laporan tutorial sken 3 kardio
DESCRIPTION
Tutorial Blok KardiologiTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
BLOK KARDIOVASKULAR
SKENARIO 3
“SESAK NAPAS YANG MAKIN PARAH”
KELOMPOK III
ALYSSA AMALIA G 0013021
AUDHY KHANIGARA S G 0013047
BERNADETA RATNA SHANTI G 0013059
BIAS HERKAWENTAR G 0013061
FADHILA BALQIS N G 0013087
IMASARI ARYANI G 0013117
LISANA SHIDQI G 0013137
MARCELINA E A U SAGRIM G 0013149
MAULIDA NARULITA G 0013151
PRISMA CAHYANING R G 0013189
TITA NUR ALFINDA G 0013225
ULFA PUSPITA RACHMA G 0013227
TUTOR :
RATIH DEWI YUDHANI, dr., MSc
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 3
SESAK NAPAS YANG MAKIN PARAH
Seorang laki-laki berusia 54 tahun datang ke RS dengan keluhan sesak
napas kumat-kumatan sejak 1 bulan yang lalu, memberat sejak 1 minggu terakhir.
Sesak napas dirasakan timbul saat aktivitas ringan dan saat berbaring, disertai
batuk berdahak warna merah muda/pink, berdebar-debar, sering terbangun saat
tidur, kencing berkurang, kedua kaki tidak membengkak. Satu tahun yang lalu,
pernah dirawat di rumah sakit karena menderita sakit serupa. Kemudian setelah
diberi obat-obatan dan istirahat di rumah sakit, keadaannya membaik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data : tekanan darah 180/100 mmHg,
heart rate 120x/mnt, teratur, frekuensi napas 32x/mnt, suhu badan 36.5°C, JVP
meningkat. Inspeksi menunjukkan dinding dada simetris, ictus cordis bergeser ke
lateral bawah. Palpasi: ictus cordis di SIC VI, 2 cm lateral linea medioclavicularis
sinistra. Perkusi: batas jantung kiri di SIC VI, 2 cm lateral linea medioclavicularis
sinistra, batas jantung kanan di SIC V parasternalis dextra. Auskultasi: bunyi
jantung I intensitas meningkat, bunyi jantung II normal, terdapat irama gallop S3
dan S4. Pemeriksaan paru didapat vesikuler normal, ronki basah basal halus.
Pemeriksaan abdomen : didapatkan hepatomegali dan ascites.
Pemeriksaan laboratorium kadar Hb 14 gr/dl, serum ureum 65, serum
kreatinin 1.4. Pemeriksaan ECG didapatkan irama sinus takikardi, Left Atrial
Hypertrophy dan Left Ventricle Hypertrophy. Foto thorax tampak kardiomegali
dengan CTR 0.70, apex bergeser ke lateral bawah, pinggang jantung menonjol,
vaskularisasi paru meningkat. Pada pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan
asidosis metabolik terkompensasi.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam skenario. Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai
berikut :
a. Asidosis metabolik terkompensasi : Kondisi ini menggambarkan adanya
penurunan pH darah akibat oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan
pembentukan asam di dalam darah karena proses metabolisme anaerob
(tanpa oksigen) menimbulkan asam laktat, namun terkompensasi oleh
peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2
dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh
ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya
respiration rate sebesar 32 kali/menit.
b. Ronki basah basal halus : suara tambahan paru berupa suara bising
terputus, frekuensi tinggi, amplitudo rendah, seperti suara ledakan. Bising
yang terdengar saat inspirasi dan pada saluran kecil.
c. Analisa gas darah : merupakan pemeriksaan untuk mengetahui atau
mengevaluasi pertukaran Oksigen, Karbondioksida dari status asam basa
dalam arteri.
d. Gallop : adalah irama dimana terdengar bunyi S3 atau S4 secara jelas pada
fase Diastolik, yang disebabkan karena darah mengalir ke ventrikel yang
lebih lebar dari normal, sehingga terjadi pengisian cepat ke ventrikel.
Normal tidak terdapat gallop ritme, abnormal gallop ventrikuler (gallop
S3), gallop atrium/ gallop presistolik (gallop S4), dan gallop S3 S4 (horse
gallop).
2. Langkah II: Menentukan / mendefinisikan masalah
Permasalahan dalam skenario ini yaitu sebagai berikut.
a. Mengapa sesak napas timbul saat aktivitas ringan dan berbaring ?
b. Apa penyebab sesak napas sejak 1 bulan yang lalu ?
c. Mengapa kaki pasien tidak bengkak dan kencing berkurang ?
d. Apa saja jenis – jenis Dypsnea ?
e. Mengapa keluhan memberat 1 minggu terakhir ?
f. Bagaimana patofisiologi penyakit dalam scenario ?
g. Bagaimana mekanisme pasien berdebar-debar ?
h. Mengapa keluhan disertai bangun saat tidur ?
i. Obat apa yang diberikan pada riwayat penyakit dahulu ?
j. Bagaimana alur diagnosis kasus ?
k. Bagaimana mekanisme sesak napas dan kumat-kumatan sebulan yang
lalu?
l. Apa saja kategori hipertensi ?
m. Apa indikasi, kontraindikasi analisis gas darah ?
n. Apa hubungan hipertensi dengan keluhan ?
o. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik ?
p. Bagaimana interpretasi pemeriksaan penunjang ?
q. Bagaimana hubungan RAA, perfusi ginjal, dan kencing menurun ?
3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara
mengenai permasalahan tersebut (dalam langkah II)
a. Sesak napas timbul saat aktivitas ringan dan berbaring
Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan
cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru
menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan
dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus
mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu
menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus
yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah
basal halus saat auskultasi.
b. Penyebab sesak napas sejak 1 bulan lalu
Terjadi edema paru yang merupakan komplikasi dari gagal jantung.
Kelenturan paru untuk mengembang dan memasok oksigen berkurang
sehingga sesak napas terjadi.
c. Kaki pasien tidak bengkak dan kencing berkurang
Penyebab kaki pasien tidak bengkak dan kencing berkurang yaitu Pada
penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari
orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti
ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut
agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan
tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi
keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel
kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi
lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi
tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi
tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi.
Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh
penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan
tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme
kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan
sistem RAA (renin – angiotensin - aldosteron).Pengaktifan sistem saraf
simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati
normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan
neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan permeabilitas Ca2+
membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat
partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis
juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah
penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah
jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya.
Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang
ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi.
Peningkatan reabsorbsi inilah yang menyebabkan kencing penderita
berkurang dan peningkatan kadar serum ureum (65 mg/dl) di mana harga
rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun terjadi penurunan filtrasi
glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama
dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin
serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal (normal
0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi
ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus
untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen
menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting
enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1)
dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel
korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi
aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses
tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang menyebabkan
peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik,
peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses
tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya
peningkatan volume intravaskuler.
d. Jenis-jenis dyspnea
Dyspnea mengacu pada sensasi sulit atau sulit untuk bernapas. Hal
tersebut adalah pengalaman subjektif yang dirasakan dan dilaporkan oleh
pasien yang terkena. Dyspnea saat beraktivitas (Dyspnea on
exertion/DOE) adalah normal, tetapi akan menjadi indikasi suatu penyakit
apabila hal tersebut terjadi pada level aktivitas yang seharusnya masih
dapat ditoleransi. Dyspnea harus dibedakan dari tachypnea, hiperventilasi,
and hyperpnea yang mengacu pada variasi respirasi tanpa memperhatikan
sensasi subjektif pasien. Tachypnea adalah peningkatan tingkat
pernapasan di atas normal; hiperventilasi adalah peningkatan ventilasi
menit relatif terhadap kebutuhan metabolisme, dan hyperpnea adalah
peningkatan yang tidak proporsional dalam ventilasi menit relatif terhadap
peningkatan tingkat metabolisme. Kondisi ini mungkin tidak selalu
berhubungan dengan dyspnea.
