laporan tutorial kel vi.docx

43
LAPORAN TUTORIAL BLOK KEDOKTERAN TROPIS MODUL I : LESU OLEH: KELOMPOK VI Ivana Yusuf Andi As’as Mubarak Reskiyani Ashar Nur Ismiastuty Alimuddin Dewi Sartika Azhar Fauzan Miftahulhaq H. Ali Ahmad Yani Sahfirani Harry Murdi Abbas PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2013

Upload: muh-aditya-manulusi

Post on 27-Oct-2015

872 views

Category:

Documents


35 download

DESCRIPTION

laporan tutor, sebagai pra-syarat memasuki pleno kasus yang didiskusikan

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDOKTERAN TROPIS

MODUL I : LESU

OLEH:

KELOMPOK VI

Ivana Yusuf

Andi As’as Mubarak

Reskiyani Ashar

Nur Ismiastuty Alimuddin

Dewi Sartika

Azhar Fauzan

Miftahulhaq H. Ali

Ahmad Yani

Sahfirani

Harry Murdi Abbas

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2013

Page 2: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

SKENARIO

Seorang anak perempuan berumur 8 tahun diantar ibunya ke puskesmas dengan

keluhan lesu. Gejala ini juga disertai dengan penurunan nafsu makan dan tidak mempunyai

keinginan belajar dan bermain. Keadaan ini dialami oleh anak tersebut sejak 8 bulan yang

lalu sejak pulang dari berlibur di kampungnya di kabupaten Mamuju selama 1 bulan.

ANALISIS KUNCI

• Anak perempuan

• Usia 8 tahun

• Lesu, sejak 8 bulan lalu

• Kabupaten Mamuju

PERTANYAAN

1. Apa saja yang dapat menyebabkan lesu?

2. Bagaimana patomekanisme lesu?

3. Penyakit apa saja yang memiliki gejala lesu?

4. Bagaimana menegakkan diagnosisnya?

5. Bagaimana penatalaksanaannya?

6. Bagaiman pencegahannya?

7. Bagaimana prognosisnya?

PEMBAHASAN

1. Terjadinya suatu penyakit dapat disebabkan oleh dua hal yaitu penyebab infeksi dan non-infeksi. Pada diskusi kelompok, kami hanya membahas Lesu dari aspek kausa infeksi.Definisi lesu atau malaise itu sendiri adalah ...Penyakit infeksi, khususnya Penyakit parasitik yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia antara lain :a. Malaria b. Toksoplasmosis c. Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah(soil transmitted

helmints) d. Filariasis e. mikosis superfisialis

Walaupun begitu, berdasarkan data dari kasus yaitu :

Page 3: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

• Anak perempuan berumur 8 tahun • Keluhan utama Lesu sejak 8 bulan lalu • Setelah berlibur di Mamuju

Maka arah diskusi kami hanya menuju pada penyakit Malaria, Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helmints) dan Filariasis.

2. Patomekanisme Lesu

Penjelasan bagan

1. Infeksi parasit yang dapat menyebabkan terjadinya hemolisis eritrosit adalah adanya

infeksi plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina(hospes

definitif). Seperti kita ketahui, habitat yang paling disukai oleh plasmodium dalam

tubuh manusia adalah eritrosit, yang digunakan sebagai tempat untuk reproduksi

aseksual . Sehingga, apabila plasmodium menginfeksi, dan menyebabkan eritrosit

pecah sehingga mengeluarkan plasmodium dalam darah, maka akan terjadi interaksi

antigen (plasmodium) dan antibodi yang menyebabkan dilepaskannya sitokin(IL-1,

TNF α) yang dapat merangsang pusat thermoregulator tubuh (hipothalamus) sehingga

menyebabkan gejala demam. Gejala demam ini merupakan gejala utama dari penyakit

malaria. Anemia terjadi apabila jumlah eritorit yang pecah sangat banyak sehingga

menyebabkan berkurangnya kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Anemia

ini bila berlangsung terus-menerus akan memberikan manifestasi lesu pada anak.

Page 4: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

2. infeksi parasit yang mengambil nutrisi pada tubuh manusia. Nutrisi yang dimaksud

dalam hal ini adalah bahan-bahan pembentuk darah seperti :

a. asam folat, dan vitamin B12 yang merupakan bahan pokok pembentuk inti sel

b. Fe : sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin

c. cobalt,magnesium, Cu, Zn, asam amino, dll.

Apabila terjadi defisiensi salah saru darii zat-zat tersebut, maka akan mengganggu

pembentukan eritrosit yang baru juga mempengaruhi pembentukan hemoglobin. Sehingga

apabila terus terjadi dapat mengakibatkan terjadinya anemia.

Parasit yang hidup dengan menyerap zat-zat makanan yang terdapat pada mukosa

usus apabila menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Taenia

saginata, Taenia solium , Schistosoma japonicum,dll.

3. infeksi parasit yang dapat menghisap darah.

Pada infeksi kronik parasit penghisap darah seperti jenis cacing tambang dan

Strongyloides stercoralis, dapat terjadi anemia hipokrom mikrositer.

