laporan kasus asma
DESCRIPTION
AsmaTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS I
TUBERCULOSIS PADA PASIEN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS
Jessie Julian Mila Meha, S. Ked
(0908012849)
Pembimbing :
dr. Andreas Fernandez, Sp.PD
SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERISTAS NUSA CENDANA
BLUD RSUD PROF.DR. W. Z. JOHANNES KUPANG
2013
PENDAHULUAN
Tuberculosis adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang telah dikenal sejak
berabad-abad yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar
kuman Tuberculosis menyerang paru (85%) dan sisanya (15%) menyerang organ lain mulai
dari usus sampai ke otak. Sumber utama penularan TB adalah dahak dimana disebutkan
bahwa satu penderita TB dapat menginfeksi 10-15 orang disekitarnya melalui dahaknya.
Gejala klinik dari penyakit ini secara umum mirip dengan infeksi sistemik lainnya seperti
kelelahan, penurunan berat badan, tidak nafsu makan serta bisa timbul demam subfebris yang
biasanya terjadi pada malam hari disertai keringat malam. Gejala respiratorik seperti batuk
yang disertai sputum produktif timbul lebih lambat dan baru ada ketika brokus sudah terlibat.
Bronkus yang terangsang akan meradang dan menyebabkan batuk produktif, namun gejala ini
terjadi pada beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah terinfeksi kuman TB.[1]
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis.
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak kelima di dunia setelah India,
China, Afrika selatan dan Nigeria. Diperkirakan, populasi TB di Indonesia adalah sekitar
5,8% dari total jumlah pasien TB di dunia dengan 429.730 kasus baru setiap tahunnya dan
kematian 62.246 orang. Insidens kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004, prevalensi TB BTA positif
secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Wilayah Timur Indonesia mempunyai prevalensi
TB adalah 210 per 100.000 penduduk.[2] Nusa Tenggara Timur masuk dalam lima besar
periode prevalensi suspek TB dengan 6.511 per 100.000 penduduk.[3] Tuberkulosis (TB)
merupakan salah satu penyakit yang menjadi prioritas nasional untuk program pengendalian
penyakit. Di provinsi ini TB terdeteksi dengan prevalensi 18 per 1000. tersebar di hampir
seluruh Kabupaten/Kota.[4]
Human Imunodeficiency Virus adalah virus RNA yang menyebabkan penurunan
imunitas tubuh. Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia adalah melalui hubungan
seksual. Infeksi menular seksual lainnya (terutama yang menyebabkan ulkus genital) akan
meningkatkan risiko penularan HIV. Jalur penularan HIV sangat beragam. Penularan HIV di
sub Sahara Afrika terutama adalah melalui hubungan seksual, darah dan dari ibu ke bayi. Di
sebagian besar negara dengan pendapatan perkapita yang rendah, kira-kira jumlah laki-laki
dan perempuan yang terinfeksi HIV seimbang. Virus ini juga dapat ditularkan melalui
transfusi darah, injeksi dengan alat suntik yang terkontaminasi dan penggunaan peralatan
tindik yang tidak steril, serta penggunaan napza suntik. Tidak ada bukti bahwa HIV menular
melalui kontak yang terjadi sehari-hari seperti berpelukan, berciuman, makanan atau
minuman, gigitan nyamuk atau serangga lain. Masa inkubasi dari penyakit ini cukup lama
sebelum timbulnya gejala AIDS. WHO telah mengembangkan stadium klinis berdasarkan
kriteria klinis. Kondisi klinis menunjukan apakah pasien berada pada stadium 1, 2, 3, atau 4.
Stadium klinis merupakan hal yang penting sebagai kriteria untuk memulai ARV. Stadium
klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat defisiensi kekebalan tubuh
pasien. Pasien dengan gejala pada stadium klinis 1 atau 2 biasanya tidak mempuyai gejala
defisiensi kekebalan tubuh yang serius. Pasien yang mempunyai gejala dan tanda stadium
klinis 3 atau 4 biasanya mempunyai penurunan kekebalan tubuh yang berat dan tidak
mempunyai cukup banyak sel CD4 sehingga memudahkan terjadinya infeksi oportunistik.
Infeksi oportunistik inilah yang biasanya mempercepat prognosis buruk pada pasien HIV.
Salah satu infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan adalah tuberculosis.[5]
TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian
yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan
besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB. Sebagian besar orang yang
terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka
mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai
infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya
ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif.
Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan
menjadi sakit TB sepanjang hidupnya sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang
terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti
bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB aktif dalam
masyarakat.
Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-
infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia
diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut
dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut
terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah
berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara
Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada
dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan
pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV
haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.
Tuberculosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan penyakit HIV. Resiko
berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem
kekebalan tubuh. Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang dengan
infeksi HIV 10 kali lebih beresiko untuk mendapatkan TB. Prinsip pengendalian TB tetap
sama meskipun banyak terdapat ko-infeksi TB-HIV yang mempunyai konsekuensi :
Overdiagnosis TB paru BTA negatif (karena kesulitan dalam diagnosis)
Underdiagnosis TB paru BTA positif (karena beban kerja petugas laboratorium)
Pengawasan terhadap OAT tidak adekuat
Angka kesembuhan yang rendah
Angka kesakitan tinggi selama perawatan
Angka kematian tinggi selama perawatan
Angka kegagalan tinggi karena efek samping.
Tingginya angka pasien TB yang kambuh
Meningkatnya penularan strain M.TB yang resisten obat pada pasien yang
terinfeksi HIV pada lingkungan yang padat seperti lapas/rutan
Ketika infeksi berkembang, maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4 menurun. Sel-sel
ini mempunyai peran penting untuk melawan kuman TB. Dengan demikian, sistem kekebalan
tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah perkembangan dan penyebaran lokal kuman
ini. Tuberkulosis paru masih merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada orang
yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tergantung tingkat kekebalan tubuh.. Pada individu
yang terinfeksi HIV, infeksi lain termasuk TB dapat membuat virus HIV berkembang biak
dengan lebih cepat sehingga progresivitas penyakit menjadi lebih cepat.[5]
Berikut ini akan disampaikan sebuah laporan kasus mengenai Tuberkulosis pada pasien
dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Diharapkan laporan ini dapat menjadi bahan
pembelajaran pasien dengan Tuberculosis dan HIV.
KASUS
Seorang laki-laki umur 35 tahun datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. W.
Z. Johannes Kupang dengan keluhan batuk sejak kurang lebih 3 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Awalnya batuk berdahak tetapi sekarang sudah tidak berdahak lagi. Dahulu
dahak berwarna putih seperti susu, batuk berwarna merah disangkal. Batuk berlangsung terus
menerus dan tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Pasien tidak merasakan sesak namun lemas
pada seluruh badan tetapi makan seperti biasa dan tidak ada keluhan saat makan. Pasien
sering berkeringat waktu malam hari dan sering merasakan badan panas pada malam hari.
Makan dan minum baik, pasien makan 3 kali sehari dan tidak ada rasa sakit saat mengunyah
maupun menelan begitu pula saat minum. BAB dan BAK lancar, BAB warna kuning dan
tidak encer, satu sampai dua kali sehari dengan riwayat mencret belakangan ini disangkal dan
BAK warna kuning tetapi jernih. Pasien meyakini bahwa sakit yang saat ini pasien alami
bukan semata-mata penyakit medis. Pasien sempat berobat waktu di Surabaya dengan
keluhan batuk dan mendapatkan pengobatan namun tidak sembuh, pasien belum pernah
masuk rumah sakit sebelumnya. Terdapat satu orang disekitar pasien yang batuk lama yaitu
kakak perempuan pasien namun tidak sedang dalam pengobatan 6 bulan. Pasien merokok dan
minum alkohol. Pasien merokok dari muda dulu kurang lebih 1 bungkus perhari. Alkohol
sesekali saja diminum. Riwayat suka “jajan” diluar dan riwayat menggunakan obat-obatan
terlarang atau penggunaan jarum suntik bersamaan disangkal oleh pasien. Riwayat bekerja di
Surabaya sebagai deepcolector. Riwayat minum obat, pasien mendapatkan obat cefadroxil 2
x 500 mg dan ambroxol 3 x 30 mg dari Surabaya dan GG 3 x 1 tablet dari puskesmas
Batakte namun pasien tetap saja batuk. Saat ini pasien rajin minum obat yang diperoleh dari
Puskesmas Batakte dengan rujukan dari RSUD.
