laporan terumbu fix 2

24
LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN “Estimasi Tutupan Terumbu Karang dengan metode Point Intercept Transect (PIT)” Oleh: NURUL HAFAZAH G1a 010 005 Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram

Upload: nurul-hafazah

Post on 29-Dec-2015

99 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Terumbu Fix 2

LAPORAN PRAKTIKUM

EKOLOGI HEWAN

“Estimasi Tutupan Terumbu Karang dengan metode Point Intercept Transect (PIT)”

Oleh:

NURUL HAFAZAH

G1a 010 005

Program Studi Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Mataram

2013

Page 2: Laporan Terumbu Fix 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang (coral reef) merupakan kelompok organisme yang hidup di

dasar perairan laut dangkal, terutama di daerah tropis. Meskipun ditemukan hampir di

seluruh dunia, baik di perairan kutub maupun perairan ugahari, tetapi hanya di daerah

tropik terumbu dapat berkembang. Karenanya pembentukan terumbu karang digunakan

untuk membatasi lingkungan laut tropik.

Terumbu karang yang paling tinggi keanekaragamannya di Indonesia dan bahkan

di dunia ada di wilayah Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Kawasan Timur

Indonesia terdiri dari banyak pulau kecil, perairannya dalam dan bersih karena sungai

yang bermuara di laut sedikit. Berbagai tipe terumbu karang dapat ditemui, khususnya

terumbu cincin (atoll atau pseudo-atoll) yang jumlahnya mencapai 55 buah. Salah satu di

antaranya adalah atol Takabonerate yang berada di Sulawesi Selatan dan merupakan atol

terbesar di Indonesia (Dahuri, 2003).

Tiga pulau kecil (Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air) di bagian timut laut

Lombok dilaporkan memiliki terumbu karang yang indah. Karang yang mengelilingi

ketiga pulau ini membentuk karang tepi, yang lebarnya antara 100-400 m. Survei karang

di ketiga pulau ini menemukan 148 jenis karang berbatu yang berasal dari 54 marga,

dengan Acropora spp yang hidup pada kedalaman 3-15 m sebagai marga yang dominan di

Gili Meno dan Gili Terawangan. Luas keseluruhan Terumbu karang di tiga pulau ini

sekitar 430 ha, dengan persentase penutupan karang hidup antara 60-80% yang

dikategorikan sebagai kondisi baik (Suharsono, 1993).

Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui

kondisi kesehatan terumbu karang saat ini khususnya di perairan Gili Meno yang

didasarkan pada nilai persentase penutupan karang hidup. Salah satu metode yang

digunakan dalam kajian ini adalah metode Point Intercept Transect (PIT). Metode PIT

merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup

dan biota pendukung lainnya di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan

dalam waktu yang cepat. Penentuan kondisi terumbu karang dengan metode PIT

didasarkan pada ersen tutupan (% cover), bentuk pertumbuhan (lifeform), substrat dasar

atau komunitas bentos di ekosistem terumbu karang dalam satuan persen secara aca,

Page 3: Laporan Terumbu Fix 2

dengan menggunakan tali bertanda sebagai titiknya (point) di setiap jarak 1 meter atau

juga dengan roll meter.

1.2 Tujuan

Untuk menentukan kondisi kesehatan terumbu karang di perairan Gili Meno

dengan menggunakan metode Point Intercept Transect (PIT).

1.3 Manfaat

Dapat mengetahui kondisi kesehatan terumbu karang perairan Gili Meno saat ini

dan dapat sebagai informasi untuk penelitian berikutnya.

Page 4: Laporan Terumbu Fix 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang

efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut

Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis

dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam

simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis

yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik

berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.

Selanjutnya Sumich (1992) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga

menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon

dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:

Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2

Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu

menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih

cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose

dengan zooxanthellae.

Veron (1993) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang

adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap

perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan

memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Meskipun beberapa karang dapat dijumpai

dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis.

Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan

oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC.

Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu

sekitar 25oC sampai 29oC. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di

Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).

Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu:

Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai

kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut.

Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara

pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang

Page 5: Laporan Terumbu Fix 2

kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak

endapan yang datang dari darat.

Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari

pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk

pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan

biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang

datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur

laut Australia dengan panjang 1.350 mil.

Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba

didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang penghalang.

Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan.

Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di

perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998).

