menyambut kelahiran buah hati

47
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI BAB I TAHNIK Yang Dimaksud Tahnik Tahnik adalah melumurkan kurma ke mulut bayi setelah kurma tersebut dilumat.[1] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para pakar bahasa menyatakan bahwa tahnik adalah mengunyah kurma atau semacamnya, kemudian dilumuri di mulut si bayi”.[2] Bukti Tuntunan Tahnik Dari Abu Musa, beliau berkata, . ٍ ةَ رْ مَ تِ بُ هَ كَ ّ نَ حَ وَ م يِ ه اَ رْ بِ اُ اةَ ّ مَ سَ ف- م سل ه و ي عل له ى ال صل- َ ّ ىِ بَ ّ لن اِ هِ بُ تْ يَ بَ 7 اَ فٌ مَ لاُ ع ىِ لَ دِ لُ و“(Suatu saat) aku memiliki anak yang baru lahir, kemudian aku mendatangi Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memberi nama padanya dan beliau mentahnik dengan sebutir kurma.”[3] Dari ‘Aisyah, beliau berkata, . ْ مُ هُ كِ ّ نَ حُ يَ وْ مِ هْ يَ لَ عُ E كِ ّ رَ بُ J يَ فِ L انَ يْ P نِ ّ ص ل اِ ى بَ تْ 7 ُ يَ L انَ ك- م سل ه و ي عل له ى ال صل- ِ َ ّ اَ ولُ سَ رَ ّ L نَ 7 اRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan anak kecil, lalu beliau mendoakan mereka dan mentahnik mereka.”[4] An Nawawi menyebutkan dua hadits di atas dalam Shahih Muslim pada Bab: ه ي م_ س لت ا اب ي حb ت_ س ه وا م ولا دب_ _ ي ه ي من_ س ت وار _ ج ك_ه و ن ح ي ح ل ى ص_ا ل ل_ه ا م ح ه و ولا دب_ د ي_ عد_ ل و م ل اE ك ي_ ن ح ي اب ي حb ت_ س ا لام س ل م ا ه علي اء يP ن ن7 لاء ا ما س7 ر ا7 ب م وسا ي هرا ب له وا دال ي ع ب”Dianjurkan mentahnik bayi yang baru lahir, bayi tersebut dibawa ke orang sholih untuk ditahnik. Juga dibolehkan memberi nama pada hari kelahiran. Dianjurkan memberi nama bayi dengan Abdullah, Ibrahim dan nama-nama nabi lainnya.” Pelajaran Penting Tentang Tahnik Pertama : Para ulama sepakat tentang disunnahkannya (dianjurkannya) mentahnik bayi yang baru lahir dengan kurma. Jadi tahnik dilakukan di hari pertama. Kedua : Jika tidak mendapati kurma untuk mentahnik, maka bisa digantikan dengan yang lainnya yang manis- manis. Ketiga : Cara mentahnik adalah orang yang mentahnik mengunyah kurma hingga agak cair sehingga mudah ditelan, lalu ia membuka mulut si bayi, lalu ia meletakkan kunyahan kurma tadi di mulutnya sehingga si bayi akan mencernanya ke dalam kerongkongannya. Keempat : Hendaknya yang melakukan tahnik adalah orang sholih sehingga bisa diminta do’a keberkahannya, terserah yang mentahnik tersebut laki-laki atau perempuan. Jika orang sholih tersebut tidak hadir, maka hendaklah bayi tersebut yang didatangkan ke orang sholih tersebut.[5]

Upload: irvans

Post on 01-Jul-2015

218 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB I TAHNIK

Yang Dimaksud Tahnik

Tahnik adalah melumurkan kurma ke mulut bayi setelah kurma tersebut dilumat.[1] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para pakar bahasa menyatakan bahwa tahnik adalah mengunyah kurma atau semacamnya, kemudian dilumuri di mulut si bayi”.[2]

Bukti Tuntunan Tahnik

Dari Abu Musa, beliau berkata,

. - ة� - �م�ر� �ت ب �ه� �ك ن و�ح� اه�يم� �ر� �ب إ م�اه� ف�س� وسلم عليه الله صلى �ى� �ب الن �ه� ب �ت� �ي ت� ف�أ �م2 غ�ال ل�ى �د� و�ل

“(Suatu saat) aku memiliki anak yang baru lahir, kemudian aku mendatangi Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memberi nama padanya dan beliau mentahnik dengan sebutir kurma.”[3]

Dari ‘Aisyah, beliau berkata,

. - �ه�م� - 8ك �ح�ن و�ي �ه�م� �ي ع�ل ك� �ر8 �ب ف�ي �ان� �ي �الص8ب ب �ى �ؤ�ت ي �ان� ك وسلم عليه الله صلى الل�ه� ول� س� ر� �ن� أ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan anak kecil, lalu beliau mendoakan mereka dan mentahnik mereka.”[4]

An Nawawi menyebutkan dua hadits di atas dalam Shahih Muslim pada Bab:

وال يوم تسميته وجواز يحنكه صالح إلى وحمله دته وال عند المولود تحنيك استحبابالسالم عليهم األنبياء أسماء وسائر وإبراهيم بعبدالله التسمية واستحباب دته

”Dianjurkan mentahnik bayi yang baru lahir, bayi tersebut dibawa ke orang sholih untuk ditahnik. Juga dibolehkan memberi nama pada hari kelahiran. Dianjurkan memberi nama bayi dengan Abdullah, Ibrahim dan nama-nama nabi lainnya.”

Pelajaran Penting Tentang Tahnik

Pertama: Para ulama sepakat tentang disunnahkannya (dianjurkannya) mentahnik bayi yang baru lahir dengan kurma. Jadi tahnik dilakukan di hari pertama.

Kedua: Jika tidak mendapati kurma untuk mentahnik, maka bisa digantikan dengan yang lainnya yang manis-manis.

Ketiga: Cara mentahnik adalah orang yang mentahnik mengunyah kurma hingga agak cair sehingga mudah ditelan, lalu ia membuka mulut si bayi, lalu ia meletakkan kunyahan kurma tadi di mulutnya sehingga si bayi akan mencernanya ke dalam kerongkongannya.

Keempat: Hendaknya yang melakukan tahnik adalah orang sholih sehingga bisa diminta do’a keberkahannya, terserah yang mentahnik tersebut laki-laki atau perempuan. Jika orang sholih tersebut tidak hadir, maka hendaklah bayi tersebut yang didatangkan ke orang sholih tersebut.[5]

Mengenai yang mentahnik boleh seorang wanita sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim bahwa Imam Ahmad bin Hambal ketika lahir salah satu bayinya, beliau menyuruh seorang wanita untuk mentahnik bayinya tersebut.[6]

Ada ulama yang memberi penjelasan urutan makanan yang dijadikan bahan untuk mentahnik: tamr (kurma kering); kalau tidak ada, barulah rothb (kurma basah); kalau tidak ada, barulah makanan manis yaitu yang jadi pilihan adalah madu; dan setelah itu adalah makanan yang tidak disentuh api.[7]

Di Samping Mentahnik, Minta Do’a Keberkahan

Di samping mentahnik, penjelasan di atas juga menunjukkan setelah ditahnik hendaknya orang yang mentahnik mendoakan keberkahan pada si bayi dan lebih utama yang mentahnik dan mendoakan adalah orang sholih. Yang dimaksud keberkahan adalah tetapnya dan bertambahnya kebaikan.

Page 2: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Tentang Kencing Bayi yang Pernah Ditahnik Dengan Kurma atau Diobati dengan Madu

Oleh : Syaikh Abu Abdil Mu’iz Muhammad Ali Farkus -hafidzohulloh-

Pertanyaan :

Dalam hadits Ummu Qois bintu Mihshon rodhiyallohu anha:

- - ، وسلم عليه الله صلى اللRه� ر�سول� �لى إ الطRعام� �كل� يأ لم� صغير�، لها �ن� �اب ب �تت� أ �نها أ - فدعا - ، �و�به� ث على ف�بال� ، حجر�ه� فى وسلم وآله عليه الله صلى اللRه� ر�سول� �جلسه� فأ

يغسله و�لم� فنضحه� بماء�

Bahwa ia datang dengan anak laki-lakinya yang masih kecil yang belum makan makanan kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Lalu Rosululloh shollallohu alaihi wa aalihi wa sallam mendudukkan anak itu di pangkuannya, kemudian anak itu ngompol di baju beliau. Beliau pun meminta air lalu memercikinya dan tidak mencucinya [8].

Apa makna “ الطعام يأكل Dan apakah kurma yang ?(belum makan makanan) ”لمdigunakan untuk mentahniknya termasuk “makanan” tersebut? Dan juga madu yang digunakan untuk pengobatan?

Jawaban:

للعالمين، رحمة الله أرسله من على والسالم والصالة العالمين، رب8 لله الحمدبعد أمRا تسليما، وسلم الدين يوم إلى وإخوانه وصحبه آله :وعلى

Yang dimaksud dengan “makanan” di sini adalah yang selain ASI yang engkau susui, kurma yang engkau tahnik kepadanya, dan madu yang ia disuapi untuk pengobatan dan yang selainnya, karena kurma dan madu tidak untuk mengenyangkan, sebab ‘illah(alasan) dalam tahnik adalah tabarruk dengan air liur Nabi shollallohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dari satu sisi dan ‘illah pengobatan dengan madu dari sisi yang lain, sehingga tidak ada kekeyangan bagi bayi tersebut selain ASI. Dan sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “ الطعام يأكل لم ” (belum makan makanan) adalah belum bisa

memasukkan makanan ke mulutnya sendiri, dan ada pendapat yang lainnya. Dan yang benar adalah pendapat yang pertama.

على الله وصلى العالمين، رب8 لله الحمد أن دعوانا وآخر تعالى، الله عند والعلمكثيرا تسليما وسلم الدين يوم إلى وإخوانه وصحبه آله وعلى .محمد

Al-Jaza’ir 23 Shofar 1427 H // 23 Maret 2006 M

________________

Catatan kaki:

[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/3716, Multaqo Ahlil Hadits[2] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/194, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.[3] HR. Muslim no. 2145.[4] HR. Muslim no. 2147.[5] Keempat point ini diolah dari penjelasan An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/122-123.[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/3716[7] Idem.[8] HR. al-Bukhori dalam al-Wudhu’ (223), Muslim dalam ath-Thoharoh (691), Abu Dawud dalam ath-Thoharoh (374), at-Tirmidzi dalam ath-Thoharoh (71), an-Nasa’i dalam ath-Thoharoh (304), Ibnu Majah dalam ath-Thoharoh dan Sunannya (566), Malik dalam al-Muwaththo’ (141), Ahmad (27756), al-Humaidi dalam musnadnya (365), al-Baihaqi (4319), dari hadits Ummu Qois bintu Mihshon rodhiyallohu anha.

Page 3: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB II NAMA TERBAIK UNTUK SI BUAH HATI

Urgensi Pemberian Nama Terbaik

Nama dalam bahasa Arab disebut dengan isim. Makna isim bisa jadi adalah ‘alamat (tanda). Isim juga bisa bermakna as samuu (sesuatu yang tinggi). Sehingga isim (nama) adalah tanda yang tertinggi (mencolok) pada seseorang.

Dengan nama inilah akan membedakan seseorang dan lainnya. Di antara maksud inilah para ulama bersepakat (berijma’) tentang wajibnya pemberian nama pada laki-laki dan perempuan.[1] Sehingga tidak boleh seseorang pun di muka bumi ini yang tidak memiliki nama. Karena jika tidak punya nama, bagaimana bisa membedakannya dari manusia lainnya.

Karena pentingnya seseorang memiliki nama, sampai-sampai para pakar hadits ketika menemukan hadits terdapat seorang perowi yang mubham (tidak dikenal namanya), mereka pun mendhoifkan hadits tersebut sampai diketahui jelas siapa nama perowi tersebut.

Di antara urgensi pemberian nama terbaik disebabkan nama dapat membawa pengaruh pada orang yang diberi nama. Oleh karena itu, orang Arab mengatakan,

�ل8 �ك م�ى ل م�ه� م�ن� م�س� �س� �ب2 ا �ص�ي ن

“Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya.”

Ini menunjukkan bahwa jika nama yang diberikan adalah nama yang terbaik, maka atsarnya (pengaruhnya) pun baik. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa nama yang terbaik adalah ‘Abdullah karena nama tersebut menunjukkan penghambaan murni pada Allah. Begitu pula, dalam beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama dengan nama yang buruk seperti ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat, dengan huruf ‘ain dan shod), Hazn (sedih) dan Zahm (sempit).

Intinya, nama begitu pengaruh dalam diri orang yang diberi nama. Coba bayangkan bagaimana jika seorang anak diberi nama dengan Hazn (sedih), pasti ia akan jadi orang yang terus-terusan bersedih karena mengingat namanya tersebut. Itulah urgensi penting dalam pemberian nama bagi si buah hati.

Pengaruh lainnya lagi, dari nama terbaik, seseorang dapat mengetahui bagaimanakah orang tuanya. Orang tuanya dapat diketahui dari nama anaknya, apakah ortunya itu sholih atau tholih (lawan dari sholih). Sebagaimana orang arab pun mengatakan,

م�ك� م�ن� �س� �ع�ر�ف� ا �اك� أ �ب أ

“Dari namamu, aku bisa mengetahui bagaimanakah ayahmu.”

