makalah ams mp10
DESCRIPTION
MP 10TRANSCRIPT
Acute Mountain Sickness
KELOMPOK V
03008010 Agra Cesarienne Pradito 03008020 Amanda Prahastianti
03008034 Anrico Muhammad 03008058 Bernadeta Rosa
03008112 Hana 03008128 Irfan Sugiyanto
03008154 Maria Priska Erlan 03008194 I Gede Ngurah Probo Suteja P
03008220 Selvi Annisa 03008240 Tiara Rahmawati
03008256 Widi Asrining Puri 03008262 Yuliani
03008278 Mohd Firdaus Bin Mohd Isa 03008302 Siti Hanisah BT Samsuddin
JAKARTA
25 JUNI 2009
1
I. PENDAHULUAN
Setiap tahun jutaan orang berpergian ke daerah ketinggian untuk berekreasi seperti
mendaki, ski, hiking dan lain sebagainya. Penurunan tekanan barometer pada ketinggian
menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen (PO) inspirasi. Keadaan ini dapat menjadi
masalah bagi beberapa pendaki. Ketinggian terdiri atas 3 skala yaitu tinggi (2438 – 2658
meter), sangat tinggi (3658 – 5487 meter) dan ketinggian ekstrim (>5500 meter) tetapi sulit
untuk mengetahui tingkat ketinggian saat seseorang dapat mengalami kelainan akibat
ketinggian.
Tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear, menjadi
50% dari nilai permukaan laut pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30% dari nilai per-
mukaan laut pada ketinggian 8900 meter (Puncak Everest). Seiring dengan penurunan PO,
tubuh akan mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi. Hipoksia juga akan
menyebabkan vasokonstriksi pulmoner yang selanjutnya mengakibatkan hipertensi pulmoner
dan high altitude pulmonary oedema (HAPE). Selain itu ketinggian juga dapat menyebabkan
gejala acute mountain sickness (AMS) dan chronic mountain sickness (CMS).
Insidens HAPE bervariasi antara 0,01% - 15%. Laki-laki dan perempuan dapat
menderita HAPE, walaupun laki-laki muda lebih mempunyai risiko. Orang Tibet dan Sherpa
mempunyai proteksi genetik terhadap HAPE walaupun pernah dilaporkan terjadi pada
populasi ini. Pendakian cepat pada ketinggian menyebabkan perubahan fisiologik dan
kelainan paru sehingga diperlukan penanganan yang tepat.
2
II. LAPORAN KASUS
Lanti, seorang mahasiswi Fakultas Kedoteran USAKTI tingkat II, bermaksud
menyumbangkan tenaganya sebagai regu penolong, ketika mendengar adanua musibah
hilangnya beberapa anggota MAPALA di puncak Gunung Soekarno. Bersama-sama rekan
seniornya, Lanti pergi ke lereng puncak Soekarno (4800 m) dengan helikopter. Sampai di
tempat tujuan, Lanti merasa sakit kepala, pandangan berkunang-kunang, jantung berdebar
cepat, kaki dan tangan terasa dingin, bibir dan ujung jarinya tampak kebiruan dan nafas
terengah-engah, sampai ketika akan turun dari helicopter, Lanti terjatuh. Karena terjatuh dari
tempat yang cukup tinggi, Lanti mengalami patah tulang terbuka, disertai perdarahan cukup
banyak.
Lanti segera dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Dokter memutuskan untuk melakukan
tindakan operasi. Berbagai pemeriksaan sebelum operasi menunjukkan :
1. Tekanan darah : 90/60 mmHg.
2. Denyut Nadi : 110 / menit.
3. Frekuensi Permafasan : 24 / menit.
4. Hb : 8 g/dl.
5. Hasil EKG : terlampir.
Karena cukup banyak kehilangan darah, dokter meminta agar disediakan darah untuk
persiapan operasi. Takut akan penularan penyakit AIDS, Lanti meminta kesediaan rekan
seniornya untuk menjadi donor.
3
III. PEMBAHASAN
Pada kejadian yang dialami oleh Lanti, tindakan pertama yang harus kita lakukan
terhadap Lanti adalah memindahkan posisi Lanti menuju tempat yang lebih aman, karena
posisi saat Lanti terjatuh dirasa kurang aman karena berdekatan dengan landasan helikopter.