Pasien sudah menikah dan punya satu orang anak berumur satu tahun dan keberadaan
anaknya saat ini tidak diketahui. Pasien menikah pada tahun 2009 yang menurut orang tua
pasien baru dikenalkan pada saat itu dan langsung menikah, namun istri pasien tersebut sudah
meninggal setahun yang lalu saat pasien sedang bekerja di Surabaya tanpa penyebab yang
jelas di Rote. Istri pasien sejak sebelum menikah bekerja pada orang asing di salah satu hotel
di daerah pariwisata di pulau Rote. Pasien sejak kecil sering bepergian keluar NTT. Pada
waktu SMP sampai SMA pasien bekerja di Irian Jaya untuk membantu-bantu keluarga pasien
disana kurang lebih selama 4 tahun, lalu pasien juga pernah bepergian ke Timor-Timur
selama beberapa bulan sewaktu pasien masih muda sekitar umur 20-an, kemudian pasien
sempat bekerja di Rote selama beberapa bulan dan pulang kembali ke Kupang lalu pada
tahun lalu pasien kembali bepergian ke Surabaya untuk bekerja. Saat ini pasien tinggal di
Kupang Barat tepatnya desa Sumlili bersama orang tua pasien. Tatto yang ada pada badan
pasien dibuat di bali pada saat pasien liburan kebali kurang lebih setahun yang lalu, dibuat di
salah satu rumah tatto umum yang ada di daerah wisata di Bali. Riwayat badan turun sejak
kurang lebih delapan bulan terakhir tanpa alasan yang jelas. Berat badan 8 bulan yang lalu 68
kg (sebelum berangkat ke Surabaya), namun hasil pengukuran berat badan saat ini adalah 45
Kg. Riwayat pengobatan sebelum dikasuskan adalah infus ringer laktat 500 cc diguyur
kemudian 500 cc berikutnya dalam 6 jam atau kurang lebih 27 – 30 tetes per menit, injeksi
ceftriakson 1 x 2 gram, azitromisin 1 x 500 mg setelah makan, nistatin 4 x 1 cc dan
paracetamol 3 x 500 mg.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 7 September 2013 didapatkan kesadaran pasien
kompos mentis dengan GCS E4V5M6, pasien tampak sakit sedang dengan tekanan darah
110/90 mmHg, nadi 94x/menit kuat angkat dan reguler, pernapasan 20 kali/menit tipe
torakoabdominal dengan temperatur 36,30C pada suhu aksila dengan habitus astenikus. Kulit
warna sawo matang dengan tatto pada lengan atas kanan dan kiri. Kepala bentuk normal
kesan normocephal dengan rambut hitam tipis tetapi tidak mudah tercabut. Pada mata tampak
konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada perdarahan pada konjungtiva dengan pupil
bulat isokor, diameter 3mm/3mm dan refleks cahaya langsung dan tidak langsung normal.
Pada telinga tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan mulut ditemukan mukosa bibir
lembab dengan warna agak gelap, tidak terdapat trismus, terdapat luka pada labia superior
pada ujung jembatan nasolabialis, terdapat titik-titik putih pada lidah posterior dengan
bercak putih yang lebih besar dan banyak pada hampir seluruh palatum mole. Terdapat bekas
perdarahan gusi pada daerah premolar superior sinistra. Pada pemeriksaan leher, tidak
terdapat pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid. Pemeriksaan toraks, pada inspeksi
terdapat satu tatto lagi didekat papilla mamae dekstra. Pemeriksaan jantung dan paru dalam
batas normal. Abdomen tampak datar tanpa massa tambahan maupun deformitas. Bising usus
terdengar normal dengan frekuensi 8x/menit. Tidak dijumpai pembesaran hepar dan limpa
dengan liver span 10 cm dan traube space timpani dan perkusi tympani pada seluruh lapangan
abdomen. Pada ekstremitas, tidak dijumpai adanya kelainan dengan kekuatan otot baik. Hasil
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 04 September 2013 : WBC : 4,81 x
10ˆ3/uL, Lymp 0,62 10ˆ3/uL, Neut 75,5%, RBC 4,44 10ˆ6/uL, HGB 11,6 g/dL, HCT 36,5 %,
PLT 157 10ˆ3/uL, natrium :129 mmol/L, kalium 3,6 mmol/L, chlorida 98 mmol/L, HBSAg :
negatif. Pemeriksaan sputum BTA pada tanggal 03 September 2013 diperoleh BTA I :2
(+)/positif. Hasil pemeriksaan CD4 (T Helper) didapatkan 17c/µl.
Dari hasil anamnesis didapatkan adanya batuk yang sudah berlangsung selama kurang
lebih 3 minggu sebelum masuk rumah sakit lalu berlanjut sampai saat ini dengan warna
dahak berwarna putih dan tidak pernah berwarna kemerahan dan pasien sempat merasakan
sesak, cepat lelah, keringat malam hari dan pemeriksaan fisik didapatkan pasien batuk
beberapa kali selama proses anamesis dan pemeriksaan fisik berlangsung. Batuk pada saat
dilakukan pemeriksaan terdengar tidak berdahak dan saat dilakukan pemeriksaan fisik,
diperoleh bunyi nafas dasar vesikuler tanpa ronki dan wheezing. Berdasarkan temuan ini
maka terdapat dua hal yang bisa terjadi yaitu produksi sputumnya sedikit ataukah dahak sulit
dikeluarkan. Untuk menegakkan diagnosis pasien dengan batuk lama, harus diketahui dahulu
apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan darah tinggi menggunakan ACE inhibitor
atau tidak, kemudian apakah pasien tersebut merokok atau tidak. Pada pasien ini tidak
terdapat penggunaan obat antihipertensi tetapi pasien tersebut merokok namun diakui sudah
berhenti sejak sebulan yang lalu. Pada pemeriksaan radiologi terdapat kesan KP aktif dengan
jantung dalam batas normal. Karena pada pemeriksaan foto dada didapatkan abnormalitas,
maka perlu dilakukan pemeriksaan sputum untuk menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan
sputum diperoleh BTA I +2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
telah dilakukan dapat di tegakkan diagnosis tuberculosis paru. Terapi yang dapat digunakan
adalah obat anti tuberkulosis yaitu rifampicin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. Rencana
monitoring pada pasien ini adalah monitoring keluhan pasien saat pasien dirawat di rumah
sakit. Rencana edukasi pada pasien ini adalah rencana edukasi mengenai pemakaian masker
ketika batuk untuk menghindari penyebaran kumam ke orang-orang yang sering kontak
dengan penderita kemudian menjaga daya tahan tubuh dengan makan dan istirahat yang
cukup.
Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya bercak putih di lidah dan pallatum
molle sampai ke orofaring pasien yang tidak diketahui dari kapan. Meskipun tidak
dikeluhkan adanya nyeri saat mengunyah dan menelan, namun bercak putih dalam mulut
tersebut harus dikaji lebih jauh. Temuan tersebut dapat didiagnosis sebagai kandidiasis
orofaring karena bercak atau plak putih (thrush) tebal merupakan salah satu tanda dari
kandidiasis oral meskipun dapat pula dipikirkan penyakit lain seperti linkhen planus,
leukoplakia dan karsinoma. Untuk diagnosis pasti kandidiasis orofaring, dapat dilakukan
pemeriksaan scraping dari lesi aktif dengan menggunakan slide kalium hidroksida 10%
(KOH 10%). Hal yang diharapkan ada pada pemeriksaan tersebut adalah gambaran khas
pseudohyfa dan ragi budding. Terapi yang dapat digunakan jika terdapat tanda khas tersebut
adalah anti jamur dengan sediaan Nystatin 100.000 unit/cc (5cc - 4 kali sehari selama 7-14
hari). Edukasi yang dapat diberikan yaitu menjaga kebersihan mulut dan menjaga daya tahan
tubuh dengan banyak makan dan istirahat.
