mengentaskan kemiskinan dan kebodohan ummat melalui lembaga keuangan mikro syariah.docx

Upload: edi-susilo

Post on 06-Jul-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    1/18

     

    1

    MENGENTASKAN KEMISKINAN DAN KEBODOHAN UMMAT MELALUI

    INKLUSI KEUANGAN SYARIAH (SHARIA FINANCIAL INCLUSION) 

    Edi Susilo

    Prodi Ekonomi Islam FEB Universitas Islam Nahdlatul Ulama [email protected] 

    Abstrak

    Islam memandang kemiskinan adalah masalah struktural, karena Allah telah menjamin rizki

    setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (QS 30:40; QS 11:6) dan pada

    saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi

    kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15). Setiap makhluk memiliki rizki-

    nya masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS 20: 118-119). Namun

    data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penduduk Indonesia per Juni 2014 berjumlah

    252.164,8 ribu orang. Dari jumlah tersebut, penduduk miskin pada Maret 2015 sebanyak

    28,59 juta orang (11,22 persen). Sementara ketimpangan yang diukur dengan Gini Rasio pada

    Maret 2015 tercatat sebesar 0,41.

    Karena kemiskinan adalah masalah struktural, maka strategi pengentasannya pun harus

    sistematis, komprehensif dan instutusional. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi

    untuk pengentasan kemiskinan. Lembaga Keuangan Mikro (Micro Finance/Micro Credit) 

    adalah lembaga yang telah terbukti efektif mengatasi kemiskinan di semua Negara

     berkembang, termasuk di Indonesia.

    Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ummat yang sebagian besar hidup melalui

    UMKM selama ini tersekat oleh sebuah hal mendasar dari dunia perbankan yaitu ―bankabe‖,

    karena perbankan harus menjalankan azas kehati-hatian (prudential banking) dalam melepas

    kredit pada nasabahnya. UMKM yang secara umum tidak bankable, mengalami kesulitan

    dalam mengakses kredit/pembiayaan dan jasa layanan lainnya dari perbankan. Maka sebuah

     pola harus dibangun untuk menghapus sekat antara dunia perbankan yang menerapkan

     prudential banking dengan dunia UMKM yang membutuhkan suntikan permodalan.

    Penghapusan sekat itu dapat dijembatani dengan menerapkan keuangan inklusif syariah

    (Sharia Financial Inclusion).

    Metode yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah analisis deskriptif. Penggunaan

    metode analisis deskriptif memungkinkan penulis menggambarkan secara sistematis fakta

    dan karakteristik pemberdayaan ummat melalui inklusi keuangan syariah (sharia financial

    inclusion) dalam pengentasan kemiskinan dan kebodohan. 

    Kata Kunci: Kemiskinan, Inklusi Keuangan Syariah, UMKM. 

    mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    2/18

     

    2

    I.  PENDAHULUAN

    Islam memandang kemiskinan adalah masalah struktural, karena Allah telah menjamin rizki

    setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (QS 30:40; QS 11:6) dan padasaat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi

    kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15). Setiap makhluk memiliki rizki-

    nya masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS 20: 118-119). Namun

    data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penduduk Indonesia per Juni 2014 berjumlah

    252.164,8 ribu orang. Dari jumlah tersebut, penduduk miskin pada Maret 2015 sebanyak

    28,59 juta orang (11,22 persen). Sementara ketimpangan yang diukur dengan Gini Rasio pada

    Maret 2015 tercatat sebesar 0,41.

    Karena kemiskinan adalah masalah struktural, maka strategi pengentasannya pun harus

    sistematis, komprehensif dan instutusional. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi

    untuk pengentasan kemiskinan. Lembaga Keuangan Mikro (Micro Finance/Micro Credit) 

    adalah lembaga yang telah terbukti efektif mengatasi kemiskinan di semua Negara

     berkembang, termasuk di Indonesia. Contoh keberhasilan pengentasan kemiskinan dengan

    lembaga keuangan mikro ini adalah apa yang telah dipelopori oleh seorang profesor dari

    Bangladish bernama Muahammad Yunus dengan gerakan Grameen Bank. Saat ini pola

     pemberdayaan kaum miskin model Grameen Bank telah diadopsi oleh lebih dari 130 negara

    di seluruh dunia.

    Di Indonesia, lembaga keuangan mikro bukanlah hal baru. Cikal bakal perbankan nasional

    saat ini tidak lepas dari sejarah lembaga keuangan mikro yang dipelopori oleh R A.WIRA

    ATMAJA Patih Purwokerto dari pendirian ―Bank Priyayi Purwokerto‖ pada tahun 1895.

    LKM tersebut lebih dikenal sebagai Lumbung Desa, yang fungsinya adalah untuk membantu

     para petani yang mengalami kegagalan panen yang modal awalnya berasal dari infak masjid.

    Secara filosofis LKM dijiwai oleh semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat

    (4) UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian

    disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 ayat (4)

    UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas

    demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

     berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

    kesatuan ekonomi nasional. Semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4)

    UUD 1945, pada prinsipnya ingin menjadikan LKM sebagai lembaga pembiayaan terhadap

    Usaha Mikro yang merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan

    memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam

     proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan

    ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, LKM berperan

    sebagai lembaga pembiayaan bagi Usaha Mikro sebagai salah satu pilar utama ekonomi

    nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan

     pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok

    usaha ekonomi rakyat.

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    3/18

     

    3

    Pengentasan kemiskinan dengan pemberdayaan UMKM selama ini tersekat oleh sebuah pola

    yang paling mendasar dari dunia perbankan yaitu bankable. Bagi dunia perbankan, bankable 

    adalah syarat mutlak sesuai regulasi dari Bank Indonesia dan Otoritas jasa Keuangan (OJK)

    sebagai pengawas perbankan di Indonesia. Hal ini wajar dalam perbankan, karena perbankan

    harus melakukan azas kehati-hatian dalam melepas kredit pada nasabahnya. UMKM yang

    secara umum tidak bankable, akan mengalami kesulitan dalam mengakses kredit/pembiayaandari perbankan. Maka sebuah sistem harus dibangun untuk menghapus sekat antara dunia

     perbankan yang menerapkan  prudential banking   di satu sisi dengan dunia UMKM yang

    membutuhkan suntikan permodalan dari dunia perbankan. Penghapusan sekat itu dapat

    dijembatani dengan menerapkan pola keuangan inklusif (Financial Inclusion).  Keuangan

    inklusif (financial inclusion) merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk

    meniadakan segala bentuk hambatan terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan

    layanan jasa keuangan dengan didukung oleh berbagai insfrastruktur yang mendukung.

    (Gemari 2011).

    Lembaga Keuangan Mikro yang selama ini telah membuktikan perannya dalam mewujudkan

    inklusif keuangan perlu ditingkatkan perannya dalam mendukung terbangunnya sinergi perbankan dengan UMKM untuk memperoleh akses keuangan. Dengan sinergi perbankan

    lembaga keuangan mikro, maka pengembangan UMKM yang tersekat persyaratan bankable dapat dijembatani. Namun perlu dirumuskan pola yang sesuai agar sinergi ini dapat benar-

     benar diperoleh manfaatnya oleh UMKM dan tidak merugikan dunia perbankan atau win win

     solution.

