repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/mia...

158
i KEWENANGAN KPU DALAM MEMBATASI HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA KORUPSI DALAM PEMILU LEGISLATIF (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : MIA ARLITAWATI NIM : 11140480000061 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

Upload: vukhuong

Post on 26-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

i

KEWENANGAN KPU DALAM MEMBATASI HAK POLITIK MANTAN

NARAPIDANA KORUPSI DALAM PEMILU LEGISLATIF

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 terhadap

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

MIA ARLITAWATI

NIM : 11140480000061

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2018 M

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

v

ABSTRAK

Mia Arlitawati. NIM 11140480000061. KEWENANGAN KPU DALAM

PEMBATASAN HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA KORUPSI

DALAM PEMILU LEGISLATIF (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 46

P/HUM/2018 terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun

2018. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2018M/1440H. viii + 74

halaman + 75 lampiran

Masalah utama dalam penelitian ini adalah KPU sebagai lembaga

administratif penyelenggara pemilu melarang mantan narapidana korupsi untuk

mencalonkan diri sebagai calon legislatif, berdasarkan Pasal 4 Ayat (3) dan Pasal

11 Ayat (1) huruf d PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pembatasan hak politik

mantan narapidana korupsi. Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 J Ayat

(2) Undang-undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Pemilihan Umum,

Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Undang-

Undang Pemasyarakatan.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan

sumber bahan-bahan hukum primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan

studi kepustakaan melalui pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis,

dan pendekatan kasus.

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa Tugas dan kewenangan KPU hanya

untuk melaksanakan tahapan-tahapan pemilu sesuai dengan Peraturan Perundang-

Undangan yang berlaku. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum. PKPU Nomor 20 tahun 2018 bertentangan dengan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan KPU tidak

berwenang membatasi dan membuat norma baru terhadap hak politik mantan

narapidana korupsi dalam pemilu legislatif 2019. Adalah tepat dan mendukung

putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 yang mengabulkan

permohonan pemohon atas nama Jumanto dan membatalkan PKPU Nomor 20

Tahun 2018 Tentang larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif

tahun 2019.

Kata Kunci : KPU, Mantan Narapidana Korupsi, Pemilu Legislatif

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1985 sampai Tahun 2018

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan

rahmat-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “KEWENANGAN KPU DALAM

MEMBATASI HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA KORUPSI DALAM

PEMILU LEGISLATIF (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 46

P/HUM/2018 terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20

Tahun 2018)” dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa

kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini.

Hal ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan

bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan

segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. ketua Program Studi Ilmu Hukum

dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. pembimbing skripsi yang telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk peneliti.

4. Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti

mengadakan studi kepustakaan peneliti dalam penulisan skripsi ini.

5. Kepada pihak yang terkait yang peneliti tidak dapat sebutkan namanya satu

persatu. Tidak ada yang dapat peneliti berikan, dukungan dan semangat kalian

yang membuat peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini selain ucapan terima

kasih.

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

vii

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti maupun bagi para

pembaca khususnya di bidang hukum kelembagaan negara.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 27 November 2018

Peneliti

Mia Arlitawati

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................ ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................iv

ABSTRAK ........................................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ......................................................................................................vi

DAFTAR ISI ................................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .............................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 7

D. Metode Penelitian ................................................................................. 8

E. Sistematika Penelitian ......................................................................... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual .......................................................................... 13

B. Kerangka Teori .................................................................................... 22

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................................. 29

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KOMISI PEMILIHAN

UMUM

A. Sejarah terbentuknya Komisi Pemilihan Umum ................................. 31

B. Visi dan Misi ....................................................................................... 39

C. Hubungan Antara KPU dengan Bawaslu, Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu, dan Partai Politik ........................................... 40

D. Tugas dan Kewenangan Komisi Pemilihan Umum ............................. 46

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

ix

BAB IV KEWENANGAN KPU DALAM MEMBATASI HAK

POLITIK MANTAN NARAPIDANA KORUPSI DALAM

PEMILU LEGISLATIF

A. Kewenangan KPU dalam Menetapkan Peraturan KPU Nomor

20 Tahun 2018 .................................................................................... 48

B. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis terhadap Larangan

Mantan Narapidana Korupsi untuk Menjadi Bakal Calon

Anggota Legislatif .............................................................................. 49