Penurunan berat badan belakangan ini, mempunyai riwayat pekerjaan di luar
(Surabaya dan Bali), terdapat tatto pada beberapa bagian tubuh yang di tempat tatto umum di
daerah wisata umum di Bali, kandidiasis orofaring dengan WBC : 4,81 x 10ˆ3/uL, Lymp
0,62 10ˆ3/uL dan CD4 (T Helper) 17c/µl. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang tersebut, pasien tersebut dapat curigai menderita HIV/AIDS.
Penurunan berat badan dapat terjadi pada berbagai penyakit seperti penyakit kelainan
metabolisme diabetes mellitus maupun hipertiroid, selain itu pada penyakit infeksi seperti
tuberkukolosis seperti yang terjadi pada pasien ini, dan juga pada penyakit akibat keganasan
walaupun juga dapat terjadi pada pasien HIV/AIDS. Kandidiasis orofaring juga tidak hanya
terjadi pada pasien dengan HIV/AIDS tapi juga pada pasien-pasien imunosuppresi lainnya
seperti pada pasien dengan penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama,
mendapat kemoterapi, dan lain-lain. Menurut WHO salah satu kriteria mayor dari diagnosis
HIV/AIDS adalah penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 1 bulan, dengan salah kriteria
minornya adalah kandidiasis orofaring. Jumlah CD4 yang kurang dari 200 juga dapat
digunakan sebagai acuan untuk mencurigai AIDS. Namun pemeriksaan untuk memastikan
diagnosis HIV/AIDS perlu dilakukan tes HIV, Westren Blot atau PRC. Pasien dapat
direncanakan untuk melakukan terapi ARV (Neviral, Nevirapine dan Duviral Lamivudine
zidovudine). Rencana terapi yang diberikan adalah Paracetamol tablet 3 x 500 mg,
cotrimoxazol 1 x 960 mg, cefadroxil 2 x 500 mg, nystatin drop 4 x 3 cc dan OAT kategori 1
dengan rencana monitoring adalah monitoring tanda-tanda vital, monitoring fungsi hati dan
monitoring fungsi ginjal dengan rencana edukasinya adalah selama 2 minggu pertama ini
sebaiknya pasien menggunakan masker, minum obat teratur dan sampai habis, salah satu
anggota keluarga harus bersedia menjadi pengawas minum obat yang bertugas mengingatkan
dan memastikan pasien minum obat dan upayakan makan makanan yang bergizi.
OBSERVASI
Hari ke-11 perawatan (8 September 2013) : batuk semakin berkurang. Pada kesadaran
compos mentis, E4V5M6, tampak sakit sedang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah 110/70, nadi 88 x/menit, pernapasan 24x/menit dan suhu 370C. Tidak terdapat
konjungtiva anemis, tidak terdapat ikterik pada sklera, pada pemeriksaan mulut terdapat plak
putih di pinggir lidah dan belum berkurang sejak pertama kali timbul. Pada pemeriksaan
pulmo didapatkan suara nafas dasar vesikuler tanpa ronki dan wheezing. Bunyi jantung I dan
II tunggal teratur, murmur tidak ada dan gallop tidak ada pada pemeriksaan jantung. Pada
pemeriksaan abdomen, diperoleh perut agak keras dengan hepar dan lien yang tidak teraba
dan bising usus kesan normal. Pada pemeriksaan ekstremitas, akral hangat dengan CRT
kurang dari 2 detik. Tunggu hasil CD4 dan terapi dilanjutkan terus.
Hari ke-12 perawatan (9 September 2013) : Saat ini tidak ada keluhan demam , batuk
sudah berkurang dan tidak ada keluhan lain. Pada kesadaran compos mentis, E4V5M6,
tampak sakit sedang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/90mmHg, nadi
88x/menit, pernapasan 20x/menit dan suhu 370C. Tidak terdapat konjungtiva anemis, tidak
terdapat ikterik pada sklera, pada pemeriksaan mulut terdapat plak putih di pinggir lidah dan
belum berkurang sejak pertama kali timbul. Pada pemeriksaan pulmo didapatkan suara nafas
dasar vesikuler tanpa ronki dan wheezing. Bunyi jantung I dan II tunggal teratur, murmur
tidak ada dan gallop tidak ada pada pemeriksaan jantung. Pada pemeriksaan abdomen,
diperoleh perut agak keras dengan hepar dan lien yang tidak teraba dan bising usus kesan
normal. Pada pemeriksaan ekstremitas, akral hangat dengan CRT kurang dari 2 detik. Terapi
dilanjutkan dengan OAT kategori 1 hari ke 5 ditambah vitamin B6 3x1 tablet (pro ARV
setelah OAT hari ke-14).
Hari ke-13 perawatan (10 September 2013) : Saat ini batuk sudah berkurang dan tidak
ada keluhan lain. Pada kesadaran compos mentis, E4V5M6, tampak sakit sedang. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/80mmHg, nadi 88x/menit, pernapasan
20x/menit dan suhu 37,10C. Tidak terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat ikterik pada
sklera, pada pemeriksaan mulut terdapat plak putih di pinggir lidah dan belum berkurang
sejak pertama kali timbul. Pada pemeriksaan pulmo didapatkan suara nafas dasar vesikuler
tanpa ronki dan wheezing. Bunyi jantung I dan II tunggal teratur, murmur tidak ada dan
gallop tidak ada pada pemeriksaan jantung. Pada pemeriksaan abdomen, diperoleh perut agak
keras dengan hepar dan lien yang tidak teraba dan bising usus kesan normal. Pada
pemeriksaan ekstremitas, akral hangat dengan CRT kurang dari 2 detik. Terapi dilanjutkan
dengan OAT kategori 1 hari ke 6 (pro ARV setelah OAT hari ke-14).
Pasien pulang pada tanggal 10 September 2013 tetapi masuk kembali ke Rumah Sakit pada
tanggal 20 September 2013 dengan penurunan kesadaran.
20 September 2013 : (alloanamnesis) Pasien tidak sadar sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Tidak sadar ini terjadi secara tiba-tiba setelah pasien mengeluhkan sakit kepala
dan tidak mau makan atau minum karena sakit di leher. Sebelumnya, pasien sempat batuk di
rumah sejak pulang dari rumah sakit. Batuk diakui tidak berdahak namun kadang ada dahak
namun dahaknya sulit dikeluarkan, kemudian batuk memberat pada malam hari dan pasien
berkeringat banyak terutama pada malam hari sampai sering buka baju. Batuk tersebut
disertai sesak nafas dan sakit di dada. Sesak nafas dan sakit dada hanya terjadi saat batuk
berlangsung. Tidak diketahui lebih jauh tentang lokasi dari sakit dada karena pasien tidak
sadar. Demam juga terjadi pada pasien setelah keluar dari rumah sakit yang hilang timbul dan
terjadi pada sore hari sampai malam hari tetapi pada pagi hari sudah tidak lagi. Keluarga juga
mengakui adanya muntah pada pasien yang berlangsung kurang lebih sudah 3 kali pada hari
senin (4 hari SMRS), muntah kurang lebih tiga kali tetapi sedikit-sedikit saja berisi makanan,
air dan lendir, berwarna putih dan tidak ada bercak merah maupun bercak kehitaman. Muntah
ini biasanya terjadi setiap kali pasien minum. Muntah ini mengakibatkan pasien
mengeluarkan semua obat yang diminum sehingga selama beberapa hari selama pasein
muntah, obat tersebut tidak masuk. Mencret-mencret juga dialami pasien sebelum tidak sadar.
