laporan mod 1 blok 13 kel 3
TRANSCRIPT
cBAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kelainan-kelainan pada Thoraks yang di bahas dalam blok ke-13 ini
merupakan kelanjutan dari blok 2 mengenai sistem respirasi dan blok 3
mengenai sistem kardiovaskuler yang telah kita pelajari sebelumnya. Kelainan
thoraks yang akan dibahas pada modul 1 ini adalah mengenai kelainan pada
saluran pernafasan yang bersifat akut seperti pneumonia dan penyakit infeksi
saluran nafas akut lainnya. Dengan judul skenario ”Batuk Biasa Jadi Sesak
Nafas” ini akan membahas lebih mendalam tetang sistem pertahanan saluran
pernafasan terhadap benda asing termasuk mikroba melalui batuk. Sebagian
besar dari penyakit yang menyerang sistem pernafasan akan bermanifestasi
sebagai batuk, bersin, nyeri tenggorokan, sesak nafas, dan lain-lain. Hal inilah
yang mendasari pembahasan materi dalam modul 1 ini.
I.2. Tujuan
Dapat menjalaskan bentuk pertahanan sistem pernafasan terhadap
benda asing, khususnya melalui refleks batuk
Dapat menjelaskan hal-hal yang menyebabkan pneumonia, gejala
klinis dari pneumonia, patofisiologi terjadinya pneumonia, cara
mendiagnosa pneumonia, terapi yang diberikan pada pasien
pneumonia, dan cara mencegah terinfeksi pneumonia
Dapat menjelaskan penyakit-penyakit yang menjadi diagnosis
banding dari pneumonia yang juga bermanifestasi batuk, demam,
sesak nafas, dan nyeri tenggorokan
2
BAB II
PEMBAHASAN
STEP 1: Terminologi asing
1. Foto rontgen:
- Merupakan gambaran dari hasil rontgen (sinar x dan gamma)
- Pemeriksaan foto rontgen dibagi menjadi rontgen dasar dan rontgen
khusus. Rontgen dasar digunakan untuk mendiagnosa kelainan pada
thoraks, tulang-tulang, dan beberapa organ tubuh tertentu, sedangkan
rontgen khusus digunakan untuk pemeriksaan arteriografi, flebografi,
angiokardiografi, dan lain-lain
2. Interstitial:
- Suatu ruangan diantara sel atau jaringan
3. Infiltrat:
- Proses difusi atau akumulasi dari jaringan atau sel berupa substansi dalam
jumlah yang tidak normal (berlebihan) dan tidak pada tempatnya
4. Alveoli:
- Unit fungsional terkecil dari system respirasi yang berperan dalam
pertukaran oksigen dan karbondioksida dari paru ke pembuluh darah
STEP 2: Identifikasi masalah
1. Mengapa Adi mengeluh batuk berdahak, demam, dan sakit tenggorokan?
2. Mengapa keluhan Adi menjadi semakin berat disertai sesak nafas dan nyeri
dada?
3. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan vital sign yang dilakukan
dokter?
4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan foto thoraks Adi?
5. Apakah indikasi rawat inap yang dilakukan pada Adi?
6. Apakah ada hubungan antara penyakit Adi dengan keluhan Ayahnya?
7. Apakah penyebab, diagnosis banding, dan diagnosis sementara yang dapat
diambil dari kasus Adi?
3
STEP 3: Brainstorming
1. Batuk berdahak yang terjadi pada Adi merupakan bentuk pertahanan tubuh
terhadap benda asing seperti mikroba, virus, dan benda asing lainnya. Jika
suatu benda asing masuk ke saluran pernafasan manusia, tubuh akan
merespon dengan memproduksi mukus yang berfungsi melengketkan benda
asing tersebut dan setelah itu akan di buang keluar oleh silia. Selain itu,
releks batuk juga berperan, yaitu juka ada benda asing yang masuk melewati
saluran nafas, epiglotis akan terbuka dan membatukan benda asing tersebut.
Demam merupakan salah satu respon tubuh terhadap peradangan yang
disebabkan oleh mikroba maupun benda asing lainnya. Demam yang terjadi
dapat bervariasi tergantung pada berat-ringannya peradangan dan banyaknya
mikroba yang menginfeksi. Terjadinya iritasi pada saluran pernafasan
menyebabkan reflex batuk dan nyeri tenggorokan.
2. Keluhan Adi semakin berat karena dahak atau mucus yang semakin banyak
menyebabkan tertutupnya lebih banyak alveoli sehingga pertukaran udara
antara alveoli dengan vaskuler terhambat sehingga dada menjadi sesak
ketikan berusaha mencukupi udara yang dibutuhkan tubuh. Karena
banyaknya infiltrate pada paru juga yang menyebabkan penekanan paru
terhadap pleura sehingga menyebabkan pleura pars viseralis bergesekan
dengan pleura pars parietalis yang mengakibatkan nyeri hebat pada dada
yang disebut nyeri pleuritik.
3. Interpretasi hasil pemeriksaan vital sign yang dilakukan dokter kepada Adi
adalah tekanan darah yang normal (110/80 mmHg), respiration rate yang
meningkat (32 kali/menit), dan suhu tubuh yang naik (39,5oC). dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa Adi mengalami demam dan sesak nafas.
4. Interpretasi hasil pemeriksaan radiologis yang dilakukan dokter kepada Adi
menunjukan adannya infiltrat yang lebih dominan daripada interstitial
merupakan tanda bahwa adanya benda asing di alveolus-alveolus paru
tersebut. Benda asing tersebut dapat berupa sekret atau mucus yang
memenuhi alveolus sehingga terlihat gambaran seperti infiltrat-infiltrat.
4
5. Indikasi rawat inap yang dilakukan terhadap Adi dikarenakan sesak nafas
yang dialaminya (RR 32 kali/menit). Karena Adi mengalami sesak, maka
dibutuhkan bantuan oksigen, infuse nutrisi, dan elektrolit yang hanya dapat
dilakukan di Rumah Sakit. Selain itu, karena sekret yang bertambah banyak
menyebabkan perlu penanganan lebih lanjut seperti drainase agar sekretnya
dapat dikeluarkan.
6. Penyakit yang diderita Adi kemungkinan ditularkan oleh ayahnya karena
ayahnya juga memiliki keluhan-keluhan yang sama. Penularan dari orang
sekitar merupakan faktor predisposisi dari pneumonia. Penyakit saluran
pernafasan sangat mudah menular melalui inhalasi ataupun droplet.
7. Penyakit yang diderita oleh Adi kemungkinan disebabkan oleh bakteri, virus,
ataupun jamur karena terlihat dari manifestasi klinis yang berupa batuk
berdahak dan demam. Hal ini dapat dipastikan melalui pemeriksaan dahak
untuk mengetahui mikroorganisme apa yang menginfeksi. Diagnosis banding
dari gejala-gejala yang dialami Adi adalah pneumonia, faringitis, laryngitis,
tonsillitis, bronchitis, dan pleuritis. Diagnosis sementaranya adalah
pneumonia karena dari hasil foto rontgen menunjukan adanya infiltrate yang
mengarah kepada pneumonia.
5
STEP 4: Skema
STEP 5: Learning Objektive
1. Megetahui patomekanisme dari manifestasi klinis Batuk, Sesak Nafas, dan
Demam
2. Mengetahui definisi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana, dan komplikasi dari Pneumonia
3. Mengetahui klasifikasi dari Pneumonia
6
Batuk berdahak, demam, nyeri tenggorokan
Demam tinggi + menggigil, batuk, nyeri dada, sesak
nafas
Pemeriksaan vital sign: tekanan darah normal, pernafasan cepat, suhu
tubuh febris
Diagnosis Banding (Faringitis, tonsillitis, laryngitis,
bronchitis, bronkiolitis, dan pleuritis
Pemeriksaan Radiologis Thoraks: infiltrat yang lebih dominan daripada
interstisial
PNEUMONIA
Definisi, etiologi, pathogenesis,
manifestasi klinis, diagnosis, disgnasis banding, tatalaksana,
komplikasi, pencegahan
4. Mengetahui diagnosis banding dari Pneumonia seperti faringitis,
laryngitis, tonsillitis, epiglotitis, bronchitis, bronkiolitis, dan pleuritis
STEP 6: Belajar Mandiri
STEP 7: Sintesa
Patofisiologi Manifestasi Klinis Infeksi Saluran Nafas
1. Batuk
Batuk adalah suatu ekspirasi paksa yang terkoordinasi yang diakibatkan
oleh rangsangan mekanik atau kimiawi pada reseptor batuk yang banyak terdapat
di laring dan percabangan trakeobronkial. Pola dasar terjadinya batuk dapat
dibagi menjadi empat, yaitu: 1. Inspirasi dalam secara cepat, 2. Kontraksi Otot-
otot ekspirasi melawan glottis yang tertutup yang menghasilkan tekanan tinggi
dalam paru, 3. Pembukaan glottis secara tiba-tiba, sehingga arus udara eksplosif
keluar, dan 4. Relaksasi otot-otot ekspirasi. Batuk dapat volunter, namun biasanya
involunter, dapat produktif atau nonproduktif (kering). Batuk produktif adalah
batuk yang mengeluarkan lendir atau bahan lain. Batuk kering adalah batuk yang
tidak menghasilkan sekret apapun. biasanya berkurang pada saat tidur, tetapi saat
bangun pagi, batuk cenderung produktif untuk membersihkan saluran pernapasan.
Batuk dapat pula psikogenik. Batuk non produktif ini terjadi pada orang
dengan stress emosional. Bila perhatian ditujukan pada stress itu batuknya
meningkat Selama tidur atau sewaktu perhatian pasien dialihkan, batuknya
berhenti. Batuk psikogenik adalah diagnosis pereksklusionam.
Mekanisme Batuk.
Bronkus dan trakea sedemikian sensitifnya terhadap sentuhan halus,
sehingga benda asing dalam jumlah berapapun atau penyebab iritasi lainnya akan
menimbulkan batuk. Impuls aferen yang berasal dari saluran napas terutama
berjalan melalui nervus vagus ke medula. Di sana, suatu rangkaian peristiwa
otomatis digerakkan oleh lintasan neuronal medula, menyebabkan efek sebagai
berikut.
7
Kira-kira 2,5 liter udara diinspirasi. Epiglotis dan pita suara menutup erat-
erat untuk menjerat udara dalam paru. Lalu, otot-otot perut dan otot ekspirasi
lainnya berkontraksi dengan kuat mendorong diafragma. Akibatnya, tekanan
dalam paru meningkat sampai 100 mmHg atau lebih. Selanjutnya, pita suara dan
epiglotis tiba-tiba terbuka lebar, sehingga udara bertekanan tinggi dalam paru
meledak keluar. Udara yang mengalir dengan cepat tersebut biasanya membawa
pula benda asing yang terdapat dalam bronkus atau trakea.
Jalannya Impuls
Reseptor = bronkus dan trakea sensitif terhadap sentuhan halus, laring dan
karina paling sensitif, bronkiolus terminalis dan alveoli sensitif terhadap
rangsangan bahan kimia yang korosif, ex: SO2 dan Cl
Serabut saraf Aferen = nervus vagus, glosofaringeus, trigerminus, frenikus
Pusat Batuk = medula dekat pusat muntah dan pernapasan
Susunan saraf Eferen = membawa impuls ke efektor
Efektor = otot-otot larynx, m. Intercostalis, trakea, bronkus
Batuk berdahak (Produksi sputum)
Sputum atau dahak adalah bahan yang dikeluarkan bersamaan dengan
batuk. Sekitar 75-100cc . sputum disekresikan setiap hari oleh bronkus. Melalui
gerak silia, ia dibawa ke atas tenggorok (aktivitas muco-cilliary clearence) dan
ditelan secara tidak disadari bersama-sama saliva. Peningkatan jumlah produksi
merupakan manifestasi Bronkitis paling dini. Sputum dapat mengandung debris
sel, mukus, darah, pus dan mikroorganisme.
