laporan problem based learning 1

48
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING BLOK TROPICAL MEDICINE KASUS I Tutor : dr. Evy Sulistyoningrum, M.Sc Kelompok 8 Yanuary Tejo Buntolo G1A009062 Celestia Wohingati G1A010089 Siti Nuriken G1A010090 Vici Muhammad Akbar G1A010091 Ulfah Izdihar G1A010092 Putri Hayuningtyas G1A010093 Rona Lintang Harini G1A010094 Aria Yusti Kusuma G1A010095 Tiara Gian Puspi G1A010096 Pradani Eva A. G1A010097 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Upload: tiara-gian

Post on 29-Dec-2015

79 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

laporan pbl

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Problem Based Learning 1

Larva penetrasi melalui kulit

Ground itch (vesikel pustul)

Larva migrasi dan menghasilkan formasi granuloma bersama eusinofil,

neutrofil, makrofag

Di paru menyebabkan reaksi

hipersensitifitas

Sesak nafas, wheezing

Produksi mukus pada bronkus dan

bronkospasme

Inflamasi peribronkial

Melepaskan IL 5 dan IL4

Merusak alveolus paru

Eosinofil mensekresi granul

enzim untuk menghasilkan

parasit

Batuk darah

Kegagalan respon imun

Aktivasi T helper 2

IgE berikatan dengan permukaan parasit lalu diikat oleh eosinofil

Menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil

Parasit memproduksi mukus mirip IL4 (yang dapat

menstimulasi host memproduksi IgE non spesifik

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

BLOK TROPICAL MEDICINE

KASUS I

Tutor : dr. Evy Sulistyoningrum, M.Sc

Kelompok 8

Yanuary Tejo Buntolo G1A009062

Celestia Wohingati G1A010089

Siti Nuriken G1A010090

Vici Muhammad Akbar G1A010091

Ulfah Izdihar G1A010092

Putri Hayuningtyas G1A010093

Rona Lintang Harini G1A010094

Aria Yusti Kusuma G1A010095

Tiara Gian Puspi G1A010096

Pradani Eva A. G1A010097

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2013

Page 2: Laporan Problem Based Learning 1

KASUS I

An. Cici usia 9 tahun dibawa ibunya ke RS dengan keluhan diare bercampur

lendir dan darah, keluhan ini dirasakan sejak 3 bulan yang lalu dan kambuh-

kambuhan. BAB ± 3 kali sehari, konsisensi lembek, kurang lebih 3 sendok makan

setiap BABnya. Karena keluhan tersebut, anak jadi sering tidak masuk

sekolah.Menurut ibunya, ada beberapa teman sepermainan An. Cici yang mengalami

keluhan serupa. An. Cici dan teman-temannya tersebut sering bermain dikebun

belakang rumah tanpa menggunakan alas kaki dan jarang mencuci tangan

menggunakan sabun sebelum makan dan setelah BAB.

A. Klarifikasi Istilah

a. Diare

Diare merupakan gejala infeksi gastrointestinal yang terjadi

peningkatan frekuensi BAB dan konsistensi feses menjadi cair (Sudoyo et al.,

2006). Diare biasanya merupakan gejala infeksi gastrointestinal yang

disebabkan oleh organisme bakteri, virus, dan parasit. Infeksi menyebar

melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi, atau dari kontak

langsung orang ke orang sebagai hasil dari higienitas yang buruk (Cook, 2009).

Diare berdasarkan onset terjadinya dibagi menjadi 3, yaitu (Sudoyo et al.,

2006) :

1. Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung singkat,

dalam beberapa jam atau hari dan berlangsung singkat, dalam beberapa jam

atau hari dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu.

2. Diare persisten bila berlangsung 2 sampai 4 minggu.

3. Diare kronik bila berlangsung lebih dari 4 minggu.

Dari sumber yang lain juga menyebutkan bahwa diare dibagi menjadi 4

kelompok, yaitu (Soegijanto, 2002):

1. Diare akut yaitu Diare akut adalah diare yang berlangsung antara 7 sampai

14 hari lamanya. Diare ini ditandai dari frekuensi buang air besar yang

Page 3: Laporan Problem Based Learning 1

meningkat dan mendadak dengan bentuk tinja yang berair tetapi tidak

berdarah. Penyebab terjadinya diare akut adalah virus (Noravirus, Norwaik

Agint), bakteri (Escherichia coli, Salmonella, Shigella, Vibrio cholerae, dan

Campylobacter), dan Parasit (Candida). Gejalanya yaitu turgor kulit menjadi

berkurang, nadi lemah, mata cekung, suara parau, kulit dingin, jari-jari

kebiruan, bibir kuning, muntah-muntah, lemah otot, kejang, serta

pernapasan cepat dan dalam.

2. Disentri yaitu Diare disentri disebut juga dengan diare berdarah karena

terjadinya diare tidak hanya berupa cairan saja melainkan juga disertai

darah. Diare ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan penurunan

berat badan dengan cepat (anoreksia) dan kerusakan parah pada dinding

(mukosa) usus. Beberapa mikroba penyebab disentri adalah Salmonella,

Campylobacter, Vibrio parahaemolyticus, Shigella, Enteroinvasive E. Coli,

dan Entamoeba histolytica. Umumnya disentri berlangsung selama 7 hari

atau bahkan bisa lebih lama, sehingga berpotensi menyebabkan dehidrasi

parah hingga kematian. Gejalanya yaitu nyeri pada abdomen, mual, dengan

atau tanpa muntah, diare berdarah, penurunan produksi urin, kulit kering,

haus yang teramat sangat, demam dan menggigil, kejang otot, lemas, dan

penurunan berat badan.

3. Diare persisten yaitu Diare persisten merupakan penyebab penting

kematian anak di negara-negara berkembang. Diare ini adalah diare lanjutan

akibat pengaruh dari diare yang terjadi sebelumnya, baik itu diare akut

maupun disentri. Oleh karena kerusakan yang parah pada mukosa usus dan

lambatnya kesembuhan dari kerusakan tersebut, menyebabkan gangguan

dalam penyerapan gizi atau nutrisi yang diperlukan tubuh. Hal inilah yang

kemudian menyebabkan terjadinya diare persisten. Diare ini umumnya

berlangsung lebih dari 14 hari secara terus-menerus, sehingga dapat

mengakibatkan penurunan berat badan dan gangguan metabolisme tubuh

kronis. Beberapa mikroba penyebab diare persisten adalah Rotavirus,

Aeromonas, Campylobacter, Shigella, dan Cryptosporidium. Gejalanya

Page 4: Laporan Problem Based Learning 1

yaitu rasa mulas yang berkepanjangan, dehidrasi, mual dan muntah, nyeri

punggung.

4. Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan

persisten) mungkin

juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit

lainnya. Diare akut dapat mengakibatkan kehilangan air dan elektrolit serta

gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan

hipokalemia, Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik

sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, Gangguan gizi yang

terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah

Jenis – jenis diare yang biasa terjadi pada anak yaitu (Hiswani, 2003) :

1. Diare osmotik

Diare osmotik adalah diare yang disebabkan oleh bahan-bahan

osmotik, yaitu bahan-bahan makanan tertentu yang tidak dapat diangkut

oleh darah dan tertinggal di dalam usus. Beberapa contoh bahan osmotik

adalah heksitol, sorbitol, dan manitol.

Penyebab lain diare osmotik adalah kekurangan enzim laktase.

Enzim laktase adalah enzim yang diproduksi di dalam usus halus. Enzim

ini berfungsi mengubah laktosa (gula usus) menjadi glukosa dan galaktosa,

sehingga dapat diserap oleh darah. Apabila orang yang kekurangan enzim

laktase mengonsumsi susu atau produk olahan susu maka laktosa akan

menumpuk di dalam usus halus sehingga mengakibatkan terjadinya diare

osmotik.

Berat ringannya diare yang dialami oleh penderita diare osmotik

dipengaruhi oleh jumlah bahan osmotik yang dikonsumsi dan masuk ke

usus. Pada umumnya, diare osmotik akan berhenti saat penderita berhenti

mengonsumsi makanan yang mengandung bahan-bahan osmotik.

2. Diare sekretorik

Diare sekretorik terjadi saat usus kecil dan usus besar mengeluarkan

senyawa garam (terutama natrium klorida) dan air ke dalam feses. Sekresi

Page 5: Laporan Problem Based Learning 1

garam dan air yang berlebihan ini dapat disebabkan oleh pelbagai faktor,

seperti adanya senyawa toksin, minyak kastor, atau asam empedu di dalam

usus. Selain itu, diare sekretorik juga dapat disebabkan oleh adanya tumor

tertentu, misalnya karsinoid, gastrinoma, dan vipoma.

3. Sindroma Malabsorbsi

Sindroma malabsorbsi merupakan gangguan penyerapan sari-sari

makanan di dalam usus halus. Penderita gangguan ini biasanya tidak dapat

mencerna makanan secara normal. Pada saat terjadi sindroma malabsorbsi

secara menyeluruh, lemak dan karbohidrat tidak dapat diserap dengan baik.

Lemak yang tertinggal di dalam usus besar dapat mengakibatkan diare

sekretorik, sedangkan karbohidrat yang tertinggal dalam usus besar dapat

mengakibatkan diare osmotik.

Terjadinya sindroma malabsorbsi dapat dipicu oleh pelbagai faktor.

Misalnya, sariawan nontropikal, insufisiensi pankreas, pengangkatan

sebagian usus, berkurangnya aliran darah ke usus, penurunan produksi

enzim tertentu di dalam usus halus, dan adanya penyakit pada hati.

4. Diare Eksudatif

Diare eksudatif merupakan diare yang disebabkan oleh terjadinya

peradangan atau terbentuknya borok pada usus besar. Peradangan atau

borok ini dapat memicu pelepasan protein, darah, lendir, dan cairan lainnya

yang dapat meningkatkan kandungan serat dalam feses dan membuat feses

menjadi encer. Diare eksudatif biasanya dipicu oleh jenis penyakit lain,

seperti TBC, limfoma, kanker, penyakit Chorn, dan kolitis ulserativa.

5. Diare Karena Gangguan intesntinal

Pada keadaan normal, feses biasanya memiliki kandungan air 60-

90%. Untuk dapat mencapai keadaan tersebut, feses harus berada di dalam

usus besar selama beberapa waktu tertentu. Apabila terlalu cepat atau

terlalu lama di dalam usus besar maka feses menjadi tidak normal. jika

terlalu cepat meninggalkan usus besar, feses menjadi sangat encer.

Page 6: Laporan Problem Based Learning 1

Sebaliknya, feses akan menjadi sangat keras dan kering jika terlalu lama

berada di dalam usus besar.

Perubahan bagian (pasase) usus mengakibatkan feses terlalu cepat

meninggalkan usus besar, sehingga feses menjadi sangat encer. Beberapa

hal yang dapat mempersingkat keberadaan feses di dalam usus besar antara

lain hipertiroid, pengangkatan sebagian usus halus atau usus besar,

pembedahan perut, pengobatan borok dengan memotong saraf vagus, dan

konsumsi obat-obatan pencahar.

6. Disentri Amoeba

Bentuk histolitika amoeba (trofozoit) invasi ke sel epitel mukosa usus

produksi nekrosis jaringan mukosa usus enzim hisolisin invasi ke

jaringan submukosa ulkus amoeba ulkus melebar dan saling

berhubungan membentuk sinus inus submukosa kerusakan permukaan

malabsorbsi peningkatan masa intraluminal tekanan osmotic

intraluminal diare osmotic.

Diare disertai lendir dan darah dalam tinja, frekuensi BAB umumnya

lebih sedikit daripaada disentri basiler, sakit perut hebat (kolik), gejala

konstitusional biasanya tidak ada (panas hanya 1/3 dari kasus yg ada).