    Bank Syariah dengan karakteristiknya sebagai penopang sektor riil, karena akad-akad bank

    syariah terkait langsung dengan sektor riil, diharapkan dapat lebih membantu perkembangan

    UMKM, yaitu dengan skim pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Islam memandang bahwa

    sektor riil harus menjadi prioritas dalam aktivitas ekonomi dikarenakan sektor riil merupakan

    sektor yang terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan dari keberadaan bank syariah. Menurut Aisyah (2009) dalam (Wahyudi S. & Malik, 2013) program keberpihakan

    UMKM oleh bank syariah ditunjukkan melalui: (1) inovasi strategi pembiayaan; (2)  Program

     Linkage; (3) Pilot project ; (4) Pemanfaatan dana sosial; (5) kerjasama technical assistance.

    Program linkage yang dilakukan oleh bank syariah adalah dengan memberikan pembiayaan

    kepada Lembaga Keuangan Mikro yang secara langsung bersentuhan dengan para anggota

    dan nasabahnya seperti BMT dan BPR/BPRS. Sinergi dalam bentuk pembiayaan ini telah

    lama berlangsung. Namun yang menjadi permasalahan adalah sinergi tersebut belum bisa

    melahirkan sebuah potret ―Keuangan Inklusif‖ ( Financial Inclusion). Karena sinerginya

    hanya dalam bentuk pemilik dana (Bank Syariah) sebagai ―Shohibul Maal ‖ dan BMT dan

    BPR/BPRS sebagai  Mudharrib, atau lebih umum dikenal sebagai ―kreditur‖ dan ―debitur‖.

    Sinergi ini sebenarnya dapat dikembangkan menjadi sebuah “Keuangan Inklusif Syariah”

    untuk menggerakkan sektor riil, edukasi masyarakat melalui pemberdayaan dan

    pengentasan kemiskinan.

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    4/18

     

    4

    II.  METODE PENULISAN

    Metode yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah analisis deskriptif. Penggunaan

    metode analisis deskriptif memungkinkan penulis menggambarkan secara sistematis fakta

    dan karakteristik keuangan inklusif (financial inclusion)  industri keuangan syariah dalam

    mengentaskan kemiskinan dan kebodohan ummat secara tepat dan apa adanya. Penggunaanmetode analisis deskriptif juga membuka peluang bagi penulis untuk mengidentifikasi variasi

     permasalahan, melakukan hubungan antarvariabel keuangan inklusif (financial inclusion) 

    lembaga keuangan syariah dengan variabel lembaga keuangan mikro dan anggotanya melalui

    majlis taklim serta melakukan generalisasi dari temuan-temuan dan analisis yang memiliki

    validitas universal.

    Data dan informasi yang digunakan dalam  paper ini sebagian besar merupakan data

    sekunder, yang diambil dari Bank Indonesia, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan

    Kemiskinan (TNP2K), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan beberapa literatur, khususnya studi

    terdahulu yang dilakukan oleh TNP2K, institusi, peneliti dan penulis lainnya.

    III. PEMBAHASAN

     Negara berkembang seperti Indonesia yang berusaha mengurangi jumlah penduduk

    miskinnya, memerlukan metode yang tepat, terprogram dengan baik, terlaksana dengan

    sistematis dan terukur tingkat keberhasilannya. Mengentaskan kemiskinan berbeda dengan

    memberi bantuan, karena kemiskinan tidak akan selesai dengan pemberian bantuan.

    Pengentasan kemiskinan diperlukan edukasi, penyadaran dan kerjasama semua pihak.

    Pemerintah sebagai subyek utama dalam pengentasan kemiskinan harus merancang program

    yang tepat dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dan partisipatif di

    dalamnya.

    Wilayah Indonesia yang membentang luas 5.193.250 km², mencakup 17.500 lebih pulau

     besar dan kecil dengan total penduduk lebih dari 250 juta jiwa adalah tantangan berat dalam

    mengentaskan kemiskinan. Sebaran yang tidak merata antar pulau dalam menikmati

     pembangunan juga menjadi kendala tersendiri. Kemiskinan di Indonesia justru terpusat di

    Indonesia bagian timur yang punya wilayah besar dan sebagian besar adalah wilayah

    kepulauan. Pengentasan kemiskinan menuntut masyarakatnya untuk mengakses lembaga

    keuangan. Lembaga keuangannya pun dituntut untuk mendesain pola yang tepat dan efektif

    agar dapat dinikmati masyarakat dan mengedukasi masyarakat untuk mengelola keuangannyadan memberdayakannya. Lembaga Keuangan inilah yang diistilahkan dengan Lembaga

    Keuangan Inklusif (Financial Inclusion). Menurut Bank Indonesia, tingkat masyarakat yang

     berhubungan dengan bank masih rendah, yakni sekitar 48% dengan layanan perbankan yang

    masih terpusat di Jawa. Sementara itu, hanya 20% orang dewasa di Indonesia yang memiliki

    rekening di lembaga keuangan formal, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand 77%,

    Malaysia 66%, China 64%, India 35%, dan Philipina 25%. Demikian pula pembiayaan

    kegiatan ekonomi UMKM yang juga belum signifikan dengan pangsa kredit sekitar 20% atau

    sekitar Rp612 triliun. Tidak heran bila kita melihat Deposit to GDP ratio masih dibawah 50%

    dan Loan to GDP ratio masih disekitar 35%, jauh dibawah rata-rata negara di kawasan Asia

    Pasifik. Beberapa hasil survei dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga nasional

    maupun internasional juga mencatat tingkat eksklusifitas lembaga keuangan di Indonesiayang masih cukup tinggi, seperti terlihat pada data berikut:

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    5/18

     

    5

    Gambar 1 Tingkat Eksklusifitas Lembaga Keuangan di Indonesia

    Sumber: www.bi.go.id 

    III.1  Pengertian Financial Inclusion (Keuangan Inklusif)

    Sampai saat ini belum ada disiplin ilmu yang berfokus membahas Financial Inclusion seperti

    halnya perbankan dan industri keuangan lainnya seperti asuransi, pasar modal, reksa dana,

    dana pensiun dan lainnya. Sampai saat ini pengertian dari keuangan inklusifpun masing-

    masing lembaga kajian mempunyai perbedaan. Belum /tidak terdapat definisi yang baku dari

    keuangan inklusif, berbagai institusi mencoba untuk mendefinisikannya, sebagai berikut:

    "Keadaan di mana semua orang dewasa memiliki akses keuangan berupa kredit, tabungan,

     pembayaran maupun asuransi dari lembaga keuangan formal. Meliputi penyediaan layanan

    keuangan yang kredibel, dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat dan berkelanjutan,

    tanpa pengecualian secara finansial dalam memanfaatkan layanan keuangan formal daripada

    layanan keuangan yang informal "(CGAP-GPFI).