Mencret-mencret ini terjadi kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit, cukup banyak,
encer sekali, berisi air dan ada ampas lalu berwarna kuning tanpa lendir dan darah.
Rencana kontrol ke Poli adalah tanggal 14 September 2013, namun karena kondisi pasien
yang kurang memungkinkan maka, ditunda namun pada tanggal 16 September 2013 pasien
mencret sehingga kembali ditunda. Beberapa hari kemudian pasien menjadi tidak sadar dan
hanya berbaring saja, sehingga keluarga memutuskan untuk membawa kembali pasien ke
Rumah sakit melalui IGD, sehingga pasien tidak sempat kontrol kembali ke poli DOTS dan
VCT
Pasien sempat dirawat di rumah sakit tepatnya di ruang Tulip selama kurang lebih 1
minggu dengan sakit paru dan sudah mendapat pengobatan paket 6 bulan yang sudah
diminum selama seminggu lebih. Pasien sempat berhenti minum obat karena muntah-
muntahnya. Pada pemeriksaan fisik pada tanggal 20 September 2103, kesadaran menurun
dengan GCS E4V1M1 dengan tanda vital : Tekanan darah 140/70 mmHg, nadi 80x/menit,
pernapasan 28x/m dan suhu 38,5 C. Meningeal sign untuk kaku kuduk negatif. Konjungtiva
anemis namun sklera tidak ikterik dengan pupil bulat isokhor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+.
Mulut hanya terbuka sebagian dan tidak bisa di paksa untuk buka lagi, dengan rahang yang
spastik tanpa trismus. Pembesaran KGB di leher tidak ada. Bunyi jantung I dan II tunggal
reguler tanpa murmur dan gallop. Pemeriksaan paru didapatkan pengembangan dada minimal
dengan pola pernapasan dominan pernapasan abdominal yang cepat dan dangkal dengan
vokal fremitus yang sulit dinilai. Perkusi sonor pada seluruh lapangan paru dan auskultasi
menunjukkan suara nafas dasar vesikuler denngan ronki basah kasar pada seluruh lapangan
paru tanpa wheezing. Pemeriksaan abdomen diperoleh bising usus terdengar dengan kesan
normal, hepar dan lien tidak teraba dengan liver span 10 cm dan tidak ada nyeri tekan serta
traube space tympani dengan akral hangat dan CRT kurang dari 2 detik dan tidak ada udema
pada semua ekstremitas namun terkesan spastikdengan kekuuatan otot 2 untuk keempat
ekstremitas. Hasil laboratorium yang bermakna : WBC : 2.83, Mono 31, 8 %, RBC : 4,28,
HGB :11,5, HCT: 77,6, PLT : 179. Diagnosis saat itu, penurunan kesadaran e.c suspek sepsis
beerat, dyspneu e.c tuberculosis paru, leukopenia dengan dominan monosit e.c sepsis, anemia
mikrositik hipokrom e.c TB dengan B20. Rencana terapi pada saat itu adalah IVFD RL 30
tetes per menit, OAT dilanjutkan (hari ke-15), ciprofloksasin infus 2 x 200 mg (hari ke-2),
enystin 3 x 1 cc.
Perawatan tanggal 21 September 2013 : Pasien tidak sadar. Pada pemeriksaan fisik
pada tanggal 20 September 2103, kesadaran menurun dengan GCS E4V1M1 dengan tanda
vital : Tekanan darah 140/70 mmHg, naadi 80x/menit, pernapasan 28x/m dan suhu 38,5 C.
Konjungtiva anemis namun sklera tidak ikterik dengan pupil bulat isokhor 3mm/3mm, refleks
cahaya +/+, refleks kornea +/+. Mulut hanya terbuka sebagian dan tidak bisa di paksa untuk
buka lagi, dengan rahang yang spastik tanpa trismus namun dapat dilihat bahwa mulut telah
dipenuhi plak putih yang tebal. Pembesaran KGB di leher tidak ada. Bunyi jantung I dan II
tunggal reguler tanpa murmur dan gallop. Pemeriksaan paru didapatkan pengembangan dada
minimal dengan pola pernapasan dominan pernapasan abdominal yang cepat dan dangkal
dengan vokal fremitus yang sulit dinilai. Perkusi sonor pada seluruh lapangan paru dan
auskultasi menunjukkan suara nafas dasar vesikuler denngan ronki basah kasar pada seluruh
lapangan paru tanpa wheezing. Pemeriksaan abdomen diperoleh bising usus terdengar 6 kali
per menit, hepar dan lien tidak teraba dengan liver span kuran lebih 10 cm dan tidak ada nyeri
tekan serta traube space tympani dengan akral hangat dan CRT kurang dari 2 detik dan tidak
ada udema pada semua ekstremitas. Diagnosis saat itu adalah penurunan kesadaran e.c suspek
sepsis beerat, dyspneu e.c tuberculosis paru, leukopenia dengan dominan monosit e.c sepsis,
anemia mikrositik hipokrom e.c TB dengan B20. Terapi yang diperoleh adalah O2 5 liter per
menit, IVFD RL 20 tetes per menit, OAT dilanjutkan (hari ke-14), ciprofloksasin infus 2 x
200 mg, enystin 3 x 1 cc. Rencana diagnosis adalah cek lab lengkap (belum diambil).
Perawatan 22 September 2013 (05.30) : Pasien tidak sadar, kaki dan tangan kaku,
badan panas dari kemarin sore, belum BAB dan BAK. Kesadaran menurun dengan GCS
E4V1M1 dengan tanda vital : Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, pernapasan
42x/m dan suhu 39,1 C. Konjungtiva anemis namun sklera tidak ikterik dengan pupil bulat
isokhor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+ menurun, refleks kornea +/+ menurun. Pembesaran
KGB di leher tidak ada. Bunyi jantung I dan II tunggal reguler tanpa murmur dan gallop.
Pemeriksaan paru didapatkan pengembangan dada minimal dengan pola pernapasan dominan
pernapasan abdominal yang cepat dan dangkal dengan vokal fremitus yang sulit dinilai.
Perkusi sonor pada seluruh lapangan paru dan auskultasi menunjukkan suara nafas dasar
vesikuler dengan ronki basah kasar pada seluruh lapangan paru tanpa wheezing. Pemeriksaan
abdomen diperoleh bising usus terdengar 6 kali per menit dengan akral hangat dan CRT
kurang dari 2 detik dan tidak ada udema pada semua ekstremitas. Diagnosis saat itu adalah
penurunan kesadaran e.c suspek sepsis beerat, dyspneu e.c tuberculosis paru, leukopenia
dengan dominan monosit e.c sepsis, anemia mikrositik hipokrom e.c TB dengan B20. Terapi
yang diperoleh adalah IVFD RL 20 tetes per menit, OAT dilanjutkan (hari ke-15),
ciprofloksasin infus 2 x 200 mg, enystin 3 x 1 cc.
Perawatan 22 September 2013 pukul 11.00 : Tekanan darah 90/60 dengan nadi 100 x/m
dan suhu 39,5 C, oksigen di pasangkan dengan kekuaan 5 liter per menit.