Dari nama yang baik pula, seseorang bisa menyebarkan kebaikan. Lihatlah bagaimana jika seseorang diberi nama “Musa”. Dari nama ini, setiap orang yang mendengar nama tersebut bisa mengingat bagaimanakah sifat dan akhlaq mulia dari Nabi Musa ‘alaihis salam. Oleh karena itu, pemberian nama yang baik di sini termasuk menyebar sunnah hasanah di tengah-tengah umat. Maksud kami ini sebagaimana disebutkan dalam hadits,

ن� م�ن� � ف�ى س� �م ال �س� �ةa اإل ن �ةa س� ن �ه� ح�س� ه�ا ف�ل �ج�ر� �ج�ر� أ �ه�ا ع�م�ل� م�ن� و�أ ب

“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu.” (HR. Muslim no. 1017)[2]

Inilah di antara urgensi memberi nama yang baik.

Waktu Terbaik dalam Pemberian Nama

Mengenai waktu terbaik dalam pemberian nama dapat kita lihat dalam hadits-hadits berikut.

Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Page 4: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

�د� �ى� و�ل �ة� ل �ل �ي �م2 الل �ه� غ�ال �ت م�ي � ف�س� م �اس� ب�ى ب� اه�يم� أ �ر� �ب إ

“Semalam telah lahir anakku dan kuberi nama seperti ayahku yaitu Ibrahim.” (HR. Muslim no. 2315)

Dari Abu Musa, ia mengatakan,

�د� �م2 ل�ى و�ل �ت� ، غ�ال �ي ت� �ه� ف�أ �ى� ب �ب م�اه�- وسلم عليه الله صلى- الن اه�يم� ف�س� �ر� �ب �ه� ، إ �ك ف�ح�ن

ة� �م�ر� �ت �ه� و�د�ع�ا ، ب �ة� ل ك �ر� �ب �ال �ى� و�د�ف�ع�ه� ، ب �ل �ان� ، إ �ر� و�ك �ب ك� �د� أ ب�ى و�ل

� . م�وس�ى أ

“Anak laki-lakiku lahir, kemudian aku membawanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau lalu memberinya nama Ibrahim, beliau menyuapinya dengan kunyahan kurma dan mendoakannya dengan keberkahan, setelah itu menyerahkannya kepadaku." Ibrahim adalah anak tertua Abu Musa.” (HR. Bukhari no. 5467, 6198 dan Muslim no. 2145)

Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,

bل� � ك �م �ة2 غ�ال ه�ين �ه� ر� �ع�ق�يق�ت �ح� ب �ذ�ب �ه� ت �و�م� ع�ن �ع�ه� ي اب �ح�ل�ق� س� م�ى و�ي �س� و�ي

"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari hadits Abu Musa di atas, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa Abu Musa bersegera membawa bayinya yang baru lahir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ditahnik setelah diberi nama sebelumnya. Dalil ini menunjukkan bahwa bersegera dalam pemberian nama pada si buah hati itu lebih baik, dan tidak mesti menunggu pemberian nama pada hari ketujuh.”[3]

Al Baihaqi mengatakan, “Hadits yang membicarakan pemberian nama pada si buah hati di hari kelahiran lebih shahih daripada hadits yang menunjukkan pemberian nama pada hari ketujuh.”[4]

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dalam kitabnya Tasmiyatul Mawlud mengatakan, “Terdapat dalam sunnah Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam bahwa pemberian nama itu ada tiga waktu:

1. Di hari kelahiran,2. Sampai hari ketiga dari hari kelahiran,3. Di hari ketujuh dari kelahiran,

Perbedaan ini adalah perbedaan variatif dan dalam hal ini ada kelonggaran untuk memilih salah satunya.”[5]

Apa yang disebutkan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid sama halnya dengan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul Mawdud[6]. Namun sebagaimana kata Ibnu Hajar di atas, dalam pemberian nama lebih cepat itu lebih baik yaitu lebih bagus memberi nama pada hari pertama. Wallahu a’lam.

Pemberian Nama dan Nasab Menjadi Hak Ayah (Bukan Ibu)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,”Mengenai pemberian nama menjadi hak ayah itu tidak ada perselisihan di antara para ulama. Hadits-hadits sebelumnya (yang membicarakan tentang pemberian nama, pen) juga menunjukkan akan hal ini. ”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Sebagaimana tidak ada perselisihan bahwa ayah yang berhak memberi nama, maka tidak ada perselisihan pula mengenai masalah anak dipanggil dengan nama ayahnya bukan dengan nama ibunya. Sehingga anak tersebut dipanggil dengan fulan bin fulan (dan bukan fulan bin fulanah, pen). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini, firman Allah Ta’ala,

�ه�م� اد�ع�وه�م� �ائ �ب ط� ه�و� آل� �ق�س� �د� أ ن �ه� ع� الل

“Panggilah mereka dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al Ahzab: 5). Anak hanyalah mengikuti ibunya dalam masalah merdeka atau

Page 5: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

budak. Sedangkan ia tetap mengikuti ayahnya dalam nasab dan dalam pemberian nama.” [7]

Dalil lain yang dapat kita lihat adalah hadits dari Ibnu Umar, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

�ذ�ا �ه� ج�م�ع� إ �ين� الل و�ل� �و�م� و�اآلخ�ر�ين� األ �ام�ة� ي �ق�ي ف�ع� ال �ر� �ل8 ي �ك �و�اء2 غ�اد�ر� ل ة� ه�ذ�ه� ف�ق�يل� ل �ن� غ�د�ر� ف�ال

�ن� �ن� ب ف�ال

"Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terakhir kelak di hari Kiamat, maka akan dikibarkan bendera bagi setiap pengkhianat, lalu dikatakan, 'Ini adalah bendera si fulan bin fulan'." (HR. Muslim no. 1735). Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama bapak mereka (fulan bin fulan), bukan nama ibu mereka (fulan bin fulanah).

Urutan Nama Terbaik Bagi Si Buah Hati[8]

Urutan pertama: Nama Abdullah dan Abdurrahman

Dalam ktab Al Adzkar, Imam An Nawawi Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan Bab “Penjelasan nama yang paling dicintai oleh Allah”. Lantas beliau bawakan dua hadits berikut ini.

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

�ن� �ح�ب� إ �م� أ �ك م�ائ س�� �ل�ى أ �ه� إ �د� الل �ه� ع�ب �د� الل ح�م�ن� و�ع�ب الر�

“Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai di sisi Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.”(HR. Muslim no. 2132)

Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,

�د� ج�ل� و�ل �ر� �ا ل �م2 م�ن م�اه� غ�ال م� ف�س� �ق�اس� �ا ال �ن � ف�ق�ل �يك� ال �ن �ك �ا ن �ب � أ م �ق�اس� � ال ام�ة� و�ال �ر� �ر�. ك ب خ�� �ى� ف�أ �ب الن

م8» ف�ق�ال�- وسلم عليه الله صلى- �ك� س� �ن �د� اب ح�م�ن� ع�ب « الر�

“Seorang laki-laki di antara kami ada yang memiliki anak, kemudian dia memberi nama "Al Qasim”. Maka kami berkata, "Kami tidak akan menjuluki kamu dengan Abu Al Qasim dan kami tidak akan memuliakannya. Lalu orang tersebut memberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, "Berilah anakmu nama Abdurrahman." (HR. Bukhari no. 6186)

Kedua nama ini memiliki keunggulan dari segi:

Pertama: Nama ini mengandung sifat penghambaan yang khusus antara hamba dan Allah dibanding dengan nama-nama (yang bersandar pada asmaul husna) lainnya. Karena nama ‘Abdullah mengandung sifat ubudiyah (penghambaan dalam ibadah) dan ini hanya ada kaitannya antara Allah dan hamba. Begitu pula nama ‘Abdurrahman mengandung sifat ubudiyah (penghambaan) karena sifat Ar Rahman adalah sifat rahmat yang khusus antara hamba dan Allah.[9]

Kedua: Nama berupa penghambaan yang terdapat dalam kedua nama tersebut dikhususkan dalam Al Qur’an dari nama-nama terbaik lainnya. Semisal dapat ayat-ayat berikut,

�ه� ن� �م�ا و�أ �د� ق�ام� ل �ه� ع�ب �د�ع�وه� الل �اد�وا ي �ون� ك �ون �ك �ه� ي �ي �دaا ع�ل �ب ل

“Dan bahwasanya tatkala Abdullah (yaitu hamba Allah, Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.” (QS. Al Jin: 19)

�اد� ب ح�م�ن� و�ع� �ذ�ين� الر� ون� ال �م�ش� ض� ع�ل�ى ي ر�� aا األ� �ذ�ا ه�و�ن �ه�م� و�إ �ج�اه�ل�ون� خ�اط�ب �وا ال مaا ق�ال ال� س�

“Dan ‘Ibadurrahman (hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang) itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqon: 63)

�ه� اد�ع�وا ق�ل� و� الل� ح�م�ن� اد�ع�وا أ nا الر� �ي �د�ع�وا م�ا أ �ه� ت م�اء� ف�ل �س� ن�ى األ� �ح�س� ال

Page 6: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)” (QS. Al Isro’: 110)

Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nama pada anak pamannya (Al ‘Abbas) dengan nama Abdullah.

Keempat: Sekitar 300 sahabat Nabi memiliki nama Abdullah.[10]

Urutan kedua: Nama bentuk penghambaan pada asmaul husna lainnya.

Seperti Abdul ‘Aziz, ‘Abdul Malik, Abdur Rozaq, Abdul Halim, dan Abdul Muhsin.[11]

Urutan ketiga: Nama para Nabi dan Rasul Allah

Seperti Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, Isa dan Muhammad, yang intinya ada 25 nama Nabi yang disebutkan dalam Al Qur’an.

Dari Al Mughirah bin Syu'bah ia berkata, “Ketika aku mendatangi kota Najran, para penduduknya bertanya kepadaku: Sesungguhnya kalian membaca "Wahai saudara Harun". Padahal Musa hidup sebelum Isa berjarak beberapa tahun. Maka ketika aku datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku menanyakan hal itu kepada beliau, dan beliau pun menjawab,

�ه�م� �ن �وا إ �ان مbون� ك �س� �ه�م� ي �ائ �ي �ب ن� �أ �ح�ين� ب �ه�م� و�الص�ال �ل ق�ب

“Dulu mereka memberi nama dengan nama-nama para Nabi mereka dan orang-orang shaleh dari kaum sebelum mereka.” (HR. Muslim no. 2135)

Dalil lainnya adalah bolehnya memiliki nama seperti nama “Muhammad”, nama Nabi kita. Bahkan nama inilah yang terbaik dari nama para Nabi ‘alaihimus salam lainnya[12]. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

م�و�ا �س� �اس�م�ى ت � ب �و�ا و�ال �ن �ك �ت�ى ت �ي �ن �ك ب

“Berilah nama dengan namaku (Muhammad) dan janganlah kalian berkunyah dengan kunyahku (Abul Qosim)”. (HR. Bukhari no. 6187 dan Muslim no. 2134)

An Nawawi membawakan hadits-hadits di atas dalam Bab “Larangan berkunyah dengan Abul Qosim dan penjelasan mengenai nama-nama yang disunnahkan.” Hal ini menunjukkan bahwa nama para Nabi dan Rasul adalah di antara nama terbaik yang bisa digunakan.

An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Dari hadits ini sekelompok ulama berdalil bahwa bolehnya memberi nama dengan nama para Nabi ‘alaihimus salaam, bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) ulama. Kecuali Umar bin Khottob yang berpendapat agak sedikit berbeda dalam hal ini.”[13]

Urutan keempat: Nama orang sholeh

Dalil hal ini sudah disebutkan sebelumnya dalam hadits Al Mughirah bin Syu'bah. Yang paling baik digunakan adalah nama para sahabat karena merekalah generasi terbaik dari umat ini. Seutama-utama dari mereka adalah para Khulafaur Rosyidin, yaitu Abdullah (Abu Bakr), ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.

Untuk anak perempuan bisa menggunakan nama istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Ummahatul Mukminin). Menurut pendapat yang kuat, istri yang dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada 11[14] :

1. Khadijah binti Khuwailid;2. Saudah binti Zum’ah;3. Aisyah binti Abu Bakar Ash Shidiq;4. Hafshoh binti Umar bin Al Khaththab;5. Zainab binti Khuzaimah;6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah;7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab;8. Juwairiyyah binti Al Harits;9. Ummu Habibah Romlah binti Abu Sufyan;10. Shofiyah binti Huyai bin Akhthab;11. Maimunah binti Al Harits.[15]

Page 7: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Sebagai contoh yang menggunakan nama sahabat adalah anak-anak Az Zubair bin Al ‘Awam. Beliau menamakan sembilan anaknya dengan nama para sahabat yang mengikuti perang Badar. Anak-anaknya tersebut diberi nama:

1. ‘Abdullah2. Al Mundzir3. ‘Urwah4. Hamzah5. Ja’far 6. Mush’ab7. ‘Ubaidah8. Kholid9. ‘Umar[16]

Urutan kelima: Nama lainnya yang memenuhi syarat dan adab

Syarat dalam pemberian nama sebagai berikut:

Syarat Pertama: Menggunakan bahasa Arab.

Dari sini, menunjukkan terlarangnya menggunakan nama-nama bukan Arab seperti Joseph, Robert, Markus, Julia dan Diana.