Pendekatan klinis yang sederhana dan mudah adalah pembagian

diare akut berdasarkan proses patofisiologi enteric infection, yaitu membagi

diare akut atas mekanisme Inflamatory, Non inflammatory, dan Penetrating

(Goldfinger, 2006).

a. Inflamatory diarrhea akibat proses invasion dan cytotoxin di kolon dengan

manifestasi sindroma Disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah

(disebut juga Bloody diarrhea). Biasanya gejala klinis yang menyertai adalah

keluhan abdominal seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah,

demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja

rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, secara mikroskopis

didapati leukosit polimorfonuklear. Mikroorganisme penyebab seperti,

Page 7: Laporan Problem Based Learning 1

E.histolytica, Shigella, Entero Invasive E.coli (EIEC),V.parahaemolitycus,

C.difficile, dan C.jejuni.

b. Non Inflamatory diarrhea dengan kelainan yang ditemukan di usus halus

bagian proksimal, Proses diare adalah akibat adanya enterotoksin yang

mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah,

yang disebut dengan Watery diarrhea. Keluhan abdominal biasanya minimal

atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul,

terutama pada kasus yang tidak segera mendapat cairan pengganti. Pada

pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mikroorganisme

penyebab seperti, V.cholerae, Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Salmonella.

c. Penetrating diarrhea lokasi pada bagian distal usus halus. Penyakit ini

disebut juga Enteric fever, Chronic Septicemia, dengan gejala klinis demam

disertai diare. Pada pemeriksaan tinja secara rutin didapati leukosit

mononuclear. Mikrooragnisme penyebab biasanya S.thypi, S.parathypi A,B,

S.enteritidis, S.cholerasuis, Y.enterocolitidea, dan C.fetus.(Ilnyckyj, 2001)

Gambaran Tinja : Watery Volume >> Leukosit (-)

Bloody, mukus Volume sedang Leukosit PMN

Mukus Volume sedikit Leukosit MN

Demam (-) (+) (+) Nyeri Perut (-) (+) (+)/(-) Dehidrasi (+++) (+) (+)/(-) Tenesmus (-) (+) (-) Komplikasi Hipovolemik Toksik Sepsis

(Ilnyckyj, 2001)B. Batasan Masalah

Nama : Cici

Usia : 9 tahun

KU : Diare bercampur lendir dan darah

Onset : 3 bulan yang lalu

Kualitas : Tidak masuk sekolah (mengganggu aktivitas)

Kuantitas : Kambuh-kambuhan, 3x/hari, konsistensi lembek, kira-kira 3

sendok makan/BAB

Page 8: Laporan Problem Based Learning 1

R.P. Sosial :- Teman sepermainan ada yang mengeluh sama

- Sering bermain di kebun belakang rumah tanpa memakai

alas kaki

- jarang cuci tangan dengan sabun ketika sebelum makan

dan sesudah BAB

C. Analisis Masalah

1. Interpretasi info

2. Penghitungan status gizi anak dengan Z score

3. Hipotesis-hiposetis dari kasus

4. Siklus hidup dari:

a. Amoeba

b. Bakteri Shigella

c. Trichuris trichiura

d. Anchylostomiasis

e. Ascariasis lumbricoides

f. Escherichia coli

5. Bahasan lengkap diagnosis kerja Infeksi cacing tambang:

a. Definisi

b. Etiologi

c. Klasifikasi beratnya infeksi

d. Epidemiologi

e. Faktor risiko

f. Patomekanisme

g. Penatalakasanaan farmakologis

h. Penatalaksanaan non farmakologis

i. Komplikasi

j. Prognosis

Page 9: Laporan Problem Based Learning 1

D. Penjelasan Masalah

1. Interpretasi info

Info 2Anamnesis lanjutan didapatkan An. Cici sering terlihat lesu, tidak

bergairah, dan kurang konsenterasi belajar. Keluhan ini dirasakan sejak 6

bulan ini dan semakin berat sehingga prestasi belajarnya menurun. An. Cici

terlihat pucat dan tubuhnya kecil dibandingkan dengan anak lain seusianya,

nafsu makannya menurun karena perutnya sering terasa tidak nyaman.

Menurut ibunya, sekitar 11 bulan yang lalu An. Cici juga sering batuk yang

kambuh-kambuhan dan tidak sembuh dengan meminum obat batuk yang

dibeli di warung. Ia juga sering mengeluhkan kakinya terasa gatal setiap habis

bermain di kebun tanpa alas kaki sejak 1 tahun yang lalu. An. Cici tidak

pernah mengeluhkan demam, tidak ada keringat di malam hari, anusnya tidak

seperti bunga kol, perutnya tidak membuncit dan tidak pernah keluar cacing

saat BAB.

Karena keterbatasan ekonomi, An. Cici belum pernah dibawa untuk

periksa ke dokter sebelumnya. Anggota keluarga lain yang memiliki keluhan

serupa ada yaitu sepupunya yang sering bermain bersama dengannya di kebun

belakang rumah An. Cici.

An. Cici tinggal di daerah perkampungan yang padat penduduk dan

masyarakatnya belum banyak memiliki jamban sehingga terbiasa BAB di

kebun, di halaman rumah, di sawah, atau di sungai. Rumah keluarga An. Cici

masih berlantaikan tanah dan tidak memiliki jamban sendiri. Status ekonomi

keluarganya kurang menyebabkan keluarganya kurang memeprhatikan

kebersihan lingkungannya, kesehatan, dan gizi keluarga.

Interpretasi info 2:

Kronologi :

Satu tahun yang lalu sering merasakan gatal di kakinya setiap habis bermain

di kebun tanpa alas kaki 11 bulan yang lalu mengalami batuk yang kambuh

– kambuhan dan tidak sembuh meminum oba batuk 6 bulan yang lalu

Page 10: Laporan Problem Based Learning 1

sering terlihat lesu dan tidak bergairah dan kurang konsentrasi belajar dan

semakin memberat sehingga prestasi belajarnya menurun dan pucat.

gejala penyerta :

lesu lemas, pucat, tubuhnya terlihat lebih kecil dibandingkan anak lain

seusianya, nafsu makan menurun, perutnya sering merasa tidak nyaman, batuk

yang kambuh – kambuhan dan tidak sembuh, kakinya selalu terasa gatal

setiap habis bermain di kebun dan tidak menggunakan alas kaki.

Diduga terdapat anemia, sehingga menyebabkan terlihat pucat, lemas dan

lesu.

Nafsu makan yang menurun menyebabkan anak menjadi malas makan

sehingga asupan gizi pun kurang, dan menjadikan tubuh anak tersebut lebih

kecil dibandingkan anak anak seusianya.

