lapsus

39
BAB I PENDAHULUAN Luka bakar bukan luka biasa. Luka bakar mempunyai dampak langsung terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang tidak terjadi pada kebanyakan luka lain (Marzoeki, 2006). Cidera luka bakar dapat bervariasi dari luka kecil yang bisa ditangani di sebuah klinik rawat jalan, hingga cidera luas yang dapat menyebabkan multi-system organ failure (MOF) dan perawatan di rumah sakit yang memanjang (Klein, 2007). Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber luka bakar, penyebab luka bakar dan lamanya kontak dengan tubuh penderita (Noer, 2006). Luka bakar derajat dalam di RSUD Dr. Soetomo dalam evaluasi tahun 2007 hingga 2011 sekitar 26.2% (Hidayat dkk, 2012). Data tahun 2012 tercatat sebanyak 25 kasus luka bakar derajat dalam (23.8%) di rawat di burn unit RSUD Dr. Soetomo dari total 105 penderita luka bakar yang dirawat. Penanganan dan perawatan luka bakar sampai saat ini masih memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan bagi kita (Noer, 2006). Morbiditas dan disabilitas akibat luka bakar dalam hingga saat ini masih tinggi (Barret, 1996), karena luka bakar derajat dalam berpotensi merupakan kejadian yang menghancurkan akibat efek yang dihasilkan terhadap kulit dan jaringan

Upload: asmara-yoga

Post on 18-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

asd

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANLuka bakar bukan luka biasa. Luka bakar mempunyai dampak langsung terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang tidak terjadi pada kebanyakan luka lain (Marzoeki, 2006). Cidera luka bakar dapat bervariasi dari luka kecil yang bisa ditangani di sebuah klinik rawat jalan, hingga cidera luas yang dapat menyebabkan multi-system organ failure (MOF) dan perawatan di rumah sakit yang memanjang (Klein, 2007). Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber luka bakar, penyebab luka bakar dan lamanya kontak dengan tubuh penderita (Noer, 2006). Luka bakar derajat dalam di RSUD Dr. Soetomo dalam evaluasi tahun 2007 hingga 2011 sekitar 26.2% (Hidayat dkk, 2012). Data tahun 2012 tercatat sebanyak 25 kasus luka bakar derajat dalam (23.8%) di rawat di burn unit RSUD Dr. Soetomo dari total 105 penderita luka bakar yang dirawat. Penanganan dan perawatan luka bakar sampai saat ini masih memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan bagi kita (Noer, 2006). Morbiditas dan disabilitas akibat luka bakar dalam hingga saat ini masih tinggi (Barret, 1996), karena luka bakar derajat dalam berpotensi merupakan kejadian yang menghancurkan akibat efek yang dihasilkan terhadap kulit dan jaringan lainnya seperti pembuluh darah, pembuluh saraf, tendon dan tulang (Klein, 2007). Apabila masalah akut telah tertangani, perawatan selanjutnya memerlukan preparasi bed luka yang cukup lama untuk sembuh dan modalitas yang tersedia untuk mempreparasi bed luka hingga saat ini masih belum memuaskan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiLuka bakar merupakan kerusakan jaringan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi. Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Luka bakar dapat merusak jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem persarafan2.2 Anatomi dan Fungsi KulitKulit memiliki 3 lapisan yang terdiri dari epidermis, dermis, dan jaringan subkutan yang memiliki fungsinya masing-masing, dimana jika terdapat luka bakar maka fungsinya akan terganggu.2 Lapisan epidermis memiliki fungsi pelindung dari bakteri dan mencegah kekeringan. Setelah terjadinya luka bakar, maka perawatan luka dan manajemen cairan penting untuk dilakukan. Lapisan dermis merupakan lapisan elastik dan pelindung terhadap trauma mekanis, serta lapisan ini mengandung pembuluh darah yang mensuplai darah ke seluruh lapisan kulit. Ketika kulit mengalami cedera, lapisan epidermis beregenerasi dari sel pada lapisan dermis, hal ini lah yang menyebabkan mengapa trauma yang dalam menyebabkan jaringan parut yang signifikan dengan kerusakan kulit yang permanen.2.3 Etiologi Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, yaitu: a. Luka bakar suhu tinggi(Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald) ,jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas lainnya(logam panas, dan lain-lain). b. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn) Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga (Moenadjat, 2005).

c. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn) listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena api, dan ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah. kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengn sumber arus maupun grown.d. luka bakar radiasi (Radiasi Injury)luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radio aktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan dalam dunia kedokteran dan industry. Akibat terpapar sinar matahri yang terlalu lama juga dapat menyababkan luka bakar radiasi.2.4 Patofisiologi Luka BakarLuka bakar pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperature sampai 440C tanpa kerusakan bermakna. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. kerusakan pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang hamper menyeluruh. Penimbunan jaringan massif di interstitial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami deficit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan. Kondisi ini dikenal dengan syok. Terdapat 3 fase cidera pada kulit setelah mengalami energy panas, yaitu cidea fisik, cidera biokimia, dan respon penolakan jaringan nekrotik. Fase cidera fisik meliputi cidera langsung dan tidak langsung. Segera setelah permukaan kulit terpapar sumber panas, cidera langsung yang dihasilkan adalah nekrosis dari kulit yang berhubungan, dimana disebut direct physical thermal injury. Meskipun sumber panas penyebab cidera langsung telah dihilangkan, panas tidak dapat hilang dengan segera dari kulit. Panas yang tersisa berlanjut mengahsilkan efek panas yang kumulatif yang menyebabkan timbulnya cidera onas sekunder pada kulit. Cidera sekunder biasanya berlangsung sekitar 6-12 jam. Hal ini disebut sebagai indirect physical injury phase. Cidera biokimia local dimulai dalam 1 jam sejak terkena pnas dan sampai dengan kira-kira 72 jam pasca luka bakar. Hal ini berlangsung melalui fase reaksi biokimia panas dan fase reaksi radang biokimia pada urutan waktu. Pada 1-2 jam pasca cidera luka bakar, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang signifikan pada jaringan yang cidera, meskipun jaringan masih sehat, berdekatan dengan jaringan nekrosis yang disebabkan oleh cidera panas langsung. Hal ini menghasilkan eksudasi cairan intravaskuler kea rah permukaan luka dan ruang interstitial selama iskemia jaringan terjadi. Secara bersamaan, jaringan yang cidera tetapi masih sehat dan sel di daerah lesi, akan timbul edema dalam kaitannya dengan kelainan metabolic. Pada waktu bersamaan, kapiler yang permiabel melepas banyak substansi kimia dimana tidak hanya didaerah local cidera dan merusak daerah sekeliling yang tidak cidera, fase ini disebut sebagai thermal biochemical reaction phase dalam 2 jam kemudian, reaksi biokimia panas berlanjut mempengaruhi jaringan sehat di daerah cidera menyebabkan rangkaian reaksi radang. Permulaan reaksi patologik radang pada daerah cidera mungkin dihasilkan pada cidera patologik yang spectrum penuh. dimana mungkin menyebabkan nekrosis pada cidera tetapi juga jaringan sehat dan mungkin juga menghasilkan pada iskemik dan nekrosis anoxic pada jaringan yang tidak cidera disekitarnya. Proses ini mungkin berakhir dalam 72 jam pasca luka bakar dan proses ini disebut sebagaibiochemical inflammatory reaction phase. Dalam 72 jam pasca luka bakar, jaringan luka memasuki fase reaksi penolakan, dimana respon jaringan sehat yang menyebabkan kehancuran dari jaringan nekrosis dan sel pada daerah lesi yang berhubungan. Biasanya bercampur dan luas, proses reaksi ini utamanya terkandung tiga patogenesis: (1) disintegrasi histiosit nekrotik pada cidera yang berhubungan; (2) regenerasi histiosit sehat daerah lesi yang berhubungan; (3) infeksi mikroba pada cidera yang berhubungan. Disamping reaksi radang, disintegrasi histiosit nekrotik mungkin mempengaruhi pencairan sel pada cidera yang berhubungan dan sangat penting, akumulasi hasil pencairan sel berlanjut dengan bertambahnya jaringan cidera. Sementara itu, sisa jaringan sehat pada cidera yang berhubungan mulai regenerasi dengan sendirinya ketika jaringan yang rusak menjadi substansi yang destruktif yang tidak menguntungkan bagi lingkungan untuk regenerasi sel, dengan demikian dapat mempengaruhi inflamasi yang serius. Kombinasi dua patogenesis diatas mengganggu habitat flora normal di kulit dan menyebabkan destruksi mikroba di daerah cidera, dimana keduanya selanjutnya akan menyebabkan kerusakan menjadi lebih buruk dan mungkin suatu saat menghasilkan cidera sistemik. Proses ini disebut sebagai rejection injury of necrotic tissues dan ini adalah akhir dari cidera primer pada luka bakar.Secara histopatologik, cidera luka bakar mempunyai tiga karakteristik area yang terlibat. Area pertama adalah zona koagulasi, yang terletak dekat dengan sumber panas dan meliputi jaringan mati yang membentuk eskar luka bakar. Area kedua adalah zona stasis, yang terletak di dekat area nekrosis, dimana area ini viabel tapi beresiko untuk mengalami nekrosis dan kerusakan iskemik karena gangguan perfusi. Area ketiga adalah zona hiperemi, yang meliputi kulit yang relatif sehat dengan peningkatan aliran darah dan vasodilatasi sebagai respon terhadap cidera dan kerusakan seluler pada area ini minimal. Ketiga area tersebut berbentuk tiga dimensi, maka apabila terjadi kehilangan jaringan pada zona stasis maka luka akan semakin dalam dan luas. Jika tidak ada cidera sekunder, maka tiga zona tersebut akan tetap pada proses yang natural.

2.5 Kedalaman luka bakarKedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber luka bakar, penyebab luka bakar dan lamanya kontak dengan tubuh penderita (Noer, 2006). Kedalaman luka bakar terbagi menjadi 3 derajat, yaitu:a. Luka bakar derajat I (superfisial) adalah luka bakar dengan kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superfisial), kulit hiperemis berupa eritema, tidak ditemukan bullae, terasa nyeri karena ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus. b. Luka bakar derajat II (partial thickness) adalah luka bakar dengan kerusakan mengenai epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung saraf sensorik teriritasi. Luka bakar derajat II dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu derajat IIa (superficial partial thickness) dan derajat IIb (deep partial thickness). Luka bakar derajat IIa (superficial partial thickness) adalah luka bakar dengan kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis. Organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih banyak. Semua ini merupakan benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatrik. Derajat IIb (deep partial thickness) adalah luka bakar dengan kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa jaringan epitel tinggal sedikit. Organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut hipertropik. c. Luka bakar derajat III (full thickness) adalah luka bakar dengan kerusakan mengenai seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai mengenai jaringan subkutis, lemak, otot, tendon dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan, tidak ada tersisa elemen epitel. Pembuluh darah mengalami trombosis. Tidak ditemukan bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung saraf sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.