Syarat Kedua: Memiliki susunan dan makna yang bagus.

Sehingga dari sini tidak boleh menggunakan nama makruh dan terlarang. Begitu juga terlarang menggunakan nama yang mengandung celaan dan mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya). Oleh karena itu, nama semacam ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai merubahnya.

Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Tidak sepantasnya seseorang memakai nama dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah nama yang menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan sebagai hakikat sifat. Akan tetapi, dihukumi makruh jika seseorang bernama

dengan nama yang langsung menunjukkan sifat dari orang yang diberi nama. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti beberapa nama ke nama yang benar-benar menunjukkan sifat orang tersebut. Beliau melakukan semacam itu bukan maksud melarangnya, akan tetapi untuk maksud ikhtiyar (menunjukkan pilihan yang lebih baik).”[17]

Adab dalam pemberian nama yang sebisa mungkin dilakukan:

Pertama: Menggunakan nama sesuai urutan terbaik yang telah kami jelaskan di awal.

Kedua: Menggunakan nama yang terdiri dari huruf yang jumlahnya sedikit.

Ketiga: Menggunakan nama yang mudah diucapkan di lisan.

Keempat: Memudahkan orang yang mendengar untuk mengingatnya.

Kelima: Menggunakan nama yang cocok dengan orang yang diberi nama dan tidak keluar dari kebiasaan yang dipakai dalam agamanya atau masyarakat sekitarnya.[18]

Dari penjelasan adab tambahan ini menunjukkan bahwa nama yang kurang bagus adalah nama yang terdiri dari banyak kata seperti: Andika Syarifudin Guntur Prasetyo, Linggar Simping Pembayun Retno Utami. Nama ini kurang disukai karena orang-orang akan beranggapan bahwa satu nama ini terdiri dari beberapa orang. Inilah sisi kurang bagusnya untuk nama-nama semisal itu.

DAFTAR PUSTAKA[1] Marootibul Ijma’, hal. 154. [2] Hadits ini dibawakan oleh An Nawawi dalam Bab “Dorongan untuk sedekah meskipun dengan setengah biji kurma atau kalimat yang baik”, juga pada Bab “Barangsiapa membuat contoh yang baik atau yang jelek, atau mengajak pada yang petunjuk atau kesesatan.”[3] Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/588, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379[4] Fathul Baari, 9/589.[5] Tasmiyatul Mawlud, Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, hal. 28, Darul ‘Ashimah, cetakan ketiga, tahun 1416 H[6] Lihat Tuhfatul Mawdud, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Bab VIII, pasal pertama, Maktabah Darul Bayan, 1391 H [7] Tuhfatul Mawdud, hal. 135.

Page 8: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB III NAMA-NAMA YANG TERLARANG UNTUK SI BUAH HATI

Nama-nama yang Diharamkan

Pertama: Setiap nama yang terdapat bentuk penghambaan kepada selain Allah.

Yaitu menggunakan kata ‘Abdul tetapi disandarkan bukan pada nama Allah, namun pada selain Allah. Ini adalah nama yang diharamkan. Seperti: ‘Abdur Rasul (hamba Rasul), ‘Abdu ‘Ali (hamba ‘Ali), ‘Abdul Hasan (hamba Hasan), ‘Abdul Husain (hamba Husain), ‘Abdul Harits (hamba Harits), ‘Abdul ‘Uzza (hamba ‘Uzza), ‘Abdul Masih (hambanya Isa Al Masih), ‘Abdul Ka’bah (hamba Ka’bah).[1]

Juga ada nama-nama penghambaan (memakai Abdul) yang dinilai keliru karena disandarkan bukan pada nama Allah seperti ‘Abdul Maqshud, ‘Abdus Sataar, ‘Abdul Mawjud, ‘Abdul Mursil, ‘Abdul Ma’bud, ‘Abdul Wahid, ‘Abduth Tholib. Nama-nama ini adalah nama-nama yang keliru ditinjau dari dua sisi:

1. Nama-nama yang disandarkan tersebut bukanlah nama Allah karena nama Allah itu tauqifiyah (butuh dalil).

2. Ini adalah penghambaan kepada sesuatu yang Allah tidak menamakan diri-Nya dengan nama tersebut, begitu pula dengan Rasul-Nya.[2]

Kedua: Nama yang khusus untuk nama Allah.

Nama ini hanya khusus untuk Allah Ta’ala, tidak boleh digunakan oleh makhluk. Seperti: Al Kholiq (Sang Pencipta), Ar Rahman (Maha Penyayang), Al Ahad (Maha Esa), Ash Shomad (Bersandarnya seluruh makhluk pada-Nya), Ar Roziq (Maha Pemberi Rizki).

Ketiga: Nama dari barat yang merupakan nama khusus untuk orang kafir.

Contoh nama tersebut: Imanuel, George, Robert, Susan, Alberto, Diana, Susan. Nama-nama seperti ini haram digunakan dan sudah seharusnya untuk diganti dengan nama yang Islami.

Bagaimana mau membedakan muslim dan kafir, jika seorang anak diberi nama dengan nama yang jelas-jelas itu nama orang kafir?

Keempat: Nama yang merupakan nama berhala yang disembah selain Allah.

Seperti: Laata, ‘Uzza, Isaf, Nailah, Hubal.

Kelima: Nama yang bukan menunjukkan yang dinamai, mengandung penyucian diri bahkan kedustaan.

Telah terdapat dalam hadits yang shahih,

�ن� �ع� إ ن �خ� � أ م �د� اس� ن �ه� ع� ج�ل2 الل �س�م�ى ر� �ك� م�ل�ك� ت �م�ال األ

“Sesungguhnya nama yang paling jelek di sisi Allah Ta'ala ialah nama "Malikul Amlak" (Maha Raja Diraja)”. (HR. Bukhari no. 6206 dan Muslim no. 2143)

Nama yang diqiyaskan (dianalogikan) dengan Malikul Amlak adalah Sulthon As Salaathin (Sultan dari segala sultan), Hakimul Haakim (Hakim dari para hakim), Qodhi Al Qudhot (Qodhi dari para Qodhi). Nama-nama ini adalah nama yang haram karena mengandung penyucian diri dan kedustaan.

Yang semisal itu dan diharamkan adalah sayyidunnaas (penghulu para manusia), sayyidul kulli (penghulu seluruh manusia). Sedangkan “Sayyid Waladi Adam” diharamkan untuk digunakan kecuali pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

Dari Muhammad bin 'Amru bin 'Atha dia berkata, "Aku menamai anak perempuanku 'Barrah' (yang artinya: baik). Maka Zainab binti Abu Salamah berkata kepadaku, 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang memberi nama anak dengan nama ini. Dahulu namaku pun Barrah, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

� bوا ال ك �ز� �م� ت ك �ف�س� �ن �ه� أ �م� الل �ع�ل �ه�ل� أ �أ �ر8 ب �ب �م� ال �ك م�ن

Page 9: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Janganlah kamu menganggap dirimu telah suci, Allah Ta'ala-lah yang lebih tahu siapa saja sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu.” Para sahabat bertanya, “Lalu nama apakah yang harus kami berikan kepadanya? “ Beliau menjawab, “Namai dia Zainab.” (HR. Muslim no. 2142)

Keenam: Nama yang merupakan nama-nama setan . Seperti: Khinzab, A’war, Walhan, Ajda’.

Nama-Nama yang Dimakruhkan (Tidak Disukai)

Pertama: Memberi nama dengan nama-nama yang arti dan lafazhnya tidak disukai oleh jiwa, lebih-lebih menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperbagus nama.

Contoh dari nama semacam ini adalah Huyam dan Suham (jenis penyakit pada unta).

Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Tidak sepantasnya seseorang memakai nama dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah nama yang menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan sebagai hakikat sifat.”[3]

Kedua: Memberi nama dengan nama-nama yang menimbulkan syahwat. Seperti: Fatin (wanita penggoda), Syadi atau Syadiyah (biduanita).

Ketiga: Memberi nama dengan nama orang fasiq (yang gemar maksiat). Seperti: Madona, Britney.

Keempat: Memberi nama yang menunjukkan dosa dan maksiat. Seperti: Zhalim.

Kelima: Memberi nama dengan nama-nama orang yang terkenal sombong. Seperti: Fir’aun, Haamaan, Qorun.

Keenam: Memberi nama dengan nama yang tidak memotivasi diri. Seperti: Hazn (sedih), Zahm (sempit).

Ketujuh: Memberi nama dengan nama-nama hewan. Seperti: Himar (keledai), Kalb atau Kulaib (anjing), Bagong.

Kedelapan: Memberi nama dengan nama yang disandarkan pada lafazh “ad diin” dan “al islam”.

Seperti: Muhyiddin (yang menghidupkan agama), Nuruddin (cahaya agama), Dhiyauddin (cahaya agama), Syamsuddin (cahaya agama), Qomaruddin (cahaya agama), Saiful Islam (pedang Islam), Nurul Islam (cahaya Islam).

Penamaan seperti di atas terlarang karena kebesaran kedua lafazh Islam dan Diin. Oleh karena itu mengaitkan nama tersebut pada Islam dan Diin adalah suatu kebohongan. Ambil misal orang yang namanya Muhyiddin, artinya orang yang menghidupkan agama. Pertanyaannya, kapan orang tersebut menghidupkan agama?

An Nawawi rahimahullah tidak suka dipanggil dengan Muhyiddin. Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak suka dipanggil Taqiyuddin (penjaga agama). Beliau berkata, “Keluargaku sudah sering memanggilku seperti itu dan akhirnya panggilan seperti itu tersebar luas.”[4]

Kesembilan: Menggunakan nama yang bersusun (terdiri lebih dari dua kata atau lebih), sehingga menimbulkan kerancuan apakah yang dinamai tersebut satu atau beberapa orang.

Seperti: Muhammad Firdaus, Muhammad Ahmad, Muhammad Haris. Nanti akan dikira bahwa nama-nama ini terdiri dari dua orang, ada Muhammad sendiri, ada Firdaus sendiri. Apalagi jika nama tersebut terdiri dari tiga kata atau bahkan sampai tujuh kata?!

Kesepuluh: Sebagian ulama tidak menyukai memberi nama dengan nama para Malaikat yang khusus bagi mereka. Seperti: Jibril, Mikail, Isrofil. Kecuali Malik,

Page 10: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

nama ini bersekutu antara manusia dan malaikat, dan ada sebagian sahabat yang menggunakan nama Malik.[5]

Sedangkan menamai anak perempuan dengan nama malaikat, ini jelas haram karena ini sama halnya kelakukan orang musyrik yang menjadikan malaikat sebagai anak perempuan Allah.[6]

Kesebelas: Sebagian ulama (di antaranya Imam Malik) tidak menyukai memberi nama dengan nama-nama surat dalam Al Quran, seperti: Yasin, dan Thoha.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

حديث في ذلك ليس صحيح فغير النبي أسماء من وطه يس أن العوام يذكره وأما والر وحم الم مثل الحروف هذه وإنما صاحب عن أثر وال مرسل وال حسن وال صحيح

ونحوها

“Adapun yang biasa disebut oleh orang awam bahwa “Yasin” dan “Thoha” adalah di antara nama-nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu tidaklah benar. Tidak ada satu pun hadits shahih, hadits hasan, hadits mursal atau pun atsar sahabat yang menyatakan demikian. Yasin dan Thoha hanyalah huruf biasa sebagaimana alif laam miim, haamiim, alif laam roo dan semacamnya.”[7]

Mengganti Nama

Jika memang nama tersebut adalah di antara nama yang haram dan tidak disukai, maka hendaknya diganti dengan nama yang baik sesuai syari’at yang sudah kami terangkan dalam tulisan sebelumnya. Dalil mengenai hal ini adalah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengganti nama beberapa sahabat. Perhatikan dalil-dalil berikut ini.

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

�ن� �ى� أ �ب �ان�- عليه الله صلى- الن ك 8ر� وسلم �غ�ي م� ي �س� . اال �يح� �ق�ب ال

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti (merubah) nama yang jelek.” (HR. Tirmidzi no. 2839. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Ibnu 'Umar, ia berkata,

�ن� ول� أ س� �ه� ر� �ر�- عليه الله صلى- الل غ�ي م� وسلم �ة� اس� �ت�» و�ق�ال� ع�اص�ي �ن �ة� أ « ج�م�يل

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengganti nama 'Ashiyah (artinya: wanita yang suka bermaksiat) seraya berkata; "Nama kamu adalah Jamilah (artinya: wanita yang cantik)." (HR. Muslim no. 2139)

Dari Usamah bin Akhdari, ia berkata,

�ن� a أ ج�ال �ق�ال� ر� �ه� ي م� ل ص�ر�� �ان� أ �ف�ر� ف�ى ك �ذ�ين� الن �و�ا ال ت

� ول� أ س� �ه� ر� وسلم- عليه الله صلى- اللول� ف�ق�ال� س� �ه� ر� م�ا- » عليه الله صلى- الل م�ك� وسلم �ا ق�ال�«. اس� �ن ق�ال�. أ م� ص�ر�

� �ل�» أ �ت� ب �ن أع�ة� ر� «. ز�

“Ada seseorang bernama Ashrom, ia bersama sekelompok orang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Ashrom”. Beliau bersabda, “Sekarang namamu berganti menjadi Zur’ah.” (HR. Abu Daud no. 4954. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ashrom artinya terpotong, sedangkan Zur’ah artinya tumbuh.