4. infeksi Enterobius vermicularis dapat memberikan gejala berupa pruritus ani yang

khususnya bermenifestasi saat malam hari. Sehingga, akan mengganggu tidur

penderita yang akhirnya dapat menyebabkan lesu.

3. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan lesu

Berdasarkan epidemiologi dan prevalensi terjadinya penyakit khususnya di daerah

Sulawesi Barat (Kab. Mamuju) maka differensial diagnosisnya yaitu :

o Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah(soil

transmitted helminths)

Alasannya : Pada kasus ini, pasien sebelumnya pernah berlibur ke Kab. Mamuju

selama 1 bulan. Menurut laporan epidemiologi dari Dinkes Polewali Mandar tahun

2009 disebutkan bahwa prevalensi kecacingan pada anak SD di tahun 2009 kembali

tinggi yaitu sekitar 64,5 % setelah pada dua tahun sebelumnya (2007) prevalensi

kecacingan ini hanya sekitar 13,26 %. Penurunan prevalensi pada tahun 2007 tersebut

terjadi karena pada tahun 2005 dimana angka kecacingan pada daerah ini mencapai

angka 35-45 %, mendapat intervensi dari pemerintah yaitu pemberian obat cacing

pada anak SD (pirantel pamoat dan Albendazole) serta pengembangan Perilaku

Page 5: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan perbaikan sarana air bersih serta sanitasi.

Intervensi ini telah memberikan hasil yang sangat signifikan dittahun 2006-2007.

Pada tahun 2008 intervensi tersebut tidak dilakukan lagi secara maksimal bahkan

cenderung diabaikan, dengan alasan prevalensi kecacingan di tahun 2007 telah turun

sampai batas indikator yang dikatakan sebagai kategori ringan. Hal iniah yang

mengakibatkan mulai tahun 2009 kembali terjadi peningkatan prevalensi kecacingan

di daerah tersebut . (Sumber : Laporan Epidemiologi Epidemiologi dinkes Polewali

Mandar 2009)

Walaupun tidak ada data mengenai prevalensi kecacingan khususnya di kab.

Mamuju, akan tetapi data dari Kab. Polewali Mandar yang memiliki daerah

geografis yang sama dengan Kab. Mamuju sudah dapat menggambarkan tentang

angka kejadian kecacingan yang masih tinggi di Sulawesi barat sampai pada data

tahun 2009. Atas dasar itulah mengapa Penyakit yang disebabkan cacing yang

ditularkan melalui tanah ini menjadi salah satu diferensial diagnosis kelompok kami.

o Malaria

Alasannya : karena daerah Mamuju masih merupakan daerah endemis kejadian

Malaria. Akan tetapi, jika dilihat dari keluhan utama pasien yaitu lesu, maka penyakit

Malaria ini tidak dapat dimasukkan sebagai Diferensial diagnosis, kecuali ada data

yang menyebutkan bahwa pasien sebelumnya pernah mengalami demam.

o Filariasis

Alasannya : Dalam modul eliminasi penyakit kaki gajah yang diterbitkan oleh Depkes RI

melalui Ditjen PPM dan PL direktorat P2B2 subdit Filariasis dan Scistosomiasis (2002)

endemisitas kejadian filariasis salah satunya juga terdapat di Kab. Mamuju, Sulawesi Barat.

Terbukti sampai pada tahun 2010 pemerintah setempat(berkoordinasi dengan Subdit filariasis

& schistomiasis, Direktorat P2B2, ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia) masih memberikan obat anti filaria secara massal pada warganya. Hal ini

menunjukkan bahwa masih tingginya kejadian Filaria di daerah tersebut.

4. Differensial diagnosis

I. Ascariasis

A. Definisi

Ascariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris

lumbricoides biasa disebut “round worm of man ” yaitu suatu penyakit parasit usus

pada manusia yang terbesar, disebut juga cacing gelang. Penyebarannya luas dan

Page 6: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

merata di daerah tropik, sub-tropik dan lebih banyak ditemukan di daerah pinggiran

dibandingkan di kota. Cacing ini hidup di rongga usus halus. Di Indonesia, penderita

Askariasis didominasi oleh anak-anak.

B. Etiologi

Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang

dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan

keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat

sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan.

C. Morfologi

Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat

(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak

melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 -6

mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan

panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama

dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral

Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan

mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau

dipanjangkan untuk memasukkan makanan.

Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang

berdampingan dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai

korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di hipodermis;

gambaran histologinya merupakan sifat tipe polymyarincoelomyarin. Alat

reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing

jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka dan pada

cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah,

bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi.

Page 7: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Telur Ascaris lumbocoides

Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x

0-50 mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini

dikelilingi suatu membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur

cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup

sampai satu tahun. Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi

lagi oleh lapisan albuminoid yang permukaanya tidak teratur atau berdungkul

(mamillation). Lapisan albuminoid ini kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh zat

kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Didalam rongga usus, telur

memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi

(unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan mempunyai

ukuran 88-94 x 40-44 mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna coklat dengan

lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur.

