laporan kasus anestesi baru 2 chinen anastesi

45
LAPORAN KASUS GENERAL ANESTESI PADA PASIEN PRE OP KOLESISTEKTOMI ATAS INDIKASI KOLELITHIASIS Pembimbing: dr. Bambang S, Sp.An dr. Ricka Lesmana, Sp.An Disusun Oleh : Rahmat Nauval J 500 090 044 Fahmi Afif Alboneh J500 090 033 Hani Arindra Himawati J500 090 014 KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI RSU PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Upload: rizky-huryamin

Post on 27-Dec-2015

83 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN PRE OP KOLESISTEKTOMI ATAS

INDIKASI KOLELITHIASIS

Pembimbing:

dr. Bambang S, Sp.An

dr. Ricka Lesmana, Sp.An

Disusun Oleh :

Rahmat Nauval J 500 090 044

Fahmi Afif Alboneh J500 090 033

Hani Arindra Himawati J500 090 014

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI RSU PKU MUHAMMADIYAH

SURAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2014

Page 2: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

A. STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS

a. Identitas Pasien

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 9 Juni 2014

Nama : Tn. M

Umur : 52 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Surakarta

Tanggal Masuk : 8 Juni 2014

Tanggal Periksa : 9 Juni 2014

No. Catatan Medik : 2158xx

Bangsal : --

b. Keluhan Utama

Pasien mengeluh nyeri perut kanan atas

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSU PKU Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 8 Juni

2014 dengan keluhan mengeluh nyeri perut kanan atas. Nyeri perut dirasakan

seperti ditusuk-tusuk (tajam) dan menjalar sampai ke punggung belakang. Nyeri

dirasakan sudah kurang lebih 1 bulang yang lalu. Pada 3 minggu awal nyeri

dirasakan terus-menerus. Pasien kemudian berobat ke mantri dan sempat

sembuh selama kurang lebih 1 minggu. Kemudian pasien merasakan kambuh

lagi setelah 1 minggu diobati. Begitu seterusnya. Pasien mengaku kurang lebih 1

tahun yang sudah pernah merasakan rasa nyeri yang sama selama 3 hari dan

kemudian tidak kambuh lagi, sampai sekarang ini baru kambuh. Pasien juga

mengaku aktivitas sehari-hari selalu menjaga pola makan dan juga tidak pernah

Page 3: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

minum-minuman bersoda atau minuman yang berlabel menguatkan dan

menyegarkan tubuh. Pasien lebih suka minum air putih yang direbus sendiri dan

makanan rumah. Mual (-), muntah (-), pusing (-), sesak (-), pegel-pegel (-), BAB

(+), BAK (+).

d. Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat hipertensi : disangkal

• Riwayat sakit jantung : disangkal

• Riwayat sakit gula : disangkal

• Riwayat asma : disangkal

• Riwayat batuk lama : disangkal

• Riwayat alergi obat : disangkal

e. Riwayat Keluarga

• Riwayat Penyakit serupa : Disangkal

• Riwayat sakit jantung : disangkal

• Riwayat sakit gula : disangkal

• Riwayat asma :disangkal

• Riwayat hipertensi : disangkal

f. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang buruh bangunan dengan kondisi ekonomi

menengah ke bawah.

II. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan Umum : Keadaan umum baik

Derajat Kesadaran: GCS E4 V5 M6 (Compos Mentis)

Tinggi Badan : 165 cm

Berat Badan : 50 kg

Status Gizi : gizi kesan baik

Page 4: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

b. Status Generalis

Vital Sign

Tekanan Darah : 140/90 mmHg

Suhu ( per Axillar) : 36,5◦C

Nadi : 67 x/menit

Respirasi : 18x/menit

c. Kulit : dbn

d. Kepala : normocephal, jejas (+)

e. Mata : dbn

f. Telinga : dbn

g. Hidung : dbn

h. Mulut : dbn

i. Leher : PKGB (-/-), JVP (-/-), tiroid dbn

j. Thoraks :

Jantung:

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,

bising jantung (-)

Paru :

Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : Sonor/sonor

Auskultasi : suara dasar vesicular (+/+), suara tambahan

(-/-)

k. Punggung : nyeri ketok vertebrae (-/-)

l. Abdomen : inspeksi : sikatrik (-), stria(-), darm countour(-), vulnus (-)

Aukultasi : peristaltik (+) normal, metalik sound (-)

Page 5: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

Palpasi : distensi (-), nyeri tekan (-) regio hiocondriaca dextra.

