makalah biokonservasi edit
DESCRIPTION
Makalah Biokonservasi EditTRANSCRIPT
MAKALAH BIOKONSERVASI
MEKANISME HILANGNYA KEANEKARAGAMAN HAYATI
Oleh :
KUNTA ADI TETUKO : 24020111120003
HERU PUJI RAHARJO : 24020111130022
MUHAMMAD LUQMAN HAKIM : 24020111130036
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah akhirnya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Mekanisme Hilangnya
Keanekaraman Hayati”. Shalawat dan salam penulis mohonkan kepada Allah
untuk nabi Muhammad SAW, yang telah membawa pembaharuan di tengah-
tengah kebodohan manusia menuju zaman yang penuh kemajuan.
Makalah ini di susun guna memenuhi salah satu tugas mata pelajaran
Biologi Konservasi. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa makalah ini
kami berusaha mengupas penjelasan tentang biologi konservasi pada Semester V
ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen yang telah membekali
penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini, penulis
minta maaf yang sebesar-besarnya. Penulis yakin bahwa makalah ini tidak
semuanya sempurna, maka penulis menerima kritik dan saran dalam rangka
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
menerima hasil yang diharapkan.
Semarang, 22 September 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keanekaragaman hayati adalah perbedaan diantara makhluk hidup
yang berbeda jenis, spesiesnya, dan perbedaan ekosistemnya. keanekaragaman
hayati terjadi karena adanya perbedaan sifat, seperti ukuran, bentuk, warna, fungsi
organ, tempat hidup (ekosistem) dan lain – lain (Azhari, 1997).
Keanekaragaman hayati sangat penting bagi kelangsungan dan kelestarian
makhluk hidup. Keanekaragaman dapat terjadi akibat proses evolusi dan adaptasi.
Evolusi adalah perubahan yang terjadi dalam waktu lama yang akan membentuk
makhluk hidup yang berbeda dengan asalnya sehingga akan menimbulkan spesies
baru. Sedangkan adaptasi adalah proses penyesuaian diri terhadap lingkungan
yang berbeda akan menghasilkan makhluk hidup yang berbeda pula (Bertens,
1997).
Seiring dengan perkembangan teknologi industri, banyak lahan-lahan
pertanian dan perkebuanan yang subur dibangun diatasnya pabrik-pabrik industri
dan juga perkotaan. Perkembangan zaman juga diikuti dengan semakin banyaknya
jumlah penduduk yang mendiami negeri kita tercinta ini. Akibatnya, lahan
pertanian dan perkebunan pun semakin sempit, yang mana dikarenakan adanya
pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan dan papan kita.
Selain itu juga banyaknya lahan-lahan yang mulai tercemar dengan limbah dan
tingginya kandungan bahan-bahan kimia yang ada di dalam tanah kita. Banyak
sekali lahan-lahan perkebunan yang dulunya masih hijau bisa dikatakan vegetasi
yang ada masih cukup sekarang menjadi daerah yang kering dan gundul (Haba,
2005). Ini semua tidak lepas dari tindakan manusia itu sendiri yang kurang
bertanggung jawab. Pada dasarnya semua yang kita lakukan akan kembali kepada
kita semua kelak. Dari kegiatan-kegiatan tersebut di atas, sudah pasti menjadi
penyebab mengapa banyak sekali terjadi bencana alam seperti halnya lonsor,
banjir, dll (Soerjani, 1996). Penebangan hutan yang tidak mengikuti prosedur
tebang pilih menjadi hal yang paling mendasar yang menyebabkan daerah hutan
kita yang seharusnya lebat dengan pepohonan menjadi kering kerontang. Dari hal
tersebut, banyak sekali yang merasakan danpaknya baik secara langsung maupun
tidak. Banyak hewan-hewan yang turun ke daerah pemukiman penduduk, hal ini
karena mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal yang cocok untuk diri mereka.