8
Sputum harus dilukiskan berdasarkan warnanya, konsistensi, jumlah,
waktu terjadi ,dan ada tidaknya darah. Sputum yang tidk terinfeksi tidak berbau,
transparan dan berwarna putih atau abu keputihan, menyerupai mukus, disebut
mukoid. Sputum yang putih seperti air, disebut serous Sputum terinfeksi warna
kekuningan, agak kental, disebut muko-purulen dan disebut purulen jika berupa
pus atau warna hijau tua. Pada Pneumonia, sputumnya berkarat (rusty). Pada
Bronkiektasis, penderita mengeluarkan dahak banyak, dan bisa dibedakan adanya
3 lapisan dengan konsistensi yang berbeda. Jika penderita mengeluarkan
dahaknya dengan berdehem, sangat mungkin itu berasal dari saluran napas atas
(=post nasal drip).
2. Sesak Napas (Dispnea)
Sesak nafas atau nafas pendek merupakan suatu keluhan yang menunjukan
ada gangguan atau penyakit kardiorespirasi. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan keluhan sesak nafas, secara umum dikelompokan di bawah ini:
1. Faktor psikis
keadaan emosi tertentu; saat menangis terisak-isak atau tertawa terbahak-
bahak. Sesak nafas karena factor emosi terjadi melalui mekanisme
hiperventilasi.
2. Faktor peningkatan kerja pernafasan
2.1. Peningkatan ventilasi
latihan jasmani, hiperkapnia, hipoksia hipoksik, asidosis metabolik
2.2. Sifat fisik yang berubah
tahanan elastis paru meningkat seperti pada pneumonia
tahanan elastis dinding toraks meningkat, seperti pada obesitas
peningkatan tahanan bronkial selain dari tahanan elastis. Seperti pada
asma bronkial dan bronkitis
Jika kemampuan mengembang dinding toraks maupun paru berkurang
sedangkan tahanan saluran nafas meningkat, maka tenaga yang diperlukan
otot pernafasan guna memberikan perubahan volume serta tenaga yang
9
diperlukan akan bertambah. Jika paru tidak dapat memenuhi kebutuhan
oksigen maka akan terjadi sesak nafas.
3. Otot pernafasan yang abnormal
3.1 Penyakit otot
kelemahan otot, kelumpuhan otot, dan otot yang distrofi
3.2 Fungsi mekanis otot berkurang
saat inspirasi maupun saat ekspirasi
Kelelahan yang terjadi pada otot tergantung dari jumlah energi yang tersimpan
dalam otot serta kecepatan pemasokan energi.
Patofisiologi sesak nafas dapat dibagi sebagai berikut:
1) Oksigenasi jaringan menurun
Penyakit atau keadaan tertentu dapat menyebabkan kecepatan pengiriman
oksigen ke jaringan menurun, seperti perdarahan anemia, perubahan
hemoglobin dapat menyebabkan sesak nafas.
2) Kebutuhan oksigen meningkat
Penyakit atau keadaan tertentu seperti infeksi akut yang membutuhkan
oksigen lebih banyak karena peningkatan metabolisme akan menyebabkan
sensasi sesak nafas
3) Kerja pernafasan meningkat
Penyakit parenkim paru seperti pneumonia, sembab paru akan menyebabkan
elastisitas paru berkurang serta penyakit yang menyebabkan penyempitan
saluran nafas dapat menyebabkan ventilasi paru menurun. Untuk
mengimbangi keadaan ini otot pernafasan bekerja lebih keras, keadaan ini
menimbulkan peningkatan metabolisme.
4) Rangsangan pada sitem saraf pusat
Penyakit yang menyerang sistem saraf pusat dapat menimbulkan serangan
sesak nafas secara tiba-tiba. Belum diketahui mekanisme pasti bagaimana hal
ini dapat terjadi.
10
5) Penyakit neuromuskuler
Banyak penyakit yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernafasan jika
mengenai diafragma, seperti miastenia gravis dan amiotropik lateral sklerosis.
Tetapi ekanismenya belum diketahui secara jelas.
Klasifikasi sesak nafas:
Sesuai dengan berat ringannya keluhan, sesak nafas dapat dibagi menjadi 5
tingkat:
a) Sesak nafas tingkat I
Tidak ada hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Tetapi sesak nafas
terjadi bila penderita melakukan aktifitas yang berat dari biasanya.
b) Sesak nafas tingkat II
Sesak nafas terjadi bila penderita melakukan aktifitas yang berat dari biasanya.
Tetapi tidak terjadi bila melakukan aktifitas yang biasa. Seperti naik tangga
dan berlari.
c) Sesak nafas tingkat III
Sesak nafas sudah timbul saat penderita melakukan kegiatan sehari-hari, tetapi
penderita masih dapat melakukan tanpa bantuan orang lain.
d) Sesak nafas tingkat IV
Penderita sudah sesak napas pada waktu melakukan kegiatan sehari-hari
seperti mandi, berpakaian, dll. Sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
melakukan kegiatan sehari-hari. Sesak napas belum tampak pada waktu
penderita istirahat.
e) Sesak nafas tingkat V
Penderita harus membatasi diri dalam melakukan kegiatan dan aktivitas
sehari-hari yang pernah dilakukan secara rutin. Keterbatasan ini menyebabkan
penderita lebih banyak berada di tempat tidur. Untuk memenuhi segala
kebutuhannya, penderita sangat bergantung pada orang lain.
Dispnea merupakan manifestasi penting penyakit-penyakit Kardio-
pulmoner, meskipun dapat ditemukan pada keadaan-keadaan lain seperti penyakit
Neurologik, Metabolik, maupun Psikologik. Adalah penting untuk membedakan
dispnea dengan takipnea atau bernafas cepat secara objektif. Pasien mungkin
11
terlihat bernafas cepat, walaupun menyatakan bahwa ia tidak sesak nafas.
Sebaliknya juga terjadi: seorang pasien mungkin bernafas lambat tetapi ia
mengeluh sesak napas/dispnea. Jangan menganggap bahwa pasien dengan laju
pernafasan yang cepat adalah menderita dispnea
Dispnea nocturnal paroksismal (PND) adalah sesak nafas yang timbul
secara tiba-tiba ketika pasien enak-enaknya tidur. Pasien tiba-tiba mengalami
sensasi tercekik yang kuat. Dengan penuh ketakutan ia duduk dan, biasanya
berlari ke jendela untuk mendapatkan “udara” .Segera setelah pasien mengambil
posisi tegak lurus,dispneanya biasanya membaik. Ortopnea adalah kesulitan
bernafas ketika berbaring lurus, pasien memerlukan dua bantal atau lebih untuk
bernafas dengan nyaman
Platipnea adalah gejala kesulitan bernafas yang jarang terjadi ketika
pasiennya duduk dan hilang bila mengambil posisi berbaring. Trepopnea adalah
keadaan dimana pasien lebih nyaman bernafas bila berbaring pada sisi tubuhnya.
DOE (Dyspnea On Exercise) atau disebut juga sebagai dyspnoe d’effort, adalah
keluhan sesak napas yang berhubungan dengan aktivitas fisik sehari-hari.
Dispnea akut apalagi yang disertai respiratory distresss merupakan keadaan
gawat darurat Paru, yang harus segera ditangani karena adanya ancaman
kematian. Dalam hitungan detik-menit, sesak akan bertambah berat, keadaan akan
bertambah buruk. Beberapa contoh keadaan atau penyakit yang bisa menyebabkan
sesak napas akut berat adalah : Pneumotorak Ventil, Emboli Paru masif, Edem
Paru Akut Kardiogenik, Asma akut berat, Eksaserbasi akut pada COPD, dll.
Disisi lain, sesak napas ada yang berjalan pelahan tetapi progresif dalam hitungan
tahun, disebut dispnea kronik progresif, misalnya yang terjadi pada COPD,
Penyakit-penyakit Paru Interstisiel, Penyakit Paru Kerja, dll.
3. Demam
Demam atau febris merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
suhu tubuh yang melebihi dari suhu tubuh normal. Proses perubahan suhu yang
terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang
masuk kedalam tubuh. Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses
12
peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya
merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang
mengancam keadaan fisiologis tubuh.
Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme)
kedalam tubuh kita. Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh umumnya
memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan
masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya dengan
memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag,
dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit
ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang
dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti
infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel
endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat.
Asam arakhidonat dapat keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2.
Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran
prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim
siklooksigenase (COX). Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari
termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan
titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan
ini dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa suhu tubuh sekarang
dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya
proses mengigil ( pergerakan otot rangka) ini ditujukan untuk menghasilkan panas
tubuh yang lebih banyak dan terjadilah suatu keadaan yang dinamakan demam.
4. Nyeri dada
Nyeri dada (Chest pain atau Chest discomfort) merupakan sensasi nyeri atau
rasa tidak nyaman di dada atau didalam dada, yang dapat disebabkan oleh
berbagai keadaan atau penyakit yang mengenai berbagai struktur dalam dada
seperti Jantung, Paru, Costa, Esofagus, dll. Anamnesis yang cermat meliputi Site,
Onset, Characteristic, Reffered, Associated, Time, Exacerbation, dan Severity dari
keluhan nyeri dada tersebut, akan membantu dalam penegakan diagnosis dan
13
memperkirakan penyebabnya. Sesak napas yang berkaitan dengan penyakit Paru
biasanya disebabkan oleh terserangnya dinding dada atau pleura parietal. Serabut
saraf banyak terdapat didaerah ini. Nyeri pleura (Pleuritic pain) pada penderita
Pneumonia diakibatkan oleh peradangan pada pleura. Nyeri ini dilukiskan
sebagai nyeri tajam, seperti ditusuk-tusuk, yang biasanya terasa pada waktu
inspirasi serta diperparah oleh gerakan yang menyebabkan kedua pleura
bergesekan misalnya saat bernapas dalam, saat batuk atau bersin. Nyeri ini akan
terlokalisir disatu tempat pada salah satu sisi tubuh, dan pasiennya mungkin
melakukan splinting untuk menghindari nyeri. Nyeri serupa tetapi agak tumpul
(=kemeng) kadang ditemukan pada Pneumotoraks. Nyeri dipuncak bahu
menandakan iritasi pleura diafragmatika, sedangkan nyeri tumpul yang terus
menerus mungkin disebabkan oleh erosi iga akibat Karsinoma bronkus. Nyeri
yang terlokalisasi pada dada anterior dan mungkin disertai oleh nyeri tekan pada
palpasi daerah kostokondra adalah ciri nyeri akibat kostokondritis.
Dilatasi akut arteri pulmonalis utama dapat pula menimbulkan sensasi
tekanan tumpul, seringkali tidak dapat dibedakan dengan angina pectoris. Ini
disebabkan oleh ujung saraf yang berespons terhadap perubahan peregangan
arteri pulmonalis utama
Nyeri dada akibat penyakit atau kelainan Jantung, atau akibat penyakit lainnya,
akan dibicarakan tersendiri.
PNEUMONIA
Definisi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia Komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat infeklsi di
luar RS, sedangkan Pneumonia Nosokomial adalah pneumonia yang terjadi >48
jam atau lebih setelah dirawat di RS, baik di ruang rawat umum ataupun ICU
tetapi tidak sedang memakai ventilator. Pneumonia yang Berhubungan dengan
Ventilator adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah
14
intubasi trakeal. Pada PPK (Pusat perawatan Kesehatan) termasuk pasien yang
dirawat oleh perawatan akut di RS selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari
dari proses infeksi, tinggal di rumah perawatan (nursing home atau long-term
care facility), mendapat AB intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam
waktu 30 hari proses infeksi ataupun dating ke klinik RS atau klinik hemodialisa.