Terumbu karang adalah struktur di dasar laut yang berupa deposit kalsium karbonat

di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang . Karang adalah hewan tak bertulang

belakang yang termasuk dalam filum Coelentrata (hewan berongga) atau Cnidaria. Yang

dimaksud dengan hewan karang (coral) mencangkup karang dari ordo Scleractinia dan sub

kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa. Satu individu karang atau

disebut polip karang memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari yang sangat kecil 1 mm

hingga yang sangat besar yaitu lebih dari 50 cm. Namun yang pada umumnya polip karang

berukuran kecil. Polip dengan ukuran besar dijumpai pada karang yang soliter

(Timotius,2003).

Ekosistem terumbu karang memiliki karakteristik yang spesifik dan sangat

bergantung pada kondisi perairan disekitarnya. Terumbu karang membutuhkan perairan

dengan kecerahan tinggi dan intensitas cahaya yang memadai, yang biasanya berada pada

daerah paparan yang dangkal (Nybakken,1988).

Sebagai suatu ekosistem terumbu karang memiliki komponen-komponen

sebagaimana ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Secara umum, pada

ekosistem perairan komponen biotik yang berperan adalah tumbuhan hijau (produser),

bermacam-macam kelompok hewan (konsumer) dan bakteri (dekomposer). Pada ekosistem

terumbu karang, komponen produser utama adalah algae dari kelas dinophyceae yang disebut

zooxanthelae yang hidup bersimbiosis dengan binatang karang, disamping beberapa jenis

algae yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang. Sangat banyak komponen biotik yang

menempati ekosistem terumbu karang terutama adalah hewan karang itu sendiri yang sangat

Page 6: Laporan Terumbu Fix 2

banyak jumlah dan jenisnya. Selain itu, banyak jenis hewan yang berasosiasi dengan

ekosistem ini antara lain ikan-ikan karang, moluska, sponge, berbagai jenis echinodermata,

dan berbagai jenis algae. Komponen abiotik meliputi unsur dan senyawa baik organik

maupun anorganik dan parameter lingkungan berupa temperatur, oksigen, nutrien dan faktor

fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Komponen-komponen tersebut saling

mempengaruhi satu sama lain. Keterkaitan antar komponen-komponen tersebut sangat erat

sehingga perubahan salah satu komponen tersebut dapat berakibat pada berubahnya kondisi

ekosistem. Keseimbangan ekosistem akan selalu terjaga bila komponen-komponen tersebut

tetap berada pada kondisi stabil dan dinamis. Indikator kesetabilan itu dapat dilihat

berdasarkan besarnya keanekaragaman hayati (biodiversity) yang merupakan unsur biotik

dalam suatu ekosistem. Peran ekologis yang dimainkan terumbu karang adalah sebagai

daerah penyedia makanan, daerah asuhan, daerah pertumbuhan dan daerah perlindungan bagi

biota-biota yang berasosiasi dengan terumbu karang (Sunarto,2006).

Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi

sosial ekonomi dan budaya, karena hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di

daerah pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal. Terumbu karang

memiliki fungsi sebagai gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut. Tempat tinggal

sementara atau tetap, tempat mencari makan, memijah, daerah asuhan dan tempat berlindung

bagi hewan laut lainnya. Sebagai tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi, dan fisika

secara global dan memiliki tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Penyedia sumber obat-

obatan dan bahan kontruksi (Suharsono, 1996).

Supriharyono, (2002) mengemukakan bahwa sebagai salah satu ekosistem utama

pesisir dan laut, terumbu karang dengan beragam biota asosiatif dan keindahan yang

mempesona, memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai

pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai

ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh

besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nontji, (1987) menambahkan tentang

nilai ekonomis terumbu karang yang menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai

jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan

baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik.