D. Daur Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,

jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan

pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam vena

porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung kanan

dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi

berlangsung selama sekitar 15 hari.

Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali

kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk

sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke

oesopagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis masuk

kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian atas,

larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira

satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.

Page 8: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua

bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu

mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan

adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif.

Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur

tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari

stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif.

Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup

bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena

infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi

dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup

selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimanamana, menyebar

melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau minuman yang

mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan

berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya

dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak

langsung dengan kulit.

Page 9: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Life Circle of Ascaris lumbricoides.

E. Epidemiologi

Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak

sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena

kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka

tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh

larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit

akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides.

Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai

sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh

telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi

lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini

terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban

sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini

juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang

rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang

kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing

yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik

Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik

dengan suhu optimal adalah 23oC sampai 30oC. Jenis tanah liat merupakan tanah yang

Page 10: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka

telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan

F. Penularan

Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan yaitu masuknya

telur yang infektif kedalammulut bersama makanan atau minuman yang tercemar,

tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama

debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada saluran pernapasan

bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan memasuki aliran

darah.

G. Gejala Klinis

Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat

pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang

kena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup

besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi,

selain itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan

reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan

tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan

bagian atas. Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik

seperti obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi

cacing ke organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus

dapat menyumbat pernapasan penderita. Ada kalanya askariasis menimbulkan

manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut :

1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang menyumbat

rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.

2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam apendiks,

saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.

Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat

disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena

desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina

menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang dapat dikenali

dalam pemeriksaan histologi. Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing

Page 11: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang

khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui

pemeriksaan mikroskopik.

H. Diagnosis

Anamnesis tambahan yang bisa diajukan sesuai kasus :

1. Selain lesu, apakah pasien pernah menderita demam?

2. Apakah pasien pernah mengeluh sesak nafas?

3. apakah sebelumnya pernah ada gejala berupa muntah, nyeri perut, ataupun diare?

Untuk mendiagnosis pasti Ditemukan telur pada tinja /ditemukan cacing dewasa

pada anus, hidung, atau mulut

I. Pencegahan dan Upaya Penanggulangan

Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya

pencegahannya dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Penyuluhan kesehatan

Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene keluarga

dan hygiene pribadi seperti

Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan

dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.

Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah

dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat. Karena telur cacing Ascaris

dapat hidup dalam tanah selama bertahuntahun, pencegahan dan

pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.

Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :

1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik

ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.

2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.

3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing

misalnya memakai jamban/WC.

4. Makan makanan yang dimasak saja.

Page 12: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan

tinja sebagai pupuk

J. Pengobatan

Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban

cacing karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi ektopik

dengan akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya semua obat dapat

digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk pengobatan perseorangan

maupun pengobatan massal.

Pada waktu yang lalu obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak

chenopodium, hetrazan dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan efek

samping dan sulitnya pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini

berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan

mudah pemakaiannya

Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah :

1. Mebendazol.

Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes

yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari,

tanpa melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus

terjadi migrasi ektopik.

2. Pirantel Pamoat.

Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk

menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah ringan

dan obat ini biasanya dapat diterima (“welltolerated”). Obat ini mempunyai

keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing tambang. Obat

berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi multipel berbagai

cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.

3. Levamisol Hidroklorida.

Page 13: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang

menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam dosis

tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan berat

badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel pamoat dan

mebendazol.

4. Garam Piperazin.

Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk Enterobius

vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat diberikan dalam

dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750 mg piperazin).

Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan mebendazol. Ada

kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti berjalan tidak tetap

(unsteadiness) dan vertigo.

K. Prognosis & komplikasi

Pada umumnya baik. Kesembuhannya mencapai 70 -99%. Komplikasi bisa

disebabkan oleh cacing dewasa yang berrgerak ke organ tertentu menyebabkan

blockage usus. Komplikasi yang mungkin terjadi :

1. Penghambatan sekresi liver

2. Ileus obstrutif

3. Perforasi Usus

II. Trichuriasis

A. Morfologi

Trichuris trichiura termasuk nematoda usus yang biasanya dinamakan cacing

cemeti atau cambuk, karena tubuhnya menyerupai cemeti dengan bagian depan yang

tipis dan bagian belakangnya yang jauh lebih tebal. Cacing ini pada umumnya hidup di

sekum manusia, sebagai penyebab Trichuriasis dan tersebar secara kosmopilitan.

Trichuris trichiura jauh lebih kecil dari Ascaris lumbricoides, anterior panjang

dan sangat halus, posterior lebih tebal. Betina panjangnya 35-50 mm, dan jantan

panjangnya 30-45 mm. Telur berukuran 50-54 x 32 mikron, bentuk seperti

tempayan/tong, di kedua ujung ada operkulum (mukus yang jernih) berwarna kuning

tengguli, bagian dalam jernih, dan dalam feses segar terdapat sel telur.