Insidens
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang
jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati
adanya satu atau lebih penyakit dasar yang menggaggu daya tahan tubuh.
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia dan sering
terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit lain seperti DM, payah jantung, penyakit arteri koroner,
keganasan, insufisiensi renal, penyakit saraf kronik, dan penyakit hati kronik.
Factor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus,
DM, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada, dan
penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan invasive seperti infuse, intubasi,
trakeostomi, atau pemasangan ventilator.
Anamnesis epidemiologi harus mencakup keadaan lingkungan pasien,
tempat yang dikunjungi dan kontak dengan orang lain atau binatang yang
menderita penyakit yang serupa. Pneumonia diharapkan akan sembuh setelah
terapi 2-3 minggu. Bila lebih lama perlu dicurigai adanya infeksi kronik oleh
bakteri anaerob atau non bakteri seperti oleh jamur, mikobakterium atau parasit.
PNEUMONIA KOMUNITI
Definisi
Pneumonia Komuniti adalah pneumonia yang didapat dimasyarakat. Di
dunia, Pneumonia Komuniti ini merupakan masalah kesehatan karena angka
kematiannya yang tinggi.
Etiologi
Penyebab Pneumonia Komuniti banyak disebabkan kuman gram positif
dan dapat pula kuman atipik. Akan tetapi di indonesia, laporan akhir-akhir ini
15
menunjukan bahwa kebanyakankuman yang ditemukan dari pemeriksaan
mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sebagai berikut :
K. pneumoniae 45,18%
S. Pneumoniae 14,04%
S. Viridans 9,21%
S.aureus 9%
Pseudomonas aeruginosa 8,56%
β hemolitik 7,89%
Enterobacter 5,26%
Pseudomonas spp 0,9%
Diagnosis
Didapatkan dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan pisik, foto toraks
dan laboratorium. Diagnosis pasti Pneumonia Komuniti ditegakan jika pada foto
thoraks terdapat infiltrat progresif ditambahkan dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini:
Batuk bertambah berat
Perubahan karekteristik dahak / purulen
Suhu tubuh > 37,5 °C (Oral) / Riwayat demam
Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda – tanda konsolidasi dan ronki
Leukosit > 10.000 atau > 4500
Menurut American Thoracic Society (ATS) Kriteria Pneumonia berat bila
dijumpai salah satu atau lebih kriteria diawah ini.
Kriteria minor :
Frekuensi nafas > 30 / menit
PaO2 / FiO2 kurang dari 250 mmHg
Gambaran Rontgen menunjukan kelainan bilateral
Gambaran Rontgen paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor:
16
Membutuhkan ventilasi mekanik
Infiltrat bertambah > 50%
Membutuhkan Vasopressor > 4 jam (syok septik)
Serum kreatin > 2mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dl, pada penderita
riwayat penyakit ginjal yang membutuhkan dialisis.
Berdasarkan kesepakatan perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
2003, Kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti
adalah:
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap
bila dijumpai salah satu kriteria dibawah ini.
- Frekuensi nafas > 30 / menit
- PaO2 / FiO2 kurang dari 250 mmHg
- Gambaran Rontgen menunjukan kelainan bilateral
- Gambaran Rontgen paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Patogenesis
Proses patogenesis terkait 3 faktor yaitu:
1. Keadaan (imunitas) inang
2. Mikroorganisme yang menyerang pasien
3. Lingkungan yang berinteraksi satu sama lain
Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari
pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara
empiris serta prognosis dari pasien.
Gambaran interaksi dari ketiga fakor tersebut tercemin pada
kecenderungan terjadinya infeksi oleh kuman tertentu oleh faktor perubah.
Pneumokokkus yang resisten penisilin dan obat lain
- Usia > 65 tahun
- Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir
17
- Alkoholisme
- Penyakit imunosupresif
- Penyakit penyera yang multifel
- Kontak pada klinik lansia
Patogen gram negatif
- Tinggal dirumah jompo
- Penyakit kardiopulmunal penyerta
- Penyakit penyerta jamak
- Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika
Pseudomonas aeruginosa
- Penyakit paru struktural (bronchiektasis)
- Terapi kortikosteroid (>10mg prednisone/hari)
- Terapi antibiotik spektrum luas > 7 haari pada bulan sebelumnya
- Malnutrisi
Penatalaksanaan
1. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
a. Istirahat ditempat tidur
b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antibiotik kuran dari 8 jam
2. Penderita Rawat Inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
a. Pemberian terapi oksigen
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pemberian antibiotik kuran dari 8 jam
3. Penderita rawat inap di ruang rawat intensif
Pengobatan suportif / simptomatik
a. Pemberian terapi oksigen
18
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pemberian antibiotik kuran dari 8 jam
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.
Prognosis
Kejadian PK di USA adalah 3,4 – 4 juta kasus pertahun, dan 20% di
antaranya perlu dirawat di R.S. Secara Umum angka kematian pneumonia oleh
pneumokokkus adalah sebesar 5%. Namun dapat menigkat pada orang tua dengan
kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenzadi USA merupakan penyebab
kematian no.6 dengan kejadian sebesar 59% sebagian besar pada lanjut usia yaitu
sebesar 89%. Mortalitas pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%.
Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan “faktor perubah” yang ada pada
pasien.
PNEUMONIA NASOKOMIAL
Definisi
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah
pasien 48 jam dirawat dirumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang
inkubasinya terjadi sebelum masuk rumah sakit.
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi
lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.
Etiologi
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia
komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug
resistance (MDR) misalnya S. Pneumoniae, H.influenzae, Methicillin sensitive
staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya pseudomonas
aeruginosa, escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter SPP dan gram
positive seperti Methicillin Resistence staphylococcus aureus (MRSA).
Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang
terjadi.
19
Etiologi tergantung pada 3 faktor yaitu tingkat berat sakit, adanya risiko
untuk jenis patogen tertentu dan masa menjelang timbul onset pneumonia.
Faktor risiko utama untuk patogen tertentu pada Pneumonia Nosokomial
Patogen Factor risiko
oStaphylococcus aureus
Methicillin resisten S.aureus
oPs. aeruginosa
oAnaerob
oAcinobachter spp
o Koma, cedera kepala, influenza,
pemakaian obat IV, DM,gagal
ginjal
oPernah dapat antibiotik, ventilator
>2 hari lama dirawat di ICU, terapi
steroid/antibiotik, kelainan struktur
paru (bronkiektasis, kistik fibrosis),
malnutrisi
oAspirasi, selesai operasi abdomen
oAntibiotik sebelum onset
pneumonia dan ventilasi mekanik.
Patogenesis
Patogen yang sampai ke trakea terutama berasal dari aspirasi bahan
orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber
bahan patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Apabila sejumlah
bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah
yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat
menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Sehingga PN
terjadi akibat proses infeksi bila patogen yang masuk saluran napas bagian bawah
tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme
pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mucus), humoral
(antibody dan complement) dan selular (leukosit polinuklear,makrofag,limfosit,
dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai factor inang dan terapi
yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah,
pemberian antibiotik, obat-obatan lainnya dan tindakan invasive pada saluran
pernafasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran
hematogen dan akibat tindakan intubasi.
20
Faktor predisposisi atau faktor risiko pneumonia nosokomial dibagi menjadi 2
bagian:
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, DM, alkoholisme,
azotemia), perawatan rumah sakit yang lama,koma,pemakaian obat tidur,
perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid,
pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik,
infeksi berat diluar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta
bronkiektasis.
2. Faktor eksogen
a Pembedahan
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%), dan
operasi abdomen bawah (5%).
b Penggunaan antibiotik
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama
antibiotik yang aktif terhadap streptococcus di orofaring dan bakteri
anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh pemberian antibiotik
golongan pemisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran
pencernaan. Sebagaimana diketahui streptococcus merupakan flora
normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat
pertumbuhan bakteri gram negatinve. Pemberian penisilin dosis tinggi
akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan
kolonisasi bakteri gram negative di orofaring.
c Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri psedomonas
aeruginosa dan bakteri gram negative lainnya sering terjadi.
d Pemasangan pipa/selang nasogrstrik, pemberian antasid dan alimentasi
enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negative di
lambung karena asam lambung dengan Ph <3 mampu dengan cepat
21
membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid/penyekat H2 yang
mempertahankan Ph >4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri
gram negative aerobik lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai
pH netral 6,4-7,0
e Lingkungan rumah sakit
o petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan
prosedur
o penatalaksanaan dan pemakaian alat-alat yang tidak sesuai prosedure
seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter
o pasien dengan kuman MDR tidak dirawat diruang isolasi
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP
o pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
o dirawat dirumah sakit > 5 hari
o tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit
tersebut
o penyakit imunosupresi dan pemberian pemberian imunoterapi
o ada faktor risiko pneumonia nosokomial
o ada penyakit/ terapi yang bersifat imunosupresi
Klasifikasi pneumonia nasokomial
Berdasarkan American Thoracic Society (ATS), dengan melihat 3 faktor sebagai
mana dibawah ini:
1. Beratnya penyakit pneumoni:
- ringan – sedang
- berat
2. Faktor resiko
3. Onset dari penyakit pneumonia
-onset dini (<5 hari)
-onset lanjut (>5 hari)
22
Maka pnemonia nasokomial dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
Kelompok 1 : pneumonia ringan- sedang onset setiap saat dan tidak ada faktor
resiko atau pneumonia berat dengan onset dini dan tidak ada faktor
resiko
Kelompok 2: pneumonia ringan- sedang, faktor resiko spesifik dan onset setiap
waktu
Kelompok 3: pneumonia berat onset setipa waktu dengan faktor resiko spesifik
dan atau pneumonia berat dengan onset lambat dan tidak ada faktor resiko
Kriteria pneumonia berat:
1. Dirawat diruang rawat intensif karena pneumonia atau gagal nafas
2. Gagal nafas yang memerlukan alat bantu nafas mekanik atau
membutuhkan O2 lebih dari 35% untuk mempertahankan saturasi O2 lebih
dari 90%
3. Perubahan radiologis secara progresif, pneumonia multilobar atau kaviti
dari infiltarat paru
4. Taerdapat sepsis dengan hipotensi denagn atau disfungsi organ termasuk:
- Syok (tekanan sistolik<90 mmhg atau diastolik < 60 mmhg0
- Memerlukan vasopresor >4 jam
- Jumlah urin < 20 ml/jam atau jumlah urin 80 ml/4jam
- Gagal ginjal akut yang memerlukan dialisis
Diagnosis
Kriteria diagnosis pneumonia nosokomial menurut Centers for Disease
Control and Prevention (CDC):
1. Ronki atau dullness pada perkusi torak. Ditambah salah satu:
a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya
b. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirasi transtrakeal, biopsi,
atau sapuan bronkus
2. Gambaran radiologis berupa infiltrat baru yang progresif, konsolidasi, kavitas,
atau efusi pleura dan salah satu dari a,b, atau c di atas
a. isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi
23
b. Titer antibodi tunggal yang diagnostik (IgM), atau peningkatan 4 kali titer
IgG dari kuman
3. pasien sama atau < 12 tahun dengan 2 dari gejala berikut: apnea, takipnea,
bradikardia, wheezing, ronki, atau batuk, disertai salah satu dari: peningkatan
produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria no.2 diatas
4. pasien sama atau < 12 tahun yang menunjukan infiltrat baru atau progresif,
kavitas, konsolidasi, atau efusi pleura pada foto torak. Ditambah salah satu
dari kriteria no.3 di atas.
