal ini

terlihat mulai dari anak-anak, muda-mudi,

dan orang tua terlihat secara bersama-sama

dan sungguh-sungguh ikut melaksanakan

suatu upacara adat. Mereka datang dengan

ikhlas dan tidak mengharapkan balasan dari

yang punya acara. Dalam sastra ini para

muda mudi meramaikannya dengan berbalas

pantun sesama mereka.

Sementara itu nilai rendah hati terlihat

adanya saling menghargai dalam semua lapisan

masyarakat. Hal ini juga terlihat sikap semua

lapisan masyarakat Rantau Pandan masih

memegang teguh dan menghargai adat istiadat

yang yang telah diturunkan turun temurun oleh

nenek moyang mereka. Sikap rela dan saling

membantu juga terlihat dalam jiwa masyarakat

Rantau Pandan. Dalam pelaksanaan upacara

perkawinan, kematian, khitanan, dan upacara

memanen padi bujang gadis (berselang nuai)

semua masyarakat Rantau Pandan rela ikut

terlibat dalam membantu mulai dari persiapan

sampai kegiatan itu dapat dilaksanakan dengan

lancar.

Page 14: NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN RAMPI RAMPO The …

224

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 2, Desember 2018

DAFTAR PUSTAKA

Asman. (2012). Mitologi Melayu dalam Syair Dendang Siti Fatimah Pada Masyarakat Melayu Binjai : Kajian Strukturalisme. Tesis. Universitas Sumatera Utara.

Fakih, Ali Muhammad. ”Tradisi Lisan Yang

Terlupakan”. Lampung Post: 17 Februari

2008.

Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Mutiara Yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra Lisan.

Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia

Jawa Timur.

Koent jaraningra t . Perseps i Tentang

Kebudayaan Nasional. (1985). Dalam

Alfian (ed) Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.

Meleong, Lexy. J. (2002).Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Pradopo, Rachmat Djoko.(2005). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Rassuh, Ja’far (ed). (2012). Musik Sastraonal. Proyek Pelestarian Nilai-Nilai Budaya

Daerah: Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata

Provinsi Jambi.

-------------. (2002). Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riffatere, Michael.(1987). Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana

University Press.

Santosa, Puji. (2012). Analisis Kontekstual Ilir-

Ilir Sunan Kalijaga. Loa : Jurnal Ilmiah dan Kebahasaan. Volume.9 Nomor 2

-----------------.(1993). Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:

Angkasa.

Supsiolani. (2008). Analisa Nilai Budaya

Masyarakat dan Kaitannya dalam

Pembangunan Wilayah di Kecamatan

Raya Kabupaten Simalungun. Tesis.

Medan: Universitas Sumatera Utara.