Perawatan 22 September 2013 pukul 11.30 : Pasien Apnea, tekanan darah tidak terukur,
nadi tidak teraba lagi (baik arteri radalis maupun denyut arteri karotis), suhu 40,9 C dan tidak
terjadi pengembangan dada. Pupil midriasis maksimal dengan refleks cahaya dan refleks
kornea tidak ada lagi
Pembahasan
Gejala utama pasien TB adalah batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih yang dapat
diikuti oleh gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik dan demam lebih kurang satu bulan. Anamnesis pada pasien ini diperoleh batuk
berdahak yang berlangsung selama kurang lebih 3 minggu namun sekarang diakui tidak
berdahak, tanpa sesak dan batuk darah atau bercampur darah disangkal dengan adanya
kelelahan, pasien juga mengakui adanya demam dan keringat saat malam hari dan penurunan
berat badan yang drastis dalam waktu kurang dari setahun meskipun diakui makan dan
minum tidak bermasalah. Sebelumnya pasien telah berobat ke dokter di Surabaya dan
mendapatkan obat batuk namun batuk tidak berhenti. Pasien sudah mencoba berobat ke
puskesmas saat tiba di Kupang namun tetap saja batuk. Pasien juga mempunyai kakak dengan
riwayat batuk lama tanpa mendapatkan pengobatan karena belum pernah kontrol. Dari
anamnesis, diperoleh gejala-gejala yang mengarahkan kepada infeksi-infeksi pada saluran
nafas yang sudah berlangsung cukup lama. Pada pasien ini, kemungkinan gejala-gejala yang
ada dapat dijumpai pada penyakit paru seperti TB, Bronkiektasis, Broknitis kronis, Asma dan
Kanker paru.[1] Pada pasien ini tidak terjadi sesak karena gejala sesak nafas biasanya timbul
bila terdapat komplikasi seperti efusi pleura, pneumothoraks dan pneumonia.[5] Batuk darah
pada pasien ini tidak terjadi karena kemungkinan belum ada pembuluh darah yang ruptur atau
pecah. Pada pemeriksaan fisik diperoleh pasien tampak kurus dengan bunyi nafas dasar
vesikuler tanpa ronki dan wheezing. Ronki dan wheezing yang tidak terdengar terjadi karena
jaringan yang rusak masih kecil dan belum sampai menimbulkan suara tambahan.
Pasien yang datang dengan keluhan batuk berdahak lebih dari dua minggu, dengan
adanya penurunan berat badan, demam dan lemas yang di curigai sebagai Tuberculosis,
seharusnya harus dilakukan pemeriksaan sputum BTA terlebih dahulu untuk melihat ada
tidaknya basil tahan asam. Pemeriksaan BTA dilakukan dengan mengambil sputum sewaktu,
pagi, sewaktu (SPS) lalu dilihat setelah melakukan pewarnaan. Jika pada pemeriksaan BTA
diperoleh hasil positif pada ketiga pengambilan atau dua dari tiga, maka dapat dilakukan
terapi langsung dengan diagnosis tuberculosis, tetapi jika hanya pada salah satu sediaan saja
yang positif, maka diperlukan lagi foto toraks sebagai modalitas untuk menegakkan
diagnosis. Jika pemeriksaan foto toraks menunjukkan gambaran yang spesifik maka dapat
diterapi sebagai TB kategori satu, selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan mikroskopis
untuk melihat adanya BTA ulang, jika ada sediaan yang positif, maka dapat klasifikasikan
sebagai TB kategori 1 sehingga dapat diterapi. Jika hasil BTA kedua negatif pada semua
sediaan maka dapat dilakukan foto thoraks yang jika positif dengan klinis yang mendukung
dan pertimbangan seorang klinisi maka dapat diterapi sebagai TB namun jika tidak ada
proses yang spesifik pada toraks foto maka dapat dicari penyebab lain dengan kultur sputum
untuk mengetahui penyebabnya. Jika pada pemeriksaan sputum tidak ditemukan BTA pada
ketiga spesimen, maka dapat dilakukan terapi dengan menggunakan antibiotik selain obat anti
tuberculosis (non-OAT) kemudian dilihat apakah ada perubahan atau tidak. Jika terdapat
perbaikan maka, kemungkinan bukan TB, tetapi jika terdapat perubahan, dapat dilakukan
pemeriksan sputum ulang seperti sebelulmnya. Jika pada pemeriksaan ulang BTA masih
negatif, dapat dilakukan foto toraks. Jika pada toraks tersebut terlihat gambaran
spesifik,dengan pertimbangan klinis dari klinisi maka dapat diterapi sebagai TB kategori 1.
Dalam tatalaksana TB, dikenal ada 4 Kategori diagnosis yang akan memudahkan
dalam penatalaksanaan TB menyangkut pemilihan obat dan lamanya pengobatan. TB
kategori 1 adalah TB paru kasus baru atau TB paru BTA negatif kasus baru dengan lesi yang
luas berdasarkan penunjang radiologi atau TB baru dengan HIV atau TB ekstraparu berat.
Kategori 2 merupakan TB paru BTA positif dengan pengobatan sebelumya baik karena kasus
kambuh, putus obat maupun gagal pengobatan. Kategori 3 adalah TB paru BTA negatif
kasus baru selain kategori 1 atau TB ekstraparu ringan dan kategori 4 adalah kasus kronik
atau terjadi multidrugs resistant (MDR).
Pada kasus ini, pasien datang ke Poli Penyakit Dalam dengan keadaan batuk, lemas,
terjadi penurunan berat badan, demam dan keringat malam. Pada kasus ini langsung
dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk melihat gambaran proses yang sedang terjadi pada
paru-paru pasien. Hal ini dapat dilakukan oleh seorang klinisi sebagai langkah awal
penegakkan diagnosis secara dini karena untuk mendapatkan pemeriksaan sputum SPS paling
tidak dibutuhkan sehari, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks sambil dilakukan
pengambilan dahak untuk menegakkan diagnosis. Pengambilan foto toraks sebagai langkah
awal dilakukan berdasarkan klinis yang ada pada pasien. Selain itu, penentuan kategori 1
pada TB salah satunya adalah pasien dengan BTA negatif disertai dengan foto toraks dengan
gambaran proses yang spesifik tentunya dengan gejala klinis dan riwayat penyakit yang
mendukung meskipun penegakkan diagnosis hanya berdasarkan foto toraks tidak dibenarkan.
Pemeriksaan foto rontgen untuk pasien dengan batuk 3 minggu sangat dianjurkan untuk
melihat adanya abormalitas pada gambaran parunya. Pada pasien ini dari hasil pembacaan
Radiolog, diperoleh adanya gambaran Koch Pulmonal yang aktif dengan gambaran jantung
yang normal.
Pada kasus ini, dilakukan pula pemeriksaan sputum BTA dengan hasil +2 pada
pemeriksaan sputum sewaktu pertama yang artinya adalah terdapat <10 BTA per lapangan
pandang pada sediaan sputum ini. Meskipun tidak dilanjutkan pemeriksaan sputum lanjutan
untuk sputum pagi dan sewaktu lagi karena dahak sulit dikeluarkan namun dengan salah satu
sputum positif saja dan hasil foto toraks dengan gambaran yang spesifik, sudah dapat
ditegakkan diagnosis sebagai TB kategori 1.
Pada anamnesis, selain diperoleh informasi mengenai penurunan berat badan yang
cukup dramatis dengan riwayat makan dan minum yang baik, kemudian demam hilang
timbul dan riwayat bepergian keluar Nusa Tenggara Timur dengan intensitas yang cukup
tinggi antara lain Papua, Timor-Timur, Rote dan Surabaya, pasien juga bekerja di luar daerah
dimana terpisah dari keluarga pasien. Dari keluhan seperti telah disebutkan, penurunan berat
badan yang dramatis biasanya terjadi pada penyakit kronis atau sebuah keganasan. Pasien
tidak mengeluhkan adanya nyeri pada bagian tubuh tertentu dari pasien. Riwayat bepergian
dan bekerja keluar daerah dengan intensitas yang cukup tinggi membuat pasien mudah
terpapar banyak penyakit infeksi. Pasien menyangkal suka “jajan” diluar dan menggunakan
obat-obatan suntik tanpa pengawasan dokter. Pasien sudah menikah namun istri pasien telah
meninggal setahun yang lalu dengan alasan yang kurang jelas. Istri pasien mempunyai
riwayat bekerja disebuah hotel di kawasan pariwisata di daerah Rote bersama orang Bule.
Pada pemeriksaan fisik, pada saat inspeksi terdapat 3 buah tatto pada bagian yang berbeda
yaitu di kedua lengan atas dan di dada yang menurut pasien dibuat kurang lebih setahun yang
lalu di salah satu tempat pembuatan tatto di kawasan pariwisata di Bali. Pada pemeriksaan
konjungtiva, diperoleh konjungtiva anemis dengan refleks pada mata yang masih normal.