Dispnea saat aktivitas (DOE) disebabkan oleh kegagalan output ventrikel
kiri untuk meningkat selama latihan dengan peningkatan resultan tekanan
vena paru. Pada asma jantung, bronkospasme berhubungan dengan
kongesti paru dan mungkin dipicu oleh aksi cairan edema pada dinding
bronkus pada reseptor lokal. Trepopnea dapat terjadi dengan penyakit
paru-paru asimetris ketika pasien berbaring dengan paru-paru yang
bermasalah barada lebih turun karena redistribusi gravitasi aliran darah. Ini
juga telah dilaporkan dengan penyakit jantung ketika itu mungkin
disebabkan oleh distorsi dari pembuluh darah besar di satu posisi
dekubitus lateral dibandingkan yang lain. Platypnea awalnya dijelaskan
dalam penyakit paru obstruktif kronik dan dikaitkan dengan peningkatan
rasio ventilasi terbuang dalam posisi tegak. Platypnea berkaitan dengan
orthodeoxia (deoksigenasi arteri dalam posisi tegak) telah dilaporkan
dalam beberapa bentuk penyakit jantung bawaan sianotik. Telah diusulkan
bahwa ini dipicu oleh sedikit penurunan tekanan darah sistemik dalam
posisi tegak, mengakibatkan peningkatan pirau kanan-ke-kiri.
Orthopnea adalah sensasi sulit dalam bernapas pada posisi berbaring yang
hilang dengan posisi duduk atau berdiri. Ortopnea disebabkan oleh
kongesti paru saat posisi berbaring. Dalam posisi horizontal ada
redistribusi volume darah dari ekstremitas bawah dan splanchnic bed ke
paru-paru. Pada individu normal ini memiliki pengaruh yang kecil, tapi
pada pasien yang volume tambahan yang tidak dapat dipompa keluar oleh
ventrikel kiri karena penyakit, ada penurunan yang signifikan dalam
kapasitas vital paru dan pemenuhan paru yang diiringi sesak napas. Selain
itu, pada pasien dengan gagal jantung kongestif sirkulasi paru mungkin
sudah kelebihan beban, dan mungkin ada reabsorpsi cairan edema dari
bagian sebelumnya tergantung dari tubuh. Kongesti paru menurun ketika
pasien mengasumsikan posisi yang lebih tegak, dan ini disertai dengan
peningkatan gejala.
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah sensasi pendek dalam
bernapas yang membangunkan pasien, biasanya setelah satu atau dua jam
tidur, dan biasanya mereda setelah berada pada posisi tegak. Paroksismal
nocturnal dyspnea dapat disebabkan oleh mekanisme yang sama pada
ortopnea. Kegagalan ventrikel kiri secara tiba-tiba tidak dapat
menanggulangi output dari ventrikel kanan yang berfungsi normal; hal ini
menyebabkan kongesti paru. Mekanisme tambahan mungkin bertanggung
jawab pada pasien yang mengalami paroxysmal nocturnal dyspnea hanya
saat tidur. Teori termasuk penurunan respon dari pusat pernapasan di otak
dan penurunan aktivitas adrenergik di miokardium selama tidur.
Terdapat dua tipe sesak napas yang jarang terjadi, yaitu trepopnea dan
platypnea. Trepopnea adalah dyspnea yang terjadi pada posisi lateral
decubitus. Platypnea mengacupada sesak napas yang terjadi pada posisi
tegak dan akan mereda dalam posisi berbaring (Mukerji, 1990).
p. Interpretasi pemeriksaan penunjang
1. Interpretasi pemeriksaan laboratorium
Hb
Nilai normal:
1) Laki-laki dewasa: 14,0 – 17,5 g/ dL
2) Perempuan dewasa: 12,3 – 15,3 g/ dL
Pasien dalam skenario adalah laki-laki yang berusia 54 tahun
dengan Hb 14 gr/ dL maka termasuk dalam range normal.
Serum ureum
Nilai normal: 10 – 50 mg/ dL
Pasien dalam skenario memiliki kadar serum ureum 65 mg/ dL
maka termasuk serum ureum tinggi (azotemia).
Azotemia (urea plasma tinggi) antara lain bisa disebabkan karena:
1) Peningkatan katabolisme protein jaringan dan keseimbangan
nitrogen negative. Contoh: demam penyakit yang menyebabkan
atrofi, tirotoksikosis, koma diabetik, atau setelah trauma atau
setelah operasi besar.
2) Pemecahan protein darah yang berlebihan. Contoh: leukemia
(pelepasan protein leukosit disertai pelepasan ureum plasma).
3) Pengurangan ekskresi urea (prerenal, renal, atau postrenal).
4) Penyakit ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus.
5) Obstruksi saluran keluar urin.
Sedangkan jika kadar ureum plasma rendah (uremia) bisa
disebabkan oleh:
1) Masa akhir kehamilan
2) Nekrosis hepatic akut
3) Sirosis hepatis
Serum kreatinin
Nilai normal: 0,6 – 1,3 mg/ dL
Pasien dalam skenario memiliki kadar serum kreatinin 1,4 mg/ dL
yang menunjukkan jumlah serum kreatinin berlebihan.
Patofisiologi peningkatan kadar serum ureum dan serum kreatinin
diawali dengan adanya hipertensi. Pada hipertensi, tahanan perifer
pembuluh darah meningkat sehingga timbul kompensasi berupa
peningkatan kekuatan pompa oleh ventrikel kiri. Untuk memompa
lebih keras dibutuhkan lebih banyak sel-sel otot sehingga ventrikel
kiri mengalami hipertrofi. Jika kerja keras ventrikel kiri ini sudah
melampaui ambang batas yang bisa dilakukan oleh ventrikel kiri,
maka ventrikel kiri akan mengalami penurunan kontraktilitas.
Karena penurunan fungsi ventrikel kiri, curah jantung juga
mengalami penurunan sehingga tekanan darah juga turun. Hal ini
menyebabkan perfusi pada ginjal mengalami penurunan sehingga
ekskresi ureum dan kreatinin mengalami penurunan serta
reabsorbsinya mengalami peningkatan. Inilah yang menyebabkan
peningkatan kadar serum ureum dan serum kreatinin pada kasus di
skenario.
Mekanisme hipertrofi ventrikel dan atrium kiri
Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih
tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh
darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk
melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga
suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya.
Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan
hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left
ventriclehyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi
lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi
tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme
kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan
perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi
menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Sel-sel
ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin
menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke
sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan
hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai
mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak
musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral
fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang
menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung
dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain
ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah dan
ETIOLOGI PATOFISIOLOGI MANIFESTASI KLINIS
PEMERIKSAAN
ANAMNESIS
FISIK
PENUNJANG
TATALAKSANA KOMPLIKASIGAGAL JANTUNG
DIAGNOSIS
KERJA BANDING
batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR
0,60.
