makalah ams mp10

23
Acute Mountain Sickness KELOMPOK V 03008010 Agra Cesarienne Pradito 03008020 Amanda Prahastianti 03008034 Anrico Muhammad 03008058 Bernadeta Rosa 03008112 Hana 03008128 Irfan Sugiyanto 03008154 Maria Priska Erlan 03008194 I Gede Ngurah Probo Suteja P 03008220 Selvi Annisa 03008240 Tiara Rahmawati 03008256 Widi Asrining Puri 03008262 Yuliani 03008278 Mohd Firdaus Bin Mohd Isa 03008302 Siti Hanisah BT Samsuddin 1

Upload: tiara-rahmawati

Post on 26-Oct-2015

70 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

MP 10

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah AMS MP10

Acute Mountain Sickness

KELOMPOK V

03008010 Agra Cesarienne Pradito 03008020 Amanda Prahastianti

03008034 Anrico Muhammad 03008058 Bernadeta Rosa

03008112 Hana 03008128 Irfan Sugiyanto

03008154 Maria Priska Erlan 03008194 I Gede Ngurah Probo Suteja P

03008220 Selvi Annisa 03008240 Tiara Rahmawati

03008256 Widi Asrining Puri 03008262 Yuliani

03008278 Mohd Firdaus Bin Mohd Isa 03008302 Siti Hanisah BT Samsuddin

JAKARTA

25 JUNI 2009

1

Page 2: Makalah AMS MP10

I. PENDAHULUAN

Setiap tahun jutaan orang berpergian ke daerah ketinggian  untuk berekreasi seperti

mendaki, ski, hiking dan lain sebagainya. Penurunan tekanan barometer pada ketinggian

menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen (PO) inspirasi. Keadaan  ini dapat menjadi

masalah bagi beberapa pendaki. Ketinggian  terdiri atas 3 skala yaitu tinggi (2438 – 2658

meter), sangat  tinggi (3658 – 5487 meter) dan ketinggian ekstrim (>5500 meter) tetapi sulit

untuk mengetahui tingkat ketinggian saat  seseorang dapat mengalami kelainan akibat

ketinggian.

Tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear, menjadi

50% dari nilai permukaan laut  pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30% dari nilai per-

mukaan laut pada ketinggian 8900 meter (Puncak Everest). Seiring dengan penurunan PO,

tubuh akan mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi. Hipoksia juga akan 

menyebabkan vasokonstriksi pulmoner yang selanjutnya mengakibatkan hipertensi pulmoner

dan high altitude pulmonary oedema (HAPE). Selain itu ketinggian juga dapat menyebabkan

gejala acute mountain sickness (AMS) dan chronic mountain sickness (CMS).

Insidens HAPE bervariasi antara 0,01% - 15%. Laki-laki  dan perempuan dapat

menderita HAPE, walaupun laki-laki  muda lebih mempunyai risiko. Orang Tibet dan Sherpa

mempunyai proteksi genetik terhadap HAPE walaupun pernah  dilaporkan terjadi pada

populasi ini. Pendakian cepat pada ketinggian menyebabkan perubahan  fisiologik dan

kelainan paru sehingga diperlukan penanganan  yang tepat.

2

Page 3: Makalah AMS MP10

II. LAPORAN KASUS

Lanti, seorang mahasiswi Fakultas Kedoteran USAKTI tingkat II, bermaksud

menyumbangkan tenaganya sebagai regu penolong, ketika mendengar adanua musibah

hilangnya beberapa anggota MAPALA di puncak Gunung Soekarno. Bersama-sama rekan

seniornya, Lanti pergi ke lereng puncak Soekarno (4800 m) dengan helikopter. Sampai di

tempat tujuan, Lanti merasa sakit kepala, pandangan berkunang-kunang, jantung berdebar

cepat, kaki dan tangan terasa dingin, bibir dan ujung jarinya tampak kebiruan dan nafas

terengah-engah, sampai ketika akan turun dari helicopter, Lanti terjatuh. Karena terjatuh dari

tempat yang cukup tinggi, Lanti mengalami patah tulang terbuka, disertai perdarahan cukup

banyak.