Page 14: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Cacing Trichuris trichiura dewasa

Telur dengan ukuran 50-55 m x 22-24 m berbentuk seperti tempayan dengan

semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna

kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih

Telur Trichuris Trichura

Telur yang keluar bersama tinja penderita belum mengandung larva, oleh

karena itu belum infektif. Jika telur jatuh di tanah yang sesuai, dalam waktu 3-4

minggu telur berkembang menjadi infektif. Bila telur yang infektif termakan manusia,

di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum untuk

selanjutnya tumbuh menjadi dewasa. Untuk mengambil makanannya, cacing

memasukkan bagian anterior tubuhnya ke dalam mukosa usus hospes. Satu bulan

sejak masuknya telur ke dalam mulut, cacing dewasa telah mulai mampu bertelur.

Cacing ini dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia

Page 15: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Cycle hidup Trichuris trichura

B. Epidemiologi

Daerah penyebaran dari Trichuris trichiura, sama dengan Ascaris lumbricoides,

sehingga kedua cacing ini sering di temukan bersama-sama dalam 1 hospes. Di

Indonesia, Frekuensinya tinggi, terutama didaearah-daerah pedesaan, antara 30% - 90%.

Terutama ditemukan pada anak-anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trichuriasis

adalah kontaminasi tanah oleh feses penderita, yang akan berkembang dengan baik

pada tanah liat, lembab dan teduh.

Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan

tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira

30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun

merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa

daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang

sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis,

pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan

perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik

sayuran yang dimakan mentah adalah pentingapalagi di negera-negera yang memakai

tinja sebagai pupuk

C. Gejala Klinik

Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi

dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak,

cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa

rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu

defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi

trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat

perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini mengisap

darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.

Gejala klinik hanya timbul jika terdapat infeksi yang berat. Penderita mengalami

anemia yang berat dengan hemoglobin di bawah 3 %, diare disertai oleh tinja yang

berdarah, nyeri perut dan muntah-muntah serta mual. Berat badan penderita akan

Page 16: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

menurun. Kadang-kadang pada anak dan bayi terjadi prolaps dari rektum dengan cacing

tampak melekat pada mukosa.

D. Penularan

Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga

ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini

tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektu yang

mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini

memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang

menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat

menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya

sehingga dapat menyebabkan anemia.

E. Diagnosis

Anamnesis tambahan yang dapat diajukan sesuai dengan kasus:

1. Selain lesu, apakah anak pernah mengalami diare dengan tinja berdarah?

2. Adakah penurunan berat badan ?

3. Apakah ada nyeri perut dan mual yang dirasakan sebleumnya?

Untuk diganosis pasti Ditemukannya telur atau cacing pada pemeriksaan tinja.

F. Pengobatan

- Perawatan umum

Hygiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi kalori, sedangkan anemia

dapat diatasi dengan pemberian preparat besi.

- Pengobatan spesifik

Bila keadaan ringan dan tak menimbulkan gejala, penyakit ini tidak diobati.

Tetapi bila menimbulkan gejala, dapat diberkan obat.

Diltiasimin Jodida, diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg bb/hari selama 3-5

hari.

Stilbazium Yodida, diberikan dengan dosis 10 mg/kg bb/hari, 2 kali sehari

selama 3 hari dan bila diperlukan dapat diberikan dalam waktu yang lebih

lama. Efek samping obat ini adalah rasa mual, nyeri pada perut dan warna

tinja menjadi merah.

Page 17: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Heksiresorsinol 0,2%, dapat diberikan 500 ml dalam bentuk enema, dalam

waktu 1 jam.

Mebendazole, diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari, atau

dengan dosis tunggal 600 mg.

G. Komplikasi

Bila infeksi berat dapat terjadi perforasi usus atau prolapsus rekti

H. Prognosis

Dengan pengobatan yang adekuat prognosis baik

III. Filariasis

A. Definisi

Filariasis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh infestasi satu

atau dua cacing jenis filarial yaitu Wucheria bancrofti atau Brugia malayi. Cacing

filarial ini termasuk family filaridae, yang bentuknya langsing dan ditemukan di

dalam system peredaran darah limfe, otot, jaringan ikat atau rongga serosa pada

vertebrata. Cacing bentuk dewasa dapat ditemukan pada pembuluh dan jaringan limfa

pasien.

B. Siklus Hidup & morfologi

Hospes definitif adalah hanya manusia. Penularan penyakit ini melalui vector

nyamuk yang sesuai. Cacing bentuk dewasa tinggal di pembuluh limfe dan

mikrofilaria terdapat di oembuluh darah dan limfe.

Pada manusia W. bancrofti dapat hidup selama kira-kira 5 tahun. Sesudah

menembus kulit melalui gigitan nyamuk, larva meneruskan perjalanannya ke

pembuluh dan kelenjar limfe tempat mereka tumbuh sampai dewasa dalam waktu satu

tahun. Cacing dewasa ini sering menimbulkan varises saluran limfe anggota kaki

bagian bawah, kelenjar ari-ari, dan epididymis pada laki-laki serta kelenjar labium

pada wanita. Mikrofilaria kemudian meninggalkan cacing induknya, menembus

dinding pembuluh limfe menuju ke pembuluh darah yang berdekatan atau terbawa

oleh saluran limfe ke dalam aliran darah.