C. Alasan Permohonan Pemohon ............................................................ 59

D. Pertimbangan Hakim .......................................................................... 61

E. Analisa Putusan Mahkamah Agung ................................................... 65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 69

B. Rekomendasi ........................................................................................ 69

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 70

LAMPIRAN

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 46 P/HUM/2018

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara hukum dan demokrasi merupakan mekanisme kekuasaan

dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua mekanisme tersebut

saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan, karena pada

satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan

berdasarkan prinsip kesamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi lain

negara hukum memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu

negara bukanlah manusia, tetapi hukum.

Di Indonesia, jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) telah

diatur di dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan,

dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya, kemudian pada Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menyatakan setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, demikian pula pada

Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara

berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Semuanya

itu merupakan bentuk dari perwujudan kedaulatan rakyat (Pasal 1 Ayat (2)).

Jaminan perlindungan hak-hak warga negara ini merupakan hakikat dari

UUD 1945.1

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu pesta demokrasi dalam

rangka mewujudkan kedaulatan rakyat, yang memberikan kesempatan kepada

seluruh warga negara untuk memilih pemimpin dan wakilnya secara

demokratis demi peningkatan kesejahteraan. Sebagai landasan bagi

penyelenggaraan Pemilu, Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan

agar Pemilu diselenggarakan lebih berkualitas dengan mengikutsertakan

1 Yeni Handayani, Hak Mantan Narapidana sebagai Pejabat Publik dalam Perspektif

Hak Asasi Manusia, Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, h. 2

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

2

partisipasi rakyat yang seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil melalui suatu ketetapan perundang-

undangan.

Perlu diketahui bahwa mengajukan diri sebagai peserta untuk dipilih

dalam Pemilu merupakan salah satu hak asasi manusia warga negara

Indonesia yang dijamin oleh negara dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan,

“setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan

umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”. Itu artinya, tidak dibenarkan bagi siapapun

untuk mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak dipilih dan memilih

warga negara Indonesia.

Pasal 70 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang HAM melanjutkan pengaturan tersebut dengan menyatakan bahwa

dalam menjalankan hak dan kewajiban setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dan segala hak serta

kebebasan yang diatur hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-

undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap

HAM serta kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan

kepentingan bangsa. Berdasarkan pengaturan tersebut maka pembatasan hak

politik untuk dipilih menjadi anggota legislatif bagi mantan terpidana korupsi

dapat dilakukan hanya dengan penerbitan Undang-Undang atau Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang jika dirasa terjadi keadaan genting

yang memaksa.2

Hukum positif hingga saat ini tidak melarang adanya mantan

narapidana mencalonkan diri dalam pemilu legislatif dan hanya pengadilanlah

yang mempunyai kewenangan untuk mencabut hak politik seseorang. Mantan

2https://akurat.co/id-237056-read-pembatasan-hak-dipilih-bagi-mantan-terpidana-korupsi-

dalam-perspektif-hukum-dan-ham, diakses pada tanggal 01 September 2018 Pukul 17.10 BBWI

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

3

narapidana korupsi mempunyai hak politik yang sama dengan warga negara

lain, karena merupakan suatu hak yang dijamin oleh konstitusi.

Pasal 240 Ayat 1 huruf g dalam Undang-Undang Pemilu menyatakan

bahwasannya, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa

hukuman selama lima tahun/lebih, boleh mencalonkan diri selama yang

bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada

publik, dan dalam hal ini kecuali mantan terpidana yang berulang-ulang,

kejahatan seksual dan bandar narkoba. Dengan demikian mantan narapidana

korupsi pun bisa mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Dalam

tingkatannya PKPU berada dibawah Undang-Undang, sehingga tidak boleh

bertentangan dengan isi Undang-Undang. Putusan MK Nomor 11-17 Tahun

2003, 14-17 Tahun 2007, Nomor 4 Tahun 2009, Nomor 42 Tahun 2015

terkait uji materi tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

(Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang Pileg) menyebut, terpidana