Lanti segera dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Dokter memutuskan untuk melakukan

tindakan operasi. Berbagai pemeriksaan sebelum operasi menunjukkan :

1. Tekanan darah : 90/60 mmHg.

2. Denyut Nadi : 110 / menit.

3. Frekuensi Permafasan : 24 / menit.

4. Hb : 8 g/dl.

5. Hasil EKG : terlampir.

Karena cukup banyak kehilangan darah, dokter meminta agar disediakan darah untuk

persiapan operasi. Takut akan penularan penyakit AIDS, Lanti meminta kesediaan rekan

seniornya untuk menjadi donor.

3

Page 4: Makalah AMS MP10

III. PEMBAHASAN

Pada kejadian yang dialami oleh Lanti, tindakan pertama yang harus kita lakukan

terhadap Lanti adalah memindahkan posisi Lanti menuju tempat yang lebih aman, karena

posisi saat Lanti terjatuh dirasa kurang aman karena berdekatan dengan landasan helikopter.

Setelah tempat dirasa aman, tindakan pertama yang harus dilakukan kepada Lanti ialah

memeriksa respons kesadaran dari Lanti, dengan langkah-langkah antara lain memanggil

namanya, jika tidak sadar atau tidak didapatkan respon yang berarti, lakukanlah penepukan

terhadap pundak Lanti dengan tujuan untuk membangun respon terhadapnya. Jika dengan

tindakan tersebut pasien masih tetap tidak sadar, maka langkah selanjutnya yang harus

dilakukan adalah uji respons terhadap rasa sakit. Jika korban tetap tidak sadar, maka

bersegeralah untuk meminta pertolongan kepada orang-orang sekitar. Setelah didapatkan

keadaan bahwa korban tidak sadarkan diri, hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah

langkah-langkah resusitasi jantung-paru yaitu ABC. Tindakan pertama adalah adalah

mengecek Airway atau jalan nafas dari korban. Kita dapat melakukan airway dengan cara

headtilt dan chinlift. Tindakan ini bertujuan untuk membuka saluran nafas. Jika ada yang

menyumbat di sekitar mulut, seperti kotoran maka haruslah kita melakukan pembersihan

terlebih dahulu terhadap jalan nafas korban. Setelah dipastikan jalan nafas telah terbuka

dengan baik tanpa sumbatan, kita dapat melakukan langkah kedua yaitu Breathing atau cek

pernafasan. Breathing dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1. Look.

Bertujuan untuk melihat pergerakan naik turunnya rongga thoraks jika pasien

bernapas. Untuk mengetahu sifat dari pernafasan, lancar atau tidak.

2. Listen.

Bertujuan untuk mendengar bunyi napas pasien, apakah terdengar suara nafas

pasien, apakah dalam keadaan normal atau tidak.

4

Page 5: Makalah AMS MP10

3. Feel.

Untuk merasakan hembusan nafas pasien, apakah kuat atau normal

Pada saat dilakukan cek pernafasan, kita harus dapat membedakan antara pernapasan normal

dengan agonal breathing, dimana agonal breathing biasa akan terjadi sesaat setelah jantung

berhenti dan digambarkan berat, mengi, dan bising. Selain itu, kita dapat mendengar apakah

pernafasan mendengkur atau tidak, karena agonal breathing merupakan tanda awal dari gagal

jantung yang biasa ditandai dengan agonal breathing.

