makalah undang-undang pertambangan

150
MAKALAH UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN Disusun Oleh DANIEL BAGINDA OLOAN SITORUS DBD 113 158 UNIVERSITAS PALANGKARAYA JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN 2013

Upload: daniel-baginda-oloan-sitorus

Post on 15-Nov-2015

103 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Teknik Pertambangan

TRANSCRIPT

MAKALAHUNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN

Disusun OlehDANIEL BAGINDA OLOAN SITORUSDBD 113 158

UNIVERSITAS PALANGKARAYAJURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan berkat rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang saya miliki. Dan saya berterima kasih ke pada Bapak Yustinus Hendra Wiryanto, S.Si., MT.,M.Sc selaku Dosen mata kuliah Undang-Undang Tambang dan Perburuhan yang telah memberikan tugas makalah ini kepada saya. Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai undang-undang yang digunakan dalam dunia pertambangan. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang di harapkan. Untuk itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa adanya kritik yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya tugas makalah yang telah saya susun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yangmembangun demi perbaikan di masa yang akan datang.

Palangkaraya, 5 Maret 2014

BAB IPENDAHULUAN1. Latar BelakangPertambangan adalah salah satu komoditi yang sangat menguntungkan untuk negara. Banyak devisa yang dihasilkan dari pertambangan. Karena menggiurkannya keuntungan dalam dunia pertambangan, dibutuhkan sesuatu untuk mengatur jalannya produksi pertambangan. Banyak perusahaan yang hanya mau untungnya sendiri tanpa mau memikirkan kewajibannya bagi negara. Banyak penyimpangan disana-sini.Karena banyaknya masalah yang melanda dibutuhkan payung hukum yang kuat untuk mengatur jalannya usaha pertambangan. Negara mengatur setiap kegiatan pertambangan di Indonesia. Orang/perusahaan yang berkecimpung dalam dunia pertambangan wajib untuk mengetahui isi dan pelaksanaanya. Bagi mahasiswa Teknik Pertambangan ini juga sangat penting, karena nantinya kita juga akan masuk ke dunia pertambangan. Kita dituntut untuk mengatahui aturan dari hukum yang berlaku. Negara menuangkannya ke dalam undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, dll. Saya berharap dengan dibuatnya makalah ini dapat menambah wawasan dari pembaca agar lebih mengetahui tentang hukum yang berlaku di pertambangan.

PEMBAHASAN

UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 1967TENTANGKETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGANDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPD. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAMenimbang :a. bahwa guna mempercepat terlaksananya pembanguna ekonomi Nasional dalam menujumasyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasilamaka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenapkekuatan ekonomi potensiil dibidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil.b. bahwa berhubung dengan itu, dengan tetap berpegang pada Undang-undang Dasar 1945,dipandang perlu untuk mencabut Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 tentangPertambangan (Lembaran Negara tahun 1960 No. 119) serta menggantinya denganUndang-undang Pokok Pertambangan yang baru yang lebih sesuai dengan kenyataanyang ada dalam rangka memperkembangkan usaha-usaha pertambangan Indonesiadimasa sekarang dan dikemudian hari;Mengingat :1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 ;2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966 ;3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966 ;4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXXIII/MPRS/1967 ;5. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 163 tahun 1966 ;6. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 171 tahun 1967;DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG.MEMUTUSKAN :I. Mencabut Undang-undang No. 37 Prp 1960 tentang Pertambangan (Lembaran Negara tahun1960 No. 119).II. Menetapkan : undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambanganBAB IKETENTUAN UMUMPasal 1Penguasaan bahan galianSegala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yangmerupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa, adalah kekayaanNasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuksebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Pasal 2Istilah-istilaha. bahan galian : unsur-unsur kimia mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuantermasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam;b. hak tanah : hak atas sebidang tanah pada permukaan bumi menurut hukum Indonesia ;c. penyelidikan umum: penyelidikan secara geologi umum atau geofisika, didaratan,perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan maksud untuk membuat peta geologiumum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya;d. eksplorasi: segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebihteliti/seksama adanya dan sifat letakan bahan galian;e. eksploitasi: usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian danmemanfaatkannya;f. pengolahan dan pemurnian: pengerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian sertauntuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian itu;g. pengangkuatan: segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil pengolahan danpemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian ;h. penjualan: segala usaha penjualan bahan galian dan hasil pengolahan/pemurnian bahangalian;i. kuasa pertambangan: wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untukmelaksanakan usaha pertambangan;j. Menteri: Menteri yang lapangan tugasnya meliputi urusan pertambangan;k. wilayah hukum pertambangan Indonesia: seluruh kepulauan Indonesia, tanah dibawahperairan Indonesia dan paparan benua (continental shelf) kepulauan Indonesia;

l. Perusahaan Negara:a. Perusahaan Negara seperti yang dimaksud dalam Undang-undang tentangPerusahaan Negara yang berlaku;b. Badan Hukum yang seluruh modalnya berasal dari Negara;m. Perusahaan Daerah: Perusahaan seperti yang dimaksud dalam Undang-undang tentangPerusahaan Daerah yang berlaku;n. Pertambangan Rakyat: yang dimaksud dengan Pertambangan Rakyat adalah suatuusaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b, dan c seperti yangdimaksud dalam pasal 3 ayat (1) yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilanatau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri.

BAB II.PENGGOLONGAN PELAKSANAANPENGUASAAN BAHAN GALIANPasal 3(1) Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan :a. golongan bahan galian strategis;b. golonganbahan galian vital. c. golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b.(2) Penunjukan sesuatu bahan galian ke dalam sesuatu golongan tersebut pada ayat (1) pasal inidiatur dengan Peraturan Pemerintah.Pasal 4.(1) Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian tersebutdalam pasal 3 ayat (1) huruf a dan b dilakukan oleh Menteri;(2) Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian tersebutdalam pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I tempatterdapatnya bahan galian itu;(3) Dengan memperhatikan kepentingan pembangunan Daerah khususnya dan Negaraumumnya Menteri dapat menyerahkan pengaturan usaha pertambangan bahan galiantertentu dari antara bahan-bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b kepadaPemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.

