makalah hukum panitensier

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pidana paling kontroversial di Indonesia. Berdasarkan catatan lembaga HAM Internasional, Indonesia merupakan negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati dalam sistem hukum pidananya. hukum nasional Indonesia juga memiliki mekanisme pidana mati dan saat ini masih diakui sebagai bagian dari hukum pidana pada pasal 10 KUHP. dalam KUHP terdapat dua pasal ancaman pidana mati yaitu pasal 104 dan 340. Salah satu kasus narkotika dengan pidana mati dapat dilihat pada kasus Ayodhya Prasad Chaubey (seorang berkewarganegaraan India. MR J.E Jonkers berpendapat bahwa hukuman mati di Indonesia masih dianggap karena negara mempunyai segala hak, yang tanpa itu negar tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban utamanya untuk mempertahankan tertib hukum. pidana mati ditujukan kepada oknum-oknum yang sanagt membahayakan masyarakat secara radikal, seperti tindak pidana narkotika. Keberatan yang paling dirasakan secara umum terhadap penerapan hukuman mati yaitu bahwa pelaksanaan hukuman mati 1

Upload: abel-yakob-ratu

Post on 28-Dec-2015

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Berisi tentang studi kasus hukum Panitensier

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Hukum Panitensier

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pidana paling kontroversial di

Indonesia. Berdasarkan catatan lembaga HAM Internasional, Indonesia merupakan

negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati dalam sistem hukum

pidananya. hukum nasional Indonesia juga memiliki mekanisme pidana mati dan saat

ini masih diakui sebagai bagian dari hukum pidana pada pasal 10 KUHP. dalam KUHP

terdapat dua pasal ancaman pidana mati yaitu pasal 104 dan 340.

Salah satu kasus narkotika dengan pidana mati dapat dilihat pada kasus Ayodhya Prasad

Chaubey (seorang berkewarganegaraan India.

MR J.E Jonkers berpendapat bahwa hukuman mati di Indonesia masih dianggap karena

negara mempunyai segala hak, yang tanpa itu negar tidak dapat memenuhi kewajiban-

kewajiban utamanya untuk mempertahankan tertib hukum. pidana mati ditujukan

kepada oknum-oknum yang sanagt membahayakan masyarakat secara radikal, seperti

tindak pidana narkotika.

Keberatan yang paling dirasakan secara umum terhadap penerapan hukuman mati yaitu

bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak dapat diperbaiki lagi apabila dikemudian hari

terbukti bahwa putusan hakim yang menjatuhkan putusan itu berdasarkan kekeliruan

atau keterangan keterangan yang nyata tidak benar. 1

Berdasarkan uraian di atas sangat relevan untuk menganalisa mengenai Penerapan

Pidana Mati pada Tindak Pidana Narkotika. dalam hal ini yang akan dianalisa adalah

kasus Ayodhya Prasard Chaubey.

1 Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Eresco : Bandung

1

Page 2: Makalah Hukum Panitensier

1.2 Rumusan Masalah

1) Teori Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Tindak Pidana Narkotika

2) Kronologis Perkara

3) Menganalisa Pelaksanaan Putusan Hakim

1.3 Tujuan Penulisan

1) agar mahasiswa mengetahui dan memahami teori pidana mati dalam Tindak Pidana

Narkotika

2) agar mahasiswa mengetahui dan memahami kronologis perkara Ayodhya Prasard

Chaubey

3) agar mahasiswa mampu menganalisa pelaksanaan putusan hakim

1.4 Manfaat Penulisan

Menambah informasi dan pengetahuan kepada para mahasiswa terhadap pidana mati

dalam Tindak Pidana Narkotika

2

Page 3: Makalah Hukum Panitensier

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teoritis

a. Pidana Mati Dalam Perundang-undangan di Indonesia

Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP

Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan

yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu

adalah :

1. Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)

2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika

permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)

3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)

4. Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang

direncanakan dan berakibat maut)

5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)

6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau

mati)

7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau

mati)

8. Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).

Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya.

Peraturan-peraturan itu antara lain:

1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa

Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap

tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.

2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman

hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.

3

Page 4: Makalah Hukum Panitensier

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi

atau sesuatu bahan peledak.

Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan

subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga

atom.

Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika

Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan

terhadap sarana/prasarana penerbangan.

b. Pidana Mati dalam Tindak Pidana Narkotika

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika (selanjutnya disebut UU

Narkotika 2009), pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana (delict)

penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang berstatus

sebagai pengguna (Pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna narkotika (Pasal 112,

113, 114, 119 dan 129), untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi menjadi 2

(dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 116 dan 121) dan

pengguna narkotika untuk dirinya sendiri (Pasal 127). Yang dimaksud dengan

penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh

seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita

kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara

medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan

diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana, sedangkan, pelaku tindak pidana

narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat),

yaitu : pemilik (Pasal 111 dan 112), pengolah (Pasal 113), pembawa dan pengantar

(Pasal 114 dan 119), dan pengedar (Pasal 129).

Yang dimaksud sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara, mempunyai

dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai dengan tanpa hak dan

melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah orang memproduksi,

mengolah mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika dengan

tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan secara terorganisasi.

4

Page 5: Makalah Hukum Panitensier

Yang di kualifikasi sebagai pembawa atau pengantar (kurir) adalah orang yang

membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika dengan tanpa hak dan

melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi. Sedangkan, yang dimaksud

pengedar adalah orang mengimpor, pengekspor, menawarkan untuk dijual,

menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual

beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual

maupun secara terorganisasi.2

Dalam Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat sanksi pidana

mati pada pasal 113, 114, 118, 119, 121, 144 yang akan penulis sebutkan sebagai

berikut:

Pasal 113

Ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengeksor atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman

beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam

bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana

mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidanapaling singkat 5 (lima) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 114

Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup,

atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling

banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

5

Page 6: Makalah Hukum Panitensier

2 Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika

Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5

(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku

dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling

singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 118

Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan

dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan

Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)

gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana

denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 119

Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menawarkan untuk di jual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana singkat 4 (empat) tahun dan paling lama

12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan

ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5

(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku

dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling

6

Page 7: Makalah Hukum Panitensier

singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 121

Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk

digunakan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun

dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00

(delapan miliar rupiah).

Ayat 2: dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika

Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana

mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 144

Ayat 1: setiap orang yang jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak

pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal

115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal

123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1), pasal 128 ayat (1), dan pasal

129, pidana maksimum ditambah dengan 1/3 (sepertiga)

Ayat 2: ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada pasal

ayat (1) tidal berlaku bagi pelaku tindak pidana yang di jatuhi dengan pidana mati,

pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

2.2 Kronologi Perkara

Identitas Terpidana

nama lengkap : Ayodhya Prasad Chaubey

tempat lahir : India

tanggal lahir : 1 Juli 1939

7

Page 8: Makalah Hukum Panitensier

jenis kelamin : Laki-Laki

kebangsaan : India

tempat tinggal : Thailand

agama : Islam

pekerjaan : Pelayan Toko

6 Juni 1994

Ayodhya Prasad Chaubey dihadapkan ke persidangan di Pengadilan Negeri Medan.

Dengan dakwaan :

• melanggar pasal 23 ayat 4 jo pasal 36 ayat 4 huruf b UU no 9 tahun 1976 jo pasal 55

ayat 1 KUHP

• melanggar pasal 56 ayat 1 KUHP jo pasal 23 ayat 4 jo pasal 36 ayat 4 huruf b UU no 9

tahun 1976

• melanggar pasal 48 UU no 9 tahun 1976

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum :

1. menyatakan terdakwa bersalah dengan membawa heroin sebanyak 12,19 kg tanpa

izin, sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat 4 jo pasal 36 ayat 4 UU no 9 tahun 1976

dan pasal 23 ayat 5 jo pasal 35 ayat 5 UU no 9 tahun 1976.

2. menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan hukuman mati, dan terdakwa tetap

ditahan

3.

8 September 1994

Pengadilan Negeri Medan menyatakan terdakwa bersalah, antara lain dengan amar

sebagai berikut :

1. menyatakan Ayodhya Prasad Chaubey bersalah melakukan tindak pidana.

2. menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa.

14 Desember 1994

Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dengan nomor putusan nomor

8

Page 9: Makalah Hukum Panitensier

159/pid.B/1994/PT.Medan menguatkan putusan majelis hakim. Kemudian Ayodya

mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

28 Juni 1995

Mahkamah Agung dengan nomor putusan 437K/pid/1995 pada tanggal 29 Mei 1995

menolak kasasi yang diajukan Ayodhya Prasad Chaubey.

