konflik tanah percaton di madura -...
TRANSCRIPT
KONFLIK TANAH PERCATON DI MADURA
( Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan Nomor: 240/Pid.H/2005/PN.PKS
dan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 115/PEN.MAJ /2006/ PT.SBY )
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Ahmad Mahfud
NIM : 1110043100045
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M
v
ABSTRAK
Ahmad Mahfud, 1110043100045, dengan judul “Konflik Tanah Percaton
di Madura”. Konsentrasi Perbandingan Mahzab Fiqih, program studi
Perbandingan Mahzab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M
Masalah utama dalam skripsi ini, yaitu terletak pada hasil dua putusan
instutusi pengadilan yang berbeda, yang mengakibatkan konflik tanah Percaton
semakin memanas, sehingga menjadi pertumpahan darah. Tujuan penulisan
skripsi ini untuk mengetahui dasar yuridis antara putusan Pengadilan Negeri
Pamekasan dan Pengadilan Tinggi Surabaya, dan untuk mengetahui latar belakang
faktor perbedaan yang mendasari putusan kedua pengadilan tersebut, dan untuk
mengetahui status tanah Percaton menurut hukum Islam, dan untuk mengetahui
Resolusi yang ditawarkan dalam penyelesaian konflik tanah Percaton menurut
Islam.
Dalam skripsi ini penulis menggunakn metode penelitian Yuridis Normatif
atau Doktrinal, penelitian hanya dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder yang bersifat hukum, data primer dan sekunder yan telah
dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis dan diberikan interpretasi untuk dapat
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Dan juga dibandingkan, yang
mana dari perbandingan tersebut dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan
perbedaan dari kedua pengadilan.
Berdasarkan hasil penelitian yang di dapat dalam skripsi ini, adalah bahwa
kedua pengadilan memliki pandangan yang berbeda dalam menentukan
putusanya, perbedaan tersebut terletak pada penafsiran dan pamahaman dalam
pasal pada pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 KUHP. Menurut islam tanah percaton
masuk dalam kategori teori kepemilikan yang tidak sempurna, yaitu kepemilikan
seseorang hanya kepada benda atau manfaatnya saja, sebab orang yang
bersangkutan (kepala Desa) hanya berhak atas manfaatnya saja. Sedangkan
bendanya (tanah percaton) menjadi hak milik pemerintah. Resolusi Islam dalam
kasus ini yaitu tentang mekanisme penyelesaian di muka pengadilan merupakan
keputusan yang sesuai dengan mekanisme yang disedikan oleh hukum Islam.
Menyelesaikan permasalahan di hadapan hakim (qadhi) merupakan mekanisme
yang tepat.
Kata Kunci : Konflik, Percaton, Putusan.
Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.
Pembimbing II : Dr. Nahrawi, SH. MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1334 H, sampai tahun 2014.
vi
Kata Pengantar
مة ألمقديم ب ح الر حمن الر هللا سم
نا، أنفس نشرور ينه،ونستغف ره،ونعوذب الل م الحمدلل نحمده،ونستع نسيئات أعمال نا،إ ن وم
هللاوحده إ ل لإ له أن يله.وأشهد له،ومنيضل لفلهاد ل فلمض هللا ه شر يكمنيهد ل
داعبدهورسوله محم لنب يبعداه. له،وأشهدأن
Pertama-tama penulis panjatkan puja dan puji syukur keharibaan Allah
Swt atas karunia limpahan rahmat serta Hidayah-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konflik Tanah Percaton di Madura”
walaupun dibawah kesempurnaan, sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana
Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH)
jurusan Perbandingan Mazhab Fiqih Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan keharibaan baginda
Nabi Muḥammad Saw yang telah membawa kita dari alam nan gelap gulita
menuju alam terang penuh pelita, dari penjajahan segala aspek mencipta
hakikinya segala prospek, merubah peradaban yang biadab, mencipta hakikat
yang beradab, merubah kedhāliman manyulau kehidupan menuju tepi pantai
kedamaian abadi, mengukir peradaban makhluk yang seutuhnya dibawa tamaran
keimanan dan keislaman.
Penulis sadar dan menyadarinya bahwa penelitian ini tidak akan
terselesaikan tanpa adanya petunjuk dan pertolongan Allah SWT. Serta berkat
berbagai dorongan serta bimbingan dari semua pihak, yang turut membantu baik
vii
secara moril ataupun meteril, yang turut andil dalam terselesainya penelitian ini.
Adapun ucapan terimakasih sebesar-besarnya di antaranya:
1. Bapak Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar,
MA., yang telah banyak membantu penulis dalam menjalankan
perkuliahan. Semoga dapat menjadi pemimpin yang memberikan teladan
dan integritas yang lebih baik.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku pembimbing selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu
dengan penuh keikhlasan, dan kesabaran serta dukungan do’a dan motivasi
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc., MA., selaku sekertaris Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak membantu kepada penulis, baik dari sisi intelektual dan
spiritual di dalam segala kesibukan beliau.
4. Bapak Dr. Nahrawi, SH., MH., selaku dosen pembimbing yang telah
tekun, ikhlas dan sabar serta meluangkan waktu untuk membimbing dan
memberikan kritik dan saran dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Segenap jajaran dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, yang
telah ikhlas memberikan ilmunya kepada penulis selama studi. Semoga
keberkahan ilmunya akan tetap mengalir.
viii
6. Para Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga
memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam
penulisan skripsi ini.
7. Kepada kelurga tercinta, khususnya abah dan Ummi (KH. Moh. Hosnan
dan Nyai Hj. Muzayyanah) yang telah membesarkan dan mendidik dengan
penuh kasih sayang dan keikhlasan, yang selalu penulis hormati dan
sayangi, dan yang selalu memberikan kasih sayangnya kepada penulis,
memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan doa demi kesuksesan penulis,
kepada beliau lah karya ini dipersembahkan. Mudah-mudahan Allah selalu
menjaga mereka berdua dengeng rahmat kasih sayang-Nya.
8. Rasa hormat yang tulus kepada kelurga besar Pondok Pesantren Mambaul
Ulum Bata-Bata, khususnya RKH. Abd Hamid Ahmad Mahfud Zayyadi,
selaku pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. Beliau
yang selalu mengharapkan, agar setiap santrinya menjadi santri yang patuh
pada Agama Islam, yang sudah lama beliau sakit (songkan) tidak sembuh-
sembuh, semoga Allah memberikan kesebuhan dan kesehatan kepada
beliau, sehingga bisa membimbing para santrinya lagi.
9. Ucapan beribu-ribu maaf dan terimaksih kepada Prof, Dr, KH. Ali
Musthafa Yaqub, MA., selaku guru penulis yang baru saja wafat, yang
selalu membimbing santrinya untuk istiqamah dan ikhlas dari segi apapun.
Mudah-mudahan Allah menempatkan beliau di tempat yang tinggi di
surga-Nya.
ix
10. Para sahabat sekelas penulis PMF dan PMH angkatan 2010 yang tidak
dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan
kepada penulis dalam studi dan selalu memberikan canda tawa.
11. Ucapan terima kasih banyak kepada para family yang ada di Madura,
khususnya kaka Saiuful dan kaconk Muqit, yang telah memberikan waktu,
bimbingan, arahan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Tidak lupa pula kepada organasisi Laskar Bersarung Jabodetabek, yang
telah mendukung penulis dari berbagai hal, semoga organisasi ini terus
eksis dan istiqamah dalam menyebarkan agam Allah. Amiin.
13. Terimakasih banyak kepada Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan
Tinggi Surabaya, yang telah memberikan waktu dan bahan skripsi kepada
penulis.
14. kepada seluruh pihak yang ikut andil dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang mana penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan
terimakasih banyak, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan yag
diberikan dengen berlipat ganda.
Semoga skripsi ini dapat menambah khazanah keilmuan dan
bermanfaat bagi seluruh pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
para pembaca. Amīn Yā Rabbal ‘Alamīn.
Ciputat, 9 Mei 2016
Ahmad Mafud
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UIJAN SKRIPSI ....................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
BAB I: PENDAHULAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitia ......................................... 7
D. Tinjauan Review Kajian Terdahulu ................................ 8
E. Metode Penelitian ............................................................ 11
F. Sistematika Penulisan....................................................... 14
BAB II: KONSEPSI TANAH PERCATON DAN SEJARAHNYA DI
MADURA
A. Saketsa Umum Tentang Madura....................................... 16
B. Historis Tanah Percaton di Madura.................................. 21
C. Tanah Untuk Rakyat ........................................................ 24
D. Pengertian Tanah percaton............................................... 26
E. Uraiyan Tanah UU PA 1960............................................ 28
F. Tanah Percaton dalam Konfigurasi Perundang-undangan 32
G. Percaton Menurut Islam.................................................... 35
BAB III: PUTUSAN PENGADIALN NEGERI PAMEKASAN NOMOR:
240/ Pid.H/ 2005/ PN.PKS. DAN PUTUSAN PENGADILAN
TINGGI SURABAYA NOMOR: 115/PEN.MAJ /2006/ PT.SBY.
TENTANG STATUS TANAH PERCATON
xi
A. Gambaran Umum Pengadilan........................................... 39
B. Duduk Perkara Putusan.................................................... 46
BAB VI: ANALISA PUTUSA PENGADILAN NEGERI PAMEKASAN
NOMOR: 240/ Pid.H/ 2005/ PN.PKS. DAN PENGADIALAN
TINGGI SURABAYA NOMOR: 115/ PEN. MAJ /2006/ PT.
SBY. DAN RESOLUSI KONFLIK TANAHP ERCATON
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan.............. 54
B. Analisis Putusan Pengadilan Tingggi Surabaya............... 65
C. Resolusi Konplik Tanah Percaton Menurut Hukum Islam 77
BAB V KESIMPULAN
A. Penutup............................................................................. 86
B. Saran-saran........................................................................ 88
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 89
LAMPIRAN.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tiga kabupaten Madura, Bangkalan, Sumenep, dan Pamekasan dalam
abad kesembilan belas merupakan kadipaten-kadipaten agrornanagerial, dalam
pengertian bahwa para penguasa dan rakyatnya memiliki sumber daya alam yang
sama, yaitu tanah pertanian. Para penguasa membagikan sumber daya ekonomi
melalui sistem Apanage atau Percaton, dimana keluarga ningrat memperoleh
desa-desa sebagai sumber penghasilan mereka.1 Adapun Percaton atau tanah
Bengkok (jawa) itu sendiri merupakan sesuatu yang diterima dari raja
atau pemerintah sebagai penghasilan. Penghasilan tersebut dikelola oleh penerima
dengan petani sebagai pekerja. Dalam sistem Percaton, para keluarga, pejabat, dan
abdi dalem memperoleh bagian mereka melalui sebuah piagem (sertifikat) yang
diberikan oleh penguasa dan didaftarkan di kantor perbendaharaan (gedong).
Bahkan ada penarikan pajak dari pemegang Percaton.2
Dari sini dapat diketahui bahwa dalam sejarahnya tanah Percaton
merupakan tanah pemberian, atau dalam hukum Islam disebut hibah dari
penguasa kepada adipati atau yang dianggap berhak menerimanya untuk
pembagian sumber daya ekonomi. Karena pemberian tanah Percaton menjadi
milik pribadi pemegangnya dan menjadi tanggung jawabnya untuk dimanfaatkan
berdasarkan kepentingan yang diinginkan.
1 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm.81.
2 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, hlm.82.
2
Namun sejalan waktu setelah kemerdekaan, peraturan lama yang dianggap
kurang memihak kepada kepentingan Negara, dianulir dan dirumuskan dalam
semangat untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh bangsa. Pasal 33
UUD 1945 menegaskan bahwa: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,
karena hukum tanah yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.3
Dalam hal ini, negara mengambil peran sentral untuk mengatur dan
mendayagunakan sumber daya alam bagi kepentingan bersama. Di samping itu,
Apabila penyelenggara keadilan dalam masyarakat yang dilakukan melalui hukum
dilihat sebagai institusi sosial, maka kita melihat hukum dalam kerangka yang
luas, yaitu dengan melihatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.
Untuk itu, penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan
tingkat kemampuan masyarakatnya,4 sehingga persoalan pengusaan sumber daya
menjadi sangat sensitif dan potensial memicu konflik jika tidak diberikan terhadap
otoritas yang semestinya.
Termasuk dalam hal ini adalah tanah percaton. Masih segar dalam ingatan
peneliti, tragedi Klebun (Kepala Desa) yang berebut tanah Percaton di Desa Bujur
Pamekasan tahun 2006, yang mengakibatkan tujuh orang tewas. “Permusuhan
3 Freiderich Carl Von Savigny mengatakan bahwa hukum itu bukan hanya dikeluarkan
oleh penguasa publik dalam bentuk perundang-undangan, namun hukum adalah jiwa bangsa.
Lihat, Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2006), hlm. 164. 4 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: PT. Suryandaru
Utama, 2005), hlm. 27.
3
yang berujung baku bunuh itu bermula dari sengketa lahan tembakau seluas 5,8
hektar yang merupakan tanah bengkok atau percaton. Baidlowi mengklaim
Percaton telah menjadi miliknya. Alasannya ketika menjabat klebun, dia menukar
dengan tanahnya seluas 4.430 meter persegi.5
Mahfud MD, berpendapat bahwa terjadinya carok massal ini dikarenakan
ketidak pekaan hakim di Pengadilan Tinggi Jawa Timur atas putusan sengketa
tanah. Menurutnya Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang memenangkan
kepala desa lama juga ikut memberi kontribusi kasus tersebut. Padahal
sebelumnya Pengdilan Negeri Pamekasan memenangkan kepala desa baru
Mursyidin dan menghukum kepala desa lama dengan 6 bulan penjara atas kasus
tukar guling tanah Percaton.6
Ketika putusan berbeda dari dua pengadilan yaitu, Pengadilan Negeri
Pamekasan dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur tentang status tanah percaton,
walaupun putusan dua institusi hukum tersebut sangat dimungkinkan berbeda, dan
yang lebih tinggi bisa menganulir keputusan di bawahnya, namun menjadi
menarik karena hal ini mengindikasikan kuat adanya perbedaan mendasar yang
melatar belakangi perbedaan petusan tersebut.
Dalam hal ini akan menimbulkan pertanyaan mendasar seperti, apakah
tanah tersebut adalah milik pribadi kepala desa, atau milik desa? Jika milik kepala
desa, apakah Kepala Desa boleh memanfaatkan, misalnya seperti menukar dalam
5 Nurlis E.Meuko dan Adi Mawardi, Klebun Berebut Percaton, majalah.
tempo.co/tragedi-klebun-berebut-percaton, diakses senin 24 juli 2006. 6 Muhammad Nur Hayid, Hakim Dituding Sebagai Pemicu Carok Massal,
http://news.detik.com-hakim-pt-jatim-dituding-sebagai-pemicu-carok-massal, diakses padaJumat,
14/07/2006.
4
kasus Baidlowi diatas dan memilikinya walau sudah tidak lagi menjabat sebagai
Kepala Desa?
Apalagi dilaporkan bahwa penguasaan aset desa pada umumnya Kepala
Desa di Madura, termasuk tanah Percaton, menjadi milik pribadi dan untuk
kepentingan pribadi bahkan setelah selesai masa jabatan. Padahal dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, hasil pengelolaan aset desa digunakan untuk
kepentingan desa. Di sampaikan Wakil Ketua Sementara dewan perwakilan
Rakyat daerah (DPRD) Pamekasan, Suli Faris mengatakan sudah bukan rahasia
lagi bahwa banyak aset desa yang seharusnya untuk kepentingan desa dan bisa
menjadi sumber Pendapatan Asli Desa justru dikuasai secara pribadi oleh kepala
desa.7 Suli Faris melanjutkan Secara aturan itu, harusnya tanah kas desa termasuk
Percaton bisa dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan masyarakat desa bukan
untuk pribadi kades, tidak seperti yang terjadi sekarang yang seluruh aset
langsung dikuasai kades.8
Hal ini jauh dari harapan yang tertuang dalam semangat UUPA 1960, yaitu
semangat yang mendahulukan kepentingan rakyat, yakni dalam pertimbangannya
menegaskan bahwa Hukum Agraria harus memberi keyakinan akan tercapainya
fungsi bumi, air, dan ruang angkasa, sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia
dan perkembangan zaman serta merupakan perwujudan asas Ketuhanan Yang
Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.9
7Ali Syahroni, Kades Kuasai Aset Desa, http://www.koranmadura.com/2014/09/16/
kades-kuasai-aset-desa, diakses 16 September 2014. 8Ali Syahroni, Kades Kuasai Aset Desa, http://www.koranmadura.com/2014/09/16/
kades-kuasai-aset-desa, diakses 16 September 2014. 9 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persama, 2008), hlm. 3.
5
Tanah Percaton yang dalam tinjauan sejarah merupakan pemberian
penguasa kepada pejabat atau yang sejenisnya, akan berbenturan dengan semangat
Negara merdeka yang merubah orientasi bernegaranya ke arah kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyatnya, bukan lagi kesejahteraan individual yang hanya
mencukupi kepentingan yang punya modal.
Selanjutnya status hukum tanah Percaton belum menemukan penjelasan
konkrit. Terlihat dari perbedaan hasil putusan pengadilan dalam kasus sengketa di
Desa Bujur Madura, Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan Tinggi Jawa
Timur. Ditambah lagi tradisi dan rahasia umum para Kepala Desa di Madura yang
menguasai aset-aset Desa, ketika sudah tidak lagi menjabat.
Hal ini memerlukan penelitian serius agar aset negara dapat di tempatkan
pada posisinya berdasarkan semangat kesejahteraaan sosial dan juga untuk
meminimalisir konflik yang tidak perlu terjadi seperti kejadian memilukan di atas.