BAB IIIBENTUK DAN ORGANISASI PERUSAHAANPERTAMBANGANPasal 5.Usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh :a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;b. Perusahaan Negara;c. Perusahaan Daerah;d. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah;e. Koperasi;f. Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12ayat (1);

g. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan/atau Daerah dengan Koperasidan/atau Badan/Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalampasal 12 ayat (1);h. Pertambangan Rakyat;Pasal 6.Usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan oleh :a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.b. Perusahaan Negara;Pasal 7.Bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, dapat pula diusahakan oleh pihak swastayang memenuhi syarat-syarat sebagai dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), apabila menurutpendapat Menteri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan perkembanganpertambangan, lebih menguntungkan bagi Negara apabila diusahakan oleh pihak swasta.Pasal 8.Apabila jumlah endapan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat(1) huruf a sedemikian kecilnyasehingga menurut pendapat Menteri akan lebih menguntungkan jika diusahakan secara sederhanaatau kecil-kecilan, maka endapan bahan galian itu dapat diusahakan secara Pertambangan Rakyatsebagai dimaksud dalam pasal 11.Pasal 9(1) Usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh:a. Negara atau Daerah;b. Badan atau Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalampasal 12 ayat (1).(2) Usaha pertambangan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini dapat dilaksanakan oleh:3a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;b. Perusahaan Negara;c. Perusahaan Daerah;d. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara/Perusahaan di satu pihak denganDaerah Tingkat I dan/atau Daerah Tingkat II atau Perusahaan Daerah di pihak lain.e. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara/Perusahaan Negara dan atauPerseorangan Swasta di pihak lain.(3) Perusahaan yang dimaksud dalam ayat (2) huruf e pasal ini harus berbentuk Badan Hukumdengan ketentuan bahwa Badan dan/atau Perseorangan Swasta yang ikut dalam perusahaanitu harus memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1).Pasal 10.(1) Menteri dapat menunjukan pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untukmelaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri olehInstansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasapertambangan.(2) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat (1)pasal ini Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus berpegang pada pedomanpedoman,petunjuk-petunjuk, dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.(3) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini mulai berlaku sesudah disahkan olehPemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat apabila menyangkuteksploitasi golongan a sepanjang mengenai bahan-bahan galian yang ditentukan dalam pasal13 Undang-undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.Pasal 11.Pertambangan Rakyat(1) Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalammengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara dibidang pertambangandengan bimbingan Pemerintah.

(2) Pertambangan Rakyat hanya dapat dilakukan oleh Rakyat setempat yang memegang KuasaPertambangan (Izin) Pertambangan Rakyat.(3) Ketentuan-ketentuan mengenai Pertambangan Rakyat dan cara serta syarat-syarat untukmemperoleh Kuasa Pertambangan (Izin) Pertambangan Rakyat diatur dalam PeraturanPemerintah.Pasal 12.(1) Kuasa Pertambangan untuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yangtersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada:a. Badan Hukum Koperasi;b. Badan Hukum Swasta yang didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan RepublikIndonesia bertempat kedudukan di Indonesia dan bertujuan berusaha dalam lapanganpertambangan dan pengurusnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan bertempattingal di Indonesia.c. Perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempattinggal di Indonesia.(2) Khusus untuk usaha eksploitasi sebelum diberikan kuasa pertambangan kepada pihaktermaksud dalam ayat (1) pasal ini haruslah didengar lebih dahulu pendapat dari suatu DewanPertambangan, yang pembentukan dan penentuan susunannya akan diatur oleh Pemerintah.Pasal 13.Dengan Undang-undang ditentukan bahan-bahan galian yang harus diusahakan semata-mata olehNegara dan cara melaksanakan usaha tersebut.

BAB IV.USAHA PERTAMBANGANPasal 14.Usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi :a. penyelidikan umum;b. eksplorasi;c. eksploitasi;d. pengolahan dan pemurnian;e. pengangkutan;f. penjualan;

BAB V.KUASA PERTAMBANGANPasal 15.(1) Usaha pertambangan termaksud dalam pasal 14 hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atauperseorangan yang tersebut dalam pasal 6, 7, 8, dan 9 apabila kepadanya telah diberikan kuasapertambangan.(2) Ketentuan-ketentuan tentang isi, wewenang, luas wilayah dan syarat-syarat kuasapertambangan serta kemungkinan pemberian jasa penemuan bahan galian baik langsung olehPemerintah maupun dalam rangka pemebrian kuasa pertambangan, diatur dengan PeraturanPemerintah.(3) Kuasa Pertambangan diberikan dengan Keputusan Menteri. Dalam Keputusan Menteri itudapat diberikan ketentuan-ketentuan khususnya disamping apa yang telah diatur dalamPeraturan Pemerintah yang termaksud dalam ayat (2) pasal ini.(4) Kuasa pertambangan dapat dipindahkan kepada perusahaan atau perseorangan lain bilamanamemenuhi ketentuan-ketentuan dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan 12 dengan persetujuan Menteri.Pasal 16.(1) Dalam melakukan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan,maka Pertambangan Rakyat yang telah ada tidak boleh diganggu, kecuali bilamana Menterimenetapkan lain demi kepentingan Negara.

(2) Pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan tidak boleh dilakukandiwilayah yang tertutup untuk kepentingan umum dan pada lapangan sekitar lapanganlapangandan bangunan-bangunan pertahanan.(3) Wilayah pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan tidakmeliputi :a. tempat-tempat kuburan, tempat-tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaan umum,misalnya jalan-jalan umum, jalan-jalan, jalan kereta api, saluran air listrik, gas dansebagainya.b. tempat-tempat pekerjaan usaha pertambangan lain.c. bangunan-bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik beserta tanah-tanahpekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin yang berkepentingan.(4) Dalam hal dianggap sangat perlu untuk kepentingan pekerjaan usaha pertambanganberdasarkan suatu kuasa pertambangan, pemindahan sebagaimana termaksud dalam ayat (3)pasal ini dapat dilakukan atas beban pemegang kuasa pertambangan dan setelah diperolehizin dari yang berwajib.

BAB VI.CARA DAN SYARAT-SYARAT BAGAIMANA MEMPEROLEHKUASA PERTAMBANGAN.Pasal 17.(1) Permintaan untuk memperoleh kuasa pertambangan diajukan kepada Menteri.(2) Dengan Keputusan Menteri diatur cara mengajukan permintaan yang dimaksud dalam ayat (1)pasal ini begitu pula syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh peminat, apabila belumditentukan dalam Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 15 ayat (2).Pasal 18.Permintaan kuasa pertambangan hanya dipertimbangkan oleh Menteri setelah pemintamembuktikan kesanggupan dan kemampuannya terhadap usaha pertambangan yang akandijalankan.Pasal 19.Dengan mengajukan permintaan kuasa pertambangan, maka peminta dengan sendirinyamenyatakan telah memilih domisili pada Pengadilan Negeri yang berkedudukan di dalam DaerahTingkat I yang bersangkutan.