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah menceritakan kepada kami Hisyam bahwa Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada orang-orang, katanya; telah mengabarkan kepadaku Abdul Hamid bin Jubair bin Syaibah dia berkata; saya duduk di hadapan Sa'id bin Musayyib maka dia menceritakan kepadaku, bahwa kakeknya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan sedih, lalu beliau bertanya; "Siapakah namamu?" Dia menjawab; "Namaku Hazn, " Beliau bersabda,

�ل� �ت� ب �ن ه�ل2 أ س�

Page 11: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Sekarang namamu adalah Sahl." Namun dia berkata; "Tidak, aku tidak akan merubah nama yang pernah di berikan oleh ayahku." Ibnu Musayyib berkata, "Sesudah itu keluarga terus menerus dalam keadaan khuzunah." (HR. Bukhari no. 6193). Ibnu Tiin mengatakan bahwa khuzunah adalah kerasnya akhlaq. Ahli nasab menyebutkan bahwa keturunan Hazn ini terkenal dengan akhlaknya yang keras.[8]

Ibnu Baththol mengatakan,

�ن� �م�ر أ ين� األ� �ح�س� �ت م�اء ب �س� �ير� األ� �غ�ي �ت س�م و�ب �ل�ى اال� �ح�س�ن إ �ه� أ �س� م�ن �ي �و�ج�وب ع�ل�ى ل ال

“Perintah untuk memperbagus nama dan merubah nama menjadi yang lebih baik bukanlah suatu yang wajib.”[9] Namun merubahnya adalah sesuatu yang lebih afdhol (lebih baik), apalagi jika nama tersebut jelas-jelas nama yang haram untuk digunakan.[10]

DAFTAR PUSTAKA

[1] Lihat pembahasan di Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/378.[2] Lihat Tasmiyatul Mawlud, Syaikh Bakr Abu Zaid, hal. 46.[3] Dinukil dari Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 10/577, Darul Ma’rifah, 1379.[4] Lihat Tasmiyatul Mawlud, hal. 54-55.[5] Lihat Al Ishobaah fi Tamyiz Ash Shohabah, 3/338-359. Dinukil dari “Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk yang Dinanti”, Ustadz Abdul Hakim bin Amr Abdat, hal. 169, Darul Qolam.[6] Lihat Tasmiyatul Mawlud, hal. 57.[7] Tuhfatul Mawdud, Ibnul Qayyim, hal. 127, Maktabah Darul Bayan. [8] Lihat Fathul Baari, 10/575.[9] Idem.[10] Pembahasan ini adalah faedah dari tulisan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Tasmiyatul Mawlud.

BAB IV MENGGUNDUL RAMBUT KEPALA BAYIPADA HARI KETUJUH

Pensyariatan Menggundul Rambut Kepala

Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,

�س�م�ى و�ي �ح�ل�ق� و�ي �ع�ه� اب س� �و�م� ي �ه� ع�ن �ح� �ذ�ب ت �ه� �ع�ق�يق�ت ب �ة2 ه�ين ر� � �م غ�ال bل� ك

"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari ‘Ali bin Abu Thalib ia berkata,

« - - اح�ل�ق�ى ف�اط�م�ة� �ا ي و�ق�ال� اة� �ش� ب ن� ال�ح�س� ع�ن� وسلم عليه الله صلى الل�ه� س�ول� ر� ع�ق� .» � ه�م د�ر� �ع�ض� ب و�

� أ ه�مaا د�ر� �ه� ن و�ز� �ان� ف�ك �ه� �ت ن ف�و�ز� ق�ال� aف�ض�ة ع�ر�ه� ش� �ة� �ز�ن ب �ص�د�ق�ى و�ت ه� س�� أ ر�

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengakikahi Hasan dengan seekor kambing." Kemudian beliau bersabda, "Wahai Fatimah, gundullah rambutnya lalu sedekahkanlah perak seberat rambutnya." Ali berkata, "Aku kemudian menimbang rambutnya, dan beratnya sekadar uang satu dirham atau sebagiannya." (HR. Tirmidzi no. 1519. Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan gharib dan sanadnya tidak bersambung. Dan Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Al Husain belum pernah bertemu dengan Ali bin Abu Thalib." Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini telah di-washol-kan/disambungkan oleh Al Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ 1175)

Dari Salman bin ‘Ami Adh-Dhobbi, dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

�ذ�ى األ �ه� ع�ن �م�يط�وا و�أ د�مaا �ه� ع�ن �ه�ر�يق�وا ف�أ ، ع�ق�يق�ة2 � �م �غ�ال ال م�ع�

Page 12: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Pada anak lelaki ada perintah 'aqiqah, maka potongkanlah hewan sebagai akikah dan buanglah keburukan darinya.” (HR. Bukhari no. 5472). Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa “imathotul adza” (membuang keburukan) dalam hadits ini adalah mencukur rambut bayi. (HR. Abu Daud no. 2840. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih, namun hanya maqthu’, yaitu perkataan tabi’in).

Riwayat terakhir ini menunjukkan bahwa mencukur rambut bayi akan membuat bayi tersebut terbebas dari kotoran. Berarti bayi yang tidak dicukur rambutnya adalah kebaikan dari hal tersebut. Renungkanlah!

Aturan dalam Mencukur Rambut Kepala

Pertama: Menggundul rambut kepala disunnahkan dilakukan pada hari ketujuh sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits di atas. Ini berlaku untuk bayi laki-laki dan perempuan karena syariat untuk laki-laki berlaku juga untuk perempuan kecuali jika ada dalil pembeda.

Kedua: Tidak boleh mencukur sebagian kepala saja dan meninggalkan sebagian lainnya, disebut qoza’. Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,

ع� - - �ق�ز� ال ع�ن� �ه�ى ن وسلم عليه الله صلى الل�ه� ول� س� ر� �ن� أ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qoza’.” (HR. Bukhari no. 5921 dan Muslim no. 2120)

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar mengatakan,

. - ق�ال� - ع� �ق�ز� ال و�م�ا �اف�ع� �ن ل ق�ل�ت� ق�ال� ع� �ق�ز� ال ع�ن� �ه�ى ن وسلم عليه الله صلى الل�ه� ول� س� ر� �ن� أ. �ع�ض2 ب ك� �ر� �ت و�ي �ى8 الص�ب س�

� أ ر� �ع�ض� ب �ح�ل�ق� ي

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qoza’.” Aku (Umar bin Nafi’) berkata pada Nafi’, “Apa itu qoza’?” Nafi’ menjawab, “Qoza’ adalah menggundul sebagian kepala anak kecil dan meninggalkan sebagian lainnya.” (HR. Muslim no. 2120)

Definisi qoza’ sebagaimana yang diterangkan oleh Nafi’ di atas, yaitu menggundul sebagian kepala saja dan meninggalkan yang lainnya secara mutlak. Inilah yang dipilih oleh An Nawawi.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa qoza’ itu dimakruhkan jika rambut yang digundul tempatnya berbeda-beda (misalnya: depan dan belakang gundul, bagian samping tidak gundul, pen) kecuali jika dalam kondisi penyembuhan penyakit dan semacamnya. Yang dimaksud makruh di sini adalah makruh tanzih (artinya: sebaiknya ditinggalkan). ... Madzhab Syafi’iyah melarang qoza’ secara mutlak termasuk laki-laki dan perempuan.”[1]

Bersedekah Seberat Timbangan Rambut dengan Perak

Dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib di atas terdapat pelajaran untuk bersedekah dari rambut bayi yang telah dicukur (digundul). Caranya adalah rambut bayi tersebut ditimbang, setelah itu sedekah dengan perak sesuai dengan hasil timbangan tadi, atau boleh pula sedekah dengan uang seharga perak. Misalnya berat rambut yang telah digundul adalah 1 gram, berarti sedekahnya adalah dengan 1 gram perak. Atau boleh pula dengan uang seharga 1 gram perak tadi. Misalnya harga 1 gram perak ketika itu adalah Rp. 5.650[2], berarti sedekahnya adalah dengan Rp. 5.650,-. Sedekah ini diserahkan kepada fakir miskin yang membutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 14/101, Dar Ihya’ At Turots, 1392. [2] Ini harga perak yang kami ketahui infonya dari pedagang emas-perak saat kami membuat tulisan ini.

Page 13: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Gundul Kepala untuk Bayi

Tanya: Apakah ketentuan menggundul kepala bayi itu berlaku untuk bayi laki-laki dan perempuan ataukah hanya berlaku untuk bayi laki-laki saja? Kapankah menggundul ini dilakukan?

Jawab:

Pada asalnya menggundul kepala bayi adalah suatu yang dianjurkan. Namun apakah hanya berlaku untuk laki-laki ataukah juga berlaku untuk perempuan maka ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Insya Allah pendapat yang benar ketentuan ini berlaku untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan dengan dua pertimbangan:

[Pertimbangan pertama]

Dalam bahasa arab akikah adalah istilah untuk rambut yang ada pada bayi saat dilahirkan sebagaimana yang dikatakan oleh dua orang pakar bahasa Arab yaitu al Asma’i dan Ibnu Qutaibah. Kambing yang disembelih untu bayi disebut akikah karena ketika itu rambut bayi digundul. Menimbang realita bahwa bayi perempuan itu diakikahi maka konsekuensinya rambut kepalanya juga harus digundul.

[Pertimbangan kedua]

Dalam hadits disebutkan,

« - �ه� - �ع�ق�يق�ت ب �ه�ن2 ت م�ر� � �م غ�ال bل� ك �ق�ول� ي �ان� ك وسلم عليه الله صلى الل�ه� �ى� �ب ن �ن� أ ة� م�ر� س� ع�ن�م�ى �س� و�ي �ذ�ى األ �ه� ع�ن �م�اط� و�ي �ع�ه� اب س� �و�م� ي �ه� ع�ن �ح� �ذ�ب .» ت

Dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bayi laki-laki itu tergadai dengan akikahnya. Akikah tersebut disembelih pada hari ketujuh, dihilangkan kotoran darinya dan diberi nama.” (HR. Ahmad no 20201, sanadnya shahih menurut Syaikh Syu’aib al Arnauth).

Para ulama menafsirkan ‘dihilangkan kotoran darinya’ dengan menggundul kepala. Sebagaimana bayi perempuan dianalogkan dengan bayi laki-laki dalam masalah diakikahi pada hari ketujuh maka bayi perempuan juga digundul sebagaimana bayi laki-laki karena illah/sebab hukumnya adalah sama.Diriwayatkan dengan sanad yang mursal bahwa Fathimah menggundul kepala al Hasan, al Husain, Zainab dan Umm Kultsum.

صلى : الله رسول بنت فاطمة وزنت قال أنه أبيه عن علي بن محمد بن جعفر عنفضة ذلك بوزن فتصدقت كلثوم أم و زينب و حسين و حسن شعر سلم و عليه الله

Dari Ja’far bin Muhammad bin Ali dari ayahnya, Fathimah binti Rasulillah menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab dan Umm Kultsum lalu bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya. (HR Baihaqi dalam Syuabul Iman no 8629).

Jadi bayi perempuan tidaklah beda dengan bayi laki-laki dalam hal ini selain dalam masalah kadar akikah. Untuk laki-laki dua ekor kambing sedangkan untuk perempuan seekor kambing karena adanya kesamaan illah antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan.

Sedangkan waktu pelaksaan menggundul bayi adalah sama dengan waktu akikah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yaitu hari ketujuh.

Page 14: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB V SUNNAH AQIQAH BAGI SI BUAH HATI

Pengertian Aqiqah

Mengenai pengertian aqiqah disebutkan dalam kitab-kitab para ulama –semisal dalam kitab fiqh Syafi’iyah-, yaitu aqiqah berasal dari kata ( bع�ق� ي .(ع�ق� Secara bahasa, aqiqah adalah sebutan untuk rambut yang berada di kepala si bayi ketika ia lahir. Sedangkan secara istilah, aqiqah berarti sesuatu yang disembelih ketika menggundul kepala si bayi. Aqiqah dinamakan dengan sebabnya karena menyembelihnya berarti (bع�ق� yaitu memotong, sedangkan rambut kepala si ,(يbayi dicukur pula ketika itu.[1]

Pensyariatan Aqiqah

Aqiqah adalah sesuatu amalan yang disyari’atkan oleh kebanyakan ulama semacam Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, para fuqoha tabi’in, dan para ulama di berbagai negeri. Dalil pensyariatan aqiqah adalah sebagai berikut.

Pertama: Hadits Salman bin ‘Amir.

« - - � �م �غ�ال ال م�ع� وسلم عليه الله صلى الل�ه� ول� س� ر� ق�ال� ق�ال� 8ى8 الض�ب ع�ام�ر� �ن� ب �م�ان� ل س� ع�ن��ذ�ى « األ �ه� ع�ن �م�يط�وا و�أ د�مaا �ه� ع�ن �ه�ر�يق�وا ف�أ �ه� ع�ق�يق�ت

“Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya." (HR. Bukhari no. 5472)

Kedua: Hadits Samuroh bin Jundub.