4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan-permasalahan secara sistematis
dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-permasalahan pada
langkah III
5. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran
a. Mengetahui mengapa keluhan memberat 1 minggu terakhir.
b. Mengetahui patofisiologi penyakit dalam skenario.
c. Mengetahui mekanisme pasien berdebar-debar.
d. Mengetahui mengapa keluhan disertai bangun saat tidur.
e. Mengetahui obat apa yang diberikan pada riwayat penyakit dahulu.
f. Mengetahui alur diagnosis kasus.
g. Mengetahui mekanisme sesak napas dan kumat-kumatan sebulan yang
lalu.
h. Mengetahui kategori hipertensi.
i. Mengetahui indikasi, kontraindikasi analisis gas darah.
j. Mengetahui hubungan hipertensi dengan keluhan.
k. Mengetahui interpretasi pemeriksaan fisik.
l. Mengetahui interpretasi pemeriksaan penunjang.
m. Mengetahui hubungan RAA, perfusi ginjal, dan kencing menurun
6. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru (Belajar mandiri)
7. Langkah VII : Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru
yang diperoleh
a. Keluhan memberat 1 minggu lalu
Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang
menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain,
jaringan sistemik semakin kekurangan O2 dan proses metabolisme pun
berubah menjadi metabolism anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan
produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu,
pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi
arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat
adanya penurunan pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru.
Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga
terjadi hiperventilasi.
Pada pasien ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi.
Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar
HCO3- dalam darah dan terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru
(hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2 dan penambahan
bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan
hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate
sebesar 32 kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien
adalah pemberian venodilator dan vasodilator untuk menurunkan preload
dan afterload. Selain itu pasien juga perlu diberi obat-obatan inotropik
seperti digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung.
b. Patofisiologi penyakit dalam skenario
GAGAL JANTUNG KONGESTIF
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang
tidak bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan
tekanan hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti
cardiomiopathy. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan
kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien masih
menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal
ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh
cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri. Beberapa mekanisme yang
terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin Angiotensin-Aldosteron (RAA)
dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan kontraksi miokardium.
Sistem saraf adrenergik
Pada gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini akan
dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian
dihantarkan ke medula melalui nervus IX dan X,yang akan mengaktivasi
sistem saraf simpatis. Aktivasi sistem saraf simpatis ini akan menaikkan
kadar norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut
jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan
vena sistemik. Walaupun NE meningkatkan kontraksi dan
mempertahankan tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi
lebih besar, yang dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran
O2 ke miokard. Dalam jangka pendek aktivasi sistem adrenergik dapat
sangat membantu, tetapi kemudian akan terjadi maladaptasi. Pada gagal
jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi norepinefrin jantung,
mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan
dengan "exhaustion phenomenon" yang berasal dari aktivasi sistem
adrenergik yang berlangsung lama.
Sistem Renin-Angiotensin
Apabila curah jantung menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,
berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus
distal, dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan
pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat
asam amino dari angiotensinogen I, dan Angiotensin-converting
enzyme akan melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi
angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi
angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2(AT2). Aktivasi reseptor AT1 akan
mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan
pelepasan katekolamin, sementara AT akan menyebabkan vasodilatasi,
inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.
Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam
mempertahankan sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika
terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif
yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain.
Selain itu, juga akan mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan
menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi
aldosteron. Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap
sirkulasi dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika
berlangsung relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu
memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan miokardium, yang berakibat
berkurangnya compliance vaskuler dan meningkatnya kekakuan ventrikel.
Di samping itu aldosteron memicu disfungsi sel endotel, disfungsi
baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin yang akan memperberat
gagal jantung. Mekanisme aksi aldosteron pada sistem kardiovaskuler
nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir inflamasipada
jaringan.
Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal dengan cara
retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output maka
akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus
dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral
di cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik
Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan
permeabilitas duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air meningkat.
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang
menginervasi jantung, sehingga kontraktilitas miokard meningkat.
Sindrom gagal jantung disebabkan oleh beberapa komponen:
Ketidakmampuan miokard untuk berkontraksi dengan sempurna
mengakibatkan stroke volume dan cardiac output menurun.
Beban sistolik yang berlebihan diluar kemampuan ventrikel (systolic
overload) menyebabkan hambatan pada pengosongan ventrikel
sehingga menurunkan curah ventrikel. Preload yang berlebihan dan
melampaui kapasitas ventrikel (diastolic overload) akan menyebabkan
volume dan tekanan pada akhir diastolic dalam ventrikel meninggi.
Beban kebutuhan metabolik meningkat melebihi kemampuan daya
kerja jantung dimana jantung sudah bekerja maksimal, maka akan
terjadi keadaan gagal jantung walaupun curah jantung sudah cukup
tinggi tetapi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh.
Hambatan pada pengisian ventrikel karena gangguan aliran masuk
kedalam ventrikel atau pada aliran balik akan menyebabkan
pengeluaran atau output ventrikel berkurang dan curah jantung
menurun.
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal
jantung kanan. Gagal jantung kanan maupun kiri dapat disebabkan oleh
beban kerja (tekanan atau volume) yang berlebihan dan atau gangguan otot
jantung itu sendiri. Beban volume atau preload disebabkan karena kelainan
ventrikel memompa darah lebih banyak semenit sedangkan beban tekanan
atau afterload disebabkan oleh kealinan yang meningkatkan tahanan
terhadap pengaliran darah ke luar jantung. Kelainan atau gangguan fungsi
miokard dapat disebabkan oleh menurunnya kontraktilitas dan oleh
hilangnya jaringan kontraktil ( infark miokard ).Dalam menghadapi beban
lebih, jantung menjawab ( berkompensasi ) seperti bila jantung
menghadapi latihan fisik. Akan tetapi bila beban lebih yang dihadapi
berkelanjutan maka mekanisme kompensasi akan melampaui batas dan ini
menimbulkan keadaan yang merugikan. Manifestasi klinis gagal jantung
adalah manifestasi mekanisme kompensasi.
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,
gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan
gagal jantung kongestif. Gejala dan tanda yang timbulpun berbeda, sesuai
dengan pembagian tersebut.
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, kelelahan, ortopnea,
paroxysmal nocturnal dyspnea, batuk, pembesaran jantung, galloping
jantung, ventricular heaving, takikardi, pulsus alternans, ronki dan
kongesti vena pulmonalis.
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada
gagal jantung akibat penyakit sistemik, mengganggu kemampuan
pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang
menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu
ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolik) ventrikel,
terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP).
Derajat peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel.
Dengan meningkatnya LVEDP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium
kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama
diastol. Peningkatan LAP diteruskan kebelakang ke dalam pembuluh
darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru.
Apabila tekanan hidrostatik anaman kapiler paru-paru melebihi tekanan
onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan melebihi kecepatan
drainase limfatik, akan terjadi edema intertisial. Peningkatan tekanan lebih
lanjut dapat meningkatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan
terjadilah edema paru.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkatkan akibat peningkatan
kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahapan
terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi
pada gagal jantung kiri, juga terjadi pada jantung kanan yang akhirnya
akan menyebabkan edema dan ongestif sistemik
Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema, anoreksia dan
kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung
kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atriu kanan, murmur, tanda-
tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, asites,
hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, dan edema pitting.
Sedng, pada gagal jantung kongestif terjadi manistasi gabungan gagal
jantung kiri dan kanan.