    "Inklusi keuangan meliputi penyediaan akses keuangan yang aman, nyaman dan terjangkau

     bagi masyarakat berpenghasilan rendah, orang pedesaan yang belum mengenal sistem

    adminstrasi dengan baik dan tidak terlayani lembaga keuangan formal‖ (FATF).

    "Proses untuk memastikan akses keuangan yang memadai dan memenuhi kebutuhan seluruh

    lapisan masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang rentan, lemah dan kelompok

    masyarakat berpenghasilan rendah, biaya terjangkau, adil dan transparan dengan regulasi

    yang jelas dari institusi keuangan utama (perbankan)" (RBI/Reserve Bank of India).1 

    1 Sumber : www.bi.go.id 

    http://www.bi.go.id/http://www.bi.go.id/http://www.bi.go.id/http://www.bi.go.id/http://www.bi.go.id/http://www.bi.go.id/http://www.bi.go.id/http://www.bi.go.id/

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    6/18

     

    6

    Dari beberapa difinisi di atas diperoleh pemahaman tentang  financial inclusion, bahwa

    keuangan inklusif harus bisa menghapus segala hambatan atas akses keuangan kepada

    seluruh lapisan masyarakat di semua tempat. Hambatan akses keuangan dapat terjadi dari

    akses tabungan, kredit dan jasa keuangan lainnya seperti sistem pembayaran, asuransi dan

    layanan lainnya dari dunia perbankan.

    Yang sering terjadi di masyarakat setelah bisa mengakses layanan keuangan dalam bentuk

    tabungan dan jasa layanan lainnya, masyarakat terutama masyarakat golongan bawah masih

    sangat kesulitan mengakses layanan kredit atau pembiayaan. Bahkan ada anggapan umum di

    masyarakat bahwa keberadaan bank di mata mereka hanya untuk menghimpun dana mereka,

    tetapi tidak pada layanan akses kredit. Maka financial inclusion adalah solusi untuk

    menghapus sekat/batas ini. Keberhasilan financial inclusion bila akses layanan perbankan

    dapat dinikmati dari semua aspek, baik tabungan, jasa maupun kredit.

    Menurut Bank Indonesia, financial inclusion bertujuan untuk:

    1.  Meningkatkan efisiensi ekonomi.2.  Mendukung stabilitas sistem keuangan.

    3.  Mengurangi shadow banking  atau irresponsible finance.

    4.  Mendukung pendalaman pasar keuangan.

    5.  Memberikan potensi pasar baru bagi perbankan.

    6.  Mendukung peningkatan Human Development Index (HDI) Indonesia.

    7.  Berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yang sustain dan

     berkelanjutan.

    8.  Mengurangi kesenjangan (inequality) dan rigiditas low income trap, sehingga dapat

    meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya berujung pada penurunan

    tingkat kemiskinan.

    III.2  Strategi Nasional Keuangan Inklusiff

    Untuk meningkatkan keuangan inklusiff di Indonesia, dipilih dengan cara komprehensif

    dengan menyusun suatu strategi nasional yang disusun bersama antara Bank Indonesia,

    kantor wakil presiden (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K) dan

    Kementerian Keuangan yang disebut dengan Strategi Nasional keuangan Inklusiff. Untuk

    mewujudkan tujuan di atas, secara nasional strategi pengembangan financial inclusion dapat

    dilihat dari 6 pilar berikut:

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    7/18

     

    7

    Gambar 2: Strategi Nasional Keuangan Inklusif

    Sumber www.bi.go.id

    PILAR 1

    EDUKASI KEUANGAN 

    Merupakan strategi kebijakan untuk meningkatkan kapabilitas dalam mengelola keuangan yang dimulai dengan peningkatan

     pemahaman (pengetahuan) dan kesadaran masyarakat mengenai produk dan jasa keuangan. Ruang lingkup edukasi keuangan ini

    meliputi: a) pengetahuan dan kesadaran tentang ragam produk dan jasa keuangan, b) pengetahuan dan kesadaran tentang risiko

    terkait dengan produk keuangan, c) perlindungan nasabah, dan d) keterampilan mengelola keuangan.

    PILAR 2

    FASILITAS KEUANGAN PUBLIK  

    Strategi pada pilar ini mengacu pada kemampuan dan peran pemerintah dalam penyediaan pembiayaan keuangan publik baik secara

    langsung maupun bersyarat guna mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Beberapa inisiatif dalam pilar ini meliputi: a)subsidi dan bantuan sosial, b) pemberdayaan masyarakat, dan c) pemberdayaan UMKM.

    PILAR 3

    PEMETAAN INFORMASI KEUANGAN 

    Pilar ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, terutama yang tadinya dikategorikan tidak layak untuk menjadi layak

    atau dari unbankable menjadi bankable dalam memperoleh layanan keuangan oleh institusi keuangan formal. Inisiatif yang

    dilakukan di pilar ini meliputi: a) peningkatan kapasitas (melalui penyediaan pelatihan dan bantuan teknis), b) sistem jaminanalternatif (lebih sederhana namun tetap memperhatikan risiko terkait), c) penyediaan layanan kredit yang lebih sederhana, dan d)

    identifikasi nasabah potensial.

    PILAR 4

    KEBIJAKAN/PERATURAN YANG MENDUKUNG 

    http://www.bi.go.id/http://www.bi.go.id/

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    8/18

     

    8

    Pelaksanaan program keuangan inklusif membutuhkan dukungan kebijakan baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia guna

    meningkatkan akses akan layanan jasa keuangan. Inisiatif untuk mendukung pilar ini antara lain meliputi: a) kebijakan mendorong

    sosialisasi produk jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, b) menyusun skema produk yang sesuai dengankebutuhan masyarakat, c) mendorong perubahan ketentuan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian secara proporsional,

    d) menyusun peraturan mekanisme penyaluran dana bantuan melalui perbankan, e) memperkuat landasan hukum untukmeningkatkan perlindungan konsumen jasa keuangan, dan f) menyusun kajian yang berkaitan dengan keuangan inklusiff untuk

    menentukan arah kebijakan secara berkelanjutan.

    PILAR 5

    FASILITAS INTERMEDIASI & SALURAN DISTRIBUSI 

    Pilar ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran lembaga keuangan akan keberadaan segmen yang potensial di masyarakat

    sekaligus mencari beberapa metode alternatif untuk meningkatkan distribusi produk dan jasa keuangan. Beberapa aspek pada pilar

    ini meliputi: a) fasilitasi forum intermediasi dengan mempertemukan lembaga keuangan dengan kelompok masyarakat produktif

    (layak dan unbanked) untuk mengatasi masalah informasi yang asimetris, b) peningkatan kerjasama antar lembaga keuangan untuk

    meningkatkan skala usaha, dan c) eksplorasi berbagai kemungkinan produk, layanan, jasa dan saluran distribusi inovatif dengan

    tetap memberikan perhatian pada prinsip kehati-hatian.