Pengobatan
Pengobatan didasarkan atas klasifikasi pneumonia nosokomial menurun ATS
yaitu:
Kelompok 1
- Kuman penyebab : Enterobacter spp, E.Coli, Klebsiela spp, Proteus spp,
S.marcescens, H.influenzae, S.pneumonia, S.aureus
- Obat pilihan : sefalosforin generasi 2 atau 3 non psudomonas, beta laktam
ditambah inhibitor beta laktamase.
- Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau klindamisin
ditambah aztreonam
Kelompok 2
- Kuman penyebab utama : Enterobacter spp, E.Coli, Klebsiela spp, Proteus
spp, S.marcescens, H.influenzae, S.pneumonia, S.aureus
- Kuman penyebab tambahan: Anaerob, MRSA,ligeonela spp, P.aeruginosa
- Obat pilihan : sefalosforin generasi 2 atau 3 non psudomonas, beta laktam
ditambah inhibitor beta laktamase.
- Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau klindamisin
ditambah aztreonam
- Jika dicurigai anaerob diberikan klindaminin atau metronidazol atau beta
laktam ditambah inhibitor beta laktamase
- Jika dicurigai legionella spp : makrolid atau fluorokuinolon
- Jika dicurigai MRSA diberikan vancomisin
24
- Jika dicurigai P.aeruginosa diberikan sesuai dengan kelompok 2
Kelompok 3
- Kuman penyebab utama : Enterobacter spp, E.Coli, Klebsiela spp, Proteus
spp, S.marcescens, H.influenzae, S.pneumonia, S.aureus
- Kuman penyebab tambahan : P.aeruginosa, Acenobacter spp, S.
Maltophilia, MRSA
- Obat pilihan : Aminoglikosid dikombinasi dengan salah satu dibawah ini ;
1. Penisilin anti psudomonas
2. Piperasilin + tasobaktam
3. Seftasidin atau sefoperason
4. Imipenem
5. Meropenem
6. Sefepin
Harus dipikirkan kemungkinan terdapat infeksi P.aeruginosa atau
Acinebacter atau MRSA. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan pengobatan
antibiotik kombinasi. Jika terdapat S.maltopilia dapat diberikan kontrimoksasol
atau sefalosporin generasi 4.
Pencegahan
Pencegahan pneumonia nasokomial ditukan kepada upaya program
pengawasan dan pengontrolan infeksi termasuk pendidikan staf pelaksana,
pelaksanaan teknik isolasi dan praktek pengontrolan infeksi. Pada pasien dengan
gagal organ ganda, skor APACHE yang tinggi dan penyakit dasar yang dapat
berakibat fatal perlu diberikan terapi pencegahan. Terdapat berbagai faktor
terjadinya PN. Dari berbagai faktor tersebut beberapa faktor penting tidak bisa
dikoreksi. Beberap faktor dapat dikoreksi untuk mengurangi terjadinya PN, yaitu
antara lain dengan pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal
atau pemakaian obat sitoproktektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid.
Rekomendasi dalam pengolaan aktor resiko yang dapat diubah
25
Faktor inang
- Nutrisi adekuat, makanan enteral dengan selang nasogastrik
- Redukis atau penghentian terapi imunosupresif
- Cegah ekstubasi yang tidak derencanakan (tangan diikat,beri sedasi)
- Tempat tidur yang kinetik
- Spirometer incentife, nafas dalam, kontrol rasa nyeri
- Mengobati penyakit dasar
- Menghindari penghambat histamin tipe 2 dan antasida
Faktor alam
- Kurangnya obat sedative dan paralitik
- Hindari overdistensi lambung
- Hindari intubasi dan reintubasi
- Pencabutan selang endotrakeal dan nasogastrik yang tercerna
- Posisi setengah duduk (30-40 derajat)
- Jaga saluran ventilator bebas dari kondensasi
- Tekanan ujung slang endotrakeal lebih dari 20 cmH2O (menjaga
kebocoran patogen ke saluran napas bawah
- Aspirasi sekresi epiglotis yang kontinue
Faktor lingkungan
- Pendidikan
- Menjaga prosedure pengontrol infeksi oleh staf
- Program Pengontrolan infeksi
- Mencuci tangan, disinfektasi peralatan.
Prognosis
Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50 % yang bisa mencapai 70%
bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab
kematian biasanya adalah akibat bakteriemi terutama oleh Ps.Aeruginosa atau
Acinobacter spp.
26
PNEUMONIA ASPIRASI
Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring pada
saat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan
parenkim paru. Kerusakan yang terjadi tergantung jumlah dan jenis bahan yang
teraspirasi serta daya tahan tubuh. Sindrom aspirasi dikenal dalam berbagai
bentuk berdasarkan etiologi dan patofisiologi yang berbeda dan cara terapi yang
juga berbeda. Di Amerika pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas (PAK)
adalah sebanyak 1200 per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan pneumonia
aspirasi nosokomial (PAN) sebesar 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per
tahun. PA lebih sering dijumpai pada pria daripada perempuan, terutama usia anak
atau usia lanjut.
Patofisiologis
Pneumonia aspirasi dapat disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonitis
kimia akibat aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan
makanan dan lambung, edema paru, dan obstruksi mekanik simple oleh bahan
padat.
Faktor predisposisi terjadinya aspirasi berulang kali adalah :
Penurunan kesadaran yang mengganggu proses penutupan glottis, reflex
batuk (kejang, strok, pembiusan, cedera kepala, tumor otak)
Disfagia sekunder akibat penyakit esophagus atau saraf (kanker nasofaring,
scleroderma)
Kerusakan sfingter esophagus oleh selang nasogastrik. Juga berperan jumlah
bahan aspirasi, hygiene gigi yang tidak baik dan gangguan mekanisme klirens
saluran napas.
Luas dan beratnya kondisi pasien sering tergantung kepada volume an keasaman
cairan lambung. Jumlah asam lambung yang banyak dapat meniombulkan
gangguan pernapasan akut dalam waktu 1 jam setelah obstruksi sebagai akibat
dari aspirat atau cairan yang masuk ke saluran napas. Namun biasanya aspirasi
sedikit hingga hanya menimbulkan sakit ringan. PA sering dijumpai pada keadaan
emergensi yaitu pada pasien dengan gangguan kesadaran dengan atau tanpa
gangguan menelan. Karena itu perlu diwaspadai risiko terjadinya PA pada pasien
27
dengan infeksi, intoksikasi obat, gangguan metabolism, strok akut dengan atau
tanpa massa di otak atau cedera kepala. Aspirasi cairan lambung dapat
menimbulkan pneumonitis kimia dan pneumonitis bakteril sering terjadi akibat
flora orofaring.
Etiologi
Infeksi terjadi secara endogen oleh kuman orofaring yang biasanya
polimikrobial namun jenisnya tergantung kepada lokasi, tempat terjadinya, yaitu
di komunitas atau di RS. Pada PAK, kuman pattogen terutama berupa kuman
anaerob obligat (41-46%) yang terdapat di sekitar gigi dan dikeluarkan melalui
ludah, misalnya peptococcus yang juga dapat disertai klebsiella pneumonia dan
stafilokokus atau fusobacterium nucleatum, bacteriodes melaninogenicus dan
peptostreptococcus. Pada PAN pasien di RS kumannya berasal dari kolonisasi
kuman anaerob fakultatif, batang gram negative, pseudomonas, proteus, serratia,
dan S. aureus di samping bias juga disertai oleh kuman anaerob obligat di atas.
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang menyokong adanya
kemungkinan aspirasi yaitu pada pasien yang berisiko untuk mengalami
pneumonia aspirasi yaitu pasien yang mendadak batuk dan sesak napas sesudah
makan dan minum. Awitan umumnya insidious, walaupun bias memberikan
gambaran akut seperti pneumonia pneumokokus berupa sesak napas pada saat
istirahat, sianosis, demam meninggigil, nyeri pleuritik, batuk dan dahak purulen
berbau, nyeri perut, anoreksia, dan penurunan berat badan. Dengan pewarnaan
gram terhadap bahan sputum saluran napas dapat dijumpai banyak neutrofil dan
kuman campuran. Terdapat leukositosis dan LED meningkat. Foto thorax terlihat
gambaran infiltrate pada segmen paru unilateral yang dependen yang mungkin
disertai kavitasi dan efusi pleura. Lokasi tersering adalah lobus kanan tengah dan
tau lonus atas, meskipun lokasi ini tergantung kepada jumlah aspirat dan posisi
badan pada saat aspirasi. Perlu diperiksakan elektrolit, BUN dan kreatinin, analisis
gas darah dan kultur darah.
28
Terapi
Pasien dibaringkan setengah duduk. Pada pasien disfagi atau gangguan
regfleks menelan perlu dipasang selang nasogastrik. Pada PAK terapi empiric
harus mencakup pathogen anaerob, sedangkan PAN harus mencakup pathogen
gram negative dan s. aureus sampai hasil kultur memberikan hasil; penentuan
terapi antibiotic. PA tipe yang didapat dimasyarakat diberikan penisilin atau
sefalosporin generasi ke 3 atau klindamisin 600 mg iv/8 jam dan bila PA rumah
sakit diberikan antibiotic spectrum luas anaerob dan aerob seperti aminoglikosiida
kombinasi sefalosporin generasi 3 atau 4 atau klindamisin. Antibiotic diteruskan
hingga kondisi pasien baik, gambaran radiologis bersih atau stabil selama 2
minggu atau 3-6 minggu. Pada empiema dipasang water scaled drainase dan
abses paru dilakukan bronkoskopi. Kortikosteroid sebagai obat tambahan bila
terdapat bronkokonstriksi reaktif.
Komplikasi dan Mortalitas
Dapat terjadi gagal napas akut dengan / tanpa disertai reaktif saluran napas,
empiema, abses paru, dan superinfeksi paru. Angka mortalitas PAK adalah 5%
yang meningkat menjadi 20% pada PAN.
Prognosis
Angka mortalitas pneumonitis yang tidak disertai komplikasi sebesar 5%
sedangkan pada aspirasi massif dengan/tanpa disertai sindrom mendelson
mencapai 70%.
PNEUMONIA PADA USIA LANJUT
Pneumonia komunitas pada usia lanjujt (di atas 60 tahun) teruutama terjadi
pada 2 kelompok yaitu usia lanjut yang tinggal di rumah dan yang tinggal di
rumah perawatan. Kelompok kedua ini bila ditinjau dari flora orofaring dan
besarnya kontak dengan antibiotika dapat dianggap berada di antara pneumonia
komunitas dan pneumonia nosokomial. Gambaran klinik yang ditemukan
umumnya berbeda daripada gambaran pada usia lebih muda, yaitu dengan onset
yang insidious, sedikit batuk dan demam yang ringan dan disertai dengan
gangguan status mental atau bingung dan lemah. Kelainan fisik paru biasanya
29
ringan. Pathogen penyebab tersering adalah Str. Pneumonia (30-60%), H.
Influenza (20%) dan M. catarhalis. Dapat terjadi pneumonia aspirasi oleh
campuran kuman aerob dan anaerob dari faring akibat adanya gangguan reflex
menelan atau gangguan saraf motorik faring. Pada usia lanjut di rumah perawatan
yang baru selesai rawat inap di rumah sakit dengan pemberian antibiotic di jumpai
peningkatan kolonisasi gram negative. Bila terjadi aspirasi maka akan dijumpai
pneumonia oleh pathogen K.pneumonia, E.coli, enterobacteria dan P. aeriginosa.