Berbagai faktor etiologi dapat berperan menimbulkan gagal jantung
yang kemudian merangsang timbulnya mekanisme kompensasi dan jika
mekanisme kompensasi ini berlebihan, maka dapat menimbulkan gejala-
gejala gagal jantung. Mekanisme kompensasi jantung tersebut berupa:
1. Mekanisme Frank-Starling
Mekanisme Frank-Starling berarti makin besar otot jantung
diregangkan selama pengisian, makin besar kekuatan kontraksi dan makin
besar pula jumlah darah yang dipompa ke dalam aorta atau arteri
pulmonalis. (Sitompul, Barita., Sugeng, JI. 2003)
Kontraksi ventrikel yang menurun akan mengakibatkan pengosongan
ruang yang tidak sempurna sehingga volume darah yang menumpuk dlm
ventrikel saat diastol (volume akhir diastolik) lebih besar dari normal.
Berdasarkan hukum Frank-Starling, peningkatan volume ini akan
meningkatkan pula daya kontraksi ventrikel sehingga dapat menghasilkan
curah jantung yang lebih besar. (Sitompul, Barita., Sugeng, JI. 2003)
2. Hipertrofi Ventrikel
Peningkatan volume akhir diastolik juga akan meningkatkan tekanan
di dinding ventrikel yang jika terjadi terus-menerus, maka akan
merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel. Terjadinya hipertrofi
ventrikel berfungsi untuk mengurangi tekanan dinding dan meningkatkan
massa serabut otot sehingga memelihara kekuatan kontraksi ventrikel.
Dinding ventrikel yang mengalami hipertrofi akan meningkat
kekakuannya (elastisitas berkurang) sehingga mekanisme kompensasi ini
selalu diikuti dengan peningkatan tekanan diastolik ventrikel yang
selanjutnya juga menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri. (Sitompul,
Barita., Sugeng, JI. 2003)
Gambar 1. Skema Patofisiologi Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Hipertensi
Sumber: Korelasi Dispersi QT dengan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Penderita
Hipertensi, 2003.
3. Aktivasi Neurohormonal
Perangsangan neurohormonal mencakup sistem saraf simpatik, sistem
renin-angiotensin, peningkatan produksi hormon antidiuretik dan peptida
natriuretik. (Sitompul, Barita., Sugeng, JI. 2003)
Penurunan curah jantung dapat merangsang baroreseptor di sinus
carotis dan arkus aorta sehingga terjadi perangsangan simpatis dan
penghambatan parasimpatis yang mengakibatkan peningkatan denyut
jantung, kontraktilitas ventrikel, dan vasokonstriksi vena dan arteri
sistemik sehingga terjadilah peningkatan curah jantung, peningkatan aliran
balik vena ke jantung dan peningkatan tahanan perifer. (Sitompul, Barita.,
Sugeng, JI. 2003)
Penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi arteri
renalis sehingga merangsang reseptor sel juxtaglomerulus yang kemudian
menyintesis renin dan terjadilah hidrolisis angiotensinogen menjadi
angiotensin I, angiotensin I dikonversi menjadi angiotensin II oleh ACE
yang kemudian menginduksi vasokonstriksi dan sekresi aldosteron
sehingga terjadi peningkatan tahanan perifer, retensi natrium dan air yang
mengakibatkan peningkatan alir balik vena ke jantung hingga terjadilah
peningkatan curah jantung melalui mekanisme Frank-Starling. (Sitompul,
Barita., Sugeng, JI. 2003)
Gagal jantung paling sering merupakan manifestasi dari kelainan
fungsi kontraktilitas ventrikel (disfungsi sistolik) atau gangguan relaksasi
ventrikel (disfungsi diastolik).Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas
miokard mengalami gangguan sehingga curah jantung menurun dan
menyebabkan kelemahan, fatigue, menurunnya kemampuan aktivitas fisik,
dan gejala hipoperfusi lainnya. (Sitompul, Barita., Sugeng, JI. 2003)
Pada disfungsi diastolik, terjadi gangguan relaksasi miokard akibat
peningkatan kekakuan dinding ventrikel dan penurunan compliance
sehingga pengisian ventrikel saat fase diastol terganggu.Gagal jantung
diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih
dari 50%.Disfungsi sistolik dan diastolik seringkali dijumpai bersamaan
dan timbulnya gagal jantung sistolik bisa mempengaruhi fungsi
diastolik.Diagnosis gagal jantung sistolik atau diastolik tidak dapat
ditentukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Diagnosis dibuat
dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran
vena pulmonalis. Gagal jantung dapat memengaruhi jantung kiri, jantung
kanan, atau keduanya (biventrikel), namun dalam praktik jantung kiri yang
sedang terkena.Manifestasi tersering dari gagal jantung kiri adalah
dispnea, atau perasaan kehabisan napas. Hal ini terutama disebabkan oleh
penurunan compliance paru akibat edema dan kongesti paru dan oleh
peningkatan aktivitas reseptor regang otonom di dalam paru. Dispnea
paling jelas sewaktu aktivitas fisik (dyspneu d’effort). Dispnea juga jelas
saat pasien berbaring (ortopnea) karena meningkatnya jumlah darah vena
yang kembali ke toraks dari ekstremitas bawah dan karena pada posisi ini
diafragma terangkat. Dispnea nokturnal paroksismal adalah bentuk dispnea
yang dramatik; pada keadaan tersebut pasien terbangun dengan sesak
napas hebat mendadak disertai batuk, sensasi tercekik, dan mengi.
Manifestasi lain gagal jantung kiri adalah kelelahan otot, pembesaran
jantung, takikardia, bunyi jantung ketiga (S3) gallop, ronki basah halus di
basal paru, karena aliran udara yang melewati alveolus yang edematosa.
Terjadi krepitasi paru karena edema alveolar dan edema dinding bronkus
dapat menyebabkan mengi. Seiring dengan bertambahnya dilatasi
ventrikel, otot papilaris bergeser ke lateral sehingga terjadi regurgitasi
mitral dan murmur sistolik bernada tinggi. Dilatasi kronis atrium kiri juga
dapat terjadi dan menyebabkan fibrilasi atrium yang bermanifestasi
sebagai denyut jantung “irregularly irregular”(tidak teratur secara tidak
teratur). (Sitompul, Barita., Sugeng, JI. 2003)
Manifestasi utama dari gagal jantung kanan adalah bendungan vena
sistemik dan edema jaringan lunak. Kongesti vena sistemik secara klinis
tampak sebagai distensi vena leher dan pembesaran hati yang kadang-
kadang nyeri tekan. Bendungan ini juga menyebabkan peningkatan
frekuensi trombosis vena dalam dan embolus paru. Edema menyebabkan
penambahan berat dan biasanya lebih jelas di bagian dependen tubuh,
seperti kaki dan tungkai bawah. Pada gagal ventrikel yang lebih parah,
edema dapat menjadi generalist. Efusi pleura sering terjadi, terutama di sisi
kanan, dan mungkin disertai efusi perikardium dan asites.Pada gagal
jantung kanan ditemukan dispneu, namun bukan ortopneu atau PND. Pada
palpasi mungkin didapatkan gerakan bergelombang yang menandakan
hipertrofi ventrikel kanan dan/atau dilatasi, serta pada auskultasi
didapatkan bunyi jantung S3 atau S4 ventrikel kanan. (Sitompul, Barita.,
Sugeng, JI. 2003).
c. Alasan jantung berdebar-debar
Jantung berdebar-debar disebabkan oleh kompensasi jantung agar
volume darah dalam sirkulasi mencukupi kebutuhan jaringan dimana dapat
disebabkan oleh aterosklerosis yang mungkin dimiliki oleh pasien
menimbang dari usia dan jenis kelamin pasien (Price, 2006).
d. Keluhan disertai bangun saat tidur
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea adalah gejala dimana pasien
mendadak bangun dari tidur saat dispnea. Saat tidur (malam hari =
nocturnal) terjadi penurunan aktivitas pernapasan dari pusat pernapasan di
batang otak. Selain itu, Ketika pasien berbaring, darah yang ada di tubuh
bagian bawah paru-paru bergerak lebih lancar menuju atrium kanan,
kemudian ventrikel kanan, dan menuju paru. Paru-paru kemudian
memompa darah ini menuju atrium kiri untuk disalurkan ke ventrikel kiri.
