lapsus polip dan sinusitis
DESCRIPTION
Polip gannTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
POLIP NASI DEXTRA DAN
RHINOSINUSITIS MAXILARIS BILATERAL
Oleh
Dimas Pambudi Prakoso
H1A011018
PEMBIMBING :
dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
MATARAM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Polip nasi dan rhinosinusitis merupakan salah satu jenis penyakit telinga, hidung dan
tenggorok (THT) yang sudah umum didengar di masyarakat. Angka kejadian kedua penyakit
inipun masih cukup tinggi dalam masyarakat.
Sebagian orang sering menyebut polip sebagai daging tumbuh dalam hidung, sebagian orang
juga menamainya tumor hidung. Polip nasi sebenarnya adalah suatu pertumbuhan dari selaput
lendir hidung yang bersifat jinak.
Sementara Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal yang sering ditemukan dalam
praktek dokter sehari–hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan
tersering di seluruh dunia.1
Polip nasi terutama ditemukan pada usia dewasa dan lebih sering pada laki-laki, dimana
rasio antar laki-laki dengan perempuan yang terkena polip nasi adalah 3:1. Penyakit ini
ditemukan pada seluruh kelompok ras. Sedangkan angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dari
1000 orang, dan sinusitis kronis lebih jarang kira-kira 1 dari 1000 orang. Dewasa lebih sering
terserang sinusitis dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran napas atas
pada dewasa yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis sehingga diagnosis yang seringkali
muncul adalah rhinosinusitis. Di US dilaporkan bahwa lebih dari 30 juta pasien menderita
sinusitis.2,7
Polip hidung dan sinusitis bukan penyakit yang murni berdiri sendiri.Pembentukannya
sangat terkait erat dengan berbagai problem THT lainnya seperti rinitis alergi, asma, radang
kronis pada mukosa hidung, kista fibrosis, intoleransi pada aspirin.
Hidung dan sinus dalam keadaan fisiologis steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau
tersumbat oleh penyebab tertentu maka akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk
perkembangan organisme patogen. 1
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa polip nasi dan sinusitis
merupakan penyakit yang penting untuk diketahui oleh praktisi kesehatan. Oleh karena itu kasus
ini dipilih dengan tujuan agar lebih memahami diagnosis, dan penatalaksanaan polip nasi dan
sinusitis.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIDUNG
2.1.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung
dengan perdarahan dan persarafannya, serta fisiologi hidung.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah:3,4
1. pangkal hidung (bridge)
2. dorsum nasi
3. puncak hidung
4. ala nasi
5. kolumela
6. lubang hidung
Gambar 2.1 Hidung bagian luar 5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:3,4
1. tulang hidung (os nasalis)
2. prosesus frontalis os maksila
3. prosesus nasalis os frontalis
Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:3,4
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
3. Kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum
Gambar 2.2. Kerangka hidung3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.3,4
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior.3,4,5
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina prependikularis os ethmoid,vomer,
krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) & kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada
bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi
pula oleh mukosa hidung.3,4
Prosesus nasalis os frontalis
Gambar 2.3 Dinding medial hidung
Bagian depan hidung dinding hidung lateral licin, yang disebut agar nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.3,4
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka superior, konka media, konka
inferior dan konka supreme. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha
inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka
superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya
rudimenter. 3,4
Gambar 2.4 Dinding lateral rongga hidung
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.3
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di anatara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis.3,4
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus usinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. 3
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis yang
memisahkan rongga terngkorak dan rongga hidung.3
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yg merupakan cabang a. oftalmika (cabang dari a. karotid interna). Bagian
bwh rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, yaitu a.
palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.3
Gambar 2.5 Perdarahan hidung
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina major, yang disebut
Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superisial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis, terutama anak-anak. 3
Vena-vena hidung berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan
struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yg berhubungan dengan sinus kavernosus.
Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai intrakranial. 3
2.1.2 Fisiologi Hidung
Fungsi hidung adalah 3:
1. Sebagai jalan napas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus
Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan
yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi, di bagian depan aliran udara
memeceah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu, untuk mempersiapakan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara
mengatur kelembaban dan mengatur suhu.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi berlangsung optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung
kurang lebih 370C.
3. Penyaring dan Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh:
a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b) silia
c) palut lendir
d) enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut
lysozyme.
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir akan dialirkan ke nasofaring
oleh gerakan silia.
4. Indra Penghidu
Dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi Suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidng akan menebabkan resonansi berkurang atau hilang
sehinga terdengar suara sengau (rinolalia).