« - - �ة2 ه�ين ر� � �م غ�ال bل� ك ق�ال� وسلم عليه الله صلى الل�ه� س�ول� ر� �ن� أ �د�ب� ن ج� �ن� ب ة� م�ر� س� ع�ن��س�م�ى « و�ي �ح�ل�ق� و�ي �ع�ه� اب س� �و�م� ي �ه� ع�ن �ح� �ذ�ب ت �ه� �ع�ق�يق�ت ب

Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada

hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ketiga: Hadits –Ummul Mukminin- ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

�ع�ق�يق�ة� ال ع�ن� �وه�ا �ل أ ف�س� ح�م�ن� الر� �د� ع�ب �ت� �ن ب ح�ف�ص�ة� ع�ل�ى د�خ�ل�وا �ه�م� ن� أ م�اه�ك� �ن� ب �وس�ف� ي ع�ن�

- - � �م �غ�ال ال ع�ن� ه�م� م�ر�� أ وسلم عليه الله صلى الل�ه� ول� س� ر� �ن� أ �ه�ا ت �ر� ب خ�

� أ ة� �ش� ع�ائ �ن� أ �ه�م� ت �ر� خ�ب� ف�أ

. �د�ة� ي �ر� و�ب ز� �ر� ك �م8 و�أ ع�ل�ى} ع�ن� �اب� �ب ال و�ف�ى ق�ال� اة2 ش� �ة� �ج�ار�ي ال و�ع�ن� �ان� �ت �اف�ئ م�ك �ان� ات ش� . ق�ال� �اس� ع�ب �ن� و�اب ع�ام�ر� �ن� ب �م�ان� ل و�س� �س� �ن و�أ ع�م�ر�و �ن� ب �ه� الل �د� و�ع�ب ة� �ر� ي ه�ر� �ى ب

� و�أ ة� م�ر� و�س� . ب�ى

� أ �ن� ب ح�م�ن� الر� �د� ع�ب �ت� �ن ب ه�ى� و�ح�ف�ص�ة� ص�ح�يح2 ح�س�ن2 ح�د�يث2 ة� �ش� ع�ائ ح�د�يث� ع�يس�ى �و �ب أ. الص8د8يق� �ر� �ك ب

Dari Yusuf bin Mahak, mereka pernah masuk menemui Hafshah binti 'Abdirrahman. Mereka bertanya kepadanya tentang hukum aqiqah. Hafshah mengabarkan bahwa 'Aisyah pernah memberitahu dia, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyembelih dua ekor kambing yang hampir sama (umurnya[2]) untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan."

Ia berkata, "Dalam bab ini ada hadits serupa dari Ali dan ummu Kurz, Buraidah, Samurah, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru, Anas, Salman bin Amir dan Ibnu Abbas." Abu Isa berkata, "Hadits 'Aisyah ini derajatnya hasan shahih, sementara maksud Hafshah dalam hadits tersebut adalah (Hafshah) binti 'Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq." (HR. Tirmidzi no. 1513. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)

Keempat: Hadits Ibnu ‘Abbas.

- - �ن� ي �ح�س� و�ال ن� ال�ح�س� ع�ن� ع�ق� وسلم عليه الله صلى الل�ه� ول� س� ر� �ن� أ �اس� ع�ب �ن� اب ع�ن�. ا aش� �ب ك ا aش� �ب ك

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor gibas (domba jantan).” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih[3])

Page 15: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Hukum Aqiqah

Setelah kita melihat hadits-hadits tentang pensyariatan aqiqah di atas, lantas apakah hukum aqiqah itu sendiri? Wajib ataukah sunnah?

Mengenai masalah ini, para ulama terdapat silang pendapat.

Berdasarkan hadits,

د�مaا �ه� ع�ن �ه�ر�يق�وا ف�أ �ه� ع�ق�يق�ت � �م �غ�ال ال م�ع�

“Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya" (HR. Bukhari no. 5472), juga berdasarkan hadits lainnya, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah itu wajib semacam ulama Zhohiriyah (Daud, Ibnu Hazm, dkk), dan Al Hasan Al Bashri. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum aqiqah itu tidak wajib dan juga tidak sunnah. –Demikian dikatakan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Author-[4]

Hadits dari jumhur ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah berpegang pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

�ف�ع�ل� �ي ف�ل �د�ه� و�ل ع�ن� �س�ك� �ن ي �ن� أ �ح�ب� أ م�ن�

“Barangsiapa yang senang untuk mengaqiqahi anaknya, maka lakukanlah.”[5] Hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak wajib karena di sini dikatakan boleh memilih. Dalil ini adalah indikasi yang memalingkan perintah yang disebutkan dalam hadits-hadits yang memerintahkan aqiqah kepada perintah sunnah.[6]

Lalu bagaimana dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya yang menyatakan bahwa hukum aqiqah tidak wajib dan tidak pula sunnah?

Ibnul Mundzir –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath- mengatakan, “Ulama Hanafiyah (ashabur ro’yi) yang mengingkari sunnahnya aqiqah telah menyelisihi hadits-hadits shahih mengenai hal ini. Sebagian mereka berdalil dengan hadits riwayat Imam Malik dalam Al Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari ayahnya, ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai aqiqah. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

�ع�ق�وق ال Rح�ب� أ ال�

“Aku tidak menyukai aqiqah”, seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai penamaan aqiqah. Lalu beliau bersabda,

�ف�ع�ل� �ي ف�ل �ه� ع�ن �س�ك �ن ي �ن� أ ح�ب�� ف�أ �د و�ل �ه� ل �د� و�ل م�ن�

“Siapa saja yang dilahirkan anak untuknya, maka ia suka dinusuk (diaqiqahi), maka lakukanlah.”[7]

Dalam riwayat Sa’id bin Manshur, dari Sufyan, dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari pamannya, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai aqiqah sedangkan beliau di mimbar di Arofah, lalu beliau menyebutkan semacam tadi.” Hadits ini pun memiliki penguat dari hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dikeluarkan oleh Abu Daud. Dua hadits ini dikuatkan satu dan lainnya. Abu ‘Umr mengatakan, “Aku tidak mengetahui hadits tersebut marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dari dua riwayat ini.” Al Bazzar dan Abusy Syaikh juga telah mengeluarkan hadits tentang aqiqah dari Abu Sa’id, namun hadits tersebut bukanlah jadi hujjah bagi yang menyatakan tidak disyari’atkannya aqiqah. Bahkan akhir hadits jelas-jelas menetapkan disyariatkannya aqiqah. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits adalah lebih utama menyebut aqiqah dnegan nasikah atau dzabihah , dan dilarang menyebutnya dengan aqiqah. Telah dinukil dari Ibnu Abid Dam dari beberapa sahabat mengenai penamaan semacam ini sebagaimana tidak disukai pula menyebut Isya dengan ‘atamah.”[8]

Page 16: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Kesimpulan: Aqiqah adalah suatu yang disyariatkan tidak sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah. Hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Sedangkan kami sendiri lebih cenderung pada pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah. Namun sudah sepantasnya bagi orang yang mampu yang diberi kelebih rizki oleh Allah Ta’ala tidak meninggalkan syari’at yang mulia ini.

Sayyid Sabiq -rahimahullah- memiliki perkataan yang amat baik. Beliau berkata, “Hukum aqiqah adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan), walaupun si ayah (yang membiayai aqiqah) adalah orang yang dalam keadaan sulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap melakukan aqiqah , begitu pula sahabatnya. Telah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing. Sedangkan ulama yang mewajibkan aqiqah adalah Al Laits dan Daud Azh Zhohiri.”[9]

Sayyid Sabiq menyatakan bahwa jika si ayah dalam keadaan sulit sekalipun hendaklah melakukan aqiqah. Apa yang beliau utarakan senada dengan perkataan Imam Ahmad -rahimahullah-. Imam Ahmad pernah berkata,

�ة� . ن س� �اء� إح�ي ، �ه� �ي ع�ل �ه� الل �خ�ل�ف� ي �ن� أ ج�و�ت ر� ، �ق�ر�ض� ت ف�اس� ، bع�ق� ي م�ا �د�ه� ع�ن �ن� �ك ي �م� ل إذ�ا

“Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi (buah hatinya), maka hendaklah ia mencari utangan. Aku berharap ia mendapatkan ganti di sisi Allah karena ia berarti telah menghidupkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[10]

Manfaat Aqiqah

Dalam hadits disebutkan,

�ه� �ع�ق�يق�ت ب �ة2 ه�ين ر� � �م غ�ال bل� ك

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya.”

Para ulama berselisih pendapat mengenai maksud hadits di atas. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jika seorang anak tidak diaqiqahi, dia tidak akan memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya.[11]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin juga pernah menjelaskan maksud hadits di atas. Beliau –rahimahullah- mengatakan,

“Sebagian ulama mengartikan “setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya” bahwasanya aqiqah adalah sebab anak tersebut terlepas dari kegelisahan dalam maslahat agama dan dunianya. Hatinya akan begitu lapang setelah diaqiqahi. Jika seorang anak tidak diaqiqahi maka keadaannya akan selalu gelisah layaknya orang yang berutang dan menggadaikan barangnya. Inilah pendapat yang lebih tepat tentang maksud hadits tersebut. Jadi, aqiqah adalah sebab seorang anak akan mendapatkan kemaslahatan, hatinya pun tidak begitu gelisah dan semakin mudah dalam aktivitasnya.”[12]

Siapa yang Dituntut Melaksanakan Aqiqah?

Aqiqah dituntut pada ayah selaku penanggung nafkah. Aqiqah ini diambil dari harta ayah dan bukan harta anak. Selain ayah boleh menanggung biaya aqiqah, namun dengan seizin ayahnya.

Sebagaimana disebutkan dalam Subulus Salam, Ash Shon’ani -rahimahullah- mengatakan, “Menurut Imam Asy Syafi’i, aqiqah itu dituntut dari setiap orang yang menanggung nafkah si bayi. Sedangkan menurut ulama Hambali, aqiqah itu dituntut khusus dari ayah, kecuali jika ayahnya tersebut mati atau terhalang tidak bisa memenuhi aqiqah.”[13]

Dalam masalah ini berarti ada perselisihan pendapat, siapakah yang dituntut melaksanakan aqiqah. Namun tentu saja yang utama adalah ayah yang menanggung biaya ini, apalagi ayahlah yang sudah jelas penanggung nafkah keluarga. Sehingga kurang tepat jika aqiqah dibebankan pada anak atau ibu yang sama sekali bukan orang yang bertanggung jawab mencari nafkah keluarga. Wallahu a’lam.

Page 17: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Lalu bagaimanakah dengan aqiqah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap cucunya –Al Hasan dan Al Husain-?

Dijawab oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini -rahimahullah-, “Aku jawab bahwa yang dimaksud dengan aqiqah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada keduany adalah perintah beliau kepada kedua orang tuanya, atau boleh jadi pula beliau yang memberikan hewan yang akan dijadikan aqiqah, atau barangkali lagi Al Hasan dan Al Husain menjadi tanggungan nafkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedua orang tua mereka adalah orang yang kurang mampu. Namun jika aqiqah itu diambil dari harta anak, maka itu tidak dibolehkan bagi wali (orang tua) untuk melakukannya. Karena aqiqah itu termasuk pemberian cuma-cuma (tabarru’) dari orang tua sehingga tidak boleh hewan aqiqah diambil dari harta anak. ”[14]

Bagaimana Jika Tidak Mampu Aqiqah?

Aqiqah tentu saja melihat pada kemampuan orang yang bertanggung jawab untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman,

�م� �ط�ع�ت ت اس� م�ا �ه� الل �ق�وا ف�ات

“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16).

Asy Syarbini –rahimahullah- menjelaskan, “Jika orang tua tidak mampu melakukan aqiqah pada saat kelahiran, namun setelah itu ia mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah sebelum hari ketujuh kelahiran, maka ketika itu ia disunnahkan melaksanakan aqiqah. Jika orang tua mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah setelah hari ketujuh dan masih tersisa sedikit waktu istri mengalami nifas, maka sebagian ulama belakangan tidak memerintahkan untuk dilaksanakan aqiqah. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menganjurkan dilaksanakannya aqiqah jika masih dalam masa nifas, inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al Anwar.”[15]

Lalu bagaimana jika bayi sebenarnya mampu diaqiqahi ketika lahir, namun sampai dewasa, ia belum juga diaqiqahi?

Menurut ulama Syafi’iyah, orang tua yang mampu mengaqiqahi, ia tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa. Jika sampai dewasa, anak tersebut belum juga diaqiqahi, maka ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri. Sedangkan sebagian orang yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat sebagai Nabi, dalam Al Majmu’ disebut sebagai pendapat yang batil.[16]

Sebagaimana pula dikatakan dalam salah satu kitab ulama Syafi’iyah, Kifayatul Akhyar, “Riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Nabi adalah riwayat yang dho’if (lemah) dari setiap jalannya.”[17]

Pendapat yang bagus tentang masalah ini diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan kepada beliau –rahimahullah-, “Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?”

Beliau -rahimahullah- memberikan jawaban –di antaranya-,

“Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.