Pada usia lanjut dari rumah perawatan penyebab pneumonia adalah kuman gram
negative 20-40%, s. aureus 10%, M. pneumonia menjadi penyebab pneumonia
pada 9% kasus yang berusia > 65 tahun.
PNEUMONIA KRONIK
Dapat berupa pneumonia karena infeksi dan bukan karena infeksi antara
lain pada pneumonia interstitial kronik yang disebabkan oleh proses degenerative
yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan proses fibrosis pada alveolar yang
diikuti indurasi dan atrofi paru. Pneumonia akibat infeksi merupakan pneumonia
yang berkembang dan berlangsung berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.
Disebabkan oleh bakteri (aktinomices, nokardia, p. pseudomallei, anaerob),
mikobakterium (M.tuberculosi, M.kansasii, M.Avium atau M.intracellulare),
jamur (blastpmyces, histoplasmosis), protozoa (E.histolitica) atau cacing.
Pneumonia kronik yang disebabkan campuran pathogen aerob dan anaerob dapat
menimbulkan pneumonia nekrotikans berupa lesi infiltrate multiple dan rongga di
paru. Diagnosis ditegakkan berdasarkan persangkaan lokasi kediaman di daerah
endemic infeksi, adanya factor predisposisi/gangguan imunitas pasien, hasil
radiologis dan bakteriologi. Adanya gejala panas badan yang ringan, penurunan
berat badan, dan batuk yang lama dengan atau tanpa disertai hemoptisis. Foto
thorax sering menunjukkan gambaran rongga tunggal atau multiple dengan
peningkatan corakan yang menghubungkan lesi dengan hilus sepanjang saluran
limfatik.
30
PNEUMONIA PADA GANGGUAN IMUN
Pada pasien dengan gangguan imun terdapat factor predisposisi berupa
kekurangan imunitas akibat proses penyakit dasarnya atau akibat terapi.
Gangguan ini terdapat dalam berbagai kategori abnormalitas yaitu mekanisme
pertahanan tubuh, misalnya gangguan dari imunoglobin, defek sel granulosit,
defek fungsi sel T. Bentuk pneumonia yang terjadi tergantung pada defek
imunitas tersebut. Pemberian kemoterapi merusak ketahanan mukosa sehingga
memudahkan terjadinya invasi kuman. Infeksi merupakan penyebab kematian
yang tersering terutama pada pasien leukemia akut. Lokasi infeksi yang utama
adalah di saluran napas bawah. Diagnosis ditegakkan atas dasar adanya factor
predisposisi, status epidemiologi, tingkat awitan, dan progresivitas penyakit.
Gambaran klinis bervariasi, awitan akut mungkin oleh bakteri atau aspergillus,
subakut yaitu dalam beberapa hari oleh p.carinii atau nokardia dan dalam
beberapa minggu oleh mikobakteria atau jamur. Gambaran konsolidasi pada foto
thorax mungkin minimal atau tidak ada pada infeksi bakteri dengan
granulositopenia berat, suatu hal yang tidak sesuai dengan beratnya proses
patologi. Pemeriksaan invasive diperlukan bilamana diagnosis sulit ditegakkan.
Bila setelah terapi empiris febris timbul lagiperlu dipertimbangkan rekurensi oleh
kuman lain dan dilakukan pemeriksaan ulangan. Dari bahan sputum, darah atau
cairan terhadap kemungkinan penyebab tersebut.
PNEUMONIA BENTUK LAIN
Pneumonia Rekurens
Disebut pneumonia rekurens (PR) atau berulang bila dijumpai 2 atau lebih
episode infeksi paru non TB dengan berjarak waktu lebih dari1 bulan, dan disertai
febris, gambaran infiltrate paru dan umumnya disertai sputum purulen,
leukositosis dan respons terhadap antibiotic yang baik. Pneumonia rekurens perlu
dibedakan dari Pneumonia Relaps yaitu dengan adanya 1 episode infeksi yang
sama dan terjadi pada 2 waktu atau lebih serta berurutan dengan interval waktu
yang lebih pendek. Pada pneumonia relaps ini perlu dicari kelainan dasar paru,
apakah terdapatnya local atau pada beberapa tempat. Bila bersifat umum kelainan
31
ini bisa dalam bentuk kelainan congenital, herediter atau didapat yang
berhubungan dengan adanya kelainan paru, jantung, gastrointestinal, gangguan
imunitas, ataupun sebab lainnya.
Pneumonia rekurens sering berhubungan dengan keadaan patologi
intrathorax dan ekstrathorax. Penyakit intrathorax yang tersering dijumpai
berhubungan dengan PR adalah PPOK, gagal jantung kongestif, gangguan
imunitas local seperti bronkiektasis, benda asing pada bronchial, tumor
endobronkial, TB paru, asma, dan pasca-operasi paru. Seangkan penyakit
ekstrathorax adalah alkoholik, DM, sinusitis kronik, epilepsy, penyakit
hematologi (misalnya leukemia limfositik, kronik), penyakit keganasan dan terapi
steroid sistemik. Di samping itu juga sindrom lobus tengah kanan merupakan
suatu bentuk infeksi rekurens local pada paru oleh atelektasis lobus media kanan
yang diakibatkan adanya perbesaran kelenjar peribronkial, gangguan ventilasi dan
gangguan anatomi. Diagnosis dasar penyakit PR sering telah diketahui dari
pemeriksaan klinis, namun kadang-kadang memerlukan pemeriksaan khusus.
Penyakit Paru Eosinofilik
Merupakan penyakit paru akibat kelompok gangguan paru yang beragam
yang ditandai oleh adanya infiltrasi eosinofil pada bronkus, alveoli, dan
interstisium paru. Manifestasinya dapat sebagai penyakit yang terbatas pada paru
atau sebagai penyakit sistemik. Hiperosinofilia mungkin tidak terdapat pada
daerah perifer. Bentuk yang tersering adalah eosinofilik paru yang simple,
pneumonia eosinofilik akut, pneumonia eosinofilik kronik, Sindrom Churg-
Strauss, Sindrom eosinofilik idiopatik, aspergilosis bronkopulmoner eosinofilik,
granulomatosis bronkosentrik, akibat infeksi parasit atau akibat reaksi obat.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada gambaran klinik, hasil
laboratorium, gambaran radiologic, hasil cucian bronkus, dan bilamana diperlukan
dilakukan biopsy paru. Terapi diberikan terhadap penyebabnya
Pneumonia Resolusi Lambat
Dikatakan bila pneumonia mengalami resolusi lambat yaitu bila
pengurangan gambaran konsolidasi pada foto toraks lebih kecil dan 50 % dalam 2
minggu dan berlangsung lebih dan 21 hari.
32
DIAGNOSA BANDING DARI PNEUMONIA
FARINGITIS
Definisi
Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil
yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis
dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal di daerah
faring.
Jenis faringitis
Faringitis Virus Faringitis Bakteri
Biasanya tidak ditemukan nanah di
tenggorokan
Sering ditemukan nanah di
tenggorokan
Demam ringan atau tanpa demam Demam ringan sampai sedang
Jumlah sel darah putih normal atau
agak meningkat
Jumlah sel darah putih meningkat
ringan sampai sedang
Kelenjar getah bening normal atau
sedikit membesar
Pembengkakan ringan sampai
sedang pada kelenjar getah bening
Tes apus tenggorokan memberikan
hasil negatif
Tes apus tenggorokan memberikan
hasil positif untuk strep throat
Pada biakan di laboratorium tidak
tumbuh bakteri
Bakteri tumbuh pada biakan di
laboratorium
Etiologi
Faringitis akut baik yang disertai demam atau tidak, pada umumnya
disebabkan oleh virus seperti Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenzavirus,
Coksakievirus, Coronavirus, Echovirus, Epstein-Bar virus (mononukleosis) dan
Cytomegalovirus. Dari golongan bakteri seperti streptokokus beta hemolitikus
kelompok A, merupakan kelompok bakteri yang sering ditemukan, sedangkan
33
jenis bakteri yang lain seperti Neisseria gonorrhoeae, Corynobacterium
diphtheriae, Chlamydia pneumonia, streptokokus group C dan D. Penyebab
faringitis yang lain seperti Candida albicans (Monilia) sering didapatkan pada
bayi dan orang dewasa yang dalam keadaan lemah atau terimunosupresi. Hal-hal
seperti udara kering, rokok, neoplasia, intubasi endotrakeal, alergi, dan luka akibat
zat kimia dapat juga menyebabkan faringitis.
Patogenesis
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium
awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat
mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering
dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding
faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu
terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan
bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi
meradang dan membengkak.
Gejala
Baik pada infeksi virus maupun bakteri, gejalanya sama yaitu nyeri
tenggorokan dan nyeri menelan. Selaput lendir yang melapisi faring mengalami
peradangan berat atau ringan dan tertutup oleh selaput yang berwarna keputihan
atau mengeluarkan nanah. Gejala lainnya adalah:
Demam
Pembesaran kelenjar getah bening di leher
Peningkatan jumlah sel dara hputih.
Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus maupun bakteri,
tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi karena bakteri.
Diagnosa dan pemerikasaan penunjang
Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan
penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjar-
kelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya
34
limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering
ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat
diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang
disebabkan oleh virus. Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi
pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau
lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada
diagnosis infeksi virus.
Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang dapat
dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan streptokokus. Menurut
Simon, diagnosa standar streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur
tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi tergantung
dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain seperti gonokokus dapat
diskrening dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat dikultur dengan
media yang khusus seperti pada Epstein-Bar virus menggunakan monospot.
Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis.
Terapi
Terapi faringitis virus adalah aspirin atau asetaminofen, cairan dan istirahat
baring. Komplikasi seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh
invasi bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus.
Antibiotik dicadangkan untuk komplikasi ini. Faringitis streptokokus paling baik
diobati dengan pemberian penisilin oral (200.000-250.000 unit penisilin G, 3-4
kali sehari, selama 10 hari). Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan
respon klinis yang cepat dengan penurunan suhu badan dalam waktu 24 jam.
Eritromisin atau klindamisin merupakan obat lain dengan hasil memuaskan, jika
penderita alergi terhadap penisilin.
Dengan tambahan untuk mencukupi terapi antibiotik terhadap pasien-pasien
yang menderita faringitis, tanpa menghiraukan etiologinya, seharusnya diberikan
antipiretik untuk mengatasi nyeri atau demam. Obat yang dianjurkan seperti
ibuprofen atau asetaminofen. Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang
sangat hebat, selain terapi obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher
dapat membantu meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam
35
hangat dapat pula memberikan sedikit keringanan gejala terhadap nyeri
tenggorokan, dan hal ini dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk
dapat bekerjasama.
Seorang anak dengan infeksi streptokokus tidak akan menularkan lagi kepada
orang-orang lain dalam beberapa jam setelah mendapatkan pengobatan antibiotik.
Sementara itu anak-anak dengan infeksi virus akan tetap dapat menularkan selama
beberapa hari.
TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin ini terdiri dari susunan kelenjar limfa yang terdapat di
rongga mulut, yaitu: tonsil faringeal (Adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial),
tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), dan tonsil tuba eustachius (lateral band
dinding faring). Penyebaran infeksi melalui udara, tangan, dan ciuman dapat
terjadi pada semua usia terutama anak.
Gejala
Nyeri tenggorok, nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di
telinga (otalgia). Nyeri di telinga karena nyeri alih melalui saraf
N.glossofaringeus.
Terapi
Istirahat minum cukup, analgetika, antipiretika dan obat kumur yang
mengandung desinfektan. Untuk tonsillitis bacterial diberikan antibiotika
spectrum luas: penisilin dan eritromisin.
Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis,
abses peritonsil, bronchitis, myokarditis, dan abses parafaringeal.
LARINGITIS
Laringitis adalah peradangan pada laring (pangkal tenggorok). Laring
terletak di puncak saluran udara yang menuju ke paru-paru (trakea) dan
36
mengandung pita suara.
Etiologi
Penyebab yang paling sering adalah infeksi virus pada saluran pernafasan
bagian atas (misalnya common cold). Laringitis juga bisa menyertai bronkitis,
pneumonia, influenza, pertusis, campak dan difteri. Laringitis bisa terjadi akibat:
Penggunaan suara yang berlebihan
Reaksi alergi
Menghirup iritan (misalnya asap rokok).
Gejala
Gejala biasanya berupa perubahan suara berupa serak sampai hilangnya
suara. Tenggorokan terasa gatal dan tidak nyaman. Gejala lainnya yang juga bisa
ditemukan:
demam
tidak enak badan
kesulitan menelan
sakit tenggorokan.
Pembengkakan laring menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Dengan cermin kecil bersudut seperti yang digunakan dokter gigi, dokter bisa
melihat kemerahan dan pembengkakan pada laring.
Pengobatan
Pengobatan pada infeksi oleh virus tergantung kepada gejalanya. Penderita
sebaiknya mengistirahatkan pita suaranya dengan tidak bicara atau bicara dengan
berbisik. Menghirup uap bisa meringankan gejala dan membantu penyembuhan
daerah yang meradang. Jika penyebabny abakteri, diberikan antibiotik.
TRAKEOBRONKITIS AKUT
Radang akut dari saluran nafas bagian atas akan menimbulkan rasa nyeri
yang sedang dan digambarkan sebagai perasaan perih di tenggorokan dan iritasi
saluran napas, juga dirasakan nyeri dan pans di retrosternal bagian atas. Keadaan
37
akut terjadi umumnya hanya pada waktu ada epidemi influenza. Pasien jarang
sampai sakit berat, gejala-gejalanya dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan
dalam beberapa hari. Pada pemeriksaan bronkoskopi biasanya hanya ditemukan
selaput mukosa yang meradang yang berwarna merah dan mudah berdarah apabila
kena sentuhan. Bermacam-macam uap yang merangsang dapat menyebabkan
peradangan saluran
nafas bagian atas, biasanya hanya ringan dan sebentar (uap amonia). Pada keadaan
tertentu keadaan nyeri dapat berlangsung lama. Hal ini biasanya disebabkan oleh
karena polusi udara. Akibat perkembangan industrialisasi, sulfur dioksida,
nitrogen peroksida akan bertambah tinggi konsentrasinya dalam udara. Pada
perang dunia kedua banyak serdadu yang mengalami trakeobronkitis akibat
mengisap gas chlorine. Penderita bronkitis kronis dengan batuk yang produktif
dapat juga merasakan perasaan nyeri retrosternal.
BRONKITIS
Bronchitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi ( ektasis )
bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan bronkus
tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa
destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang
terkena umumnya bronkus kecil (medium size ), sedangkan bronkus besar jarang
terjadi.
Bronchitis kronis dan emfisema paru sering terdapat bersama-sama pada
seorang pasien, dalam keadaan lanjut penyakit ini sering menyebabkan obstruksi
saluran nafas yang menetap yang dinamakan cronik obstructive pulmonary
disease ( COPD ).
Di negara barat, kekerapan bronchitis diperkirakan sebanyak 1,3%
diantara populasi. Di Inggris dan Amerika penyakit paru kronik merupakan salah
satu penyebab kematian dan ketidak mampuan pasien untuk bekerja. Kekerapan
setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti dengan pengobatan
memakai antibiotik.
38
Di Indonesia belum ada laporan tentang anka-angka yang pasti mengenai
penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini sering ditemukan di klinik-klinik dan
diderita oleh laki-laki dan wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai dari anak
bahkan dapat merupakan kelainan congenital.
Etiologi
Penyebab bronchitis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas.
Pada kenyataannya kasus-kasus bronchitis dapat timbul secara congenital maupun
didapat.
a. Kelainan congenital
Dalam hal ini bronchitis terjadi sejak dalam kandungan. Factor genetic
atau factor pertumbuhan dan factor perkembangan fetus memegang peran
penting. Bronchitis yang timbul congenital ini mempunyai ciri sebagai
berikut:
Bronchitis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua
paru.
Bronchitis konginetal sering menyertai penyakit-penyakit konginetal
lainya, misalnya: mucoviscidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom
kartagener (bronkiektasis konginetal, sinusitis paranasal dan situs
inversus), hipo atau agamaglobalinemia, bronkiektasis pada anak kembar
satu telur (anak yang satu dengan bronkiektasis, ternyata saudara
kembarnya juga menderita bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan
dengan kelainan congenital berikut: tidak adanya tulang rawan bronkus,
penyakit jantung bawaan, kifoskoliasis konginetal.
b. Kelainan didapat
Kelaianan didapat merupakan akibat proses berikut:
Infeksi
Bronchitis sering terjadi sesudah seseorang menderita pneumonia yang
sering kambuh dan berlangsung lama, pneumonia ini merupakan
komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak,
tuberculosis paru dan sebagainya.
39
Obstruksi bronkus
Obstruksi bronkus yang dimaksud disini dapat disebabkan oleh berbagai
macam sebab : korpus alineum, karsinoma bronkus atau tekanan dari
luar terhadap bronkus.
Perubahan Patologi Anatomi
Terdapat berbagai macam variasi bronchitis, baik engenai jumlah atau
luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit:
a. Tempat predisposisi bronchitis
Bagian paru yang sering terkena dan merupakan predisposisi bronchitis adalah
lobus tengah paru kanan, bagian lingua paru kiri lobus atas, segmen basal pada
lobus bawah kedua paru.
b. Bronkus yang terkena
Bronkus yang terkena umumnya yang berukuran sedang, bronkus yang
terkena dapat hanya satu segmen paru saja maupun difus mengenai bronki
kedua paru.
c. Perubahan morfologis bronkus yang terkena
Dinding bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses
inflamasi yang sifatnya destruktif dan irreversibel. Jaringan bronkus yang
mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen
elastis.
Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel
menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa,. Apabila terjadi
eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi.
Jaringan paru peribronchiale
Pada keadaan yang hebat, jaringan paru distal akan diganti jaringan
fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.
40
d. Variasi kelainan anatomis bronchialis
Telah dikenal 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronchitis, yaitu:
Bentuk tabung
Bentuk ini sering ditemukan pada bronchitis yang menyertai bronchitis
kronik.
Bentuk kantong
Ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat
irregular. Bentuk ini berbentuk kista.
Bentuk antara bentuk tabung dan kantong
e. Pseudobronchitis
Pada bentuk ini terdapat pelebaran bronkus yang bersifat sementara dan
bentuknya silindris. Bentuk ini merupakan komplikasi dari pneumonia.
Patogenesis
Apabila bronchitis kongenital patogenesisnya tidak diketahui diduga erat
hubungannya dengan genetic serta factor pertumbuhan dan perkembangan fetus
dalam kandungan. Pada bronchitis yang didapat patogenesisnya diduga melelui
beberapa mekanisme : factor obstruksi bronkus, factor infeksi pada bronkus atau
paru-paru, fibrosis paru, dan factor intrinsik dalam bronkus atau paru. Patogenesis
pada kebanyakan bronchitis yang didapat melalui dua mekanisme dasar:
Infeksi bacterial pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronchitis. Infeksi
pada bronkus atau paru akan diikuti proses destruksi dinding bronkus daerah
infeksi dan kemudian timbul bronchitis.
Obstruksi bronkus akan diikuti terbentuknya bronchitis, pada bagian distal
obstruksi dan terjadi infeksi juga destruksi bronkus.
Bronchitis merupakan penyakit paru yang mengenai paru dan sifatnya kronik.
Keluhan-keluhan yang timbul juga berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-
keluhan yang timbul erat dengan: luas atau banyaknya bronkus yang terkena,
tingkatan beratnya penyakit, lokasi bronkus yang terkena, ada atau tidaknya
komplikasi lanjut.. keluhan-keluhan yang timbul umumnya sebagai akibat adanya
41
beberapa hal: adanya kerusakan dinding bronkus, akibat komplikasi, adanya
kerusakan fungsi bronkus.
Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronchitis, data
dijelaskan sebagai berikut;
a. Infeksi pertama ( primer ), kecuali pada bentuk bronchitis kongenital. Masih
menjadi pertanyaan apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronchitis
tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus. Infeksi yang mendahului
bronchitis adalah infeksi bacterial yaitu mikroorgansme penyebab pneumonia.
Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat menyebabkan
kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi bronchitis, sedangkan infeksi
virus tidak dapat ( misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak, dan
sebagainnya ).
b. Infeksi sekunder, tiap pasien bronchitis tidak selalu disertai infeksi sekunder
pada lesi, apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jernih
kemudian berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau
busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob misalnya :
fusifomis fusiformis, treponema vincenti, anaerobic streptococci. Kuman yang
erring ditemukan dan menginfeksi bronkus misalnya : streptococcus
pneumonie, haemophilus influenza, klebsiella ozaena.
Manifestasi klinis
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronchitis tergantung
pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya, dan ada tidaknya komplikasi
lanjut. Ciri khas pada penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi
sputum, adanya haemaptoe dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis
dapat demikian hebat pada penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa
gejala pada penyakit yang ringan. Bronchitis yang mengenai bronkus pada lobis
atas sering dan memberikan gejala:
1. Keluhan-keluhan
a. Batuk
Batuk pada bronchitis mempunyai ciri antara lain batuk produktif
berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronchitis kronis,
42
jumlah seputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada
pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur.
Kalau tidak ada infeksi skunder sputumnya mukoid, sedang apabila
terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau yang
tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan
menimbulkan sputum sangat berbau, pada kasus yang sudah berat,
misalnya pada saccular type bronchitis, sputum jumlahnya banyak
sekali, puruen, dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah
menjadi 3 bagian: lapisan teratas agak keruh, lapisan tengah jernih,
terdiri atas saliva (ludah), dan lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah
dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak (celluler debris).
b. Haemaptoe
Hemaptoe terjadi pada 50 % kasus bronchitis, kelainan ini terjadi akibat
nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah
(pecah) dan timbul perdarahan. Perdarahan yang timbul bervariasi mulai
dari yang paling ringan (streaks of blood) sampai perdarahan yang cukup
banyak (massif), yaitu apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat
hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri broncialis
(daerah berasal dari peredaran darah sistemik). Pada dry bronchitis
(bronchitis kering), haemaptoe justru gejala satu-satunya karena
bronchitis jenis ini letaknya dilobus atas paru, drainasenya baik, sputum
tidak pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk., pasien
tanpa batuk atau batukya minimal. Pada tuberculosis paru, bronchitis
(sekunder) ini merupakan penyebab utama komplikasi haemaptoe.
c. Sesak nafas (dispnue)
Pada sebagian besar pasien ( 50 % kasus ) ditemukan keluhan sesak
nafas. Timbul dan beratnya sesak nafas tergantung pada seberapa
luasnya bronchitis kronik yang terjadi dan seberapa jauh timbulnya
kolap paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi
berulang ( ISPA ), yang biasanya menimbulkan fibrosis paru dan
emfisema yang menimbulkan sesak nafas. Kadang ditemukan juga suara
43
mengi ( wheezing ), akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat
local atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya.
d. Demam berulang
Bronchitis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami
infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering
timbul demam ( demam berulang).