Semakin bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan

sumberdaya yang ada di terumbu karang seperti ikan, udang lobster, tripang dan lain-lain,

maka aktivitas yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi tersebut semakin

besar pula. Dengan demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang juga akan

Page 7: Laporan Terumbu Fix 2

semain meningkat. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan dapat mengancam keberadaan

dan kelangsungan ekosistem terumbu karang dan biota yang hidup di dalamnya. Sehingga

sudah waktunya bangsa Indonesia mengambil tindakanyang cepat dan tepat guna mengurangi

laju degradasi terumbu karang akibat dieksploitasi oleh manusia. (Dahuri R., et all.2004)

Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (PWPT) sebenarnya merupakan satu

upaya yang menyatukan antara pemerintahan dengan komunitas, ilmu pengetahuan dengan

manajemen, dan antara kepentingan sektoral dengan kepentingan masyarakat dalam

mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan terpadu bagi perlindungan dan

pengembangan ekosistem pesisir dan sumberdayanya. Tujuan akhir dari PWPT adalah

meningkatkan kualitas hidup dari komunitas masyarakat yang menggantungkan hidupnya

dari sumberdaya yang terkandung di wilayah pesisir dan pada saat yang bersamaan juga

menjaga keanekaragaman hayati dan produktifitas dari ekosistem pesisir tersebut. Sehingga

untuk mencapainya diperlukan suatu perencanaan yang komprehensif dan realistis

(Darmawan, 2001).

Penggunaan metode survei dalam menggambarkan kondisi terumbu karang biasanya

disajikan dalam bentuk struktur komunitas yang terdiri dari data: persentase tutupan karang

hidup, persentase tutupan karang mati, jumlah marga, jumlah jenis, jumlah koloni, ukuran

koloni, kelimpahan, frekuensi kehadiran, bentuk pertumbuhan, indeks keanekaragaman jenis

(Suharsono, 1994).

Pengambilan data bentik dengan menggunakan metode Point Intercept Transect

(PIT) dengan ketelitian hingga Life Form. Metoda PIT digunakan dengan

mempertimbangkan keuntungan – keuntungan dari metoda tersebut yaitu dapat dilaksanakan

dengan cepat, berbiaya murah dan memungkinkan untuk melakukan pengulangan (Bianchi et

al., 2004). Pada setiap pulau terdapat dua buah site pengambilan data. Garis transek ditarik

sepanjang 50 meter ke arah laut pada tiap site tersebut. Setiap point transect berjarak 50 cm,

sehingga didapat total sebanyak 100 point transect. Pengklasifikasian data benthic mengacu

kepada English et al., (1994).

Page 8: Laporan Terumbu Fix 2

BAB III

METODE

3.1 Pelaksanaan Praktikum

Hari, Tanggal : Minggu, 23 Juni 2013

Tempat : Gili Meno, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat

- Alat tulis

- Peralatan snorkling (snorkel, masker, fins dan pelampung)

- Kamera under water

- Tali rafia (transek)

Bahan

- Komunitas bentos di ekosistem terumbu karang pada perairan Gili Meno

3.3 Prosedur Kerja

Dibagi kelompok menjadi 4, masing-masing terdiri dari 7 s/d 8 anggota. Adapun

pembagian tugas anggota kelompok sebagai berikut: Pensurvey lokasi, pemasang

transek, pembaca transek, pencatat data dan lain-lain.

Dipersiapkan perlengkapan yang akan digunakan dan dibuat tabel pendataan di kertas

anti air.

Dilakukan survey untuk menentukan lokasi praktium yang refresentatif dan aman.

Transek dipasang sejajar garis pantai sepanjang 25m dan diberi tanda sebagai titiknya

di setiap jarak 1m.

Dicatat jenis bentos bendasarkan bentuk (lifeform) dan kondisinya yang ada pada

setiap point transek.

Setelah selesai pendataan lapangan, tali transek dicabut dan digulung.

Dilakukan tabulasi (dalam tabel) dan analisis data. Analisis data yang akan dihitung

adalah % tutupan masing-masing kategori bentos, % tutupan karang hidup dan %

karang mati.

Page 9: Laporan Terumbu Fix 2

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Tabel 1

Point Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV

1. HC DC HC HC

2. HC HC HC DC

3. HC HC HC HC

4. DC HC HC DC

5. DC HC DC HC

6. HC HC R R

7. HC HC R R

8. R HC HC SC

9. R SC HC HC

10. SC R HC DC

11. R DC R R

12. HC HC HC HC

13. HC HC HC HC

14. HC HC HC HC

15. HC HC HC HC

16. SC SC R HC

17. DC HC HC HC

18. DC DC R DC

19. RK SC HC DC

20. R SC R HC

21. RK R HC RK

22. HC HC R RK

23. HC RK HC HC

24. DC HC HC HC

25. S DC R HC

Tabel 2. Tabulasi data

Page 10: Laporan Terumbu Fix 2

Kategori % Tutupan pada transek ke-

I II III IV

HC 44 56 64 56

SC 8 16 0 4

DC 20 16 4 20

R 16 8 32 12

RK 8 4 0 8

S 4 0 0 0

4.2 Analisis Data

a) % Tutupan kategori bentos

Diketahui :