Mereka juga kekurangan makanan, sehingga banyak dari mereka yang menyerang
pertanian kita. Jika kita sadar, manusia sering dirugikan karena akibat ulahnya
sendiri. Tidah hanya hewan yang dirugikan, namun di sini yang paling dirugikan
adalah alam semesta ini. Sehingga jangan heran jika banyak sekali bencana banjir,
longsor, dll yang terjadi di daerah sekitar kita ini. Hal tersebut menimbulkan
degradasi habitat sehingga mengakibatkan hilangnya beberapa keanekaragaman
hayati (Keraf , 2002).
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi keanekaragaman hayati?
2. Bagaimana mekanisme hilanghnya keanekaragaman hayati?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui definisi keanekaragaman hayati
2. Mengetahui mekanisme hilangnya keanekaragaman hayati dan upaya pencegahan
hilangnya keanekaragaman hayati
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas (Bahasa Inggris: biodiversity)
adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang
secara ilmiah dapat dikelompokkan menurut skala organisasi biologisnya, yaitu
mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem
dan proses-proses ekologi dimana bentuk kehidupan ini merupakan bagiannya.
Dapat juga diartikan sebagai kondisi keanekaragaman bentuk kehidupan dalam
ekosistem atau bioma tertentu. Keanekaragaman hayati seringkali digunakan
sebagai ukuran kesehatan sistem biologis (Soerjani, 1996).
Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di bumi, wilayah
tropis memiliki keanekaragaman hayati yang lebih kaya, dan jumlah
keanekaragaman hayati terus menurun jika semakin jauh dari ekuator.
Keanekaragaman hayati yang ditemukan di bumi adalah hasil dari miliaran
tahun proses evolusi. Asal muasal kehidupan belum diketahui secara pasti dalam
sains. Hingga sekitar 600 juta tahun yang lalu, kehidupan di bumi hanya
berupa archaea, bakteri, protozoa, dan organisme uniseluler lainnya sebelum
organisme multiseluler muncul dan menyebabkan ledakan keanekaragaman hayati
yang begitu cepat, namun secara periodik dan eventual juga terjadi kepunahan
secara besar-besaran akibat aktivitas bumi, iklim, dan luar angkasa.
Keanekaan sistem pengetahuan dan kebudayaan masyarakat juga terkait erat
dengan keanekaragaman hayati. Sehingga keanekaragaman hayati mencakup
semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai dari makhluk sederhana seperti
jamur dan bakteri hingga makhluk yang mampu berpikir seperti manusia, mulai
dari satu tegakan pohon di pekarangan rumah hingga ribuan tegakan pohon yang
membentuk suatu sistem jejaring kehidupan yang rumit (Haba, 2005).
Proses evolusi memiliki arti bahwa kolam keragaman hidup bersifat
dinamis, akan meningkat ketika varian genetik baru dihasilkan, spesies atau
ekosistem baru terbentuk; akan menurun ketika varian genetik dalam salah satu
spesies berkurang, salah satu spesies punah atau sebuah ekosistem yang kompleks
menghilang. Konsep ini meliputi hubungan antar makhluk hidup dan proses-
prosesnya (Haba, 2005).
Peringkat negara dengan keanekaragaman dan endemisme tertinggi di dunia
NegaraNilai
Keanekaragaman
Nilai
EndemismeNilai Total
Brazil 30 18 48
Indonesia 18 22 40
Kolombia 26 10 36
Australia 5 16 21
Mexico 8 7 15
Madagaskar 2 12 14
Peru 9 3 12
Cina 7 2 9
Filipina 0 8 8
India 4 4 8
Ekuador 5 0 5
Venezuela 3 0 3
(Soerjani, 1996)
2.2Tingkatan Keanekaragaman hayati
Keanekaragaman hayati biasanya dipertimbangkan pada tiga tingkatan:
keragaman genetik, keragaman spesies dan keragaman ekosistem.
Keragaman genetik merujuk kepada perbedaan informasi genetik yang
terkandung dalam setiap individu tanaman, hewan dan mikroorganisme.
Keragaman genetik terdapat di dalam dan antara satu populasi spesies
maupun spesies yang berbeda.
Keragaman spesies merujuk pada berbedanya spesies-spesies yang
hidup.
Keragaman ekosistem berkaitan dengan perbedaan dari habitat,
komunitas biotik, dan proses ekologi, termasuk juga tingginya
keragaman yang terdapat pada ekosistem dengan perbedaan habitat dan
berbagai jenis proses ekologi.