Setelah tempat dirasa aman, tindakan pertama yang harus dilakukan kepada Lanti ialah
memeriksa respons kesadaran dari Lanti, dengan langkah-langkah antara lain memanggil
namanya, jika tidak sadar atau tidak didapatkan respon yang berarti, lakukanlah penepukan
terhadap pundak Lanti dengan tujuan untuk membangun respon terhadapnya. Jika dengan
tindakan tersebut pasien masih tetap tidak sadar, maka langkah selanjutnya yang harus
dilakukan adalah uji respons terhadap rasa sakit. Jika korban tetap tidak sadar, maka
bersegeralah untuk meminta pertolongan kepada orang-orang sekitar. Setelah didapatkan
keadaan bahwa korban tidak sadarkan diri, hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah
langkah-langkah resusitasi jantung-paru yaitu ABC. Tindakan pertama adalah adalah
mengecek Airway atau jalan nafas dari korban. Kita dapat melakukan airway dengan cara
headtilt dan chinlift. Tindakan ini bertujuan untuk membuka saluran nafas. Jika ada yang
menyumbat di sekitar mulut, seperti kotoran maka haruslah kita melakukan pembersihan
terlebih dahulu terhadap jalan nafas korban. Setelah dipastikan jalan nafas telah terbuka
dengan baik tanpa sumbatan, kita dapat melakukan langkah kedua yaitu Breathing atau cek
pernafasan. Breathing dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Look.
Bertujuan untuk melihat pergerakan naik turunnya rongga thoraks jika pasien
bernapas. Untuk mengetahu sifat dari pernafasan, lancar atau tidak.
2. Listen.
Bertujuan untuk mendengar bunyi napas pasien, apakah terdengar suara nafas
pasien, apakah dalam keadaan normal atau tidak.
4
3. Feel.
Untuk merasakan hembusan nafas pasien, apakah kuat atau normal
Pada saat dilakukan cek pernafasan, kita harus dapat membedakan antara pernapasan normal
dengan agonal breathing, dimana agonal breathing biasa akan terjadi sesaat setelah jantung
berhenti dan digambarkan berat, mengi, dan bising. Selain itu, kita dapat mendengar apakah
pernafasan mendengkur atau tidak, karena agonal breathing merupakan tanda awal dari gagal
jantung yang biasa ditandai dengan agonal breathing.
Jika sesaat dilakukan pengecekan terhadap breathing, tidak didapatkan hasil korban
bernafas, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah pemberian dua kali nafas buatan,
dengan cara menutup lubang hidung pasien dengan jari telunjuk dan ibu jari, sementara
kepala tetap diposisikan headtilt dan chinlift. Dilakukan oleh kita inspirasi dalam, dan berikan
nafas buatan dengan ekspirasi kuat ke dalam mulut korban. Pada saat pemberian nafas buatan,
mulut penolong harus menutupi secara keseluruhan mulut korban. Apabila setelah dilakukan
pernafasan buatan, korban tidak juga bernafas, maka tindakan selanjutnya yang harus
dilakukan adalah segera melakukan pemeriksaan sistem sirkulasinya, dengan cara cek pulsasi
atau meraba arteri carotis. Jika teraba, maka posisikan korban pada recovery position dan
berikan satu kali napas buatan 5-6 detik dan dicek setiap 2 menit, Jika pulsasi tidak teraba,
maka lakukanlah kompresi jantung terhadap korban. Kompresi jantung dilakukan dengan cara
menempatkan salah satu pangkal telapak tangan pada dua jari superior processus xyphoideus,
setelah itu lakukanlah penguncian terhadap kedua tangan untuk melakukan kompresi.
Kompresi harus dilakukan dengan kecepatan 100 kali/menit dengan kedalam 4-5 cm.
Perbandingan antara kompresi dan relaksasi harus sama agar sesuai dengan irama jantung.
Kompresi jantung dilakukan sebanyak 30 kali diikuti dengan 2 kali nafas buatan sampai
korban bernafas normal. Ketika korban sudah mulai bernafas normal, maka pasien dapat
5
diposisikan pada recovery position dan selalu melakukan pengecekan terhadap keadaan
pasien setiap 2 menit, hingga bantuan datang.