Jika sesaat dilakukan pengecekan terhadap breathing, tidak didapatkan hasil korban

bernafas, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah pemberian dua kali nafas buatan,

dengan cara menutup lubang hidung pasien dengan jari telunjuk dan ibu jari, sementara

kepala tetap diposisikan headtilt dan chinlift. Dilakukan oleh kita inspirasi dalam, dan berikan

nafas buatan dengan ekspirasi kuat ke dalam mulut korban. Pada saat pemberian nafas buatan,

mulut penolong harus menutupi secara keseluruhan mulut korban. Apabila setelah dilakukan

pernafasan buatan, korban tidak juga bernafas, maka tindakan selanjutnya yang harus

dilakukan adalah segera melakukan pemeriksaan sistem sirkulasinya, dengan cara cek pulsasi

atau meraba arteri carotis. Jika teraba, maka posisikan korban pada recovery position dan

berikan satu kali napas buatan 5-6 detik dan dicek setiap 2 menit, Jika pulsasi tidak teraba,

maka lakukanlah kompresi jantung terhadap korban. Kompresi jantung dilakukan dengan cara

menempatkan salah satu pangkal telapak tangan pada dua jari superior processus xyphoideus,

setelah itu lakukanlah penguncian terhadap kedua tangan untuk melakukan kompresi.

Kompresi harus dilakukan dengan kecepatan 100 kali/menit dengan kedalam 4-5 cm.

Perbandingan antara kompresi dan relaksasi harus sama agar sesuai dengan irama jantung.

Kompresi jantung dilakukan sebanyak 30 kali diikuti dengan 2 kali nafas buatan sampai

korban bernafas normal. Ketika korban sudah mulai bernafas normal, maka pasien dapat

5

Page 6: Makalah AMS MP10

diposisikan pada recovery position dan selalu melakukan pengecekan terhadap keadaan

pasien setiap 2 menit, hingga bantuan datang.

Selama dilakukan resusitasi jantung paru terhadap Lanti, mengingat kondisi Lanti

yang mengalami perdarahan akibat patah tulang terbuka, kita juga perlu melakukan

penghentian perdarahan dan pertolongan pertama terhadap fraktur. Tindakan ini perlu

dilakukan dengan tujuan agar perdarahan tidak semakin hebat yang dapat mengakibatkan

kondisi semakin parah akibat shock dan untuk memfiksasi fraktur tulang yang terjadi pada

Lanti agar tidak terjadi dislokasi pada fraktur tulang tersebut, sehingga dapat mencegah

terjadinya kondisi yang memburuk.

Acute mountain sickness adalah suatu kondisi patologis yang disebabkan oleh paparan

akut tekanan udara rendah yang lazim terjadi pada dataran tinggi. Gejala dari acute mountain

sickness ini biasa akan mulai terjadi pada ketinggian 2.400 meter diatas permukaan laut.

Penyebab dari terjadinya acute mountain sickness adalah hipoksia. Peningkatan frekuensi

nafas yang merupakan bagian dari kompensasi sistem tubuh dalam mengatasi keadaan

hipoksia dengan tujuan untuk memperoleh tambahan oksigen yang masuk ke dalam tubuh,

juga akan menyebabkan terjadinya alkalosis respiratorik pada tubuh orang tersebut. Alkalosis

respiratorik dapat terjadi, karena disebabkan oleh terjadinya peningkatan frekuensi nafas

tanpa menghasilkan peningkatan input oksigen kedalam tubuh, tetapi sistem tubuh tetap akan

menghasilkan karbondioksida dalam jumlah tinggi akibat peningkatan frekuensi nafas

tersebut. Hal ini yang akan menyebabkan asam lebih banyak dikeluarkan dari tubuh, daripada

yang diproduksi oleh tubuh, sehingga terjadinya alkalosis respiratorik pada sistem tubuh.

Hipoksia, yang merupakan penyebab utama dari terjadinya acute mountain sickness,

dapat terjadi pada seseorang yang sedang berada pada posisi ketinggian tertentu, diakobatkan

oleh karena terjadinya penurunan tekanan atmosfer pada ketinggian tanpa diikuti dengan

kenaikan proporsi O2 dalam udara bebas. Tekanan atmosfer secara progresif berkurang seiring

6

Page 7: Makalah AMS MP10

dengan peningkatan ketinggian. Pada ketinggian 5.400 meter di atas permukaan laut, tekanan

atmosfer hanya 380 mmHg, yaitu hanya separuh dari nilainya saat di atas permukaan laut.