Page 18: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Wuchereria bancrofti Brugia malayi Brugia timori

Cacing jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe; bentuknya halus

seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria

yang bersarung. Microfilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi

pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya,

microfilaria W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya microfilaria hanya

terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari, microfilaria terdapat

di kapiler alat dalam paru, jantung, ginjal dan sebagainya.

C. Epidemiologi

Menurut Laurence (1967) dalam Soeyoko, 2002) penyakit kaki gajah telah

dikenal 600 tahun sebelum Masehi, sejak diketahui ada seorang pengikut agama

Budha menderita kakinya bengkak seperti kaki gajah sehingga orang tersebut diusir

dari lingkungannya. Filariasis limfatik mempengaruhi lebih dari 170 juta orang di

seluruh dunia dan ditemukan di tempat tropik dan subtropik. Sekurang-kurangnya

Page 19: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

terdapat 21 juta penderita limfatik filariasis di equatorial Afrika dan amerika selatan

filariasis di seluruh dunia masih terus meningkat.

Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan di Jakarta yaitu dengan

ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula maka Jakarta diketahui

endemik filariasis limfatik yang disebabkan oleh W. bancrofti. Mikrofilaria dari filaria

tersebut mempunyai morfologi yang berbeda dengan W. bancrofti. Demikian juga

manifestasi klinisnya berbeda dengan manifestasi klinis oleh infeksi W.bancrofti.

Brugia malayi belum teridentifikasi sampai tahun 1927, pada saat itu masih

dinamakan Filaria malayi. Pada tahun yang sama Lichtenstein merubah nama genus

menjadi Brugia tetapi nama spesies tetap. Pinhao dan David dan Edeson (1961) dalam

Sudomo, 2008) telah menemukan mikrofilaria yang mirip dengan microfilaria

B.malayi pada manusia di Timor Portugis.

Biasanya daerah endemik B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa (swampy

forest), sepanjang sungai besar atau badan air yang lain. Sedangkan daerah endemik

W. bancrofti perkotaan adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan

banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor parasit tersebut, yaitu Cx.

Quinquefasciatus, tidak seperti W. bancrofti, gambaran epidemiologi B. malayi lebih

rumit. Spesies Brugia malayi di Indonesia dibagi menjadi tiga bentuk (strain) yang

dibagi menurut periodisitas mikrofilaria di dalam darah, yaitu bentuk periodik

nokturna, sub-periodik nokturna dan non- periodik. Walaupun antara berbagai tipe B.

malayi dapat dibedakan secara morfologi dan epidemiologi, tetapi manifestasi

klinisnya sama saja.

Page 20: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

D. Patologi

Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembuluh getah bening

akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh mikrofilaria.

Cacing dewasa hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah

bening dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding

pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan disekitar

pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel

endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku-likunya system limfatik dan

kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah bening.

Limfedema dan perubahan kronik akibat stasis bersama dengan edema keras

terjadi pada kulit yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada kulit

yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat filariasis ini disebabkan

oleh efek langsung daric acing ini dan oleh respon imun pejamuterhadap parasit.

Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses granulomatosa dan proliferasi yang

menyebabkan obstruksi total pembuluh getah bening.

E. Gejala Klinik

Gejala klisnis filariasis limfatik disebabkan oleh microfilaria dan cacing

dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Microfilaria biasanya tidak menimbulkan

kelainan tetapi dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala

yang disebabkan oleh cacing dewasa menyebabkan limfadenitis dan limfagitis

retrograd dalam stadium akut, disusul dengan obstruktif menahun 10 sampai 15 tahun

kemudiam. Perjalanan filariasis dapat dibagi beberapa stadium: stadium

mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium menahun. Ketiga

stadium tumpang tindih, tanpa ada batasan yang nyata. Gejala klinis filariasis

bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan dengan yang

terdapat di daerah lain.

Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan

limfosintigrafi menunjukkan adanya kerusakan limfe. Cacing dewasa hidup dapat

menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi pada saluran limfe, disebut

lymphangiektasia. Jika jumlah cacing dewasa banyak dan lymphangietaksia terjadi

secara intensif menyebabkan disfungsi system limfatik. Cacing yang mati

menimbulkan reaksi imflamasi. Setelah infiltrasi limfositik yang intensif, lumen

tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan sirkulasi limfatik terus berlanjut

Page 21: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

pada individu yang terinfeksi berat sampai semua saluran limfatik tertutup

menyebabkan limfedema di daerah yang terkena. Selain itu, juga terjadi hipertrofi otot

polos di sekitar daerah yang terkena

Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe,

berupa limfaadenitis dan limfagitis retrograd yang disertai demam dan malaise.

Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali setahun dan berlangsung

beberapa hari sampai satu atau dua minggu lamanya. Peradangan pada system

limfatik alat kelamin laki-laki seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis sering

dijumpai. Saluran sperma meradang, membengkak menyerupai tali dan sangat nyeri

pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang tersebut menyerupai

hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling sering dijumpai

adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan elephantiasis yang

mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan vulva. Kadang-

kadanag terjadi kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena

dilatasi pembuluh limfe pada system ekskretori dan urinary. Umumnya penduduk

yang tinggal di daerah endemis tidak menunjukan peradangan yang berat walaupun

mereka mengandung mikrofilaria.

F. Diagnosis

Cara diagnosis filariasis yang benar mutlak harus diketahui agar dapat

mengidentifikasi daerah-daerah yang menjadi sumber penularan dan perlu

mendapatkan prioritas pengobatan serta dapat menemukan daerah endemis baru. Cara

diagnosis tepat juga mempunyai peran penting untuk mengevaluasi keberhasilan

program pengendalian filariasis di suatu daerah. Ketajaman diagnosis sangat

diperlukan untuk keberhasilan Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2010.

Kondisi Indonesia yang sangat bervariasi membutuhkan beberapa metoda

diagnosis, dimana pengelola program filariasis di daerah dapat memilih cara diagnosis

sesuai dengan kemampuan dan fasilitas tersedia. Diagnosis filariasis limfatik telah

banyak mengalami perkembangan dari cara konvensional sederhana dan murah

sampai cara diagnosis biaya mahal mempergunakan alat-alat yang canggih hanya

dapat dilakukan di laboratorium tertentu. Cara diagnosis tersebut di antaranya:

pemeriksaan klinis, pemeriksaan langsung darah segar ujung jari, pemeriksaan darah

jari/vena dengan pewarnaan, pemeriksaan darah dengan quantitatif buffy coat (QBC),

pemeriksaan ultrasound (filaría dance sign) terutama untuk evaluasi hasil pengobatan

Page 22: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

dan hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh W. bancrofti, pemeriksaan

serologis deteksi antibodi, deteksi antigen beredar dengan teknik ELISA Sandwich

menggunakan antibodi monoclonal, immuno chromatographic test (ICT Filariasis)

merupakan cara diagnosis filariasis paling sensitif pada saat ini deteksi DNA dengan

metoda polymerase chain reaction (PCR) dan lymphangiography.

Pemeriksaan klinis merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah tapi

gejala klinis filariasis sangat bervariasi, mempunyai spektrum sangat luas dan sangat

tergantung masing-masing individu dan spesies penyebabnya. Penderita tidak

menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik), atau menunjukkan gejala-gejala akut

dan ada yang berkembang menjadi kronik. Gejala-gejala klinis seperti demam,

limfadenitis, limfangitis desendens, abses, funikulitis, epididimitis dan orkitis sifatnya

sementara dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan serta dapat terjadi

berulangulang.

Gejala akut (demam) biasanya muncul jika penderita bekerja berat (kelelahan)

dan segera hilang setelah istirahat penuh. Limfadenitis dan limfangitis dapat timbul

pada sistem limfe dimana saja, tetapi kebanyakan di daerah lipat paha kemudian

menjalar ke arah distal (desendens) terlihat sepert tali berwarna merah dan terasa

nyeri. Gejala kronik seperti sikatrik, hidrokel testis dan elephantiasis sifatnya

menetap. Pada filariasis bancrofti dapat terjadi elephantiasis pada seluruh kaki atau

lengan sedangkan pada filariasis malayi atau timori hanya terjadi elefantiasis di

bawah lutut. Di daerah endemik filariasis munculnya gejala-gejala klinis bervariasi,

ada yang cepat, ada yang lambat sampai beberapa tahun, tetapi ada yang tidak

menunjukkan gejala klinis sama sekali sepanjang hidupnya walaupun sudah terinfeksi

filaria.

Penduduk berasal dari daerah non-endemis filariasis apabila terkena infeksi

pada umumnya akan menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya lebih cepat daripada

penduduk asli dan penderita tampak sakit lebih berat. Diagnosis filariasis berdasarkan

pemeriksaan klinis memang murah dan cepat, namun banyak kelemahannya karena

sebagian besar penderita walaupun telah terinfeksi filaria tidak menunjukkan gejala

klinis sama sekali (asimtomatik) terutama pada penduduk asli, sehingga diperlukan

konfirmasi cara diagnosis lainnya.

Pemeriksaan klinis dapat dimanfaatkan untuk dengan cepat memperkirakan

atau menentukan tingkat endemisitas suatu daerah, karena berdasarkan pengalaman

beberapa kali penelitian dapat disimpulkan bahwa jika diantara 1000 penduduk

Page 23: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

ditemukan seorang menderita elephantiasis dapat diperkirakan ada 10 penderita

menunjukkan gejala klinis akut dan kurang lebih terdapat 100 penderita yang didalam

darahnya terdapat mikrofilaria (10%). Keadaan ini menyebabkan daerah tersebut

dengan cepat dapat diperkirakan tingkat endemisitasnya, yaitu 10% (Dep.Kes.RI.,

1999). Atau hasil pemeriksaan klinis merupakan petunjuk awal ditemukannya daerah

endemik filariasis baru, dan hasil temuan ini harus segera dilanjutkan dengan

pemeriksaan darah ujung jari untuk menentukan angka mikrofilaria di daerah tersebut

dengan pasti.