6. Membantu proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir
dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatu mole turun untuk aliran udara.
7. Refleks Nasal
Mukosa hidung merpakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskular dan pernapasan. Misalnya, iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung, dan pankreas.
2.1 SINUS PARANASAL
2.1.1 Anatomi
Sinus paranasal adalah perluasan bagian respiratorik cavitas nasi yang berisi
udara ke dalam ossa cranii berikut: os frontal, os etmoid, os sfenoid, dan os maxilla.
Sinus paranasal mulai terbentuk pada fetus usia 3 sampai 4 bulan. Nama sinus-sinus
tersebut bersesuaian dengan nama tulang-tulang yang ditempatinya. Seluruh sinus
paranasal memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Drainase yang berasal dari
sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid anterior bermuara di meatus media sementara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid bermuara di meatus superior. 1,2
Gambar 2.1 Sinus Paranasal. A. Tampak anterior. B. Tampak lateral
Gambar 2.2 Meatus tempat muara sinus paranasalis.
a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita
dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid.1
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3,
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang
sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila
dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 6-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri
biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat
yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang.1
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2
cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.1
c. Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan dianggap
paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tingginya 2,4 cm dan lebarnya
0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.1
Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior
ada bagian yang sempit disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.1
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.1
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi
dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di
daerah pons.1
Kompleks Ostiomeatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini
rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM) terdiri dari infundibulum
etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan
sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.1
2.2.2 Fisiologi
Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi
apa- apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Beberapa teori
yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain1:
1) Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak
didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume
pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali
bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.
Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak
mukosa hidung.
2) Sebagai penahan suhu (thermal insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah- ubah. Akan tetapi kenyataannya
sinus- sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
3) Membantu Keseimbangan Kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
4) Membantu Resonasi Suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat bahwa posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula
tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan- hewan tingkat
rendah.
5) Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara
Fungsi ini berjalan bila tidak ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6) Membantu Produksi Mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan mukus yang dihasilkan oleh rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar
dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
POLIP NASI
2.1 Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat
timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia
lanjut.
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah adanya rhinitis alergi atau
penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan
para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui
dengan pasti.1,4
2.2 Etiologi
Polip hidung bukan penyakit yang murni berdiri sendiri.Pembentukannya sangat
terkait erat dengan berbagai masalah THT lainnya seperti rinitis alergi, asthma, radang
kronis pada mukosa hidung-sinus paranasal, kista fibrosis, intoleransi pada aspirin 7
Penyebab pasti dari polip nasi ini masih belum diketahui, tetapi ada tiga factor
penting yang pada terjadinya polip yaitu:
1. Adanya peradangan kronis dan berulang pada mukosa hidung dan sinus
2. Adanya ganggua keseimbangan vasomotor
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung.
Fenomena bernoli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah yang sempit
akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan
terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan
pembentukan polip.Fenomena ini menjelaskan penyebab polip kebanyakan berasal dari
area yang sempit di kompleks osteomeatal (KOM) di meatus medius 1,4,6
2.3Patofisiologi
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf
otonom serta predisposisi genetic.Menurut teori Barnstein, terjadi perubahan mukosa
hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama didaerah sempit
di kompleks ostiomeatal.Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitealisasi dan
pembentukan kelenjar baru.Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan
sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.1,4,7
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan
dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan adanya edema dan
lama-kelamaan menjadi polip.1,4,7
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan
kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.1,4,7
2.4 Diagnosis polip nasi
1. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat dari yang ringan
sampai yang berat, rinore dari yang jernih sampai purulen, hipoosmia atau
anosmia.Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri dihidung disertai sakit kepala
didaerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan
rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut,
suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat
menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi,
terutama pada penderita polip nasi dengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat
rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainya serta alergi
makanan.1,4,6
2. Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan
mudah digerakkan.
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund pada tahun 1997 1,4
a. Stadium 0: tidak ada polip
b. Stadium 1: polip masih terbatas dimeatus medius
c. Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak dirongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
d. Stadium 3: polip yang massif
3. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru.
Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila.
4. Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, aldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan didalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer sangat
bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah
ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
osteomeatal. CT terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah terutama bedah endoskopi.
Gambaran polip jika dilihat secara makroskopis dan mikroskopis
Makroskopi
Secara makroskopi polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat
tunggal atau multiple dan tidak sensitive (bila ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit).
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan
sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna
polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya
dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di meatus medius dan
sinus etmoid.Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal
tangkai polip dapat dilihat.
Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip
koana.Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip
antrokoana.Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.