2. Kelainan fisis
Tanda-tanda umum yang ditemukan meliputi sianosis, jari tubuh,
manifestasi klinis komplikasi bronchitis. Pada kasus yang berat dan lebih
lanjut dapat ditemukan tanda-tanda korpulmonal kronik maupun payah
jantung kanan. Ditemukan ronchi basah yang jelas pada lobus bawah paru
yang terkena dan keadaannya menetap dari waku kewaktu atau ronci basah
ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural atau timbul lagi
diwaktu yang lain. Apabila bagian paru yang diserang amat luas serta
kerusakannya hebat, dapat menimbulkan kelainan berikut : terjadi retraksi
dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta
dapat terjadi penggeseran medistenum kedaerah paru yang terkena. Bila
terjadi komplikasi pneumonia akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan
pneumonia. Wheezing sering ditemukan apa bila terjadi obstruksi bronkus.
Sindrom kartagenr. Sindrom ini terdiri atas gejala-gejala berikut:
Bronchitis congenital, sering disertai dengan silia bronkus imotil
Situs inversus pembalikan letak organ-organ dalam dalam hal ini
terjadi dekstrokardia, left sided gall bladder, left-sided liver, right-
sided spleen.
Sinusitis paranasal atau tidak terdapatnya sinus frontalis. Semua
elemen gejala sindrom kartagener ini adalah keleinan congenital.
Bagaimana asosiasi tentang keberadaanya yang demikian ini belum
diketahui dengan jelas.
Bronchitis. Kelainan ini merupakan klasifikasi kelenjar limfe yang
biasanya merupakan gejala sisa komleks primer tuberculosis paru primer.
Kelainan ini bukan merupakan tanda klinis bronchitis, kelainan ini sering
44
menimbulkan erosi bronkus didekatnya dan dapat masuk kedalam bronkus
menimbulkan sumbatan dan infeksi, selanjutnya terjadilah bronchitis. Erosi
dinding bronkus oleh bronkolit tadi dapat mengenai pembuluh darah dan
dapat merupakan penyebab timbulnya hemaptoe hebat.
3. Kelainan laboratorium
Pada keadaan lanjut dan mulai sudah ada insufisiensi paru dapat
ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran
darahnya normal. Seing ditemukan anemia, yang menunjukan adanya
infeksi kronik, atau ditemukan leukositosis yang menunjukan adanya infeksi
supuratif.
Urine umumnya normal kecuali bila sudah ada komplikasi amiloidosis
akan ditemukan proteiuria. Pemeriksaan kultur sputum dan uji sensivitas
terhadap antibiotic, perlu dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi
sekunder.
4. Kelainan radiologist
Gambaran foto dada ( plain film ) yang khas menunjukan adanya kista-
kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon pada
daerah yang terkena, ditemukan juga bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau
kolaps. Gambaran bronchitis akan jelas pada bronkogram.
5. Kelainan faal paru
Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital (KV) dan
kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama (FEV1), terdapat
tendensi penurunan, karena terjadinya obstruksi airan udara pernafasan.
Dapat terjadi perubahan gas darah berupa penurunan PaO2 ini menunjukan
abnormalitas regional (maupun difus) distribusi ventilasi, yang berpengaruh
pada perfusi paru.
6. Tingkatan beratnya penyakit
Bronchitis ringan, ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya
terjadi sesudah demam, ada haemaptoe ringan, pasien tampak sehat dan
fungsi paru norma, foto dada normal.
45
Bronchitis sedang, ciri klinis: batuk produktif terjadi setiap saa, sputum
timbul setiap saat, ( umumnya warna hijau dan jarang mukoid, dan bau
mulut meyengat ), adanya haemaptoe, umumnya pasien masih Nampak
sehat dan fungsi paru normal. Pada pemeriksaan paru sering
ditemukannya ronchi basah kasar pada daerah paru yag terkena, gmbaran
foto dada masih terlihat normal.
Bronchitis berat, ciri klinis: batuk produktif dengan sputum banyak,
berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukannya pneumonia dengan
haemaptoe dan nyeri pleura. Bila ada obstruksi nafas akan ditemukan
adany dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru. Umumny pasien
mempunyai keadaan umum kurang baik, sering ditemukan infeksi
piogenik pada kulit, infeksi mata , pasien mudah timbul pneumonia,
septikemi, abses metastasis, amiloidosis. Pada gambaran foto dada
ditemukan kelainan : bronkovascular marking, multiple cysts containing
fluid levels. Dan pada pemeriksaan fisis ditemukan ronchi basah kasar
pada daerah yang terkena.
Diagnosis
Diagnosis pasti bronchitis dapat ditegakan apabila telah ditemukan adanya
dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi
dan melihat bronkogram yang didapat.
Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien bronchitis, karena
terikat adanya indikasi, kontraindikasi, syarat-syarat kaan elakukannya. Oleh
karena pasien bronchitis umumnya memberikan gambaran klinis yang dapat
dkenal, penegakan diagnosis bronchitis dapat ditempuh melewati proses
diagnostik yang lazim dikerjakan dibidang kedokteran, meliputi:
Anamnesis
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis banding
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau kita
berhadapan dengan pasien bronchitis:
46
1. Bronchitis kronis (ingatlah definisi klinis bronchitis kronis)
2. Tuberculosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru berupa
bronchitis)
3. Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar)
4. Penyakit paru penyebab hemaptomisis (misalnya karsinoma paru, adenoma
paru)
5. Fistula bronkopleural dengan empisema
Komplikasi
Ada beberapa komplikasi bronchitis yang dapat dijumpai pada pasien, antara lain :
Bronchitis kronik
Pneumonia dengan atau tanpa atelektaksis, bronchitis sering mengalami
infeksi berulang biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran nafas bagian
atas. Hal ini sering terjadi pada mereka drainase sputumnya kurang baik.
Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia.
Umumnya pleuritis sicca pada daerah yang terkena.
Efusi pleura atau empisema
Abses metastasis diotak, akibat septikemi oleh kuman penyebab infeksi
supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian
Haemaptoe terjadi kerena pecahnya pembuluh darah cabang vena ( arteri
pulmonalis ) , cabang arteri ( arteri bronchialis ) atau anastomisis pembuluh
darah. Komplikasi haemaptoe hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan
beah gawat darurat.
Sinusitis merupakan bagian dari komplikasi bronchitis pada saluran nafas
Kor pulmonal kronik pada kasus ini bila terjadi anastomisis cabang-cabang
arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus akan terjadi arterio-venous
shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis sentral, selanjutnya
terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor
pulmoner kronik,. Selanjutnya akan terjadi gagal jantung kanan.
Kegagalan pernafasan merupakan komlikasi paling akhir pada bronchitis yang
berat da luas
47
Amiloidosis keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai
komplikasi klasik dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi
ini dapat ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinurea.
Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien bronchitis terdiri atas dua kelompok:
A. Pengobatan konservatif, terdiri atas:
1) Pengelolaan umum, pengelolaan umum ditujukan untuk semua pasien
bronchitis, meliputi:
a) Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat untuk pasien, contoh :
Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering.
Mencegah / menghentikan rokok
Mencegah / menghindari debu,asap dan sebagainya.
b) Memperbaiki drainase secret bronkus, cara yang baik untuk
dikerjakan adalah sebagai berikut:
Melakukan drainase postural; pasien dilelatakan dengan posisi
tubuh sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum
secara maksimum. Tiap kali melakukan drainase postural
dilakukan selama 10 – 20 menit, tiap hari dilakukan 2 sampai 4
kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan
sputum ( secret bronkus ) dengan bantuan gaya gravitasi. Posisi
tubuh saat dilakukan drainase postural harus disesuaikan dengan
letak kelainan bronchitisnya, dan dapat dibantu dengan tindakan
memberikan ketukan pada pada punggung pasien dengan
punggung jari.
Mencairkan sputum yang kental, dapat dilakukan dengan jalan,
misalnya inhalasi uap air panas, mengguanakan obat-obat
mukolitik dan sebagainya.
Mengatur posisi tepat tidur pasien sehingga diperoleh posisi
pasien yang sesuai untuk memudahkan drainase sputum.
c) Mengontrol infeksi saluran nafas.
48
Adanya infeksi saluran nafas akut ( ISPA ) harus diperkecil dengan
jalan mencegah penyebaran kuman, apabila telah ada infeksi perlu
adanya antibiotic yang sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan.
2) Pengelolaan khusus
a) Kemotherapi pada bronchitis, kemotherapi dapat digunakan:
secara continue untuk mengontrol infeksi bronkus ( ISPA )
untuk pengobatan aksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru
atau kedua-duanya digunakan
Kemotherapi menggunakan obat-obat antibiotic terpilih,
pemkaian antibiotic antibiotic sebaikya harus berdasarkan hasil uji
sensivitas kuman terhadap antibiotic secara empiric.
Walaupun kemotherapi jelas kegunaannya pada pengelolaan
bronchitis, tidak pada setiap pasien harus iberikan antibiotic.
Antibiotik diberikan jika terdapat aksaserbasi infeki akut, antibiotic
diberikan selama 7-10 hari dengan therapy tunggal atau dengan
beberapa antibiotic, sampai terjadi konversi warna sputum yang
semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid ( putih jernih).
Kemotherapi dengan antibiotic ini apabila berhasil akan dapat
mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama
pada saat terjadi aksaserbasi infeksi akut, tetapi keadaan ini hanya
bersifat sementara.
b) Drainase secret dengan bronkoskop, cara ini penting dikerjakan
terutama pada saat permulaan perawatan pasien. Keperluannya antara
lain :
Menentukan dari mana asal secret
Mengidentifikasi lokasi stenosis atau obstruksi bronkus
Menghilangkan bstruksi bronkus dengan suction drainage daerah
obstruksi.
3) Pengobatan simtomatik, pengobatan ini diberikan jika timbul simtom yang
mungkin mengganggu atau mebahayakan pasien.
49
a) Pengobatan obstruksi bronkus, apabila ditemukan tanda obstruksi
bronkus yang diketahui dari hasil uji faal paru ( % FEV 1 < 70% )
dapat diberikan obat bronkodilator.
b) Pengobatan hipoksia, pada pasien yang mengalami hipoksia perlu
diberikan oksigen.
c) Pengobatan haemaptoe, tindakan yang perlu segera dilakukan adalah
upaya menghentikan perdarahan. Dari berbagai penelitian pemberian
obat-obatan hemostatik dilaporkan hasilnya memuaskan walau sulit
diketahui mekanisme kerja obat tersebut untuk menghentikan
perdarahan.
d) Pengobatan demam, pada pasien yang mengalami eksaserbasi inhalasi
akut sering terdapat demam, lebih-lebih kalau terjadi septikemi. Pada
kasus ini selain diberikan antibiotic perlu juga diberikan obat
antipiretik.
B. Pengobatan pembedahan
1) Tujuan pembedahan: mengangkat (reseksi) segmen/lobus paru yang
terkena.
2) Indikasi pembedahan:
Pasien bronchitis yang yang terbatas dan resektabel, yang tidak
berespon yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan
konservatif yang adekuat. Pasien perlu dipertimbangkan untuk
operasi
Pasien bronchitis yang terbatas tetapi sering mengaami infeksi
berulang atau haemaptoe dari daerakh tersebut. Pasien dengan
haemaptoe massif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.
3) Kontra indikasi
Pasien bronchitis dengan COPD
Pasien bronchitis berat
Pasien bronchitis dengan koplikasi kor pulmonal kronik
dekompensasi
4) Syarat-ayarat operasi.