Karena proporsi gas O2 dan N2 dalam udara tidak berubah, maka PO2 udara inspirasi pada

posisi ketinggian tersebut adalah hanya 21% dari 380 mmHg yang merupakan hasil

penurunan tekanan atmosfer pada ketinggian tersebut, sehingga hanya didapatkan hasil 80

mmHg. Penurunan PO2 udara inspirasi tersebut juga terjadi tanpa diikuti oleh penurunan PO2

pada alveolus, walaupun dalam keadaan tersebut PO2 alveolus teteap lebih rendah daripada

PO2 udara inspirasi, yaitu 45 mmHg. Penurunan PO2 udara inspirasi, tanpa diikuti oleh

penurunan PO2 alveolus akan mengakibatkan penurunan nilai gradient perbedaan tekanan PO2

antara alveolus dengan udara inspirasi, dimana hal tersebut merupakan sebuah mekanisme

penting yang mendasari peristiwa masuknya O2 yang berasal dari udara inspirasi menuju

alveolus. Keadaan penurunan nilai gradient perbedaan tekanan PO2 inilah yang akan

menyebabkan terjadinya hipoksia pada seseorang yang menderita acute mountain sickness,

oleh karena terganggunya proses difusi O2 dari luar tubuh yang memanfaatkan sifat perbedaan

gradient tekanan PO2 antara udara inspirasi dengan udara alveolus..

Secara umum, Gejala-Gejala dari acute mountain sickness, antara lain :

1. Sulit Tidur atau insomnia.

2. Penurunan kesadaran yang akan menyebabkan, antara lain :

- Mengantuk Tingkat kesadaran somnolen.

- Halusinasi

3. Pusing.

4. Sakit kepala.

5. Lelah.

6. Mual dan Muntah.

7. Kecepatan denyut jantung meningkat.

7

Page 8: Makalah AMS MP10

8. Sianosis.

9. Nafas pendeng disertai usaha.

10. Peningkatan frekuiensi nafas.

11. Kongesti.

12. Batuk, hingga batuk berdarah.

Berdasarkan gejala-gejala yang dialami oleh Lanti, seperti terdapatnya rasa sakit

kepala, pandangan berkunang-kunang, jantung yang berdebar cepat, sianosis pada bibir dan

ujung jarinya, kaki yang terasa dingin, dan didukung oleh keadaan Lanti yang sedang berada

pada ketinggian tertentu, dapat disimpulkan bahwa keadaan yang sedang dialami Lanti adalah

acute mountain sickness. Selain gejala-gejala dan keadaan yang dialami oleh Lanti, pada hasil

pemeriksaan darah dan tanda-tanda vital juga didapatkan hasil yang mendukung, seperti

tekanan darah rendah, frekuensi nadi dan pernafasan yang cepat, serta kadar haemoglobin

yang rendah pada darah. Gejala-gejala tersebut merupakan suatu kumpulan gejala yang

disebabkan oleh keadaan hipoksia, dan perdarahan yang dialami oleh Lanti. Hipoksia yang

dialami Lanti akibat penurunan tekanan atmosfer pada ketinggian tertentu yang menyebabkan

terjadinya penurunan gradient perbedaan antara PO2 alveolus dengan udara inspirasi akan

menyebabkan terjadinya penurunan PO2 dalam arteri akibat terganggunya difusi O2 kedalam

tubuh. PO2 dalam arteri dipantau oleh kemoreseptor perifer yang dikenal sebagai badan

karotis dan badan aorta. Kemoreseptor ini akan peka terhadap penurunan PO2 lebih dari 40%

dalam arteri. Jika hal ini terjadi, kemoreseptor secara refleks, akan melakukan mekanisme

kompensasi terhadap kondisi tersebut, dengan cara meningkatkan ventilasi. Peningkatan

ventilasi yang merupakan mekanisme kompensasi penurunan PO2 pada arteri ini dapat

digambarkan pada tubuh Lanti dengan terjadinya peningkatan frekuensi nafas dari Lanti.