1. Keragaman Genetik
Keragaman genetik mengacu pada variasi gen di dalam spesies. Ini meliputi
variasi genetik antara populasi yang berbeda dari spesies yang sama, seperti 4
jenis rosella pipi putih, Platycercus eximius. Hal tersebut juga meliputi variasi
genetik dalam populasi yang sama, dimana tampak relatif tinggi pada eukaliptus
yang tersebar luas seperti Eucalyptus cloeziana, E. delegatensis, dan E. saligna.
Keragaman genetik dapat diukur dengan menggunakan variasi berdasarkan DNA
dan tehnik lainnya (Keraf , 2002).
Variasi genetik baru terbentuk dalam populasi suatu organisme yang dapat
bereproduksi secara seksual melalui kombinasi ulang dan pada individu melalui
mutasi gen serta kromosom. Kumpulan variasi genetik yang berada pada populasi
yang bereproduksi terbentuk melalui seleksi. Seleksi tersebut mengarah kepada
salah satu gen tertentu yang disukai dan menyebabkan perubahan frekuensi gen-
gen pada kumpulan tersebut.
Perbedaan yang besar dalam jumlah dan penyebaran dari variasi genetik ini
dapat terjadi sebagian karena banyaknya keragaman dan kerumitan dari habitat-
habitat yang ada, serta berbedanya langkah-langkah yang dilakukan tiap
organisme untuk dapat hidup. Jumlah yang diperkirakan adalah terdapat kurang
lebih 10,000,000,000 gen berbeda yang tersebar pada biota-biota di dunia,
walaupun tidak semuanya memberikan kontribusi yang sama pada keragaman
genetik. Secara khusus, gen-gen yang mengontrol dasar proses biokimia
dipertahankan secara kuat oleh berbagai kelompok spesies (atau taksa) dan
umumnya memperlihatkan perbedaan yang kecil. Gen lain yang lebih
terspesialisasi meperlihatkan tingkat variasi yang lebih besar.
2. Keragaman Spesies
Keragaman spesies mengacu kepada spesies yang berbeda-beda. Aspek-
aspek keragaman spesies dapat diukur melalui beberapa cara. Sebagian besar cara
tersebut dapat dimasukkan ke dalam tiga kelompok pengukuran: kekayaan
spesies, kelimpahan spesies dan keragaman taksonomi atau filogenetik (Keraf ,
2002).
Pengukuran kekayaan spesies menghitung jumlah spesies pada suatu area
tertentu. Pengukuran kelimpahan spesies mengambil contoh jumlah relatif dari
spesies yang ada. Contoh yang biasanya diperoleh sebagian besar terdiri dari
spesies yang umum, beberapa spesies yang tidak terlalu sering dijumpai dan
sedikit spesies yang jarang sekali ditemui. Pengukuran keragaman spesies yang
menyederhanakan informasi dari kekayaan dan kelimpahan relatif spesies ke
dalam satu nilai indeks merupakan yang paling sering digunakan. Pendekatan
lainnya adalah dengan mengukur keragaman taksonomi atau filogenetik, yang
mempertimbangkan hubungan genetik antara kelompok-kelompok spesies.
Pengukuran yang didasarkan pada analisa yang menghasilkan klasifikasi secara
hirarkis ini pada umumnya ditampilkan dalam bentuk ‘pohon’ yang
mengesampingkan pola percabangan agar dapat mewakili secara keseluruhan
evolusi filogenetik dari taksa terkait (Haba, 2005).
Pengukuran keragaman taksonomi yang berbeda-beda berhubungan dengan
bermacam-macamnya karakteristik taksa dan hubungan yang ada. Tingkat spesies
pada umumnya dinilai sebagai yang paling sesuai untuk memperkirakan
keragaman antara organisme. Hal ini disebabkan karena spesies merupakan fokus
utama dari mekanisme evolusi sehingga terjabarkan dengan baik. Pada tingkat
global, diperkirakan 1.7 juta spesies telah dijelaskan; saat ini diperkirakan jumlah
total spesies yang ada berkisar antara lima juta hingga hampir mencapai 100 juta
spesies. Di Australia, dengan perkiraan jumlah total spesies lokal (kecuali bakteri
dan virus) 475,000, kira-kira setengahnya telah diketahui, hanya seperempatnya
telah dijelaskan secara formal. Estimasi jumlah spesies ini diharapkan dapat
meningkat melalui studi terhadap beberapa kelompok yang jarang diperhatikan;
seperti mikroorganisme, fungi, nematoda, hama dan serangga.