Konfirmasi diagnosis filariasis yang paling tepat dan murah adalah dengan

cara pemeriksaan mikroskopis darah ujung jari untuk mengetahui adanya mikrofilaria.

Darah ujung jari yang diambil waktu malam hari dapat dipulas dengan Giemsa atau

dilihat secara langsung dengan mikroskop. Pemeriksaan darah segar tanpa pewarnaan

secara langsung sangat bermanfaat bagi daerah baru yang masyarakatnya belum

mengenal filariasis dan cara diagnosis ini sekaligus dapat digunakan sebagai media

penyuluhan.

Anamnesia tambahan yang dapat diajukan sesuai dengan kasus yang dibahas

1. Apakah gejala lesu ini pertama kali dialami oleh anak tersebut?

2. Apakah sebelumnya pernah mengalami demam berulang selama 3- 5 hari?

3. Apakah ada pembengkakan didaerah lipatan paha atau ketiak?

G. Pengobatan

- Perawatan Umum

Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan

mengurangi derajat serangan akut.

Antibiotic dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses.

Pengikatan di daerah bendungan akan mengurangi oedema.

- Medikamentosa

Obat pilihan dapat diberikan dietilkarbamasin sitrat (DEC). Dosis untuk filariasis

bancrofti adalah 6 mg/kg BB/hari selama12 hari dan dosis ini dapat diulang 2-

3kali. Dosis untuk filariasis brugia adalah 5 mg/kg BB/hari selama 10 hari dan

dosis ini dapat diulang 2-3 kali.

- Pembedahan

Page 24: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Pada elephantiasis membutuhkan tindakan pembedahan

H. Pencegahan

- Pencegahan massal

Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol vektor (nyamuk).

Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasite

(4-8 tahun). Baru-batu ini, khususnya dengan dikenalnya pengobatan dosis

tunggal, sekali pertahun, 2 regimen obat (Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200

mg/kgBB cukup efektif). Hal ini merupakan pendekatan alternative dalam

menurunkan jumlah mikrofilaria dalam populasi.

Pada pengobatan massal program pengendalian filariasis) pemberian DEC

dosis standar tidak dianjuran lagi mengingat efek sampingnya. Untuk out, DEC

diberikan dengan disis rendah (6mg/kgBB), dengan jangka waktu pemberian yang

lebih lama untuk mecapai dosis total yang sama misalnya dalam bentuk garam

DEC 0,2-0,4% selama 9-12 bulan. Atau pemberian obat dapat dilakukan

seminggu sekali, atau dosis tunggal setiap 6 blan atau 1 tahun.

I. Prognosis

Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah

dari tempat endemic. Pengawasan daerah endemic tersebut dapat dilakukan dengan

pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama

dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.

IV. Infeksi cacing tambang

A. Definisi

Ada beberapa spesies cacing tambang yang penting, diantaranya

Hospes ia manusia :

Necator americanus

Ancylostoma duodenale

Hospes anjing dan kucing :

Ancylostoma braziliense

Ancylostoma ceylanicum

Ancylostoma caninum

Page 25: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Apabila disebabkan oleh Necator americanus, maka penyakitnya disebut

Necatoriasis. Bila penyebabnya Ancylostoma duodenale, penyakitnya disebut

Ancylostomiasis. Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat

lain dengan keadaan yang sesuai. Perbedaan antara kedua cacing ini adalah pada suhu

optimum yang dibutuhkan untuk bertumbuh. Untuk N. Americanus adalah 28 C -⁰

32 C dan untuk ⁰ A. Duodenale sedikit lebih rendah : 23 C - 25 C. Inilah sebab⁰ ⁰

mengapa N. Americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A. duodenale.

B. Etiologi

Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A. duodenale juga

dapat terjadi dengan menelan larva filariform. Karakteristiknya adalah sebagai

berikut :

Karakteristik N. americanus A. duodenale

Ukuran cacing dewasa

- Jantan

- Betina

Umur cacing dewasa

Lokasi cacing dewasa

Masa prepaten

Jumlah telur / cacing

betina/hari

Rute infeksi

0,7 – 0,9 cm

0,9 – 1,1 cm

3 – 5 tahun

Usus halus

49 – 56 hari

5000 – 10.000

Perkutan

0,8 – 1,1 cm

1,0 – 1,3 cm

1 tahun

Usus halus

53 hari

10.000 – 25.000

Oral, perkutan

C. Daur hidup

Cacing dewasa hidup melekat pada mukosa usus halus. Cacing betina N.

americanus bertelur ± 9.000 butir, sedangkan A.duodenale ± 10.000 butir perhari. Telur-

telur tersebut keluar bersama dengan tinja penderita, setelah 1 – 1½ hari telur menetas