Selain sistem pernapasan, sistem kardiovaskuler juga memiliki suatu mekanisme kompensasi

bagi keadaan penurunan PO2 pada aliran darah arteri. Mekanisme kompensasi yang dilakukan

8

Page 9: Makalah AMS MP10

oleh sistem cardiovaskuler adalah proses vasodilatasi arteri yang diikuti oleh peningkatan

aliran darah kapiler dengan tujuan untuk meningkatkan penyaluran O2 input dari sistem

pernapasan dan CO2 output menuju sistem pernapasan, dengan hasil akhir peningkatan

pertukaran gas antara darah dan jaringan, agar tidak terjadinya hipoksia pada jaringan dan

organ. Mekanisme kompensasi tubuh dalam peningkatan aliran darah pada tubuh Lanti dapat

diketahui melalui peningkatan frekuensi nadi pada tubuh Lanti pada hasil pemeriksaan yang

telah dilakukan.

Jika kita meninjau dari sistem transportasi tubuh, selain kedua mekanisme kompensasi

yang telah dilakukan oleh tubuh Lanti akibat keadaan hipoksia yang dialaminya, sistem

transportasi O2 dalam tubuh, yaitu darah, juga akan melakukan mekanisme kompensasi jika

kadar O2 dalam darah tersebut terbilang rendah dan terbilang tidak dapat memenuhi adalah

fungsi utama dari eritrosit, secara logis penurunan penyaluran O2 ke jaringan akan

menyebabkan perangsangan untuk meningkatkan pembentukan eritrosit, atau biasa disebut

dengan eritropoesis. Proses eritropoesis dapat terjadi pada sistem tubuh, apabila terjadi

penurunan penyaluran O2 ke ginjal. Penurunan penyaluran O2 ke ginjal, secara langsung akan

merangsang ginjal untuk mengeluarkan hormon eritropoetin untuk masuk ke dalam sirkulasi

darah. Setelah hormon tersebut masuk ke dalam sirkulasi darah, jika hormone tersebut sampai

pada sumsum tulang belakang yang memiliki fungsi untuk memproduksi eritrosit bagi tubuh,

hormon ini kemudian akan merangsang terjadinya eritropoesis pada sumsum tulang tersebut.

Selain sebagai mekanisme kompensasi jika terjadi kadar O2 yang rendah dalam darah,

mekanisme eritropoesis tersebut juga dapat berfungsi sebagai respon terhadap tubuh, apabila

tubuh mengalami kehilangan eritrosit dalam jumlah besar, seperti pada perdarahan atau

destruksi abnormal eritrosit muda dalam darah. Dalam hal ini, eritropoesis yang dilakukan

dengan tujuan sebagai mekanisme kompensasi akibat jumlah eritrosit yang menurun dalam

darah, kecepatan dari eritropoesis dapat ditingkatkan hingga lebih dari enam kali lipat dari

9

Page 10: Makalah AMS MP10

tingkat normal. Jika melihat kondisi tersebut, dapat dipastikan bahwa terjadi kenaikan hormon

eritropoetin dalam darah Lanti, apabila tubuh Lanti dalam keadaan normal. Kenaikan hormon

tersebut pada tubuh Lanti dapat dipastikan disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh

terhadap penurunan konsentrasi O2 dalam darah dan penurunan jumlah eritrosit akibat

perdarahan yang dialami oleh Lanti.