Selama dilakukan resusitasi jantung paru terhadap Lanti, mengingat kondisi Lanti
yang mengalami perdarahan akibat patah tulang terbuka, kita juga perlu melakukan
penghentian perdarahan dan pertolongan pertama terhadap fraktur. Tindakan ini perlu
dilakukan dengan tujuan agar perdarahan tidak semakin hebat yang dapat mengakibatkan
kondisi semakin parah akibat shock dan untuk memfiksasi fraktur tulang yang terjadi pada
Lanti agar tidak terjadi dislokasi pada fraktur tulang tersebut, sehingga dapat mencegah
terjadinya kondisi yang memburuk.
Acute mountain sickness adalah suatu kondisi patologis yang disebabkan oleh paparan
akut tekanan udara rendah yang lazim terjadi pada dataran tinggi. Gejala dari acute mountain
sickness ini biasa akan mulai terjadi pada ketinggian 2.400 meter diatas permukaan laut.
Penyebab dari terjadinya acute mountain sickness adalah hipoksia. Peningkatan frekuensi
nafas yang merupakan bagian dari kompensasi sistem tubuh dalam mengatasi keadaan
hipoksia dengan tujuan untuk memperoleh tambahan oksigen yang masuk ke dalam tubuh,
juga akan menyebabkan terjadinya alkalosis respiratorik pada tubuh orang tersebut. Alkalosis
respiratorik dapat terjadi, karena disebabkan oleh terjadinya peningkatan frekuensi nafas
tanpa menghasilkan peningkatan input oksigen kedalam tubuh, tetapi sistem tubuh tetap akan
menghasilkan karbondioksida dalam jumlah tinggi akibat peningkatan frekuensi nafas
tersebut. Hal ini yang akan menyebabkan asam lebih banyak dikeluarkan dari tubuh, daripada
yang diproduksi oleh tubuh, sehingga terjadinya alkalosis respiratorik pada sistem tubuh.
Hipoksia, yang merupakan penyebab utama dari terjadinya acute mountain sickness,
dapat terjadi pada seseorang yang sedang berada pada posisi ketinggian tertentu, diakobatkan
oleh karena terjadinya penurunan tekanan atmosfer pada ketinggian tanpa diikuti dengan
kenaikan proporsi O2 dalam udara bebas. Tekanan atmosfer secara progresif berkurang seiring
6
dengan peningkatan ketinggian. Pada ketinggian 5.400 meter di atas permukaan laut, tekanan
atmosfer hanya 380 mmHg, yaitu hanya separuh dari nilainya saat di atas permukaan laut.
Karena proporsi gas O2 dan N2 dalam udara tidak berubah, maka PO2 udara inspirasi pada
posisi ketinggian tersebut adalah hanya 21% dari 380 mmHg yang merupakan hasil
penurunan tekanan atmosfer pada ketinggian tersebut, sehingga hanya didapatkan hasil 80
mmHg. Penurunan PO2 udara inspirasi tersebut juga terjadi tanpa diikuti oleh penurunan PO2
pada alveolus, walaupun dalam keadaan tersebut PO2 alveolus teteap lebih rendah daripada
PO2 udara inspirasi, yaitu 45 mmHg. Penurunan PO2 udara inspirasi, tanpa diikuti oleh
penurunan PO2 alveolus akan mengakibatkan penurunan nilai gradient perbedaan tekanan PO2
antara alveolus dengan udara inspirasi, dimana hal tersebut merupakan sebuah mekanisme
penting yang mendasari peristiwa masuknya O2 yang berasal dari udara inspirasi menuju
alveolus. Keadaan penurunan nilai gradient perbedaan tekanan PO2 inilah yang akan
menyebabkan terjadinya hipoksia pada seseorang yang menderita acute mountain sickness,
oleh karena terganggunya proses difusi O2 dari luar tubuh yang memanfaatkan sifat perbedaan
gradient tekanan PO2 antara udara inspirasi dengan udara alveolus..
Secara umum, Gejala-Gejala dari acute mountain sickness, antara lain :
1. Sulit Tidur atau insomnia.
2. Penurunan kesadaran yang akan menyebabkan, antara lain :
- Mengantuk Tingkat kesadaran somnolen.