Diperlukan analisa mendalam berdasarkan hukum negara dan hukum Islam
sebagai pijakan dan dasar bertindak bagi mayoritas orang Madura yang beragama
Islam. Penulis mengharapkan dari studi komparasi berdasarkan hukum Negara
dan hukum Islam ini, dapat di temukan rumusan kongkrit tentang status hukum
tanah Percaton, dan menjadi rumusan yang mudah diterima oleh masyrakat
Madura karena juga dilandasai oleh hukum agama yang menjadi patokan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka judul skripsi Konflik Tanah Percaton
di Madura, Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan
Tinggi Surabaya” sangat penting untuk diteliti.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan mengemukakan seputar sengketa
tanah Percaton, mengingat sangat luasnya pembahasan tentang tanah
Percaton, maka penulis hanya memfokuskan pada kasus konflik tanah
Percaton di Madura, analisis putusan Pengadilan Negeri Pamekasan Nomor:
240/Pid.H/2005/PN.PKS dan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor:
115/PEN.MAJ/2006/PT.SBY.
2. Perumusan Masalah
Agar pembahasan menjadi lebih terarah dan fokus, maka perlu dirumuskan
permasalahan yang akan diteliti dan membatasi masalah yang akan uraikan.
Sesuai dengan judul skripsi ini yaitu “Konflik Tanah Percaton di Madura,
Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan Tinggi
Surabaya”, maka permasalahan pokok yang akan dirumuskan dalam sripsi ini
sebagai berikut:
a. Apa dasar yuridis putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan
Pengadilan Tinggi Surabaya dalam sengketa tanah Percaton di
Madura?
b. Apa faktor yang melatar belakangi perbedaan putusan Pengadilan
Negeri Pamekasan dan Pengadialan Tinggi Surabaya dalam sengketa
tanah Percaton di Madura?
c. Bagaimana status tanah Percaton dalam pandangan hukum Islam?
7
d. Bagaimna Penyelesaian konflik tanah Percaton di Madura menurut
Hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dasar yuridis putusan Pengadilan Negeri
Pamekasan dan Pengadilan Tinggi Surabaya dalam sengketa tanah
Percaton di Madura .
b. Untuk mengetahui latarbelakang faktor perbedaan putusan Pengadilan
Negeri Pamekasan dan Surabaya dalam sengketa tanah Percaton di
Madura.
c. Untuk mengetahui status tanah Percaton menurut hukum Islam
d. Untuk mengetahui Resolusi yang ditawarkan dalam penyelesaian
konflik tanah Percaton menurut Islam.
2. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini bisa memperkaya
referensi yang ada, memberikan sumbangan positif dalam
pengembangan kajian hukum Islam.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
8
1) Bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
basic dalam melihat pemanfaatan tanah percaton dan ikut serta
mengawasi dan menikmati pemanfaatan tersebut sesuai peraturan
yang ada. Agar masyarakat menjadi sejahtera dan akhirnya
konflik-konflik yang tidak perlu, akan menghilang dengan
sendirinya.
2) Bagi praktisi hukum, hasil pelitian ini dapat dijadikan panduan
dalam mengembangkan kajian hukum terutama dalam kasu tanah
percaton. Peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam pengembangan kajian hukum agar lebih
responsif terhadap fenomena yang ada di Negara Indonesia
khususunya dan dunia pada umunya.
3) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan
untuk penelitian selanjutnya (open problem).
4) Bagi instansi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan
dalam merumuskan status hukum tanah Percaton secara kongkret.
D. Tinjauan Review Kajian Terdahulu
Sejauh pengetahuan peneliti, pengkajian atau penelitian khusus, baik dalm
bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi mengenai “Konflik Tanah Percaton Di
Madura” di atas, tidak ditemukan.
Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan
penelitian mengenai masalah sengketa pertanahan namun secara substansi pokok
9
permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian
yang berkaitan dengan sengketa pertanahan yang pernah dilakukan adalah :
1. Penulis : Ary Anggraito Tobing
Universitas: Universitas Diponegoro Semarang
Judul : Eksistensi Tanah Bengkok Setelah Berubahnya Pemerintahan
Desa Menjadi Kelurahan Di Kota Salatiga
Persamaan dalam tesis yang ditulis Ary Anggraito Tobing adalah sama-
sama membahas tentang tanah Percaton atau tanah Bengkok. Namun yang
menjadi perbedaan dari skripsi penulis adalah di mana dalam tesis yang
ditulis Ary Anggraito Tobing membahas tentang pengelolaan dan
pemanfaatan tanah bengkok sesudah berubahnya Pemerintahan Desa
menjadi Kelurahan di Kota Salatiga.
2. Penulis : Maria Kaban
Universitas: Universitas Sumatera Utara
Judul : Keberadaan Hak Masyarakat Adat atas tanah di tanah Karo
Dalam tesis yang ditulis Maria Kaban membahas tentang status hak ulayat
atas tanah di tanah Karo. Persamaan dalam tesis ini adalah sama-sama
membahas tentang tanah Adat. Perbedaanya dengen skripsi penulis adalah
di mana tesis yang ditulis Maria Kaban membahas tentang Sistem
penggunaan tanah adat karo, dan keberadaan Hak Masyarakat adat atas
tanah di tanah Karo.
3. Penulis : Juniati
Universitas: Universitas Mulawarman Samarinda
10
Judul : Pengelolaan Tanah Desa Di Desa Panca Jaya Kecamatan
Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara
Persamaan dalam kripsi ini adalah sama-sama membahas tentang tanah
Desa (Percaton). Perbedaannya dengan skripsi penulis adalah dalam
skripsi ini membahas tentang cara pengelolaan dan solusi hukum dalam
mengatasi permasalah tanah desa yang ada di Desa Panca Jaya Kecamatan
Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara.
4. Penulis : Moh.Saiful Ulum
Universitas: Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Alih Fungsi Tanah Bengkok
Skripsi ini merupakan studi kasus tanah bengkok yang terjadi di desa
Japolo Kecamatan Gunung Wungkal Kabupaten Pati, Persamaan dalam
skripsi ini adalah sama-sama menrangkan tanah Benkok. Perbedaanya
dengan skripsi penulis adalah dalam skripsi ini berisi tentang bagaimana
status hukum tanah bengkok yang dialih fungsikan untuk pengerusakan
terhadap tanah bengkok, seperti penggalian batu, pertambangan dan lain
sebaginya.
Dengan belum adanya kalangan yang meneliti mengenai Konflik Tanah
Percaton di Madura, maka hal ini menjadikan pentingnya tema tersebut untuk
dikaji.
11
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode pendekatan yang dilakukan adalah Yuridis
Normatif atau Doktrinal. Artinya penelitian hanya dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum.10
Penelitian ini dilakukan
dengan membaca, menelaah, dan menganalisis content undang-undang dan buku
dan didukung berbagai literatur yang berhubungan dengannnya. Kerangka
tersebut diletakan pada semangat studi komparasi antara putusan Pengadilan
Negeri Pamekasan dan Pengadialan Tinggi Surabaya, agar ditemukan kesimpulan
komprehensip yang dapat menjwab persoalan.
Untuk lebih jelasnya dalam masalah ini, Peneliti uraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini berjenis kualitatif, yakni penelitian tentang riset yang
bersifat deskriptif dan menggunakan analisis, yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek
yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan
secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.11
10
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan penelitian Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4-5 11
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung; Alfabeta,
2011), hlm.10.
12
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yakni penelitian yang berfungsi
untuk menyelesaikan masalah melalui pengumpulan, penyusunan, dan
proses analisa mendalam terhadap data yang ada untuk kemudian
dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian.12
3. Pendekatan
Penelitian ini mengguakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis
normatif dilakukan dengan cara menelaah menginterpretasikan hal-hal
yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi, doktrin, dan norma
hukum yang berkaitan dengan pembuktian perkara. Pendekatan ini
dikenal pula dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang mengacu
pada norma hukum yang terdapat peraturan dalam undang-undang dan
putusan pengadilan, serta norma-norma yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.13
4. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan menelusuri,
mengumpulkan, dan meneliti berbagai referensi yang berkaitan dengan
dengan tema yang diangkat. Sumber data dalam penelitian pustaka ini
dibagi menjadi dua, yakni data hukum primer dan data hukum sekunder.
12
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm.
128. 13
Zainun Ali, Metode Penelitian Hukum, (jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 105.
13
b. Data Hukum Primer
Dalam penelitian ini, data hukum primer adalah data yang diperoleh
langsung dari objek yang diteliti, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat.14
yang menjadi data dalam skripsi ini yaitu putusan
Pengadilan Negeri pamekasan, putusan Pengadilan Tingi Surabaya,
Al-Qur’an, Hadis, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
Undang-undang No. 4 tahun 2007, tentang peraturan Menteri dalam
Negeri dan undang-undang hukum Islam yang dikenal dengan fikih
Islam dari berbagai madzhab yang mu’tabar.
c. Data Sekunder
Data sekunder adalah bahan-bahan hukum lain yang mendukung dan
memperjelas bahan hukum primer.15
Yaitu semua data yang
berhubungan dengan skripsi ini,. baik berupa koran, majalah, jurnal,
artikel-artikel, yang tersebar di situs-situs internet, dan data lain yang
relevan dengan kajian penelitian ini.
5. Tekhnik Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian ini (library research), data primer dan
sekunder yan telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis dan diberikan
interpretasi untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
14
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), hlm.113. 15
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, hlm. 114.
14
Dan juga dibandingkan, yang mana dari perbandingan tersebut dapat
ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan dari kedua pengadilan
yan penulis teliti.16
Data yang diperoleh dari hasil kajian hukum, dalam
kaitan ini berupa berkas putusan perkara Pengadilan Negeri Pamekasan
dan Pengadilan Tinggi Surabaya, peraturan perundang-undangan dan
hukum Islam dalam menentukan status hukum objek kajian.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam penelitian skripsi ini berpedoman kepada buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kecuali untuk hal-hal tertentu yang
secara teknis ditentukan oleh pembimbing.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan penelitian ini bisa mudah dipahami, maka peneliti
memaparkan secara sistematis bab-bab yang menjadi fokus kajian dalam
penelitian ini. Penulis membaginya dalam lima bab. Pada bab satu, penulis
menempatkan pendahuluan yang di dalamnya terdapat: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah
pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Penempatan item-item
di atas dalam bab satu karena dari item-item tersebut penelitian ini bermula.
Bab dua berisi Tentang Sketsa Umum tentang Madura, Historisitas Tanah
Percaton di Madura, Pengertian Tanah Percaton, Uraian Tanah dalam UU PA
16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2007), hlm. 313.
15
1960, Tanah Percaton dalam Konfigurasi Perundang-Undangan dan Percaton
Menurut Islam.
Bab tiga, Lampiran Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan Surabaya,
Alasan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan Tinggi
Surabaya.
Setelah memahami secara keseluruhan isi dalam penelitian ini, pada bab
empat, ditempatkan analisa penulis terhadap dua putusan pengadilan Negeri
Pamekasan dan Surabaya dan Penyelesain konflik tanah Percaton di Madura
menurut Hukum Islam.
Bab lima sebagai penutup yang berisi kesimpulan secara umum dari
uraian-uraian yang sudah disampaikan, kemudian dilanjutkan dengan saran-saran
dari penulis.
16
BAB II
KONSEPSI TANAH PERCATON DAN SEJARAHNYA DI MADURA
A. Sketsa Umum tentang Madura
Madura merupakan nama pulau yang secara geografis terletak di sebelah
timur laut Jawa Timur. Dilihat secara geologis, Madura merupakan kelanjutan
bagian utara Jawa. Luas keseluruhan pulau ini kurang lebih 5.168 km persegi,
atau kurang lebih sepuluh persen dari luas keseluruhan wilayah Jawa Timur.1
Adapun panjang daratan kepulauannya dari ujung barat di Kamal sampai
dengan ujung Timur di Kalianget sekitar 180 km dan lebarnya berkisar 40 km.
Pulau ini terbagi dalam empat wilayah kabupaten. Dengan Luas wilayah untuk
kabupaten Bangkalan 1.144, 75 km² terbagi dalam 8 wilayah kecamatan,
kabupaten Sampang berluas wilayah 1.321,86 km², terbagi dalam 12 kecamatan,
Kabupaten Pamekasan memiliki luas wilayah 844,19 km², yang terbagi dalam 13
kecamatan, dan kabupaten Sumenep mempunyai luas wilayah 1.857,530 km²,
terbagi dalam 27 kecamatan yang tersebar di wilayah daratan dan
kepulauan.2Dilihat dari administrasi kepemerintahan, Madura masuk dalam
wilayah Provensi Jawa Timur. Meski secara administrasi masuk dalam wilayah
Provensi Jawa Timur, Madura mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri,
baik dari sisi bahasa, maupun budaya.
Keunikan yang dimiliki Madura menjadi salah satu alasan mengapa
banyak kajian dan penelitian akademik, baik dalam bentu skripsi, tesis, maupun
1 https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura.
2 https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura.
17
disertasi yang mengambil Madura sebagai objeknya. Kajian tentang Madura tidak
hanya dilakukan oleh orang lokal (Indonesia),3 namun juga orang luar.
4
Namun demikian, dalam kajian masa lalu, Madura masih belum mendapat
perhatian dari para pengkaji. Kajian tentang Madura dapat dibilang tertinggal jauh
dari kajian tentang suku Jawa, Sunda, maupun Minangkabau. Setidaknya ada dua
faktor mengapa pada masa lalu Madura kurang mendapat perhatian. Pertama,
adanya streotipe5 bahwa masyarakat Madura mempunyai watak yang keras, suka
carok,6 dan tempramen. Kedua, Madura masih dianggap ekor dari kebudayaan
Jawa sehingga Madura dianggap tidak mempunyai kebudayaan yang mandiri.7
Adanya anggapan bahwa masyarakat Madura mempunyai watak keras dan
temperamental memang tidak sepenuhnya salah. Dalam kehidupan masyarakat
pesisir misalnya, suasana alam yang panas juga turut berkontribusi dalam
3 Untuk orang lokal kita bisa menyebut Kuntowijoyo yang mengkaji tentang perubahan
sosial dalam masyarakat agraris di Madura pada tahun 1850-1940. Kajian tersebut merupakan
Disertasi Doctoral dari Columbia University, tahun 1988. Lihat Kuntowijoyo, Social Change in
Agrarian Society: Madura 1850-1940, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
“Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura¸1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa,
2002). Juga karya Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman, (Jakarta: Gramedia, 1989). 4 Sedang kajian dari orang luar, nama Huub de Jonge dapat dimasukkan dalam kategori
peneliti luar yang mengkaji Madura. Setidaknya ada dua karya Huub de Jonge tentang Madura.
Pertama, Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman, Jakarta: Gramedia, 1989. Kedua, Huub de
Jonge, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi, Studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura,
Jakarta: Rajawali Press, 1989. Buku yang kedua ini merupakan hasil penelitian berbagai tokoh
tentang Madura melalu pelbagai disiplin keilmuan, termasuk Huub de Jonge sendiri yang
sekaligus menjadi editornya. 5 Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), hlm. 1339. 6 Istilah untuk duel satu lawan satu menggunakan clurit yang dilakukan untuk
mempertahankan harga diri dari gangguan orang lain. Carok menjadi semacam identitas
keberanian bagi masyarakat Madura. Pemenang duel carok akan mendapat tempat tersendiri dalam
masyarakat, ia akan dikenal dengan seorang yang pemberani dan biasanya pasti disegani. Untuk
kajian tentang carok silahkan baca Latief Wijaya, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri
Orang Madura, (Yogyakarta: LKiS, 2002). 7Huub de Jonge, “Kata Pengantar” dalam Huub de Jonge (ed.), Agama, Kebudayaan , dan
Ekonomi, Studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, cet. ke-1, (Jakarta: Rajawali Press,
1989), hlm. 7.
18
membentuk karakter keseharian masyarakatnya. Di daerah tertentu, sampai saat
ini, peristiwa carok masih kerap terjadi. Namun demikian, yang harus ditekankan,
tidak semua daerah di Madura menganut tradisi yang keras. Di daerah selatan
misalnya, masyarakat bagian selatan tidak sekeras masyarakat di bagian pesisir
utara. Oleh sebab itu, dalam kebiasaan masyarakat selatan, carok hanya menjadi
jalan paling akhir dalam menyelesaikan masalah.
Sementara itu, anggapan bahwa budaya Madura merupakan ekor dari
budaya Jawa masih dapat diperdebatkan. Madura mempunyai identitas budaya
sendiri yang berbeda dengan budaya Jawa. Salah satu contohnya adalah dalam
masalah bahasa. Untuk itu, mengasumsikan bahwa Madura hanya ekor dari
kebudayaan Jawa bisa dikatakan sebagai sebuah asumsi yang keliru. Memang
benar, dalam sejarahnya, Madura adalah bagian dari berbagai kerajaan di Jawa,
baik kerajaan Hindu maupun Islam.8 Namun hal itu tak lantas menjadikan Madura
sebagai ekor yang tak punya kemandirian apa-apa dalam memproduk budayanya.9
Salah satu hal yang menarik dan unik dari Madura adalah agama yang
dianut mayoritas masyarakatnya. Madura dikenal dengan daerah yang mayoritas
masyarakatnya menganut agama Islam. Salah satu indikator mengapa Islam dapat
dikatakan sebagai agama mayoritas adalah banyaknya pondok pesantren yang
8 Kita bisa menyebut kerajaan Singosari, Majapahit, Demak, Kudus, Gresik, dan
Mataram. 9 Salah satu buktinya tentu saja Madura mempunyai seni ukir tersendiri, bahasa sendiri,
dan corak sastra tersendiri. Untuk pembahasan mengenai bagaimana sastra Madura dibangun dan
apa contohnya, silahkan baca D. Zawawi Imron, “Sastra Madura: yang Hilang Belum Berganti”
dalam Huub de Jonge (ed.), Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi, hlm. 181-205.