Namun, pada pasien gagal jantung, ventrikel kiri tidak bisa memompa
volume tambahan tersebut sehingga darah balik ke paru dan menyebabkan
edema paru. Pada edema paru, tekanan paru meningkat sehingga oksigen
lebih susah untuk diikat oleh darah sehingga menyebabkan sesak napas
sebagai kompensasi paru untuk meningkatkan asupan oksigen.
e. Obat-obatan yang telah diberikan saat sakit serupa dulu
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi
beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama
fungsi miokardium: 1) beban awal, 2) kontraktilitas, dan 3) beban akhir.
Penanganan biasanya dimulai dari timbulnya gejala saat aktvitas biasa
(NYHA kelas II). Regimen penanganan diberikan secara progresif
ditingkatkan sampai mencapai respons klinis yang diinginkan. Eksaserbasi
akut dari gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung dapat
menjadi alasan untuk perawatan di rumah sakit dan penanganan yang lebih
agresif.
Pengurangan Beban Awal
Pembatasan asupan garam dalam makanan mengurangi beban kerja
jantung dengan menurunkan retensi cairan. Apabila gejala-gejala menetap
dengan pembatasan garam yang sedang, diperlukan pemberian diuretik
oral untuk mengatasi retensi natrium dan air. (Price & Wilson, 2006)
Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki
peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung.
Ada beberapa golongan obat diuretik, diantaranya diuretik kuat, tiazid,
diuretik hemat kalium, carbonic anhidrase inhibitor, serta diuretik
osmosis. Diuretik yang sering digunakan untuk gagal jantung kongestif
adalah diuretik kuat, tiazid, dan diuretik hemat kalium. Jenis-jenis diuretik
dan contoh obatnya terangkum di gambar 1.
Diuretik kuat merupakan sekelompok diuretik yang efeknya sangat
kuat dibandingkan dengan diuretik yang lain. Tempat kerja dari diuretik
kuat adalah di epitel tebal ansa henle bagian ascenden. Yang termasuk
kelompok ini adalah obat-obatan seperti furosemid, torsemid, asam
etakrinat, dan bumetanid. Diuretik kuat menghambat reabsorpsi natrium
dan klorida serta meningkatkan ekskresi kalium. Furosemid merupakan
obat standar untuk gagal jantung. Selain itu, diuretik kuat digunakan untuk
edema refrakter, asites pada sirosis hepatis, edema pada gagal ginjal, gagal
ginjal akut, serta hiperkalsemia sistematik (karena diuretik kuat tidak
meningkatkan reabsorbsi kalsium). Diuretik kuat dikontraindikasikan bagi
pasien gagal ginjal yang disertai anuria. (Nafraldi, 2009)
Tiazid menghambat simporter natrium dan klorida di hulu tubulus
kontortus distal, sehingga meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan air.
Pada pasien hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah karena efek
diuretik dan vasodilatasi. Pada pasien diabetes insipidus, tiazid
menurunkan diuresis karena menurunkan laju filtrasi glomerulus, yang
membuat terjadinya peningkatan reabsorbsi natrium dan air di tubulus
kontortus proksimal. Akibatnya volume urine yang sampai di tubulus
kontortus distal akan sedikit dan menekan gejala poliuria secara signifikan.
Indikasi pemberian tiazid adalah gagal jantung ringan – sedang, hipertensi,
edema akibat penyakit hati dan ginjal kronis, pengobatan jangka panjang
edema kronik, diabetes insipidus, dan hiperkalsiuria. Perlu kehati-hatian
dalam memberikan tiazid pada pasien sirosis dengan asites karena
gangguan pembentukan H+ menyebabkan ammoniak tidak dapat diubah
menjadi ion ammonium dan memasuki peredaran darah, akibatnya pasien
dapat mengalami depresi mental bahkan koma. (Nafraldi, 2009)
Diuretik hemat kalium teridri atas antagonis aldosteron, triamteren,
dan amilorid. Yang termasuk ke dalam antagonis aldosteron adalah
spironolakton dan eplerenon, dengan mekanisme kerja penghambatan
kompetitif terhadap aldosteron. Antagonis aldosteron diberikan untuk
pasien dengan hiperaldosteronisme primer dan sekunder, asites pada
sirosis hepatis, sindrom nefrotik, hipertensi, edema refrakter, serta gagal
jantung. Triamteren dapat bekerja dalam keadaan tanpa aldosteron dengan
cara menghambat sekresi kalium di tubuli distal. Diuretik hemat kalium
digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat bila adanya bahaya
hipokalemia. (Nafraldi, 2009)
Selain diuretik, vasodilatasi vena juga dapat menurunkan beban awal
melalui redistribusi darah dari sentral ke sirkulasi perifer. Venodilatasi
menyebabkan mengalirnya darah ke perifer dan mengurangi aliran balik
vena ke jantung. Pada situasi ekstrem mungkin diperlukan hemodialisis
untuk menunjang fungsi miokardium. (Price & Wilson, 2006)
Peningkatan Kontraktilitas
Obat inotropik meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium,
kemungkinan dengan meningkatkan persediaan kalsium intrasel untuk
protein-protein kontraktil, aktin dan miosin. Dua golongan obat inotropik
yang dipakai: 1) Glikosida Digitalis, dan 2) obat nonglikosida.obat
nonglikosida meliputi amin simpatomimetik, seperti epinefrin dan
norepinefrin, serta penghambat fosfodieterase, seperti amrinon dan
enoksimon. Amin simpatomimimetik meningkatkan kontraktilitas secara
langsung dengan merangsang reseptor beta adrenergik dan secara tidak
langsung dengan melepaskan norepinefrin dari medula adrenal.
Fosfodiesterase (PDE) adalah enzim yang menyebabkan pemecahan suatu
senyawa, adenosin monofosfat siklik (cAMP), yang memulai perpindahan
kalsium ke dalam sel melalui saluran kalsium lambat. Penghambatan PDE
meningkatkan peningkatan cAMP dalam darah, sehingga meningkatkan
kadar kalsium intrasel. Penghambat PDE juga mengakibatkan vasodilatasi.
(Price & Wilson, 2006)
Pengurangan Beban Akhir
Dua respons kompensatorik terhadap gagal jantung (akktivasi sistem
simpatis dan sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron) menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi dan selanjutnya meningkatkan tahanan terhadap
ejeksi ventrikel dan beban akhir. Dengan meningkatnya beban akhir, kerja
jantung bertambah dan curah jantung menurun. Vasodilator arteri akan
menekan efek-efek negatif tersebut melalui dua cara: 1) dilatasi langsung
otot polos pembuluh darah, dan 2) hambatan enzim konversi angiotensin.