Perkusi : tympani (+) normal.

m. Extremitas : superior akral hangat (-/-), inferior akral hangat (-/-)

n. Status Psikiatri

Emosi : Stabil

Afeksi : dbn

Proses berfikir : koheren

Kecerdasan : dbn

o. Status Neurologis

Kesadaran : GCS E4V5M6

Fungsi luhur : dbn

Fungsi vegetatif : dbn

Fungsi sensorik : Ekstremitas (N)

Fungsi Motorik dan reflek :

i. Kekuatan : (N)

ii. Tonus : (N)

iii. Reflek fisiologis : (+2)

Reflek patologis : (-)

Nervi craniales : I-XII dbn

Ekstremitas:

Superior dextra : tidak ada kelainan

Superior sinistra : tidak ada kelainan

Inferior dextra : tidak ada kelainan

Inferior sinistra : tidak ada kelainan

Page 6: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

III. DIAGNOSIS KERJA

Suspt Kolelithiasis

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 21 Mei 2014

a. Hematologi

Hb : 13,5 gr/dl

Hct : 39,6 %

Eritrosit : 4,75

AL : 10.700/μL

AT : 377.000/mm3

Masa Perdarahan : 2 menit

Masa Pembekuan : 4menit

Golongan darah : B, Rh positif

b. Kimia darah

SGOT :24

SGPT : 15

Ureum :25,2

Kreatinin : 0,8

Gula darah sewaktu :100,9

V. DIAGNOSIS

Kolelithiasis

VI. PLANNING OPERASI

KOLESISTEKTOMI

VII. TINDAKAN ANESTESI

Page 7: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

a. Keadaan pra anestesi : Compos mentis

b. Jenis operasi : terencana

c. Berat badan : 50 kg

d. EKG : Sinus

e. AL : 10.700

f. Ht : 40

g. Golongan darah : B, rhesus positif

h. ASA : II

i. NPO : > 6 jam

j. Premedikasi : ondancentron 4 mg + ketorolac 3 mg i.v

k. Diagnosis pre operatif : Kolelithiasis

l. Diagnosis post operatif : kolesistektomi/ kolelithiasis

m. Macam Operasi : Kolesistektomi

n. Tanggal operasi : 9 Juni 2014

o. Posisi : supine

p. Jenis anestesi : general anastesi

q. Teknik anestesi : induksi anastesi (melalui intravena)

r. Induksi : Fentanyl+roculex+propofol

s. Maintenance : O2

t. Alur anestesi

1. Persiapan anestesi

2. Anamnesis : nama, umur, keluhan, riwayat penyakit, Riwayat

tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya

sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu

mendapat perhatian khusus misalnya alergi, mual-muntah, nyeri

otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah sehingga dapat

dirancang anestesi berikutnya dengan baik.

3. Persiapan pasien : pemasangan monitor vital sign dan saturasi

PCO2 dan gantungkan infuse RL.

Page 8: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

4. Persiapan alat : mesin anestesi, pipa endotrakeal, sistem magiil,

sungkup.

5. Persiapan obat pra anestesi : ondancentron 4 mg, ketorolax 30

mg (premedikasi), roculax (10 ml), fentanyl 100 ml, propofol 10 ml

(induksi). Melalui intravena.

6. Persiapan obat anestesi saat operasi : tambahan roculax (5 ml),

persiapan fentanyl 500 unit drip NS.

7. Pada saat anestesi : pasang sungkup dan salurkan sungkup ke

mesin anestesi. Sebelumnya di induksi melalui intravena roculax

10mg, fentanyl 50mg, propofol 10ml. Saat pasien sudah mulai

tertidur pasang pipa endotrakeal dan sambungkan dengan mesin

anestesi. Kemudian pasien diberikan ondancentron dan ketorolak

sebagai anti mual dan analgetik. Diberikan N2O/O2 2:2 l/menit.

Kemudian selang 15 menit pasien tambahkan roculax dan fentanyl

(secara drip 500 u NS). Pantau selalu tanda vital dan saturasi

oksigen sampai operasi selesei dan pasien mengalami reaminasi.