Page 26: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

mengeluarkan larva rhabditiform. Dalam waktu 3 - 5 hari larva rhabditiform tumbuh

menjadi Filariform (bentuk infektif) yang dapat menembus kulit (tanah yang baik untuk

pertumbuhan larva adalah tanah gembur tercampur humus dan terlindung dari sinar

matahari, suhu utk N. americanus 28 - 32 °C, sedangkan A. duodenale 23 – 25 °C). Cara

infeksi adalah larva filiriform menembus kulit masuk kapiler darah, mengikuti aliran

darah ke jantung kanan lalu ke paru. Setelah sampai diparu larva filariform Menembus

dinding alveolus masuk ke alveolus kemudian ke bronkiolus, bronkus, trakea sampai ke

faring.

Dari faring larva tertelan masuk ke esofagus, lambung, usus halus. Setelah

sampai di usus halus larva filariform berkembang menjadi cacingdewasa jantan dan

betina yang melekat pada mukosa usus halus.Waktu yang diperlukan mulai larva

filariform menembus kulit sampai menjadi dewasa di usus halus 10 -12 minggu.

Cacing dewasa dapat hidup selama ± 5 tahun. Seekor cacing N. americanus dapat

mengisap darah 0,05 – 0,1cc perhari, sedangkan A.duodenale mengisap darah 0,08 –

0,34 cc perhari.

Page 27: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

D. Epidemiologi

Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah

pedesaan, khususnya di perkebunan. Pada umumnya prevalensi cacing tambang

berkisar 30 – 50 % di berbagai daeraah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi

ditemukan didaerah perkebunan.

E. Patologi dan gejala klinis

Walaupun memiliki sifat yang hampir sama, N.americanus dan A.duodenale

memberikan gejala yang berbeda.

1. Stadium larva

- Pada saat menembus kulit menimbulkan rasa gatal yang disebut “Ground itch”

- Pada paru-paru biasanya tanpa gejala, kadang-kadang menyebabkan pneumonistis

2. Cacing dewasa :

Gejalanya tergantung pada :

Jumlah cacing

Keadaan gizi penderita (Fe dan protein)

Species cacing

Infeksi akut yang ringan biasanya tanpa gejala

Infeksi menahun yang sedang/berat menyebabkan Anemia hipokrom

mikrositer dengan gejala pucat, lemah, lesu, letih.

Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan

berkurang dan prestasi kerja turun.

F. Diagnosis

Anamnesis tambahan yang dapat diajukan sesuai dengan kasus:

1. Apakah pernah merasakan gatal pada telapak kaki misalnya?

2. Bagaimana dengan kebiasaan anak memakai sendal di luar rumah

Diagnosis pasti Ditemukan :

Page 28: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

telur dalam tinja segar

larva rhabditiform atau filariform dalam tinja lama

G. Pengobatan

Obat pilihan I Obat pilihan II

1) Mebendazol

Dosis : 2 kali 100 mg selama 3

hari

2) Pirantel pamoat

Dosis :

- A.duodenale: dosis tunggal 10

mg/kgBB

- N.americanus : sda, selama 3 hari

Albendazol

Dosis : dosis tunggal 400

mg

H. Prognosis

Pengobatan yang adekuat, umunya prognosis baik

Daftar Pustaka

Staf pengajar Departemen parasitologi, FKUI, jakarta. Buku ajar Parasitologi kedokteran, FK-UI . 2008. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Departemen Farmakologi dan terapeutik, FKUI.Farmakologi dan Terapi, ed. 5 (cetak ulang dan perbaikan). 2009. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Widoyono. Penyakit Tropis. 2006. Penerbit Erlangga: Jakarta

Page 29: LAPORAN TUTORIAL kel VI.docx

Arsad Rahim Ali. Prevalensi kecacingan Anak SD di Polewali Mandar Kembali tinggi. Dikutip dari Laporan Epidemiologi dinkes Polewali Mandar 2009. arali2008.wordpress.com Diakses : 15 juni 20113.

Rasmaliah. Askariasis sebagai penyakit cacing yang perlu diingat kembali. Epidemiologi FKM-USU. repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 15 juni 2013

Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P (K),MARS ( Direktur jendral pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan (P2PL) kementrian kesehatan). Penyakit kecacingan Masih dianggap sepele. www. depkes.go.id . Diakses tanggal 15 Juni 2013

USU repository open Acces: Hubungan Antara Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Askariasis Pada Anak SD Negeri 068426 Belawan.

Depkes RI, Ditjen PPM & PL direktorat P2B2 subdit Filariasis dan Scistosomiasis (2002), Pedoman pengobatan massal penyakit kaki Gajah (Filariasis), Jakarta. (Dikutip dari Filariasis, Haryono Setyowidodo, Prodi ilmu kedokteran tropik, UNAIR, program pendidikan Magister, 2010).

Rencana Nasional, program akselerasi eliminasi filariasis di Indonesia, 2010 – 2014 www.pppl.depkes.go.id.