2.6 Penyembuhan Luka Bakar Penyembuhan pada luka bakar mengalami proses seperti halnya proses penyembuhan luka pada umumnya. Fase inflamasi adalah keadaan dimana terjadi reaksi hemostasis segera setelah terjadinya luka. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Platelet-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-) yang berperan untuk terjadinya neutrophil chemotaxis, makrofag, mast cell, sel endotel dan fibroblas. Selanjutnya proses penyembuhan mengalami fase proliferasi atau fibroplasi. Pada luka bakar terjadi pemanjangan fase inflamasi yang akan meningkatkan aktivitas sitokin fibrogenik seperti TGF- dan IGF-1. Hal ini menyebabkan pada fase fibroplasi penyembuhan luka dimana secara normal terjadi aktivitas fibroblast untuk mensintesa kolagen akan lebih meningkat aktivitasnya.Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks, yang melibatkan respon seluler dan biokimia baik secara lokal maupun sistemik. Ada tiga fase dalam proses penyembuhan luka, dimana ketiganya saling tumpang tindih, yaitu fase inflamasi, proliferasi dan remodeling. Pada setiap fase penyembuhan tersebut terdapat satu jenis sel khusus yang mendominasi. Fase awal yakni fase inflamasi dimulai segera setelah terjadinya suatu cidera, dengan tujuan untuk menyingkirkan jaringan mati dan mencegah infeksi. Fase proliferasi berlangsung kemudian, di mana akan terjadi keseimbangan antara pembentukan jaringan parut dan regenerasi jaringan. Fase yang paling akhir merupakan fase terpanjang dan hingga saat ini merupakan fase yang paling sedikit dipahami, yaitu fase remodeling yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural dari luka. Pembagian fase penyembuhan luka pada respon normal mamalia yang mengalami defek akibat kerusakan integritas kulit yang terjadi adalah fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi. a. Fase inflamasi (lag phase)Pada fase inflamasi terjadi proses hemostasis yang cepat dan dimulainya suatu siklus regenerasi jaringan. Fase inflamasi dimulai segera setelah cidera sampai hari ke-5 pasca cidera. Tujuan utama fase ini adalah hemostasis, hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi maupun infeksi oleh agen mikrobial patogen. Komponen jaringan yang mengalami cidera, meliputi fibrillar collagen dan tissue factor, akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan mencegah perdarahan lebih lanjut pada fase ini. Pembuluh darah yang cidera mengakibatkan termobilisasinya berbagai elemen darah ke lokasi luka. Agregasi platelet akan membentuk plak pada pembuluh darah yang cidera. Selama proses ini berlangsung, platelet akan mengalami degranulasi dan melepaskan beberapa growth factor, seperti platelet-derived growth factor (PDGF). Hasil akhir kaskade koagulasi jalur intrinsik dan ekstrinsik adalah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Berbagai mediator inflamasi yakni prostaglandin, interleukin-1 (IL-1), tumor necrotizing factor (TNF), C5a, TGF- dan produk degradasi bakteri seperti lipopolisakarida (LPS) akan menarik sel netrofil sehingga menginfiltrasi matriks fibrin dan mengisi kavitas luka. Migrasi netrofil ke luka juga dimungkinkan karena peningkatan permeabilitas kapiler akibat terlepasnya serotonin dan histamin oleh mast cell dan jaringan ikat. Netrofil pada umumnya akan ditemukan pada 2 hari pertama dan berperan penting untuk memfagositosis jaringan mati dan mencegah infeksi. Keberadaan netrofil yang berkepanjangan merupakan penyebab utama terjadinya konversi dari luka akut menjadi luka kronis yang tak kunjung sembuh. Makrofag juga akan mengikuti netrofil menuju luka setelah 48-72 jam dan menjadi sel predominan setelah hari ke-3 pasca cidera. Debris dan bakteri akan difagositosis oleh makrofag. Makrofag juga berperan utama memproduksi berbagai growth factor yang dibutuhkan dalam produksi matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan pembentukan neovaskularisasi. Keberadaan makrofag oleh karenanya sangat penting dalam fase penyembuhan ini. Limfosit dan mast cell merupakan sel terakhir yang bergerak menuju luka dan dapat ditemukan pada hari ke-5 sampai ke-7 pasca cidera. Peran keduanya masih belum jelas hingga saat ini. Fase ini disebut juga lag phase atau fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit, belum ada tensile strength, di mana pertautan luka hanya dipertahankan oleh fibrin dan fibronektin. Sel punca mesenkim akan bermigrasi ke luka, membentuk sel baru untuk regenerasi jaringan baik tulang, kartilago, jaringan fibrosa, pembuluh darah, maupun jaringan lain. Fibroblas akan bermigrasi ke luka dan mulai berproliferasi menghasilkan matriks ekstraseluler. Sel endotel pembuluh darah di daerah sekitar luka akan berproliferasi membentuk kapiler baru untuk mencapai daerah luka. Ini akan menandai dimulainya proses angiogenesis. Pade akhir fase inflamasi, mulai terbentuk jaringan granulasi yang berwarna kemerahan, lunak dan granuler. Jaringan granulasi adalah suatu jaringan kaya vaskuler, berumur pendek, kaya fibroblas, kapiler dan sel radang tetapi tidak mengandung ujung saraf.b. Fase proliferasi (fibroplasi, regenerasi)Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-4 hingga hari ke-21 pasca cidera. Keratinosit yang berada pada tepi luka sesungguhnya telah mulai bekerja beberapa jam pasca cidera, menginduksi terjadinya reepitelialisasi. Pada fase ini matriks fibrin yang didominasi oleh platelet dan makrofag secara gradual digantikan oleh jaringan granulasi yang tersusun dari kumpulan fibroblas, makrofag dan sel endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskular. Faktor setempat seperti growth factor, sitokin, hormon, nutrisi, pH dan tekanan oksigen sekitar menjadi perantara dalam proses diferensiasi sel punca Regresi jaringan desmosom antar keratinosit mengakibatkan terlepasnya keratinosit untuk bermigrasi ke daerah luka. Keratinosit juga bermigrasi secara aktif karena terbentuknya filamen aktin di dalam sitoplasma keratinosit. Keratinosit bermigrasi akibat interaksinya dengan protein sekretori seperti fibronektin, vitronektin dan kolagen tipe I melalui perantara integrin spesifik di antara matriks temporer. Matriks temporer ini akan digantikan secara bertahap oleh jaringan granulasi yang kaya akan fibroblas, makrofag dan sel endotel. Sel tersebut akan membentuk matriks ekstraseluler dan pembuluh darah baru. Jaringan granulasi umumnya mulai dibentuk pada hari ke-4 setelah cideraFibroblas merupakan sel utama selama fase ini dimana ia menyediakan kerangka untuk migrasi keratinosit. Makrofag juga akan menghasilkan growth factor seperti PDGF dan TGF- yang akan menginduksi fibroblas untuk berploriferasi, migrasi dan membentuk matriks ekstraseluler. Matriks temporer ini secara bertahap akan digantikan oleh kolagen tipe III. Sel endotel akan membentuk pembuluh darah baru dengan bantuan protein sekretori VEGF, FGF dan TSP-1. Pembentukan pembuluh darah baru dan jaringan granulasi merupakan tanda penting fase proliferasi karena ketiadaannya pembuluh darah baru dan atau jaringan granulasi merupakan tanda dari gangguan penyembuhan luka. Setelah kolagen mulai menggantikan matriks temporer, fase proliferasi mulai berhenti dan fase remodeling mulai berjalan. Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), fibroblas growth factor (FGF)-2, angiopoietin-1 dan thrombospondin akan menstimulasi sel endotel membentuk neovaskular melalui proses angiogenesis. Hal yang menarik dari fase proliferasi ini adalah bahwa pada suatu titik tertentu, seluruh proses yang telah dijabarkan di atas harus dihentikan. Fibroblas akan segera menghilang segera setelah matriks kolagen mengisi kavitas luka dan pembentukan neovaskular akan menurun melalui proses apoptosis. Kegagalan regulasi pada tahap inilah yang hingga saat ini dianggap sebagai penyebab terjadinya kelainan fibrosis seperti jaringan parut hipertrofikc. Fase maturasi (remodeling)Fase ketiga dan terakhir adalah fase remodeling. Selama fase ini jaringan baru yang terbentuk akan disusun sedemikian rupa seperti jaringan asalnya. Fase maturasi ini berlangsung mulai hari ke-21 hingga sekitar 1 tahun. Fase ini segera dimulai segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi dan proses. reepitelialisasi usai. Perubahan yang terjadi adalah penurunan kepadatan sel dan vaskularisasi, pembuangan matriks temporer yang berlebihan dan penataan serat kolagen sepanjang garis luka untuk meningkatkan kekuatan jaringan baru. Fase akhir penyembuhan luka ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Kontraksi dari luka dan remodeling kolagen terjadi pada fase ini. Kontraksi luka terjadi akibat aktivitas miofibroblas, yakni fibroblas yang mengandung komponen mikrofilamen aktin intraselular. Kolagen tipe III pada fase ini secara gradual digantikan oleh kolagen tipe I dengan bantuan matrix metalloproteinase (MMP) yang disekresi oleh fibroblas, makrofag dan sel endotel. Sekitar 80% kolagen pada kulit adalah kolagen tipe I yang memungkinkan terjadinya tensile strength pada kulit. Keseimbangan antara proses sintesis dan degradasi kolagen terjadi pada fase ini. Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase dan kemudian diserap. Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang ada. Hasil akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari dasarnya. Kolagen awalnya tersusun secara tidak beraturan, sehingga membutuhkan lysyl hydroxylase untuk mengubah lisin menjadi hidroksilisin yang dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya cross-linking antar kolagen. Cross-linking inilah yang menyebabkan terjadinya tensile strength sehingga luka tidak mudah terkoyak lagi. Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam 6 minggu pertama, kemudian akan bertambah perlahan selama 1-2 tahun. Pada umumnya tensile strength pada kulit dan fascia tidak akan pernah mencapai 100%, namun hanya sekitar 80% dari normal Metaloproteinase matriks yang disekresi oleh makrofag, fibroblas dan sel endotel akan mendegradasi kolagen tipe III. Kekuatan jaringan parut bekas luka akan semakin meningkat akibat berubahnya tipe kolagen dan terjadinya crosslinking jaringan kolagen. Pada akhir fase remodeling, jaringan baru hanya akan mencapai 70% kekuatan jaringan awal