Pada skala yang lebih besar keragaman spesies tidak tersebar secara merata
di seluruh dunia. Satu pola yang paling jelas dalam penyebaran spesies di dunia
adalah sebagian besar kekayaan spesies terpusat pada wilayah katulistiwa dan
cenderung menurun ke arah kutub. Secara umum, terdapat lebih banyak spesies
per unit area di wilayah tropis dibandingkan dengan wilayah sub-tropis dan lebih
banyak spesies di wilayah sub-tropis dibandingkan wilayah di daerah kutub.
Sebagai tambahan, keragaman di ekosistem darat pada umumnya berkurang
sengan bertambahnya ketinggian. Faktor lain yang dipercaya mempengaruhi
keragaman di darat adalah curah hujan dan tingkat nutrien. Pada ekosistem laut,
kekayaan spesies cenderung terpusat pada lempeng benua, walaupun komunitas
laut dalam juga cukup tinggi (Haba, 2005).
3. Keragaman Ekosistem
Keragaman ekosistem memetakan perbedaan yang cukup besar antara tipe
ekosistem, keragaman habitat dan proses ekologi yang terjadi pada tiap-tiap
ekosistem. Lebih sulit untuk menjelaskan keragaman ekosistem dibandingkan
dengan keragaman spesies atau genetik dikarenakan oleh ‘batasan’ dari komunitas
(hubungan antar spesies) dan karena ekosistem lebih mudah berubah. Karena
konsep ekosistem adalah dinamis dan beragam, hal ini dapat diterapkan pada
berbagai skala, walaupun untuk kepentingan pengelolaan pada umumnya
dikelompokkan menjadi kelompok besar komunitas yang serupa, seperti hutan
sub-tropis atau terumbu karang. Elemen kunci dalam mempertimbangkan
ekositem adalah pada kondisi alaminya, proses ekologi seperti aliran energi dan
siklus air dipertahankan (Keraf , 2002).
Pengklasifikasian ekosistem di Bumi yang sangat beragam menjadi sistem
yang dapat dikelola adalah tantangan besar bagi ilmu pengetahuan, dan sangatlah
penting untuk mengelola dan menjaga biosfer ini. Pada tingkat global, sebagian
besar sistem klasifikasi telah mencoba untuk mengambil jalan tengah antara
kerumitan ekologi dari komunitas dan sederhananya klasifikasi habitat yang
umum.
Umumnya sistem-sistem ini menggunakan kombinasi dari definisi tipe
habitat berdasarkan iklim; sebagai contoh, hutan tropis yang lembab, atau padang
rumput sub-tropis. Beberapa sistem juga menggunakan biogeografi global untuk
memperhitungkan perbedaan-perbedaan biota antar wilayah dunia yang mungkin
memiliki iklim dan karakteristik fisik serupa (Bertens, 1997).
Australia dengan wilayah-wilayahnya memetakan sejumlah besar
lingkungan daratan dan perairan, mulai dari daerah es kutub hingga padang
rumput subtropis dan hutan tropis, dari terumbu karang hingga laut dalam. Tiap-
tiap wilayahnya memperlihatkan ragam habitat dan interaksi yang besar antara
maupun di dalam komponen biotik dan abiotiknya. Sebagai contoh, padang
rumput spinifex di wilayah subtropis memetakan komunitas baik dengan maupun
tanpa pepohonan. Pada tiap spinifex itu sendiri terdapat bermacam habitat mikro.
Spesies-spesies berbeda terlibat dalam proses-proses ekologi seperti pada
penyebaran biji (contoh, oleh spesies-spesies semut) dan daur ulang nutrien yang
terdapat pada tiap habitat mikro. Pengukuran dari keragaman ekosistem masih
berada pada tahap awal. Akan tetapi, keragaman ekosistem merupakan elemen
penting dari keseluruhan keanekaragaman hayati dan seharusnya dapat tercermin
pada setiap pendugaan keanekaragaman hayati (Haba, 2005).