    PILAR 6

    PERLINDUNGAN KONSUMEN 

    Pilar ini bertujuan agar masyarakat memiliki jaminan rasa aman dalam berinteraksi dengan institusi keuangan dalam memanfaatkan

     produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Komponen yang berada pada pilar ini meliputi: a) transparansi produk, b)

     penanganan keluhan nasabah, c) mediasi, dan d) edukasi konsumen

    III.3  Program Keuangan Inklusif Untuk Pemberdayaan UMKM dan Pengentasan

    Kemiskinan

    Menurut (Syaifullah, tt), upaya pengentasan kemiskinan harus mampu memadukan antarasosial inklusif, keuangan inklusif dan ekonomi inklusif. Sosial inklusif memberikan akses

    seluas-luasnya kepada masyarakat menyangkut kebutuhan dasar, khususnya bagi masyarakat

    terhadap layanan kesehatan, pendidikan dan mobilisasi sosial, seperti yang diamanatkan

    dalam pembukaan UUD 1945 yang menjadi peran pemerintah dalam menyediakan kebutuhan

    masyarakatnya. Keuangan inklusif memperluas akses masyarakat terhadap sektor keuangan

    formal dengan meningkatkan kelayakan masyarakat. Sedangkan ekonomi inklusif bertujuan

    untuk memberikan peluang atau akses terhadap masyarakat dalam upaya peningkatan

     pendapatan, seperti pemberdayaan UMKM.

    Pemerintah telah membuat berbagai program pengentasan kemiskinan dengan pendekatan

    keuangan inklusif. Sistem penyaluran dana saat ini berbeda dengan masa lalu, dimana pencairan dana harus melalui jalur birokrasi dari yang terbawah sampai Dinas terkait di

     pemerintah tingkat dua. Saat ini pencairan dana bantuan apapun langsung cair melalui

    rekening Bank atas nama kelompok usaha yang didanai oleh APBN/APBD. Dengan

    demikian terputus jalur birokrasi yang dahulunya setiap meja bisa menyunat/memotong dana

    tersebut. Hal ini sangat positif untuk menghidari korupsi dan mengedukasi masyarakat atas

    lembaga keuangan formal.

    Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K sampai saat ini telah

    membuat program implementasi strategi nasional keuangan inklusif yang tertuang dalam 6

     pilar di atas. Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah program yang paling populer dalam rangka

    mewujudkan keuangan inklusif.

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    9/18

     

    9

    TNP2K (2013) dalam (Damayanti & Adam, 2015) menemukan beberapa faktor yang

    menyebabkan bank tetap tidak tertarik menyalurkan KUR ke sektor industri, pertanian,

     perkebunan, perikanan, dan peternakan walaupun besarnya jaminan untuk sektor-sektor itu

    mengalami peningkatan. Pertama, risiko gagal bayar  — khususnya sektor pertanian,

     perkebunan, perikanan dan peternakan, relatif cukup tinggi. Tidak saja karena masalah pada

    saat budidaya (gagal panen), tetapi juga pada saat pemasaran (penurunan harga). Kedua, cara pembayaran bulanan model perbankan kurang sesuai dengan pendapatan pelaku usaha di

    sektor-sektor itu yang cenderung bersifat musiman. Ketiga, persaingan antara KUR dengan

    kredit program yang lain. Artinya, untuk beberapa sektor tertentu, seperti sektor pertanian,

     bank memiliki preferensi memberikan pinjaman ke pelaku usaha di sektor ini menggunakan

    skema kredit program yang lain, misalnya KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi).

    Keempat, pengalaman dan trauma bank menghadapi kenyataan kredit bermasalah sewaktu

     pengucuran kredit program (seperti BIMAS, KUT, ataupun KMKP) yang diluncurkan

    sebelum KUR. Penjaminan yang hanya partial (80 persen) dan tidak  full coverage (100

     persen) dipersepsikan bank tetap membuka peluang terjadinya risiko kredit bermasalah yang

    akan membebani perbankan. Kelima, meskipun mendapatkan penjaminan dari pemerintah,

    hampir semua bank peserta KUR mensyaratkan jaminan tambahan. Permasalahannya adalahstatus lahan yang dimiliki pelaku usaha di sektor-sektor itu belum tersertifikasi sehingga tidak

     bisa dijadikan sebagai agunan.

    BRI menjadi bank dengan kemampuan menyalurkan KUR terbesar ( leading bank ). Sekitar

    65,4 persen (KUR Mikro 53,5 persen dan KUR Ritel 11,9 persen) dari total KUR disalurkan

    melalui BRI. Kemampuan BRI menjadi leading bank dalam penyaluran KUR tidak terlepas

    dari dukungan keuangan ( financial capacity), kuatnya pemahaman, dan panjangnya

     pengalaman sebagai penyalur kredit mikro (micro credit business capability), serta

    terbangunnya kualitas sumber daya manusia (TNP2K, 2014) dalam (Damayanti & Adam,

    2015). Dalam kaitan dengan sumber daya manusia, misalnya —  berbeda dengan bank

    lainnya — BRI mengangkat account officer khusus, disebut Mantri KUR. Mantri KUR adalah

    ujung tombak penyaluran, pemasaran dan pencarian nasabah potensial. Struktur manajemen

    BRI juga lebih siap untuk menyalurkan KUR dengan memiliki BRI Unit yang khusus

    menyalurkan KUR Mikro, sementara KUR Ritel ditangani account officer di kantor cabang.

    Sistem reward and punishment dilaksanakan sebagai salah satu instrumen untuk menjaga

    kualitas account officer. Dengan sistem yang terbangun tersebut, tidak mengherankan jika

    BRI mampu meningkatkan ekspansi kredit (KUR) tanpa mendorong terjadinya peningkatan

    risiko kredit bermasalah (NPL). NPL BRI untuk KUR Mikro adalah 2 persen, sedangkan

    untuk KUR Ritel sebesar 3,4 persen. secara umum NPL KUR mencapai angka 4,2 persen,

    masih berada di bawah batas prudensial yang ditoleransi BI sebesar lima persen. Tetapi

    dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Terdapat beberapa bank yang NPL-nyamemang lebih dari lima persen, seperti BTN, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BPD.

    Kasus di beberapa BPD menunjukkan bahwa tingginya NPL merupakan akibat dari

    kurangnya pengalaman, kemampuan, dan pengetahuan BPD untuk menangani kredit yang

    sifatnya produktif, seperti KUR. Secara historis, BPD memang lebih banyak bergerak di

     penyaluran kredit yang sifatnya konsumtif.

    Selain KUR, pemerintah juga menyelenggarakan skim lain dengan tujuan yang hampir sama

    seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan beberapa skema yang dikelola

     pemerintah daerah dan lintas Kementerian seperti Kementerian Pertanian dengan program

    Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), Kementerian Sosial dengan program KUBE (Kredit

    Usaha Bersama). Namun program tersebut dalam prakteknya sering terjadi tumpang tindihantara program satu dengan program lainnya dan terkesan saling bersaing memperebutkan

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    10/18

     

    10

     pasar yang sama. Maka hal demikian harus menjadi evaluasi bagi pemerintah daerah dan

     pemerintah pusat dalam pemberdayaan UMKM untuk pengentasan kemiskinan dan

    meminimalisir gap keungan inklusif kepada masyarakat.