19
menyebar di empat kabupaten Madura. Di Pamekasan saja misalnya, berdasarkan
data dari pemerintah daerah, terdapat kurang lebih 500 pesantren.10
Keberadaan Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Madura menarik
perhatian para pengkaji untuk meneliti bagaimana Islam masuk ke Madura dan
menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakatnya. Di Madura, Islam
menjadi identitas utama masyarakatnya. Oleh sebab itu, secara sosiologis,
masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang relegius. Dalam kehidupan
sehari-hari, masyarakat Madura mempercayai sosok kiai dalam urusan agama.
Dalam kajian akademis, tidak ada teori pasti yang dapat menjelaskan
bagaimana Islam masuk ke Madura, sebagaimana tidak teori pasti yang
menjelaskan bagaimana Islam masuk ke Nusantara.11
Dalam kajian bagaimana
Islam masuk ke Madura, setidaknya ada dua teori utama yang menjelaskan hal
tersebut.
Teori pertama adalah hasil kajian H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud yang
menyatakan bahwa proses perkembangan Islam di Madura dimulai dari dua jalur,
yaitu Madura Barat dan Madura Timur. Baik di Madura Barat maupun Madura
Timur pihak yang berperan di dalamnya adalah para aristokrat. Di Madura Barat,
10
Muhammad Onthu,http://www.pamekasankab.go.id/content/sejarah-pamekasan. diakses
18 Desember 2014. 11
Tidak ada teori tunggal yang menjelaskan sejarah bagaimana Islam bisa sampai ke
Indonesia. Para ahli sejarah Indonesia, mengemukakan teori yang berbeda. Masing-masing dari
teori tersebut mempunyai kekurangan dan keunggulan masing-masing. Untuk masalah kajian
bagaimana proses Islam masuk ke Nusantara, bisa merujuk Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’:
Timur Tengan dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Mizan, 1994), Denys
Lombard, Nusa Jawa: Kajian Sejarah Terpadu, Bagian II: Jaringan Asia, (Jakarta: Gramedia,
1996), dan M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1995).
20
lanjut De Graaf dan Pigeaud, dimulai oleh seorang raja di Gili Mandangin, yang
bernama Lembu Peteng, putra raja Brawijaya dengan putri Islam dari Campa.12
Adapun untuk Madura Timur berdasarkan artefak makam tua, makam
Adipati Kanduruwun, di kampung pasar Pajhingga’an. Di makam tersebut tertulis
tahun 1504 J (1582). Adipati Kanduruwun sendiri mempunyai peranan yang
cukup signifikan di Sumenep pada abad XVI, dan dari peran Adipati Kanduruwun
Islam di Madura Timur berkembang. Adipati Kanduruwun sendiri adalah
keturunan dari kerajaan Demak.13
Teori kedua yang menjelaskan bagaimana Islam masuk ke Madura adalah
hasil kajian Dr. Abdurrahman, seorang ahli sejarah yang banyak menulis tentang
Madura. Menurut Abdurrahman, sebagaimana dikutip Rozaki, proses Islamisasi di
Madura melalui perantara Sunan Giri. Bahkan bisa dikatakan sebelum itu, sudah
ada interaksi antara pedagang Islam dari Gujarat dengan penduduk Madura di
Pelabuhan Kalianget, Sumenep. Dari paparan historis di atas dapat dipahami
bahwa proses Islamisasi di Madura dapat ditelusuri dari tiga jalur utama:
aristokrat istana, saudagar, dan jaringan kiai dan ulama.14
Terlepas dari banyaknya teori yang menjelaskan bagaimana agama Islam
masuk ke Madura, fakta yang tidak dapat dibantah adalah bahwa Islam memang
menjadi agama mayoritas masyarakatnya. Entah teori De Graaf maupun
12
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah
Politik Abad XV dan XVI, (Jakarta: Grafiti, 2001), hlm. 190-191. 13
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa Kiprah Kiai dan Blater sebagai
Rezim Kembar di Madura, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), hlm. 45. 14
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa Kiprah Kiai dan Blater sebagai
Rezim Kembar di Madura, hlm. 45-47.
21
Abdullah, sama-sama mengindikasikan bahwa agama Islam telah lama masuk dan
dipeluk oleh masyarakat Madura.
B. Historisitas Tanah Percaton di Madura15
Pada abad kesembilan, secara keseluruhan organisasi sosial masyarakat
Madura diatur melalui suatu sistem upeti, dimana masyarakat dibagi menjadi dua
kelas utama, yaitu kelas penguasa dan kelas petani kecil. Kelas penguasa tidak
memiliki sumber ekonomi kecuali upeti yang diberikan oleh petani. Organisasi
sosial di Madura itu serupa dengan organisasi sosial kerajaan-kerajaan Jawa.
Organisasi itu terdiri dan dua kompleks hubungan. Pertama, hubungan produksi
yang membentuk sistem upeti yang mengatur pemroduksian dan pembagian
surplus-surplus. Kedua, hubungan administratif yang membentuk birokrasi yang
memerintah negara dan desa. Kedua jaringan kerja itu bertemu dalam tingkat
sosial organisasi yang paling rendah, yaitu desa dan para petani. Para adipati
Madura menguasai desa-desa sebagai daerah kekuasaan mereka. Desa-desa ini,
disebut desa daleman, biasanya terdiri dan tanah pertanian yang terbaik di daerah
bersangkutan. Dalam desa-desa seperti itu, para penguasa mengambil sepertiga
dan seluruh tanah pertanian menjadi milik mereka (sawah daleman). Sementara
sisanya dimiliki oleh para petani. Sawah daleman ini dikerjakan oleh para petani
yang memberikan tenaganya kepada para adipati dengan imbalan dibebaskan dan
semua jenis pajak. Desa daleman harus menyerahkan sepertiga dari hasil produksi
para petani dan lahan pertanian.
15
Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, hlm.81-111.
22
Selain penghasilan dan tanah pertanian, para adipati menerima berbagai
upeti lainnya, terdiri dan barang-barang dan jasa. Penduduk desa diharuskan
menyerahkan hasil-hasil tertentu. Misalnya, patereman diharuskan memberikan
udang, patelloran menyerahkan telur, pajerugan menyerahkan buah jeruk,
paarengan menyerahkan arang. Upeti jasa terdiri dari, antara lain, paembi’an
(penggembala), larangan (pengawas kijang), dan blandong (penebang kayu).
Pada waktu-waktu tertentu, misalnya waktu adipati mengadakan
perjalanan, rakyat harus menyediakan kuda-kuda, kayu api, air untuk minum, dan
lain-lainnya. Jumlah rakyat yang terlibat dalam perjalanan seperti itu sering sangat
banyak karena layanan diperlukan bukan hanya bagi penguasa, tetapi juga untuk
keluarganya
Untuk para keluarga, pejabat, dan abdi dalem, sistem upeti terdiri dari
sistem apanage atau Percaton dan layanan kerja (pancen). Percaton adalah
pembagian desa dan tanah pertanian. Kerja pancen adalah layanan kerja yang
harus diberikan oleh rakyat dalam desa percaton kepada pemegang Percaton.
Tidak ada desa atau petani yang terhindar dari percaton dan pancen, kecuali
mereka yang tinggal dalam desa daleman (desa-desa milik penguasa) dan desa
perdikan (desa-desa bebas).
Dalam sistem Percaton, para keluarga, pejabat, dan abdi dalem
memperoleh bagian mereka melalui sebuah piagam (sertifikat) yang diberikan
oleh penguasa dan didaftarkan di kantor perbendaharaan (gedong). Piagam berisi
nama yang diberi piagam, nama-narna desa yang diberikan, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pemegang piagam. Di desa pemegang apanage menunjuk
23
seorang wakil untuk menjalankan hak-hak pemegang. Walaupun hak itu tidak bisa
diwariskan atau dialihkan, pemegang apanage dibolehkan menyewakan desa
bersangkutan, tetapi harus mernbuat sertifikat sewa (pepadang) yang harus
ditandatangani oleh pejabat gedong. Sistem sewa mi kemudian menjadi penyebab
mundurnya sistem percaton.
Salah satu hak pemegang percaton ini menjadi beban para petani, adalah
penarikan pajak tanah. Cara penarikan pajak tanah berbeda dan tempat sawah ke
tempat lain. Di Pamekasan, pajak tanah pertanian dalam desa-desa percaton
dikumpulkan dengan dua cara, yaitu apakah sebagai pajak uang yang besarnya
seperempat nilai panen bersih, disebut obang tandun, ataupun sebagai pajak
barang yang berjumlah sepertiga hasil panen. Yang biasa dipakai adalah cara
pertama, walaupun memberatkan petani. Selain itu, pemegang Percaton sebuah
desa memiliki hak atas tanah yang tidak bisa diwariskan. Dia boleh mengambil
separuh hasil panen tanah-tanah seperti itu, atau menyewakannya, atau meminta
penduduk desa mengerjakan tanah untuknya dengan hanya memberikan benih dan
membayar upah memanen.
Selain pemberian desa, pemegang apanage mungkin juga memiliki
Percaton yang berupa sawah, yang harus dikerjakan oleh para petani dengan
sistem upeti kerja. Upeti kerja yang diberikan kepada para pemegang apanage
kaum ningrat, pejabat, dan abdi dalem, disebut sistem pancen atau kemit. Berbeda
dengan layanan-layanan kepada penguasa yang melibatkan seluruh desa di seluruh
kabupaten, yang terdiri dan hampir semua layanan yang diperlukan untuk
kesejahteraan adipati, maka layanan-layanan kepada pemegang Percaton terbatas
24
kepada desa-desa Percaton dan hanya untuk kerja-kerja tertentu. Pancen meliputi
layanan-layanan membawa payung kebesaran dan kotak sirih serta mengikuti
perjalanan. Terdapat juga layanan-layanan periodik, baik berbentuk kerja atau
barang, selama pesta-pesta tahunan atau upacara lainnya, misalnya perkawinan
dan sunatan, rakya diharuskan menyumbang buah, ayam, dan keperluan lainnya.
Keperluan-keperluan harian lainnya, misalnya rumput makanan kuda, kayu bakar,
kebersihan rumah, dan tukang kebun juga merupakan kerja pancen atau kemit.
C. Tanah Untuk Rakyat
Tanah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia. Diatas tanah
manusia mencari nafkah. Diatas tanah pula manusia membangun rumah sebagai
tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran
dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang
dapat dimanfaatkan manusia.16
Secara hakiki, makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek sosial,
ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan aspek hukum. Tanah bagi
masyarakat memiliki makna multidimensional. Dari sisi ekonomi, tanah
merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkankesejahteraan. Secara politis
tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan
16
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 45.
25
masyarakat dan sebagai budaya yan dapat menentukantinggi rendahnya status
sosial pemiliknya. 17
Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan salah satu peraturan
perundang-undangan yang menerapkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pada bagian
konsiderannya mengedepankan bahwa UUPA harus berdasarkan Pancasila yang
sila kelimanya adalah sila keadilan sosial. Ini berarti bahwa Undang-Undang
Pokok Agraria harus berasaskan keadilan sosial dalam Pancasila. Hal ini tidak
berarti bahwa sila – sila lain dalam Pancasila dapat dilepas kaitan dan
pengertiannya satu sama lain. Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menerapkan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan hal itu. Dalam rumusan pasal
tersebut dinyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk sementara dapat
disimpulkan bahwa terdapat beberapa asas yaitu (1) asas menguasai dari Negara,
(2) asas penggunaan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, harus untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan (3)
asas keadilan sosial dalam Pancasila dalam arti bahwa di dalam upaya
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat, sila-sila lain di dalam Pancasila
tidak dapat dilepas dari sila keadilan sosial.18
17
Husein Alting, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Adat Tanah, (Ternate: Lembaga Penerbitan Universitas Khairun, 2010), hlm. 6. 18
Mustofa dan Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), hlm. 1-4.
26
Pada era kebijakan pembangunan ekonomi salah satunya adalah
mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan
penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan
hak-hak rakyat setempat termasuk hak-hak ulayat dari masyarakat adat serta
berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Tanah merupakan salah
satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan baik dilakukan
oleh pemerintah, perusahaan swasta maupun masyarakat tidak lepas dari
kebutuhan akan tanah sebagai wadah kegiatannya.19
D. Pengertian Tanah Percaton
Sebelum membahas tanah Percaton, penulis lebih awal akan memaparkan
pengertian tanah secara umum. Definisi “tanah” dalam kamus besar bahasa
Indonesia mempunyai beberapa arti, yaitu:20
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.
2. Keadaan bumi di suatu tempat.
3. Permukaan bumi yang diberi batas.
4. Daratan.
5. Permukaan bumi yang terbatas yang di tempati suatu bangsa yang di
perintah suatu negara atau menjadi daerah negara.
6. Bahan-bahan dari bumi, bumi dari bahan suatu.
Adapun “tanah” secara yuridis adalah permukaan bumi,21
sebagai mana
yang tercantum dalam UUPA, pasal 4 ayat 1, yang berbunyi:
19
Mustofa dan Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, hlm. 8-9. 20
Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1390.
27
“ Atas dasar hak mengusai dari Negara sebagai yang di maksud dalam
pasal 2 di tentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang di
sebut tanah, yang dapat di berikan kepada yang di punyai oleh orang-orang lain
serta badan-badan hukum”
Percaton atau tanah Bengkok (jawa) adalah tanah atau lahan adat yang
dimiliki kepala atau perangkat desa sebagai kompensasi gaji atas jabatan dan
pekerjaan yang dilakukan,22
dapat diambil pengertian bahwa tanah bengkok
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Tanah tersebut merupakan bagian dari tanah desa.
2. Tanah tersebut diberikan kepada warga desa yang sedangmenjabat
sebagai pamong desa.
3. Pemberian tanah tersebut hanya sementara waktu selama
yang bersangkutan menjabat kepala desa atau perangkat desa.
4 Maksud dari pemberian tanah bersebut sebagai upah untuk memenuhi
dan menghidupi diri dan keluarganya.23
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa Pasal 4, desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul
21
Effendi Peragin,Hukum Agraria di Indonesia, Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 229. 22
Dianto Bachriadi dan Anton Lucas, Merampas Tanah Rakyat, (Jakaeta: Gramedia,
2001), hlm. 19. 23
Eman Ramelan, Keberadaan Tanah Bengkok atau Ganjaran Dalam Perspektif Hukum
di Indonesia, (Yuridika Volume 14, Maret-April 1999), hlm 111.
28
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tanah milik adat dapat digolongkan menjadi 2 macam:
a. Tanah milik desa adat, misalnya desa sebagai persekutuan hukum
membeli tanah dan pasar, balai desa, dan dari pengelolaan itu hasilnya merupakan
kekayaan desa, misalnya berasal dari pajak, sewa tempat, dll.
b. Tanah bengkok yaitu tanah atau lahan yang adat miliki sendiri untuk
kepala atau perangkat desa sebagai kompensasi gaji atas jabatan dan pekerjaan
yang dilakukan.24
D. Uraian Tanah dalam UU PA 1960
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disahkan pada tanggal 24 September 1960
maka telah terjadi unifikasi terhadap dua hukum tanah yang sebelumnya berlaku
di Indonesia, yaitu Hukum Barat dan Hukum Adat, yang masingmasing memiliki
pengaturan sendiri-sendiri mengenai tanah.
Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria mengakhiri kebinekaan
(pluralisme) hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan perangkat
hukum yang berstruktur tunggal. Dalam mencapai terwujudnya kesatuan di
bidang Hukum Tanah, bukan saja hukumnya yang diunifikasikan, tetapi juga hak-
hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah yang ada, yang semuanya
bersumber pada berbagai perangkat hukum yang lama. Diakhirinya pluralisme
24
Edy Kuncoro dalam tesis Peralihan Tanah Bengkok dan Akibat Hukumnya (studi
Kasus Putusan PN Boyolalinomor 51/Pdt.G/1999/PN.Bi).
29
dan diciptakannya Hukum Tanah yang tunggal oleh Undang-Undang Pokok
Agraria merupakan perubahan yang mendasar.25
Hak tanah adat yang sebelumnya diatur dalam Hukum Adat dilakukan
ketentuan-ketentuan konversi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Konversi adalah perubahan status
tanah,26
dalam Undang-Undang Pokok Agraria, hak tanah adat yang sebelumnya
diatur dalam hukum adat mengalami konversi. Konversi tersebut adalah
perubahan hak tanah adat menjadi hak pakai. Hal tersebut tertuang dalam
ketentuan-ketentuan konversi UUPA Pasal VI yang menyatakan: “Hak-hak atas
tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang
dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di
bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, yaitu: hak
vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik,
anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga
yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya
Undang-Undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat 1, yang
memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang
haknya pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini”.27
25
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Penerbit
Universitas Tri Sakti, 2002), hlm 11. 26
C. S. T. Kansil dan Critine S. T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001), hlm 67. 27
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
30
Tanah bengkok yang sekarang masih ada di Indonesia secara yuridis telah
menjadi Hak Pakai, Hak Pakai tersebut diatur pada Pasal 41 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, yaitu:
(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasi langsung oleh Negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-
ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Hak pakai dapat diberikan:
a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yangtertentu.
b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa
berupa apapun.
(3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsur-unsur pemerasan.28
Isi Undang-Undang Pokok Agraria merupakan peraturan dasar Hukum
Tanah Nasional dan memperbaiki rumusan ketentuan-ketentuannya dengan suatu
peraturan perundangundangan berbentuk undang-undang. Segala sesuatunya
dengan tetap mempertahankan:
28
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, hlm 17.
31
1. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dengan rumusan
pernyataan pada “Founding Fathers” Negara Kesatuan Republik
Indonesia kita dan Konstitusinya: Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Hukum adat sebagai sumber utamanya, dilengkapi dengan lembaga-
lembaga hukum baru dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan
mendatang, juga dalam menghadapi tuntutan era globalisasi dan
pelaksanaan kebijakan pemberian otonomi kepada daerah.