2.3 Manfaat Keanekaragaman Hayati
Meurut Bertens (1997) Keanekaragaman hayati dapat memberikan
manfaat, baik secara ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial dan budaya.
1. Manfaat dari Segi Ekonomi
Jenis hewan (fauna) dan tumbuhan (flora) dapat diperbarui dan dimanfaatkan
secara berkelanjutan. Beberapa jenis kayu memiliki manfaat bagi kepentingan
masyarakay Indonesia maupun untuk kepentingan ekspor. Jenis kayu-kayu
tersebut antara lain adalah kayu ramin, gaharu, meranti, dan jati jika di ekspor
akan menghasilkan devisa bagi negara. Beberapa tumbuhan juga dapat
dijadikan sebagai sumber makanan yang mengandung karbohidrat, protein,
vitamin serta ada tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-oabatan dan
kosmetika. Sumber daya yang berasal dari hewan dapat dimanfaatkan sebagai
sumber makanan dan untuk kegiatan industri.
Dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan yang dapat dijadikan sumber
daya alam yang bernilai ekonomi. Laut, sungai, dan tambak merupakan
sumber-sumber perikanan yang berpotensi ekonomi. Beberapa jenis
diantaranya dikenal sebagai sumber bahan makanan yang mengandung protein.
2. Manfaat dari Segi Wisata dan Ilmu Pengetahuan
Kekayaan aneka flora dan fauna sudah sejak lama dimanfaatkan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan. Hingga saat ini masih banyak jenis hewan
dan tumbuhan yang belum dipelajari dan belum diketahui manfaatnya. Dengan
demikian keadaan ini masih dapat dimanfaatkan sebagai sarana pengembangan
pengetahuan dan penelitian bagi berbagai bidang pengetahuan. Misalnya
penelitian mengenai sumber makanan dan obat-obatan yang berasal dari
tumbuhan. Umumnya secara langsung manusia menjadikan hewan sebagai
objek wisata atau hiburan.
3. Manfaat dari Segi Sosial dan Budaya
Masyarakat Indonesia ada yang menetap di wilayah pegunungan, dataran
rendah, maupun dekat dengan wilayah perairan. Masyrakat tersebut telah
terbiasa dan menyatu dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Kegiatan
memanen hasil hutan maupun pertanian merupakan kebiasaan yang khas bagi
masyarakat yang tinggal di pegunungan atau dataran tinggi.
Masyarakat tersebut yang hidup berdekatan dengan laut, sungai, dan hutan
memiliki aturan tertentu dalam upaya memanfaatkan tumbuhandan hewan.
Masyarakat memiliki kepercayaan tersendiri mengenai alam. Dengan adanya
aturan-aturan tersebut, keanekaragaman hayati akan terus terjaga
kelestariannya.
2.4 Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Menurut Keraf (2002), saat ini tidak sedikit hutan yang rusak, akibatnya
kehidupan hewan di dalamnya akan terganggu.
1. Hilangnya Habitat
Salah satu faktor yang sangat menentukan keberadaan keanekaragaman hayati
adalah habitat. Hutan merupakan habitat asli tempat hidup makhluk hidup.
Penebangan serta perusakan hutan secara terus-menerus terganggunya
ekosistem makhluk hidup dan pada akhirnya keanekaragaman hayati akan
berkurang dan hilang.
2. Degradasi Habitat
Polusi merupakan perubahan lingkungan yang menimbulkan pengaruh negatif
terhadap kesehatan dan kehidupan makhluk hidup.
3. Spesies-Spesies Pendatang
Kehadiran spesies pendatang dapat mengalahkan atau mendominasi spesies
asli. Pada abad ke-19 pembangunan Kanal Erie telah menyebabkan masuknya
belut laut ke Danau Agung.
4. Eksploitaso Secara Berlebihan
Eksploitasi sumber daya alam dikatakan berlebihan jika jumlah sumber daya
alam yang diambil lebih besar dibandingkan dengan kemamuan memperbarui
diri sumber daya alam yang diambil.