2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka a. Usia Sirkulasi darah dan pengiriman oksigen pada luka, pembekuan, respon inflamasi,dan fagositosis mudah rusak pada orang terlalu muda dan orang tua, sehingga risiko infeksi lebih besar. Kecepatan pertuumbuhan sel dan epitelisasi pada luka terbuka lebih lambat pada usia lanjut sehingga penyembuhan luka juga terjadi lebih lambat. b. Nutrisi Diet yang seimbang antara jumlah protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin yang adekuat diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap patogen dan menurunkan risiko infeksi. Pembedahan, infeksi luka yang parah, luka bakar dan trauma, dan kondisi defisit nutrisi meningkatkan kebutuhan akan nutrisi. Kurang nutrisi dapat meningkatkan resiko infeksi dan mengganggu proses penyembuhan luka. Sedangkan obesitas dapat menyebabkan penurunan suplay pembuluh darah, yang merusak pengiriman nutrisi dan elemen-elemen yang lainnya yang diperlukan pada proses penyembuhan. Selain itu pada obesitas penyatuan jaringan lemak lebih sulit, komplikasi seperti dehisens dan episerasi yang diikuti infeksi bisa terjadi.c. OksigenasiPenurunan oksigen arteri pada mengganggu sintesa kolagen dan pembentukan epitel, memperlambat penyembuhan luka. Mengurangi kadar hemoglobin (anemia), menurunkan pengiriman oksigen ke jaringan dan mempengaruhi perbaikan jaringand. Infeksi