atau terdakwa masih boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah

selama tindak pidana yang ancaman hukumannya dibawah 5 tahun penjara.3

Berdasarkan Pasal 28J UUD 1945 disebutkan bahwa pembatasan hak

hanya boleh dilakukan dengan dua cara yaitu, melalui undang-undang dan

putusan pengadilan. Selama tidak ada undang-undang atau putusan

pengadilan yang mengatur maka hak seseorang tidak dapat dihilangkan. KPU

dalam hal ini tidak berwenang dalam membuat Undang-undang dan hanya

berwenang dalam pelaksana undang-undang.

Namun saat ini, KPU sebagai lembaga administratif penyelenggara

pemilu justru melarang adanya mantan narapidana korupsi untuk

mencalonkan diri sebagai calon legislatif, hal itu berdasarkan pada Pasal 4

Ayat 3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang menyatakan “Dalam seleksi bakal

calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2),

3 https://nasional.kompas.com/read/2018/06/05/10150891/langkah-kpu-larang-mantan-

napi-korupsi-jadi-caleg-terganjal-pemerintah?page=all diakses pada tanggal 01 September 2018

Pukul 14.59 BBWI

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

4

tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual

terhadap anak, dan korupsi.

Dalam prespektif Konstitusi, KPU mengabaikan Pasal 28J Ayat (2)

UUD 1945 bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang

wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang”,

pasal tersebut berlaku untuk semua kategori hak asasi manusia, artinya semua

hak asasi manusia dapat dibatasi asalkan pembatasan itu dengan undang-

undang, apalagi diperkuat “ruh” original intent pembentuk UUD 1945 bahwa

seluruh HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya

dapat dibatasi (derogable rights). Original intent pembentuk UUD 1945 yang

menyatakan bahwa HAM dapat dibatasi dengan Undang-Undang, juga

diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh

ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD

1945 tersebut.

Secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie) HAM yang

diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada

pembatasan yang diatur Pasal 28J UUD 1945. Dalam perspektif politik

hukum, Menteri Hukum dan HAM sempat menolak untuk mengundangkan

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 karena menyadari bahwa PKPU tidak boleh

memunculkan norma yang menghilangkan hak politik mantan terpidana

korupsi, disini kita dapat menarik kesimpulan bahwa Pemerintah sebagai

pemilik fungsi “legislasi terbatas” yang mengundangkan undang-undang

Nomor 7 Tahun 2017 tau betul bahwa PKPU sudah “melenceng” dari

tuntunan Undang-undang maupun Konstitusi.

Jika kita sandingkan bahwa kehadiran PKPU Nomor 20 Tahun 2018

justru menjadi polemik baru, munculnya Pasal 4 Ayat (3) menyatakan

“Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, (partai politik)

tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual

terhadap anak dan korupsi” artinya KPU akan menolak bagi partai politik

peserta pemilu yang menyertakan bakal calon dimana bakal calon tersebut

merupakan mantan terpidana korupsi. Frasa “...tidak menyertakan mantan

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

5

terpidana korupsi” membuktikan sebuah kalimat yang “mengunci” dan tidak

memberi ruang sehingga norma pasal 4 Ayat (3) tersebut menjadi norma yang

“absolut” membatasi dan menghilangkan hak politik mantan terpidana

korupsi.

Jadi sangat jelas bawa di satu sisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 memberikan norma yang “akomodatif” bagi mantan terpidana korupsi

untuk menjadi calon anggota legislatif sementara sisi lainnya justru kehadiran

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 memberikan norma yang mengunci (absolut)

dan tidak memberi ruang kepada mantan terpidana untuk menjadi calon

anggota legislatif, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (lex superior derogat legi inferior).