1. Tabel Pemberian Obat Selama Operasi

Menit ke Obat Cara pemberian Dosis

0 Ondansentron i.v 4 mg

0 ketorolac i.v 30 mg

2. Tabel Pemberian Cairan Selama Operasi

Menit ke Jenis cairan

0 RL

45 RL

3. Tabel Tensi dan Nadi

Menit ke Tensi Nadi

Page 9: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

10 140/90 98

15 140/90 100

20 140/790 100

25 125/80 92

30 136/80 90

35 134/80 95

40 125/79 102

45 127/80 90

50 105/60 89

Page 10: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

VIII. PASCA ANESTESI

Pasien dirawat di RR posisi supine. Oksigen 2L/menit.

respirasi/nadi/tensi diawasi tiap 10 menit

Bila muntah diberikan Ondancentron 8mg. Bila kesakitan diberikan

ketorolac i.v

Cairan untuk 24 jam pertama :

1. RL

2. RL

3. RD

4. RL

Tetesan 28 tetes/ menit

Sesudah sadar pasien dirawat di bangsal

Monitoring pasca anestesi

Menit ke Tensi Nadi

0 140/80 95

10 140/80 95

20 140/80 95

30 140/80 95

40 140/80 95

50 140/80 95

60 140/80 95

70 140/80 95

PEMBAHASAN

Page 11: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

Cholelithiasis

a. Definisi

Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu

material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis)

atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya10

Gambar 9. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)

b.Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangka angka kejadian di

Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara (syamsuhidayat).

Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang

disebut ”5 Fs” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan, fat

(gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun)7.

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin

banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis11,12

Page 12: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

Faktor resiko tersebut antara lain:

1. Genetik

Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu

empedu bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di

USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih

sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga

sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia.

2. Umur

Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat sedikit

penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin

bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu,

sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang10.

3. Jenis Kelamin

Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan

perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu,

sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di Indonesia jumlah

penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki13

4. Beberapa faktor lain

Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu empedu antara lain:

obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, dan nutrisi jangka vena yang lama.

c. Patogenesis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada

saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi

batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi

yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh

Page 13: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan

susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu

empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu

dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan

kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat

berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel

dan pembentukan mukus14.

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi

yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu.

Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu

banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin

dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam

empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik

mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk

alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan

mudah mengalami perkembangan batu empedu15.

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui

duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat

menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga

menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena

diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana

sebagai batu duktus sistikus.

d. Penatalaksanaan

Page 14: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

Konservatif

a). Lisis batu dengan obat-obatan

Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan mengalami

keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya

keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga

penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk melarutkan

batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan

monitoring hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm

dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun18.

b). Disolusi kontak

Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut kolesterol

ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka

kekambuhan yang tinggi.

c). Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)

Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang

lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar

telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi

adjuvant asam ursodeoksilat.

e. Penanganan operatif

persiapan praoperatif :

Persiapan Anestesi

1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi

Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya

kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan

kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien

dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi

angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan.

Page 15: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

a. Penilaian pra-bedah

1) Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi

sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang

perlu mendapat perhatian khusus misalnya alergi, mual-muntah, nyeri

otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah sehingga dapat dirancang

anestesi berikutnya dengan baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat

yang dapat menimbulkan masalah di masa lalu sebaiknya jangan

digunakan ulang misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu

3 bulan atau suksinilkolin yang menimbulkan apnea berkepanjangan juga

jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari

sebelumnya.

2) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah relatif

besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan

laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu

tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi

semua sistem organ tubuh pasien.

3) Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan

darah (Hb, leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan) dan

urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan

EKG dan foto thoraks.

4) Kebugaran untuk anestesi

Page 16: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk

menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya pada operasi

sito, penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik

seseorang adalah yang berasal dari The American Society of

Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko

anestesi karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek

samping pembedahan.

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas

rutin terbatas.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman

kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

5) Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi

isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan

risiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan

risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif

dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama

periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam,

dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam

sebelum induksi anestesi. Minuman air putih, teh manis sampai 3 jam,

dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1

jam sebelum induksi anestesi.

Page 17: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

b. Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah

dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi

diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari

anestesi di antaranya:

1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien

a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:

Kunjungan pre-anestesi.

Pengertian masalah yang dihadapi.

Keyakinan akan keberhasilan operasi.

b) Memberikan ketenangan (sedatif).

c) Membuat amnesia.

d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau narkotik).

e) Mencegah mual dan muntah.

2) Memudahkan atau memperlancar induksi

Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.

3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi

Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.

4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau liur)

5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung

Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2 antagonis.

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam,

secara intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang

sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-

obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum

induksi. Jika pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan

pemberian premedikasi intramuskuler, subkutan tidak dianjurkan. Semua

obat premedikasi jika diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit

hipotensi kecuali atropin dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan

pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Page 18: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

Obat-obat yang sering digunakan:

1) Analgesik narkotik

a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB

2) Analgesik non narkotik

a) Ponstan

b) Tramol

c) Toradon

3) Hipnotik

a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB

4) Sedatif

a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB

b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis 0,1mg/kgBB

c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB

d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

5) Anti-emetik

a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis 0,001

mg/kgBB

b) DBP

c) Narfoz, rantin, primperan

2. Induksi anestesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak

sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi

dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelah

pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan

anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

Page 19: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

S: Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan

usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T: Tube Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon

(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A: Airway Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa

hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan

lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak

menyumbat jalan napas.