10 Juni 1997

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Maya Manurung menerima salinan

putusan MA, Nomor 58/PK/Pid/1996 yang menolak PK yang diajukan kuasa hukum

terpidana mati Ayodya.

3 Februari 2003

Presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana

mati Ayodya melalui suratNo. 26/G/2003 pada tanggal 3 Februari 2003.

29 Maret 2004

Mahkamah Agung RI dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dengan putusan

nomor 39 Peninjauan Kembali/Pid/2003 menjatuhkan putusan :

1. menolak permohonan Peninjauan Kembali dari terpidana Ayodhya Prasad Chaubey

2. menetapkan bahwa putusan sebelumnya tetap berlaku.

25 Juni 2004

Ayodhya Prasad Chaubey menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung. pada

waktu menerima putusan tersebut, terpidana Ayodhya masih berada dalam tahanan di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan.

7 Juli 2004

diadakan rapat koordinasi tertutup tentang persiapan pelaksanaan eksekusi mati

Ayodhya bertempat di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

9

Page 10: Makalah Hukum Panitensier

15 Juli 2004

pemberitahuan kepada keluarga terpidana Ayodhya melalui konsul Jenderal India di

Medan dengan surat Kejari Medan nomor R-622-N.2.10/Euh.2/07/2004.

20 Juli 2004

kembali diadakan rapat mengenai persiapan eksekusi mati Ayodhya bertempat di

Kejaksaan Tinggi Medan

22 Juli 2004

dilakuakn koordinasi dalam menetapkan waktu dan tempat eksekusi.

23 Juli 2004

Kepala Kejaksaan Tinggi Medan, dengan Surat Perintah nomor

Prin-79/N.2/Euh.2/07/2004 tentang pelaksanaan putusan pengadilan, telah menunjuk

tim pelaksana eksekusi, yaitu :

1. 4 orang jaksa eksekutor

2. 3 orang POLRI (Satuan Regu Tembak)

3. 2 orang dari PEMKO Medan

4. 2 orang dari LAPAS kelas I Medan

5. Tim Medis dari RSUD Pirngadi Medan

6. 2 orang dari Kakandepag

31 Juli 2004

diadakan rapat terakhir mengenai persiapan pelaksanaan eksekusi di Kejaksaan Tinggi

Medan.

1 Agustus 2004

bertempat di LAPAS kelas I Medan, jaksa eksekutor dengan disaksikan Kalapas

memberitahukan kepada Ayodhya bahwa putusan telah berkekuatan hukum tetap dan

akan segera dilaksanakan. Setelah itu, Ayodhya memberitahukan permintaan

terakhirnya, yaitu :

1. terpidana ingin berbicara kepada konsul Jenderal India di Medan

10

Page 11: Makalah Hukum Panitensier

2. terpidana ingin bertemu dengan istrinya, Savitri Devi dan anaknya Chandra Prakash

yang bertempat tinggal di Thailand.

3. supaya kehidupan terpidana dipenuhi, seperti makanan, pakaian, dan hiburan.

4. terpidana ingin diperlihatkan barang bukti yaitu heroin 12,19 kg dengan disaksikan

oleh, jaksa, hakim, kalapas, dan duta besar india.

5. barang-barang terpidana diserahkan kepada konsul Jenderal India di Medan.

6. terpidana minta makan apa saja, kecuali daging babi dan daging lembu.

7. terpidana minta dimakamkan secara Islam.

02 Agustus 2004

jaksa eksekutor menemui Konsul Jenderal India di Medan untuk memberitahukan

permintaan Ayodhya, kemudian Konsul Jenderal India mendatangi Ayodhya di ruang

isolasi, dan pada saat itu Ayodhya dapat berbicara kepada anaknya Prakash melalui

telepon seluler.

03 Agustus 2004

kepala Kejaksaan Negeri Medan dengan surat nomor R-650/N.2.10/Euh.2/08/2004 telah

memberitahukan kepada penasihat hukum Ayodhya bahwa pidana mati akan segera

dilaksanakan.