Vasodilator langsung terdiri dari obat seperti hidralazin dan nitrat
(kombinasi). Penghambat enzim konversi angiotensin (contoh: enalapril
dan kaptopril) menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.
Efek ini mencegah vasokonstriksi yang diinduksi angiotensin, dan juga
menghambat produksi aldosteron dan retensi cairan. (Price & Wilson,
2006)
f. DDx, Dx, alur diagnosis
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan diagnosis
gagal jantung kongestif.
Kriteria mayor:
1. Paroxismal Nocturnal Dispneu
2. distensi vena leher
3. ronkhi paru
4. kardiomegali
5. edema paru akut
6. gallop S3
7. peninggian tekanan vena jugularis
8. refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1. edema ekstremitas
2. batuk malam hari
3. dispneu de effort
4. hepatomegali
5. efusi pleura
6. takikardi
7. penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1
kriteria minor harus ada pada saat yang bersamaan.
Diagnosis Banding
- Hypertensive heart disease (HHD)
- Congestive Heart Failure
- Heart Failure
g. Penyebab sesak napas kumatan sejak satu bulan yang lalu
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA),
umum dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat
latihan fisik:
Klas I : Tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul
pada aktivitas yang lebih berat dari aktivitas seharihari.
Klas II : Gejala timbul pada aktivitas sehari-hari.
Klas III : Gejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari.
Klas IV : Gejala timbul pada saat istirahat.
Keluhan sesak napas yang kumatan sejak satu bulan yang lalu menandakan
telah terjadinya peningkatan kelas pada klasifikasi fungsional jantung pasien.
Pasien mengeluh sesak napasnya kumat sejak sebulan terakhir, saat aktivitas
ringan dan berbaring, menunjukkan bahwa pasien termasuk dalam kelas III
pada klasifikasi fungsional jantung menurut NYHA.
h. Kategori hipertensi
Klasifikasi hipertensi berdasarkan Joint National Committe (JNC) 7
Kategori Sistol (mmHg) Dan/ Atau Distol (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre- hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥160 Atau ≥100
Sistol terisolasi ≥140 Dan <90
i. Indikasi dan kontraindikasi dilakukan analisa gas darah (AGD)
Indikasi:
1. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik
Penyakit paru obstruktif kronis yang ditandai dengan adanya hambatan
aliran udara pada saluran napas yang bersifat progresif non reversible
ataupun reversible parsial. Terdiri dari 2 macam jenis yaitu bronchitis
kronis dan emfisema, tetapi bisa juga gabungan antar keduanya.
2. Pasien dengan edema pulmo
Pulmonary edema terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan
yang merembes keluar dari pembuluh - pembuluh darah dalam paru
sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan dengan
pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesu litan
bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk.
3. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar
kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel
alveolar dan perubahan dalarn jaring- jaring kapiler, terdapat
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat-akibat
kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam
paru-.paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan
, yang mengarah pada kolaps alveolar.
4. Infark miokard
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
5. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem dimana alveoli
menjadi radang dan dengan penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan
oleh berbagai macam sebab,meliputi infeksi karena bakteri,virus,jamur
atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau
kerusakan fisik dari paru-paru, atau secara tak langsung dari penyakit lain
seperti kanker paru atau penggunaan alkohol.
6. Pasien syok
Syok merupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi darah
arteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan.
Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah
jantung, volume darah, dan pembuluh darah.
Kontra indikasi:
Koagulopati
Selulitis
Modifikasi Allen Test negatif
Denyut arteri tidak teraba.
j. Hubungan hipertensi dengan keluhan
RAA
Renin disekresi dari aparat juxtaglomerular ginjal sebagai jawaban
terhadap kurangnya perfusi glomerular atau kurang asupan garam. Ia juga
dilepas sebagai jawaban terhadap stimulasi dari sistem saraf simpatis. Renin
bertanggung jawab mengkonversi substrat renin (angiotensinogen) menjadi
angiotensin II di paru- paru oleh angiotensin converting enzyme (ACE).
Angiotensi II ialah vasokonstriktor yang kuat dan mengakibatkan
peningkatan tekanan darah. Di samping itu ia menstimulasi pelepasan
aldosteron dari zona glomerulosa kelenjer adrenal, yang mengakibatkan
peningkatan lagi tekanan darah yang berkaitan dengan retensi garam dan air.
Patofisiologi hipertensi ventrikel kiri akibat hipertensi
Jantung yang mendapatkan tambahan beban hemodinamik akan
mengalami kompensasi melalui proses: mekanisme kompensasi Frank
Starling, meningkatkan massa otot jantung dan aktifasi mekanisme
neurohormonal baik sistem simpatis maupun melalui hormon renin
angiotensin (Efendi, 2003). Akan tetapi, menurut Alfakih et al. (2004) dalam
Kaplan (2006), hipertrofi jantung dalam respon terhadap beban tambahan
tidak merupakan patologis pada tiga keadaan: maturasi pada bayi dan anak,
kehamilan, dan latihan yang berat.
HVK pada hipertensi sebenarnya merupakan fenomena yang kompleks,
dimana tidak hanya melibatkan faktor hemodinamik seperti : beban tekanan,
volume, denyut jantung yang berlebihan dan peningkatan kontraktilitas dan
tahanan perifer, tetapi juga faktor non hemodinamik seperti usia, kelamin, ras,
obesitas, aktifitas fisik, kadar elektrolit dan hormonal.
Gambar 1. Skema Patofisiologi HVK pada Hipertensi
Sumber: Korelasi Dispersi QT dengan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada
Penderita Hipertensi.
HVK dimulai dengan peningkatan kontraktilitas miokard yang dipengaruhi
oleh sistem saraf adrenergik sebagai respond neurohumoral, kemudian diikuti
dengan peningkatan aliran darah balik vena karena vasokonstriksi di
pembuluh darah perifer dan retensi cairan oleh ginjal. Bertambahnya volume
darah dalam vaskuler akan meningkatkan beban kerja jantung, kontraksi otot
jantung akan menurun karena suplai aliran darah yang menurun dari aliran
koroner akibat arteriosklerosis dan berkurangnya cadangan aliran pembuluh
darah koroner. Proses perubahan di atas terjadi secara simultan dalam
perjalanan penyakit hipertensi dalam mewujudkan terjadinya payah jantung.
Pada hipertensi ringan curah jantung mulai meningkat, frekuensi denyut
jantung dan kontraktilitas bertambah sedangkan tahanan perifer masih
normal. Peningkatan curah jantung oleh proses autoregulasi ini, berkaitan
dengan overaktivitas simpatis, akan menimbulkan peningkatan tonus
pembuluh darah perifer dan terjadi sebagai usaha kompensasi untuk
mencegah agar peningkatan tekanan (karena curah jantung yang meningkat
tadi) tidak disebarluaskan ke jaringan pembuluh darah kapiler, yang akan
dapat mengganggu homeostasis sel secara substansial. Bila berlangsung lama
maka konstriksi otot polos pembuluh darah perifer ini akan menginduksi
perubahan struktural dengan penebalan dinding pembuluh darah arteriol yang
akan mengakibatkan peningkatan tahanan perifer yang irreversibel sehingga
pada akhirnya kerja jantung menjadi bertambah berat.