Riwayat keluarga :

ada sepupu yang memiliki keluhan serupa seperti An. Cici.

Riwayat pengobatan sebelumnya :

belum pernah berobat ke dokter karena faktor biaya ekonomi.

keluarga tidak memperhatikan kebersihan lingkungan, kesehatan dan gizi

keluarganya.

Riwayat Sosial :

tinggal di perkampungan yang padat penduduk dan masyarakatnya belum

banyak yang memiliki jamban, sehingga terbiasa BAB di kebun, di halaman

rumah, di sawah, ataupun disungai.

Rumahnya masih berlantaikan tanah, dan tidak memiliki jamban sendiri.

Info 3

Pemeriksaan Fisik:

KU/Kesadaran: tampak pucat dan kurus / compos mentis

Vital sign : TD: 110/70 mmHg N: 92x/menit

RR: 24x/menit S: 36,7C NN: 36,7-37C

BB : 23 kg TB: 135 cm

Mata : CA (+/+), SI (-/-)

Page 11: Laporan Problem Based Learning 1

KGB : tak teraba

Thorax : dalam batas normal

Abdomen : BU (+) N, supel, NT (+) disekitar umbilicus

Ekstremitas : tampak UKK macula, papula hiperemis di tungkai kanan da

kiri, kuku tangan dan kaki tampak pucat, akral dingin (-)

Interpretasi info 3

Untuk vital sign dalam keadaan normal semua. Pada pengukuran IMT dari

hasil pembagian BB dibagi tinggi badan kuadrat (dalam cm) didapatkan IMT

12,62 kemudian dihitung status gizi dengan menggunakan Z score dan

didapatkan hasil bahwa anak dalam keadaan kurus. Pada pemeriksaan mata

juga didapatkan adanya tanda anemis. Pemeriksaan abdomen juga

menunjukan adanya nyeri tekan di sekitar umbilicus. Begitu juga dengan

pemeriksaan UKK pada ekstremitas terdapat tanda-tanda kelainan.

Info 4

Pemeriksaan laboratorium:

Darah rutin:

Hb : 8g/dl NN: 11-13 g/dl

Ht : 26% NN: 36-44%

Eritrosit : 4,2 juta/mm3 NN: 4,0-5,4 juta/mm3

Leukosit : 15.400/mm3 NN: 5.000-13.000/mm3

HJL : Eosinofil 10, Basofil 0, Batang 3, Segmen 60, Limfosit 20,

Monosit 7 NN eosinofil:1-4%

Trombosit : 252.000/mm3

Interpretasi info 4:

Didapatkan hasil bahwa terdapat penurunan Hb, Ht, eritrosit anemia

Dengan menggunakan penghitungan rumus dapat dihitung kadar MCV. MCH,

MCHC nya sebagai berikut:

MCV = Ht/Eritrosit (juta) x 10 (fl)

= 2,6/4,2 x 10

= 61,90 fl (NN: 77-93 fl) menurun

Page 12: Laporan Problem Based Learning 1

MCH = Hb/eritrosit (juta) x 10 (pg)

= 8/4,2 x 10

= 19,0476 (NN: 27-32 pg) menurun

MCHC= Hb/Ht x 100%

= 8/26 x 100%

= 30,76% (NN: 31-35%) menurun

Kesimpulan: Anemia mikrositik hipokromik karena defisiensi besi

Leukosit meningkat leukositosis (tanda infeksi)

Eosinofil meningkat eosinofilia (infeksi parasit)

Info 5

Hasil pemriksaan tinja ditemukan gambaran sebagi berikut:

Interpretasi info 5

Ditemukan telur cacing tambang dengan ciri-ciri: telurnya berukuran ± 70 x

45 mikron, bulat lonjong, berdinding tipis, terdapat zona jernih, kedua kutub

mendatar. Di dalamnya terdapat beberapa sel (Susanto dkk., 2009).

Page 13: Laporan Problem Based Learning 1

Info 6

Dari pemeriksaan tinja juga ditemukan cacing dengan gambaran kepala

seperti dibawah ini:

Interpretasi info 6

Ditemukan cacing tambang Ancylostoma duodenale dengan ciri-ciri yaitu

memiliki panjang badan ± 1 cm, menyerupai huruf C. dibagian mulutnya

terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada

bagian ekornya. Sedangkan cacing betina ekornya runcing (Susanto dkk.,

2009).

2. Penghitungan status gizi anak dengan Z score

Z Score anak usia 5 – 18 tahun

Rumus =Nilai IMT yang diukur – Median nilai IMT

Standar Deviasi

*Nilai IMT dilihat dari BB/U, TB/U, dan BB/TB.

Tabel Z Score

Z Score Kriteria

≥ +2 Obesitas

+1 ≤ Z Score < +2 Overweight

-2 ≤ Z Score < +1 Normal

Page 14: Laporan Problem Based Learning 1

-3 ≤ Z Score < -2

< -3

Kurus

Sangat kurus

Anak Cici

Usia : 9 tahun

Berat badan : 23 kg

Tinggi Badan : 135 cm

Hasil pengukuran Z Score pada anak Cici adalah sebagai berikut :

a. BB/U = -1,37 NORMAL

b. TB/U = 0,31 NORMAL

c. BB/TB = -2,51 KURUS

3. Hipotesis-hipotesis kasus beserta penegakan diagnosisnya

a. Disentri amoeba

Penegakkan Diagnosis disentri amoeba:a. Anamnesis

1) Diare dengan tinja berlendir dan berdarah;

2) Tenesmus (nyeri saat buang air besar);

3) Rasa tidak enak di perut dan mules (Gandahusada, 1998).

b. Pemeriksaan Fisik

1) Nyeri di abdomen bagian bawah;

2) Kadang ditemukan sedikit hepatomegali;

3) Terdapat tanda anemia (Cook, 2009).