    III.4 

    Linkage Program Bank Syariah –  Lembaga Keuangan Mikro Syariah

    Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LMKS) saat ini telah berkembang pesat melebihi

     pesatnya perkembangan Lembaga Keuangan Mikro jenis lainnya di Indonesia. Hal ini diakui

    oleh Kementerian Koperasi dan UKM, ―Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM

    menyatakan koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) dalam bentuk Baitul maal Waa Tanwil

    (BMT) berkembang sangat signifikan. Hal ini tidak lepas dari perkembangan kinerja dari

    BMT secara nasional di tahun ini telah mencapai aset sebesar Rp 4,7 triliun dan jumlah

     pembiayaan sebesar Rp 3,6 triliun. Dengan perkembangan kinerja tersebut, Deputi Bidang

    Kelembagaan dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM Setyo Heriyanto menyakini, BMT

    akan sangat berperan sebagai lembaga keuangan mikro yang mampu menggerakan sektor riil

    di masyarakat. ‖  (REPUBLIKA.CO.ID, 2015)2. Jumlah Lembaga Keuangan Mikro Syariahyang masyarakat luas mengenalnya sebagai BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) saat ini telah

    mencapai lebih dari 4.000 unit di seluruh Indonesia. (Rizky, 2013)3. Menurut Machmud danRukmana (2010) dalam (Wahyudi S. & Malik, 2013) ―penyebab cukup besarnya persentase

     pembiaayaan bank syariah terhadap UMKM dikarenakan bank syariah lebih mengutamakan

    kelayakan usaha (proyek) daripada nilai agunan, sementara faktor agunan untuk sebagian besar

    merupakan penghambat UMKM dalam akses terhadap perbankan konvesional, bukan karenaUMKM tidak memiliki aset, melainkan karena aset nya yang dinilai tidak bankable”.

    Lebih lanjut (Wahyudi S. & Malik, 2013)4, menyatakan bahwa  ― peran perbankan syariahterhadap UMKM dapat ditunjukkan melalui seberapa besar dana yang dialokasikan untuk

     pembiayaan UMKM. Berdasarkan data Bank Indonesia (2013), pembiayaan perbankan syariah(11 BUS, 23 UUS dan 163 BPRS) pada sektor UMKM jika dibandingkan antara tahun 2009

    dengan tahun 2013 memang mengalami peningkatan dari Rp 35,799 triliun menjadi Rp 110,086

    triliun namun dari sisi porsi ( share) dari keseluruhan pembiayaan perbankan syariah selama 3tahun terakhir justru mengalami penurunan dari 76,35% menjadi 59,71% pada tahun 2013‖.

    Besarnya penyaluran pembiayaan Bank Syariah pada UMKM ini tidak lepas dari peran

    Lembaga Keuangan Mikro dibawahnya seperti BPRS dan BMT yang secara langsung

     bersentuhan dengan para anggotanya dengan memberikan pembiayaan antara Rp. 5juta

    sampai dengan Rp. 20 juta yang melakukan linkage program dengan Bank Syariah. Namun

    menurut penulis ada beberapa catatan kelemahan pelaksanaan linkage program ini dalam

    mewujudkan financial inclusion dan pengembangan UMKM, yaitu:1.  Bank Syariah lebih fokus kepada penyaluran pembiayaan kepada Lembaga

    Keuangan Mikro Syariah dan UMKM, bukan pemberdayaan dan kemitraan

    Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan UMKM.Hubungan bank syariah dengan lembaga keuangan mikro syariah sesunggungnya telah

    lama terjalin, sejak tahun 2005, bank syariah telah menjalin kerjasama dengan lembaga

    keuangan mikro syariah sebagai sarana penyaluran pembiayaan UMKM. Hal ini

    dilakukan karena bank syariah tidak mungkin dapat menyentuh nasabah UMKM dengan

    2 (REPUBLIKA.CO.ID, 2015). “Asset BMT capai Rp. 4,7 trilyun”  

    3

     (Rizky, 2013). Perkembangan BMT dari tahun ke tahun. www.puskopsyahlampung.com 4  (Wahyudi S. & Malik, 2013). Peran Pembiayaan Perbankan Syariah Terhadap Peningkatan Keunggulan

    Kompetitif Sektor UMKM

    http://www.puskopsyahlampung.com/http://www.puskopsyahlampung.com/http://www.puskopsyahlampung.com/http://www.puskopsyahlampung.com/

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    11/18

     

    11

    kebutuhan pendanaan dibawah 20 juta, akan tidak efisien. Maka bank syariah

    menggandeng BPRS dan BMT untuk menyalurkan pembiayaannya kepada

    nasabah/anggotanya. Namun sangat disayangkan hubungan yang terjalin tidak dilanjutkan

     pada hubungan kemitraan yang erat atau pemberdayaan lembaga keuangan mikro syariah

    di bawahnya. Ini dapat dibuktikan tidak adanya pendidikan dan pelatihan terstruktur dari

     bank syariah kepada lembaga keuangan mikro syariah. Akibatnya lembaga keuanganmikro tidak mengalami proses pembelajaran berkelanjutan dari SDMnya. Kemampuan

    SDM lembaga keuangan mikro tidak mengalami perbaikan, maka setelah terjalin

    kerjasama sekian waktu, ada beberapa bank syariah yang tidak melanjutkan

    kerjasamanya, karena pembiayaan yang diberikan mengalami kemacetan. Kalau tidak

    macet paling tidak terjadi penurunan kolektibilitas dari lembaga keuangan mikro.

    2.  Lembaga Keuangan Mikro Syariah kepada anggotanya lebih sebagai money lender  

    bukan empowering  (pemberdayaan).Terjadi kesalahan pula pada lembaga keuangan mikro yang menerima pembiayaan dari

     bank syariah. Karena lembaga keuangan mikro kepada anggotanya melakukan proses

    analisa pembiayaan seperti yang dilakukan bank syariah kepada lembaga keuangan

    mikro. Jadi lembaga keuangan mikro syariah tidak lebih dari sekedar money lenderkepada anggotanya, tidak terjadi proses pemberdayaan anggota dari lembaga keuangan

    mikro. Akibatnya anggota semakin lama bukan semakin baik angsurannya, malah terjadi

    sebaliknya. Proses pencairan pertama biasanya lancar, kedua lancar, ketiga baru mulai

    kelihatan kurang lancar dan terjadi kemacetan. Pemberdayaan anggota sangat diperlukan

    untuk pengembangan UMKM. Kebanyakan UMKM beroperasi secara tradisional

    manajemennya. Bila hal ini tidak mendapatkan sentuhan pemberdayaan dari lembaga

    keuangan mikro, maka proses pembelajaran berkelanjutan UMKM akan mengalami

    stagnasi, yang berakibat turunnya kemampuan pemilik UMKM seiring kemajuannya

    karena adanya pembiayaan dari lembaga keuangan mikro.