Jumlah point HC = 55

Jumlah point SC = 7

Jumlah point DC = 15

Jumlah point R = 17

Jumlah point RK = 5

Jumlah point S = 1

% tutupan kategori bentos = Jumlah point bentosJumlah seluruh point

x 100%

% tutupan kategori HC = 55

100 x 100% = 55%

% tutupan kategori SC = 7

100 x 100% = 7%

% tutupan kategori DC = 15

100 x 100% = 15%

% tutupan kategori R = 17

100 x 100% = 17%

% tutupan kategori RK = 5

100 x 100% = 5%

Page 11: Laporan Terumbu Fix 2

% tutupan kategori S = 1

100 x 100% = 1%

b) % Tutupan karang hidup

% tutuan karang hidup = % HC

= 55%

c) % Tutupan karang mati

% tutupan karang mati = %DC + %R + % DCA

= 15% + 17% + 0%

= 32%

Penentuan kondisi kesehatan terumbu karang berdasarkan kriteria Gomez &

Yap (1988) sebagai berikut :

Rusak bila persen tutupan karang hidup antara 0-24.9%

Sedang bila persen tutupan karang hidup antara 25-49.9%

Baik bila persen tutupan karang hidup antara 50-74.9%

Sangat baik bila persen tutupan karang hidup antara 74-100%

4.3 Pembahasan

Praktikum kali ini tentang estimasi tutupan terumbu karang dengan menggunakan

metode point intercept transect (PIT) yang dilakukan di perairan Gili Meno. Berdasarkan

nilai persen penutupan karang hidup akan dapat ditentukan kondisi kesehatan terumbu

karang di perairan Gili Meno tersebut.

Binatang karang adalah pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Binatang

karang yang berukuran sangat kecil, disebut polip, yang dalam jumlah ribuan

membentuk koloni yang dikenal sebagai karang (karang batu atau karang lunak). Dalam

peristilahan ‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud adalah koral, sekelompok hewan

dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu.

Sedangkan “terumbu” adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang

hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di

terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah

Page 12: Laporan Terumbu Fix 2

terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di Indonesia semua

terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan koral. Sebagai hewan yang

menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya, karang merupakan komponen yang

terpenting dari ekosistem tersebut. Jadi Terumbu karang (coral reefs) merupakan

ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari

22oC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi

berbagai jenis hewan karang keras (Guilcher, 1988).

Secara teknis, penentuan kondisi terumbu karang dengan metode PIT didasarkan

pada persen tutupan (% cover) bentuk pertumbuhan (lifeform) substrat dasar atau

komunitas bentos di ekosistem terumbu karang dalam satuan persen secara acara.

Komunitas bentos yang diamati antara lain Hard Coral/HD (karang-karang yang

membentuk terumbu), Soft Coral/SC (jenis-jenis karang lunak), Death Coral/DC (karang

mati yang masih berwarna putih), Death Coral Algae/DCA (karang mati ditumbuhi alga,

Algae/Al (jenis-jenis algae), Rubble/R (patahan karang), Rock/Rk (substrat dasar yang

keras/cadas, Sand/S (pasir), dan Silt/Sl (pasir lumpur halus).

Berdasarkan hasil pengamatan, kategori bentos yang ditemukan adalah hard

coral, soft coral, death coral, rubble, rock dan sand. Hard coral ditemukan paling banyak

pada setiap transek yaitu pada transek kelompok I ditemukan sebanyak 11, transek

kelompok II sebanyak 14, transek kelompok III sebanyak 16 dan pada transek IV

ditemukan sebanyak 14 sehimgga total jumlah hard coral adalah 55. Berdasarkan jumlah

ini, % tutupan hard coral adalah 55%.

Rubble (patahan karang) ditemukan kedua paling banyak setelah hard coral di

mana pada transek kelompok I ditemukan sebanyak 4, pada transek kelompok II

sebanyak 2, pada transek kelompok III sebanyak 8 dan pada transek kelompok IV

sebanyak 3 sehingga total jumlah rubble adalah 17. jadi % tutupannya sebesar 17%.