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Rektosigmoideskopi dan kolonoskopi ditemukan ulserasi di caecum

dan rektum, dapat juga menyebar ke seluruh kolon namun jarang

ditemukan di ileum;

2) Pemeriksaan feses dengan rectal swab ditemukan parasit Entamoeba

histolytica;

Page 15: Laporan Problem Based Learning 1

3) Pemeriksaan darah lengkap ditemukan leukositosis (sel darah merah

lebih dari 10.000/mm3), leukopenia (jika pasien konsumsi alkohol atau

terjadi defisiensi folat), namun tidak ditemukan eosinofilia;

4) Pemeriksaan radiologi terlihat perubahan dari kolon dan hepatomegali

(Cook, 2009).

b. Disentri Basiller

Penegakan diagnosis untuk disentri basiller yaitu (Natadisastra, 2009)

yaitu:

a. Anamnesis

Keluhan diare yang dapat disertai darah dan lendir, pasien terlihat

lemas, muntah, anoreksia, nyeri saat defekasi dan dapat ditandai

dengan keluhan dehidrasi.

b. Pemeriksaan Fisik

Akan disertai dengan demam tinggi, mata cekung, mulut kering, nyeri

abdomen, kembung, bisisng usus meningkat. Pada kulit akan terlihat

turgor kulit menurun.

c. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan tinja

Makroskopis: jumlah feses sedikit, terdapat darah berwarna merah

segar dan lendir. Feses tidak berbau atau dapat berbau asam.

Mikroskopis: sel darah merah tersebar dan merah muda. Tampak

makrofag banyak dan besar serta ditemukan adanya bakteri

Shigella

2. Endoskopi

Mmeperlihatkan mukosa yang ulserasi, tertutup dengan eksudat

dan sebagian besar berada dibagian distal kolon

c. Akilostomiasis

Penegakkan Diagnosis (Gandahusada, 1998):

a. Anamnesis

1) Stadium larva

Page 16: Laporan Problem Based Learning 1

Bila larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi

perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru

biasanya ringan.

2) Stadium dewasa

Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta keadaan

gizi pasien (Fe dan protein).

b. Pemeriksaan Fisik

Ditemukan tanda-tanda anemia.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan feses dengan rectal swab ditemukan telur atau larva

cacing tambang.

2) Pemeriksaan darah lengkap ditemukan eosinophilia dan anemia

mikrositik hipokromik.

d. Trichuriasis

Penegakan diagnosis (Sudoyo, et al., 2006):

a. Anamnesis

Keluhan yang biasa terjadi adalaha danya gangguan pada saluran

gastrointestinal seperti diare dengan darah dan lendir dan nyeri disekitar

umbilicus (diarea hipogastric dekstra). Khas dari infeksi cacing ini adalah

tidak ada sindrom Loeffler karena cacing ini tidak melalui siklus paru

seprti cacing lainnya.

b. Pemeriksaan Fisik

Ditemukan tanda-tanda anemia dan nyeri sekitar umbilicus biasanya

diarea caecum sampai colon ascendens.

c. Pemeriksaan Penunjang

Ditemukan cacing atau telur Trichuris trichiura ini pada feses pasien

e. EIEC

Penegakan diagnosis EIEC yaitu (Suthisarnsuntorn, 2002):

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik:

Page 17: Laporan Problem Based Learning 1

a. Infeksi yang terjadi mirip seperti pada shigellosis dengan diare yang

profuse (sering) dan demam yang tinggi

b. Tingkat invasivenya tinggi

c. Tidak memproduksi toksin, tatpi tingkat kerusakan mukosa intesital yang

berta bisa terjadi.

d. Terjadi diare biasanya antara 12-72 jam setelah menelan makanan yang

terkontaminasi

e. Gejala yang ditimbulkan lainnya seperti nyeri abdomen, diare, muntah,

demam, menggigil kedinginan, malaise, tenesmus

Pemeriksaan Penunjang

a. Ditemukan leukosit pada sediaan usap lendir feses yang dicat

b. Immunoassay yang dapat mendeteksi plasmid encoded protein specific

membrane bagian luar yang dikaitkan dengan invasivitas sel epitel

c. Suatu bioassay (terkeratokonjungtivis untuk mendeteksi invasivitas sel

epitel, sedangkan DNA probe untuk mendeteksi enteroinvasivutas plasmid)

4. Siklus hidup dari:

a. Amoeba

Page 18: Laporan Problem Based Learning 1

Daur hidup E. histolytica sangat sederhana, dimana parasit ini

didalam usus besar akan memperbanyak diri. Dari sebuah kista akan

terbentuk 8 tropozoit yang apabila tinja dalam usus besar konsistensinya

padat maka, tropozoit langsung akan terbentuk menjadi kista dan

dikeluarkan bersama tinja, sementara apabila konsistensinya cair maka,

pembentukan kista terjadi diluar tubuh (Rasmaliah, 2003).

Amoebiasis terdapat diseluruh dunia (kosmopolit) terutama

didaerah tropikdan daerah beriklim sedang. Dalam daur hidupya

Entamoeba histolytica memiliki 3stadium yaitu (Rasmaliah, 2003).:

1. Bentuk histolitika.

2. Bentuk minuta

3. bentuk kista

Bentuk histolitika dan bentuk minuta adalah bentuk rofozoit.

Perbedaan antarakedua bentuk tropozoit tersebut adalah bahwa bentuk

histolytika bersifat fatogendan mempunyai ukuran yang lebih besar dari

bentuk minuta. Bentuk histolitikaberukuran 20 – 40 mikron, mempunyai

inti entamoeba yang terdapat di endoplasma.Ektoplasma bening homogen

terdapat di bagian tepi sel, dapat dilihat dengan nyata.Pseudopodium yang

dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebih seperti daun, dibentuk dengan

mendadak, pergerakannya cepat. Endoplasma berbutir halus, biasanya tidak

mengandung bakteri atau sisa makanan, tetapi mengandung sel darah

merah. Bentuk histolytica ini patogen dan dapat hidup dijaringan usus

besar, hati, paru, otak, kulit dan vagina. Bentuk ini berkembang biak secara

belah pasang di jaringan dan dapat merusak jaringan tersebut sesuai dengan

nama spesiesnya Entomoeba histolitica (histo= jaringan, lysis = hancur)

(Rasmaliah, 2003).