    3.  Penyaluran kepada anggota bersifat individual lending  bukan group lending. Dalam praktenya, lembaga keuangan mikro melakukan proses pembiayaan dengan pola

    indivudual lending seperti yang dilakukan perbankan. Secara empirik di banyak Negara

     berkembang yang melakukan pemberdayaan melaui kredit mikro, group lending sangat

    diperlukan, karena dalam sistem group lending terjadi interaksi timbal balik dan proses

     pemberdayaan anggota dari lembaga keungan mikro kepada anggotanya. Di Indonesia hal

    demikian tidak dilakukan oleh lembaga keuangan mikro, dengan berbagai alasan karena

    terkendala dengan efisiensi biaya bila melakukan pola group lending.

    4.  Lembaga Keuangan Mikro terutama BMT yang berbadan hukum Koperasi sudah

    meninggalkan jiwa, filosofi dan semangant Koperasi yaitu dari anggota, untuk

    anggota dan oleh anggota.

    Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga keuangan mikro berbadan hukum Koperasisaat ini beroperasi bukan dengan pola member base sebagai ruh dari Koperasi. Ini karena

    Undang-undang No. 25 tahun 1992 membolehkan Koperasi melayani simpan pinjam

    kepada selain anggota, yaitu kepad calon anggota. Pasal calon anggota ini dijadikan

    senjata oleh para pengurus Koperasi untuk menghimpun dan menyalurkan dana yang

    terkadang terkesan ―membabi buta‖. Padahal jiwa dan filosofi Koperasi mestinya berbasis

    anggota (member base).

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    12/18

     

    12

    III.5  Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah melalui Simbiosis Mutualisme Bank

    Syariah –  Lembaga Keuangan Mikro Syariah –  Kelompok Majlis Taklim Anggota

    Lembaga Keuangan Mikro Syariah.

    Keberadaan industri keuangan syariah terutama perbankan syariah saat ini telah menjangkau

    hampir seluruh wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke. Hampir di setiap IbukotaKabupaten di seluruh Indonesia saat ini telah beroperasi Bank Syariah baik itu kantor cabang

    atau kantor cabang pembantu. Walaupun jumlah dan cakupan wilayah perbankan syariah

    tidak seluas jaringan BRI dengan jumlah Unitnya yang telah sampai di setiap Kecamatan

    hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia. Namun sesungguhnya Bank Syariah memiliki

     potensi untuk berkembang sampai ke kota-kota kecamatan di wilayah Republik Indonesia

     bila sinergi antara Bank Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) bisa

    terpola dengan baik dan tepat.

    Mewujudkan keuangan inklusif di Indonesia tidak semudah di Negara lain dengan luas dan

    karakteristik masyarakatnya yang memiliki budaya beraneka ragam dan cakupan wilayah

    yang sangat luas. Namun upaya dan strategi yang sudah dilakukan harus terus ditingkatkandan dievaluasi kelemahannya agar perbaikan metode bisa dengan tepat merealisasikan visi

    dan misi nasional keuangan inklusif.

    Catatan kelemahan yang penulis kemukakan di atas adalah refleksi penulis yang telah

     berkecimpung di dunia keuangan mikro syariah selama 18 tahun. Pemikiran dan usulan pola

    untuk mewujudkan keuangan inklusif berikut adalah hasil perenungan mendalam atas

    fenomena Industri Keuangan Syariah yang selama ini penulis perhatikan yang tercermin pada

    gambar 4 sebagai kerangka berpikir penulis.

    Keberhasilan keuangan inklusif industri keuangan syariah tidak bisa berdiri sendiri, harus

    melibatkan semua pemangku kepentingan (stake holder) dari pusat sampai pemerintah

    kabupaten. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator perbankan

    syariah perlu mendesain instrumen regulasi yang berisi petunjuk operasional Bank Syariah

    sebagai pelaksana untuk melakukan linkage program kepada Lembaga Keuangan Mikro

    Syariah dalam penyaluran pembiayaan kepada anggotanya. Yang menjadi catatan kelemahan

    dari Lembaga Keuangan Mikro Syariah selama ini adalah kesulitannya dalam menghimpun

    dana masyarakat (anggota). Selama ini BMT melakukan penghimpunan dana dari masyarakat

    dengan ―melanggar‖ koridor aturan main sebagai Koperasi yang seharusnya melakukan

     penghimpunan dana hanya sebatas anggotanya saja, akan tetapi Lembaga keuangan Mikro

    selama ini menghimpun dana dari masyarakat secara bebas dan ―membabi buta‖. Hal

    demikian sebenarnya tidak ideal untuk ukuran Lembaga Keuangan Mikro, karena penghimpunan dana masyarakat perlu aturan main yang jelas dan payung hukum untuk

    keamanan dan penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sehingga banyak

    ditemukan Lembaga Keuangan Mikro (BMT dan KSP) yang bermasalah dikemudian hari

    yang menjadi korban adalah masyarakat (penyimpan dana).

    Idealnya Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT) tidak melakukan penghimpunan dana

    atau hanya berfokus pada penyaluran dana saja. Lalu dana dari mana?. Solusinya adalah

    membuat sinergi antara Bank Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah dengan

    aturan atau regulasi yang jelas dan manajemen risiko yang terukur. Bank Syariah sebagai

    institusi yang menghimpun dana karena telah memiliki segala fasilitas teknologi, jaringan,

    kemampuan SDM, payung hukum perlindungan konsumen (nasabah) dan penjaminan,sedangkan lembaga keuangan mikro syariah sebagai lembaga yang menyalurkan dana. Untuk

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    13/18

     

    13

    mewujudkannya adalah dengan membuka kantor kas di setiap kantor BMT. Sinergi ini akan

    saling menguntungkan karena Bank Syariah tidak perlu menyewa tempat untuk membuka

    kantor kas, BMT juga diuntungkan karena anggotanya yang selama ini menabung secara

    otomatis menjadi nasabah Bank Syariah.

    Gambar 3 Keuangan Inklusif melalui Simbiosis Mutualisme Bank Syariah - BMT

    Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa untuk mewujudkan keuangan inklusif dari

    industri keuangan syariah sampai ke pelosok pedesaan Negeri ini adalah dengan sinergi

    simbiosis mutualisme antara Bank Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT)

    yang saat ini sudah menjamur di berbagai pelosok wilayah Negeri ini, yaitu dengan membuka

    Kantor Kas di setiap kantor BMT. Pembukaan kantor kas ini bertujuan untuk menjaga

    kredibilitas BMT itu sendiri yang selama ini melakukan penghimpunan dana kepada

    masyarakat yang berpotensi melanggar undang-undang perbankan. Kendala sudah pasti ada

    dalam pembukaan kantor kas ini diantaranya kesiapan SDM BMT yang belum mengenal

     prinsip-prinsip layanan standar perbankan dan keamanan penyimpanan uang kas. Kendala ini

     bisa diatasi dengan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan kepada karyawan BMT, dan

     penyediaan fasilitas brankas yang memadai sesuai standar perbankan. Namun biaya pengadaan brankas dan pelatihan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Bank Syariahmendirikan kantor kas sendiri.