- Halusinasi
3. Pusing.
4. Sakit kepala.
5. Lelah.
6. Mual dan Muntah.
7. Kecepatan denyut jantung meningkat.
7
8. Sianosis.
9. Nafas pendeng disertai usaha.
10. Peningkatan frekuiensi nafas.
11. Kongesti.
12. Batuk, hingga batuk berdarah.
Berdasarkan gejala-gejala yang dialami oleh Lanti, seperti terdapatnya rasa sakit
kepala, pandangan berkunang-kunang, jantung yang berdebar cepat, sianosis pada bibir dan
ujung jarinya, kaki yang terasa dingin, dan didukung oleh keadaan Lanti yang sedang berada
pada ketinggian tertentu, dapat disimpulkan bahwa keadaan yang sedang dialami Lanti adalah
acute mountain sickness. Selain gejala-gejala dan keadaan yang dialami oleh Lanti, pada hasil
pemeriksaan darah dan tanda-tanda vital juga didapatkan hasil yang mendukung, seperti
tekanan darah rendah, frekuensi nadi dan pernafasan yang cepat, serta kadar haemoglobin
yang rendah pada darah. Gejala-gejala tersebut merupakan suatu kumpulan gejala yang
disebabkan oleh keadaan hipoksia, dan perdarahan yang dialami oleh Lanti. Hipoksia yang
dialami Lanti akibat penurunan tekanan atmosfer pada ketinggian tertentu yang menyebabkan
terjadinya penurunan gradient perbedaan antara PO2 alveolus dengan udara inspirasi akan
menyebabkan terjadinya penurunan PO2 dalam arteri akibat terganggunya difusi O2 kedalam
tubuh. PO2 dalam arteri dipantau oleh kemoreseptor perifer yang dikenal sebagai badan
karotis dan badan aorta. Kemoreseptor ini akan peka terhadap penurunan PO2 lebih dari 40%
dalam arteri. Jika hal ini terjadi, kemoreseptor secara refleks, akan melakukan mekanisme
kompensasi terhadap kondisi tersebut, dengan cara meningkatkan ventilasi. Peningkatan
ventilasi yang merupakan mekanisme kompensasi penurunan PO2 pada arteri ini dapat
digambarkan pada tubuh Lanti dengan terjadinya peningkatan frekuensi nafas dari Lanti.
Selain sistem pernapasan, sistem kardiovaskuler juga memiliki suatu mekanisme kompensasi
bagi keadaan penurunan PO2 pada aliran darah arteri. Mekanisme kompensasi yang dilakukan
8
oleh sistem cardiovaskuler adalah proses vasodilatasi arteri yang diikuti oleh peningkatan
aliran darah kapiler dengan tujuan untuk meningkatkan penyaluran O2 input dari sistem
pernapasan dan CO2 output menuju sistem pernapasan, dengan hasil akhir peningkatan
pertukaran gas antara darah dan jaringan, agar tidak terjadinya hipoksia pada jaringan dan
organ. Mekanisme kompensasi tubuh dalam peningkatan aliran darah pada tubuh Lanti dapat
diketahui melalui peningkatan frekuensi nadi pada tubuh Lanti pada hasil pemeriksaan yang
telah dilakukan.
Jika kita meninjau dari sistem transportasi tubuh, selain kedua mekanisme kompensasi
yang telah dilakukan oleh tubuh Lanti akibat keadaan hipoksia yang dialaminya, sistem
transportasi O2 dalam tubuh, yaitu darah, juga akan melakukan mekanisme kompensasi jika
kadar O2 dalam darah tersebut terbilang rendah dan terbilang tidak dapat memenuhi adalah
fungsi utama dari eritrosit, secara logis penurunan penyaluran O2 ke jaringan akan
menyebabkan perangsangan untuk meningkatkan pembentukan eritrosit, atau biasa disebut
dengan eritropoesis. Proses eritropoesis dapat terjadi pada sistem tubuh, apabila terjadi
penurunan penyaluran O2 ke ginjal. Penurunan penyaluran O2 ke ginjal, secara langsung akan
merangsang ginjal untuk mengeluarkan hormon eritropoetin untuk masuk ke dalam sirkulasi
darah. Setelah hormon tersebut masuk ke dalam sirkulasi darah, jika hormone tersebut sampai
pada sumsum tulang belakang yang memiliki fungsi untuk memproduksi eritrosit bagi tubuh,
hormon ini kemudian akan merangsang terjadinya eritropoesis pada sumsum tulang tersebut.