Bakteri merupakan sumber paling umum yang menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi menghematkan penyembuhan dengan memperpanjang fase inflamasi, dan memproduksi zat kimia serta enzim yang dapat merusak jaringan. Resiko infeksi lebih besar jika luka mengandung jaringan nekrotik, terdapat benda asing dan suplai darah serta pertahanan jaringan berkurang.e. Merokok Merokok dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin dan kerusakan oksigenasi jaringan. Sehingga merokok menjadi penyulit dalam proses penyembuhan luka.f. Diabetes Melitus Menyempitnya pembuluh darah (perubahan mikrovaskuler) dapat merusak perkusi jaringan dan pengiriman oksiken ke jaringan. Peningkatan kadar glukosa darah dapat merusak fungsi luekosit dan fagosit. Lingkungan yang tinggi akan kandungan glukosa adalah media yang bagus untuk perkembangan bakteri dan jamur.g. SirkulasiAliran darah yang tidak adekuat dapat mempengaruhi penyembuhan luka hal ini biasa disebabkan karena arteriosklerosis atau abnormalitas pada vena.h. Faktor Mekanik Pergerakan dini pada daerah yang luka dapat menghambat penyembuhan. i. Steroid Steroid dapat menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera dan menghambat sintesa kolagen. Obat obat antiinflamasi dapat menekan sintesa protein, kontraksi luka, epitelisasi dan inflamasi.j. Antibiotik Penggunaan antibiotik jangka panjang dengan disertai perkembangan bakteri yang resisten, dapat menigkatkan resiko infeksi

RESUSITASI CAIRANSebagai bagian dari perawatan awal pasien yang terkena luka bakar, Pemberian cairan intravena yang adekuat harus dilakukan, akses intravena yang adekuat harus ada, terutama pada bagian ekstremitas yang tidak terkena luka bakar. Adanya luka bakar diberikan cairan resusitasi karena adanya akumulasi cairan edema tidak hanya pada jaringan yang terbakar, tetapi juga seluruh tubuh. Telah diselidiki bahwa penyebab permeabilitas cairan ini adalah karena keluarnya sitokin dan beberapa mediator, yang menyebabkan disfungsi dari sel, kebocoran kapiler. Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan mengembalikan perfusi jaringan tanpa menimbulkan edema. Kehilangan cairan terbesar adalah pada 4 jam pertama terjadinya luka dan akumulasi maksimum edema adalah pada 24 jam pertama setelah luka bakar. Prinsip dari pemberian cairan pertama kali adalah pemberian garam ekstraseluler dan air yang hilang pada jaringan yang terbakar, dan sel-sel tubuh. Pemberian cairan paling popular adalah dengan Ringer laktat untuk 48 jam setelah terkena luka bakar. Output urin yang adekuat adalah 0.5 sampai 1.5mL/kgBB/jam.

Formula yang terkenal untuk resusitasi cairan adalah formula Parkland :24 jam pertama.Cairan Ringer laktat : 4ml/kgBB/%luka bakaro contohnya pria dengan berat 80 kg dengan luas luka bakar 25 %o membutuhkan cairan : (25) X (80 kg) X (4 ml) = 8000 ml dalam 24 jam pertama jumlah cairan 4000 ml diberikan dalam 8 jam jumlah cairan sisanya 4000 ml diberikan dalam 16 jam berikutnya.

Cara lain adalah cara Evans :l. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl / 24 jam2. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg =jumah plasma / 24 jam(no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar) 3. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang akibat penguapan)Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan rumusBaxter yaitu :% x BB x 4 ccSeparuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit yaitu larutan RL karena terjadi defisit ion Na. Hari kedua diberikan setengah cairan hari pertama. Contoh : seorang dewasa dengan BB 50 kg dan luka bakar seluas 20 % permukaan kulit akan diberikan 50 x 20 % x 4 cc = 4000 cc yang diberikan hari pertama dan 2000 cc pada hari kedua.

Kebutuhan kalori pasien dewasa dengan menggunakan formula Curreri, adalah25 kcal/kgBB/hari ditambah denga 40 kcal/% luka bakar/hari. Petunjuk perubahan cairan Pemantauan urin output tiap jam Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral Kecukupan sirkulasi perifer Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH dan kadar glukosa

PENGGANTIAN DARAHLuka bakar pada kulit menyebabkan terjadinya kehilangan sejumlah sel darah merah sesuai dengan ukuran dan kedalaman luka bakar. Sebagai tambahan terhadap suatu kehancuran yang segera pada sel darah merah yang bersirkulasi melalui kapiler yang terluka, terdapat kehancuran sebagian sel yang mengurangi waktu paruh dari sel darah merah yang tersisa. Karena plasma predominan hilang pada 48 jam pertama setelah terjadinya luka bakar, tetapi relative polisitemia terjadi pertama kali. Oleh sebab itu, pemberian sel darah merah dalam 48 jam pertama tidak dianjurkan, kecuali terdapat kehilangan darah yang banyak dari tempat luka. Setelah proses eksisi luka bakar dimulai, pemberian darah biasanya diperlukan.