KPU harus menyadari bahwa kedudukan PKPU hanya sebatas pelaksana

yang diperintahkan undang-undang dimana perintah itu hanya dalam ruang

lingkup verifikasi yang termuat dalam Pasal 240 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 bukan justru menyaingi atau menambah norma baru sehingga

membuat kaburnya kepastian hukum pada norma undang-undang tersebut.4

Salah satu mantan terpidana korupsi yang bernama Jumanto

mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung dengan mendalilkan Pasal 4 Ayat

(3) dan Pasal 11 Ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20

Tahun 2018 yang mana hal tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan

Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum,

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Permasyarakatan. Karena adanya Peraturan tersebut menjadi mustahil bagi

Jumanto untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dikarenakan

pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pid.Sus/2010 tanggal 9

4https://riaureview.com/mobile/detailberita/2156/opini/kpu%E2%80%9Ctabrak%E2%80

%9Dhak-politik-mantan-napi-koruptor-sekaligus-%E2%80%9Clangkahi%E2%80%9D-uu-pemilu,

diakses pada tanggal 03 September 2018 Pukul 22.18 BBWI

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

6

Juni 2010 Jumanto dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana

korupsi.

Mahkamah Agung mengabulkan keberatan permohonan hak uji

materiil dari pemohon dan menyatakan Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1)

huruf d, dan Lampiran Model B.3 Peraturan KPU RI Nomor 20 Tahun 2018

Tentang Pencalonan Anggota Legislatif, sepanjang frasa mantan narapidana

korupsi bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih

tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dan menghukum

Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Satu Juta Rupiah.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sangat penting penelitian

ini dilakukan mengenai “KEWENANGAN KPU DALAM MEMBATASI

HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA KORUPSI DALAM PEMILU

LEGISLATIF (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018

terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun

2018)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, peneliti

mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :

a. Tugas dan Kewenangan KPU dalam penyelenggaraan pemilu, telah

melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Pemilu.

b. Larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif.

c. KPU bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, Undang-

Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Undang-

Undang Permasyarakatan.

d. Tidak terdapatnya kepastian hukum antara Undang-Undang Pemilu

dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018.

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas, maka

penelitian hanya akan fokus pada kewenangan KPU dalam membatasi

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

7

hak politik mantan narapidana korupsi dalam pencalonan anggota

legislatif.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, identifikasi, dan

pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan masalah utama yakni,

“Kewenangan KPU di dalam Membuat Peraturan KPU dan Membatasi

Hak Politik Mantan Narapidana Korupsi dalam Pencalonan Anggota

Legislatif berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 46

P/HUM/2018 terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018”?.

Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama di atas,

maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana kewenangan KPU dalam menyusun peraturan KPU

Nomor 20 Tahun 2018?

b. Apakah KPU berwenang membatasi hak politik mantan narapidana

korupsi dalam pemilu legislatif?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin peneliti capai dari penelitian skripsi ini

adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui kewenangan KPU dalam menyusun peraturan KPU

Nomor 20 Tahun 2018.

b. Untuk mengetahui kewenangan KPU dalam membatasi hak politik

mantan narapidana korupsi dalam pemilu legislatif

2. Manfaat Penelitian

Selanjutnya, manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini

antara lain adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis, penelitian ini memberikan tambahan dokumentasi

dari segi hukum dalam rangka khasanah dalam bidang ilmu

pengetahuan di bidang kelembagaan negara dan memberikan

gambaran tentang kewenangan KPU dalam membatasi mantan

narapidana korupsi untuk ikut serta dalam pemilihan calon anggota

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

8

legislatif berdasarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan putusan

mahkamah agung Nomor 46 P/HUM/2018.

b. Manfaat Praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi para akademisi

dan peradilan untuk melihat sisi dari produk hukum yang dikeluarkan

oleh KPU dalam membatasi hak narapidana korupsi sebagai calon

anggota legislatif berdasarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan

putusan mahkamah agung Nomor 46 P/HUM/2018.

c. Selain itu, juga sebagai bahan peneliti lanjutan bagi mahasiswa dan

peneliti yang akan meneliti lebih jauh tentang masalah tersebut.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun

skripsi ini, maka peneliti menggunakan metode :

1. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti ialah

menggunakan pendekatan yuridis-normatif, yang mana dalam hal ini

menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach).

Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu

juga digunakan pendekatan lain seperti pendekatan kasus dan konsep.5

2. Jenis penelitian

Penelitian hukum pada skripsi ini adalah penelitian kualitatif

dengan pendekatan hukum normatif. Jenis penelitian hukum normatif

adalah penelitian yang ditujukan untuk mengkaji kualitas dari norma

hukum itu sendiri. Penelitian hukum normatif juga bisa disebut sebagai

penelitian kepustakaan atau studi dokumen, doktriner, juga disebut

sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian

hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya

pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang

lain.

5 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi,

Cetakan Pertama, Malang: Bayumedia Publishing, 2005, h. 295

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

9

3. Data penelitian dan Sumber data

Pada penelitian normatif, data sekunder merupakan data pokok

atau utama yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-

buku literature maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan

objek penelitian. Menurut Soerjono dan Sri Mamudji, data sekunder

(bahan-bahan pustaka) terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan tersier.6

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dan

diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.7 Bahan

hukum primer yang digunakan oleh peneliti yaitu: Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Penyelenggara Pemilu, Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

Tentang Permasyarakatan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik), Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi Juncto Putusan Mahkamah Konstitusi

6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2004, h. 4

7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cet. 4, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2008, h. 141

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

10

Nomor 93/PUU-XV/2017, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 Tentang Hak Uji

Materiil, PKPU Nomor 20 Tahun 2018, serta peraturan hukum lain

yang berkaitan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang isinya membahas

bahan primer, contohnya seperti buku, artikel, laporan penelitian dan

berbagai karya tulis ilmiah lainnya.8

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.9

4. Metode dan teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif

dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier atau

bahan non-hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat

dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang

banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut dengan melalui

media internet.

5. Metode analisis data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode

penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan

adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.

Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan oleh peneliti untuk menentukan isi atau makna

8 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2013, h. 103

9 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed. 1, Cet. 1,

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 32

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

11

aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan

permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.10

6. Pedoman penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, peneliti merujuk pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian berisi deskripsi isi skripsi bab per bab. Uraian

dibuat dalam bentuk esai yang menggambarkan alur logis dan struktur dari

bangun bahasan skripsi. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab

serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Meliputi latar belakang masalah, identifikasi,

pembatasan, dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penelitian.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Menjelaskan kerangka konsepsi KPU, pembatasan

hak politik, mantan narapidana, korupsi, pemilu

legislatif, dan teori-teori kewenangan, pemisahan

kekuasaan, prinsip supremasi hukum, kekuasaan,

negara hukum, demokrasi dan membahas review

studi terdahulu untuk mendeskripsikan hasil

penelusuran peneliti terhadap studi atau penelitian

terdahulu yang serumpun, terutama yang inti

bahasannya mirip dengan fokus penelitian yang

dilakukan peneliti.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KOMISI

PEMILIHAN UMUM

10

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, editor, Leny Wulandari, Ed. 1 Cet. 2,

Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 107

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

12

Menjelaskan Sejarah terbentuknya KPU, Visi dan

Misi, Hubungan Antara KPU dengan Bawaslu

DKPP, dan Partai Politik, serta Tugas dan

Kewenangan KPU.

BAB IV KEWENANGAN KPU DALAM MEMBATASI

HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA

KORUPSI DALAM PEMILU LEGISLATIF

Menjelaskan mengenai kewenangan KPU dalam

menyusun peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018,

landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis terhadap

larangan mantan narapidana korupsi untuk menjadi

bakal calon anggota legislatif, dan analisis putusan

mahkamah agung terhadap hak uji materiil Nomor

46 P/HUM/2018

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini merupakan penutup. Peneliti

menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang

peneliti lakukan sekaligus menjawab rumusan

masalah yang peneliti gunakan dalam bab. Uraian

terakhir adalah rekomendasi yaitu untuk dilakukan

penelitian lanjutan atau penelitian lainnya yang

lebih terfokus pada inti masalah yang tidak menjadi

fokus penelitian yang telah dikerjakan.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan judul penelitian ini

dan sebagai pijakan penulis dalam penelitian ini serta untuk membantu

penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka penulis menyediakan

konsep-konsep sebagai berikut :