    Kendala besar yang paling potensial dalam sinergi ini adalah penyaluran dana yang berhasil

    dihimpun dari kantor kas Bank Syariah di kantor BMT. Karena dalam konsep ini dana yang

     berhasil dihimpun dari kantor kas itu harus disalurkan kepada anggota BMT tersebut. Ini

    tidak lazim dan potensi menimbulkan risiko besar di sisi perbankan syariah. Maka strategi

    komprehensif harus dilakukan dan melibatkan seluruh  stake holder  seperti tergambar dalam

    kerangka berpikir yang telah disebutkan di atas. Dapat dijelaskan sebagai berikut:

    KantorKas iBBMT A

    •Dana terhimpun dariBMT A

    •Disalurkan melaluiKelompok Majlis Ta'lim

    Anggota BMT A

    KantorKas iB

    BMT B

    •Dana terhimpun dariBMT B

    •Disalurkan melalui

    Kelompok MajlisTaklim Anggota BMT B

    KantorKas iBBMT C

    •Dana terhimpun dariBMT C

    •Disalurkan melaluiKelompok Majlis

    Taklim Anggota BMT C

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    14/18

     

    14

    Gambar 4 Pola Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah

    1.  Regulasi Bank Indonesia (BI) dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    tentang Pola Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah .Sebagai regulator dan pengawas perbankan Bank Indonesia dan OJK perlu menerbitkan

    regulasi yang mengatur sinergi antara Perbankan Syariah dengan Lembaga Keuangan

    Mikro Syariah (BMT). Titik kritis pada konsep pola tersebut adalah risiko pembiayaan

    yang disalurkan kepada anggota BMT dari dana yang dihimpun dari anggota di kantorkas tersebut. Manajemen risiko pembiayaan dapat dikurangi dengan mensyaratkan kepada

    BMT dengan penyaluran berbasis anggota (group lending).

    Menurut (Devi & Aam S., 2013) Penelaahan strategi yang mungkin untuk pengembangan

    GLM melalui model struktural interpretatif. Hasil strategi ini adalah buah dari depth

    interview dengan para pakar yang kompeten. Terdapat sedikitnya 7 level struktural

    elemen tujuan program. Ketujuh level ini terdiri dari total 9 elemen. Adapun kesembilan

    elemen ini adalah:

    1.  Perlunya kesetaraan akses dana untuk segala jenis institusi keuangan, baik perbankan maupun model pinjaman berbasis kelompok (Fair Access Fund), 

    2.  Perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pionir pelayananmodel pinjaman berbasis kelompok ini (Improve Human Resources Quality); 

    3.  Pentingnya keuangan inklusif pada seluruh sistem keuangan (Inclusion inFinancial System); 

    4.  Institusi berupa APEX bagi model pinjaman berbasis kelompok (APEXInstitution); 

    5.   Rating system untuk penilaian dan evaluasi GLM (GLM Rating System); 6.  Pentingnya pendampingan teknis untuk sustanabilitas model pinjaman berbasis

    kelompok ini (Technical Assistant); 

    7.  Vitalnya dukungan dari pemerintah (Government Support); 8.  Perlunya aturan/undang-undang yang mengatur kompetisi yang fair di antara

    lembaga pengelola pinjaman, baik formal maupun informal (Fair CompetitionAct); dan 

    BI dan OJKsebagai regulatordan pengawasPerbankan Syariah

    •PemerintahPusatmelaluipolitikAPBN

    Bank UmumSyariah sebagaiPelaksanaProgram

    •PenjaminanPembiayaanolehPemerintahPusat melalui

    Askrindo

    LembagaKeuanganMikro Syariah

    •PenjaminanolehPemerintahDaerahmelalui

    Askrida

    UsahaAnggotaKelompokMajlis Taklim

    •PenjaminanmelaluiGroupLending(Anggota

    KelompokMajlis Taklim)

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    15/18

     

    15

    9.  Pentingnya stabilitas ekonomi baik makro maupun mikro (Economic Stability). 

    Lebih penting dari semua hal di atas adalah pada aspek pengawasan pelaksanaan sinergi

    Bank syariah  –  Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT) oleh Otoritas Jasa Keuangan

    (OJK). Bila regulasi dan pengawasan berjalan dengan baik, maka group lending sebagai

    model untuk meminimalisir risiko pembiayaan akan dapat berjalan dengan baik, sehinggasinergi simbiosis mutualisme ini dapat berjalan sesuai dengan konsepnya.

    2.  Pemerintah Pusat melaui Politik APBN, Penjaminan dan Instrumen Regulasi Pola

    Akselerasi Keuangan Inklusif Syariah.Pemerintah Pusat selama ini telah menjalankan program semacam ini dengan Kredit

    Usaha Rakyat (KUR). Namun program KUR tidak mengharuskan pada Bank pelaksana

    untuk menyalurkan dengan pola kelompok (group lending). Pada pola ini Kementerintan

    Koperasi dan UKM harus menerbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang

    mengharuskan pola penyaluran dari Bank Syariah kepada Lembaga Keuangan Mikro

    Syariah dan kepada anggotanya adalah dengan pola tanggung renteng (group lending).

    Group Lending ini dapat mereduksi resiko pembiayaan dan mempercepat programkeuangan inklusif syariah. Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang tidak menjalankan

     program ini dengan pola group lending  harus mendapatkan sangsi tegas. Jadi penjaminan

    melalui Askrindo menjadi bersyarat dengan pola pembiayaan kelompok.

    3.  Pemerintah Daerah Mengambil Peran Aktif dan Penjaminan Askrida.

    Pemerintah Daerah dalam menyukseskan akselerasi keuangan inklusif tidak boleh tinggal

    diam dan menjadi penonton, harus menjadi salah satu pihak penting dengan membentuk

    Asuransi Kredit Daerah (Askrida) seperti yang telah dilakukan oleh Pemda Jawa Timur

    dan Pemda Bali. Namun pada pola syariah ini, pembiayaan kelompok (group lending)

    menjadi syarat utama dan tidak basa basi. Dengan keterlibatan Pemerantah Daerah ini,

    maka pembinaan dan pengawasan pelaksanaan program di tingkat Kabupaten dapat

    dilakukan oleh Pemkab oleh Dinas terkait dengan supervisi dari Otoritas Jasa Keuangan

     bila OJK belum mempunyai infrastruktur dan kesiapan dalam pengawasan Lembaga

    Keuangan Mikro Syariah.