PERAWATAN LUKA BAKARSetelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi cairan dilakukan perawatan luka. Perawatan tergantung pada karakteristik dan ukuran dari luka. Tujuan dari semua perawatan luka bakar agar luka segera sembuh rasa sakit yang minimal.Setelah luka dibersihkan dan di debridement, luka ditutup. Penutupan luka ini memiliki beberapa fungsi: pertama dengan penutupan luka akan melindungi luka dari kerusakan epitel dan meminimalkan timbulnya koloni bakteri atau jamur. Kedua, luka harus benar-benar tertutup untuk mencegah evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga, penutupan luka diusahakan semaksimal mungkin agar pasien merasa nyaman dan meminimalkan timbulnya rasa sakit Pilihan penutupan luka sesuai dengan derajat luka bakar. Luka bakar derajat I, merupakan luka ringan dengan sedikit hilangnya barier pertahanan kulit. Luka seperti ini tidak perlu di balut, cukup dengan pemberian salep antibiotik untuk mengurangi rasa sakit dan melembabkan kulit. Bila perlu dapat diberi NSAID (Ibuprofen, Acetaminophen) untuk mengatasi rasa sakit dan pembengkakan. Luka bakar derajat II (superfisial ), perlu perawatan luka setiap harinya, pertamatama luka diolesi dengan salep antibiotik, kemudian dibalut dengan perban katun dan dibalut lagi dengan perban elastik. Pilihan lain luka dapat ditutup dengan penutup luka sementara yang terbuat dari bahan alami (Xenograft (pig skin) atau Allograft (homograft, cadaver skin) ) atau bahan sintetis (opsite, biobrane, transcyte, integra) Luka derajat II ( dalam ) dan luka derajat III, perlu dilakukan eksisi awal dan cangkok kulit (early exicision and grafting ).

2.8 Penanganan Awal Penggunaan air dingin yang mengalir pada luka bakar selama 20 menit merupakan standar pada penanganan awal luka bakar. Hal ini harus dilakukan secepatnya setelah terjadi luka bakar, dan berguna apabila digunakan dalam waktu 1 jam. Akan tetapi bukti penelitian belum dapat disimpulkan mengenai berapa lama waktu yang diperlukan serta berapa lama penundaan yang mungkin tidak berguna lagi dalam penanganan luka bakar.3 Penggunaan air dingin dalam penanganan awal luka bakar diasosiakan dengan waktu penyembuhan yang lebih cepat dan pembentukan parut yang lebih sedikit yang ditunjukan oleh penelitian eksperimental dengan menggunakan hewan percobaan. Selain dapat meningkatkan outcome, penggunaan air dingin juga dapat menimbulkan efek analgesik. Akan tetapi penggunaan es batu tidak dianjurkan dalam penanganan awal. Penting untuk dilakukan pencegahan hipotermia pada saat penanganan awal luka bakar, terutama pada anak-anak.

2.9 Perawatan Luka BakarFase akut dari perawatan luka dimulai saat terjadinya luka bakar sampai luka bakar tertutup. Kebanyakan dari luka bakar menimbulkan rasa nyeri. Luka bakar yang sangat nyeri biasanya luka bakar parsial-superfisial karena serabut saraf masih ada dan selalu terekspos karena rusaknya epidermis. Nyeri pada luka bakar terasa saat awal kejadian, saat debridement, serta saat pergantian dressing. Nyeri akan sedikit berkurang saat dressing sudah dipasang, karena melindungi serabut saraf. Nyeri dapat bertambah apabila disertai dengan aktivitas fisik, seperti pada terapi fisik. Kebanyakan pasien memerlukan analgesik saat perawatan luka, latihan fisik, maupun saat tidur. Bila memungkinkan, pasien diberikan premedikasi untuk nyeri sebelum memanipulasi luka bakar.1 Status vaksinasi tetanus pasien harus ditanyakan dan dapat diberikan ulang. Luka bakar yang superfisial bukan merupakan luka terbuka sehingga tidak memerlukan dressing. Luka bakar ini hanya memerlukan terapi simtomatis seperti pelembab, kompres dingin, serta analgesik. Luka bakar superfisial luas mungkin memerlukan rawat inap untuk kontrol nyeri. Perawatan luka bakar harus dimulai dengan pembersihan luka dengan tujuan untuk membersihkan kotoran dan debris dari luka bakar. Pertanyaan timbul apakah bula yang terdapat pada luka harus di debridement atau tidak. Literatur yang membahas mengenai hal itu bervariasi. Beberapa rekomendasi bervariasi antara membiarkan bula yang terjadi sampai kulit sembuh, aspirasi bula dengan meninggalkan kulit mati bekas aspirasi, atau melakukan debridemen secepatnya. Perawatan debridemen didukung oleh studi yang menyatakan bahwa cairan bula dapat menurunkan sistem imun dengan mengganggu kerja netrofil dan limfosit dan dapat meningkatkan inflamasi. Selain itu cairan tersebut juga medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Studi yang mendukung untuk membiarkan bula intak menyatakan bahwa bula yang intak biasanya menandakan luka bakar yang akan sembuh spontan salam beberapa minggu. Bula yang intak tersebut akan membentuk dressingnya tersendiri sehingga akan menjaga luka tetapi bersih dan terlindungi. Luka akan terlindungi dari udara, kontaminasi, serta manipulasi dan memerlukan sedikit pergantian dressing sehingga menimbulkan sedikit nyeri dan menghemat biaya dressing. Beberapa praktisi memilih untuk melakukan debridemen bula yang sudah pecah, kendur, menimbulkan nyeri, serta yang terletak di persendian karena mengganggu gerak.1 Terdapat pernyataan yang menyatakan bahwa rambut disekitar luka harus dipotong. Hal ini akan mengurangi infeksi karena luka akan lebih mudah untuk dibersihkan. Selain itu akan lebih mudah untuk mengevaluasi kedalaman dan luas luka bakar terutama pada bagian kepala. Peneliti lain berpendapat bahwa rambut disekitar luka lebih baik dibiarkan karena memotong rambut dapat menimbulkan trauma tambahan. Pada saat awal terjadinya luka bakar sampai 24 jam setelah trauma, luka bakar merupakan luka yang steril. Antibiotik sistemik tidak diperlukan untuk pencegahan infeksi, serta luka bakar tidak dikultur secara rutin. Bagian tubuh yang terkena luka bakar harus dielevasikan diatas jantung untuk mengurangi edema dan nyeri.