3. Tujuan, konsepsi, asas-asas dasar, lembaga-lembaga hukum dan sistem
serta tata susunannya, dengan Hukum Tanah Nasional sebagai hukum
tanah tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengatur hak-
hak penguasaanatas semua tanah di seluruh wilayah Indonesia, dengan
semangat kebangsaan, kerakyatan, kebersamaan dan keadilan.29
Tanah bengkok dalam sistem agraria di Pulau Jawa adalah lahan garapan
milik desa, tanah bengkok tidak dapat diperjual-belikan tanpa persetujuan seluruh
warga desa namun boleh disewakan oleh mereka yang diberi hak untuk
mengelolanya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 4 tahun 2007 yang mengatur sebagai berikut:
(1) Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan
pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan
untuk kepentingan umum.
29
Chaidir Ali, Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Agraria, (Bandung: Bina Cipta,
1979), hlm 22.
32
(2) Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesuai harga yang
menguntungkan desa dengan memperhatikan harga pasar dan Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP).
(3) Penggantian ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk membeli
tanah lain yang lebih baik dan berlokasi di Desa setempat.
(4) Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
(5) Keputusan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diterbitkan
setelah mendapat persetujuan BPD dan mendapat ijin tertulis dari
Bupati/Walikota dan Gubernur.30
E. Tanah Percaton dalam Konfigurasi Perundang-Undangan
Setelah membahas bagaimana konsepsi tanah percaton dan gambaran
tanah dalam Undang-undang Pokok Agraria, secara spesifik penulis akan
memaparkan bagaimana tanah percaton dalam konfigurasi Perundang-undangan
Indonesia.
1) UU No. 5 Tahun 1979
Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa pada 1 Desember 1979, aparat
pemerintah kelurahan baik Kepala Keluarahan, Sekretaris
Keluarahan, dan Kepala Lingkungan adalah Pegawai Negeri yang
30
Buedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, hlm 28.
33
diangkat oleh Bupati/Walikota, Kepala Daerah Tingkat II atas
nama Gubernur Daerah Tingkat I berdasarkan Pasal 24, Pasal 30,
dan Pasal 31.31
Sementara itu, yang dimaksud Desa dan Kelurahan dalam
Undang-undang tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 huruf a dan b.
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.32
Adapun penjelasan tentang kelurahan diatur dalam Pasal 1
huruf b. Yang dimaksud kelurahan adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, yang tidak
berhak melaksanakan rumah tangganya sendiri.33
Dilihat dari kerangka hukum yang dibangun dalam
Undang-undang tersebut dapat dinyatakan bahwa tanah bengkok
merupakan gaji atau upah bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa
selama mereka menjabat sebagai aparat Desa. Sedangkan dilihat
dari sistem pemerintahan kelurahan, tanah bengkok bukan
31
Lihat UU No. 5 Tahun 1979.
32
Lihat UU No. 5 Tahun 1979 Pasal 1 huruf a.
33
Lihat UU No. 5 Tahun 1979 Pasal 1 huruf b.
34
merupakan upah atau gaji, namun tanah bengkok merupakan salah
satu kekayaan atau aset Pemerintah Daerah yang dikelola oleh
kelurahan. Pemasukan aparat kelurahan didapat dari gaji
pemerintah sebab mereka dianggap sebagai pegawai negeri.
2) Undang-undang No. 12 Tahun 2008
Dikeluarkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, menghapus UU No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa, yang sebelumnya sudah dihapus
dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Persoalan tanah bengkok tidak dapat dilepaskan dari
otonomi keuangan daerah yang diatur dalam Pasal 155 (1) UU No.
12 Tahun2008 yang menyatakan bahwa: “Penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari
(oleh) dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Hal ini diperkuat oleh Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2).34
Konstruksi yang dibangun dalam Undang-undang ini
menyatakan bahwa kekayaan desa yang berubah menjadi
kelurahan, hak kepemilikannya berpindah kepada daerah, yang
pengelolaannya dibebankan kepada kelurahan. Termasuk dalam
34
Pasal 201 ayat (1): Pendanaan sebagai akibat perubahan status Desa menjadi keluarahan
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/kota. Sedang ayat (2): Dalam hal desa
berubah statusnya menjadi keluarahan, kekayaan menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh
kelurahan yang besangkutan.
35
masalah ini adalah tanah bengkok/percaton. Berdasarkan aturan
ini, tanah bengkok bukan lagi menjadi penghasilan langsung
perangkat Desa.
F. Percaton Menurut Islam
Dalam sejarah pemerintahan Islam, tidak pernah ditemukan hal yang
menerangkan tentang pemberian hak pengelolaan tanah Negara untuk pejabat
pemerintah sebagai pengganti gaji untuk apresiasi atas tanggung jawab yang
mereka emban dalam menata suatu masyarakat.
Istilah tanah percaton tidak akan ditemukan dalam pelbagai literatur Islam,
baik yang berbahasa Arab maupun bahasa lainnya. Istilah tanah percaton
merupakan hasil kreasi budaya masyarakat Indonesia yang digunakan untuk
kesejahteraan pemangku desa dan aparat-aparatnya.Dalam konteks ini, mencari
terminologi tanah percaton dalam literatur Islam tidak akan ditemukan.
Dalam Islam, upah yang diberikan kepada seseorang biasanya diistilahkan
dengan ujrah. Ujrah merupakan upah yang dibayarkan kepada seseorang sebagai
kompensasi atas apa yang telah diperbuatnya. Dilihat dari perspektif ini, dapat
dikatakan bahwa pemberian tanah percaton kepada kepala desa dan aparatanya
merupakan upah atas jabatan yang diemban.
Kata ujrah, dalam bahasa Arab berasal dari kata al-Ajru yang berarti al-
‘Iwadu (ganti).35
Sedangkan definisi upah, dalam pengertian Kamus Besar Bahasa
35
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm 203.
36
Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa
atau tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.36
Sebenarnya, kata ujrah dalam bahasa Arab lebih identik dengan upah yang
dibayarkan atas tenaga yang dikeluarkan. Sebenarnya, apabila dianalisis lebih
dalam, pemberian tanah percaton kepada kepala Desa juga termasuk dalam
kategori ujrah. Alasannya, dalam mengurusi rakyatnya, Kepala Desa tidak hanya
menggunakan pikiran, namun juga tenaga fisik. Dengan demikian, apabila melihat
dari perspektif tersebut, dapat dipahami bahwa pemberian tanah percaton kepada
kepala desa merupakan bentuk upah (ujrah) atas apa yang sudah dilakukannya.
Pengertian upah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga sejalan
dengan analisis yang penulis bangun. Upah, sebagaimana sudah dijelaskan di atas,
dimaknai sebagai uang atau apa saja yang dibayarkan atas jasa atau tenaga yang
dikeluarkan. Pembayaran upah berupa tanah percaton tersebut dilakukan atas
dasar tugas yang dibebankan padanya.
Menurut penulis, tanah percaton yang diberikan kepada Kepala Desa tidak
cocok apabila diistilahkan dengan gaji. Sebab, yang penulis pahami, yang
namanya gaji bersifat simultan. Sedangkan tanah percaton, baik pengelolaan
maupun hasilnya, dipasrahkan secara total kepada pihak yang dipasrahi (Kepala
Desa).
Namun demikian, yang harus dipahami, tanah percaton bukan menjadi hak
milik Kepala Desa.Tanah tersebut hanya dimiliki selama orang yang bersangkutan
menjabat Kepala Desa. Dengan demikian, apabila orang tersebut sudah selesai
36
Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1533.
37
mengemban masa jabatan, maka secara otomatis tanah tersebut lepas dari
kepemilikannya dan dikembalikan kepada pemerintah, untuk kemudian
diserahkan kepada pemikik yang baru.
Dilihat dari teori kepemilikan, tanah percaton masuk dalam kategori teori
kepemilikan yang tidak sempurna. Sedangkan yang dimaksud hak milik dalam
Islam adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan syara’,
karena adanya hubungan tersebut, ia berhak mentasharrufkan (menggunakan)
harta tersebut, selama tidak ada hal-hal yang menghalanginya.37
Menurut Wahbah Zuahaili, yang dinamakan hak milik adalah suatu
kekhususan terhadap sesuatu yang dapat mencegah orang lain untuk
menguasainya, dan memungkinkan pemiliknya untuk memberdayakannya sejak
awal kecuali ada penghalang yang menghalanginya memberdayakan sesuatu
tersebut.38
Untuk mengetahui status kepemilikan tanah percaton dalam perspektif
hukum Islam, penulis merasa perlu untuk membahas pembagian teori milik dalam
Islam. Teori milik, dalam kajian hukum Islam dibagi dua: kepemilikan sempurna
(Milk al-Tām) dan kepemilikan tidak sempurna (Milk al-Nāqis). Masing-masing
dari pembagian tersebut mempunyai arti dan konsekuensi hukum.
Teori kepemilikan sempurna (Milk al-Tām) dapat diartikan dengan hak
milik terhadap sesuatu, baik benda maupun manfaatnya secara bersamaan. Hal
senada juga disampaikan Abu Zahrah, bahwa yang disebut dengan kepemilikan
37
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm 69. 38
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, hlm 71.
38
sempurna adalah memiliki benda dan manfaatanya sekaligus.39
Disebut sempurna
sebab si pemilik mempunyai hak atas benda dan manfaatnya. Dalam jual beli
misalnya, apabila seseorang sudah membeli sebuah barang, maka secara otomatis
orang tersebut mempunyai hak atas barang dan manfaat barang yang dibelinya.
Adapun yang dimaksud teori kepemilikan tidak sempurna adalah
kepemilikan seseorang hanya kepada benda atau manfaatnya saja.40
Disebut tidak
sempurna sebab orang yang bersangkutan hanya berhak atas benda atau
manfaatnya saja. Dalam masalah sewa menyewa misalnya, seseorang yang
menyewa mobil disebut pihak yang memiliki hak kepemilikan tidak sempurna,
orang tersebut hanya berhak menikmati manfaat dari mobil tersebut, sedang
bendanya (mobil) tetap berada dalam kendali orang yang menyewakan. Teori
kepemilikan tidak sempurna mengindikasikan bahwa eksistensi suatu barang tidak
berpangku pada satu pihak, melainkan ada hubungannya dengan pihak-pihak lain.
Dari pembahasan ini, dapat dipahami bahwa tanah percaton merupakan
upah yang hak miliknya masuk dalam kategori kepemilikan yang tidak
sempurna.Kepala Desa hanya berhak mengambil manfaat dari tanah tersebut
sejauh dia masih menjabat Kepala Desa. Sedangkan bendanya (tanah percaton)
menjadi hak milik pemerintah. Jika dipahami, hak milik tidak sempurna berupa
kepemilikan atas manfaat, sama dengan teori hak pakai dalam Undang-undang
positif. Dengan demikian, Kepala Desa tidak mempunyai hak untuk menjual,
menyewakan, apalagi merubah sertifikat tanah tersebut atas namanya.
39
Wahbah ibn Muṣṭfāal-Zuhaylī,Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu,(Beirut: Dār al-Fikr,2005 ),
hlm. 58. 40
Wahbah ibn Muṣṭfāal-Zuhaylī,Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, hlm. 59.
39
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PAMEKASAN NOMOR: 240/ Pid.H/
2005/ PN.PKS. DAN PENGADILAN TINGGI SURABAYA NOMOR: 115/
PEN. MAJ /2006/ PT. SBY. TENTANG STATUS TANAH PERCATON
Pada uraian ini akan dijelaskan deskripsi secara singkat tentang status,
kewenangan, struktur organisasi dan kronologi kejadian tentang sengketa tanah
percaton. Selain karena deskripsi diatas sudah banyak dikemukakan, diketahui,
dan diakses di situs: www.pn-pamekasan.net dan www.pt-surabaya.go.id dan
juga karena yang menjadi fokus penulis adalah uraian putusan dari kedua
pengadilan dimaksud yaitu, Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan Tinggi
Surabaya yang selanjutnya akan di hubungkan dengan perspektif hukum Islam.
A. Gambaran Umum Pengadilan:
1. Pengadilan Negeri Pamekasan
a. Profil
Pengadilan Negeri merupakan salah satu dari badan peradilan pada tingkat
pertama, yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang
Peradilan Umum yang diperbaruhi dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2004.
Tempat kedudukan pengadilan ini berada di setiap kota atau ibukota Kabupaten.
Dengan kedudukan pada kotamadya atau ibukota Kabupaten, maka otomatis
daerah hukum Pengadilan Negeri adalah meliputi wilayah kotamadya atau
Kabupaten yang bersangkutan, dikecualikan dari ketentuan ini adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, karena daerah hukumnya selain wilayah Jakarta Pusat,
40
misalnya tindak pidana yang dilakukan di luar negeri. Dinyatakan pada Pasal 86
KUHAP bahwa:
"Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili
menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang berwenang mengadilinya.”
Pengadilan Negeri Pamekasan merupakan Pengadilan Negeri yang berdiri
pada jaman pendudukan Belanda kurang lebih tahun 1915, yang di bangun oleh
Pemerintah Belanda yaitu Lindgertecht yang berlokasi di jalan Pengadilan No. 04
Pamekasan.
Adapun gedung tersebut terdiri dari:
a. 2 (Dua) Ruang siding
b. 1 (Satu) Ruang untuk Ketua Pengadilan
c. 1 (Satu) Ruang untuk Wakil Ketua Pengadilan
d. Serta beberapa untuk Hakim, Karyawan dan Karyawati
Sekitar tahun 1948 kantor Pengadilan Negeri tersebut di bumi hanguskan
pada saat terjadi pertempuran dengan pemerintah Belanda, (Agresi Belanda),
gedung terbakar sehingga sebagian ruangan untuk karyawan atau ruang arsip ikut
terbakar. Kemudian gedung tersebut dibangun kembali hingga berfungsi sampai
sekarang.
Dengan berfungsinya gedung Pengadilan Negeri Pamekasan yang baru
maka gedung yang lama difungsikan sebagai arsip dan sebagian untuk perumahan
Hakim dan Karyawan Karyawati. Adapun Pengadilan Negeri Pamekasan yang
baru terletak di jalan P. Tru nojoyo Kotak Pos 48, juga ada dua gedung sidang
41
pembantu terletak di Kecamatan Pagantenan dan Kecamatan Waru Pamekasan,
masing-masing luas tanah 1450 m2, namun bangunan dalam keadaan rusak berat
ambruk.
Sedangkan wilayah kekuasaan meliputi seluruh wilayah Kabupaten
Pamekasan yang dibagi dalam beberapa Kecamatan, sebagaimana berikut;
a. Kecamatan Pamekasan
b. Kecamatan Talanakan
c. Kecamatan Pademawu
d. Kecamatan Galis
e. Kecamatan Larangan
f. Kecamatan Kadur
g. Kecamatan Pakong
h. Kecamatan Batumarmar
i. Kecamatan Waru
j. Kecamatan Pasian
k. Kecamatan Pagantenan
l. Kecamatan Palenggaan
m. Kecamatan Propo
b. Kewenangan:
Pada prinsipnya Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang menerima,
memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara perdata dan perkara pidana
bagi warga negara yang mencari keadilan dan haknya dirampas kecuali undang-
42
undang menentukan lain (UU No. 4 tahun 2004), kemudian wewenang dari
pengadilan Negeri sendiri adalahmeliputi perkara pidana maupun perdata. Hal ini
menambah tugas yang baru diemban oleh pengadilan Negeri sebagai institusi
pemerintahan.
Pengadilan Negeri diperuntukan bagi semua pemeluk agama yang ada di
Indonesia. Karena masalahnya begitu kompleks, maka dalam peraturannya
terdapat bermacam-macam kitab undang-undang seperti kitab undang-undang
hukum acara pidana dan kitab undang-undang hukum acara perdata, dan lain-lain.
Adapun yang menjadi landasan hukum keberadaan pengadilan Negeri ini
tercantum dalam Undang–Undang No. 8 tahun 2004, yaitu:
a. Pasal 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Pengadilan umum adalah
dalam data pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan pada umumnya”.
b. Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Kekuasaan di
lingkungan atau pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan dengan pengadilan tinggi”.
c. Kekuasaan kehakiman di lingkungan pengadilan umum berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi.
43
c. Struktur Organisasi
2. Pengadilan Tinggi Surabaya
a. Profil
Sejak jaman sebelum pemerintahan hindia - belanda sudah terdapat badan
yang mengurus tentang keadilan, namun pada pemerintahan hindia - belanda,
susunan pengadilan mengalami perubahan. Perubahan itu dilakukan untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan pemerintah Hindia - Belanda. Pada tahun 1942
muncul undang undang no 14 yang berisikan penambahan akan 2 pengadilan,
yakni : mahkamah agung dan pengadilan tinggi.
Majelis Hakim
Ketua
Wakil Ketua
Panitera/ Seketaris
Wakil Panitera Wakil sekretaris
Panitera
MudaPerdata
Panitera
Muda
Pidana
Panitera Muda
Hukum
Ka. Sub. Bag
Kepegawaian
Ka. Sub. Bag
Keuangan
Ka. Sub. Bag
Umum
Kelompok Fungsi Kepaniteraan Panitera Pengganti/ Juru
Sita/ Juru Sita
44
Pengadilan Tinggi Surabaya dipimpin oleh seorang Ketua Pengadilan
Tinggi (KPT) dan dibantu oleh beberapa petinggi lainya dalam menjalankan tugas
operasional sehari harinya. Pengadilan Tinggi Surabaya beralamatkan di
Jl.Sumatra no 42 Surabaya, Jawa Timur. Instansi ini memiliki sekitar 13 bagian
berserta subnya. Sub bagian tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi yang
berbeda. Tugas dan fungsi Pengadilan Tinggi Surabaya pada umumnya dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
digariskan maupun petunjuk-petunjuk Pimpinan Mahkamah Agung RI.