Bentuk minuta adalah bentuk pokok esensial, tanpa bentuk minuta

daur hidup tidak dapat berlangsung, besamya 10-20 mikron. Inti entamoeba

terdapat di endoplasma yang berbutir-butir. Endoplasma tidak mengandung

sel darah merah tetapi mengandung bakteri dan sisa makanan. Ektoplasma

Page 19: Laporan Problem Based Learning 1

tidak nyata, hanya tampak bila membentuk pseudopodium. Pseudopodium

dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat. Bentuk minuta

berkembang biak secara belah pasang dan hidup sebagai komensal di

rongga usus besar, tetapi dapat berubah menjadi bentuk histolitika yang

pathogen (Rasmaliah, 2003).

Bentuk kista dibentuk di rongga usus besar, besamya 10 -20

mikron, berbentuk bulat lonjong, mempunyai dinding kista dan ada inti

entamoeba. Dalam tinja bentuk ini biasanya berinti 1 atau 2, kadang-

kadang terdapat yang berinti 2. Di endoplasma terdapat benda kromatoid

yang besar, menyerupai lisong dan terdapat juga vakuol glikogen. Benda

kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai makanan cadangan,

karena itu terdapat pada kista muda. Pada kista matang, benda kromatoid

dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Bentuk kista ini tidak patogen,

tetapi dapat merupakan bentuk infektif (Rasmaliah, 2003).

Entamoeba histolytica biasanya hidup sebagai bentuk minuta di

rongga usus besar manusia, berkembang biak secara belah pasang,

kemudian dapat membentuk dinding dan berubah menjadi bentuk kista.

Kista dikeluarkan bersama tinja. Dengan adanya dinding kista, bentuk kista

dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar tubuh manusia (Rasmaliah,

2003).

Page 20: Laporan Problem Based Learning 1

b. Trichuris trichiura

Siklus Hidup T. Trichiura (Keshavarz, 2013)

Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang

banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah

terinfeksi dengan cacing ini juga cacing tambang dan hanya sedikit di

bawah askariasis. Cacing jantan panjangnya 30 sampai 45 mm, bagian

anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar, cacing betina

panjangnya 35 sampai 50 mm, bagian anterior halus seperti cambuk,

bagian ekor lurus berujung tumpul. Telur T. trichiura berukuran lebih

kurang 50 kali 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung

menonjol, berdinding tebal dan berisi ovum kemudian berkembang

menjadi larva setelah 10 sampai 14 hari. Kelembaban tanah dan

Page 21: Laporan Problem Based Learning 1

kelembaban udara juga dapat mempengaruhi perkembangan dan

kelangsungan hidup dari telur dan larva. Kelembaban yang lebih tinggi

dapat mempercepat perkembangan telur dan pada kelembaban yang rendah

sebagian telur T. trichiura tidak akan membentuk embrio.

Penyebaran T. trichiura melalui transmisi faeco-oral. Telur yang

dibuahi akan menjadi infektif di tanah selama 10 sampai 14 hari.

Tertelannya telur yang dibuahi akan menyebabkan terjadinya infeksi.

Kemudian di duodenum larva akan menetas, menembus dan berkembang di

mukosa usus halus dan menjadi dewasa di sekum. Siklus ini berlangsung

selama lebih kurang 3 bulan; cacing dewasa akan hidup selama 1 sampai 5

tahun dan cacing betina dewasa akan menghasilkan 20 000 telur setiap

harinya.

c. Anchylostoma duodenale

Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila

telur tersebut jatuh ke tembat yang hangat, lembab dan basah, maka

telurakan berubah menjadi larva yang infektif. Dan jika larva tersebut

kontak dengan kulit, bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian turun

ke usus halus; di sini larva berkembang menjadi cacing dewasa (Pohan,

2009). Infeksi terjadi jika larva filariform menembus kulit. Infeksi

A.duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform. Bila banyak

larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit

yang disebut grown itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.

Stadium dewasa:

Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi

penderita (Fe dan Protein). Tiap cacing A.duodenale menyebabkan

kehilangan darah sebanyak 0,08-0,34 cc sehari. Biasanya terjadi anemia

hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya

toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan

kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun

Page 22: Laporan Problem Based Learning 1

(Margono, 2006). Rasa tidak enak pada perut, kembung, sering

mengeluarkan gas (flatus), mencret-mencret merupakan gejala iritasi

cacing terhadap usus halus yang terjadi lebih kurang dua minggu setelah

larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit. Anemia akan terjadi 10-20

minggu setelah infestasi cacing dan walaupun diperlukan lebih dari 500

cacing dewasa untuk menimbulkan anemia tersebut tentunya tergantung

pada keadaan gizi pasien (Pohan, 2009).

d. Ascariasis lumbricoides

Cacing betina dapat bertelur sebanyak 100000 – 200000 butir

sehari. Pada lingkungan yang sesuai, telur akan berubah menjadi bentuk

infektif dalam waktu 3 minggu. Bila bentuk infektif tersebut tertelan

manusia, maka akan menetas di usus halus. Larvanya akan menembus

dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, dialirkan ke

jantung, lalu ke paru. Larva menembus dinding pembuluh darah, lalu

dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui

bronkiolus dan bronkus. Larva menuju faring, biasanya akan timbul reflek

batuk, sehingga larva tertelan ke dalam esophagus, lalu ke usus halus. Di

usus halus, cacing akan menjadi dewasa. Dari telur matang tertelan sampai

cacing dewasa bertelur diperlukan waktu 2 – 3 bulan (Susanto dkk, 2008).

e. Escherecia coli

E. coli merupakan bakteri berbentuk batang, Gram-negative, dan

termasuk dalam famili Enterobacteriaceae.E. coli merupakan penghuni

normal di dalam usus semua jenis hewan, termasuk manusia. Apabila

digunakan metode pembiakan secara aerob, maka E. coli merupakan

spesies dominan yang ditemukan di dalam kotoran. Umumnya E. coli

berperan positif di dalam tubuh dengan cara menekan pertumbuhan

spesies-spesies bakteri yang berbahaya dan membentuk vitamin dalam

jumlah yang cukup banyak. Sebagian kecil strain E. coli dapat

Page 23: Laporan Problem Based Learning 1

menyebabkan penyakit pada manusia melalui beberapa mekanisme yang

berbeda . Di antaranya adalah jenis-jenis penyerang saluran pencernaan/

enteroinvasive (EIEC). Tidak diketahui makanan apa saja yang mungkin

menjadi sumber jenis-jenis EIEC patogenik yang menyebabkan penyakit

disentri (bacillary dysentery).