1. Komisi Pemilihan Umum

KPU merupakan lembaga negara yang independen yang diatur

dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 sebagai organ yang nasional, tetap, dan

mandiri. Sebagai lembaga negara yang independen, KPU dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya tidak berada dibawah pengaruh

DPR dan Pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, tugas dan kewenangan KPU adalah

menyusun dan menetapkan pedoman teknis tahapan pemilihan yang

kemudian dikonsultasikan oleh DPR dan Pemerintah untuk pemilihan

gubernur, bupati, dan walikota.

Kemandirian KPU mengharuskan lembaga ini mampu mengelola

sendiri penyelenggaraan pemilu secara profesional dan bertanggung

jawab tanpa adanya campur tangan kekuasaan baik dari eksekutif,

legislatif maupun yudikatif dan bukan juga merupakan cabang kekuasaan

dari ketiga lembaga tersebut. Dengan kedudukan tersebut, KPU termasuk

ke dalam kategori lembaga independen yang berada di luar struktur

cabang-cabang kekuasaan dalam negara atau di Indonesia dikenal dengan

istilah Lembaga Non Struktural.

Menurut Jimly Asshidiqie, KPU merupakan lembaga negara yang

menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia, yaitu Pemilu Umum

Anggota DPR/DPD/DPRD, Pemilihan Umum Presiden/Wapres, dan

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Komisi

Pemilihan Umum dalam kedudukannya tidak dapat disejajarkan

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

14

kedudukannya dengan lembaga negara lainnya yang kewenangannya

sudah ditentukan oleh UUD 1945.1

KPU menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilu adalah pelaksana dan sekaligus pengawas pelaksanaan pemilu.

Seharusnya KPU adalah penyelenggara yang mana dalam konsep

penyelenggaraan itu tercakup pengertian dan pengawasan. Karena itu,

KPU sebagai penyelenggara cukup menjalakan fungsi sebagai policy

maker dan regulator. Sedangkan untuk pelaksanaan pemilu KPU

membentuk Panitia Pelaksana Pemilu, dan untuk pengawasan oleh KPU

dapat dibentuk Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Baik panitia

pelaksana pemilu maupun panitia pengawas pemilu bersifat ad hoc,

dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada KPU, serta anggota-anggota

dan pimpinannya diangkat dan diberhentikan oleh KPU.

Keberadaan KPU dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut

konsep pembagian kekuasaan adalah berperan sebagai lembaga

penunjang dari kekuasaan eksekutif yaitu membantu Presiden dalam

menyelenggarakan pemilu. Sedangkan jika dikaitkan dengan fungsi

legislatif pada saat pertama kali, ternyata Komisi Pemilihan Umum

diberikan kewenangan oleh legislatif mengenai tata cara pemilihan

umum, akan tetapi karena takut akan terjadi kecurangan akhirnya

kewenangan tersebut diambil alih oleh DPR, sampai saat ini Komisi

Pemilihan Umum masih mempunyai kewajiban untuk merumuskan Kode

Etik Pelaksana Pemilu yang mengikat dalam internal KPU saja. Komisi

Pemilihan Umum tidak mempunyai kewenangan di bidang yudikatif,

tetapi dapat menjadi termohon terhadap perselisihan hasil pemilu di

Mahkamah Konstitusi.2

1 Andik Abdul Rahman, Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam

Pemilihan Anggota Legislatif Kota Balikpapan Periode 2014-2019, eJournal Ilmu Pemerintahan,

Vol. 5, No. 3, 2017, h. 1234-1235

2 Oktino Setyo Irawan, Analisis Kedudukan Komisi Pemilihan Umum sebagai Lembaga

Independen dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Dinamika Hukum, Vol. 1, No. 2, Februari

2011, h. 87

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

15

2. Pembatasan Hak Politik

Pembatasan hak politik bagi mantan terpidana korupsi untuk

dipilih dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) belakangan makin

hangat menjadi perbincangan publik pasca Komisi Pemilihan Umum

(KPU) membuat rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)

yang mengatur ketentuan bagi mantan terpidana korupsi tidak dapat

mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam pemilu tahun 2019.