Berdasarkan nilai % tutupan karang hidup (%HD) sebesar 55%, maka dapat

diketahui bahwa kondisi terumbu karang di perairan Gili Meno terbilang baik karena

berdasarkan kriteria Gomez dan Yap (1988), kodisi terumbu karang tergolong baik bila

% tutupan karang hidup antara 50-74,9% dan tergolong rusak bila % tutupan karang

hidup antara 0-24,9%.

Hasil ini mengindikasikan bahwa kondisi perairan Gili Meno belum tercemar,

baik yang disebabkan oleh alam maupun ulah manusia. Jika dibandingkan dengan Gili

Terawangan, Gili Meno masih jarang dikunjungi oleh para wisatawan, rumah penduduk

juga masih terbilang sedikit sehingga kerusakan akibat aktivitas manusia masih belum ta

Page 13: Laporan Terumbu Fix 2

npak. Kerusakan Ekosistem Terumbu karang tidak terlepas dari aktivitas manusia baik di

daratan maupun pada ekosistem pesisir dan lautan. Kegiatan manusia di daratan seperti

industri, pertanian, rumah tangga dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada

perairan sungai tetapi juga pada ekosistem terumbu karang atau pesisir dan lautan.

Menurut UNEP (1990) dalam Dahuri R..et al (2001) sebagian besar (80 %) bahan

pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land basic

activities). Sebagai contoh kegiatan pengolahan pertanian dan kehutanan (up land) yang

buruk tidak saja merusak ekosistem sungai melalui banjir dan erosi tetapi juga akan

menimbulkan dampak negatif pada perairan pesisir dan lautan. Melalui penggunaan

pupuk anorganik dan pestisida dari tahun ke tahun yang terus mengalami peningkatan

telah menimbulkan masalah besar bagi wilayah pesisir dan lautan (Supriharyono, 2000).

Selain itu, kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan oleh nilai

ekonomisnya yang tinggi. Semakin bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan

masyarakat akan sumberdaya yang ada di terumbu karang seperti ikan, udang lobster,

tripang dan lain-lain, maka aktivitas yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan

potensi tersebut semakin besar pula. Dengan demikian tekanan ekologis terhadap

ekosistem terumbu karang juga akan semain meningkat. Meningkatnya tekanan ini

tentunya akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem terumbu

karang dan biota yang hidup di dalamnya.

Page 14: Laporan Terumbu Fix 2

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh % tutupan karang hidup (%HD) sebesar

55% yang menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di perairan Gili Meno terbilang baik

meskipun sudah banyak aktivitas manusia tetapi belum menampakkan kerusakan ataupun

pencemaran pada perairan tersebut. Diperlukan juga suatu pengelolaan wilayah pesisir secara

terpadu untuk perlindungan dan pengembangan ekosistem pesisir dan sumberdayanya

sehingga dapat menjaga keanekaragaman hayati dan produktifitas dari ekosistem pesisir

tersebut.

Page 15: Laporan Terumbu Fix 2

DAFTAR PUSTAKA

Burke, L., E. Selig, dan M. Spallding. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara. Ringkasan Untuk Indonesia. Terjemahan dari Reefs at Risk in Southeast Asia. Kerjasama antara WRI, UNEP, WCMC, ICLARM dan ICRAN.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradaya Paramita. Jakarta.

Darmawan, 2001. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor

English, S., Wilkinson, C. and Barker, V., 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia Institute of Marine Science. Townsville, Australia.

Hutabarat, S. dan Evans, S.M., 1984. Pengantar Oseanografi. UI Press, Jakarta.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan.Jakarta

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh H. M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta. Indonesia.

Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum dijumpai di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta

Supriharyono. 2002. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan, Jakarta.The taxonomicon. 2000. Taxon tree. http: // TaxonTree.aspx.htm (2 Desember 2010)

Timotius, Silvianita. 2003. Biologi Terumbu Karang. Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi).

Veron, J. E. 1993. Corals in Space and Time. A Biogeographic Data Base of Hermtyphyc Coral. Australia Institute. Marc, Sci. Monograph Serie 10, 433.

Wallace, CC. and AW. M., 1998. Acropora: Staghorn Corals Indian Ocean-South East Asia-Pacific Ocean. Ocean Environment, NSW, Australia.