Seiring berjalannya waktu, Pengadilan Tinggi Surabaya menjadi tenar
karena semakin banyaknya kasus baik perdata maupun pidana yang pelaku
ataupun penuntutnya dalam mengajukan banding khususnya di daerah Surabaya.
Sampai saat ini Pengadilan Tinggi Surabaya masih diberikan kepercayaan oleh
masyarakat dalam menuntaskan persoalan di bidang hukum, karena Pengadilan
Tinggi Surabaya memiliki citra yang baik di masyarakat dan mampu atau cepat
dalam menuntaskan perkara.
b. Fungsi Kewenangan
Pengadilan Tinggi Surabaya sebagaimana pengadilan Tinggi lainnya
mempunyai tiga tugas pokok yaitu, menerima, memeriksa dan memutuskan
perkara banding yang masuk. Sedangkan fungsinya adalah melakukan urusan
administrasi kesekretariatan berupa urusan kepegawaian, keuangan dan tata
laksana. Disamping itu juga mengurus administrasi kepaniteraan berupa urusan
kepaniteraan perdata, pidana dan hukum, menyiapkan program dan evaluasi,
melakukan hubungan masyarakat, melakukan pengawasan dan pemeriksaan
45
terhadap satuan kerja/jajarannya di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Surabaya.
Pengadilan Tinggi juga melakukan pembinaan ketatalaksanaan dan sarana serta
pembinaan teknis pengadilan. Hal tersebut didukung oleh surat edaran Ketua
Mahkamah Agung R.I. Nomor : 144 Tahun 2007 dan disempurnakan oleh Surat
Edaran Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : 1-144 Tahun 2011.
c. Struktur Organisasi
Wakil Sekretaris
Kepaniteraan
Pidsus
Tipikor
Majelis Hakim
Ketua
Wakil Ketua
Panitera dan Seketaris
Wakil Panitera
Sub. Bag.
keuangan
Sub. Bag.
Kepegawaian
Sub. Bag.
Umum
Kepaniteraan
Hukum
Kepaniteraan
Pidata
Kepaniteraan
Perdana
Para Pejabat
Fungional
46
B. Duduk Perkara Putusan
1. Tentang Para Pihak
Terdakwa dalam perkara ini adalah MOH.BAIDAWI, Umur 59 Tahun,
Alamat tempat tinggal Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batumarmar Kabupaten
Pamekasan, Pekerjaan Tani ( Mantan Kepala Desa ).1
Penuntut dalam masalah adalah Jaksa Penuntut Umum, yang mana telah
mengajukan tuntunanya pada tanggal 20 Maret 2006. Yang mana Penuntut Umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumya dengan melimpahkan perkara ke
Pengadialan yan berweanang mengadili.2
Dalam kasus ini korban adalah masyarakat Bujur Tengah Kecamatan Batu
Marmar Kabupaten Pamekasan yang dirugikan secara materiil. Karena setalah
dikabulkannya permohonan tukar guling tanah kas desa Bujur Tengah dengan
tanah milik terdakwa yang didasarkan pada adanya salah satu surat yang
dipalsukan (Risalah Rapat Desa/daftar hadir rapat desa 9 Maret 1998), maka di
sini ada orang yang secara materiil telah dirugikan yaitu P. Juminten karena ada
tanahnya yang dijariyahkan kepada Kyai Usman oleh terdakwa ditukar dengan
tanah kas desa, padahal tanah tersebut oleh P. Juminten telah dijariyahkan kepada
Kyai Usman untuk kepentingan umum bukan untuk ditukar dengan tanah kas
desa.
1 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan Nomor: 240/Pid. H/2005/PN. Pks, hlm. 1.
2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 137.
47
2. Kasus Posisi
Pada tanggal 9 Maret 1998 bertempat di Desa Bujur Tengah, Terdakwa
yang pada waktu itu menjabat sebagai Kades Bujur Tengah bermaksud hendak
melakukan tukar menukar tanah miliknya dengan tanah Kas Desa Bujur Tengah
dan sebagai salah satu persyaratan untuk mengajukan permohonan tukar menukar
tanah Kas Desa, maka terdakwa mengadakan rapat LMD dengan dihadiri oleh
para pamong Desa Bujur Tengah dan tokoh masyarakat Desa Bujur Tengah guna
membahas atau memproses tentang tukar menukar tanah Kas Desa Bujur Tengah
dengan tanah hak milik pribadi terdakwa. Dalam rapat tersebut telah dibuatkan
daftar hadir yang ditandatangani oleh peserta rapat serta dibuatkan risalah rapat
untuk persyaratan mengajukan permohonan tukar menukar tanah Kas Desa
tersebut, yang menjadi masalah dalam rapat tersebut ada dua orang yang
berhalangan hadir, namun namanya tercantum atau terdaftar dalam daftar hadir
yaitu H.Ahdurrahman (sakit) dan P. Sartila ( meninggal dunia tahun 1993 ), dan
terdakwa menandatangani dua orang yang tidak hadir tersebut. Setelah daftar
hadir ditanda tangani semua, selanutnya terdakwa mempergunakan surat tersebut
sebagai salah satu persyaratan untuk mengajukan permohonan tukar menukar
tanah milik pribadi terdakwa dengan tanah Kas Desa Bujur Tengah, kepada
Bupati Kepala Daerah TK.I1 Pamekasan melalui Camat Batumarmar, kemudian
oleh Bupati permohonan tukar menukar tanah Kas Desa diteruskan kepada
Gubernur Jawa Timur untuk memperoleh persetujan, selanjutnya Gubernur
48
Kepala Daerah TK.I Jawa Timur mengabulkan dan menyetujui permohonan tukar
menukar tanah Kas Desa tersebut.3
Dalam hal ini perbuatan tersangka, telah melanggar Perbuatan terdakwa
diatur dan diancam pidana dalam pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP4:
“ Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan suatu hak perikatan atau pembebasan hutang atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daridpada suatu hal dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut, seolah olah isinya benar dan
tidak palsu, diancam jika pemakain tersebut menimbulkan kerugian, karena
pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” KUHP pasal
263 ayat 1.
“ Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau di palsukan, seolah olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.” KUHP pasal 263 ayat 2.
Dengan perbuatan tersangka tersebut, Jaksa Penuntut Umum memberikan
dua dakwaan, yaitu sebagai berikut:
1. Memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau
pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu
hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai
surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.
2. Sengaja memakai surat yang isinya tidak benar, palsu atau seolah-olah
benar dan tidak dipalsu.
3. Mendatangkan kerugian.
Dalam proses persidangan terdakwa telah membenarkan identitas yang ada
dalam surat dakwaan dan selama pemeriksaan. Terdakwa dapat menjawab segala
pertanyaan yang diajukan kepadanya serta pula tidak diketemukan alasan
3 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm. 3.
4 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm. 4-5.
49
pembenar maupun pemaaf terhadap perbuatan yang dilakukannya sehingga
terdakwa dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan hukum.
Dengan demikian unsur kesatu telah terbukti dan terpenuhi secara sah menurut
hukum.5
Berdasarkan fakta hukum di atas walaupun terdakwa sudah mengetahui
tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman ada yang memalsu dalam daftar hadir
rapat desa, tetapi daftar hadir rapat desa (Risalah Rapat Desa) yang merupakan
salah satu syarat tukar guling tanah kas desa dengan tanah terdakwa tetap
dilampirkan sebagai kelengkapan syarat permohonan tukar guling oleh terdakwa.
Dengan demikin sebenamya terdakwa sejak dari awal sudah mengetahui bahwa
tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman yang ada di daftar hadir rapat desa palsu
tetapi oleh terdakwa tetap dilampirkan sebagai salah satu syarat kelengkapan
permohonan tukar guling yang diajukan terdakwa. Sedangkan yang dimaksud
sengaja adalah orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa
surat yang ia gunakan itu palsu. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka unsur
kedua juga telah terbukti dan terpenuhi secara sah menurut hukum.6
Mengenai dakwaan Penentut Umum, dapat mendatangkan kerugian, yang
dimaksud disini menurut penjelasan pasal 263 KUHP karangan R. Soesilo adalah
tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya
kerugian itu sudah cukup dan yang diartikan kerugian disini tidak saja hanya
meliputi kerugian materiil akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan,
5 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.13.
6 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.15.
50
kesusilaan, kehormatan dan sebagainya, maka unsur ketiga juga telah terbukti dan
terpenuhi secara sah menurut hukum.7
Dengan terbuktinya tersangka melakukan kejahatan di atas, maka Jaksa
Penuntut Umum pada tanggal 20 Maret 2006 telah mengajukan tuntutannya yang
pada pokoknya memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan
yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memberi putusan sebagai berikut:8
1. Menyatakan terdakwa MOH. BAIDAWl telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam pasal 263 ayat (2) KUHP sebagaimana dalam
dakwaaan kedua.
2. Menjatuhkan pidanan terhadap terdakwa. MOH. BAIDAWl dengan
pidanan penjara selama 1 (satu) tahun dengan perintah agar terdakwa
ditahan.
3. Menyatakan barang bukti berupa berkas surat permohonan pengajuan
tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada Bupati Pamekasan
beserta lampirannya dikembalikan kepada pemiliknya dan khusus
untuk barang bukti berupa daftar hadir Rapat Lembaga Musyawarah
Deas (LMD) tertanggal 9 Maret 1998 dirampas untuk dimusnahkan.
4. Menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp.1.000,-
(seribu rupiah).
7 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.15-16.
8 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.1-2.
51
3. Amar Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan
Setelah mendengerkan dakwaan dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum,
maka Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa MOH. BAIDAWl telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ' SENGAJA
MENGGUNAKAN SURAT PALSU ", dan menghukum terdakwa dengan pidana
penjara selama 6 (Enam) bulan dan Membebankan biaya perkara kepada terdakwa
sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah), dan menyerahakan barang bukti berupa berkas
surat permohonan pengajuan tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada
Bupati Pamekasan beserta lampirannya dikembalikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten Pamekasan.9
4. Banding
Banding merupakan jalan selanjutnya apabila dari salah satu pihak baik itu
terdakwa maupun penggugat keberatan atas sautu putusan pengadilan Yang mana
permintaan banding dapat diajukan ke Pengadialn. Tinggi oleh terdakwa atau
Penuntut Umum.10
Pada bulan april 2006 Jaksa Penentut Umum dan Terdakwa sama-sama
melakukan banding, lantaran kurang puas atas putusan Pengadilan Negeri
Pamekasan. Aide permintaan banding yang diajukan oleh Terdakwa dan Jaksa
Penuntut Umum tertanggal 17 April 2006 serta telah diberitahukan kepada
Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 17 April 2006.
9 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.17.
10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 233 ayat 1.
52
Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 24 April 2006 dan telah diberitahukan
kepada Terdakwa pada tanggal 27 April 200611
, melakukan memori banding yang
secara singkat bahwa hukum yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Pamekasan dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan, dirasa sangat
ringan dan tidak menyantuh pota rasa keadilan yang ada dalam masyarakat,
sehingga penjatuhan pidana teraebut bagi terdakwa tidaklah berakibat jera, serta
tidak menjadikan daya tangkal terhadap para pelaku kejahatan pada umumnya
dimasa yang akan datang. Jaksa Penentut Umum meminta kepada Pengadilan
Negeri Pamekasan teraebut untuk diperbaiki tentang beratnya pidana yang
dijatuhkan kepada terdakwa, menjadi 1 (satu) tahun.12
Terdakwa dan Penasehat Hukumnya pada tanggal pada tanggal 27 April
2006 dan telah diberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 1 Mei
200613
, untuk melakukan banding Memori banding Terdakwa secara singkat
menggambarkan tentang keberatannya atas putusan Pengadilan Negeri Pamekasan
tertanggal 17 April 2006 No 240/Pid B/2005/PN Pka yang dibuat tanggal 27 April
2006, dimana manyatakan bahwa putuaan Pengadilan Negeri Pamekasan tidak
malakasanakan hukurn acara yang benar, tidak cermat dalam menanggapi
dakwaan dari Jakasa Penuntut Umum.14
11
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor:115/PEN.MAJ/2006/PT.Sby, hlm. 5. 12
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 8. 13
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 5. 14
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 7.
53
5. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya
Setelah Majlis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya melakukan
pertimbangan-pertimbangan yang sangat mendalam, maka Pengadilan Tinggi
Surabaya memutuskan, bahwa putusan Pengadilan Negeri Pamekasan tertanggal
17 April 2006 No. 240/Pid.B/2005/PN Pks tidak dapat dipertahankan lagi dan
harus dibaulkan dan membebaskan terdakwa, berdsarkan pasal 97 ayat (1) dan
ayat (2) KUHAP.15
Kemudian Pengadilan Tinggi Surabaya mengadili sendiri, sebagaimana
berikut:
Menyatakan terdakwa MOH BAIDAWI tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana didakwakan
Jaksa Penuntut Umum. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan
tersebut. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya. Membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan
kepada negara. Menetapkan agar barang bukti berupa berkas surat permohonan
pengajuan tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada Bupati Pamekasan
beserta lampirannya dikembalikan kepada pemiliknya dan khususs untuk bukli
berupa daftar hadir Rapat Lembaga Musyawarah Desa (LMD) tertanggal 9Maret
1998 diambil untuk dimusnahkan.16
15
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 12. 16
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 12.
54
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PAMEKASAN DAN
PENGADILAN TINGGI SURABAYA SERTA RESOLUSI KONFLIK
TANAH PERCATON MENURUT HUKUM ISLAM.
A. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan Nomor: 240/Pid.
H/2005/PN. Pks.
1. Pertimbangan Dan Putusan Majelis Hakim1
Setelah mengetahui duduk perkara masing-masing Putusan Pengadilan
yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka sampailah terhadapa analisis
Putusan, yang mana setiap Putusan Pengadilan harus ada pertimbangan-
pertimbangan (ratio decidendi)2 Majelis Hakim yang melatar belakangi suatu
Putusan tersebut.
Adapun pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Pamekasan dalam memutuskan perkara ini sebagai berikut:
1. Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Jaksa Penentut umum yaitu
dengan bentuk dakwaan alternatif, yang pertama melanggar pasal 263
ayat (1) KUHP, yang ke dua melanggar pasal 263 ayat (2) KUHP.
2. Majelis Hakim melihat bentuk dakwaan yang diajukan jaksa Penuntut
Umum, maka disini Majelis Hakim dalam melakukan pembuktian
1 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan Nomor: 240/Pid. H/2005/PN. Pks, hlm. 13-17.
2 Ratio decidendi, yaitu pertimbangan-pertimbangan yang menjadi landasan utama untuk
dihasilkannya suatu putusan. Lihat Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 293.
55
dapat memilih salah satu dari dakwaan tersebut, dengan berpedoman
pada fakta yang terungkap dalam persidangan.
3. Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan Majelis hakim akan
membuktikan dakwaan yang kedua yaitu melanggar pasai 263 (2)
KUHP dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a) Barang siapa
1. Adapaun yang dimaksud barang siapa adalah subyek pelaku tindak
pidana yang ditujukan pada seseorang yang dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum.
2. Terdakwa dipersidangan telah membenarkan identitas yang ada dalam
surat dakwaan dan selama pemeriksaan. Terdakwa dapat menjawab
segala pertanyaan yang diajukan kepadanya serta pula tidak
diketemukan alasan pembenar maupun pemaaf terhadap perbuatan
yang dilakukannya sehingga terdakwa dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya di depan hukum.
3. Dengan demikian unsur kesatu telah terbukti dan terpenuhi secara sah
menurut hukum.
b) Sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-
olah surat itu asli dan tidak dipalsukan
1. Adapun yang dimaksud surat berdasarkan penjelasan pasal 263 KUHP
karangan R. Soesilo adalah segala surat baik yang ditulis dengan
tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin ketik dan lain-lainnya.
56
2. Sedangkan yang dimaksud sengaja adalah orang yang menggunakan
itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu
palsu.
3. Berdasarkan hasil pemeriksaan dipersidangan dapat diambil fakta
hukum sebagai berikut:
a. Pada tahun 1998 terdakwa yang waktu itu sebagai Kepala Desa
Bujur Tengah telah mengajukan permohonan tukar guling tanah
kas desa dengan tanah miliknya kepada Bupati Pamekasan melalui
Camat Batumarmar.
b. Salah satu persyaratan tukar guling salah satunya harus ada surat
risalah rapat desa yang dihadiri oleh anggota LMD, tokoh
masyarakat, perangkat desa dan Pamong dalam rangka membuat
surat keputusan desa yang juga merupakan syarat tukar guling.
c. Dalam membuat surat risalah rapat desa, terdakwa selaku Kepala
Desa mengundang rapat di Balai Desa Bujur Tengah kepada para
Pamong, perangkat Desa, anggota LMD dan tokoh masyarakat
guna membicarakn masalah tukar guling tanah kas desa dengan
tanah milik terdakwa pada tahun 1998.
d. Adapun untuk mengetahui siapa-siapa yang hadir dalam rapat
tersebut, dibuatlah daftar hadir rapat dimana terhadap yang hadir
membubuhkan tanda tangan.
e. Bersumber dari keterangan para saksi-saksi antara lain saksi
Busirin, Patha dan Limuna dipersidangan menyatakan tidak pernah
57
hadir rapat desa yang diadakar di Balai Desa tahun 1998 yang
membicarakan tukar guling dan juga tidak pernah tanda tangan di
daftar hadir walaupun keterangan para saksi tersebut diata dibantah
juga oleh saksi Mukri, H.Usman, Al Walid,SH, Tangken maupu
terdakwa bahwa saksi Busirin, Patha dan Limuna hadir dalam rapat
tersebut.
f. Terlepas dari keterangan para saksi-saksi tersebut di atas maupu
keterangan terdakwa ada lagi orang lain yang tidak hadir dalam
rapat desa tersebut tapi ada tanda tangannya di daftar hadir yaitu P.