2.10 Dressing Luka BakarDressing pada luka bakar harus menjaga agar luka tersebut tetap bersih dan lembab, tidak mengganggu fungsi persendian, melindungi luka dari trauma tambahan, dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Terdapat beberapa variasi dalam teknik dressing pada luka bakar terutama pada pasien rawat jalan. Dressing luka tersebut bervariasi dalam tingkat kerumitan serta biaya yang dikeluarkan. Dalam konteks primary care, dressing luka yang sederhana dan tidak mahal lebih baik bagi pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.1 Luka bakar superfisial tidak memerlukan antibiotik topikal. Pelembab dapat diberikan pada kulit yang kering untuk melembabkan. Luka bakar parsial-superfisial tanpa disertai oleh eksudat dapat diterapi dengan menggunakan antibiotik topikal seperti bacitracin. Kadang-kadang penggunaan antibiotika topikal dapat menyebabkan dermatitis kontak, sehingga penggunaannya perlu hati-hati. Setelah itu luka dilapisi oleh pelapis yang tidak lengket dan diganti 1 sampai 2 kali perhari.1 Luka bakar dalam dapat diterapi dengan menggunakan silver sulfadiazine 1%. Silver sulfadiazine memiliki spektrum yang luas terhadap bakteri dan memiliki daya penetrasi jaringan yang lebih baik dibandingkan dengan bacitracin. Silver sulfadiazine dapat mengganggu proses epitelisasi luka dan penggunaannya harus dihentikan ketika eksudat sudah tidak ada. Silver sulfadiazine merupakan obat golongan sulfa dan tidak boleh digunakan pada pasien dengan alergi sulfonamide. Penggunaannya juga dibatasi pada wanita hamil dan anak dibawah umur 2 bulan.1 Dressing terbuka pada bagian wajah, kepala, serta leher efektif untuk dilakukan karena kemungkinan kontaminasi sangat kecil. Pada bagian ini dapat diberikan lapisan tipis bacitracin. Karena sebagian besar pasien tidak ingin wajahnya dilapisi oleh dressing, maka dressing terbuka dengan pemberian bacitracin atau silver sulfadiazine dapat diberikan.

BAB IILAPORAN KASUS

I. Identitas pasien1. Nama: I Ketut Dekil2. Umur: 653. Jenis kelamin: Laki-laki4. Alamat: Semaon, Payangan, Gianyar5. Suku bangsa: Bali, Indonesia6. Agama: Hindu7. Status: Menikah8. No RM: 5076399. Tanggal MRS: 22 November 2014II. AnamnesisKeluhan Utama: Nyeri pada badanPasien mengeluhkan nyeri pada badan setelah tersengat listrik tegangan tinggi 1 jam SMRS dirumahnya. Pasien awalnya ingin tes tegangan di rumahnya dengan menggunakan alat, namun alat diperkirakan rusak dan akhirnya pasien kesetrum listrik. Pasien memegang alat dengan menggunakan tangan kanan dan melakukan tes dengan melakukan alat dan pasien kesetrum hingga pasien terjatuh. Saat itu pasien tersadar hingga dibawa kerumah sakit. Pasien merasakan sangat kesakitan sapanjang waktu. Riwayat pingsan disangkal. Riwayat penyakit sekarang: pasien langsung dibawa ke RSUD Sanjiwani untuk mendapatkan penanganan.Riwayat penyakit terdahulu: sebelumnya pasien menderita hipertensi dan kencing manis yang sama sama di ketahui sejak 4 bulan yang lalu. Saat itu pasien kontrol ke puskesmas dan didiagnosa diabetes militus dan hipertensi. Riwayat alergi makanan atau obat obatan disangkal pasienRiwayat penyakit keluarga: di kelrga tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes dan penyakit jantung disangkal.Riwayat social: pasien bekerja sebagai petani memiliki seorang istri. Pasien sehari hari bekerja berat. Makan dan minum teratur, riwayat merokok disangkal dan riwayat minum alcohol disangkal.III. Pemeriksaan fisik1. Primary survey:A. ClearB. Spontan (Respirasi Rate: 18x/menit)C. Stabil (TD: 140/100, Nadi: 76x/menit)D. Alert2. Secondary survey:GCS : E4V5M6Berat badan : 55 kgStatus General :Kepala: normocephaliMata : konjungtiva pucat (-/-) Rp +/+ bulat isokor 3mm Thoraks : pergerakan dada simetrisCor: S1 S2 tunggal reguler, murmur (-)Pulmo : ves +/+, Rh -/-, Wh -/-Abdomen : sesuai status lokalisEkstremitas : hangat dikeempat ekstremitas, sesuai status lokalisStatus Lokasli region dermal:I: Combutio (+) regio thorax dextra, abdomen dextra, antebrachii dextra, kruris dextra, genetalia, Bula (+), hiperemis (+), P: Neri tekan (+)Status lokalis regio parietal SinistraI: luka terawatt dengan jahitan dengan panjang 3cm.P: Nyeri takan (+) Kepala dan leher: 0 % Chest : 9% Ext. atas kanan: 2,5 % Ext. atas kiri: 0 % Ext. bawah kanan: 9 % Ext. bawah kiri: 0 % Perineum : 0,5 % + Total: 21 %