2.5 Dampak hilangnya spesies terhadap manusia
Keanekaragaman hayati adalah sumber daya di mana keluarga,
masyarakat, bangsa dan generasi masa depan bergantung. Ini adalah hubungan
antara semua organisme di bumi, mengikat masing-masing menjadi suatu
ekosistem interdependant, di mana semua spesies memiliki peran mereka masing-
masing dan ini adalah jaring kehidupan. Aset alam bumi yang terdiri dari
tumbuhan, hewan, tanah, air, atmosfer dan manusia merupakan bagian dari
ekosistem bumi, yang berarti jika ada krisis keanekaragaman hayati, kesehatan
dan mata pencaharian beresiko juga. Keanekaragaman hayati berkurang berarti
jutaan orang menghadapi masa depan di mana persediaan makanan lebih rentan
terhadap hama dan penyakit, dan di mana air tawar dalam pasokan tidak teratur
atau pendek. Kesehatan manusia juga sangat terkait dengan kesehatan ekosistem,
yang memenuhi banyak kebutuhan kita yang paling penting (Bertens, 1997).
Hilangnya keanekaragaman hayati dari bakteri bermanfaat bagi mamalia
karismatik dan mengancam kesehatan manusia. Hilangnya keanekaragaman
berupa Hewan-hewan, tumbuhan, dan mikroba berarti penyangga penyakit
menular juga menghilang. Contoh penyakit menular yaitu virus West Nile,
penyakit Lyme, dan hantavirus. Spesies penyangga seperti opossum yang hilang
saat hutan terfragmentasi menyebabkan berkembang kaki putih tikus. Jumlah
tikus meningkat dari kedua vektor kutu blacklegged dan patogen yang
menyebabkan penyakit Lyme. Begitu juga pada ekosistem dengan
keanekaragaman burung yang rendah terdapat spesies burung lebih rentan
terhadap virus, sehingga meningkatkan tingkat infeksi pada nyamuk dan orang-
orang. Sebagai perbandingan, ekosistem yang berisi keragaman yang lebih tinggi
dari burung memiliki banyak spesies yang tidak layak sebagai tuan rumah bagi
virus.
Betapa berharganya keanekaragaman hayati bagi kehidupan manusia, jasa
ekosistem adalah cara untuk menggambarkan semua layanan yang kita dapatkan
dari dunia alam yang sering kita anggap remeh. Itu bisa berupa air, tanah formasi
dan perlindungan, kerusakan polusi dan penyerapan, stabilitas iklim dan
pemulihan dari bencana alam. Ekosistem menyelamatkan nyawa manusia karena
manusia panen 50,000-70,000 spesies tanaman untuk obat tradisional di seluruh
dunia. Ekosistem mempertahankan keamanan pangan yaitu sekitar 100 juta ton
metrik kehidupan air, termasuk ikan, moluska dan krustasea yang diambil dari
alam setiap tahun untuk kehidupan manusia. Daging dari hewan liar membentuk
kontribusi yang penting untuk sumber pangan dan mata pencaharian di banyak
negara, terutama yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dan kerawanan
pangan.
2.6 Usaha Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Dalam usaha menjaga kelestarian sumber daya hayati agar tidak punah adalah
dengan cara menjaga keutuhan lingkungan tempat hidup makhluk hidup.
Jika sebagian besar masyarakat Indonesia melakukan aktivitas eksploitasi sumber
daya hayati secara terus-menerus tanpa diimbangi dengan usaha pelestarian maka
dalam waktu yang relatif singkat sumber daya hayati akan punah (Azhari, 1997).
1. Cagar Alam
Cagar alam adalah kawasan perlindungan alam yang memiliki tumbuhan, hewan,
dan ekosistem yang khas sehingga perlu dilindungi. Perkembangan dan
pertumbuhan hewan dan tumbuhan, berlangsung secara alami. Sesuai dengan
fungsinya cagar alam dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pengembangan ilmu
pengetahuan, dan wisata.