Sartila di Abdurrahman dimana waktu itu P.Sartila sudah
meninggal dunia tahun 1993 sedangkan Abdurrahman sakit cuma
tidak diketahui siapa yang memalsukan tarnda tangan tersebut.
g. Ketidak hadiran P. Sartila dan Abdurnunan dibenarkan oleh saksi
Busirin, Patha. Limuna, Mukri, H.Usman, Tangkcn, Tahir. Al
Walid maupun terdakwa sendiri.
4. Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas walaupun terdakwa sudah
mengetahui tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman ada yang
memalsukan dalam daftar hadir rapat desa, tetapi daftar hadir rapat
desa ( Risalah Rapat Desa) yang merupakan salah satu syarat tukar
guling tanah kas desa dengan tanah terdakwa tetap dilampirkan
sebagai kelengkapan syarat permohonan tukar guling oleh terdakwa.
5. Dengan demikin sebenamya terdakwa sejak dari awal sudah
mengetahui bahwa tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman yang ada
58
di daftar hadir rapat desa adalah palsu, tetapi oleh terdakwa tetap
dilampirkan sebagai salah satu syarat kelengkapan permohonan tukar
guling yang diajukan terdakwa.
6. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka unsur kedua juga telah
terbukti dan terpenuhi secara sah menurut hukum.
c) Dapat mendatangkan kerugian
1. Adapun yang dimaksud disini menurut penjelasan pasal 263 KUHP
karangan R. Soesilo adalah tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah
ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup dan
yang diartikan kerugian disini tidak saja hanya meliputi kerugian
materiil akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan,
kesusilaan, kehormatan dan sebagainya.
2. Berdasarkan pemeriksaan di persidangan dapat diambil fakta hukum
sebaigai berikut:
a. Pada tahun 1998 terdakwa telah mengajukan permohonan tukar
guling tanah kas desa Bujur Tengah dengan tanah milik terdakwa
kepada Bupati Pamekasan melalui Camat.
b. Berdasarkan pengajuan tersebut, terbitlah SK Gubernur Jawa
Timur tertanggal 31 Maret 1999 No. 143/3089/013/1999 yang
isinya mengesahkan permohonan tukar guling yang diajukan H.
Ach. Baidawi.
c. Tanah terdakwa yang ditukar guling tersebut diantaranya sudah
ada bangunan sekolahannya yaitu SDN Bujur Tengah I, II dan III
59
dimana untuk yang SDN Bujur Tengah II terdakwa peroleh dari
Kyai Usman yang katanya beli akan tetapi di persidangan
terdakwa tidak bisa menunjukan bukti adanva jual beli padahal
tanah tersebut asalnya milik P. Juminten yang dijariyahkan kepada
Kyai Usman dan hal itu sebelumnya sudah diketahui oleh
terdakwa, sedangkan Mengenai bukti T-l, dan T-2 dari terdakwa
oleh karena dari kedua surat bukti tersebut dalam kolom sebab dan
tanggal perubahan tidak ada kesinkronan sehingga tidak perlu
dipertimbangkan.
d. Dengan dikabulkannya permohonan tukar guling tanah kas desa
Bujur Tengah dengan tanah milik terdakwa yang didasarkan pada
adanya salah satu surat yang dipalsu (Risalah Rapat Desa/daftar
hadir rapat desa 9 Maret 1998), maka disini ada orang yang secara
materiil telah dirugikan yaitu P. Juminten karena ada tanahnya
yang dijariyahkan kepada Kyai Usman oleh terdakwa ditukar
dengan tanah kas desa, padahal tanah tersebut oleh P. Juminten
telah dijariyahkan kepada Kyai Usman untuk kepentingan umum
bukan untuk ditukar dengan tanah kas desa dan selain itu dengan
adanya pemalsuan tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman dalam
daftar hadir rapat desa secara tidak langsung keluarga P. Sartila
maupun keluarga Abdurrahman di lapangan kemasyarakatan telah
dirugikan karena masyarakat desa Bujur Tengah akan
menganggap kedua orang tersebut telah menyetujui adanya tukar
60
guling tersebut, padahal jika sejak awal diketahui ada surat palsu
yang dilampirkan sebagai salah satu syarat tukar guling, maka
permohonan tukar guling tersebut tidak akan dikabulkan sehingga
baik P. Juminten maupun P. Sartila dan Abdurrahman tidak akan
mengalami kerugian sebagaimana tersebut di atas.
3. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka unsur ketiga juga
telah terbukti dan terpenuhi secara sah menurut hukum.
4. Dengan telah terbuktinya semua unsur dari dakwaan kedua, maka
Majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sengaja
menggunakan surat palsu.
5. Maka dari itu dengan terbuktinya dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum
tersebut di atas serta tidak ditemukannya alasan pembenar maupun
pemaaf yang bisa menghapuskan perbuatan terdakwa saat terdakwa
melakukan perbuatannya, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah
dan dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya serta terdakwa
dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
6. Oleh karena itu terdakwa dinyatakan bersalah, maka harus pula
dibebani untuk membanyar biaya perkara.
7. Mengenai barang bukti berupa berkas surat permohonan pengajuan
tukar menukar tanah kas Desa bujur Tengah kepada bupati kepala
Daerah TK.II Kabupaten Pamekasan beserta lampirannya, karena
61
disita dari Pemda Kabupaten Pamekasan, maka dikembalikan ke
Pemda Kabupaten Pamekasan.
8. Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan Putusan terlebih dahulu akan
dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan.
Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa merugikan kepentingan Umum.
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa mengaku terus terang perbuatannya.
2. Terdakwa bersikap sopan di persidangan.
3. Terdakwa belum pernah dihukum.
4. Terdakwa mempunyai tanggung jawab keluarga dan menyesali
perbuatannya.
Mengingat dan memperhatikan pasal 263 (2) KUHP, serta peraturan
perundang-undangan yang berkaitan:
MENGADILI
1. Menyatakan terdakwa MOH. BAIDAWl telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'SENGAJA
MENGGUNAKAN SURATPALSU ".
2. Menghukum terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 6 (Enam)
bulan.
3. Menyatakan barang bukti berupa berkas surat permohonan pengajuan tukar
menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada Bupati Pamekasan beserta
62
lampirannya dikembalikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Pamekasan.
4. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,- (seribu
rupiah).
2. Analisa Putusan
Setelah melihat hasil putusan Majelis Hakim tersebut di atas, dengan
demikian Pengadilan Negeri Pamekasan telah memilih salah satu dari tiga jenis
putusan yang dikenal dalam hukum acara pidana sebagai berikut:3
1. Putusan Pemidanaan.
2. Putusan Pembebasan.
3. Putusan Pelepasan.
Putusan yang diambil oleh Pengadilan Negeri Pamekasan merupakan
putusan pemidanaan. Putusan pemidanaan adalah putusan Pengadilan yang
dijatuhkan kepada terdakwa karena dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya.4
Pengadilan Negeri Pamekasan telah menjatuhkan putusan pemidanaan
kepada terdakwa. Hal ini berarti Pengadilan Negeri Pamekasan menilai bahwa
terdakwa terbukti bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya. Terdakwa
MOH. BAIDAWl berdasarkan barang bukti serta keterangan dari saksi-saksi,
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat tukar menukar
tanah kas Desa Bujur.
3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.
285. 4 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 86
63
Dalam hal penjatuhan pemidanaan terhadap terdakwa, putusan Pengadilan
Negeri Pamekasan tersebut di atas menggunakan alat bukti dan keterangan saksi
atau sejenisnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan
keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa harus berdasarkan minimal dua alat
bukti yang sah.
Dalam Pasal 183 KUHAP dinyatakan:
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya"
Penulis memandang Pengadilan Negeri Pamekasan, juga sudah memenuhi
unsur-unsur syarat untuk adanya suatu pertanggung jawaban pidana, yang mana
harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:5
a. Harus ada tingkah laku yang dapat dipidana.
b. Perbuatan yang dapat dipidana itu harus bertentangan dengan hukum.
c. Harus ada kesalahan dari pelaku.
d. Akibat konstitutif.
e. Keadaan yang menyertai.
f. Syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana.
Sebelum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan menjatuhkan
putusan terhadap terdakwa MOH.BAIDAWl yang telah melakukan tindak pidana
pemalsuan surat, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan terlebih dahulu
mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan dan memperberat terdakwa,
5 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum pidana I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 81-82.
64
hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman Bab. IV Hakim dan kewajibannya dalam Pasal 28
ayat (2) juga menyebutkan "Dalam mempertimbangakan berat ringannya pidana,
Hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa"
Dengan demikian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan
memtuskan meringankan hukuman bagi terdakwa, karena sifat-sifat yang baik
maupun yang jahat dari terdakwa wajib diperhatikan hakim dalam
mempertimbangkan sanksi pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan
pribadi seseorang perlu juga diperhatikan untuk memberikan pidana yang sesuai
dengan keadaan terdakwa.
Menurut hemat penulis, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan di
dalam memberikan hukuman kepada terdakwa sudah secara matang
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan
masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-
undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.
Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus
tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan
mendapat hukuman (persumtion of innocent) atau sekalipun ia bersalah ia tidak
mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality
before the law).6
Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis putusan pengadilan Negeri
Pamekasan dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa MOH. BAIDAWI
6 Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh
Advocat, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 3-4.
65
sudah sangat tepat dan mendasar, karena sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
B. Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomorr: 115/ PEN.MAJ
/2006/PT.Sby.
1. Pertimbangan Dan Putusan Majelis Hakim7
Adapun pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Surabaya dalam memutuskan perkara ini sebagai berikut:
1. Setelah membaca dan memperhatikan bentuk dakwaan dan Jaksa
Penuntut Umum yang menjadi dasar pemeriksaan perkara ini oleh
Majelis Pengadilan Negeri Pamekasan, maka Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi sependapat dengan pandangan Majelis Hakim
Tingkat Pertama dalam hal melakukan pilihan diantara dakwaan kesatu
dan dakwaan kedua namun pertimbangan hukum yang
dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama, oleh Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi tidaklah sependapat dengan alasan -alasan
sebagai berikut:
a. Adapun dakwaan kedua adalah melanggar pasal 263 ayat (2)
KUHP dengan unsur - unsur sebagai berikut:
1. Barang siapa.
2. Sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah
surat-surat itu asli dan tidak dipalsukan.
3. Dapat mendatangkan kerugian.
7 Putusan Pengadilan Tingi Surabaya Nomor:115/PEN.MAJ/2006/PT.Sby, hlm. 9-13.
66
b. Dari ketiga unsur tersebut Majelis Pengadilan Tinggi akan menilai
lebih dahulu unsur kedua, karena pada unsur pertama telah jelas
terdakwa yang dihadapkan pada pemeriksaan perkara ini sebagai
terdakwa, hanya dalam hal pembuktian perbuatannya akan
ditentukan oleh unsur kedua, apakah benar terdakwa dengan
sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah
surat itu asli dan tidak dipalsukan.
c. Pasal 263 ayat (2) KUHP mengandung unsur maksud atau niat
untuk melakukan perbuatan pidana, Majelis Hakim Tingkat
Pertama tidak menyadari akan hal ini.
d. Sejumlah 16 orang peserta rapat yang di adakan tanggal 9 Maret
1998 dan dihadiri oleh Perangkat Desa, LKMD serta tokoh
masyarakat desa Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar
Kabupaten Daerah Tingkat II Pamekasan yang dipimpin langsung
oleh camat Batu Manmar dan telah menghasilkan keputusan desa
Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar No.01 Tahun 1998 tentang
tukar menukar tanah Kas Desa Bujur Tengah dengan tanah milik
Sdr. Moh. Baidawi.
e. Rapat desa yang diadakan tanggal 9 Maret 1998, sebagai syarat
dibuatkan daftar hadir yang ditandatangani olah peserta rapat, hal
itu telah terpenuhi dimana daftar hadir tarsebut ditandatargani otah
peserta rapat yang barjumlah 16 orang tersebut, yang disodorkan
oleh PATHA Carik Desa Bujur Tengah, selanjutnya dibuatlah
67
risalah rapat sebagai salah satu persyaratan dalam pengajuan tukar
menukar tanah antara tanah kas dasa dengan tanah terdakwa.
f. Pada saat rapat diadakan dari 16 orang peserta ada 2 orang yang
tidak hadir yaitu saudara Abdurrachman karena pada saat itu sakit
dan saudara P. Sartila karena telah meninggal dunia sebelumnya,
tetapi pada daftar hadir tersebut terdapat tanda tangan mereka dan
bagi saudara P. Sartila pada saat rapat ini tidak hadir, namun
diwakili oleh anak menantunya bemama Tahir.
2. Dakwaan pasal 263 ayat (2) KUHP bunyinya: Barang siapa dengan
sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah
tidak dipalsukan.
3. Pertanyaan dari pasal tersebut apakah benar terdakwa H. ACH.
BAIDAWI dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang
dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan untuk
persyaratan tukar menukar tanah milik kas desa Bujur dengan tanah
miliknya ?
4. Berdasarkan dari hasil pemeriksaan dalam persidangan, saksi-saksi
yang dihadapkan tidak satupun yang menerangkan tentang siapa yang
memalsukan tanda tangan dari H. Abdurrachman tersebut, bahkan
terdakwapun tidak mengetahui tentang adanya pemalsuan tanda tangan
dari sudara H. Abdurrachman dalam daftar hadir, nantinya terdakwa
benar mengetahuinya tentang adanya pemalsuan tanda tangan tersebut
setelah terdakwa diperiksa dalam perkara pidana ini, sehingga pada
68
waktu pengajuan berkas permohonan tukar menukar tersebut, belum
diketahui oleh terdakwa kalau ada pemalsuan tanda tangan dalam
daftar hadir itu, karena bukan terdakwa yang mengedarkan daftar hadir
itu kepada peserta rapat untuk penandatanganannya. Terdakwa hanya
menerima saja rampungnya seluruh hasil kegiatan rapat beserta dengan
daftar hadir yang sudah ditandatangani oleh peserta rapat. Kemudian
hasil dari seluruh kegiatan tersebut termasuk daftar hadir, risalah rapat,
keputusan Desa Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar No. 1 Tahun
1998 yang telah disahkan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Pamekasan pada tanggal 29 April 1999 no.206 tahun 1999.
5. Permohonan tukar menukar tersebut telah terbit pula persetujuan
pengesahan keputusan Desa Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar,
pada tanggal 31 Maret 1999 No 143/3089/013/1999 dan akhirnya
pelaksanaan tukar manukar itupun dilakukan dengan baik.
6. Dalam unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu dst. Bahwa
unsur maksud atau niat untuk melakukan perbuatan pidana mempunyai
peranan dalam menentukan apakah benar terdakwa menggunakan surat
palsu ?
7. Mengenai niat atau maksud yang harus dibuktikan apabila hendak
mempersalahkan seseorang terdakwa melanggar pasal 263 ayat (2)
KUHP itu menurut pendapat Majelis Pengadilan Tinggi haruslah
dibuktikan bahwa adanya niat terdakwa untuk memperoleh hasil
maksud dari tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah dengan tanah
69
milik terdakwa yang dalam pertimbangan Majelis Hakim Tingkat
Pertama halaman 15 dengan kalimat 'Walaupun terdakwa sudah
mengetahui tanda tangan P. Sartila dan Abdurrachman ada yang
memalsukan dalam daftar hadir rapat desa, tapi daftar hadir rapat desa
yang merupakan salah satu syarat tukar guling tanah kas desa dengan
tanah terdakwa tetap dilampirkan sebagai kelengkapan syarat
permohonan tukar guling dengan terdakwa.
8. Dengan kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi, bahwa seluruh
saksi-saksi dan terdakwa sendiri tidak mengetahui siapa orangnya
yang memalsukan tanda tangan dari H. Abdurrachman dan P. Sartila
pada daftar hadir tersebut dan pula yang bertugas melakukan atau
mengedarkan tanda tangan daftar hadir bukanlah terdakwa, melainkan
saudara PATHA selaku Carik, menurut Majelis Pengadilan Tinggi
bukanlah merupakan pembuktian salah satu unsur dari pasal dakwaan
Jaksa Penuntut Umum tersebut.
9. Dengan demikian niat atau maksud terdakwa dengan sengaja
menggunakan daftar hadir sebagai salah satu syarat untuk tukar guling
tanah kas desa dengan tanah terdakwa hingga terpenuhilah syarat-
syarat daripada tukar menukar tanah tersebut, adalah tidak benar,
karena terdakwa tidak mengetahui adanya pemalsuan tanda tangan H.
Abdurrachman dan P. Sartila pada daftar hadir tersebut.
10. Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis Pengadilan Tinggi
berkesimpulan bahwa unsur niat atau maksud sengaja menggunakan
70
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak
dipalsukan, adalah tidak dapat dibuktikan sscara sah dan meyakinkan
dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu dakwaan kedua.
11. Berdasarkan atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
maka putusan Pengadilan Negeri Pamekasan tertanggal 17 April 2006
No. 240/Pid.B/2005/PN Pks tidak dapat dipertahankan lagi dan harus
dibaUlkan dan Pengadilan Tinggi akan mengadili sendiri perkara ini
dengan amarnya sebagaimana disebutkan di bawah nanti.
12. Berdasarkan bunyi pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP oleh karena
terdakwa dibebaskan dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum maka hak
terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya
haruslah dipulihkan kembali.
13. Oleh karena itu terdakwa dibebaskan, maka segala biaya yang timbul
dalam kedua tingkat peradilan dibebankan kepada negara.
Mengingat pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, dan ketentuan hukum
yang bersangkutan:
MENGADILI
Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat
Hukum Terdakwa.
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pamekasan tanggal 17 April
2006 No. 240/PidB/2006/PN. Pks yang dimintakan banding tersebut:
71
MENGADILI SENDIRI
1. Menyatakan terdakwa H. Ach. Baidawi al. MOH BAIDAWI tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan
pidana sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum tersebut.