IV. Assesment:Combutio grade II, 21% + Hipertensi stage 1 + DM tipe 2V. Planing:EKG, DL, GDA, Bun/Sc, Elektrolit, UL, SGOT-SGPTVI. Hasil pemeriksaan 1. EKG: dalam batas normal2. DL: WBC: 9,7 RBC: 4,83 HGB: 15,1 MCV: 85,8 MCH 31,3 PLT: 2563. GDA: 7184. SGOT 1244, SGPT 1055, Bun 52, SC 1,1 5. Natrium 132, Kalium 3,8, Clorida 986. UL: warna kuning, PH 7,0, Protein (+)1, Glukosa (+)4, Keton (+)3, Darah (+)4, Leukosit (+)2, sedimen : Eritrosit penuh, leukosit 5-10, epitel 4-8.VII. DiagnosisCombutio e.c electric injury grade IIa, 21% + Hipertensi stage 1 + DM tipe 2VIII. Planing:1. IVFD RL 40 tpm2. Rawat luka debridemen3. Cefoporazone 2x14. Ketorolax 3x15. Humalog 12-12-126. Lavemir 0-0-127. Neurobion 1x18. Hepatofolek 3x1

BAB IIIPEMBAHASANPasien laki-laki berusia 65 tahun datang dengan keluhan Pasien mengeluhkan nyeri pada badan setelah tersengat listrik tegangan tinggi 1 jam SMRS dirumahnya. Saat itu pasien tersadar hingga dibawa kerumah sakit. Pasien merasakan sangat kesakitan sapanjang waktu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan didaerah kepala dan leher 0 %, chest 9%, ekstrimitas atas kanan 2,5% Ext. Ext. bawah kanan 9 %, Perineum 0,5%. Dari etiologi yang didapat luka bakar pada kasus ini oleh karena sengatan listrik (Electrical Burn) dimana listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena api, dan ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah. kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengn sumber arus maupun grown. Kedalaman luka bakar pada kasus ini yaitu grade II dikarenakan kerusakan mengenai epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung saraf sensorik teriritasi. Kemudian dari pembagian grade II dibagi menjadi IIa dan IIb, pada kasus ini termasuk grade IIa karena kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis. Penanganan yang diberikan pada pasien yang pertama yaitu melakukan resusitasi cairan dengan menggunakan rumus baxter ( 4mlxBBx%LB) dengan hasil 4620 ml / 24 jam. Dan dilakukan pemberian 8 jam pertama 2310 mL dan di berikan 16 jam berikutnya 2310 mL. Pada hari ke 2 diberikan dari cairan hari pertama yaitu 2310 mL/24 jam. Pada hari ke 3 di berikan dari cairan hari ke 2 yaitu 1155 mL/24 jam. Jumlah cairan dapat dikurangi bahkan dihentikan bila diuresis pasien memuaskan dan pasien dapat minum tanpa kesulitan. Pada pasien ini masih dapat minum tanpa kesulitan. Pemantauan jumlah diresis pada pasien ini yaitu 0,5-1 mL/kgBB/jam. Luka bakar dibersihkan dengan air hangat yang mengalir. Untuk menutup luka: kasa lembab steril dengan cairan RL atau salep. Balutan dinilai dalam waktu 24-48 jam. Kemudian pada bula dilakukan insisi yang luas untuk mengeluarkan transudat tanpa membuang epidermis yang terlepas. Selain itu juga di berikan obat simptomatik berupa obat penghilang rasa sakit dan antibiotik. Pada pasien electric injury dilakukan pemeriksaan EKG untuk mengetahui apakah terdapat ganguang dari jantung atau tidak dan pada pasien ini tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan EKG. Selain itu pasien juga dilakukan pemeriksaan faal ginjal dan hati untuk mengetahui adanya kerusakan dari hati dan ginjal. Pada pasien ini ditemukan kerusakan hati dengan pemeriksaan SGOT (1244), SGPT (1055) dan ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT. Kemudian pada pasien ini diberikan hepatoprotector. Pada paemeriksaan faal ginjal tidak didapatkan kelainan yaitu Bun (52), SC (1,1).

Prognosis di tentukan dari perawatan luka setiap hari dan pengawasan rehidrasi serta dieresis pasien. Selain itu juga dilakukan mobilisasi agar tidak terjadi kontraktur. Pada pasien ini perawatan luka dan rehidrasi cairan baik.

BAB IVPENUTUP

Simpulan:Pada kasus ini didapatkan pasien dengan electric injuri grade IIa dengan luas luka bakar 21%. Di lakukan primary survey melihat ABCD dan secondary survey. Dilakukan penanganan awal dengan resusitasi cairan menurut baxter dan pemantauan dieresis. Selain itu diberikan obat simptomatik. Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa EKG dalam batas normal, Faal hati yang ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT, dan pada faal ginjal dalam batas normal. Prognosis pada pasien ini baik karena sudah dilakukan perawatan luka untuk mengurangi risiko infeksi dan resusitasi cairan.