Pada pemeriksaan mulut didapatkan adanya bercak putih terutama pada lidah dan pallatum
molle. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan HIV
karena selain karena pasien ini merupakan pasien TB, pasien juga mempunyai riwayat
perjalanan dengan waktu yang cukup lama ke daerah yang prevalensi HIV tinggi seperti
Papua, Jawa Timur dan Bali. Meskipun tidak diperoleh data mengenai tingkat resiko pada
pasien ini karena pasien mengakui tidak suka menggunakan jasa pekerja seks komersial
secara sembarangan, namun adanya tatto yang dibuat di tempat pembuatan umum sehingga
jarum yang digunakan mungkin sebagai salah satu tempat masuknya virus HIV (port d’
entry) apalagi terjadi penurunan berat badan yang lebih dari 10 kg dalam waktu 8 bulan
meskipun tanpa diare. Selain itu, pasien yang menikah tahun 2009 ini mempunyai pasangan
seks aktif yang juga beresiko tinggi dimana bekerja di daerah pariwisata dengan orang bule
yang merupakan pelancong yang hobi berjalan-jalan dari satu daerah ke daerah lain.
Pemeriksaan HIV juga perlu dilakukan untuk screenig HIV pada pasien TB. Sebenarnya
setelah ada kecurigaan HIV pada pasien TB, segera dilakukan pemeriksaan cepat untuk
mengetahui apakah terdapat antibodi anti HIV pada pasien ini atau tidak kemudian
dilanjutkan dengan hitung CD4 jika fasilitas tersedia. Sebelum melakukan pemeriksaan
penunjang, dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya plak putih di lidah, palatum molle
bahkan sampai ke bagian faring yang pada umumnya ditemukan pada orang dengan
penurunan sistem imun seperti pada pasien HIV maupun pada pasien keganasan dengan
kemoterapi. Pada pasien ini ditemukan plak putih yang dicurigai sebagai kandidiasis
orofaring. Diagnosis kandidiasis orofaring dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan
swab dengan pemeriksaan KOH 10%. Jika ditemukan pseudohifa pada pemeriksaan
mikroskopis, maka dapat dipastikan bahwa plak tersebut adalah kandidiasis orofaring. Pada
pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan swab dengan KOH 10% namun langsung diterapi
dengan anti jamur karena berdasarkan klinis kemungkinan besar merupakan kandidiasis oral.
Pada pasien ini juga langsung dilakukan pemeriksaan CD4 dimana didapatkan CD4 pasien 17
c/µL. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan CD4 secara besar-besaran.
Penurunan CD4 mempunyai beberapa arti, antara lain menyangkut stadium klinis dari
perjalanan penyakit HIV tersebut dan teknis pelaksanaan pengobatan. Pada orang dengan
CD4 < 200 artinya tubuh telah mengalami defisiensi berat terhadap CD4 sedangkan untuk
teknis pengobatan akan dibicarakan kemudian. Menurut WHO, pembagian stadium klinis
HIV adalah :
1. Stadium klinis 1 merupakan stadium asimptomatik atau hanya ada limfadenopati
generalisata persisten dimana terdapat kelenjar multipel berukuran kecil tanpa rasa
nyeri.
2. Stadium klinis 2 merupakan stadium sakit ringan dimana terdapat berat badab turun 5-
10%, luka pada sudut mulut (keilitis angularis), dermatitis seboroik, prurigo atau lesi
kulit gatal pada lengan dan tungkai, herpes zoster, ISPA berulang dan ulkus pada
mulut yang berulang.
3. Stadium klinis 3 merupakan stadium sakit sedang dimana terjadi penurunan berat
badan lebih dari 10 %, kandidiasis mulut, oral hairy leukoplakia, kemudian lebih dari
sebulan terjadi diare, demam tanpa sebab yang jelas, infeksi bakteri berat, TB paru,
HB<8 g dengan leukosit <500, trombosit <50.000 dan gingivitis atau periodontitis
ulseratif nekrotikan akut.
4. Stadium klinis 4 merupakan stadium sakit berat (AIDS) yaitu HIV wasting syndrome,
kandidiasis esofagus, lebih dari 1 bulan ulserasi herpes simpleks, limfoma, sarkoma
kaposi, kanker serviks, retinitis CMV, Pneumonia pneumosistis, TB ekstra paru,
meningitis kriptokokus, abses otak toksoplasmosis dan ensefalopati HIV.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dimana ditemukan penurunan berat badan
yang dramatis, kandidiasis oral, tuberculosis paru atau infeksi berat yang mengarahkan pada
stadium sakit sedang atau stadium 3. Kadar hemoglobin 12,2 g/dL, MCV 79,3 fL dan MCH
23,8 pg. Kadar hemoglobin pada stadium 3 harusnya <8 g/dL namun pada kasus ini masih
12,2 g/dL. Penurunan kadar hemoglobin pada kasus ini dapat diperkirakan dalam proses
penurunan, mengingat kadar hemoglobin pada pemeriksaan darah lengkap yang kedua adalah
11,6 g/dL oleh karena itu pasien ini masih di masukan dalam stadium 3 dengan anemia ringan
mikrositik karena penurunan MCV dan hipokrom karena MCH yang rendah karena penyakit
kronis.
Berdasarkan pembahasan mengenai anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, maka pasien ini
di diagnosis sebagai :
1. Tuberculosis kategori 1
2. B20 stadium 3
3. Anemia ringan mikrositik hipokrom e.c infeksi kronis
Dengan adanya penegakkan diagnosis TB dengan HIV, maka dalam pengobatannya
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan karena sedikit berbeda dari pengobatan TB
tanpa HIV.
Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status atau stadium HIV pasien TB. Pada
prinsipnya, pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera sedangkan
pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan
paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu.
Pengobatan TB pada ODHA yang belum mendapatkan pengobatan ARV dapat segera
dimulai. Jika pasien dalam pengobatan TB dilanjutkan pengobatan TB-nya sampai dapat
ditoleransi dan setelah itu diberi pemberian pengobatan ARV. Keputusan memulai ARV pada
pasien dengan pengobatan TB disarankan dilakukan oleh dokter dengan pelatihan tatalaksana
pasien TB-HIV.
Jika pasien sudah mendapatkan pengobatan ARV sebaiknya pengobatan TB dimulai
minimal di rumah sakit dengan petugas yang telah dilatih untuk mendapat pengaturan
pengobatan. Hal ini penting karena ada banyak kemungkinan masalah yang harus
dipertimbangkan seperrti interaksi obat, gagal pengobatan ARV, IRIS ataupun substitusi
obat ARV.
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB adalah :
1. Harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat dalam jumlah dan
dosis yang cukup sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan
monoterapi. Pemakaian OAT-kombinasi dosis tetap akan lebih menguntungkan dan
dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien dalam menelan obat, pengobatan dan pengawasan
langsung dianjurkan oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
a. Tahap awal
i. Pada tahap awal, pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegeah terjadinya kekebalan obat.
ii. Bila pengobatan awal diberikan secara tepat, biasanya pasien dengan
resiko penularan dapat menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.
iii. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2
bulan.
b. Tahap lanjutan
i. Pada tahap lanjutan, pasien mendapatkan jenis obat lebih sedikit
namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
ii. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah kekambuhan.
Prinsip pengobatan TB ini tetap digunakan pada pasien koinfeksi TB dan HIV, dengan
pilihan obat yang masih tetap sama yaitu :
1. Isoniasid / INH (H)
a. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa
hari pertama pengobatan
b. Sangat efektif terhadap kuman yang sedang berkembang
c. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan
lanjutan diberikan 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg.kgBB.