Mikroskopi
Secara mikroskopi tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal
yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab.Sel-selnya terdiri
dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag.Mukosa mengandung sel-sel
goblet, pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit.Polip yang sudah lama dapat
mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel
transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip
tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.Polip Eosinofilik mempunyai latar belakang alergi
dan Polip Neutrofilikbiasanya disebabkan infeksi atau gabungan keduanya.
2.5 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-
keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.1
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa.Dapat diberikan topical atau sistemik.Polip tipe eosinofilik memberikan
respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal disbanding polip
tipe neutrofilik.7
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang
sangat massif dipertimbangkan untuk terapi bedah.Dapat dilakukan ekstraksi polip
(polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi local, etmoidektomi
intra nasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell_Luc
untuk sinus maksila.Yang terbaik adalah apabila tersedia fasilitas endoskopi maka dapat
dilakukan fasilitas endoskopi maka dapat dilakukan tindakan BSEF.7
2.6 Komplikasi dan Prognosis
Sebuah polip kecil jarang menimbulkan komplikasi, namun polip yang berkukuran
besar atau polip kecel yang berkuran banyak dapat menakibatkan komplikasi berkit ini:1,6
1. Sinusitis akut atau kronis
2. Obstruksi jalan napas
3. Rinolalia
4. Gangguan penghidu
5. Perubahan struktur wajah
SINUSITIS
2.2.3 Definisi
Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal, yang umumnya disertai
atau dipicu oleh peradangan pada cavum nasi (rhinitis), sehingga sering disebut sebagai
rhinosinusitis.1
2.2.4 Etiologi
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah streptococcus Pneumonia (30-50%), Hemophylus Influenzae (20-40%) dan
Moraxella Catarrhalis (4%). Pada anak, M.Catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang
ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif dan anaerob.1
2.2.5 Faktor Presdiposisi
Faktor predisposisi sinusitis antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis
terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostiomeatal,
infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia pada sindrom
Kartagener, dan fibrosis kistik. Pada anak-anak sering terkait dengan hipertrofi adenoid.1
Faktor yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok, yang menyebabkan perubahan mukosa dan
kerusakan silia. Selain itu juga faktor geografis dan sosioekonomi, terutama terhadap
kejadian sinusitis jamur. Rhinosinusitis kronis juga diduga berkaitan dengan
gastroesophageal reflux disease (GERD), laryngopharyngeal reflux (LPR), serta adanya
biofilm yang dihasilkan oleh mikroorganisme penyebab rhinosinusitis.1
Bakteri yang banyak ditemukan sebagai penyebab sinusitis antara lain
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, bakteri anaerob, Branhamella
catarrhalis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes. Pada sinusitis kronis, agen
infeksi yang cenderung terlibat adalah bakteri anaerob. Tidak jarang pula terjadi infeksi
campuran antara bakteri aerob dan anaerob.1 Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan
sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar.
Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan
gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur
yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor, Mucor,
Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.6
2.2.6 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosilier di dalam kompleks ostiomeatal (KOM). Mucus juga mengandung
substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan.1
Organ-organ yang membentuk KOM terletak berdekatan dan bila terjadi edema
maka mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak bergerak dan
ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi yang mula-mula bersifat serosa. Kondisi ini dapat
dianggap sebagai rhinosinusitis non bacterial, dan biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan.1
Bila kondisi ini menetap, maka sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media yang baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan membutuhkan terapi
antibiotic.1
Jika terapi tidak berhasil dan inflamasi berlanjut, maka akan terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai
siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik, yaitu
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin
diperlukan tindakan operasi.1
2.2.7 Gejala dan Tanda
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala
yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian analgetika biasa seperti aspirin. Wajah
terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, seperti
sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk inisiatif non-produktif seringkali ada.
Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan.7
Keluhan sinusitis kronis tidak khas, dapat berupa salah satu dari sakit kepala
kronis, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat
sumbatan kronik tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkitis)
dan yang paling penting adalah serangan asma yang sulit diobati. Pada anak, mukopus
yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.1
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas
ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan
frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid).1
Pada rhinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius (Mangunkusumo, 2007).1
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos
posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar
seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-
cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.1
2.2.8 Klasifikasi dan Diagnosis
Klasifikasi rhinosinusitis didasarkan pada durasi dan terlihat pada tabel 2.2.2
Tabel 2.2. Klasifikasi rhinosinusitis pada dewasa
Klasifikasi Durasi Anamnesis,
Pemeriksaan fisik
Catatan
Akut Kurang dari 4
minggu
Terdapat dua atau lebih
gejala dan tanda mayor;
satu gejala dan tanda
mayor ditambah dua
atau lebih gejala dan
tanda minor*; atau
sekret purulen dari nasal
Abaikan diagnosis ini jika tidak
dijumpai gejala dan tanda
gangguan pada hidung meskipun
dijumpai demam atau nyeri tekan
pada wajah. Pertimbangkan
rhinosinusitis bakteri akut jika
gejala memburuk setelah 5 hari
pada pemeriksaan. atau gejala menetap sampai 10 hari
atau gejala tidak memperlihatkan
infeksi virus.