2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut.
3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya.
4. Membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan kepada
negara.
5. Menetapkan agar barang bukti berupa berkas surat permohonan
pengajuan tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada Bupati
Pamekasan beserta lampirannya dikembalikan kepada pemiliknya dan
khususs untuk bukli berupa daftar hadir Rapat Lembaga Musyawarah
Desa (LMD) tertanggal 9Maret 1998 dirampas untuk dimusnahkan.
2. Anilisa Putusan
Dari segi formal, pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat
diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya peradilan tingkat pertama
diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding.8
Posisi Pengadilan Tinggi Surabaya adalah pengadilan tingkat banding atau
juga disebut peradilan terakhir. Banding adalah salah satu upaya hukum yang
dimiliki terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan
8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan KUHAP, (Jakarta:Sinar Grafika,2000),
hlm. 428.
72
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.9
Maka, posisi PT Surabaya melakukan pengecekan kesesuaian putusan
Pengadilan Negeri dengan perundang-undangan yang berlaku sehingga
diputuskan untuk dikuatkan, diperbaiki atau dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi.
Oleh sebab itu, PT Surabaya harus mempunyai dasar hukum yang kuat
untuk menguatkan, memperbaiki atau membatalkan dasar hukum yang dibuat oleh
Pengadilan Negeri sebelumnya.
Pertama yang harus dilakukan PT Surabaya adalah menelaah dasar hukum
PN Pamekasan bahwa terdakwa menurut PN Pamekasan telah melanggar pasal
263 ayat (2) KUHP dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1) Barang siapa 2)
Sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah surat-surat itu asli
dan tidak dipalsukan 3) Dapat mendatangkan kerugian.
Dalam hal ini Pengadilan Tinggi melakukan penilaian lebih dahulu
terhadap unsur kedua, karena menurutnya pada unsur pertama telah jelas terdakwa
yang dihadapkan pada pemeriksaan perkara ini sebagai terdakwa, hanya dalam hal
pembuktian perbuatannya akan ditentukan oleh unsur kedua, apakah benar
terdakwa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-
olah surat itu asli dan tidak dipalsukan.
Pengadilan Tinggi Surabaya berpendapat bahwa Pasal yang telah di
dakwakan terhadap terdakwa oleh oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama, yakni
pasal 263 ayat (2) KUHP dinilai kurang tepat, karena tidak dapat dibuktikan
9 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 12.
73
secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa mengunakan surat tersebut dengan
unsur niat atau maksud atau sengaja menggunakan surat palsu atau yang
dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan. Karena Dari hasil
pemeriksaan dalam persidangan, saksi-saksi yang dihadapkan tidak satupun yang
menerangkan tentang siapa yang memalsukan tanda tangan dari saudara H.
Abdurrachman (sakit) dan P.Sartila (meninggal) tersebut, bahkan terdakwapun
tidak mengetahui tentang adanya pemalsuan tanda tangan dari Sdr. H.
Abdurrachman dan P.Sartila dalam daftar hadir, nantinya terdakwa benar
mengetahuinya tentang adanya pemalsuan tanda tangan tersebut setelah terdakwa
diperiksa dalam perkara pidana ini.
Majelis Hakim Pengadilan Tingi juga menambahkan, bahwa kalau ada
pemalsuan tanda tangan dalam daftar hadir itu, karena bukan terdakwa yang
mengedarkan daftar hadir itu kepada peserta rapat untuk penandatanganannya.
Terdakwa hanya menerima saja rampungnya seluruh hasil kegiatan rapat beserta
dengan daftar hadir yang sudah ditandatangani oleh peserta rapat tersebut.
Setelah pertimbangan-pertimbangan diatas, akhirnya Majelis Pengadilan Tinggi
memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pamekasan.
Menurut penulis dalam hal ini pertimbangan Majelis Tingkat Banding
kurang substansial, tidak berhubungan langsung dengan pembuktian pidana.
Seperti bukti Persetujuan Pengesahan Keputusan Desa Bujur Tengah Kecamatan
Batumarmar, tertanggal 31 Maret 1999 No:143/3089/013/1999. Karena
persetujuan tersebut berdasarkan surat tukar-menukar pada tahun 1998 yang
belum dibuktikan keasliannya.
74
Penulis memandang bahwa penjelasan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Surabaya bahwa “saksi-saksi yang dihadapkan tidak satupun yang menerangkan
tentang siapa yang memalsukan tanda tangan dari H. Abdurrachman tersebut”,
pun juga kurang tepat, karena hanya saksi Mukri, H.Usman, Ali Walid,SH,
Tangken yang menyatakan tidak tahu siapa yang memalsukan sedangkan Busirin,
Patha dan Limuna tentu tahu siapa yang memalsukan karena mereka menyatakan
tidak pernah hadir dalam rapat dimaksud.
Berdasarkan fakta di pengadilan bahwa terdakwa mengakui ia mengetahui
jika P. Sartila sudah meninggal dan H. Abdurrahman tidak hadir karena sakit.
Jika terdakwa mengetahuinya mengapa dia masih menyodorkan hasil rapat yang
genap tertanda tangani 16, padahal ada dua orang yang belum hadir. Memang
benar bahwa terdakwa dan saksi-saksi yang dihadirkan tidak mengetahui siapa
yang memalsukan tanda tangan keduanya seperti pertimbangan Majelis Hakim
Tingkat Kedua, namun terdakwa mengetahui bahwa keduanya tidak hadir.
Mudah untuk mengatakan bahwa terdakwa tidak mengetahui siapa yang
memalsukan, namun sulit baginya untuk mengelak bahwa dia tahu ada pemalsuan
tanda tangan dalam daftar hadir diatas karena terdakwa mengakui jika P. Sartilla
dan H. Abdurrahman tidak hadir, sedangkan jumlah tanda tangan terisi genap 16
orang.
Maka penulis melihat bahwa pertimbangan Majelis Hakim Tingkat
Banding kurang cermat melihat pertimbangan Majelis Hakim Tinggkat Pertama
dan kurang melihat realita yang terjadi di masyarakat, karena suatu pembentukan
75
hukum interpretasinya maupun penerapannya, hendaknya dihubungkan dengan
fakta-fakta sosial yang ada di masyarakat.10
Mengenai unsur yang ketiga yakni “dapat Mendatangkan Kerugian”,
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya menilai, bahwa terdakwa jelas tidak
terbukti merugikan siapapun, karena dari hasil rapat di Balai Desa Bujur Tengah
dari semua peserta yang hadir itu, telah menyetujui dan tidak ada yang merasa
keberatan kalau tanah kas desa Bujur Tengah di tukar dengan tanah milik pribadi
terdakwa MOH. BAIDAWI, yang sekarang tanah hasil tukar menukar itu sudah
digunakan untuk bangunan Sekolah SDN Bujur Tengah I, II dan III.
Maka dengan hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabya monalak
dakwaan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan, karena telah salah dan
keliru dalam pertimbangan hukumnya dalam unsur dapat mendatangkan
kerugian, pertimbangannya jelas kabur, karena dalam perkara ini, Negara tidak
mengalami kerugian, maayarakat maupun pihak-pihak tidak mengalami kerugian
baik kerugian materiil, kemasyarakatan kesusilaan maupun kehormatan oleh
karena itu unsur tersebut tidak terbukti atau terpenuhi menurut hukum.
Penulis menilai pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tingi Surabaya
dalam masalah ini kurang tepat, karena tanah terdakwa yang ditukar guling
tersebut khusus yang SDN Bujur Tengah II terdakwa peroleh dari Kyai Usman
yang katanya sudah beli, akan tetapi dipersidangan terdakwa tidak bisa
menunjukan bukti adanya jual beli padahal tanah tersebut asalnya milik P.
10
Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 35.
76
Juminten yang dijariyahkan kepada Kyai Usman dan hal itu sebelumnya sudah
diketahui oleh terdakwa.
Maka disini sudah jelas ada orang yang secara materil telah dirugikan
yaitu P. Juminten karena ada tanahnya yang dijariyahkan kepada Kyai Usman.
Dan selain itu dengan adanya pemalsuan tanda tangan P.Sartila dan Abdurrahman
dalam daftar hadir rapat desa secara tidak langsung keluarga P. Sartila maupun
keluarga Abdurrahman di lapangan kemasyarakatan telah dirugikan karena
masyarakat Desa Bujur Tengah, akan menganggap kedua orang tersebut telah
menyetujui adanya tukar guling tersebut, padahal jika sejak awal diketahui ada
surat palsu yang dilampirkan sebagai salah satu syarat tukar guling, maka
permohonan tukar guling tersebut tidak akan dikabulkan sehingga baik P.
Juminten maupun P. Sartila dan Abdurrahman tidak akan mengalami kerugian
sebagaimana tersebut diatas. Seharusnya Majelis Pengadilan Tinggi harus jeli dan
memperhatikan sedetail mungkin, karena Yang dimaksud disini menurut
penjelasan pasal 263 KUHP karangan R. Soesilo adalah tidak perlu kerugian itu
betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah
cukup dan yang diartikan kerugian disini tidak saja hanya meliputi kerugian
materil akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan,
kehormatan dan sebagainya.
Disisi lain menurut hemat penulis, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Surabaya dalam pertimbangan dan kesimpulannya yang dijadikan dasar dalam
pengeluaran putusan dimaksud jika dihubungkan dengan teori hukum yang ada,
jelas-jelas telah mengesampingkan aliran teori hukum yaitu teori kehendak
77
“kesengajaan” dari Von Hipel yang sampai saat ini masih dijadikan dasar dalam
pembuktian mengenai kesengajaan, dimana menurut teori kehendak kesengajaan,
yaitu kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang
dirumuskan dalam Undang-Undang atau dengan kata lain bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa harus benar-benar dikehendakinya sehingga untuk
membuktikan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa harus sesuai dengan
motifnya dan tujuan melakukan perbuatan tersebut harus dihubungkan dengan
kuasa (sebab) yang terdapat dalam batin terdakwa. Karena suatu perbuatan
hukum apabila perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum, yang mana akibat
itu di kehendaki oleh yang bertindak (terdakwa).11
C. RESOLUSI KONFLIK TANAH PERCATON MENURUT HUKUM
ISLAM.
Sebelum masuk pada pembahasan Resolusi Hukum Islam atas Konflik
Tanah Percaton, Penulis terlebih dahulu akan memaparkan secara singkat arti dari
resolusi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, re·so·lu·si adalah putusan atau
kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yg ditetapkan oleh rapat
(musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu
hal. Resolusi adalah tujuan atau sesuatu yang hendak saya capai untuk tahun-
tahun ke depan.12
11
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hlm. 121. 12
Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm.
78
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimasksud Resolusi
konflik Tanah Percaton menurut Islam yuitu suatu putusan atau kebulatan
pendapat tentang konflik tanah Percaton menurut pandangan Islam.
Dalam kajian hukum Islam, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya,
tidak ditemukan istilah teknis yang mengarah langsung pada konsep tanah
Percaton. Tanah percaton merupakan istilah teknis yang lahir dari tradisi dan
budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, penyelesaian konflik tanah
percaton harus dilihat dari konsepsi hak milik dalam hukum Islam sebagaimana
sudah disinggung dalam bab sebelumnya.
Persoalan hak kepemelikan, dalam kajian hukum Islam, masuk ke dalam
kategori fiqh muamalah. Untuk melihat masalah ini, penulis perlu membahas
bagaimana mekanisme penyelasaian yang disedikan dalam kajian fiqh muamalah,
apabila terjadi konflik antara dua pihak yang berhubungan dengan masalah hak
kepemilikan. Tentu saja, untuk mencari solusi atas konflik yang terjadi,
memahami detail kasus merupakan suatu keharusan.
Konflik tanah percaton yang terjadi di Pamekasan, Madura, tidak lahir dari
ruang hampa. Konflik ini terjadi akibat gesekan yang terjadi antara Kepala Desa
yang berkuasa dengan mantan Kepala Desa. Tanah Percaton yang seharusnya
menjadi hak Kepala Desa yang berkuasa, justru menjadi hak milik mantan Kepala
Desa. Hak milik atas tanah Percaton tersebut, menurut pengakuan kepala desa,
didasarkan atas tukar guling yang dilakukan mantan kepala desa terhadap tanah
percaton tersebut.
79
Dalam konsepsi hukum nasional, tanah Percaton bukan merupakan tanah
perseorangan yang dimiliki berdasarkan hak milik. Tanah Percaton adalah tanah
negara yang diberikan kepada kepala desa untuk diberdayakan selama ia menjabat
sebagai kepa desa. Tanah ini merupakan “upah” bagi seseorang yang dipercaya
sebagai kepala desa. Dengan demikian, pada hakikatnya, tanah bukan hak milik,
melainkan hak pakai yang dibatasi oleh durasi waktu.
Kasus Tanah Percaton yang terjadi di Pamekasan dapat dilihat melalui
kacamata penyelesaian sengketa kepemilikan, dalam hal ini adalah kepemilikan
atas tanah. Dalam hukum Islam, apabila terjadi konflik antara dua orang tentang
kepemilikan suatu benda, maka pihak yang menuduh harus menunjuukan bukti.
Sedangkan pihak tertuduh, apabila mengingkari, dapat disumpah. Prinsip ini dapat
dilacak dalam salah satu Kaidah Fikih berikut:13
.البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Bukti dibebankan atau diharuskan bagi penuduh, sedangkan sumpah
bagi pihak yang mengingkari”
Sumber dari kaidah ini, adalah sabda Nabi Muhammad SAW, yang
berbunyai:14
13
‘Abdul Wahhāb Khalāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, ( Kairo: Maktabah al-Da‘wah, 1411 H),
hlm. 80. 14
Muḥammad Abū ‘Abdullāh ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrahal-Bukhārī, Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī.(Beirut: Dār Ṭawqun Najh, 1422 H), juz. 13, hlm. 6121. Lihat juga di, Muslim ibn al-
Hajjaj Abū al-Ḥusayn al-Qasyayrīal-Naysabūrī,Ṣaḥīḥ Muslim,(Beirut: Dār al-Afāq al-Jadīdah,
1334 H), hlm. 128, Abū Bakar Aḥmad ibn al-Ḥusayn ibn ‘Alī al-Bayḥāqī,Sunan al-Sughrā li al-
Bayḥāqī,(Pakistan: Jamī‘ah al-Dirāsa al-Islāmī, 1410 H), juz. 4, hlm. 188, Alī ibn ‘Umar ibn Abū
al-Ḥasan al-Daruqutnī al-Baghdādī,Sunan al-Daruqutnī, ( Bairut: Dār al-Ma‘rifah, 1386 H), juz. 4,
hlm.157, Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abū Hatim al-Tamimī al-Bastī, Shahih Ibn Hibban,
(Beirut; Muassasah al-Risalah, 1414 H), juz. 11, hlm. 476. Semua sanad hadis tersebut bersawal
dari sahabat Ibnu ‘Abbas.
80
ثني أبو الطاهر أحمد بن عمرو بن سرح أخبرنا ابن وهب عن ابن جريج عن ابن حد
عليه وسلم قال لو يعطى الناس بدعواه أبي مليكة عن ابن عباس م أن النبي صلى للا
.لدعى ناس دماء رجال وأموالهم ولكن اليمين على المدعى عليه
“Jika semua orang diberi hak (hanya) dengan dakwaan (klaim) mereka
(semata), niscaya (akan) banyak orang yang mendakwakan (mengklaim)
harta orang lain dan darah-darah mereka. Namun, bukti wajib
didatangkan oleh pendakwa (pengklaim), dan sumpah harus diucapkan
oleh orang yang mengingkari (tidak mengaku)”.
Seperti yang kita ketahui kata “al-Bayyinah” atau bukti adalah sesuatu
yang bisa untuk membuktikan sebuah hak atau klaim, dan hal ini untuk
menetapkan kebenaran atas klaim seseorang, pada dasarnya yang dimaksud
dengan al-Bayyinah adalah saksi dalam semua perkara hukum, baik yang
berhubungan dengan darah, harta, tindakan kriminal atau segala sesuatu yang
dapat menjelaskan dan menunjukkan kebenaran suatu tuduhan, baik berupa saksi-
saksi, bukti-bukti penguat atau pun yang lainnya.
Berdasarkan kaidah dan Hadis di atas, maka mekanisme yang dapat
ditempuh dalam kasus di atas adalah memlalui hakim (qādī), yaitu dua jalan
macam,15
yang pertama dengan melihat bukti yang diajukan oleh pihak yang
menuduh, dalam hal ini adalah pihak Kepala Desa. Sedangkan yang kedua
sumpah dari mantan kepala desa merupakan pihak yang tertuduh.
Klaim mantan kepala desa yang menganggap tanah percaton seluas 5,8
hektar merupakan miliknya didasarkan atas tukar guling dengan tanah yang hanya
seluas 4.430 meter persegi, menjadi salah satu latar belakang mengapa konflik
tanah Percaton tersebut terjadi. Luas tanah yang tidak sama dengan tanah
15
Sabath ibn al-jauzī, ītsār al-inshāf Fī ātsāri al-Khalāf, (Kairo, Dār al-Salām, 1408 H ),
hlm. 349.
81
sebelumnya, dan diduga kuat adanya kecurangan dalam membuat surat tanah
Percaton, ditambah ketentuan bahwa tanah percaton tidak dapat dipindah
tangankan ataupun ditukar guling, menjadi salah satu alasan Kepala Desa
menggugat mantan Kepala Desa.
Dalam kajian hukum Islam, tanah percaton termasuk dalam kategori
kepemilikan tidak sempurna. Artinya, hak milik atas tanah tersebut hanya terbatas
pada pemanfaatannya saja, bukan terhadap barangnyapun demikian, hak
mengambil manfaat atas tanah tersebut dibatasi oleh durasi waktu, yakni selama
seseorang tersebut menjabat Kepala Desa.