BAB VII.BERAKHIRNYA KUASA PERTAMBANGANPasal 20.Kuasa pertambangan berakhir :a. karena dikembalikan;b. karena dibatalkan;c. karena habis waktunya.Pasal 21.(1) Pemegang kuasa pertambangan dapat menyerahkan kembali kuasa perta mbangannya denganpernyataan tertulis kepada Menteri.(2) Pernyataan tertulis yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini disertai dengan alasan-alasan yangcukup apa sebabnya pernyataan ini disampaikan.(3) Pengembalian kuasa pertambangan dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri.Pasal 22.(1) Kuasa Pertambangan dapat dibatalkan dengan keputusan Menteri :

a. apabila pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkandalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) atau yang ditentukandalam Keputusan Menteri yang tersebut dalam pasal 15 ayat (3).b. jikalau pemegang kuasa pertambangan ingkar menjalankan perintah-perintah dan petunjukpetunjukyang diberikan oleh pihak yang berwajib untuk kepentingan Negara.(2) Kuasa pertambangan dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri untuk kepentingan Negara.Pasal 23.Apabila waktu yang ditentukan dalam suatu kuasa pertambangan telah berakhir, sedangkanuntuk kuasa pertambangan tersebut tidak diberikan perpanjangan maka kuasa pertambangantersebut berakhir menurut hukum.Pasal 24.(1) Jika kuasa pertambangan berakhir karena hal-hal termaksud dalam pasal 21, 22 ayat (1) danpasal 23 maka :a. segala beban yang diberatkan kepada kuasa pertambangan batal menurut hukum;b. wilayah kuasa pertambangan kembali kepada kekuasaan Negara;c. segala sesuatu yang diperlukan untuk mengamanan bangunan-bangunan tambang danselanjutnya pengambilan bahan-bahan galian menjadi hak Negara tanpa penggantiankerugian kepada pemegang kuasa pertambangan;d. perusahaan atau perseorangan yang memegang kuasa pertambangan itu harusmenyerahkan semua klise dan bahan-bahan peta, gambar-gambar ukuran tanah dansebagainya yang bersangkutan dengan usaha pertambangan kepada Menteri dengan tidakmenerima ganti kerugian.(2) Menyimpang dari bunyi ayat (1) pasal ini, maka bilamana kuasa pertambangan dibatalkanuntuk kepentingan Negara, maka kepadanya diberi ganti kerugian yang wajar.(3) Menteri menetapkan waktu dalam mana pemegang kuasa pertambangan terakhir diberikesempatan untuk mengangkat segala sesuatu yang menjadi hak miliknya. Segala sesuatuyang belum diangkat dalam waktu tersebut menjdi milik Negara.

BAB VIII.HUBUNGAN KUASA PERTAMBANGANDENGAN HAK-HAK TANAHPasal 25.(1) Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya padasegala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungandaerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatanitu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapatdiketahui terlebih dahulu.(2) Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha dari dua pemegang kuasa pertambangan ataulebih, dibebankan kepada mereka bersama.Pasal 26.Apabila telah didapat izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukumyang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkanpekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakatkepadanya:a. sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan atausalinannya yang sah diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu akandilakukan ;b. diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.

Pasal 27.(1) Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasapertambangan, maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukanbersama antara pemegang kuasa pertambangan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atasdasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapatdiperguanakan.(2) Jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai kata mufakat tentang ganti rugi sebagaimanadimaksud pada ayat (1) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada Menteri.(3) Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan Menteri tentang ganti rugisebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepadaPengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah/wilayah yang bersangkutan.(4) Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) pasal ini beserta segala biaya yangberhubungan dengan itu dibebankan kepada pemegang kuasa pertambangan yangbersangkutan.(5) Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidakterdapat hak tanah, maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian-bagiannya tidak dapatdiberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.

BAB IX.PUNGUTAN-PUNGUTAN NEGARAPasal 28.(1) Pemegang kuasa pertambangan membayar kepada Negara iuran tetap, iuran eksplorasidan/atau eksploitasi dan/atau pembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasapertambangan yang bersangkutan.(2) Pungutan-pungutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah.(3) Kepada Daerah Tingkat I dan II diberikan bagian dari pungutan-pungutan Negara tersebut ,yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X.PENGAWASAN PERTAMBANGANPasal 29.(1) Tata Usaha, pengawasan pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangandipusatkan kepada Menteri dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.(2) Pengawasan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini terutama meliputi keselamatan kerja,pengawasan produksi dan kegiatan lainnya dalam pertambangan yang menyangkutkepentingan umum.Pasal 30.Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegangkuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa,sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya.

BAB XI.KETENTUAN-KETENTUAN PIDANAPasal 31.(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau dengan dendasetinggi-tingginya limaratus ribu rupiah, barang siapa yang tidak mempunyai kuasapertambangan melakukan usaha pertambangan seperti dimaksud dalam pasal 14 dan 15.(2) Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau dengan dendasetinggi-tingginya limapuluh ribu rupiah, sebelum memenuhi kewajiban-kewajiban terhadapyang berhak atas tanah menurut Undang-undang ini.

Pasal 32.(1) Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau dengan dendasetinggi-tingginya limapuluh ribu rupiah, barang siapa yang tidak berhak atas tanahmerintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah.(2) Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau dengan dendasetinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah, barang siapa yang berhak atas tanah merintangi ataumengganggu usaha pertambangan yang sah, setelah pemegang kuasa pertambanganmemenuhi syarat-syarat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 26 dan 27 Undang-undangini.Pasal 33.Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau dengan dendasetinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah.a. Pemegang kuasa pertambangan yang tidak memenuhi atau tidak melaksanakan syarat-syaratyang berlaku menurut Undang-undang ini dan/atau Undang-undang termaksud dalamkeputusan Menteri yang diberikan berdasarkan Undang-undang ini dan/atau Undang-undangyang termaksud dalam pasal 13.b. Pemegang kuasa pertambangan yang tidak melakukan perintah-perintah dan/atau petunjukpetunjukyang berwajib berdasarkan Undang-undang ini.Pasal 34(1) Jikalau pemegang kuasa pertambangan atau wakilnya adalah suatu perseroan, maka hukumantermaksud pasal 31, 32 dan 33 dijatuhkan kepada para anggota pengurus.(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) adalah kejahatan dan perbuatanperbuatanlainnya adalah pelanggaran.

BAB XII.KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUPPasal 35.(1) Semua hak pertambangan dan kuasa pertambangan perusahaan Negara, perusahaan swasta,badan lain atau perseorangan yang diperbolehkan berdasarkan peraturan yang ada sebelumsaat berlakunya Undang-undang ini, tetap dapat dijalankan sampai sejauh masa berlakunya,kecuali ada penetapan lain menurut Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berdasarkankepada Undang-undang ini.Pasal 36.(1) Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan carapengusahaan pertambangan oleh perusahaan Negara, perusahaan swasta, badan lain atauperseorangan yang tersebut dalam pasal 35 ayat (1) diatas serta peraturan perundangundanganlainnya yang masih berlaku selama belum ada ketentuan-ketentuan penggantiberdasarkan Undang-undang ini.(2) Semua peraturan perundang-undangan yang bersumber kepada Undang-undang No. 37 Prptahun 1960 yang masih berlaku pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlakusepanjang tidak dicabut, dirobah atau ditambah berdasarkan Undang-undang ini.Pasal 37.Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan disebut UNDANG-UNDANGPOKOK PERTAMBANGAN.Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang inidengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.Disahkan di : J A K A R T APada tanggal : 2-12-1967PEJABAT PRESIDENREPUBLIK INDONESIAttd.S O E H A R T OJENDRAL T.N.IDiundangkan di : JakartaPada tanggal : 2-12-1967Sekretaris Kabinet Amperattd.Sudharmono S.HBrig. Jen. T.N.I