Selain sebagai mekanisme kompensasi jika terjadi kadar O2 yang rendah dalam darah,
mekanisme eritropoesis tersebut juga dapat berfungsi sebagai respon terhadap tubuh, apabila
tubuh mengalami kehilangan eritrosit dalam jumlah besar, seperti pada perdarahan atau
destruksi abnormal eritrosit muda dalam darah. Dalam hal ini, eritropoesis yang dilakukan
dengan tujuan sebagai mekanisme kompensasi akibat jumlah eritrosit yang menurun dalam
darah, kecepatan dari eritropoesis dapat ditingkatkan hingga lebih dari enam kali lipat dari
9
tingkat normal. Jika melihat kondisi tersebut, dapat dipastikan bahwa terjadi kenaikan hormon
eritropoetin dalam darah Lanti, apabila tubuh Lanti dalam keadaan normal. Kenaikan hormon
tersebut pada tubuh Lanti dapat dipastikan disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan konsentrasi O2 dalam darah dan penurunan jumlah eritrosit akibat
perdarahan yang dialami oleh Lanti.
Selain hipoksia, perdarahan yang dialami Lanti yang menyebabkan penurunan tekanan
darah pada Lanti pun turut terkompensasi oleh tubuh Lanti. Hal ini dapat diketahui dengan
adanya peningkatan denyut jantung pada hasil pemeriksaan Lanti. Faktor utama yang
menyebabkan peningkatan denyut jantung dari tubuh Lanti adalah penurunan volume darah
karena perdarahan yang dialaminya akibat terjadinya fraktur tulang terbuka. Volume darah
yang menurun, juga akan menyebabkan beberapa implikasi lain, yaitu terjadinya beberapa
penurunan pada beberapa faktor lain, seperti alir balik vena, volume sekuncup jantung, curah
jantung, dan tekanan arteri. Penurunan tekanan darah arteri akan merangsang baroreseptor
yang merupakan pusat kontrol kardiovaskuler untuk melakukan beberapa mekanisme
kompensasi untuk menjaga tekanan darah pada tubuh agar tetap normal. Penurunan tekanan
darah akan menyebabkan penurunan pada pembuntukan potensial aksi di baroreseptor. Hal ini
akan menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis pada jantung dan penurunan aktivitas
parasimpatis pada jantung. Kedua keadaan tersebut, secara sinergis akan bekerja untuk
meningkatkan kecepatan denyut jantung dan kontraktilitas jantung, sehingga didapatkan hasil,
yaitu peningkatan volume sekuncup dan curah jantung yang diikuti oleh peningkatan tekanan
darah arteri.
Meninjau perdarahan yang cukup banyak pada fraktur yang dialami oleh Lanti,
keadaan ini dapat menyebabkan syok pada Lanti. Syok adalah suatu keadaan, dimana tekanan
darah turun sedemikian rendah, sehingga aliran darah menuju jaringan lagi dapat
dipertahankan secara adekuat. Secara umum, syok dapat digolongkan menjadi dua golongan
10
berdasarkan jenisnya, yaitu syok primer dan syok sekunder. Syok primer adalah suatu
keadaan penurunan tekanan darah sedemikian rendah yang disebabkan oleh perbesaran ruang
vaskuler tanpa diikuti oleh peningkatan volume darah. Sedangkan untuk syok sekunder adalah
suatu keadaan penurunan tekanan darah sedemikian rendah yang disebabkan oleh penurunan
volume darah, dengan keadaan ruang vaskuler yang tetap. Syok sekunder biasa terjadi pada
seseorang yang sedang mengalami perdarahan, sehingga volume darah yang keluar dari tubuh
menyebabkan volume darah dalam ruang vaskuler menurun. Sedangkan berdasarkan
etiologinya, syok digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu syok hipovolemik, syok kardiogenik,
syok vasogenik, dan syok neurogenik. Syok hipovolemik adalah suatu keadaan yang yang
disebabkan oleh penurunan volume darah, yang terjadi secara langsung karena perdarahan
hebat ataupun secara tidak langsung, karena hilangnya cairan yang berasal dari plasma. Syok
kardiogenik adalah suatu keadaan syok yang disebabkan oleh kegagalan jantung untuk
memompa darah menuju sistem sirkulasi secara adekuat. Syok vasogenik adalah suatu
keadaan syok yang disebabkan oleh vasodilatasi luas dari ruang vaskuler yang disebabkan
oleh adanya zat-zat vasodilator. Menurut sumber berasalnya zat-zat vasodilator, syok
neurogenik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu syok septic dan syok anafilaktik. Dapat
digolongkan menjadi syok septic, apabila zat-zat vasodilator dihasilkan oleh penyebab
infeksi. Syok septic dapat terjadi pada seseorang yang mengalami infeksi yang luas. Dapat
digolongkan menjadi syok anafilaktik, apabila zat-zat vasodilator dihasilkan oleh pengeluaran
histamine yang berlebihan, akibat suatu reaksi alergi yang terjadi pada seseorang. Dan jenis
syok yang terakhir adalah syok neurogenik. Merupakan jenis syok yang disebabkan oleh
vasodilatasi luas dari ruang vaskuler yang disebabkan oleh tonus vaskuler simpatis yang
hilang, Keadaan ini dapat terjadi pada seseorang yang mengalami cedera benturan hebat,
dengan rasa nyeri yang dalam dan hebat, sehingga menyebabkan terhambatnya aktivitas
vasokonstriktor simpatis. Melihat keadaan yang dialami oleh Lanti, berdasarkan
11
penggolongan syok berdasarkan jenisnya, maka Lanti mengalami syok sekunder, tetapi jika
ditinjau dari penggolongan syok berdasarkan etiologinya maka syok yang dialami Lanti
termasuk kedalam syok hipovolemik.