05 Agustus 2004

dengan pengawalan polisi, terpidana dibawa ketempat eksekusi di Kecamatan Medan

Polonia, yang masih berada dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan, dan pada

tanggal 6 Agustus 2004 Ayodhya dinyatakan meninggal.

2.3 Analisa Pelaksanaan Putusan Hakim

Pelaksanaan putusan hakim dilihat dari Mekanisme pelaksanaan pidana mati

sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 2 – 16 UU No. 2/PNPS/1964, adalah sebagai

berikut:

1. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pidana mati itu

11

Page 12: Makalah Hukum Panitensier

dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada

terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana

berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu

diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut;

poin pertama ini telah dilaksanakan sepenuhnya oleh jaksa eksekutor maupun pihak

terkait, bahwa pada tanggal 01 Agustus 2004 telah diberitahukan kepada terpidana

bahwa putusan pidana mati oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap. terpidana juga

telah menyampaikan permintaan terakhirnya kepada jaksa eksekutor Faried, SH., MS

2. Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan

dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang dikandungnya itu telah lahir;

3. Tempat pelaksanaan pidana mati itu ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di

daerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati

yang bersangkutan:

poin ini telah terpenuhi, karena eksekusi dilaksanakan di Kecamatan Polonia, yang

masih berada di bawah kekuasaan pengadilan negeri Medan.

4. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai

pelaksanaan dari pidana mati tersebut setelah mendengar nasehat dari jaksa tinggi atau

dari jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama;

poin ini telah terpenuhi, karena pada tanggal 02 Agustus 2004 telah diadakan koordinasi

dengan Kapoltabes Kota Medan dan juga Kasat BRIMOB kota Medan.

5. Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi di bawah

pimpinan dari seorang perwira polisi;

poin ini telah terpenuhi, karena pelaksanaan eksekusi dilakukan oleh 12 orang polisi

anggota Brigade Mobile Poldasu.

6. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) harus

menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu, sedang pembela dari terpidana atas

permintaannya sendiri atau atas permintaan dari terpidana dapat menghadirinya;

12

Page 13: Makalah Hukum Panitensier

7. Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan di muka umum;

poin ini telah terpenuhi, karena penembakan dilakukan jauh dari tempat kediaman

masyarakat, dan memang pada kenyataannya masyarakat tidak ada yang mengetahui

waktu dan tempat eksekusi ini dilaksanakan.

8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat

sahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksanaan dari penguburan yang bersifat

demonstratif, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang

bersangkutan dapat menentukan lain;

poin ini telah terpenuhi, karena pemakaman dilakukan sesuai dengan permintaan

terpidana (alm) yaitu dimakamkan secara Islam, dan terpidana (alm) dikebumikan di

pemakaman umum Jl.Thamrin Medan.

Pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana membutuhkan waktu yang sangat lama,

karena :

Terpidana menggunakan seluruh upaya hukum. yaitu :

1) Upaya Hukum Biasa :

• Banding

• Kasasi

2) Upaya Hukum Luar Biasa

• Peninjauan Kembali

Kasus Ayodhya merupakan kasus pertama yang di eksekusi mati dalam sejarah

Pengadilan Negeri Medan, sehingga persiapan dan perencanaan pelaksanaannya harus

benar-benar matang, dan mengalami sedikit kesulitan dalam pencarian tempat

dilaksanakannya eksekusi.

13

Page 14: Makalah Hukum Panitensier

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Norma ancaman hukuman mati (death pinalty) tidak hanya terdapat dalam undang-

undang narkotika saja (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika),

melainkan tersebar dalam beberapa undang-undang lainnya, antara lain: Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP).

pelaksanaan hukuman mati dalam tindak pidana narkotika memberikan efek yang

menakutkan bagi pelaku kejahatan.

dalam pelaksanaannya, pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana Ayodhya

berjalan lancar, namun sebelumnya mengalami banyak kesulitan karena merupakan

putusan pertama pidana mati di Medan

3.2 Saran

adanya pengaturan dalam Undang-undang atau setidaknya disusun Peraturan Daerah,

mengenai tempat pelaksanaan eksekusi mati terpidana.

14

Page 15: Makalah Hukum Panitensier

DAFTAR PUSTAKA

Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Eresco : Bandung

UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

UU nomor 2/Pnps/1964, LN-1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Http://angellinasinaga.wordpress.com

15