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIANOMOR KEP.110/MEN/1997 TAHUN 1997TENTANGPELAKSANAAN PENGGUNAAN TENAGA KERJA WARGA NEGARA ASING PENDATANG PADA SEKTORPERTAMBANGAN DAN ENERGI SUB SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMIMENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA,Menimbang:a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kegiatan sektor pertambangan dan energi sub sektorpertambangan minyak dan gas bumi pada era globalisasi, perlu diberikan kesempatan kerja yang lebih luas kepada tenaga kerja Indonesia pada sektor tersebut;b. bahwa pengaturan pembatasan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang pada sektor pertambangan dan energi sub sektor pertambangan minyak dan gas bumi yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-377/MEN/1991 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan, sehingga perlu disempurnakan;c. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dan sesuai Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995,dianggap perlu untuk mengatur Pelaksanaan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang pada Sektor Pertambangan dan Energi Sub Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dalam suatu Keputusan Menteri Tenaga Kerja.

Mengingat:1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8); 2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070);3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) jo. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang Nomor 1 Tahun, 1967 tentang Penanaman Modal Asing(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) jo. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penambahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971);7. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka, Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3552);9. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1994 tentang Visa, Ijin Masuk dan Ijin Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3563);10. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3571);11. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tanggal 25 Maret 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;12. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tanggal 9 Nopember 1995, tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;13. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.01/MEN/1997 tentang Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan (Skill Development Fund) Tenaga Kerja Indonesia.

MEMUTUSKAN:Menetapkan:KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG PELAKSANAAN PENGGUNAAN TENAGA KERJA WARGA NEGARA ASING PENDATANG PADA SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI SUB SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMIBAB IKETENTUAN UMUMPasal 1Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:a. Perusahaan adalah Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha pada sektor pertambangan dan energi sub sektor pertambangan minyak dan gas bumi yang terdiri atas:1. Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamben);2. Perusahaan nasional, asing maupun joint venture yang melaksanakan kerjasama dengan Pertamina dalam pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi serta panas bumi;3. PT. Perusahaan Gas Negara (Persero);4. Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Asing yang mendapat ijin usaha dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi;5. Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang mengadakan investasi baik berdasarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan atau Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri atau tidak, yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi;6. Kantor Perwakilan Perusahaan Asing yang persetujuan pembukaan perkantorannya diberikan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.b. Kelompok Jabatan, adalah kelompok jabatan dalam kegiatan sektor pertambangan dan energi sub sektorpertambangan minyak dan gas bumi yang perinciannya sebagaimana tercantum dalam LAMPIRAN Keputusan ini;c. Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang yang selanjutnya disingkat TKWNAP, adalah tenaga kerja asing pemegang visa kerja yang akan dipekerjakan di wilayah Republik Indonesia;d. Tenaga Kerja Indonesia, adalah tenaga kerja Warga Negara Indonesia;e. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat RPTK, adalah rencana penggunaan TKWNAP yang meliputi jabatan, jumlah, jangka waktu, kewarganegaraan dan nama pendamping TKWNAP;f. Ijin Mempekerjakan TKWNAP yang selanjutnya disingkat IMTA, adalah ijin tertulis yang diberikan kepada pengguna TKWNAP oleh Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk untuk mempekerjakan TKWNAP di Indonesia dengan menerima upah atau tidak selama waktu tertentu dan pada jabatan tertentu;g. Ijin Kerja TKWNAP yang selanjutnya disingkat IKTA, adalah ijin tertulis yang diberikan kepada TKWNAPoleh Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk.Pasal 2Perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha wajib mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia.Pasal 3Dalam hal diperlukan penggunaan TKWNAP, Perusahaan wajib mengajukan permohonan pengesahan RPTK,IMTA, IKTA, yang didasarkan pada Kelompok Jabatan, Nama Jabatan dan Jangka Waktu PenggunaanTKWNAP sebagaimana tercantum dalam LAMPIRAN Keputusan ini.

BAB IIKETENTUAN PENGGUNAAN TKWNAP DAN PEMBINAAN TENAGA KERJA INDONESIAPasal 4(1) Perusahaan yang menggunakan TKWNAP wajib menyusun rencana dan melaksanakan program penggantian TKWNAP kepada Tenaga Kerja Indonesia.(2) Rencana dan pelaksanaan program penggantian TKWNAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai jangka waktu penggunaan jabatan sebagaimana tercantum dalam LAMPIRANkeputusan ini.

Pasal 5(1) Dalam melaksanakan program penggantian TKWNAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Perusahaan wajib menunjuk TKI sebagai tenaga kerja pendamping.(2) Ketentuan penunjukan Tenaga Kerja Indonesia sebagai tenaga kerja pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi jabatan pemimpin dan wakil dari Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 6.Pasal 6(1) Perusahaan yang mempekerjakan TKWNAP wajib membayar Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan (DPKK) Tenaga Kerja Indonesia.(2) Tatacara pembayaran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan yang berlaku.Pasal 7(1) Pembayaran DPKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dibebankan kepada Perusahaan yang bersangkutan.(2) Bagi Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 dibebankan pada Kantor Pusat Perusahaan yang bersangkutan.Pasal 8(1) Dalam hal Tenaga Kerja Indonesia belum siap untuk menggantikan TKWNAP sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat (2), Perusahaan wajib menyampaikan alasan tertulis kepada Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk.(2) Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dapat mempertimbangkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memperhatikan pendapat dan saran Menteri Pertambangan dan Energi Cq. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi.Pasal 9(1) Untuk mempercepat penggantian TKWNAP kepada Tenaga Kerja Indonesia, Perusahaan wajib melaksanakan pembinaan dan pengembangan Tenaga Kerja Indonesia, dengan cara:a. menunjuk Tenaga Kerja Indonesia sebagai pendamping TKWNAP;b. melaksanakan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Indonesia secara terus menerus danberkesinambungan, sesuai persyaratan jabatan yang diperlukan dalam rangka penggantianTKWNAP;c. kegiatan lain yang berkaitan dengan proses alih teknologi dari TKWNAP kepada Tenaga KerjaIndonesia.(2) Pembinaan dan pengembangan Tenaga Kerja Indonesia pada Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 dan 2, wajib dikonsultasikan kepada Diretur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja.(3) Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan serta Pembinaan dan Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c, dilaksanakan oleh Perusahaan baik secara sendiri maupun menggunakan jasa pihak ketiga.(4) Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi tanggung jawab Perusahaan dan tidak dapat dibebankan ulang kepada Tenaga Kerja Indonesia.