50
Kelainan (bronchitis) harus terbatas dan resektabel
Daerah paru yang terkena telah mengalami perubahan ireversibel
Bagian paru yang lain harus masih baik misalnya tidak ada
bronchitis atau bronchitis kronik.
5) Cara operasi.
Operasi elektif: pasien-pasien yang memenuhi indikasi dan tidak
terdapat kontra indikasi, yang gagal dalam pengobatan konservatif
dipersiapkan secara baik utuk operasi. Umumnya operasi berhasil
baik apabila syarat dan persiapan operasinya baik.
Operasi paliatif: ditujukan pada pasien bronchitis yang mengalami
keadaan gawat darurat paru, misalnya terjadi haemaptoe masif
(perdarahan arterial) yang memenuhi syarat-syarat dan tidak terdapat
kontra indikasi operasi.
6) Persiapan operasi.
Pemeriksaan faal paru : pemeriksaan spirometri,analisis gas darah,
pemeriksaan broncospirometri (uji fungsi paru regional).
Scanning dan USG.
Meneliti ada atau tidaknya kontra indikasi operasi pada pasien.
Memperbaiki keadaan umum pasien.
Pencegahan
Timbulnya bronchitis sebenarnya dapat dicegah, kecuali dalam bentuk
congenital tidak dapat dicegah. Menurut beberapa literature untuk mencegah
terjadinya bronchitis ada beberapa cara:
Pengobatan dengan antibiotic atau cara-cara lain secara tepat terhadap
semua bentuk pneumonia yang timbul pada anak akan dapat mencegah
(mengurangi) timbulnya bronchitis
Tindakan vaksinasi terhadap pertusis (influenza, pneumonia) pada anak
dapat pula diartikan sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya
bronchitis.
Prognosis
51
Prognosis pasien bronchitis tergantung pada berat ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat
(konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit.
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,
survivalnya tidak akan lebih dari 5-10 tahun. Kematian pasien karena pneumonia,
empiema, payah jantung kanan, haemaptoe dan lainnya.
BRONKIOLITIS
Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus
yang pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala–gejala
obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing
pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto
dada
Epidemiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV),
60–90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2,
dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah
penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat
menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV
menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia
sebanyak 40%.
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden
tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden
bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi
menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang
menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal
(maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan
penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan
neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk
terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan
52
wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Di RSU Dr.
Soetomo penderita laki-Iaki lebih banyak seperti terlihat pada gambar 1. Faktor
resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi
rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat
penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi
maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu RSV
menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya
aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV.
Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang
penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.Di negara dengan 4
musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi,
di negara tropis pada musim hujan. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr.
Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak
didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei.
Patogenesis dan Patomekanisme
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm),
termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan
bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment
protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan
partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang
antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV
yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih
berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi
di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas
bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi
sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi
dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran
patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas
menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam
lumen bronkiolus . Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan
mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran
53
napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan,
sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang
menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas.
Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi
Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan
menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena
kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris
dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru ialah
dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance,
meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt.
Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan,
batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia,
hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran
udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4,
maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup
besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih
sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi
maupun pada fase ekspirasi.
Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan
terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir
ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila
obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila
terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak
yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi
imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang
berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap
penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi ‘cumulatif immunity’
sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan
terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus
dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat
54
sampai 15 hari . Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi
virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau
anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang
disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi
virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi
respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan
dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih
buruk.
Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi
hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh
puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE
dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV
ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi,
tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia
dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV .
Manifestasi Klinis
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer
dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam
dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh
batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah
serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan
orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang
ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan
ada yang mengalami hipotermi.
Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit,
kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas
cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya
tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).
Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan
ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat
55
pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi
hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar.
Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan,
otitis media serta faringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan
oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur
dioxide). Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam
beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing
yang berulang. Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis.
Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi
dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus
tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis.
Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan
adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1)
wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik
sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4)
menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel
respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori
berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry
merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan
penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan
merupakan indikasi untuk rawat inap.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada
pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk
batang. Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis
dengan eosinofilia.17 Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia
akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.Gambaran
radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat
paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang
56
tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy
infiltrates).
Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma
tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila
kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma
lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang
retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.
Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya,
berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale
merupakan diagnosis banding yang tersering. Diagnosis banding bronkiolitis
adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks
gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis .
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi
atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi
memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50%
kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan
menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini
adalah 80-90%.
Tatalaksana
Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi,
pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat.
Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral
yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap.
Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3
bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,
defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi
suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian
antivirus. Di Bagian Anak RS Dr Soetomo Surabaya selain terapi suportif, secara
rutin nebulasi agonis 2 juga diberikan pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid
sistemik diberikan pada kasus–kasus berat. Antibiotika diberikan bilamana
keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan
57
bakteri. Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.
Soetomo: 1. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita 2.
Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry
dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan
bantuan ventilasi mekanik. 3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol
0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 – 6 kali
per-hari 4. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV
5. Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi
sekunder 6. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung Terapi OksigenOksigen
harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat
ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2
liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box.
Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse
oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada
saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan
di rumah sakit. Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi
mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa
digunakan untuk mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi
keuntungan dengan cara membuka saluran napas kecil , mencegah air trapping
dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik dengan
ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-frequency jet
ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Terapi cairan
Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus dan diet
sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu
dan status hidrasi.
Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum,
panas, distres napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan
pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema
paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic
Hormone).
58
Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan
elektrolit yang mungkin timbul. AntibiotikaApabila terdapat perubahan pada
kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau
tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan
serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas.
Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap
perjalanan bronkiolitis.
Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain
sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan
predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan
antibiotika.Antivirus (Ribavirin)Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue,
menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi
messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas
polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau
sepuluh hari setelah terkena virus.
Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase
replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi.
Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan
SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit
lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan
ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan
karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang
terlibat, dan keterlambatan dalam memulai terapi. Kekurangan dari terapi ribavirin
harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada pekerja. Menurut American
Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada
bronkiolitis dengan kondisi spesifik.Bronkodilator Penggunaan bronkodilator
untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi
farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah
bronkodilator dan kortikosteroid.
Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan
saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan
59
mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab
mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari
mukosilier akan lebih baik. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-
pasien yang diberikan beta2 agonis secara nebulisasi menunjukkan perbaikan skor
klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi yang lain tidak. Sebuah
penelitian meta-analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator
pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan
perbaikan klinis yang singkat (short-term improvement) pada bronkiolitis ringan
dan sedang. Uji efikasi salbutamol secara inhalasi terhadap penderita bronkiolitis
pernah dilakukan di bagian anak RS Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 1999.
Terjadi penurunan skor RDAI pada kelompok salbutamol terutama menit ke 60
dan rata-rata waktu lama inap menjadi lebih pendek.
Studi terbaru Wainwright (2003), menunjukkan hasil bahwa epinefrin secara
nebulisasi tidak menurunkan lama perawatan dirumah sakit. Epinefrin memberi
efek alfa dan beta adrenergik. Beberapa studi menggunakan racemic epinephrine
untuk menurunkan efek epinefrin terhadap jantung. Kristjansson (1993),
menggunakan racemic epinephrine nebulisasi . Racemic epinefrin memberi
perbaikan skor klinik dan SaO2. Dari sini disimpulkan bahwa racemic
epinephrine aman dan cukup efektif untuk pengobatan bronkiolitis pada anak
kurang dari 18 bulan. Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis
sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan
1.Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada
bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli) 2.Beta agonis dapat
meningkatkan mukosilier 3.Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis
dengan serangan pertama asma 4.Efek samping nebulasi beta agonis yang
minimal dibandingkan epinefrin.
Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas
kortikosteroid untuk pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita
bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang telah
menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup
perlakuan dan plasebo pada saturasi oksigen, laju nafas, skor RDAI dan lamanya
60
rawat inap. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian
deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan
perbedaan pada skor klinis, laju nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada hari ke
3. Richter melakukan penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis
saat rawat inap dan dilanjutkan sampai dengan 6 minggu dan ternyata
mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi gejala bronkiolitis dan tidak
mencegah wheezing pasca bronkiolitis. Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan
penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan mendapatkan hasil bahwa
dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap
penderita bronkiolitis.Penelitian meta-analisis tentang penggunaan kortikosteroid
sistemik pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala
klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala. Sedangkan AAP tidak
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah
sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia
8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4
jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi.
Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi.Preparat steroid
inhalasi dibuat untuk mendapatkan efek topikal yang maksimal dengan efek
sistemik yang minimal. Beberapa preparat inhalasi yang tersedia diantaranya
Beclomethason propionate, budesonide, flunisolide, fluticason propionate,
triamcinolone acetonide. Perbedaannya terletak pada afinitasnya terhadap reseptor
glukokortikoid, lipofilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat steroid inhalasi
yang ideal bila memiliki efek topikal yang tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah
serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna, misalnya flutikason,
budesonid, mometason. Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu:- Didalam
sel, kortikosteroid menembus membran sel dan berikatan dengan reseptor
glukokortikoid dalam sitoplasma, yang selanjutnya menembus nucleus dan
berikatan dengan glucocorticoid respon elements (GRE) untuk meningkatkan
transkripsi gen reseptor-β2 dalam paru manusia dan tikus, membutuhkan waktu 6-
12 jam. - Menghambat pembentukan sitokin tertentu, seperti IL-1, TNFa, GM-
CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-8. - Meningkatkan pembentukan reseptor-β2
61
dan mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat agonis β2 jangka panjang-
Mempercepat regenerasi sel epitel- Mengurangi jumlah sel-sel inflamasi
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok
dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan
membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi
penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum,
pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita
ISPA.
Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24
bulan dengan Bronchopulmonary dysplasia (BPD), bayi prematur (kurang dari 35
minggu) menunjukkan hasil penurunan signifikan: jumlah yang terinfeksi RSV,
jumlah penderita masuk rumah sakit serta memperpendek waktu perawatan di
rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi dengan baik.Palivizumab adalah
humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody, yang mencegah
masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal
hyperimmune globulin , diberikan secara intra vena , juga bisa dipakai sebagai
imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis. Tahun 1998, AAP merekomendasikan
Palizumab sebagai profilaksis RSV pada anak kurang dari 2 tahun dengan
penyakit paru menahun, anak yang mendapat terapi RSV dalam 6 bulan pertama
dan bayi prematur (32-35 minggu).
AAP tidak merekomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung sianosis atau
immunocompromised karena belum pernah dilakukan penelitian pada kelompok
ini. Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated,
subunit, live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan
proteksi yang adekuat.
62
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adi (20 tahun) mengalami keluhan-keluhan yang menunjukan adanya
infeksi pada saluran nafasnya. Setelah dilakukan pemeriksaan radiologis dapat
ditegakan diagnosanya adalah Pneumonia. Karena Adi mengalami sesak nafas,
maka Adi memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah sakit.
Pneumonia merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru.
Penyakit ini merupakan pembunuh terbesar kedua dalam penyakit sistem
pernafasan di Indonesia setelah tuberkulosis. Diagnosis pasti pneumonia
ditegakan melalui hasil pemeriksaan foro rontgen thoraks yang menunjukan
adanya infiltrat pada lapang parunya. Terapi yang diberikan kepada pasien
pneumonia adalah antibiotik golongan penisilin (jika tidak ada resistensi) ataupun
fluoroquinolone.
Beberapa kasus pneumonia dapat ditularkan melalui kontak dengan
penderita yang disebut dengan pneumonia komunitas. Hal inilah yang terjadi pada
Adi.
63
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C. & John Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Alsagaff H. Dkk, 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia, Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta
64