T: Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I: Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel)

yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa

trakea mudah dimasukkan.

C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.

S : Suction penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.

Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:

a. Induksi intravena

o Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan dengan hati-hati,

perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan

dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan

pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan

oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

o Obat-obat induksi intravena:

Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg

Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai

kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg). Hanya digunakan untuk intravena

dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam

30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan

menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi,

Page 20: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan

likuor, tekanan intrakranial, dan diduga dapat melindungi otak akibat

kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesik.

Propofol (diprivan, recofol)

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat

isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena

sering menyebabkan nyeri sehingga beberapa detik sebelumnya dapat

diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-

2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12

mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.

Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan

untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.

Ketamin (ketalar)

Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi,

hipersalivasi, nyeri kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-

muntah, pandangan kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian

sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam

(valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi

salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg

dan untuk intramuskuler 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan

bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml

= 100 mg).

Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)

Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskuler sehingga

banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.

Untuk anestesi opioid digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg

dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

b. Induksi intramuskuler

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara

intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

Page 21: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

c. Induksi inhalasi

o N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)

Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak terbakar,

dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal

25%. Bersifat anastetik lemah dan analgesi kuat sehingga sering

digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi

inhalasi jarang digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu

cairan anastetik lain seperti halotan.

o Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya

cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan diberikan analgesik semprot

lidokain 4% atau 10% sekitar faring-laring. Kelebihan dosis dapat

menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi

hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi

miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesik lemah

tetapi anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga

mininggikan kadar gula darah.

o Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih

iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan

tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot

lurik lebih baik dibanding halotan.

o Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian

aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik

anestesi hiperventilasi sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah

otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga

digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada

pasien dengan gangguan koroner.

Page 22: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

o Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%) bersifat

simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi

napas seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga

tidak digunakan untuk induksi anestesi.

o Sevofluran (ultane)

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.

Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga

digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan.

d. Induksi per rektal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau midazolam.

e. Induksi mencuri

Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa

hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien tetapi kita

berikan jarak beberapa sentimeter sampai pasien tertidur baru sungkup muka

kita tempelkan.

f. Pelumpuh otot non-depolarisasi Tracurium 20 mg (Atracurium)

o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik tetapi tidak menyebabkan

depolarisasi hanya menghalangi asetilkolin menempatinya sehingga

asetilkolin tidak dapat bekerja.

o Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama

20-45 menit, kecepatan efek kerjanya 2 menit.

o Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:

Cegukan (hiccup)

Dinding perut kaku

Ada tahanan pada inflasi paru

3. Rumatan anestesi (maintenance)

Page 23: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total), dengan

inhalasi, atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu

pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesik

cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri, dan

relaksasi otot lurik yang cukup.

Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl

10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesik

cukup sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena

dapat juga menggunakan opioid dosis biasa tetapi pasien ditidurkan dengan

infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,

pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi

dengan udara + O2 atau N2O + O2.

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan

perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau

isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas

spontan, dibantu, atau dikendalikan.

4. Tatalaksana jalan napas

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:

o Hidung menuju nasofaring

o Mulut menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan

palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring

menuju esofagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea.

Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglottis, dan sepasang

aritenoid, kornikulata, dan kuneiform.

a. Manuver tripel jalan napas

Terdiri dari:

1) Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital

Page 24: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

2) Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula

3) Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas

sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

b. Jalan napas faring

Jika maneuver tripel kurang berhasil maka dapat dipasang jalan napas mulut-

faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung

(naso-pharyngeal airway).

c. Sungkup muka

Mengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke

jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika

digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor

dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.

d. Sungkup laring (laryngeal mask)

Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar

berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat

dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkainya dapat

berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga

supaya tetap paten.

Dikenal 2 macam sungkup laring:

1) Sungkup laring standar dengan 1 pipa napas.

2) Sungkup laring dengan2 pipa yaitu 1 pipa napas standar dan lainnya pipa

tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.

e. Pipa trakea (endotracheal tube)

Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari

bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut

(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).

f. Laringoskopi

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop

merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya

Page 25: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis

besar dikenal 2 macam laringoskop:

1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.

2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal

dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4

gradasi.