5. Bahasan tentang Infeksi cacing tambang (Ancilostomiasi)

a. Definisi

Ankilostomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi cacing

tambang yaitu Ancylostoma duodenale, ditandai dengan nyeri pencernaan,

diare, dan anemia progresif. Disebut juga tunnel diseases, uncinariasis

(Farlex, 2012).

b. Etiologi

Etiologi terjadinya penyakit infeksi cacing tambang adalah infeksi dari

cacing tambang Necator Americanus atau Ancylostoma duodenale pada

stadium infektif yaitu pada saat cacing menjadi larva filariform

(Budiawati, 2001).

c. Klasifikasi beratnya infeksi

NoBeratnya

Infeksi

Jumlah telur per gram

tinjaJumlah cacing betina

Infeksi oleh N. americanus

1. Ringan Kurang dari 2000 50 atau kurang

2. Sedang 2000 – 7000 51 – 200

3. Berat Lebih dari 7000 Lebih dari 200

Infeksi oleh A. duodenales

1. Ringan Kurang dari 3000 20 atau kurang

2. Sedang 3000 – 10000 21 – 100

3. Berat Lebih dari 10000 Lebih dari 100

Page 24: Laporan Problem Based Learning 1

Tabel Klasifikasi Infeksi Cacing Tambang (Natadisastra, 2009).

d. Epidemiologi

Penyebaran cacing tambang di seluruh daerah khatulistiwa, yang

kelembaban dan temperaturnya menguntungkan untuk perkembangan

larva di tanah. Tanah gembur (pasir, humus) merupakan tempat

pembiakan yang baik untuk larva cacing tambang. Suhu optimum bagi

Necator Americanus adalah 28-32 derajat celcius. Ini adalah salah satu

sebab mengapa Necator Americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia

daripada Ancylostoma duodenale (Budiawati, 2001).

e. Faktor risiko

Faktor-faktor yang berisiko terhadap terjadinya infeksi cacing tambang,

yaitu (Suriptiastuti, 2006):

1. Perilaku rumah tangga dan pekerjaan

2. Kemiskinan, sanitasi, dan urbanisasi

3. Iklim, cuaca dan musim (Suriptiastuti, 2006).

f. Patomekanisme

Page 25: Laporan Problem Based Learning 1

Bagan 1. Patomekanisme Infeksi cacing tambang (Keshavarz, 2000)

Page 26: Laporan Problem Based Learning 1

Mekanisme terjadinya gatal:

Pruritus didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit

yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk daerah tertentu untuk

mendapatkan kelegaan (Djuanda, 2007).

Penyebab pasti pruritus tidak diketahui secara jelas. Rasa gatal

yang timbul melibatkan suatu proses rumit yang melibatkan kerja saraf

yang merespon terhadap mediator tertentu, seperti histamine, dan proses

yang melibatkan pemrosesan sinyal saraf di otak (Djuanda 2007).

Pada kulit, terdapat ujung saraf bebas yang merupakan reseptor

nyeri (nosiseptor). Ujung saraf bebasnya bisa mencapai bagian bawah

epidermis. Ujung saraf bebas terbagi menjadi dua jenis serabut saraf.

Serabut saraf A bermielin yang merupakan nosiseptor dan serabut saraf C

tidak bermielin. Serabut saraf C terdiri dari 80% mekanosensitif yang

merupakan polimodal nosiseptor dan 20% mekanoinsensitif. Polimodal

nosiseptor merupakan serabut saraf yang merespon terhadap semua jenis

stimulus mekanik dan kimiawi. Sedangkan mekanoinsensitif tidak

merespon terhadap stimulus mekanik, namun memberi respon terhadap

stimulus kimiawi. Sekitar 5% dari mekanoinsensitif ini merupakan

pruritoseptor yaitu reseptor yang menimbulkan rasa gatal, terutama

dipengaruhi oleh histamine. Serabut saraf A merupakan penghantar sinyal

saraf yang cepat. Kecepatan hantarannya mencapai 30m/detik. Sedangkan

serabut saraf C merupakan penghantar sinyal saraf yang lambat.

Kecepatan hantarannya hanya 12m/detik, terlebih lagi pada serabut saraf

C mekanoinsensitif yang hanya 0,5m/detik. Hal ini menjelaskan mengapa

seseorang dapat merasakan rasa gatal beberapa saat setelah stimulus

terjadi. Bandingkan saat tangan kita terkena benda panas. Gatal dapat

timbul apabila pruritoseptor terangsang dan reseptor lainnya tidak

terangsang. Tidak mungkin pada penghantaran sinyal, terdapat dua

reseptor sekalgus yang terangsang oleh satu stimulus. Saat pruriseptor

terangsang, seseorang akan mulai merasakan sensasi gatal sehingga timbul

Page 27: Laporan Problem Based Learning 1

hasrat untuk menggaruk. Saat menggaruk, polimodal nosiseptor akan

terangsang sehingga pruritoseptor akan berhenti terangsang. Hal ini

memberikan penjelasan mengapa ketika seseorang menggaruk tubuhnya

yang gatal, maka rasa gatal akan menghilang. Setelah garukan dihentikan,

yang artinya polimodal nosiseptor berhenti terangsang, pruritoseptor

sangat mungkin untuk kembali terangsang sehingga gatal akan timbul

kembali. Stimulus pada serabu saraf C melalui ganglion dorsal dan

menyilang pada saraf tulang belakang ke sisi kontralateral dan masuk ke

jalur spinotalamikus lateral menuju thalamus dan akhirnya mencapai

korteks serebri sensori (Djuanda, 2007).

Mekanisme terjadinya anemia:

Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang

membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan

intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan

tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam

kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol

yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing

tambang akan memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah

lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor

faktor VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing ini kemudian mencerna

sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase,

sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut akan keluar melalui saluran

cerna (Keshavarz, 2000).

Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada usus sampai dengan

timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar antara 1-3 bulan.

Untuk meyebabkan anemia diperlukan kurang lebih 500 cacing dewasa.

Pada infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/hari,

meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang

terjadi perlahan-lahan (Weiss, 2001).