Selain hipoksia, perdarahan yang dialami Lanti yang menyebabkan penurunan tekanan

darah pada Lanti pun turut terkompensasi oleh tubuh Lanti. Hal ini dapat diketahui dengan

adanya peningkatan denyut jantung pada hasil pemeriksaan Lanti. Faktor utama yang

menyebabkan peningkatan denyut jantung dari tubuh Lanti adalah penurunan volume darah

karena perdarahan yang dialaminya akibat terjadinya fraktur tulang terbuka. Volume darah

yang menurun, juga akan menyebabkan beberapa implikasi lain, yaitu terjadinya beberapa

penurunan pada beberapa faktor lain, seperti alir balik vena, volume sekuncup jantung, curah

jantung, dan tekanan arteri. Penurunan tekanan darah arteri akan merangsang baroreseptor

yang merupakan pusat kontrol kardiovaskuler untuk melakukan beberapa mekanisme

kompensasi untuk menjaga tekanan darah pada tubuh agar tetap normal. Penurunan tekanan

darah akan menyebabkan penurunan pada pembuntukan potensial aksi di baroreseptor. Hal ini

akan menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis pada jantung dan penurunan aktivitas

parasimpatis pada jantung. Kedua keadaan tersebut, secara sinergis akan bekerja untuk

meningkatkan kecepatan denyut jantung dan kontraktilitas jantung, sehingga didapatkan hasil,

yaitu peningkatan volume sekuncup dan curah jantung yang diikuti oleh peningkatan tekanan

darah arteri.

Meninjau perdarahan yang cukup banyak pada fraktur yang dialami oleh Lanti,

keadaan ini dapat menyebabkan syok pada Lanti. Syok adalah suatu keadaan, dimana tekanan

darah turun sedemikian rendah, sehingga aliran darah menuju jaringan lagi dapat

dipertahankan secara adekuat. Secara umum, syok dapat digolongkan menjadi dua golongan

10

Page 11: Makalah AMS MP10

berdasarkan jenisnya, yaitu syok primer dan syok sekunder. Syok primer adalah suatu

keadaan penurunan tekanan darah sedemikian rendah yang disebabkan oleh perbesaran ruang

vaskuler tanpa diikuti oleh peningkatan volume darah. Sedangkan untuk syok sekunder adalah

suatu keadaan penurunan tekanan darah sedemikian rendah yang disebabkan oleh penurunan

volume darah, dengan keadaan ruang vaskuler yang tetap. Syok sekunder biasa terjadi pada

seseorang yang sedang mengalami perdarahan, sehingga volume darah yang keluar dari tubuh

menyebabkan volume darah dalam ruang vaskuler menurun. Sedangkan berdasarkan

etiologinya, syok digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu syok hipovolemik, syok kardiogenik,

syok vasogenik, dan syok neurogenik. Syok hipovolemik adalah suatu keadaan yang yang

disebabkan oleh penurunan volume darah, yang terjadi secara langsung karena perdarahan

hebat ataupun secara tidak langsung, karena hilangnya cairan yang berasal dari plasma. Syok

kardiogenik adalah suatu keadaan syok yang disebabkan oleh kegagalan jantung untuk

memompa darah menuju sistem sirkulasi secara adekuat. Syok vasogenik adalah suatu

keadaan syok yang disebabkan oleh vasodilatasi luas dari ruang vaskuler yang disebabkan

oleh adanya zat-zat vasodilator. Menurut sumber berasalnya zat-zat vasodilator, syok

neurogenik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu syok septic dan syok anafilaktik. Dapat

digolongkan menjadi syok septic, apabila zat-zat vasodilator dihasilkan oleh penyebab

infeksi. Syok septic dapat terjadi pada seseorang yang mengalami infeksi yang luas. Dapat

digolongkan menjadi syok anafilaktik, apabila zat-zat vasodilator dihasilkan oleh pengeluaran

histamine yang berlebihan, akibat suatu reaksi alergi yang terjadi pada seseorang. Dan jenis

syok yang terakhir adalah syok neurogenik. Merupakan jenis syok yang disebabkan oleh

vasodilatasi luas dari ruang vaskuler yang disebabkan oleh tonus vaskuler simpatis yang

hilang, Keadaan ini dapat terjadi pada seseorang yang mengalami cedera benturan hebat,

dengan rasa nyeri yang dalam dan hebat, sehingga menyebabkan terhambatnya aktivitas

vasokonstriktor simpatis. Melihat keadaan yang dialami oleh Lanti, berdasarkan

11

Page 12: Makalah AMS MP10

penggolongan syok berdasarkan jenisnya, maka Lanti mengalami syok sekunder, tetapi jika

ditinjau dari penggolongan syok berdasarkan etiologinya maka syok yang dialami Lanti

termasuk kedalam syok hipovolemik.