Apa yang dilakukan oleh mantan Kepala Desa, dalam pandangan hukum
Islam, merupakan perbuatan aniaya karena telah melakukan kecuramgan
pemalsuan tanah, dan mengambil hak tanah Negara, dipindah nama atas
kepemilikan pribadi. Dengan demikian, langkah yang ditempuh oleh Kepala Desa
dalam memperkarakan masalah tersebut ke pengadilan merupakan langkah yang
tepat.
Menurut mekanisme yang diatur dalam hukum Islam, apabila terjadi
pertentangan antara dua orang tentang status hak kepemilikan, maka kasus
tersebut dapat diselesaikan di muka pengadilan, biarkan hakim (qadhi) yang
memutuskannya. Memilih jalur penyelesaian di pengadilan merupakan langkah
tepat, untuk menguji sejauh mana alat bukti yang diajukan oleh masing-masing
pihak.
Dalam konteks kasus ini, sebenarnya yang menjadi akar utama adalah
status tanah yang dalam klaim mantan Kepala Desa dianggap miliknya. Bukti itu
82
didasarkan atas sertifikat tanah yang sudah dirubah, dari yang awalnya tanah
percaton, berpindah menjadi hak milik pribadi. Dengan mekanisme tukar guling,
mantan Kepala Desa merasa bahwa tanah percaton tersebut sudah berpindah
status. Keyakinan inilah yang dipegang oleh mantan Kepala Desa untuk
mempertahankan tanah yang dianggap sudah menjadi miliknya.
Sementara itu, apabila dilihat dari kaidah fiqh di atas, pihak penggugat,
dalam hal ini Kepala Desa yang baru, sudah mengajukan banyak bukti yang
menguatkan bahwa tanah yang diperselisihkan adalah tanah Percaton, bukan tanah
hak milik pribadi. Terbukti, dalam persidangan di Pengadilan Pamekasan, hakim
memutuskan bahwa status tanah tersebut harus dikembalikan sebagai tanah
percaton, dan menjadi hak dari Kepala Desa yang menjabat.
Persoalan hak milik terhadap barang memang menjadi persoalan yang
pelik. Islam dengan tegas melarang mengambil hak orang lain dengan cara yang
batil, seperti firman Allah SWT:
اس ول تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الن
ثم .وأنتم تعلمون بال
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui’’. (QS. Al-Baqarah: 188)
Sebab turunnya ayat ini ialah bahwa Rabi’ah ibn Abdan al-Hadramī dan
Imrail Qais ibn Aiys, terlibat dalam suatu perkara soal tanah yang masing-masing
tidak dapat memberikan bukti. Maka Rasulullah menyuruh Imrail Qais (sebagai
83
terdakwa yang ingkar) supaya bersumpah, tatkala Imrail Qais hendak
melaksanakan sumpah itu, turunlah ayat ini.16
Tafsiran lafadz والكم بينكم بالباطل ول تأكلوا أم ; Jangan sebagian kalian makan
harta sebagian yang lain dengan cara yang tidak benar (menurut Syara’); yang
dimaksud dengan "األكل" : yaitu mengambil (al-akhdu) dan menguasai (al-istilā`),
diungkapkan dengan lafadz "األكل" karena tujuan yang terbesar/terpenting dari
harta adalah untuk dimakan. Adapun memakan harta dengan cara bathil ini ada
dua klasifikasi. Pertama, didapatkannya harta itu dengan perbuatan dhalim,
seperti mencuri, merampas (ghasab) dan sebagainya. Kedua, diperolehnya harta
itu dari cara-cara yang dilarang, seperti judi, upah menyanyi, serta semua cara
yang diharamkan oleh Syara’. Dan ayat di atas telah mewanti-wantikan
keharaman semua itu; Lafadz "الباطل" secara bahasa adalah sinonim dengan
dengan lafadz "الزائل" dan "الذاهب" berarti yang tergelincir atau yang hilang,
sedangkan yang dimaksud di sini ialah yang diharamkan oleh Syara’, seperti
mencuri, ghasab, dan mencakup semua pengambilan tanpa ganti atau tanpa ada
kerelaan dari pemiliknya, atau mentasharufkan kepada sesuatu yang nyata-nyata
tidak ada manfaatnya.17
Dalam ayat tersebut juga adanya larangan untuk membawa urusan harta itu
kepada hakim, ام larangan tersebut apabila ada persaksian palsu ,وتدلوا بها إلى الحك
16
Abū Muḥammad ibn Husayn ibn Mas‘ūdal-Baghawī, Ma‘ālim al-Tanzīl Tafsir al-
Baghawī,(Beirut: Dār al-Ṭaybah li al-Nasr wa Tawzī‘, 1417 H), Juz.1, hlm. 210. 17
Wahbah ibn Muṣṭfāal-Zuhaylī, Tafsīr al-Munīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 1418 H), Juz. 2,
hlm.162.
84
,(كاذبة) atau sumpah palsu (زور)18
maka dari itu hakim harus jeli dan berhati-hati
menghadpai masalah harta, karna hakim harus memutuskan dengan bijak,
berdasrkan realita dan bukti-bukti yang ada, yakni tidak menghlalkan yang haram,
dan menghramkan yang hala.19
Berbuat aniaya dengan cara mengambil hak orang lain merupakan
perbuatan tercela yang dibenci oleh Allah. Selain berdosa sama Allah, perbuatan
aniaya dengan mengambil hak orang lain, juga berdosa pada orang yang dianiaya.
Berdasarkan argumentasi normatif-teologis di atas, mengambil tanah
percaton sebagai hak pribadi merupakan tindakan aniaya, tidak hanya kepada
Kepala Desa yang menjabat, namun juga terhadap Negara yang punya hak atas
kepemilikan tanah tersebut. Dengan demikian, ditinjau dari perspektif apapun,
perbuatan merubah sertifikat tanah dengan unsur kecurangan, merupakan tindakan
kriminal yang dapat dikenai saknsi hukuman, baik secara perdata maupun pidana.
Penulis melihat, apa yang ditempuh oleh masing-masing pihak, baik
mantan Kepala Desa maupun Kepala Desa yang sedang menjabat, merupakan
langkah yang tepat. Memilih mekanisme penyelesaian di muka pengadilan
merupakan keputusan yang sesuai dengan mekanisme yang disedikan oleh hukum
Islam. Menyelesaikan permasalahan di hadapan hakim (qadhi) merupakan
mekanisme yang tepat, jauh dari sikap merasa paling benar atas keyakinannya
sendiri.
18
‘Abdul Qādir al-Ghāzī, Bayān al-Ma‘ānī, (Damask, mathba‘ah al-tarāqī, 1382 H), Juz.
5, hlm. 140. 19
Muhammad ibn jarīr ibn yazīd Abū ja‘far al-Thabrī, Jāmi‘u al-Bayān Fī Ta’wīl al-
Qur’an, (Beirut; Muassasah al-Risalah, 1420 H), Juz. 3, hlm. 550.
85
Kalaupun ternyata dari konflik tanah justru berkembang menjadi konflik
berdarah, hal tersebut terjadi akibat sikap pihak yang tidak siap untuk menerima
keputusan hakim, baik tingkat pertama, maupun peradialn yang lebih tingi.
Persoalan sikap menerima kekalahan memang tak semua orang memilikinya.
Terlebih dalam kasus ini, yang dipertahankan bukan hanya soal tanah semata,
namun lebih dari itu, ada harga diri yang dalam keyakinan masyarakat Madura
harus dipertahankan sampai mati. Namun demikian, seharusnya, tragedi berdarah
ini tidak terjadi apabila kedua pihak sama-sama mengedepankan asas
musyawarah. Pihak yang menang tak merasa jumawa, yang kalah juga tak perlu
merasa harga dirinya diinjak-injak.
Dengan demikian, dalam pandangan hukum Islam, perbuatan mengambil
hak orang lain dengan cara bathil dapat dikategorikan sebagai tindakan dhālim
(aniaya) yang dilarang oleh agama, dan apabila terjadi pertentangan antara dua
pihak tentang kepemilikan atas suatu hak atau barang, Islam menyediakan
mekanisme penyelesaian di hadapan pengadilan dengan hakim (qādhi) sebagai
instrument utama dalam mengambil keputusan berdasarkan bukti yang diajukan,
baik oleh pihak penggugat maupun tergugat. Maka dengan ini tidak ada konflik
yang perkepanjangan, yang mengakibat konflik baru yang terjadi. Sehingga
kedamaian dan ketentraman masyarakat akan terpenuhi.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis data yang telah dikemukakan diatas,
maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar yuridis masing-masing pengadilan.
a. Dasar yuridis putusan Pengadilan Negeri Pamekasan yaitu bahwa
terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan surat,
yang terdapat pada pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 KUHP, sehingga
dengan perbuatannya tersangka di tahan selama 6 bulan.
b. Dasar yuridis putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yaitu bahwa
terdakwa tidak terbukti melakukuan tindak pidana, seperti apa yang
telah di dakwakan oleh Majelis hakim Negeri Pamekasan, maka dari
itu terdakwa harus dibebaskan, karena mengacu pada pasal 97 ayat 1
dan ayat 2 KUHAP.
2. Faktor-faktor yang melatar belakangi perbedaan putusan Pengadilan
Negeri Pamekasan dan Pengadialan Tinggi Surabaya dalam sengketa tanah
Percaton di Madura, yaitu sebagai berikut:
a. Adanya perbedaan pamahaman tentang pasal 263 ayat 1 dan ayat 2
KUHP dalam kasus ini, Pengadilan Negeri pamekasan menyatakan
bahwa H. ACH. BAIDAWl, telah terbukti mealanggar pasal 263 ayat 1
dan ayat 2 KUHP, yakni melakukan tindak pidana sengaja
menggunakan surat palsu.
87
Sedangkan Pengadialan Tinggi Surabaya menyatakan bahwa H.
BAIDAWI tidak terbukti secara sah melanggar pasal 263 ayat 1 dan
ayat 2 KUHP.
b. Pengadilan Negeri Pamekasan menyatakan bahwa dalam pemalsuan
surat ini mendatangkan kerugian, baik itu materiil, kemasyarakatan,
kesusilaan, kehormatan dan sebagainya.
Berbeda dengan Pengadilan Tinggi Surabaya menyatakan bahwa
pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dalam unsur
dapat mendatangkan kerugian, pertimbangannya jelas kabur, karena
dalam perkara ini, Negara tidak mengalami kerugian, maayarakat
maupun pihak - pihak tidak mengalami kerugian baik kerugian materil,
kemasyarakatan kesusilaan maupun kehormatan dan unsur tersebut
tidak terbukti atau terpenuhi menurut hukum.
3. Menurut Islam tanah percaton masuk dalam kategori teori kepemilikan
yang tidak sempurna, yaitu kepemilikan seseorang hanya kepada benda
atau manfaatnya saja, sebab orang yang bersangkutan (kepala Desa) hanya
berhak atas manfaatnya saja. Sedangkan bendanya (tanah Percaton)
menjadi hak milik pemerintah.
4. Adapun resolusi Islam dalam kasus ini yaitu tentang mekanisme
penyelesaian yang ditempuh oleh kedua belah pihak di muka pengadilan
merupakan keputusan yang sesuai dengan mekanisme yang disedikan oleh
hukum Islam, yaitu menyelesaikan permasalahan di hadapan hakim
(qadhi), hal ini merupakan mekanisme yang tepat, yang mana Islam
88
memandang bahwa lebih cenderung terhadap pendapat Pengadilan Negeri
Pamekasan, yang peutusannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
dan realita masyarakat yang terjadi di lapangan.
B. Saran
1. Harus ada peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih jelas
tentang tanah Percaton (Bengkok) agar kasus-kasus yang banyak terjadi di
masyarakat tidak terulang kembali.
2. Sebaiknya tanah Percaton jangan diperbolehkan ditukar gulingkan, karena
dari sekian banyak kasus dalam masalah percaton berasal dari tukar
menukar tanah Percaton tersebut.
3. Harus ada sosialisasi dari pemerintah daerah, baik itu Bupati, Camat, lurah
dan Kepala Desa, tentang tanah Percaton di daerahnya masing-masing.
Karena kebanyaka masyarakat tidak mengetahui keberadaan tanah tersebut,
dan seperti apa tanah tersebut, dan lain sebagainya.
4. Pemerintah daerah harus peka dan memperhatikan terhadap aset-aset
daerah yang ada di daerahnya, agar tidak disalah gunakan, atua diperjual
belikan, atau menjadi aset pribadi seseorang
89
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004.
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.
Ali, Chaidir Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria. Bandung: Bina
Cipta, 1979.
Ali, Zainun. Metode Penelitian Hukum. jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010.
Alting, Husein. Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Tanah, Ternate: Lembaga Penerbitan Universitas
Khairun, 2010.
al-Baghdādī, Alī ibn ‘Umar ibn Abū al-Ḥasan al-Daruqutnī. Sunan al-Daruqutnī.
Bairut: Dār al-Ma‘rifah, 1386 H.
al-Baghawī, Abū Muḥammad ibn Husayn ibn Mas‘ūd. Ma‘ālim al-Tanzīl Tafsir
al-Baghawī. Beirut: Dār al-Ṭaybah li al-Nasr wa Tawzī‘, 1417 H.
al-Bayḥāqī, Abū Bakar Aḥmad ibn al-Ḥusayn ibn ‘Alī. Sunan al-Sughrā li al-
Bayḥāqī. Pakistan: Jamī‘ah al-Dirāsa al-Islāmī, 1410 H.
al-Bastī, Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abū Hatim al-Tamimī. Shahih Ibn
Hibban, Beirut; Muassasah al-Risalah, 1414 H.
al-Bukhārī, Muḥammad Abū ‘Abdullāh ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah.
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār Ṭawqun Najh, 1422 H.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengan dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVII. Jakarta: Mizan, 1994.
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. Merampas Tanah Rakyat. Jakaeta: Gramedia,
2001.
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
De Graaf, H.J dan TH. Pigeaud. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan
Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Grafiti, 2001.
90
Denys Lombard. Nusa Jawa: Kajian Sejarah Terpadu, Bagian II: Jaringan Asia.
Jakarta: Gramedia, 1996.
D. Meuko, Nurlis dan Adi Mawardi. Diakses dari: majalah.tempo.co/tragedi-
klebun-berebut-percaton, pada: senin 24 juli 2006.
al-Ghāzī, ‘Abdul Qādir. Bayān al-Ma‘ānī, Damask, mathba‘ah al-tarāqī, 1382 H.
Hamzah, Andi,. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan KUHAP, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2000.
Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Jakarta:
Universitas Tri Sakti, 2002.
Hayid, Muhammad Nur. http://news.detik.com-hakim-pt-jatim-dituding-sebagai-
pemicu-carok-massal,diakses padaJumat, 14/07/2006
https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura.
Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan. Kewenangan Pemerintah di
Bidang Pertanahan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persama, 2008.
Huub de Jonge. Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi: Studi Interdisipliner tentang
Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali Press, 1989.
_________. Madura dalam Empat Zaman, Jakarta: Gramedia, 1989.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2007.
al-jauzī, Sabath ibn al-jauzī. ītsār al-inshāf Fī ātsāri al-Khalāf, (Kairo, Dār al-
Salam, 1408 H.
Kansil dan Critine S. T. Kansil. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1986.
Khalāf, ‘Abd Wahhāb. ‘Ilm Ushūl al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da‘wah, 1411 H.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
91
Kuncoro, Edy. Peralihan Tanah Bengkok dan Akibat Hukumnya “studi Kasus
Putusan PN Boyolalinomor 51/Pdt.G/1999/PN.Bi”. (Tesis: Universitas
Diponegoro, 2010).
Kuntowijoyo. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura1850-1940.
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.
_________. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994.
Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan penelitian Hukum, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah, 2010.
al-Naysabūrī, Muslim ibn al-Hajjaj Abū al-Ḥusayn al-Qasyayrī. Ṣaḥīḥ Muslim.
Beirut: Dār al-Afāq al-Jadīdah, 1334 H.
Onthu, Muhammad. http://www.pamekasankab.go.id/content/sejarah-pamekasan.
diakses 18 Desember 2014.
Pangaribuan, Luhut MP. Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan
oleh Advocat, Jakarta: Djambatan, 2005.
Peragin, Effendi. Hukum Agraria di Indonesia: Telaah dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994.
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2006.
Ramelan, Eman. Keberadaan Tanah Bengkok atau Ganjaran dalam Perspektif
Hukum di Indonesia, Yuridika Volume 14, Maret-April 1999.
Ricklefs ,M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1995.
Rozaki, Abdur. Menabur Kharisma Menuai Kuasa Kiprah Kiai dan Blater
sebagai Rezim Kembar di Madura, cet. ke-1. Yogyakarta: Pustaka Marwa,
2004.
Sabiq, Sayid. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Salman, Otje. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: Alumni, 1989.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung;
Alfabeta, 2011.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
92
Sutedi, Adrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Suratman, dan Mustofa, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, Jakarta:
Sinar Grafika, 2013.
Syahroni, Ali. http://www.koranmadura.com/2014/09/16/kades-kuasai-aset-desa,
pada: 16 September 2014.
al-Thabrī, Muhammad ibn jarīr ibn yazīd Abū ja‘far. Jāmi‘u al-Bayān Fī Ta’wīl
al-Qur’an, Beirut; Muassasah al-Risalah, 1420 H.
Tim KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Undang-Undang No. 4 tahun 2007, tentang peraturan Menteri dalam Negeri
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Warassih, Esmi. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT.
Suryandaru Utama, 2005.
Wijaya, Latief. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.
Yogyakarta: LKiS, 2002.
al-Zuhaylī, Wahbah ibn Muṣṭfā. Tafsīr al-Munīr. Beirut: Dār al-Fikr, 1418 H.
__________. Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu. Beirut: Dār al-Fikr, 2005.