Terdapat dua jenis cagar alam yaitu cagar alam darat dan cagar alam laut. Di
Indonesia cagar alam darat antara lain : Cagar Alam Morowali di Sulawesi tengah,
Cagar Alam Nusa Kambangandi Jawa Tengah, Cagar Alam Gunung Papandayan
di Jawa Barat, Cagar Alam Dolok Sipirok di Sumatera Utara, Cagar Alam Hutan
Pinus Janthoi di NAD (Aceh). Sedangkan cagar alam laut antara lain : Cagar
Alam Kepulauan Aru Tenggara di Maluku, Cagar Alam Pulau Anak Krakatau di
Lampung, dan Cagar Alam Kepulauan Karimata di Kalimantan Barat.
2. Suaka Margasatwa
Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas berupa
keanekaragaman dan keunikan jenis satwa, dan untuk kelangsungan hidup satwa
dapat dilakuakn pembinaan terhadap habitatnya. Di Indonesia suaka
margasatwadarat antara lain : Suaka Margasatwa Rawa Singkil di NAD (Aceh),
Suaka Margasatwa Padang Sugihan di Sumatera Selatan, Suaka Margasatwa
Muara Angke di DKI Jakarta, Suaka Margasatwa Tambora Selatan di Nusa
Tenggara Barat, Suaka Margasatwa Lamandau di Kalimantan Tengah, dan Suaka
Margasatwa Buton di Sulawesi Tenggara. Sedangkan Suaka Margasatwa laut
antara lain : Suaka Margasatwa Kepulauan Panjang di Papua, Suaka Margasatwa
Pulau Kassa di Maluku, dan Suaka Margasatwa Foja di Papua.
3. Taman Nasional
Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli
yang dikelola dengan sistem zonasi. Taman nasional dapat dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan wisata.
Terdapat dua jenis taman nasional, yaitu taman nasional darat dan taman nasional
laut. Taman nasional darat antara lain ; Taman Nasional Leuser di Sumatera
Utara, Taman Nasional Ujung Kulon di Banten, Taman Nasional Meru Betiri di
Jawa Timur, dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Riau. Sedangkan taman
nasional laut antara lain ; Taman Nasional Kepulauan Seribu di DKI Jakarta,
Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur, dan Taman Nasional Bunaken
di Sulawesi Utara.
2.7 Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Indonesia terletak di daerah tropik sehingga memiliki keanekaragaman hayati
yang tinggi dibandingkan dengan daerah subtropik (iklim sedang) dan kutub
(iklim kutub). Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia ini terlihat dari
berbagai macam ekosistem yang ada di Indonesia, seperti: ekosistem pantai,
ekosistem hutan bakau, ekosistem padang rumput, ekosistem hutan hujan tropis,
ekosistem air tawar, ekosistem air laut, ekosistem savanna, dan lain-lain. Masing-
masing ekosistem ini memiliki keaneragaman hayati tersendiri.
A. Keanekaragaman Hayati Indonesia berdasarkan Karkteristik
Wilayahnya
Secara astronomis indonesia berada pada 60 LU - 110 LS dan 950 BT - 1410
BT. artinya indonesia terletak didaerah iklim tropis (daerah tropis berada diantara
23 1/20 LU dan 23 1/20 LS). Ciri - ciri daerah tropis antara lain temperatur cukup
tinggi (260C - 280C), curah hujan cukup banyak (700 - 7000mm/ tahun) dan
tanahnya subur karena proses pelapukan batuan cukup cepat (Azhari, 1997).
Bila dilihat dari geografis , indonesia terletak pada pertemuan dua rangkaian
pegunungan muda, yakni sirkum pasifik dan rangkaian sirkum mediterania,
sehingga indonesia memiliki banyak pegunungan berapi. hal tersebut
menyebabkan tanah menjadi subur.
Di Indonesia terdapat 10% spesies tanaman, 12% spesies mamalia, 16% spesies
reptilia dan amfibi , dan 17% dari spesies burung yang ada didunia. Sejumlah
spesies tersebut bersifat endemik , yaitu hanya terdapat di Indonesia dan tidak
ditemukan ditempat lain.
Contohnya adalah sebagai berikut:
1. burung cendrawasih di papua,
2. burung maleo di sulawesi,
3. komodo di pulau komodo.