Pada pemeriksaan sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan EKG terhadap Lanti.

Terdapat beberapa syarat-syarat untuk suatu hasil EKG dikatakan normal. Beberapa hal yang

ditinjau antara lain:

1. Irama jantung

Jantung dikatakan normal apabila memiliki irama sinus, yaitu apabila irama itu teratur

dan setiap kompleks QRS didahului oleh sebuah gelombang P.

2. QRS rate (Frekuensi jantung)

Pada irama sinus, laju QRS normal berkisar antara 60-100 kali per menit.

3. Aksis

Aksis normal selalu terdapat antara -30o sampai +110o.

4. Interval PR

Interval PR normal adalah dari 0,12 sampai 0,20 detik.

5. Gelombang P

Merupakan gambaran proses depolarisasi atrium. Gelombang P yang normal selalu

positif di lead II dan negative di sandapan aVR dengan tinggi kurang dari 3 mm (2,5

mm) dan lebar kurang dari 3 mm (0,11 detik).

6. Segmen PR

Dalam keadaan normal segmen PR berada dalam garis isoelektrik atau sedikit depresi

namun tidak lebih dari 0,8 mm.

7. Kompleks QRS

Merupakan gambaran proses depolarisasi ventrikel. Kompleks QRS normal pada

orang dewasa berkisar 0,06 sampai 0,11 detik.

12

Page 13: Makalah AMS MP10

8. Segmen ST (Titik J)

Titik J yang normal terletak pada garis isoelektrik, atau kadang berdeviasi sedikit

positif atau negative namun tidak lebih dari 1 mm dari garis isoelektrik.

9. Gelombang T

Merupakan gambaran fase repolarisasi ventrikel. Tinggi gelombang T minimum

adalah 1 mm dan tinggi maksimumnya tidak boleh melebihi 10 mm, sedangkan pada

sandapan ekstremitas tidak boleh melebihi 5 mm.

IV. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan, bahwa Lanti mengalami acute mountain sickness, dimana hal itu

disebabkan oleh penurunan perbedaan gradien PO2 antara alveolus dengan udara inspirasi.

Akibat penurunan perbedaan tekanan tersebut, timbul gejala-gejala yang merupakan

mekanisme kompensasi dari kurangnya oksigen yang masuk ke dalam sistem sirkulasi. Pada

saat melakukan kompensasi atas keadaan tersebut, terjadi hubungan antara sistem pernafasan

dengan sistem kardiovaskuler untuk mengembalikan tubuh pada keadaan normal. Acute

mountain sickness dan perdarahan yang dialami Lanti merangsang pengeluaran hormon

eritropoetin di ginjal untuk memproduksi hormon eritropoetin yang akan merangsang sumsum

tulang memproduksi eritosit lebih banyak.

13

Page 14: Makalah AMS MP10

V. DAFTAR PUSTAKA

1. Febriana R, Yunus F, Wiyono WH. Kelainan Paru Pada Ketinggian. Available at

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_KelainanParuPadaKetinggian.pdf/

05_KelainanParuPadaKetinggian.html. Accessed on June 23th 2009.

2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani Wl, Setiowulan W (Ed). Kapita

Selekta Kedokteran vol 1 : Demam Dengue. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.

3. Jacob L, et al. Acute Mountain Sickness. Available at

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000133.htm. Accessed on June

23th2009.

4. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 2001.

5. Sjukri K, Peter K. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk

Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

2006.

14