Sedangkan jika orang tuanya mampu melaksanakan aqiqah ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.”[18]

Intinya, untuk masalah ini kembali ke kemampuan sang ayah ketika bayi itu lahir. Jika ayahnya di hari kelahiran termasuk orang yang tidak mampu untuk melaksanakan aqiqah, maka aqiqahnya jadi gugur termasuk pula ketika ia

Page 18: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

dewasa. Sedangkan jika sang ayah adalah orang yang mampu ketika itu, maka sampai dewasa pun si anak dituntut untuk diaqiqahi. Adapun jika si anak mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, maka ini pendapat yang perlu dikritisi. Karena Imam Asy Syafi’i sendiri tidak memerintahkan agar si anak mengaqiqahi dirinya sendiri[19].Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Lihat Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al Minhaj (Kitab Syarh Minhaj Ath Tholibin), Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, 4/390, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H. [2] Sebagaimana keterangan dari Sayyid Sabiq dalam catatan kaki kitab Fiqh Sunnah, 3/327, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut-Lebanon. [3] Namun pembahasan mengenai hadits ini -insya Allah- akan disinggung selanjutnya pada pembahasan “hewan yang diaqiqahi” dalam tulisan serial kedua.[4] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 8/154, Mawqi’ Al Waroq.[5] HR. Ahmad 2/182. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan.[6] Nailul Author, 8/154.[7] HR. Ahmad 5/430 dan Abu Daud 2842. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan. [8] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/588, Darul Ma’rifah, 1379.[9] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 3/326, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut.[10] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr, cetakan pertama, 1405 [11] Subulus Salam Syarh Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, Ta’liq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, 4/337, Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1427 H. [12] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 95, no. 19. [13] Idem.[14] Mughnil Muhtaj, 4/391. [15] Idem.[16] Lihat Mughnil Muhtaj, 4/391.

[17] Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad bin Al Husaini Al Hushni Ad Dimasyqi Asy Syafi’i, hal. 705, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1422 H.[18] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234, no. 6[19] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.

Page 19: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB VI JUMLAH DAN JENIS HEWAN AQIQAH

Perselisihan Ulama Mengenai Jumlah Hewan yang Diaqiqahi

Apakah yang disembelih ketika aqiqah adalah satu ekor kambing atau dua ekor, di sini terdapat silang pendapat di antara para ulama. Imam Malik berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan diaqiqahi dengan masing-masing satu kambing. Adapun Imam Asy Syafi’i, Abu Tsaur, Abu Daud, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa laki-laki hendaknya diaqiqahi dengan dua ekor kambing, sedangkan perempuan dengan satu ekor kambing.[1]

Perselisihan di atas berasal dari perbedaan dalil dalam masalah tersebut. Ada beberapa dalil yang digunakan, yaitu sebagai berikut.

Dalil pertama: Hadits Ummu Kurz Al Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha.

�م8 ع�ن� ز� أ �ر� �ة� ك �ي �ع�ب �ك م�ع�ت� ق�ال�ت� ال ول� س� س� �ه� ر� �ق�ول�- عليه الله صلى- الل ي ع�ن�» وسلم

� �م �غ�ال �ان� ال ات �ان� ش� �ت �اف�ئ �ة� و�ع�ن� م�ك �ج�ار�ي اة2 ال �و ق�ال�«. ش� �ب م�ع�ت� د�او�د� أ �ح�م�د� س� �ان� ق�ال� أ �ت �اف�ئ م�ك

ى�� �ان� أ �ت �و�ي ت و� م�س�

� . أ �ان� �ت م�ق�ار�ب

Dari Ummu Kurz Al Ka'biyyah, ia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu wa 'alaihi wa sallam bersabda, "Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Abu Daud berkata, saya mendengar Ahmad berkata, “Mukafiatani yaitu yang sama atau saling berdekatan.” (HR. Abu Daud no. 2834 dan Ibnu Majah no. 3162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalil kedua: Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

�ن� ول� أ س� �ه� ر� ه�م�- عليه الله صلى- الل م�ر�� أ � ع�ن� وسلم �م �غ�ال �ان� ال ات �ان� ش� �ت �اف�ئ و�ع�ن� م�ك

�ة� �ج�ار�ي اة2 ال ش�

“Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka, untuk anak laki-laki aqiqah dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu

ekor kambing.” (HR. Tirmidzi no. 1513. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dua hadits ini dengan jelas membedakan antara aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing.

Dalil ketiga: Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma

�ن� ع�ن� �اس� اب �ن� ع�ب ول� أ س� �ه� ر� ع�ق�- عليه الله صلى- الل ن� ع�ن� وسلم �ح�س� �ن� ال ي �ح�س� و�الا aش� �ب ا. ك aش� �ب ك

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor domba.” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Akan tetapi riwayat yang menyatakan dengan dua kambing, itu yang lebih shahih)

Namun dalam riwayat An Nasai lafazhnya,

�ن� ع�ن� �اس� اب ول� ع�ق� ق�ال� ع�ب س� �ه� ر� �ه� ص�ل�ى الل �ه� الل �ي �م� ع�ل ل ن� ع�ن� و�س� �ح�س� �ن� ال ي �ح�س� و�ال

ض�ي� �ه� ر� �ه�م�ا الل �ن� ع�ن ي �ش� �ب �ك �ن� ب ي �ش� �ب ك

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing dua ekor domba.” (HR. An Nasai no. 4219. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadit ini shahih)

Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud, itulah yang jadi pegangan Imam Malik untuk menyatakan bahwa aqiqah anak laki-laki sama dengan anak perempuan yaitu dengan satu ekor kambing. Manakah yang tepat dalam masalah ini?

Pendapat Terkuat dalam Masalah Jumlah Hewan Aqiqah

Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud di atas, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah mengatakan,

Page 20: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

األصح وهو. كبشين كبشين: النسائي رواية في لكن صحيح

“Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud itu shahih. Akan tetapi dalam riwayat An Nasai dikatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih masing-masing dua kambing. Inilah riwayat yang lebih shahih.”[2]

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan,

�ح�اد�يث و�ه�ذ�ه� �ل�ج�م�ه�ور� ح�ج�ة األ� �ف�ر�ق�ة ف�ي ل �ي�ن الت م ب �غ�ال� �ة ال �ج�ار�ي و�اء ه�م�ا م�ال�ك و�ع�ن� ، و�ال س�Rع�ق� �لR ع�ن� ف�ي �ه�م�ا و�اح�د ك اة م�ن �ج� ، ش� ت �ه� و�اح� �م�ا ل �ن�" ج�اء� ب �يR أ �ب �ه� الل�ه ص�ل�ى الن �ي �م� ع�ل ل و�س�

ي�ن ال�ح�س�ن ع�ن� ع�ق� �ح�س� ا و�ال aش� �ب ا ك aش� �ب ه�" ك ج� �خ�ر� �و أ �ب ج�ه� ف�ق�د� ف�يه� ح�ج�ة و�ال� د�او�د� أ �خ�ر� �و أ �ب أ�خ ي �ر�م�ة ع�ن� آخ�ر و�ج�ه م�ن� الش� �ن ع�ن� ع�ك �ب �ف�ظ� ع�ب�اس ا �ل �ن�" ب ي �ش� �ب �ن� ك ي �ش� �ب ج�" ك �خ�ر� �ضaا و�أ �ي أ

�ن ع�م�رو ط�ر�يق م�ن� ع�ي�ب ب �يه� ع�ن� ش� ب� �له ج�دRه ع�ن� أ �ق�د�ير و�ع�ل�ى ، م�ث �وت ت �ب �ة ث ب�ي ر�و�اي

� أ�س� د�او�د� �ي �ح�د�يث ف�ي ف�ل دR م�ا ال �ر� �ه� ي �ح�اد�يث ب �و�ار�د�ة األ� �م�ت �ص�يص ف�ي ال �ن �ة ع�ل�ى الت �ي �ن �ث الت

� م �غ�ال� �ل �ل� ، ل �ته ب �ن� غ�اي �د�لR أ �ص�ار ج�و�از ع�ل�ى ي ق�ت �ك� و�ه�و� ، اال� �ذ�ل �ن� ، ك �ع�د�د ف�إ �س� ال �ي طaا ل ر� �ل� ش� بRح�ب� ت م�س�

“Hadits-hadits ini (semacam hadits Ummu Kurz, -pen) menjadi argumen yang kuat bagi jumhur (mayoritas) ulama dalam membedakan aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Namun Imam Malik berpendapat bahwa aqiqah pada keduanya itu sama. Imam Malik beralasan dengan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud, namun tidak bisa dijadikan argumen. Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Abusy Syaikh dari jalur lain dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas dengan lafazh “masing-masing dua ekor kambing”. Dikeluarkan pula dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya riwayat yang semisalnya. Berdasarkan riwayat Abu Daud tadi, hadits tersebut bukanlah menafikan hadits-hadits mutawatir yang menjelaskan dengan tegas bahwa aqiqah bagi anak laki-laki adalah dengan dua ekor kambing. Akan tetapi riwayat tersebut menunjukkan bolehnya aqiqah kurang dari dua ekor kambing. Itulah maksudnya. Sehingga dari sini, jumlah kambing (yaitu dua ekor kambing bagi laki-laki, pen) bukanlah syarat dalam aqiqah, namun hanya sekedar disunnahkan (dianjurkan) saja.”[3] Hal yang sama dikatakan pula oleh Ash Shon’ani dalam Subulus Salam[4].

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,

� ع�ن� م �غ�ال� �ة� و�ع�ن� ، ال �ج�ار�ي اة2 ال �ر� ق�و�ل� ه�ذ�ا. ش� �ث ك� �ين� أ �ل �ق�ائ �ه�ا ال �ه� ب �ن� ق�ال� و�ب �اس� اب ، ع�ب

ة� �ش� اف�ع�يb ، و�ع�ائ ح�اق� ، و�الش� �س� �و ، و�إ �ب �و�ر� و�أ �ان�. ث �ن� و�ك �ق�ول ع�م�ر� اب اة2: ي اة2 ش� � ع�ن� ش� م �غ�ال� ال�ة� �ج�ار�ي . و�ال

“Aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan boleh sama, yaitu dengan satu ekor kambing. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Inilah yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Asy Syafi’i, Ishaq dan Abu Tsaur. Bahkan Ibnu ‘Umar sendiri pernah berkata, “Aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan masing-masing dengan seekor kambing.”[5]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

الله كان إذا لكن ، المقصود بها وحصل أجزأت واحدة شاة إال ، اإلنسان يجد لم فإنأفضل فاالثنتان ، أغناه قد

“Jika seseorang tidak mendapati hewan aqiqah kecuali satu saja, maka maksud aqiqah tetap sudah terwujud. Akan tetapi, jika Allah memberinya kecukupan harta, aqiqah dengan dua kambing (untuk anak laki-laki) itu lebih afdhol.”[6]

Para ulama yang duduk di komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ menerangkan,

“Disunnahkan aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing yang semisal, sedangkan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Anak laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang semisal, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing” (HR. At Tirmidzi 794, Ahmad 5/40. At Tirmidzi menshahihkannya).

Ada hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing satu ekor kambing” (HR. Tirmidzi 794, Ahmad 5/39). Namun dalam riwayat Abu Daud dan An Nasai dikatakan bahwa aqiqah yang dilakukan pada Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan dua ekor kambing. Inilah yang lebih afdhol. Adapun jika dikatakan sah dengan satu ekor kambing, jawabannya tetap sah sebagaimana berlaku pada daging sembelihan lainnya.[7]

Page 21: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa anak perempuan tidak perlu diaqiqahi sebagaimana yang dipegang oleh Al Hasan Al Bashri dan Qotadah[8] adalah pendapat yang lemah karena bertentangan dengan dalil yang mensyariatkan aqiqah bagi anak perempuan dengan seekor kambing.

Kesimpulan, aqiqah pada anak laki-laki dianjurkan dengan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing. Namun jika tidak mampu, boleh pula bagi anak laki-laki dengan satu ekor kambing dan itu dianggap sah. Wallahu a’lam.

Apakah Aqiqah Boleh dengan Selain Kambing?

Jika memperhatikan dalil-dalil yang membicarakan aqiqah, maka kita dapati bahwa aqiqah dikhususkan dengan kambing atau domba, tidak dengan hewan lainnya. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ummu Kurz,

� ع�ن� �م �غ�ال �ان� ال ات �ان� ش� �ت �اف�ئ �ة� و�ع�ن� م�ك �ج�ار�ي اة2 ال ش�

"Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Dan juga dapat kita lihat dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.

Sedangkan hadits muthlaq semacam dari Salman bin ‘Amir yang dikeluarkan dalam Shahih Bukhari,

� م�ع� �م �غ�ال �ه� ال �ه�ر�يق�وا ع�ق�يق�ت �ه� ف�أ �م�يط�وا د�مaا ع�ن �ه� و�أ �ذ�ى ع�ن األ

“"Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya", hadits muthlaq ini dibawa kepada hadits muqoyyad, yaitu semacam pada hadits Ummu Kurz. Sehingga dari sini, tidak boleh aqiqah kecuali dengan kambing saja. Tidak boleh dengan sapi, unta, atau bahkan ayam.

Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini[9], berbeda dengan madzhab Hanafi, Hambali dan Syafi’iyah yang membolehkan dengan selain kambing, yaitu masih dibolehkan dengan al an’am (sapi dan unta)[10]. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hewan Aqiqah Terlepas dari ‘Aib

Hewan yang diaqiqahi tidak sah jika memiliki ‘aib, hewan tersebut harus terlepas dari ‘aib. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

�ا bه�ا ي ي� �ذ�ين� أ �وا ال �ف�ق�وا آم�ن �ن �ات� م�ن� أ 8ب �م� م�ا ط�ي �ت ب �س� �ا و�م�م�ا ك ن ج� �خ�ر� �م� أ �ك ض� م�ن� ل و�ال األر�

�م�م�وا �ي �يث� ت �خ�ب �ه� ال �ف�ق�ون� م�ن �ن �م� ت ت �آخ�ذ�يه� و�ل�س� �ال ب �ن� إ �غ�م�ض�وا أ �م�وا ف�يه� ت �ن� و�اع�ل �ه� أ �ي� الل غ�ن(٢٦٧) ح�م�يد2

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqarah: 267)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

bه�ا ي� �اس� أ �ن� الن �ه� إ 8ب2 الل � ط�ي �ل� ال �ق�ب � ي �ال aا إ 8ب ط�ي

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali dari yang thoyyib” (HR. Muslim no. 1015). Thoyyib di sini bermakna selamat dari kejelekan (cacat)[11].

Ketentuan Pemilihan Hewan Aqiqah

1. Hewan aqiqah boleh jantan atau betina, namun yang lebih afdhol adalah jantan.

2. Syarat hewan aqiqah sama dengan hewan udhiyah (hewan qurban). 3. Lebih bagus memilih hewan aqiqah yang berwarna putih sebagaimana

ketentuan dalam hewan qurban. 4. Dianjurkan memilih yang gemuk, yang besar, dan yang paling bagus. 5. Jika yang disembelih adalah dua ekor kambing untuk anak laki-laki,

maka hendaklah dua kambing tersebut semisal (di antaranya dalam umur, -pen[12]).[13]

Page 22: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Bolehkah Aqiqah Diganti dengan Hanya Membeli Daging Saja?

Hal ini tidak dibenarkan. Yang benar haruslah hewan aqiqah itu disembelih, tidak hanya dengan sekedar membeli daging kambing di pasar lalu dibagikan pada orang lain.

Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya,

“Bolehkah penyembelihan kambing aqiqah diganti dengan membeli beberapa kilo daging ataukah aqiqah harus dengan jalan menyembelih?”

Jawaban: Tidak boleh. Aqiqah harus dengan jalan menyembelih seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki.[14]

DAFTAR PUSTAKA

1] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Maliki, hal. 421, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1428 H dan At Tamhid, Ibnu ‘Abdil Barr, 4/314, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah.[2] Lihat Takhrij Syaikh Al Albani terhadap Sunan Abi Daud. Lihat Shahih Abi Daud no. 2458.[3] Fathul Bari, 9/592[4] Subulus Salam, 4/335-336[5] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr, 1405[6] Syarhul Mumthi’, 7/492.[7] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ketiga no. 2191, 11/438. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota.[8] Lihat Al Mughni, 11/120.[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/383.[10] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11012, Mawqi’ ahlalhdeeth.[11] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 7/100, Dar Ihya’ At Turots, 1392.[12] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi, 8/25, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415.[13] Lihat ketentuan ini di Al Mughni, 11/120.[14] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan kesepuluh no. 8052, 11/440. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota.

BAB VII WAKTU PELAKSANAAN AQIQAH

Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits,

« - - �ة2 ه�ين ر� � �م غ�ال bل� ك ق�ال� وسلم عليه الله صلى الل�ه� س�ول� ر� �ن� أ �د�ب� ن ج� �ن� ب ة� م�ر� س� ع�ن��س�م�ى « و�ي �ح�ل�ق� و�ي �ع�ه� اب س� �و�م� ي �ه� ع�ن �ح� �ذ�ب ت �ه� �ع�ق�يق�ت ب

Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?

Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[1]

Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?

Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,

إن Rيلة الل تحسب وال ، بعة Rالس من يحسب الوالدة يوم Rأن إلى الفقهاء جمهور وذهبيليها الRذي اليوم يحسب بل ،a ليال ولد

Page 23: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[2] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[3] tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[4] Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,

�ع�ه� اب س� �و�م� ي �ه� ع�ن �ح� �ذ�ب ت

“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.

Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06).

Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini.

Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?

Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.

Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.

Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.

Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari

keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[5]

Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama.

Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.

Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]. Wallahu a’lam.

Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”

Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[7]

Page 24: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”

Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”

Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam kandungan.”[8]

Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak

An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[10]

Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah- menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih tepat.”[11]

Mengundang Makan-Makan Aqiqah

Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[12]

Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.

Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah untuk aqiqah?”

Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang baik.”[13]

Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah

Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.[14]

Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[15]

Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini.[16]

Tidak Perlu Mengusapkan Bayi dengan Darah Hewan Aqiqah

Page 25: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu datang.

Dari Buraidah, ia berkata,

�ه� الل ج�اء� �م�ا ف�ل �د�م�ه�ا ب ه� س�� أ ر� و�ل�ط�خ� aاة ش� �ح� ذ�ب �م2 غ�ال �ا �ح�د�ن أل �د� و�ل �ذ�ا إ �ة� �ي �ج�اه�ل ال ف�ى �ا �ن ك

. ان� ع�ف�ر� �ز� ب �ل�ط�خ�ه� و�ن ه� س�� أ ر� �ح�ل�ق� و�ن aاة ش� �ح� �ذ�ب ن �ا �ن ك � �م ال �س� �اإل ب

“Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za'faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

DAFTAR PUSTAKA

[1] Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, hal. 349, terbitan Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.[2] Waktu siang dihitung dari Shubuh hingga Maghrib.[3] Waktu malam dihitung dari Maghrib hingga Shubuh.[4] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11011, Mawqi’ Ahlalhdeeth.[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11011.[6] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.[7] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 2, no. 11[8] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42[9] Minhajuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, hal. 538, Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H.[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.[11] Kifayatul Akhyar,hal. 706[12] Idem[13] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaak keempat dari Fatawa no. 6779, 11/443. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota.[14] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706.[15] Mughnil Muhtaj, hal. 392.[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.

BAB IX ANJURAN ADZAN DI TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR

Pendapat Para Ulama Madzhab

Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.

Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menganggap mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan Imam Asy Syafi’i yang menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof, Asy Syamilah)

Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada perselisihan dalam masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?

Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah,

�يب� �ن أ �ه� �ي �ل و�إ �ل�ت� �و�ك ت �ه� �ي ع�ل 8ي ب ر� �ه� الل �م� �ك ذ�ل �ه� الل �ل�ى إ �م�ه� ف�ح�ك ي�ء� ش� م�ن� ف�يه� �م� �ف�ت �ل ت اخ� و�م�ا

Page 26: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syuura : 10)

Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, ”Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain,

ول� س� و�الر� �ه� الل �ل�ى إ دbوه� ف�ر� ي�ء� ش� ف�ي �م� ع�ت �از� �ن ت �ن� ف�إ

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”(QS. An Nisa’ [4] : 59).

Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan. –Demikianlah perkataan beliau rahimahullah dengan sedikit perubahan redaksi-.

Dalil Para Ulama yang Menganjurkan

Hadits pertama:

Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,

�ه� �د�ت و�ل ح�ين� ع�ل�ي} �ن� ب ن� ال�ح�س� �ذ�ن� أ ف�ي �ذ�ن� أ �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� �ت� �ي أ ر�ة� �الص�ال� ب ف�اط�م�ة�

“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadits kedua:

Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

bم� أ ه� �ض�ر� ت �م� ل ى ر� �س� �ي ال �ه� �ذ�ن أ ف�ي ة� الص�ال� �ق�ام� و�أ �ى �م�ن �ي ال �ه� �ذ�ن أ ف�ي �ذ�ن� ف�أ �ود2 م�و�ل �ه� ل �د� و�ل م�ن��ان� �ي الص8ب

“Bayi siapa saja yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).

Hadits ketiga:

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,

أذنه في وأقام ، اليمنى أذنه في فأذن ، ولد يوم علي بن الحسن أذن في أذناليسرى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk anjuran atau tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di atas terlebih dahulu.

Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-hadits Di Atas

Penilaian hadits pertama:

Para perowi hadits pertama ada enam,

Page 27: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

ب�ى � أ �ن� ب �ه� الل �د� �ي ع�ب ع�ن� �ه� الل �د� �ي ع�ب �ن� ب ع�اص�م� �ى �ن ح�د�ث ق�ال� �ان� ف�ي س� ع�ن� �ى �ح�ي ي �ا �ن ح�د�ث د�د2 م�س�

�يه� ب� أ ع�ن� اف�ع� ر�

yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’, dan Abu Rofi’.

Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah ‘Ashim bin Ubaidillah.

Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa ‘Ashim adalah munkarul hadits (sering membawa hadits munkar).

Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini sanadnya lemah.

Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if).Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena ada beberapa riwayat yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits kedua dan ketiga.

Penilaian hadits kedua:

Para perowi hadits kedua ada lima,

، الله عبيد بن طلحة عن ، سالم بن مروان عن ، العالء بن يحيى حدثنا ، جبارة حدثناحسين عن

yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain.

Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah).

Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi menilainya matruk (harus ditinggalkan).

Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga dituduh dusta.

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al ‘Alaa’ dan Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits.

Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta. Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho’if (lemah) menjadi hasan.

Penilaian hadits ketiga:

Para perowi hadits ketiga ada delapan,

بن محمد حدثنا ، الصفار عبيد بن أحمد أخبرنا ، عبدان بن أحمد بن علي وأخبرناعن ، مطيب بن القاسم حدثنا ، السدوسي سيف بن عمر بن الحسن حدثنا ، يونس

عباس ابن عن ، معبد أبي عن ، صفية ابن منصور

yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu Ma’bad, dan Ibnu Abbas.Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun, apakah hadits ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.

Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).

Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada

Page 28: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

pengaruhnya kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.

Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’.

(Takhrij ketiga hadits di atas adalah faedah dari guru kami Ustadz Abu Ali. Semoga Allah selalu merahmati dan menjaga beliau)

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa mengangkatnya dari dho’if (lemah) menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321. Jadi kesimpulannya, hadits yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah sehingga tidak bisa diamalkan.Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah mengatakan,

“Hadits yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)

BAB IX HUKUM BAYI TABUNG

Hukum Bayi Tabung

Tanya:Bagaimana menurut pandangan syariah tentang bayi tabung?

Jawab:

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bayi tabung merupakan produk kemajuan teknologi kedokteran yang demikian canggih yang ditemukan oleh pakar kedokteran Barat yang notabene mereka adalah kaum kuffar (orang kafir). Bayi tabung adalah proses pembuahan sperma dengan ovum, dipertemukan di luar kandungan pada satu tabung yang dirancang secara khusus. Setelah terjadi pembuahan lalu menjadi zygot, kemudian dimasukkan ke dalam rahim sampai dilahirkan. Jadi prosesnya tanpa melalui jima’ (hubungan suami istri).

Pertanyaan ini telah ditanyakan kepada salah seorang imam abad ini, yaitu Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu. Maka beliau menjawab:

“Tidak boleh, karena proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri) hukumnya adalah haram

Page 29: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.

Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan ini pun tidak boleh.Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau (sebaliknya) mereka hindari.Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang dianjurkan syariat), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya.

Jikalau saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin untuk mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam mendapatkan anak.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288)

BAB XI CARA MENGHITUNG HARI AQIQOH

Oleh: Syaikh Kholid bin Ali al-Musyaiqih – hafizhohulloh.

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Semoga Alloh memberkahi Anda, dan menjadikan Anda bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.Telah dilahirkan untukku seorang bayi pada hari sabtu jam tujuh malam. Kapankah hari aqiqohnya? Apakah hari kelahirannya dianggap sebagai hari sabtu atau hari Ahad?

Jawaban:Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan juga kepada keluarga beliau dan para sahabat beliau seluruhnya. Wa ba’du.

Sunnah dalam aqiqoh, adalah disembelih (binatang sembelihan; kambing -pent) pada hari ke tujuh dari kelahiran bayi. Dimana hari kelahiran bayi juga ikut dihitung. Maka (untuk kasus ini -pent) engkau mulai menghitungnya dari hari Ahad. Hal itu karena bayi ini dilahirkan setelah tenggelamnya matahari pada hari sabtu, sehingga engkau tidak menghitung hari sabtu dilahirkannya bayi itu. Maka engkau mengadakan aqiqoh pada hari Sabtu.

Page 30: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB XII HUKUM AQIQAH KETIKA SUDAH DEWASA

Assalamu’alaykum ustadz. Ana mau tanya, ada seorang anak yang sudah baligh, yang dulunya anak tersebut oleh orang tuanya belum diaqiqahi, kemudian setelah baligh orang tuanya ingin mengaqiqahi. Apakah hal ini diperbolehkan dalam syariat Islam? Kemudian apakah hukumnya wajib bagi orang tua untuk mengaqiqahi anaknya? Jazaakallahu khairan ustadz…

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal menjawab:

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.

Mengenai permasalahan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari dua fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berikut dalam Liqo-at Al Bab Al Maftuh. Semoga bermanfaat.

[Pertama]

Soal:

Ada seorang ayah yang memiliki sepuluh anak perempuan dan mereka semua belum diaqiqohi, namun sekarang mereka sudah berkeluarga. Apa yang mesti dilakukan oleh anak-anaknya? Apa sebenarnya hukum aqiqah?Apakah betul apabila seorang anak tidak diaqiqohi, maka ia tidak akan memberi syafaat pada orang tuanya?