    4.  Simbiosis Mutualisme Perbankan Syariah dengan Kemitraan dan Pemberdayaan

    kepada Lembaga Keungan Mikro Syariah dan Anggotanya.Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah sebagai pelaku industri

    keuangan syariah adalah institusi yang paling potensial dalam percepatan (akselerasi)

    keuangan inklusif syariah. Hubungan antara dua jenis lembaga ini tidak boleh berjalan

    sendiri-sendiri (harus sinergi) dan saling menguntungkan, sehingga tercipta simbiosismutualisme. Selama ini kedua jenis lembaga ini belum bersinergi secara ideal, baru

     berhubungan antara debitor dan kreditor. Kedua jenis lembaga ini mempunyai kelebihan

    dan kekurangannya masing-masing. Bank Syariah sebagai institusi perbankan dengan

    segala fasilitas yang dipunyai dan regulasi yang mengikatnya tidak mungkin menjangkau

    UMKM yang jumlahnya jutaan dengan kebutuhan permodalan yang hanya berkisar antara

    1 jutaan sampai 20-an juataan. Yang potensial bisa melayani mereka adalah lembaga

    keuangan mikro syariah (BMT) yang jumlahnya ribuan dan tersebar di seluruh pelosok

    wilayah Indonesia. Di lain sisi lembaga keuangan mikro syariah mempunyai kelemahan

    terutama pada SDM-nya. Maka Bank Syariah harus memberikan pelatihan berkelanjutan

    dan terprogram secara sistematis untuk meningkatkan kemampuan SDM BMT agar

    menjadi lembaga keuangan yang siap menerima sinergi percepatan keuangan inklusifsyariah. BMT selama ini menghimpun dana tanpa payung hukum, instrumen dan

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    16/18

     

    16

     penjaminan yang jelas dengan risiko besar yang dapat merugikan masyarakat, sementara

    Bank Syariah dengan infrastuktur dan fasilitas yang dipunyai memungkinkan bersinergi

    dengan BMT dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, agar masyarakat

    mendapatkan kepastian hukum, penjaminan simpanan dan kepastian bahwa dana yang

    disimpan di lembaga keuangan bisa kembali tanpa risiko yang besar. Dalam prakteknya

     banyak terjadi BMT yang gulung tikar karena tidak mampu menyediakan likuiditaskepada penabungnya. Maka sinergi seperti penjelasan gambar 3 adalah kerja sama ideal

     bagi kedua jenis lembaga dalam mewujudkan percapatan keuangan inklusif syariah di

    Indonesia.

    Bila saat ini terdapat 4.000 BMT dan masing-masing BMT mempunyai 2 Kantor, maka

    terdapat 8.000 kantor BMT. Bila 8.000 kantor tersebut 25%nya berhasil melaksanakan

     program ini, maka akan ada 2.000 kantor BMT yang menjadi kantor kas Bank Syariah

    dalam waktu yang relatif singkat. Bila 2.000 kantor ini punya 100 nasabah pembiayaan

     potensial dengan rata-rata penyaluran 5 juta per anggota, maka terdapat 2.000 kantor kali

    100 orang/UMKM dengan pembiayaan 5juta X 100 anggota X 2.000 kantor atau 1 trilyun

     pembiayaan dalam waktu yang relatif singkat.

    5.  Lembaga Keuangan Mikro Syariah dengan Sistem Group Lending dan

    Pemberdayaan Anggota melalui Kelompok Majlis Taklim Anggota.Selama ini lembaga keuangan mikro syariah memberikan pembiayaan kepada anggota

    dan masyarakat dengan sistem individual lending   (pembiayaan individu). Karena

     pembiayaannya bersifat individu, maka penilaian kelayakan pembiayaan berlaku seperti

     pada bank, yaitu kelayakan usaha berdasarkan kemampuan dan jaminan yang disediakan

    oleh anggotanya. Hal ini akan menyulitkan kedua belah pihak baik bagi BMT maupun

     bagi nasabah (anggotanya). Kesulitan bagi BMT karena SDM yang dimilikinya kurang

    kapabel dalam analisa pembiayaan sehingga asimetris informasi sering terjadi yang

     berakibat kemacetan pembiayaan dengan tingginya NPL/NPF. Tingginya NPF ini terjadi

    merata hampir di setiap Lembaga Keuangan Mikro non Bank. Karena instrumen regulasi

    dan pengawasan yang lembah dari Dinas Koperasi dan UKM yang manaunginya.

    Regulasi dari Lembaga Keuangan Mikro syariah (BMT) adalah regulasi diri sendiri (self

    regulation), pengawasan internal yang dilakukan tergantung dari regulasi yang dibuatnya

    sendiri. Ada BMT yang baik dalam penawasan internalnya, tetapi kebanyakan BMT

    selama ini mengandalkan sifat-sifat baik dan terpuji yang dimiliki oleh karyawannya,

    karena kebanyakan dari mereka adalah para aktivis dakwah yang punya sifat-sifat dasar

    kejujuran. Maka ada beberapa BMT yang kebobolan karena ulah karyawannya (moral

    hazard).

    Maka lembaga keuangan syariah (BMT) harus mulai mengenal pola  group lending  (pembiayaan kelompok), yang terbukti efektif dalam menekan pembiayaan bermasalah.

    BMT harus bisa memberdayakan anggotanya melalui Majlis Taklim dalam penyaluran

     pembiayaannya. Selama ini BMT belum bisa mencerahkan anggotanya dengan edukasi

    muamalah yang benar kepada anggota melalui Kelompok Majlis Taklim. Maka anggota

    yang selama ini telah mendapatkan layanan pembiayaan harus dibentuk kelompok group

    lending untuk dibina, diedukasi dan diberdayakan. Kunci keberhasilan dari pembiayaan

    kelompok adalah konsistensi lembaga dalam menerapkan pola ini dari awal sampai akhir.

    Program ini bisa berhasil bila semua pemangku kepentingan secara konsisten membina

    dan memberdayakan lembaga keuangan mikro syariah dan anggotanya.

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    17/18

  • 8/17/2019 Mengentaskan Kemiskinan Dan Kebodohan Ummat Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.docx

    18/18

     

    18

    Daftar Pustaka:

    Bank Indonesia. (2015). Keuangan Inklusif "Apa, Mengapa, Bagaimana dan Siapa". www.bi.go.id  .

    Bank Indonesia. (2015). Strategi Nasional Keuangan Inklusif. www.bi.go.id  .

    Damayanti, M., & Adam, L. (2015). Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai Alat Pendorong

    Pengembangan UMKM di Indonesia. Naskah Kerja TNP2K 27 –  2015 .

    Devi, A., & Aam S., R. (2013). Islamic Group Lending Model (GLM) dan Keuangan Inklusif: Studi

    Dampak dan Strategi Pengembangan.

    Gemari. (2011, Desember). Financial Inclusion» Jadi Isu Global. Tahun Gemari XII/Edisi

    131/Desember 2011. "Financial Inclusion» Jadi Isu Global". 

    Otoritas Jasa Keuangan, (. (2013). Laporan Perkembangan Keuangan Syariah tahun 2013. Otoritas

    Jasa Keuangan.

    REPUBLIKA.CO.ID. (2015, Maret Minggu, 22). Aset BMT Indonesia Capai Rp 4,7 Triliun. Minggu, 22

    Maret 2015, 23:53 WIB , hal. Aset BMT Indonesia Capai Rp 4,7 Triliun.

    Rizky, A. (2013). Perkembangan BMT Dari Tahun Ke Tahun. http://www.puskopsyahlampung.com.

    Susilo, Edi; . (2015). Manajemen Pembiayaan dan Risiko Pembiayaan Bank Syariah. Jepara, Jawa

    Tengah, Indonesia: Unisnu Press.

    Syaifullah, d. R. (tt). Keuangan Inklusif dan Pengentasan Kemiskinan. Pegawai Badan Kebijakan Fiskal

    Kementerian Keuangan .

    Wahyudi S., S., & Malik, N. (2013). Peran Pembiayaan Perbankan Syariah Terhadap Peningkatan

    Keunggulan Kompetitif Sektor UMKM.

    V.