Page 28: Laporan Problem Based Learning 1

Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing tambang tergantung

pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing

dalam usus penderita), serta spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi

A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih banyak dibandingkan

N. americanus (Keshavarz, 2000).

Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomosis ditimbulkan oleh

adanya larva maupun cacing dewasa. Apabila larva menembus kulit dalam

jumlah banyak, akan menimbulkan rasa gatal-gatal dan kemungkinan

terjadi infeksi sekunder. Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing

tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan gizi dan

gangguan darah (Onggowaluyo, 2001).

g. Penatalakasanaan farmakologis

Pengobatan terhadap ankilostomiasis terdiri dari eliminasi parasit

dan penanganan anemia. Penanganan anemia adalah prioritas utama,

namun keduanya dapat dilakukan bersamaan. Pengobatan terhadap parasit

biasanya digunakan langsung untuk membunuh cacing dewasa, namun

melalui penelitian telah diketahui bahwa albendazol dengan dosis 400 mg

dapat secara aktif membunuh larva. Albendazol sangat efektif dalam

memberantas Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Dosis

tunggal sebanyak 400 mg dapat membunuh sekitar 80% sedangkan dosis

200 mg per hari selama 3 hari dapat membunuh 100%. Obat ini juga

efektif dalam membunuh Ascaris lumbricoides. Mebendazol juga efektif

dalam membunuh A. duodenale dan N. Americanus, pengobatan selama

beberapa hari dapat mengobati infeksi berat. Levamisol dan pirantel

pamoat dapat juga digunakan, namun kurang efektif. Pengobatan terhadap

anemia dapat diberikan sulfas ferosus atau glukonat secara per oral, 200

mg 3 kali sehari, dan perlu dilanjutkan hingga 3 bulan setelah kadar

hemoglobin telah normal (Cook, 2009).

Page 29: Laporan Problem Based Learning 1

Drugs of choice Albendazole 400 mg Single Dose

Mebendazole 500 mg Single Dose

Alternatives Pyrantel pamoate 10 mg/kg Daily for 3 days

Levamisole 150 mg Single Dose

Daftar obat-obatan yang digunakan untuk infeksi cacing tambang

(Cook, 2009).

h. Penatalaksanaan non farmakologis

Pencegahan penyakit ini meliputi sanitasi lingkungan dan perbaikan

hygiene perorangan terutama:

1. penggunaan alas kaki di daerah endemik,

2. menjaga kebersihan, menghindari kontak dengan tanah yang tercemar

tinja,

3. Selalu mencuci tangan setelah dari kamar mandi/WC atau sebelum

memegang makanan,

4. Gunakan desinfektan setiap hari di tempat mandi dan tempat buang air

besar.

i. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi akibat infeksi cacing tambang, yaitu

(Sudoyo dkk, 2009) :

a. Kerusakan pada kulit akan menyebabkan dermatitis yang berat,

terutama pada pasien yang sensitif

b. Anemia berat yang terjadi sering menyebabkan gangguan

pertumbuhan, perkembangan mental dan payah jantung

j. Prognosis

Dengan pengobatan adekuat meskipun telah terjadi komplikasi, prognosis

tetap baik (Sudoyo dkk, 2009).

Page 30: Laporan Problem Based Learning 1

DAFTAR PUSTAKA

Budiawati. 2001. Frekuensi ”Soil Transmitted Helminths” pada Murid SD Negeri No.

28 Bangun Rejo Kecamatan Kinali Kabupaten Pasaman. Skripsi. Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas, Padang.

Cook, Gordon C; Alimuddin I Zumla. 2009. Manson’s Tropical Disease. China:

Saunders Elsevier.

Farlex. 2012. Anchilostomiasis. The Free Dictionary.

http://medical-dictionary.thefreedictionary.com (Diakses tanggal 5 September 2013)

Keshavarz, R. 2013. Hookworm Infections. www.eMedichine.com (Diakses tanggal 5

September 2013)

Gandahusada, Srisasi; Henry D Hahude; Wita Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran

Edisi Ketiga. Jakarta: Gaya Baru.

Gandahusada, S., Herry DI, Wita P. 2006. Parasitologi Kedokteran. Jakarta:Gaya Baru

Goldfinger, S.2006. Constipation, Diarrhea and Disturbances of Anorectal Function,

In : Braunwald, E, Isselbacher, K.J, Petersdorf, R.G, Wilson, J.D, Martin,

J.B, Fauci AS (Eds) : Harrison’s Principles of Internal Medicine, 11th Ed.

McGraw-Hill Book Company, New York. 177 – 80

Hassan, Rusepno dan Husein Alatas. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.

Jakarta: INFOMEDIKA.

Hiswani, 2003, Diare Merupakan Salah Satu Masalah Kesehatan Masyarakat yang

Kejadiannya Sangat Erat dengan Keadaan Sanitasi Lingkungan,

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani7.pdf, diakses tanggal 8

Mei 2008

Page 31: Laporan Problem Based Learning 1

Ilnyckyj A. 2001. Clinical Evaluation and Management of Amoebiasis, and Acute

Infectious Diarrhea in Adult, Gastroenterology Clinics, Volume 30, No.3. WB

Saunders Company

Keshavarz R. Hookworm infection. 2000. Available from: http://www.

eMedicine.com. Downloaded in 4 September, 2013.

Natadisastra D, Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau Dari Organ Tubuh

yang Diserang. Jakarta: EGC.

Onggowaluyo, J. S. 2001. Parasitologi Medik 1 Helmintologi, Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC,

Rasmaliah. 2003. Epidemiologi Amoebasis dan Upaya Pencegahannya.

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm.rasmaliah.pdf (7-4-2009/16:27)

Soegijanto, Soegeng.2002.Ilmu Penyakit Anak “Diagnosa dan Penatalaksanaan”.

Jakarta :

Sudoyo, WA., Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:

InternaPublishing.

Suriptiastuti. 2006. Infeksi Soil-Transmitted Helminth : Ascariasis, Trichiuriasis dan

Cacing Tambang. Universa Medicina 25(2): 84-93

Susanto, Inge dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI Salemba Medica.

Sutanto, Inge. Is Suhariah Ismid, dkk. 2009. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran: Edisi

Keempat. Jakarta: FKUI