Pada pemeriksaan sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan EKG terhadap Lanti.
Terdapat beberapa syarat-syarat untuk suatu hasil EKG dikatakan normal. Beberapa hal yang
ditinjau antara lain:
1. Irama jantung
Jantung dikatakan normal apabila memiliki irama sinus, yaitu apabila irama itu teratur
dan setiap kompleks QRS didahului oleh sebuah gelombang P.
2. QRS rate (Frekuensi jantung)
Pada irama sinus, laju QRS normal berkisar antara 60-100 kali per menit.
3. Aksis
Aksis normal selalu terdapat antara -30o sampai +110o.
4. Interval PR
Interval PR normal adalah dari 0,12 sampai 0,20 detik.
5. Gelombang P
Merupakan gambaran proses depolarisasi atrium. Gelombang P yang normal selalu
positif di lead II dan negative di sandapan aVR dengan tinggi kurang dari 3 mm (2,5
mm) dan lebar kurang dari 3 mm (0,11 detik).
6. Segmen PR
Dalam keadaan normal segmen PR berada dalam garis isoelektrik atau sedikit depresi
namun tidak lebih dari 0,8 mm.
7. Kompleks QRS
Merupakan gambaran proses depolarisasi ventrikel. Kompleks QRS normal pada
orang dewasa berkisar 0,06 sampai 0,11 detik.
12
8. Segmen ST (Titik J)
Titik J yang normal terletak pada garis isoelektrik, atau kadang berdeviasi sedikit
positif atau negative namun tidak lebih dari 1 mm dari garis isoelektrik.
9. Gelombang T
Merupakan gambaran fase repolarisasi ventrikel. Tinggi gelombang T minimum
adalah 1 mm dan tinggi maksimumnya tidak boleh melebihi 10 mm, sedangkan pada
sandapan ekstremitas tidak boleh melebihi 5 mm.
IV. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan, bahwa Lanti mengalami acute mountain sickness, dimana hal itu
disebabkan oleh penurunan perbedaan gradien PO2 antara alveolus dengan udara inspirasi.
Akibat penurunan perbedaan tekanan tersebut, timbul gejala-gejala yang merupakan
mekanisme kompensasi dari kurangnya oksigen yang masuk ke dalam sistem sirkulasi. Pada
saat melakukan kompensasi atas keadaan tersebut, terjadi hubungan antara sistem pernafasan
dengan sistem kardiovaskuler untuk mengembalikan tubuh pada keadaan normal. Acute
mountain sickness dan perdarahan yang dialami Lanti merangsang pengeluaran hormon
eritropoetin di ginjal untuk memproduksi hormon eritropoetin yang akan merangsang sumsum
tulang memproduksi eritosit lebih banyak.
13
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Febriana R, Yunus F, Wiyono WH. Kelainan Paru Pada Ketinggian. Available at
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_KelainanParuPadaKetinggian.pdf/
05_KelainanParuPadaKetinggian.html. Accessed on June 23th 2009.
2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani Wl, Setiowulan W (Ed). Kapita
Selekta Kedokteran vol 1 : Demam Dengue. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.
3. Jacob L, et al. Acute Mountain Sickness. Available at
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000133.htm. Accessed on June
23th2009.
4. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2001.
5. Sjukri K, Peter K. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk
Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2006.
14