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle

1 + + +

2 - + +

3 - - +

4 - - -

Page 26: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

g. Intubasi

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea

melalui rima glotis sehingga ujung distalnya berada kira-kira

dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi

sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:

1) Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan

sekret jalan napas, dan lain-lainnya.

2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan relaksan dengan

efisien, dan ventilasi jangka panjang.

3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Adapun prosedur dalam pelaksanaan intubasi meliputi:

Persiapan

1) Persiapan alat yang dibutuhkan seperti: laringoskop, ET, stilet,

dan lain-lain.

2) Masih siap pakai atau alat bantu napas.

3) Obat induksi seperti: pentotal, ketalar, diprivan, dan lain-lain.

4) Obat pelumpuh otot seperti: suksinil kolin, atrakurium, pavulon,

dan lain-lain.

5) Obat darurat seperti: adrenalin (efinefrin), SA, mielon, dan lain-

lain.

Tindakan

1) Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap.

2) Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+).

3) Jika fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira-kira 1

menit.

4) Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan

mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut membuka.

Page 27: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

5) Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan,

sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan menggeser

lidah ke kiri.

6) Cari epiglotis → tempatkan bilah di depan epiglotis (pada bilah

bengkok) atau angkat epiglotis (pada bilah lurus).

7) Cari rima glotis (dapat dengan bantuan asisten dengan menekan

trakea dar luar).

8) Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah.

9) Masukan ET melalui rima glotis.

10) Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat

bantu napas (alat resusitasi)

Adapun kesulitan dalam intubasi yaitu:

Leher pendek berotot

Mandibula menonjol

Maksila atau gigi depan menonjol

Uvula tidak terlihat

Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

Gerak vertebra servikal terbatas

Adapun komplikasi pada intubasi yaitu:

1) Selama intubasi

Trauma gigi geligi

Laserasi bibir, gusi,

laring

Merangsang saraf

simpatis

Intubasi bronkus

Intubasi esofagus

Aspirasi

Spasme bronkus

2) Setelah ekstubasi

Spasme laring

Aspirasi

Gangguan fonasi

Edema glotis-

subglotis

Infeksi laring, faring,

trakea

Page 28: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

Sedangkan untuk pelaksanaan ekstubasi harus memperhatikan hal-hal

berikut ini:

1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar jika:

Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan

Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi

2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan

dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring.

3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret

dan cairan lainnya.

5. Pasca anestesi

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi

terutama yang menggunakan anestesi umum maka perlu melakukan penilaian

terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke

ruangan atau masih perlu diobservasi di ruang recovery room (RR).

a. Aldrete score

Nilai warna

Merah muda 2

Pucat 1

Sianosis 0

Pernapasan

Dapat bernapas dalam dan batuk 2

Dangkal tetapi pertukaran udara adekuat 1

 Apnea atau obstruksi 0

Sirkulasi

Tekanan darah menyimpang < 20% dari normal 2

Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1

Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal 0

Kesadaran  

Page 29: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

Sadar, siaga, dan orientasi 2

Bangun tetapi cepat kembali tertidur 1

Tidak berespons 0

Aktivitas  

Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2

Dua ekstremitas dapat digerakkan 1

Tidak bergerak 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

b. Steward score (anak-anak)

Pergerakan

Gerak bertujuan 2

Gerak tak bertujuan 1

Tidak bergerak 0

Pernapasan

Batuk, menangis 2

Pertahankan jalan napas 1

Perlu bantuan 0

Kesadaran

Menangis 2

Bereaksi terhadap rangsangan 1

Tidak bereaksi 0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

A. Kontraindikasi Anestesi Umum

Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:

1. Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat II total

(tidak ada gelombang P).

28

Page 30: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

2. Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik >110 mmHg), diabetes

melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glomerulonefritis akut.

Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan

anestesi umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT (death

on the table) meninggal di meja operasi atau selain itu. Kemudian kontraindikasi

relatif ialah pada saat itu tidak bisa dilakukan anestesi umum tetapi melihat

perbaikan kondisi pasien hingga stabil mungkin baru bisa diberikan anestesi

umum.

29

Page 31: Laporan Kasus Anestesi Baru 2 Chinen Anastesi

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2009. Cardiopulmonary Resuscitaion. Diakses dari

http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479.

American Heart Association. 2010. Highlights of the 2010 American Heart

Association Guidelines for CPR and ECC.

Dachlan, R., dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian

Anestesiologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dar, A.B. 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. India: Associate Prof of Medicine.

Latief, S.A. & Suryadi. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Omuigui. 1995. The Anaesthesia Drugs Handbook 2nd Ed. Mosby year Book Inc

30