4. anoa di sulawesi
5. rafflesia arnoldii, terdapat dipulau sumatera dan penyebarannya
disepanjang bukit barisan dari aceh sampai lampung.
6. Bunga bangkai (Amorphophallus titanum) merupakan flora khas
indonesia yang terdapat disumatra.
Tumbuhan yang beraneka ragam dan bernilai ekonomi dapat dimanfaatkan.
contohnya sebagai berikut:
1. macam - macam varietas durian (Duriozibethinus), antara lain , durian
petruk dari randusaria jepara, durian sitokong dari
2. ragunan, durian sunan yang berasal dari boyolali, durian simas dari
bogor.
3. Kedondong (Spondias cythrerea), misalnya kedondong karimunjawa
berasal dari Karimunjawa.
4. Salak (Zalacca edulis), misalnya , salak pondoh berasal dari desa soka
sleman dan salak bejalen dari ambarawa.
B. Keanekaragaman Hayati Indonesia berdasarkan Persebarannya
Persebaran organisme dimuka bumi dipelajari dalam cabang biologi yang disebut
biogeografi . studi tentang penyebaran spesies menunjukkan bahwa spesies -
spesies berasal dari satu tempat, namun selanjutnya menyebar ke berbagai daerah .
Organisme tersebut kemudian mengalami diferensiasi menjadi subspesies baru
dan spesies baru yang cocok terhadap daerah yang ditempatinya.
Penghalang geografi atau barrier seperti gunung yang tinggi, sungai dan lautan
dapat membatasi penyebaran dan kompetisi dari suatu spesies (isolasi geografi).
adanya isolasi geografi juga menyebabkan perbedaan susunan flora dan fauna
diberbagai tempat.
Berdasarkan adanya persamaan fauna didaerah - daerah tertentu, maka dapat
dibedakan menjadi 6 daerah biogeografi dunia sebagai berikut:
1. Nearktik : Amerika utara
2. Palearktik : Asia sebelah utara Himalaya, Eropa dan Afrika , gurun
sahara sebelah utara.
3. Neotropikal : Amerika Selatan bagian tengah.
4. Oriental: Asia, Himalaya bagian selatan.
5. Ethiopia : Afrika
6. Australian : Australia dan pulau - pulau sekitarnya.
A. Potensi Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Sekitar 12 % (515 spesies, 39 % endemik) dari total spesies
binatang menyusui, urutan kedua di dunia
7,3 % (511 spesies, 150 endemik) dari total spesies reptilia, urutan
keempat didunia
17 % (1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di
dunia, urutan kelima
270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam didunia
2827 spesies binatang tidak bertulang belakang selain ikan air
tawar
35 spesies primata (urutan keempat, 18 % endemik)
121 spesies kupu-kupu (44 % endemik)
Keanekaragaman ikan air tawar 1400 (urutan ke 3)
Taxonomic Group SpeciesEndemic
Species
Percent
Endemism
Plants 10,000 1,500 15
Mammals 201 123 61.2
Birds 697 249 35.7
Reptiles 188 122 64.9
Amphibians 56 35 62.5
(Keraf , 2002).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah suatu istilah pembahasan yang
mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan
menurut skala organisasi biologisnya, yaitu mencakup gen, spesies tumbuhan,
hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi dimana
bentuk kehidupan ini merupakan bagiannya. Upaya pelestarian dapat dilakukan
dengan membuat Cagar Alam, suaka marga satwa dan Taman nasional
DAFTAR PUSTAKA
Azhari Samlawi, Etika Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta:
DIKTI, 1997.
Bertens, K. Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002.
Haba, John. “Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya”. Jakarta: PMB-LIPI.
2005.
Soerjani, Mohamad, Pembangunan dan Lingkungan, Jakarta: Institut Pendidikan
dan Pengembangan Lingkungan (IPPL), 1996.
http://blawgerpoet.blogdetik.com/2011/02/14/pembalakan-liar-hutan-indonesia/
http://kpshk.org/index.php/berita/read/2011/02/11/1404/pencegahan-dan-
pemberantasan-pembalakan-liar.kpshk
http://impasb.wordpress.com/2008/02/27/penyebab-dan-dampak-rusaknya-hutan-
kita/