BAB IIIPELAKSANAAN PENGESAHAN RPTKPasal 10Perusahaan yang akan menggunakan TKWNAP, wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahanRPTK kepada Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.Pasal 11Permohonan Pengesahan RPTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib dilengkapi hasil konsultasi teknisdari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.Pasal 12Konsultasi Tenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diberikan setelah Perusahaan menyampaikankelengkapan persyaratan serta keterangan yang diperlukan.Pasal 13(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak berlaku bagi Perusahaan yang menggunakanTKWNAP untuk pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak yang jangka waktunya tidak lebih dari 60(enam puluh) hari, berdasarkan hasil konsultasi teknis dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.(2) Apabila jangka waktu pekerjaan melebihi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajibmengajukan permohonan RPTK sesuai ketentuan Pasal 10.Pasal 14Bagi Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 dan 2, permohonan pengesahanRPTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diajukan oleh Pertamina.

BAB IVPELAKSANAAN PEMBERIAN IMTA DAN IKTAPasal 15RPTK yang telah disahkan, digunakan sebagai dasar pengajuan dan permohonan IMTA dan IKTA olehPerusahaan kepada Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.Pasal 16Permohonan IMTA dan IKTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat diajukan oleh Perusahaanberdasarkan hasil konsultasi teknis dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.Pasal 17Permohonan IKTA untuk pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak, yang jangka waktunya tidak lebih dari60 (enam puluh) hari dapat diajukan oleh Perusahaan setelah mendapatkan hasil konsultasi teknis terlebihdahulu dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. BAB VKETENTUAN LAIN-LAINPasal 18(1) Perusahaan wajib menyampaikan laporan penggunaan TKWNAP dan program penggantiannya kepadaDirektorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja,secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.(2) Perusahaan wajib menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan DirektoratJenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja mengenai rencana pembinaan dan pengembanganTenaga Kerja Indonesia, secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.Pasal 19Dalam hal Perusahaan mengajukan permohonan penggunaan TKWNAP untuk jabatan yang belum tercantumdalam LAMPIRAN keputusan ini, maka penggunaan TKWNAP berdasarkan persetujuan Direktorat JenderalPembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi.Pasal 20Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumimelaksanakan pembinaan dan pengembangan Tenaga Kerja Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.Pasal 21Petunjuk teknis pelaksanaan keputusan ini ditetapkan lebih lanjut secara bersama oleh Direktorat JenderalPembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan Direktur Jenderal Imigrasi.

BAB VIKETENTUAN PENUTUPPasal 22Dengan ditetapkannya Keputusan ini, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-377/MEN/1991 tentangPelaksanaan Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang Pada SektorPertambangan dan Energi SUB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dinyatakan tidak berlaku lagi.Pasal 23Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Ditetapkan Di Jakarta,Pada Tanggal 19 Juni 1997www.hukumonline.comMENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA, Ttd.DRS. ABDUL LATIEF

MENTERI ENERGI DAN SUMBER CAVA MINERALREPUBLIK INDONESIAPERATURAN MENTER! ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERALREPUBLIK INDONESIANOM OR : 24 TAHUN 2012TENTANGPERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI ENERGIDAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANGPENYELENGGARAAN USAHA JASA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARADENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAMENTER! ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan pemberian Izin Usaha Jasa Pertambangan dan Surat Keterangan Terdaftar, perlu menyempurnakan pengaturanmengenai aspek-aspek penyelenggaraan usaha jasa pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Mengingat Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara;b. bahwa dalam rangka perigembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat, optimalisasi dan konservasi sumber daya mineral jenis timah aluvial dan memberikankesempatan bekerja kepada pelaku usaha jasa pertambangan lokal dan masyarakat sekitar tambang,perlu mengatur mekanisme pemberian pekerjaan olehPemegang IUP atau IUPK yang berbentuk BUMN atau BUMD kepada pelaku usaha jasa pertambangan lokal danmasyarakat sekitar tambang melalui program kemitraan;c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan PeraturanMenteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentangPerubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara;Mengingat:1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usah"a Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah dua kali diu bah terakhir dengan Undang-UndangNomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 4756);6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Keeil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4866);7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomer 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan DaerahKabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);10. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5282);Menetapkan11. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142);12. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 5172);13. Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011 tanggal 18 Oktober 2011;14. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 341);15. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 552);16. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan PemurnianMineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 165) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun2012 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 534);MEMUTUSKAN:

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYAMINERAL TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURANMENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR28 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHAJASA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.Pasal IBeberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 341), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 17, angka 19, angka 21, dan angka 23

Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal 11. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yangberkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan.2. Usaha Jasa Pertambangan adalah usaha jasa yang kegiatannya berkaitan dengan tahapan dan/atau bagian kegiatan usaha pertambangan.3. Usaha Jasa Pertambangan Non Inti adalah usaha jasa selain Usaha Jasa Pertambangan yang memberikan pelayanan jasa dalam mendukung kegiatan usaha pertambangan.4. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pascatambang.5. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.6. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial danlingkungan hidup.7. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis Usaha Pertambangan, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan serta perencanaan pascatambang.8. Konstruksi Pertambangan adalah kegiatan Usaha Pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.9. Penambangan adalah bagian kegiatan Usaha Pertambangan untuk memproduksi mineral dan/ atau batubara dan mineral ikutannya.10. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan Usaha Pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.11. Pengangkutan adalah kegiatan U saha Pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat Pengolahan danPemurnian sampai tempat penyerahan. 12. Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan Usaha Pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.13. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan Usaha Pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kem bali sesuai peruntukannya.14. Lingkungan Pertambangan adalah lindungan lingkungan pertambangan yang merupakan instrumen untuk memproteksi lingkungan hidup yang terkena dampak kegiatan Usaha Pertambangan pada wilayah sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.15. Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja, dan bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaankerj a (zero accident).16.Izin Usaha Jasa Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUJP, adalah izin yang diberikan kepada Pelaku Usaha Jasa Pertambangan untuk melakukan kegiatan Usaha Jasa Pertambangan.17. Surat Keterangan Terdaftar, yang selanjutnya disebut SKT, adalah surat keterangan tanda terdaftar yang diberikan kepada Perusahaan Usaha Jasa Pertambangan Non Inti yang melakukan kegiatan secara terus-menerus di lokasi tambang.18. Klasifikasi adalah penggolongan bidang U saha J asa Pertambangan berdasarkan kategori konsultan, perencana, pelaksana dan pengujian peralatan.19. Kualifikasi adalah penggolongan U saha Jasa Pertambangan berdasarkan tingkat kemampuan keuangan perusahaan.20. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.21. Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal adalah perusahaan jasa yang berbadan hukum Indonesia atau bukan berbadan hukum, yang didirikan di kabupaten/ kota atau provinsi, yang seluruh modalnya berasal dari dalam negeri dan se bagian besar berasal darikabupaten/kota atau provinsi setempat, serta beroperasi dalam wilayah kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan.22. Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional adalah perusahaan yang didirikan dan berbadan hukum Indonesia yang seluruh modalnya berasal dari dalam negeri dan beroperasi di wilayah Repu blik Indonesia atau di luar wilayah Republik Indonesia.23. Perusahaan Jasa Pertambangan Lain adalah perusahaan jasa yang didirikan di Indonesia atau berbadan hukum Indonesia yang sebagian modalnya dimiliki oleh pihak asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.24.lzin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.25.lzin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.26. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara.27. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan pertambangan mineral dan batubara.

2. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 4 diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5), sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal4(1) Pengusahaan Jasa Pertambangan dikelompokkan atas:a. Usaha Jasa Pertambangan; danb. Usaha Jasa Pertambangan Non Inti.(2) Jenis Usaha Jasa Pertambangan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan di bidang:1. Penyelidikan Umum;2. Eksplorasi;3. Studi kelayakan;4. Konstruksi Pertambangan;5. Pengangkutan;6. Lingkungan Pertambangan;7. Pascatambang dan Reklamasi; dan/atau8. Keselamatan dan Kesehatan Kerja.b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang:1. penambangan; atau2. pengolahan dan pemurnian.(3) Bidang Usaha Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas subbidangsubbidang sebagaimana tereantum dalam Lampiran I A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.(4) Bidang Usaha Jasa Pertambangan Non Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah sebagaimana tereantum dalam Lampiran I B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.(5) Perubahan atas bidang dan subbidang-subbidang Usaha Jasa Pertambangan dan bidang Usaha Jasa Pertambangan Non Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

3. Ketentuan ayat (4) Pasal 5 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasa15(1) Pemegang IUP atau IUPK dalam melakukan kegiatan usahanya dapat menggunakan Jasa Pertambangan setelah rene ana kerja kegiatannya mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.(2) Pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal dan/atau Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional.(3) Dalam hal tidak terdapat Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal dan/atau Perusahaan JasaPertambangan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain.(4) Pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila setelah melakukan pengumuman ke media massa lokal dan/atau nasional, tidak ada Perusahaan Jasa PertambanganLokal dan/ atau Perusahaan Jasa Pertambangan Nasional yang memenuhi klasifikasi dan kualifikasi yang dibutuhkan Pemegang IUP atau IUPK.(5) Dalam hal Perusahaan Jasa Pertambangan Lain mendapatkan pekerjaan di bidang Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Jasa Pertambangan Lain harus memberikan sebagian pekerjaan yang didapatkannya kepada PerusahaanJasa Pertambangan Lokal sebagai subkontraktor sesuai dengan kompetensinya.(6) Pemegang IUP atau IUPK dalam menggunakan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menerapkan asas kepatutan, transparan dan kewajaran.

4. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 10 diubah serta ditambahkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal 10(1) Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan sendiri kegiatan Penambangan. (2) Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi dapat menyerahkan kegiatan Penambangan kepada perusahaan Usaha Jasa Pertambangan terbatas pada kegiatan pengupasan lapisan (stripping) batuan/tanah penutup.(3) Pengupasan lapisan (stripping) batuan/tanah penutup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan penggalian, pemuatan, dan pemindahan lapisan (stripping) batuan/tanah penutup dengan atau tanpa didahului peledakan.(4) Dalam rangka pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat, optimalisasi pemanfaatan, dan konservasi sumber daya mineral jenis timah aluvial, pemegang IUP atau IUPK yang berbentuk BUMN atau BUMD dalam pelaksanaan kegiatan penggalianendapan timah aluvial, dapat menyerahkan pekerjaannya kepada Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal dan/ atau masyarakat sekitar tambang melalui program kemitraan, setelah mendapatkan persetujuan Menteri.(5) Pemegang IUP atau IUPK dengan metode tambang bawah tanah, dalam pembuatan akses tunnel/shaft menuju vein ore/ seam coal, penyaliran, dan peranginan, dapat menyerahkan pekerjaannya kepada perusahaan Usaha Jasa Pertambangan Bidang Konstruksi Pertambangan Subbidang Penerowongan (Tunneling).(6) Pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan peralatan milik perusahaan pemegang SKT melalui mekanisme penyewaan alat berat.

5. Ketentuan ayat (2) Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal 13( 1) Klasifikasi U saha J asa Pertam bangan terdiri atas:a. konsultan;b. perencana;c. pelaksana; dand. penguji peralatan,pada bidang jasa pertambangan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4.(2) Klasifikasi Usaha Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dalam pelaksanaan kegiatannya disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

6. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 14 diubah serta ditambahkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal 14(1) Kualifikasi Usaha Jasa Pertambangan terdiri atas:a. kecil;b. menengah; dane. besar.(2) Kualifikasi untuk Klasifikasi konsultan, pereneana, pelaksana, dan penguji peralatan untuk bidang Penyelidikan Umum, Eksplorasi, Studi Kelayakan, Lingkungan Pertambangan, Paseatambang dan Reklamasi, dan Keselamatan dan Kesehatan Kerjaserta Kualifikasi untuk Klasifikasi konsultan, pereneana, dan penguji perala tan bidang Konstruksi Pertambangan, Penambangan, Pen gangkutan , serta Pengolahan dan Pemurnian serta pelaksana kegiatan penggalian timah aluvial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) ditentukan sebagai berikut:a. Kualifikasi keeil apabila memiliki kekayaan bersih Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);b. Kualifikasi menengah apabila memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); danc. Kualifikasi besar apabila memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).(3) Kualifikasi untuk Klasifikasi pelaksana Konstruksi Pertambangan dan Pengangkutan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 serta pengupasan lapisan (stripping) batuan/tanah penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) ditentukan sebagai berikut:a. Kualifikasi keeil apabila memiliki kekayaan bersih Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah);b. Kualifikasi menengah apabila memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 20.000.000.000,00(dua puluh miliar rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah);Dan c. Kualifikasi besar apabila memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).(4) Persyaratan jumlah kepemilikan kekayaan bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

7. Ketentuan ayat (3) dan (4) Pasal 15 diubah, sehinggaberbunyi sebagai berikut:Pasal 15(1) Pelaku Usaha Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat melakukan kegiatannya setelah mendapatkan IUJP dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.(2) IUJP diberikan oleh Menteri kepada pelaku Usaha Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat (2) huruf b dan huruf c, dan ayat (4) untuk melakukan kegiatan Usaha Jasa Pertambangan di seluruh wilayah Indonesia.(3) IUJP diberikan oleh gubernur kepada pelaku Usaha Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan ayat (3) untuk melakukan kegiatan Usaha Jasa Pertambangan dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.(4) IUJP diberikan oleh bupati/walikota kepada pelaku Usaha Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan ayat (3) untuk melakukan kegiatan Usaha Jasa Pertambangan dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.

8. Ketentuan ayat (1) dan ayat (4) Pasal 17 diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (6), sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal 17(1) IUJP atau SKT diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan atas permohonan yang bersangkutan dapat diperpanjang.(2) Permohonan perpanjangan IUJP atau SKT harus diajukan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sebelum IUJP atau SKT berakhir.(3) IUJP atau SKT yang telah diberikan kepada pelaku usaha jasa pertambangan dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. (4) IUJP atau SKT diberikan berdasarkan permohonan:a. baru;b. perpanjangan; dan/atauc. perubahan.(5) Permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c diajukan apabila terjadi perubahan:a. klasifikasi; dan/ ataub. kualifikasL(6) Permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan paling cepat 6 (enam) bulan sejak di terbitkannya IUJP atau SKT.

9. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:Pasal 18Permohonan IUJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) diajukan secara tertulis kepada Menteri,gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan format dan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II A, Lampiran II B, Lampiran II C, dan Lampiran II D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

10. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga Pasal 19 berbunyisebagai berikut:Pasal 19Permohonan SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) diajukan secara tertulis kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan format dan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III A, Lampiran III B, Lampiran III C, dan Lampiran III D yang merupakanbagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri inL

11. Diantara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasa122 A, yang berbunyi sebagai berikut:Pasal 22 A(1) IUJP yang akan menggunakan tenaga kerja asing, maka rencana penggunaannya harus mendapat izin dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat yang ditunjuk.(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

12. Ketentuan huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf i Pasal 23 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal23Pemegang IUJP atau SKT dalam melaksanakan kegiatan usahanya wajib:a. mengutamakan produk dalam negeri;b. mengutamakan subkontraktor lokal sesuaikompetensinya;c. mengutamakan tenaga kerja lokal;d. melakukan kegiatan sesuai dengan jenis dan bidangusahanya;e. menyampaikan setiap dokumen kontrak jasa pertambangan dengan pemegang IUP atau IUPK kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya;f. melakukan upaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; g. mengoptimalkan pembelanjaan lokal baik barang maupun jasa pertambangan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha jasanya;h. melaksanakan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;i. melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat meliputi peningkatan pendidikan dan pelatihan, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi lokal; danJ. menyusun dan menyampaikan laporan kegiatan kepada pemberi IUJP atau SKT.13. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal24(1) Kewajiban penyusunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf j berupa laporan elaksanaan kegiatan:a. triwulan; danb. tahunan.(2) Laporan triwulan dan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :a. investasi;b. nilai kontrak;c. realisasi kontrak;d. pemberi kontrak;e. tenaga kerj a;f. peralatan (masterlist);g. penerimaan negara;h. penerimaan daerah;1. pembelanjaan lokal, nasional danl atau impor; danJ. pengembangan masyarakat (communitydevelopment) .(3) Bentuk dan tata cara laporan triwulan dan tahunan IUJP disusun berdasarkan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV A dan Lampiran IV B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.(4) Bentuk dan tata cara laporan triwulan dan tahunan SKT disusun berdasarkan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.14. Ketentuan ayat (1) huruf b Pasal 31 diubah serta ditambahkan 1 (satu) huruf, yakni huruf e, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasa1 31(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUJP atau SKT yang melakukan pelanggaran sebagai berikut:a. melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan IUJP atau SKT; atau b. tidak menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan triwulan danl atau tahunan dalam jangka waktupaling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah akhir periode selama 3 (tiga) kali berturut-turut;c. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 26;d. memberikan data yang tidak benar atau memalsukan dokumen; ataue. memindahtangankan IUJP atau SKTnya kepada pihak lain.(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:a. peringatan tertulis;b. penghentian sementara kegiatan atas sebagianatau seluruh bidangjasa pertambangan; atauc. pencabutan IUJP atau SKT.Pasal IIPeraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Diundangkan di Jakartapada tanggal 9 Oktober 2012

Ditetapkan di Jakartapadatanggal8 Oktober 2012MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERALREPUBLIK INDONESIA,ttd.JEROWACIKMENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,ttd.AMIR SYAMSUDINBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 989

KEPUTUSANMENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASIREPUBLIK INDONESIANOMOR : KEP. 51/MEN/IV/2004TENTANGISTIRAHAT PANJANG PADA PERUSAHAAN TERTENTUMENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :a.bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 79 ayat (4) Undang-undang Nomor 13Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai perusahaantertentu yang wajib melaksanakan istirahat panjang ;b.bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri ;

Mengingat :1.Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan BerlakunyaUndang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dariRepublik Indonesia untuk Indonesia (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1951 Nomor 4) ;2.Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib LaporKetenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1981 Nomor 3201) ;3.Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan( Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2003 Nomor 39, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;4.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.Memperhatikan :1.Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasionaltanggal 23 Maret 2004 ;2.Kesepakatan Rapat Pleno Sekretariat Lembaga Kerjasama TripartitNasional tanggal 23 Maret 2004 ;

MEMUTUSKAN :Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASIREPUBLIK INDONESIA TENTANG ISTIRAHAT PANJANG PADAPERUSAHAAN TERTENTU.Pasal 1Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :1. Istirahat panjang adalah istirahat yang diberikan kepada pekerja/buruh setelah masa kerja6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama.2. Perusahaan yang sama adalah perusahaan yang berada dalam satu badan hukum.3. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.Pasal 2Perusahaan yang wajib melaksanakan istirahat panjang adalah perusahaan yang selama initelah melaksanakan istirahat panjang sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri ini.Pasal 3(1) Pekerja/buruh yang melaksanakan hak istirahat panjang pada tahun ketujuh dankedelapan, tidak berhak atas istirahat tahunan pada tahun tersebut;(2) Selama menjalankan hak istirahat panjang pekerja/buruh berhak atas upah penuh danpada pelaksanaan istirahat tahun kedelapan pekerja/buruh diberikan kompensasi hakistirahat tahunan sebesar setengah bulan gaji.(3) Gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari upah pokok ditambah tunjangantetap.Pasal 4(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh tentang saattimbulnya hak istirahat panjang selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh) hari sebelum hakistirahat panjang timbul.(2) Hak istirahat panjang gugur apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak hak atas istirahatpanjang tersebut timbul pekerja/buruh tidak mempergunakan haknya.(3) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak gugur apabilapekerja/buruh tidak dapat mempergunakan haknya.Pasal 5(1) Perusahaan dapat menunda pelaksanaan istirahat panjang untuk paling lama 6 (enam)bulan terhitung sejak timbulnya hak atas istirahat panjang dengan memperhatikankepentingan pekerja/buruh dan atau perusahaan.(2) Penundaan pelaksanaan istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harusdiatur dalam perjanjian kerja bersama.Pasal 6Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, tetapi pekerja/buruh belum mempergunakanhak istirahat panjangnya dan hak tersebut belum gugur atau pengusaha menunda pelaksanaanistirahat panjang tersebut, maka pekerja/buruh berhak atas suatu pembayaran upah dankompensansi hak istirahat panjang yang seharusnya diterima.Pasal 7(1) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang lebih baik dari ketentuanyang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan danketentuan dalam Keputusan Menteri ini, maka perusahaan tidak boleh mengurangi haltersebut.(2) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang kepada pekerja/buruhtetapi lebih rendah dari ketentuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan dan Keputusan Menteri ini, maka perusahaan wajib menyesuaikandengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.Pasal 8Pelaksanaan istirahat panjang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atauperjanjian kerja bersama.Pasal 9Menteri dapat menetapkan perubahan perusahaan yang wajib memberikan istirahat panjangsebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sesuai dengan perkembangan ketenagakerjaan.Pasal 10Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.Di tetapkan di Jakartapada tanggal 8 April 2004

MENTERITENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASIREPUBLIK INDONESIA,ttdJACOB NUWA WEA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 4 TAHUN 2009TENTANGPERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARADENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAMenimbang:a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambanganIndonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang MahaEsa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karenaitu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyatabagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatsecara berkeadilan;b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatanusaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyaiperanan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhanekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;c. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudahtidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidangpertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensimineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, danberwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan;d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan hurufc, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Mengingat:Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945.Dengan Persetujuan Bersama:DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIAdanPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,MEMUTUSKAN:Menetapkan:UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARABAB IKETENTUAN UMUMPasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dankimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baikdalam bentuk lepas atau padu.3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah darisisa tumbuh-tumbuhan.4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih ataubatuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalambumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubarayang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, sertapascatambang.7. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakanusaha pertambangan.8. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatanpenyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan9. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPEksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.10. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakanusaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah daninvestasi terbatas.11. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untukmelaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.12. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatanpenyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangankhusus.13. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPKEksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usahapertambangan khusus.14. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisigeologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.15. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasisecara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumberdaya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkunganhidup.16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasisecara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis danteknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan sertaperencanaan pascatambang.17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi,penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, sertasarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruhfasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.19. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineraldan/atau batubara dan mineral ikutannya.20. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkanmutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempatpenyerahan.22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineralatau batubara.23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yangdidirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia.24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usahapertambangan.25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajianmengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakanpada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentangpenyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untukmenata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapatberfungsi kembali sesuai peruntukannya.27. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatanterencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usahapertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisilokal di seluruh wilayah penambangan.28. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat,baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.29. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensimineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yangmerupakan bagian dari tata ruang nasional.30. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dan WP yangtelah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.31. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yangdiberikan kepada pemegang IUP.32. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WPtempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.33. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yangdicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dariWPN yang dapat diusahakan.35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK,adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK.36. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden RepublikIndonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesiasebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.37. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagaiunsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidangpertambangan mineral dan batubara.

BAB IIASAS DAN TUJUANPasal 2Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa;c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.Pasal 3Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaanmineral dan batubara adalah:a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secaraberdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan danberwawasan lingkungan hidup;c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumberenergi untuk kebutuhan dalam negeri;d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaingdi tingkat nasional, regional, dan internasional;e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakanlapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; danf. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineraldan batubara.BAB IIIPENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARAPasal 4(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaannasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.Pasal 5(1) Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan PerwakilanRakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/ataubatubara untuk kepentingan dalam negeri.(2) Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan denganpengendalian produksi dan ekspor.(3) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintahmempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahunsetiap provinsi.(4) Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah yang ditetapkan oleh Pemerintahsebagaimana dimaksud pada ayat (3).(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingandalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian produksi dan eksporsebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB IVKEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARAPasal 6(1) Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antaralain, adalah: a. penetapan kebijakan nasional;b. pembuatan peraturan perundang-undangan;c. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;e. penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah danberkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;f. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasanusaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah lautlebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;g. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasanusaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayahprovinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;h. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasanusaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintasprovinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;i. pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;j. pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah,yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidahpertambangan yang baik;k. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;l. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;m. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usahapertambangan mineral dan batubara;n. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineraldan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;o. pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;p. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangkamemperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunanWUP dan WPN;q. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara,serta informasi pertambangan pada tingkat nasional;r. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang;s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional;t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; danu. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintahkabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pasal 7(1) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara,antara lain, adalah:a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usahapertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) milsampai dengan 12 (dua belas) mil;c. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usahapertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayahkabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;d. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usahapertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;e. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangkamemperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengankewenangannya;f. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara,serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi;g. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan diprovinsi;i. pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangandengan memperhatikan kelestarian lingkungan;j. pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayahtambang sesuai dengan kewenangannya;k. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian sertaeksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota;l. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepadaMenteri dan bupati/walikota;m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dann. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintahkabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.(2) Kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakansesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pasal 8(1) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral danbatubara, antara lain, adalah:a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, danpengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah lautsampai dengan 4 (empat) mil;c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat danpengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada diwilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangkamemperoleh data dan informasi mineral dan batubara;e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasipertambangan pada wilayah kabupaten /kota;f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota;g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usahapertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usahapertambangan secara optimal;i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, sertaeksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur;j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepadaMenteri dan gubernur;k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; danl. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalampenyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.(2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.BAB VWILAYAH PERTAMBANGANBagian KesatuUmumPasal 9(1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatanpertambangan.(2) WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasidengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia.Pasal 10Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan:a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait,masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya,serta berwawasan lingkungan; danc. dengan memperhatikan aspirasi daerah.Pasal 11Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangandalam rangka penyiapan WP.Pasal 12Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan WP sebagaimanadimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan peraturan pemerintah.Pasal 13WP terdiri atas:a. WUP;b. WPR; danc. WPN.Bagian KeduaWilayah Usaha PertambanganPasal 14(1) Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintahdaerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia.(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemerintah daerah yangbersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintahdaerah.Pasal 15Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya dalam penetapan WUP sebagaimanadimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kepada pemerintah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.Pasal 16Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang berada pada lintas wilayah provinsi,lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.Pasal 17Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasidengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah.Pasal 18Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah sebagaiberikut:a. letak geografis;b. kaidah konservasi;c. daya dukung lindungan lingkungan;d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dane. tingkat kepadatan penduduk.Pasal 19Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP sebagaimanadimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan peraturan pemerintah.Bagian KetigaWilayah Pertambangan RakyatPasal 20Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR.Pasal 21WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelahberkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.Pasal 22Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut:a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dantepi sungai;b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (duapuluh lima) meter;c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektare;e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atauf. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurangkurangnya15 (lima belas) tahun.Pasal 23Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, bupati/walikota berkewajibanmelakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.Pasal 24Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkansebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.Pasal 25Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan penetapan WPR sebagaimana dimaksuddalam Pasal 21 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah.Pasal 26Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR, sebagaimana dimaksuddalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.Bagian KeempatWilayah Pencadangan NegaraPasal 27(1) Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan Dewan PerwakilanRakyat Republik Indonesia dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPNsebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalamrangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.(2) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdiusahakan sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan RakyatRepublik Indonesia.(3) WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukanbatasan waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.(4) Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berubahstatusnya menjadi WUPK.Pasal 28Perubahan status WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)menjadi WUPK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;b. sumber devisa negara;c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana;d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi;e. daya dukung lingkungan; dan/atauf. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.Pasal 29(1) WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) yang akan diusahakan ditetapkanoleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.(2) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan dalam bentuk IUPK.Pasal 30Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUPK yang berada pada lintas wilayah provinsi,lintas wilayah kabupaten/kota, dan