Jawab:

Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad. Aqiqah bagi anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan bagi wanita dengan seekor kambing. Apabila mencukupkan diri dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, itu juga diperbolehkan.[1] Anjuran aqiqah ini menjadi kewajiban ayah (yang menanggung nafkah anak, pen). Apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah (misalnya tujuh hari kelahiran, pen), orang tua dalam keadaan faqir (tidak mampu), maka ia tidak diperintahkan untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16). Namun apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah, orang tua dalam keadaan berkecukupan, maka aqiqah masih tetap jadi kewajiban ayah, bukan ibu dan bukan pula anaknya.

[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 214, no. 6]

[Kedua]

Soal:

Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?

Jawab:

Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah (yaitu pada hari ke-7, 14, atau 21 kelahiran, pen), maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.

Page 31: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Sedangkan jika orang tuanya mampu ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.

Adapun waktu utama aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran, kemudian hari keempatbelas kelahiran, kemudian hari keduapuluh satu kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat kelipatan tujuh hari.

Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Namun anak laki-laki boleh juga dengan satu ekor kambing. Sedangkan aqiqah untuk anak perempuan dengan satu ekor kambing dan lebih utama tidak menambahnya dari jumlah ini.

[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234, no. 6]

Pelajaran Penting Seputar Aqiqah

Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad dan seharusnya tidak ditinggalkan oleh orang yang mampu melakukannya.

Aqiqah bagi anak laki-laki afdholnya dengan dua ekor kambing, namun dengan seekor kambing juga dibolehkan. Sedangkan aqiqah bagi anak perempuan adalah dengan seekor kambing.

Waktu utama aqiqah adalah hari ke-7 kelahiran, kemudian hari ke-14 kelahiran, kemudian hari ke-21 kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat hari kelipatan tujuh. Pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali, namun dinilai lemah oleh ulama Malikiyah. Jadi, jika aqiqah dilaksanakan sebelum atau setelah waktu tadi sebenarnya diperbolehkan. Karena yg penting adalah aqiqahnya dilaksanakan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Aqiqah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah. Aqiqah ditunaikan dari harta ayah, bukan dari harta anak. Orang lain tidak boleh melaksanakan aqiqah selain melalui izin ayah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)

Imam Asy Syafi’i mensyaratkan bahwa yang dianjurkan aqiqah adalah orang yang mampu. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)

Apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka aqiqah menjadi gugur, walaupun nanti beberapa waktu kemudian orang tua menjadi kaya. Sebaliknya apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan kaya, maka orang tua tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa.

Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Perhitungan hari ke-7 kelahiran, hari pertamanya dihitung mulai dari hari kelahiran. Misalnya si bayi lahir pada hari Senin, maka hari ke-7 kelahiran adalah hari Ahad. Berarti hari Ahad adalah hari pelaksanaan aqiqah. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Pendapat yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti”, ini adalah pendapat yang lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ibnul Qayyim. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Demikian pembahasan ringkas mengenai aqiqah. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.

Page 32: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

APAKAH MAKRUH MENAMAKAN NASIKAH DENGAN AQIQAH?

Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ahMuhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah

Terjadi perbedaan pendapat tentang makna aqiqah secara bahasa, dalam hal ini ada tiga pendapat.

Pendapat Pertama

Pendapat Abu Ubaid dan Al-Ashma’i dan selain keduanya bahwa asal kata aqiqah adalah rambut yang berada di kepala bayi ketika dilahirkan. Kambing yang disembelih berkenaan dengan kelahiran anak dinamakan aqiqah karena rambut tersebut (yang ada pada bayi) dicukur ketika diadakan penyembelihan. Ini termasuk penamaan sesuatu dengan nama malabisnya, dan ini termasuk cara orang Arab dalam ucapannya (yakni diberikan istilah aqiqah bagi kambing yang disembelih itu dengan meminjam nama dari perkara lain –dalam hal ini istilah bagi rambut di kepala bayi ketika dilahirkan- yang punya kaitan dengannya,-pent)

Pendapat Kedua.

Aqiqah adalah penyembelihan itu sendiri. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad –semoga Allah merahmati beliau- dan beliau menyalahkan Abu Ubaid dan orang yang sependapat dengannya.

Pendapat Ketiga

Aqiqah meliputi dua pendapat di atas dan ini pendapatnya Al-Jauhari dalam Ash-Shihah. Kata Ibnul Qayyim : “Pendapat ini yang lebih utama (tepat) wallahu

a’lam”.

Terjadi pula perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum memutlakkan nama aqiqah. Dalam hal ini ada tiga pendapat.

Pertama.Makruh berdasarkan hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bawha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aqiqah maka beliau bersabda : “Allah tidak menyukai ‘uquq (secara bahasa makna uquq adalah durhaka, -pent) –seakan-akan beliau tidak menyukai nama itu-. Para sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kami hanyalah menanyakan kepadamu tentang apa yang harus dilakukan salah seorang dari kami (ketika) kelahiran anak”. Beliau bersabda.

“Artinya : Siapa yang ingin bernasikah (menyembelih berkenaan dengan kelahiran) untuk anaknya maka hendaklah ia lakukan, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk wanita satu ekor”.

Berdasarkan hadits diatas penyembelihan untuk kelahiran anak dinamakan nasikah dan tidak dinamakan aqiqah.

Kedua.Boleh, tidak makruh menamakannya dengan aqiqah. Mereka berdalil dengan hadits yang banyak di antaranya hadits Samurah.

“Artinya : Anak itu tergadaikan dengan aqiqahnya”

Dan selain dari hadits-hadits yang shahih di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai lafadz tersebut.

KetigaApa yang ditetapkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Tuhfatul Wadud hal. 54 setelah beliau menyebutkan perbedaan pendapat yang ada, beliau berkata :

“Aku katakan : Yang sebanding dengan perselisihan ini adalah dalam nenamakan shalat Isya dengan Atamah. Dalam hal ini ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Penetapan terhadap dua permasalahan ini adalah makruhnya

Page 33: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

meninggalkan nama yang masyru (disyariatkan) seperti Isya dan Nasikah dan menggantinya dengan nama aqiqah dan ‘atamah. Adapun jika nama yang digunakan itu adalah nama yang syar’i dan nama tersebut tidak ditinggalkan, namun terkadang dipakai nama yang lain maka tidak jadi masalah. Berdasarkan hal ini bersesuaianlah hadits-hadits yang ada, dan Allah-lah yang memberi taufiq” [1]

Kami katakan :

Apa yang kita saksikan sekarang dari saudara-saudara kita,mereka justru meninggalkan nama syar’i –tentunya ini menjadi masalah- dan mereka memberikan nama (dengan nama) yang tidak syar’i, hingga bila anda menyebutkan dihadapan seseorang tentang kata nasikah niscaya ia akan meminta kepadamu penjelasan makna dari kata tersebut. Karena itu kami memberi peringatan pentingnya untuk kembali pada lafadz-lafadz syar’i yang telah diitnggalkan, agar beredar lafadz ini dari mulut ke mulut di tempat perkumpulan kita, hingga tersebarlah nama ini kita tidak mengganti lafadz syar’i dengan yang selainnya agar kita tidak terjatuh pada (perbuatan) sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Lalu orang-orang dzalim itu mengganti ucapan (perintah) dengan apa yang tidak diucapkan (diperintahkan) kepada mereka” [Al-Baqarah : 58]

Berkata Al-Hafidz ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/588) setelah membawakan hadits (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang aqiqah) : “maksud yang diambil dari hadits ini adalah lebih utama menamakan (penyembelihan berkenaan dengan kelahiran anak) dengan nasikah atau dzabihah dan tidak dinamakan aqiqah” (selesai ucapan Al-Hafidz).

Berkata Ibnu Abdil Barr : “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disukainya nama-nama yang mengandung makna yang jelek. Dan berdasarkan dhahir hadits ini wajib untuk menyebutkan sembelihan bagi anak yang lahir dengan nasikah dan tidak dinamakan aqiqah. Akan tetapi aku tidak mengetahui ada seorang pun dari ulama yang condong kepada ucapan ini (seperti dhahir hadits) dan tidak ada yang berpendapat demikian. Aku mengira mereka meninggalkan hal tersebut karena adanya riwayat lain yang shahih di sisi mereka dari hadits-hadits yang menyebut lafadz aqiqah” Demikian dalam At-Tanwir.

Berkata Az-Zarqani : “Mudah-mudahan yang dimaksudkan oleh Ibnu Abdil Barr adalah mereka para mujtahid (dari kalangan orang-orang yang berijtihad), dan jika tidak maka (beliau keliru karena) sebenarnya telah berkata Ibnu Abid Dam dari teman-teman mereka yang bermadzhab Syafi’iyah bahwa sunnah menamakannya dengan nasikah atau dzabihah dan makruh menamakannya dengan aqiqah sebagaimana tidak disukainya menamakan shalat Isya dengan Atamah”.

Dan Al-Bujairami berkata : “Yang lebih utama menamakannya dengan dzabihah dan nasikah karena pada lafadz aqiqah ada isy’ar uquq (durhaka). Maka menamakannya dengan aqiqah berarti menyelisihi nama yang lebih utama” [2]

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura]__________Foote Note[1]. Dari kitab Mu’jam Al-manahi Al-Lafdhiyyah hal. 244 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid[2]. Awjazul Masalik ila Muwatha’ Imam Malik (9/209) oleh Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi

Bolehnya Orang Lain Mengurusi Sembelihan Nasikah [Aqiqah], Walimah Nasiqah [Aqiqah]

Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ahMuhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.

Diperbolehkan selain wali anak, untuk mengurusi sembelihan nasikah dan tidak ada larangan dalam hal itu. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Samurah Radhiyallahu ‘anhu.

Page 34: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Artinya : Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh kelahirannya…”

Berkata Al-Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (5/133) : “Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “disembelih untuknya” ada dalil di dalamnya bahwa boleh bagi orang lain untuk mengurusi penyembelihan nasikah tersebut, sebagaimana bolehnya kerabat mengurusi kerabatnya dan seseorang mengurusi dirinya”

Kami katakan :Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk dalil yang terbesar atas kebolehan tersebut di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengaqiqahi kedua cucunya Al-Hasan dan Al-Husain.

WALIMAH NASIKAH (AQIQAH)Tidak ada hadits marfu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan tentang walimah nasikah ini, akan tetapi ada riwayat dari sahabat beliau yang meunjukkan hal tersebut.

[1]. Muawiyah bin Qurrah berkata : “Ketika lahir Iyyas [1] aku mengundang sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku menjamu mereka, lalu mereka berdo’a. Aku katakana : “Kalian telah berdo’a maka semoga Allah memberkahi kalian dalam apa yang kalian doakan”. Jika aku berdo’a dengan satu do’a maka mereka mengaminkan”.

Muawiyah berkata : “Maka aku mendo’akan Iyyas dengan do’a yang banyak untuk kebaikan agamanya dan akal’ [2]

[2]. Bilal bin Ka’ab Al-Akki’ berkata : “Kami yakni aku, Ibrahim bin Adham, Abdul Aziz bin Qarir dan Musa bin Yasar, mengunjungi Yahya bin Hasan Al-Bakri Al-Filisthini di kampungnya. Maka Yahya datang pada kami dengan membawa makanan. Musa tidak ikut memakan hidangan karena ia sedang puasa. Maka berkata Yahya : “Telah mengimani kami di masjid ini selama 40 tahun seorang lelaki dari Bani Kinanah dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kunyahnya Abu Qurshafah. Kebiasan Abu Qurshafah ini adalah puasa sehari dan berbuka sehari. Lalu lahir anaknya ayahku maka ayahku mengundangnya

bertetapan dengan hari puasanya, maka ia berbuka”

Ibrahim berdiri lalu menyapunya dengan bajunya dan Musa berbuka dari puasanya [3]

Dengan demikian disyari’atkan walimah nasikah dan bagi yang diundang hendaklah memenuhinya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Bila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya maka hendaklah ia memenuhinya apakah undangan nikah atau semisalnya” [4]

Berkata Imam Syafi’i dalam Al-Umm : “Mendatangi undangan walimah adalah wajib”.

Dan beliau berkata :“Dan aku tidak memberikan keringanan pada seorangpun untuk meninggalkannya”

Tentunya dikecualikan jika ada kemungkaran di dalam acara tersebut maka ketika itu wajib untuk tidak menghadirinya.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura]__________Foote Note[1]. Iyyas adalah putra Muawiyah bin Qurrah, ia seorang qadhi yang masyhur dengan kepandaian, ia tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam At-Taqrib.[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1255) dan sanadnya shahih, di dalamnya ada Hazm bin Abi Hazm, kata Syaikh Al-Albani (dalam) Ash-Shahihah (3/418) : “Dia diperbincangkan tanpa hujjah”.Dan ini yang benar maka ia (Hazm) tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ahmad, Ibnu Main dan selain keduanya, dan tidak perlu menoleh pada ucapan Ibnu Hajar dal At-Taqrib.[3]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1253) dan sanadnya dlaif. Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abdul Aziz Al-Umari : “Ia suhuduq

Page 35: MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

sering wahm” seperti yang dinyatakan dalam “At-Taqrib”. Dan rawi yang bernama Bilal bin Kaab kata Al-Hafidzh ia maqbul yakni jika ada yang mengikutinya dalam periwayatan.[4]. Shahih dikeluarkan oleh Musim (10/246-Nawawi) dan selainnya.