Subakut 4-12 minggu Sama Resolusi komplit didapatkan
setelah terapi adekuat.
Akut
berulang
Dalam setahun
mengalami 4 kali
atau lebih
serangan akut
dengan durasi
setiap episodenya
setidaknya selama
7 hari.
Sama —
Kronik 12 minggu atau
lebih
Sama Abaikan diagnosis ini jika tidak
dijumpai gejala dan tanda
gangguan pada hidung meskipun
dijumpai nyeri tekan pada wajah.
* Tanda Mayor: nyeri tekan/penuh pada wajah, hidung tersumbat/post nasal drip (dari anamnesis atau pemeriksaan
fisik), hiposmia/anosmia, demam (hanya pada rhinosinusitis akut). Tanda Minor: nyeri kepala, demam, halitosis,
lemah, sakit gigi, batuk, nyeri/rasa penuh di telinga.
2.2.9 Tatalaksana
Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsipnya adalah dengan
membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami.1
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka
sumbatan ostium sinus. Antibiotic yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoksisilin, dan jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta
laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin – asam klavulanat atau jenis sefalosporin
generasi kedua. Pada sinusitis antibiotic diberikan selama 10 – 14 hari meskipun gejala
klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronis diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman
gram negative dan anaerob.1
Selain dekongestan oral dan topical terapi lain dapat diberikan jika diperlukan
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral atau topical, pencucian rongga hidung dengan
NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat
sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua. Irigasi sinus maksila atau Proetz
displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang bermanfaat. Imunoterapi
dapat dipertimbangkan pada kelainan alergi yang berat.1
2.2.10 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah banyak menurun sejak ditemukannya antibiotic.
Komplikasi biasana terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronis eksaserbasi akut,
antara lain:1
a. Kelainan orbita
Disebabkan oleh sinusitis yang lokasinya berdekatan dengan mata, yang paling
sering adalah sinusitis etmoid, dan selanjutnya oleh sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui trombflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang
dapat timbul adalah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita
dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.1
b. Kelainan intracranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan
thrombosis sinus kavernosus.1
c. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada oseteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula di
pipi.1
d. Kelainan paru
Kelainan para yang terjadi antara lain bronchitis kronis dan bronkiektasis.
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sebagai sino-
bronkhial. Selain itu sinusitis dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang
sulit dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.1
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama pasien : A
Umur : 10 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Mumbu-Dompu
Tanggal Pemeriksaan : 2 Desember 2015
3.2. Anamnesis
- Keluhan utama : hidung sisi kanan terasa tersumbat dan susah bernapas
- Riwayat penyakit sekarang
Os datang dengan keluhan hidung sisi kanan terasa tersumbat dan susah bernapas.
Hidung tersumbat ini sudah dirasakan sejak 5 bulan yang lalu dan kini dirasakan semakin
memberat dan membuat pasien susah bernapas. Ibu pasien mengatakan hidung
dikeluhkan berbau tidak enak, batuk pilek (+) hilang timbul, pasien sering mengorok saat
tidur (+), os merasa kedua pipinya sedikit tebal dan nyeri. Keluhan nyeri kepala jarang
(+/-), badan terasa lemas (-).
- Riwayat penyakit dahulu
Ibu pasien mengaku os tidak pernah mengalami keluhan serupa.
- Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga os yang mengalami keluhan seperti os.
- Riwayat alergi
Tidak ada alergi menurut pengakuan ibu pasien
- Riwayat pengobatan
Os mengaku belum pernah memeriksa dan mengobati keluhannya ini.
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 21 x/menit
Temperatur : 36,4 oC
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Area Telinga kanan Telinga kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen ( - ), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-)
Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), sekret(-)
4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), kolesteatom (-),
cone of light (+)
MT intak
Cone of light (+)
Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), kolesteatom (-),
cone of light (-)
MT intak
Cone of light (+)
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Hidung Bengkak , hiperemi
(-), nyeri tekan (-)
Bentuk (normal), hiperemi
(+), nyeri tekan (-),
deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi terdapat massa
lunakberwarna putih
kekuningan yang menutup
total vestibulum nasi,
permukaan rata, mengkilat.
Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Tidak dapat dievaluasi Edema mukosa(+),
hiperemis(+) ulkus (-)
kavum nasi sempit
Meatus nasi media Tidak dapat dievaluasi Mukosa edema, sekret (+)
warna putih,
Konka nasi inferior Tidak dapat dievaluasi Edema (+), mukosa
hiperemi (+)
Septum nasi Tidak dapat dievaluasi Deviasi (-), benda asing(-),
perdarahan (-), ulkus (-)
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Tidak ada lubang atau tanda infeksi pada gigi rahang atas.
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (+)
Tonsila palatine Kanan Kiri
T1 T1
Fossa Tonsillaris hiperemi (-), detritus (-),
kripte melebar (-)
hiperemi (-),detritus (-), kripte
melebar (-)
massa lunakberwarna putih kekuningan Kavum nasi sempit ,
hiperemis (+),
T1 T1
Pemeriksaan Penunjang
Rontgen Waters
Kesan: Sinusitis maxilaris bilateral
3.4. Assessment
Polip Nasi Dextra + Rhinosinusitis maksilaris bilateral
3.5. Planning
3.5.1. Diagnostik
Pemeriksaan darah lengkap dan rontgen toraks untuk kepentingan pre-op.
3.5.2. Terapi
1. Pro Polipektomi + irigasi sinus maxilaris
2. antibiotik diberikan untuk menghilangkan bakteri penyebab sinusitis
Amoksisilin 3 x 250 mg
3. Nasal Dekongestan di berikan dengan tujuan untuk menghilangkan pembengkakan dan
membuka sumbatan ostium sinus.
Pseudoefedrine HCl 3 x 60 mg
Hiperemia
3.5.3. Edukasi
- Edukasi mengenai prosedur dan manfaat dari Polipektomi dan irigasi sinus.
- Istirahat cukup agar proses penyembuhan penyakit dapat cepat berjalan dengan baik.
- Menghindari hal-hal yang dapat mencetuskan pilek dan batuk seperti suhu dingin
serta segera berobat jika mengalami batuk dan pilek.
3.6. Prognosis
Dubia ad bonam
/
BAB 4
PEMBAHASAN
Os datang dengan keluhan hidung sisi kanan terasa tersumbat dan susah bernapas. Hidung
tersumbat ini sudah dirasakan sejak 5 bulan yang lalu dan kini dirasakan semakin memberat dan
membuat pasien susah bernapas. Ibu pasien mengatakan hidung dikeluhkan berbau tidak enak,
batuk pilek (+) hilang timbul, pasien sering mengorok saat tidur (+), os merasa kedua pipinya
sedikit tebal dan nyeri. Keluhan nyeri kepala jarang (+/-), badan terasa lemas (-).
Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan pada pipi kiri-kanan (daerah sinus maksilaris).
Terdapat massa lunak berwarna putih kekuningan yang menutup total vestibulum nasi dextra,
permukaan rata, mengkilat. Diagnosis semakin jelas dengan melihat hasil Rontgen Waters yaitu
kesan sinusisitis maxilaris kiri-kanan.
Terapi yang diberikan pada pasien adalah terapi untuk meredakan gejala, mengatasi
infeksi, dan polipektomi serta irigasi sinus. Untuk tujuan terapi mengatasi infeksi diberikan
antibiotik amoksisilin selama 14 hari.. Nasal Dekongestan di berikan dengan tujuan untuk
menghilangkan pembengkakan dan membuka sumbatan ostium sinus. Polipektomi dilakukan
untuk menghilangkan penyebab sumbatan dan .Irigasi sinus disarankan untuk drainase cairan di
dalam sinus maksilaris.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo, Endang. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2007.
2. Moore, Keith L. Head. Dalam Clinically Oriented Anatomy, 5 th edition. Philadelphia,
Lippincott William and Wilkins, 2006.
3. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Sumbatan Hidung. Dalam : Soepardi
EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher.
Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2006.
4. Hilger, Peter A. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC, 1997
5. Saladin. 2003. Anatomy and Physiologi : The Unity and Form and Function, 3rd edition.
The McGrawHill Companies
6. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract.
Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill, 2005.
7. Mc Clay J. 2008, Nasal Polyp, Available from: http://www.emedicine.medscape.com
(Accessed: Maret 20,2011)