2. Rifampisin (R)
a. Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman persister yang tidak dapat
dibunuh isoniasid
b. Dosis 10 mg/kgBB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun tahap
lanjutan 3 kali seminggu
3. Pirazinamid (Z)
a. Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam
b. Dosis harian yang dianjurkan adalah 25 mg/kgBB sedangkan untuk tahap
lanjut 3 kali seminggu dengan dosis 35 mg/kgBB
4. Streptomisin (S)
a. Bersifat bakterisid
b. Pasien berummur sampai 60 tahun dosisnya 0,75g/hari sedangkan untuk 60
tahuun atau lebih diberikan 0,50g/hari
5. Etambutol (E)
a. Bersifat sebagai bakteriostatik
b. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan tahap
lanjutan 3 kali seminggu dengan dosis 30 mg/kgBB
Pada pasien ini, pasien belum pernah mendapatkan pengobatan ARV maupun TB sehingga
pengobatan pada pasein ini:
1. Karena pasien ini merupakan pasien TB baru dengan sputum BTA positif dan foto
rontgen yang spesifik, maka dapat dimasukkan dalam kategori 1 penatalaksanaan TB
dimana diberikan obat :
a. Tahap awal : pemberian 2 bulan isoniazid, rifampisin, pirasinamid dan
etambutol yang diberikan setiap hari selama 2 bulan. Dosis yang diberikan
adalah isoniazid 125 mg/hari, rifampisin 450 mg/hari, pirazinamid 675
mg/hari, etambutol 675 mg/hari untuk pemberian dengan dosis terpisah atau
dengan obat dengan KDT dapat berikan 3 kaplet obat KDT.
b. Pada kasus ini, karena pada pemeriksaan penunjang terdapat peningkatan
fungsi hati, maka dapat pula ditambahkan kurkuma sebagai hepatoprotektor
mengingat ada 2 obat yang berpengaruh buruk pada sel hati yaitu izoniazid
yang dapat menyebabkan hepatitis dan pirazinamid yang hepatotoksik.
c. Dapat pula diberikan vitamin B6 untuk neuritis perifer yang dapat di
timbulkan oleh isoniazid.
2. Pemberian ARV dapat dilakukann setelah minimal 2 minggu setelah pengobatan TB
berlangsung. Pilihan obat ARV yang dapat digunakan untuk lini pertama dapat
digunakan 2 NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitor) di tambah dengan 1
NNRTI antara lain lini pertamanya adalah zidovudine dengan lamivudine untuk NRTI
ditambah Efavirens sebagai lini pertama NNRTI. Pada pasien ini belum mendapatkan
ARV karena pengobatan TB baru dimulai.
3. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan yaitu profilaksis
primer adalah pemberia pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang
belum pernah diderita dan profilaksis sekunder yaitu pemberian pengobatan
pencegahan yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah
diderita sebelumnya. Penyakit yang risikonya dapat dicegah dengan PPK antara lain
Pneumonia Pneumocystis, abses otak toksoplasmosis, pneumonia, isospora belli,
salmonella dan malaria. Indikasi pemberian kotrimoksasol adalah bila jumlah CD4
<200 sel/mm3 dengan dosis tunggal 960mg/hari dosis tunggal selama 2 minggu
sebelum ARV atau dengan kata lain, kotrimoksasol dapat dimulai bersamaan dengan
pengobatan TB. Pada pasien ini telah diberikan kotrimoksasol 960 mg/hari sehingga
seharusnya risiko infeksi lain dapat diturunkan.
4. Pada perawatan hari ke 14 pasien di perbolehkan pulang dengan catatan datang
kembali untuk kontrol di Poli DOTS dan poli TB pada tanggal 14 September 2013
atau 4 hari setelahnya. Pasien pulang dengan OAT KDT kategori 1, Vitamin B6 dan
Cotrimoksasol 960mg/hari.
Efek samping dan interaksi obat (OAT dan ARV)
1. Efek samping ringan yaitu efek samping yang menyebabkan perasaan tidak nyaman.
Gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat simptomatik namun terkadang
menetap selama pengobatan namun OAT dapat diteruskan.
2. Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat mengancam jiwa sampai fatal. Jika
terjadi demikian, OAT harus dihentikan.
3. Efek samping yang mungkin terjadi adalah anoreksia,mual, nyeri perut, nyeri sendi,
kesemutan di kaki, kencing kemerahan, sakit kepala, diare, kelelahan, tegang, gatal
atau ruam dikulit, gangguan pendengaran, ikterus, nyeri perut, muntah berulang,
penglihatan berkurang, demam, pucat, anemia, batuk dan limfadenopati. Pada pasien
ini tidak ditemukan adanya efek samping yang bermakna pada saat pasien akan
pulang.
Pada pasien ini, setelah pasien dipulangkan untuk rawat jalan, pasien masuk kembali
dengan penurunan kesadaran. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diperoleh
pasien tidak sadar sejak 3 hari SMRS dengan riwayat mual, muntah dan mencret sebelumnya
dengan sesak yang dirasakan pasien bersamaan dengan batuk dan nyeri didada saat batuk..
Pasien juga sudah berhenti minum obat sejak 5 hari SMRS karena mual muntah. Demam naik
turun juga terjadi pada pasien ini dengan pemeriksaan fisiknya didapatkan suhunya 38,5C,
tekanan darah 140/70 mmHg, dengan pernapasan 28x/menit dominan pernapasan abdominal
dan cenderung cepat, ronki basah kasar diseluruh lapangan paru dengan ekstremitas yang
cenderung spastik. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kemungkinan yang terjadi
pada pasien ini adalah infeksi sekunder pada saluran nafas. Infeksi oportunistik yang dapat
terjadi pada pasein ini adalah Pneumonia pneumocystis yang memiliki prognosis yang
seringkali buruk. Pneumonia pneumocystis (PCP) adalah infeksi sekunder serius yang
biasanya terjadi pada 70%-80% kasus dengan HIV positif dan masih merupakan infeksi
oportunistik terbanyak apalagi pada pasien HIV dengan CD4 < 200 c/µL. PCP pada awalnya
tidak bergejala namun jika muncul gejala seperti demam, batuk kering atau bisa terdengar
wheezing, pernapasan yang cepat, kelemahan, penurunan berat badan dan sakit dada saat
bernafas. Biasanya jika muncul gejala seperti ini biasanya menjadi fatal. Pada pasien ini,
kemungkinan ini bisa saja terjadi mengingat pengobatan setelah dari rumah sakit sempat
terputus akibat mual dan muntah yang dialami oleh pasien selama dirumah sehingga tidak
ada obat yang masuk termasuk pengobatan profilaksis dengan kotrimoksasol. Selain itu,
kemungkinan sepsis saat pasien masuk kembali kerumah sakit juga masih mungkin karena
terdapat demam tinggi meskipun sel darah putih tidak menunjukkan peningkatan, malah
penurunan. Tekanan darah yang meningkat pada saat pasien masuk menunjukkan telah
adanya keterlibatan sirkulasi yaitu peningkatan curah jantung akibat adanya dilatasi arteriol
di jaringan yang terinfeksi oleh kecepatan metabolisme yang tinggi oleh rangsangan toksin
bakteri terhadap metabolisme selular. Bahkan bisa terjadi koagulasi intravaskular diseminata
yang tidak ditemukan pada pasien ini karena tidak ditemukan adanya manifestasi perdarahan.
Perburukan pada pasien ini sejalan dengan perjalanan penyakit yang terjadi yang pada
akhirnya menyebabkan kematian. Adanya syok sepsis dicurigai sebagai penyebab langsung
kematian pada pasien ini dengan pneumocystic pneumonia dan tuberculosis sebagai
penyebab antara akibat dari imunodefisiensi yang bermula dari infeksi virus HIV pada pasien
ini. Ditemukan juga riwayat gastroenteritis akut pada pasien ini, beberapa hari sebelum
masuk rumah sakit yang dapat menjadi penyakit yang tidak berkontribusi pada kematian
pasien.
SIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus TB paru BTA (+2) dengan hasil rontgen KP aktif dan HIV
positif dengan kadar CD4 17c/µL pada seorang laki-laki 35 tahun. Laki-laki ini didiagnosis
sebagai TB kategori 1 berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan sputum BTA dan foto polos toraks dimana ditemukan tanda dan gejala
yang khas dan menunjang untuk mendiagnosis TB paru kategori 1 pada kasus ini. Pasien juga
didiagnosis dengan HIV stadium 3 berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang berupa darah lengkap dan hitung CD4. Anemia ringan mikrositik
hipokromik sebab infeksi kronis diangkat sebagai diagnosis berdasarkan pemeriksaan darah
lengkap. Pasien dalam kasus ini diterapi dengan OAT kategori 1 (KDT), Vitamin B6 dan
Kotrimoksasol dan pasien diperbolehkan rawat jalan pengantar kontrol 4 hari setelahnya,
namun 10 hari kemudian pasien masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran dan dengan
gejala yang semakin memberat. Kemungkinan infeksi sekunder lain masih dapat dipikirkan.
Keadaan umum pasien memburuk selama 3 hari dan akhirnya pasien meninggal pada hari
perawatan yang ketiga. Penyebab langsung dari kematian pasien dicurigai karena syok sepsis
dengan dengan pneumocystic pneumonia dan tuberculosis sebagai penyebab antara akibat
dari imunodefisiensi yang bermula dari infeksi virus HIV pada pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Icksan, Aziza G.Tuberculosis Paru dalam Radiologi Toraks Tuberculosis Paru. Jakarta; Sagung Seto. Hal 2-6
2. Pelatihan Penanggulangan Tuberculosis bagi Tim DOTS Rumah Sakit. Modul A Pengantar Pelatihan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Jakarta 2009 : Hal 3-7
3. Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta: 2008. Hal: 345-47
4. Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi NTT 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta: 2008. Hal: viii
5. Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Repiblik Indonesia. 2012
6. Amin, S. Bahar, A. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta Pusat : Interna Publishing : 2009 :2232 -33
7. Rencana Aksi Nasional TB-HIV Pengendalian Tuberkulosis 2011 - 2014. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Repiblik Indonesia. 2011
8. Uyainah, Anna ZN. TB/HIV coinfection presentation 13 November 2013. Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Diakses dari http://www.healthefoundation.eu/blobs/hiv/TB-HIV_Peduli_AIDS_131109.pdf pada tanggal 17 September 2013 pukul 15.00
LAMPIRAN
Laboratorium tanggal 28 Agustus 2013Tes Hasil Unit Nilai normal InterpretasiWBC 3.31 {10^3/uL} 4.30 - 10.30 Menurun - LeukopeniaLYMPH# 0.46 {10^3/uL} 0.60 – 3.40 MenurunMONO# 0.41 {10^3/uL} 0.16 – 1.00EO# 0.00 {10^3/uL} 0.00 – 0.80BASO# 0.00 {10^3/uL} 0.00 – 0.20NEUT# 2.44 {10^3/uL} 1.50 – 7.00LYMPH% 13.9 {%} 25.0 – 33.0 MenurunMONO% 12.4 {%} 2.0 – 5.0EO% 0.0 {%} 0.0 – 4.0BASO% 0.0 {%} 0.0 – 1.0NEUT% 73.7 {%} 51.0 – 67.0 MeningkatRBC 5.13 {10^6/uL} 4.00 – 5.50HGB 12.2 {g/dL} 13.4 – 17.7 Menurun - AnemiaHCT 40.7 {%} 40.0 – 47.0MCV 79.3 {fL} 86.0 – 110.0 MenurunMCH 23.8 {pg} 26.0 – 38.0 MenurunMCHC 10.0 {g/dL} 31.0 – 37.0 MenurunRDW-SD 36.3 {fL} 37.0 – 54.0RDW-CV 13.0 {%} 11.0 – 16.0PLT 150 {10^3/uL} 50 - 400MPV 10.6 {fL} 9.0 – 13.0PCT 0.16 {%} 0.17 – 0.35PDW 10.4 {fL} 9.0 – 17.0P-LCR 28.6 {%} 13.0 – 43.0LED
Pemeriksaaan fungsi hati dan fungsi ginjalSGOT 135 U/L < 35 MeningkatSGPT 98 U/L <41 MeningkatUreum 23,6 mg/dL 17 - 43Creatinin 0,8 mg/dL 0.9 -1.3 Menurun
Pemeriksaan elektrolit 31 Agustus 2013Natrium 129 mmol/l 136 – 149 MenurunKalium 3,6 mmol/l 3,5 – 5,0Clhorida 98 mmol/l 98 – 106
Pemeriksaan BTA 4 September 2013BTA I +2 Negatif Positif
Pemeriksaan Darah Lengkap pada tanggal 4 September 2013WBC 4.81 {10^3/uL} 4.30 - 10.30 LYMPH# 0.62 {10^3/uL} 0.60 – 3.40MONO# 0.52 {10^3/uL} 0.16 – 1.00EO# 0.04 {10^3/uL} 0.00 – 0.80BASO# 0.00 {10^3/uL} 0.00 – 0.20NEUT# 3.63 {10^3/uL} 1.50 – 7.00LYMPH% 12.9 {%} 25.0 – 33.0 Menurun
MONO% 10.8 {%} 2.0 – 5.0EO% 0.8 {%} 0.0 – 4.0BASO% 0.0 {%} 0.0 – 1.0NEUT% 75.5 {%} 51.0 – 67.0 MeningkatRBC 4.44 {10^6/uL} 4.00 – 5.50HGB 11.6 {g/dL} 13.4 – 17.7 MenurunHCT 36,5 {%} 40.0 – 47.0MCV 82,2 {fL} 86.0 – 110.0 MenurunMCH 26,1 {pg} 26.0 – 38.0MCHC 31,8 {g/dL} 31.0 – 37.0RDW-SD 38.8 {fL} 37.0 – 54.0RDW-CV 13.6 {%} 11.0 – 16.0PLT 157 {10^3/uL} 50 - 400MPV 11.0 {fL} 9.0 – 13.0PCT 0.17 {%} 0.17 – 0.35PDW 12.6 {fL} 9.0 – 17.0P-LCR 31.7 {%} 13.0 – 43.0LEDMalaria Negati
fPemeriksaan hitung CD4
CD4 17 c/µL 400 - 1800 MenurunPemeriksaan Darah lengkap (20/09/2013)
WBC 2.83 {10^3/uL} 4.30 - 10.30 MenurunLYMPH# 0.25 {10^3/uL} 0.60 – 3.40 MenurunMONO# 0.90 {10^3/uL} 0.16 – 1.00EO# 0.01 {10^3/uL} 0.00 – 0.80BASO# 0.00 {10^3/uL} 0.00 – 0.20NEUT# 1.67 {10^3/uL} 1.50 – 7.00LYMPH% 8.8 {%} 25.0 – 33.0 MenurunMONO% 31.8 {%} 2.0 – 5.0 MeningkatEO% 0.4 {%} 0.0 – 4.0BASO% 0.0 {%} 0.0 – 1.0NEUT% 59.0 {%} 51.0 – 67.0 MeningkatRBC 4.44 {10^6/uL} 4.00 – 5.50HGB 11.5 {g/dL} 13.4 – 17.7 MenurunHCT 33,2 {%} 40.0 – 47.0MCV 77,6 {fL} 86.0 – 110.0 MenurunMCH 26,9 {pg} 26.0 – 38.0MCHC 34,6 {g/dL} 31.0 – 37.0RDW-SD 41.9 {fL} 37.0 – 54.0RDW-CV 15.9 {%} 11.0 – 16.0PLT 179 {10^3/uL} 50 - 400MPV 10.5 {fL} 9.0 – 13.0PCT 0.19 {%} 0.17 – 0.35PDW 11.4 {fL} 9.0 – 17.0P-LCR 27.4 {%} 13.0 – 43.0LED
MalariaFungsi Ginjal (20/09/2013)
Ureum 22,6 mg/dL 17 – 43Creatinin 0,5 mg/dL 0.9 -1.3 MenurunGlu 225 mg/dL 70 – 110 Meningkat
Elektrolit (20/09/2013)Natrium 140,4 mmol/l 136 – 149 Kalium 3,76 mmol/l 3,5 – 5,0Clhorida 102,8 mmol/l 98 – 106