Supaya volume sekuncup tetap stabil, peningkatan beban tekan ini akan
meningkatkan tegangan dinding (stres dinding). Sehingga untuk mengurangi
tegangan dinding ini, sesuai dengan Persamaan Laplace, terjadi peningkatan
ketebalan dinding jantung sebagai kompensasi yang dikenal dengan hipertrofi
konsentris yang ditandai dengan sintesis sarkomer-sarkomer baru yang
berjalan sejajar dengan sarkomer lama yang menyebabkan peningkatan tebal
dinding tanpa adanya dilatasi ruang untuk membantu memelihara kekuatan
kontraksi ventrikel. Ciri hipertrofi konsentris ini berupa penebalan dinding
otot jantung, pertambahan massa jantung, volume akhir-diastol masih normal
atau sedikit meningkat, dan rasio massa terhadap volume meningkat.
Hipertrofi konsentris ini akan berlanjut dengan hipertrofi eksentrik sebagai
respon terhadap beban volume yang ditandai dengan sintesis sarkomer-
sarkomer baru secara seri dengan sarkomer lama yang membuat radius ruang
ventrikel membesar. Ciri hipertrofi eksentrik ini berupa penambahan massa
dan volume jantung tetapi ketebalan dinding tidak berubah
Hipertrofi dan dilatasi jantung ini membutuhkan suplai darah yang lebih
banyak dan seperti yang sudah dibahas terdahulu, miokardium yang terlalu
teregang justru akan menyebabkan kekuatan kontraksi menurun, hal ini
mengakibatkan suplai darah tidak mampu menyetarakan massa otot jantung
yang meningkat sehingga akan berujung pada komplikasi jantung lainnya
seperti penyakit infark miokardium yang diakhiri dengan gagal jantung. Jadi,
dapat dilihat bahwa HVK yang disebabkan oleh hipertensi akan
mempermudah berbagai macam komplikasi jantung akibat hipertensi,
termasuk gagal jantung kongestif, aritmia ventrikel, iskemi miokard dan mati
mendadak.
k. Interpretasi pemeriksaan fisik dan patofisiologinya
1. Tekanan darah 180/ 100 mmHg hipertensi
Mekanisme terjadi hipertensi sudah dijelaskan di pembahasan sebelumnya.
2. Heart rate 120 x/ menit takikardi
Pada penurunan fungsi jantung (terutama ventrikel kiri) maka curah
jantung mengalami penurunan sehingga untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan nutrisi oleh tubuh terdapat mekanisme kompensasi berupa
takikardi (jantung berdetak lebih cepat dari normal).
3. Frekuensi napas 32 x/ menit takipnea
Takipnea timbul sebagai mekanisme hiperventilasi untuk
meningkatkan asupan oksigen dan menurunkan kadar karbondioksida
darah sebagai kompensasi dari adanya asidosis metabolik karena pada
asidosis metabolik terjadi penurunan kadar HCO3- (sifat: basa) dalam
darah sehingga suasana darah menjadi asam dan dibutuhkan penurunan
karbondioksida untuk mengembalikan ke suasana normal darah.
4. JVP meningkat
Pada hipertensi, tahanan perifer pembuluh darah meningkat sehingga
timbul kompensasi berupa peningkatan kekuatan pompa oleh ventrikel
kiri. Karena terjadi peningkatan pompa oleh ventrikel kiri maka tekanan
dalam ventrikel kiri meningkat. Karena darah akan mengalir dari tekanan
tinggi ke tekanan rendah, maka supaya atrium kiri bisa mengalirkan darah
ke ventrikel kiri, atrium kiri harus meningkatkan kekuatan pompanya juga
sehingga tekanannya meningkat. Supaya paru-paru bisa mengalirkan darah
menuju atrium kiri maka terjadi peningkatan tekanan di paru-paru.
Peningkatan tekanan di paru-paru menyebabkan peningkatan tekanan di
ventrikel kanan supaya darah dari ventrikel kanan bisa mengalir ke paru-
paru. Peningkatan tekanan di paru-paru menyebabkan peningkatan tekanan
di ventrikel kanan supaya darah dari ventrikel kanan bisa mengalir ke
paru-paru. Peningkatan tekanan di ventrikel kanan menyebabkan
peningkatan tekanan di ventrikel kiri supaya darah dari atrium kanan bisa
mengalir ke ventrikel kanan. Peningkatan tekanan atrium kanan
menyebabkan tekanan pada vena jugularis (JVP) meningkat.
l. Interpretasi pemeriksaan penunjang dan patofisiologinya
1. Pemeriksaan EKG
Irama sinus takikardi menunjukkan bahwa ritme jantung dibentuk oleh
impuls listrik dari SA node dengan detak yang cepat melebih nilai normal.
Nilai normal detak jantung adalah 60 – 100 kali/ menit. Pada penurunan
fungsi jantung (terutama ventrikel kiri) maka curah jantung mengalami
penurunan sehingga untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi oleh
tubuh terdapat mekanisme kompensasi berupa takikardi (jantung berdetak
lebih cepat dari normal).
Left Atrial Hypertrophy dan Left Ventricle Hypertrophy menunjukkan
adanya pembesaran atrium dan ventrikel kiri. Pada hipertensi, tahanan
perifer pembuluh darah meningkat sehingga timbul kompensasi berupa
peningkatan kekuatan pompa oleh ventrikel kiri. Untuk memompa lebih
keras dibutuhkan lebih banyak sel-sel otot sehingga ventrikel kiri
mengalami hipertrofi. Karena terjadi peningkatan pompa oleh ventrikel
kiri maka tekanan dalam ventrikel kiri meningkat. Karena darah akan
mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, maka supaya atrium kiri
bisa mengalirkan darah ke ventrikel kiri, atrium kiri harus meningkatkan
kekuatan pompanya juga sehingga tekanannya meningkat. Karena atrium
membutuhkan banyak sel otot untuk memompa lebih kuat, terjadi
hipertrofi atrium.
2. Foto thorax
CTR (Cardio Thorax Ratio) 0,70 menunjukkan adanya pembesaran
jantung. Nilai normal CTR adalah < 0,5. Pembesaran jantung dikarenakan
ada hipertrofi atrium dan ventrikel yang sudah dijelaskan di paragraf
sebelumnya.
Apex bergeser ke lateral bawah menunjukkan adanya pembesaran
ventrikel kiri. Seumpama didapatkan pergeseran apex ke lateral saja, maka
menunjukkan adanya pembesaran ventrikel kanan. Pembesaran ventrikel
sudah dijelaskan di pembahasan sebelumnya.
Pinggang jantung menonjol menunjukkan adanya pembesaran atrium
dan ventrikel kanan yang mekanismenya sudah dijelaskan di pembahasan
sebelumnya.
Vaskularisasi paru meningkat menunjukkan adanya mekanisme
hiperventilasi untuk meningkatkan asupan oksigen dan menurunkan kadar
karbondioksida darah sebagai kompensasi dari adanya asidosis metabolik
karena pada asidosis metabolik terjadi penurunan kadar HCO3- (sifat: basa)
dalam darah sehingga suasana darah menjadi asam dan dibutuhkan
penurunan karbondioksida untuk mengembalikan ke suasana normal
darah.
Mengapa terjadi penurunan HCO3- dalam darah?
Pada penurunan fungsi jantung, suplai oksigen dan nutrisi menuju
jaringan atau organ perifer sangat berkurang sehingga di perifer terjadi
metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob ini memberikan hasil samping
berupa asam laktat (sifat: asam). Untuk menetralisir sifat asam ini maka
digunakan HCO3- (sifat: basa). Karena jumlah asam banyak maka
dibutuhkan jumlah HCO3- yang banyak pula sehingga menyebabkan kadar
HCO3- dalam darah mengalami penurunan yang mengakibatkan terjadinya
asidosis metabolik.
m. Hubungan RAA, perfusi ginjal, dan kencing menurun
Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih
tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu
berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan
tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua
jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian
mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung.
Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan
jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup
walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan
mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan
perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan
penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel
kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya
menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan
merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan
sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas
jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis
mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan
permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks
Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain
itu, stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang
bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain,
penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ
tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke
ginjal merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan
reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah yang menyebabkan kencing
penderita berkurang dan peningkatan kadar serum ureum (65 mg/dl) di
mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun terjadi penurunan
filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin
sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar
kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal
(normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan
fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel
juxtaglomerulus untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis
angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin
converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah
(vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi.
BAB III
KESIMPULAN
Dari kasus di skenario terdapat beberapa poin yang mengarah ke
diagnosis. Pasien kemungkinan menderita gagal jantung kiri akut akibat hipertensi
yang dideritanya. Pasien juga mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi
ginjal akut. Kemungkinan ini bisa dilihat dari beberapa hasil pemeriksaan fisik
dan penunjang. Tekanan darah 180/ 100 mmHg yang menandakan pasien
mengalami hipertensi. Pada hipertensi, tahanan perifer pembuluh darah meningkat
sehingga timbul kompensasi berupa peningkatan kekuatan pompa oleh ventrikel
kiri. Karena terjadi peningkatan pompa oleh ventrikel kiri maka tekanan dalam
ventrikel kiri meningkat. Karena darah akan mengalir dari tekanan tinggi ke
tekanan rendah, maka supaya atrium kiri bisa mengalirkan darah ke ventrikel kiri,
atrium kiri harus meningkatkan kekuatan pompanya juga sehingga tekanannya
meningkat. Supaya paru-paru bisa mengalirkan darah menuju atrium kiri maka
terjadi peningkatan tekanan di paru-paru.
Peningkatan tekanan di paru-paru menyebabkan peningkatan tekanan di
ventrikel kanan supaya darah dari ventrikel kanan bisa mengalir ke paru-paru.
Peningkatan tekanan di paru-paru menyebabkan peningkatan tekanan di ventrikel
kanan supaya darah dari ventrikel kanan bisa mengalir ke paru-paru. Peningkatan
tekanan di ventrikel kanan menyebabkan peningkatan tekanan di ventrikel kiri
supaya darah dari atrium kanan bisa mengalir ke ventrikel kanan. Peningkatan
tekanan atrium kanan menyebabkan tekanan pada vena jugularis (JVP)
meningkat. Heart rate 120 x/ menit takikardi . Pada penurunan fungsi jantung
(terutama ventrikel kiri) maka curah jantung mengalami penurunan sehingga
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi oleh tubuh terdapat mekanisme
kompensasi berupa takikardi (jantung berdetak lebih cepat dari normal).
Kemungkinan gagal jantung kiri akut akibat hipertensi juga diperkuat
dengan hasil pemeriksaan EKG dan Foto thorax yang terdapat pada skenario.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator,
vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan
kontraktilitas jantung.Penatalaksanaan perlu diberikan sedini mungkin agar tidak
terjadi komplikasi yang lebih parah seperti gagal jantung kongestif atau syok
kardiogenik.
BAB IV
SARAN
Secara keseluruhan, diskusi skenario 3 blok kardiovaskular berjalan
dengan baik. Namun tetap ada beberapa hal yang perlu diperbaiki agar diskusi-
diskusi selanjutnya berjalan dengan lebih baik.
Bagi setiap anggota kelompok diskusi, sebaiknya lebih mempersiapkan
diri dalam menjalani diskusi tutorial. Dimana sudah terlebih dahulu membaca
literatur dan mencoba memahaminya agar saat pelaksanaan diskusi dapat
menyampaikan dengan kata-kata sendiri sehingga lebih mudah dipahami diri
sendiri dan orang lain. Selain itu, keberanian diri untuk menyampaikan
pendapatnya juga sangat diperlukan guna tercapai pemahaman yang baik
mengenai topik oleh masing-masing anggota kelompok diskusi. Dengan banyak
pendapat dan juga pertanyaan maka peluang mendapatkan pengetahuan dan
pemahaman yang baik akan semakin besar. Dan pada pertemuan kedua
diharapkan tiap anggota benar-benar dapat menyampaikan pendapat berdasarkan
literatur yang diakui / yang teruji kepustakaannya.
Selain itu anggota tutorial juga diharapkan tetap bisa menjaga
kekondusifan jalannya diskusi tutorial. Tidak hanya terfokus pada materi yang
akan disampaikan diri sendiri tetapi juga tetap memperhatikan apa yang
disampaikan oleh anggota tutorial yang lainnya agar tidak perlu ada pengulangan
dalam penyampaian materi diskusi yang sudah disampaikan. Sehingga waktu
diskusi akan menjadi lebih efisien. Selain itu, mendengarkan pendapat orang lain
dapat menambah pengetahuan kita sehingga dapat mengoreksi hasil pencarian
literatur masing-masing anggota tutorial.
Secara umum tutor juga telah banyak membantu mahasiswa untuk berpikir
kritis dan memecahkan masalah yang ada, menambah wawasan namun juga
menunjukkan poin-poin penting yang perlu dipahami oleh mahasiswa dalam
kompetensi dokter umum. Namun ada sedikit saran untuk tutor agar bisa lebih
mendorong setiap anggota tutorial untuk aktif dalam memyampaikan
pendapatnya.
Dan pada skenario ini, tiap anggota kelompok diskusi diharapkan dapat
mempelajari lebih lanjut, utamanya, mengenai hypertension heart disease (HHD)
dan penyakit kardiovaskular yang menyebabkan hipertensi. Dari skenario ini,
sebaiknya pasien lebih memperhatikan dan mengontrol tekanan darahnya
sehingga dapat mengurangi keluhannya tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Brosche, Theresa Ann Middleton. (2011). Buku Saku EKG. Alih Bahasa : Leo Rendy. Jakarta.
Burndside, JW.,McGlynn, TJ. (1995). Diagnosis Fisik. Alih Bahasa : Lumanto,
Davis, M.K., (2010). ABC gagal jantung: gagal jantung kongestif di community trends dalam insiden dan kelangsungan hidup dalam jangka waktu 10 tahun. BMJ: 297-300. Di akses tanggal 3 Juni 2015
Emedicine.medscape.com/article/163062-overview. Di akses 3 Juni 2015Henny. Jakarta : EGC.
Katzung, BG. (2001). Farmakologi Dasar Klinik. Jakarta : Salemba Medika.
Mahanani, D.A., Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P. (eds). 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC. pp: 517.
Mansjoer, Arif et al. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Nafraldi. (2009). Diuretik dan Antidiuretik. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Editor: Sulistia Gan Gunawan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Palupi, Rita Khairani. (2007). Gagal Jantung. Dalam Kumpulan Kuliah Kardiologi. Jakarta.
Price W, Wilson LM. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Sherwood, L. (2007). Human Physiology: From Cells to Systems. 5th ed. Jakarta : EGC.
Sitompul, Barita., Sugeng, JI. (2003). Gagal Jantung. Dalam :Buku Ajar Kardiologi. Editor : Rilanto, LI dkk. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
World Health Organization. (2007). Health Information Worldwide. WHO.