PKPU tersebut mengundang kontroversi dan memancing banyak kalangan

untuk berkomentar sekaligus berdebat, baik dari kalangan politisi,

akademisi hingga masyarakat awam.

Pembatasan hak politik untuk dipilih bagi mantan terpidana

korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dipandang sebagai pembatasan

terhadap HAM, melainkan aturan tersebut harus dipandang secara integral

dengan upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dalam konteks itu maka KPU dapat mengambil langkah progresif

melakukan terobosan hukum dengan mengatur pembatasan hak politik

bagi mantan terpidana korupsi untuk dipilih menjadi anggota legislatif

dalam Pemilu melalui PKPU.3

3. Mantan Narapidana

Banyak pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat, baik

pelanggaran hukum adat maupun hukum negara. Setiap pelanggaran

tersebut mempunyai konsekuensi berupa sanksi. Pelaku akan dikenakan

sanksi sesuai dengan perbuatannya. Dalam hukum negara, pelaku bagi

pelanggar hukum akan menerima sanksi atau hukuman setelah adanya

putusan hakim.

Menurut Yudobusono, menyatakan bahwa mantan narapidana

adalah orang yang pernah membuat pelanggaran norma-norma hukum

yang berlaku di masyarakat dan telah selesai menjalani hukuman yang

3 https://akurat.co/news/id-237056-read-pembatasan-hak-dipilih-bagi-mantan-terpidana-

korupsi-dalam-perspektif-hukum-dan-ham?catId=2, diakses pada tanggal 28 September 2018, Jam

19.00 BBWI

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

16

dijatuhkan kepadanya. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, terpidana merupakan

seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, dan narapidana adalah terpidana yang

menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga permasyarakatan.4

4. Korupsi

Korupsi merupakan tingkah laku yang menyimpang yang

dilakukan oleh pejabat negara atau para penguasa dikarenakan status dan

jabatan yang diperoleh. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi, yang dimaksud oleh korupsi adalah secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Korupsi di Indonesia merupakan masalah terbesar yang sampai

sekarang belum terselesaikan dengan tuntas oleh bangsa ini. Korupsi

dalam pengertian Islam ialah menyuap dalam bentuk kecurangan dan

penipuan.5 Ciri-ciri daripada korupsi yakni : pertama, dalam korupsi

melibatkan lebih dari satu orang; kedua, korupsi pada umumnya

melibatkan keserbarahasiaan; ketiga, korupsi melibatkan elemen

kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selamanya dalam

bentuk uang; keempat, mereka yang terlibat dalam korupsi selalu berusaha

untuk menyembunyikan perbuatannya dengan berlindung di balik

pembenaran hukum; kelima, mereka yang terlibat dalam korupsi adalah

mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka

yang mampu mempengaruhi keputusan-keputusan itu; keenam, setiap

tindakan korupsi mengundang penipuan yang dilakukan terhadap badan

4 Dewi Fortuna DM, Analisis Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.

04/PUU-VII/2009 tentang Pencalonan Mantan Narapidana sebagai Anggota Legislatif, (Skripsi

S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017, h. 37

5 Fazzan, Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Jurnal Ilmiah

Islam Futura, Vol. 14, No. 2, Februari 2015, h. 147-150

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

17

publik atau masyarakat umum; ketujuh, setiap bentuk korupsi adalah

penghianatan kepercayaan; kedelapan, setiap bentuk korupsi melibatkan

fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan perbuatan itu;

kesembilan, suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan

pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.6

Dalam perkembangannya, hal yang berkaitan dengan korupsi tidak

saja menyangkut persoalan keuangan, melainkan meliputi ke ranah

gratifikasi dan nepotisme. Pada umumnya, gratifikasi berkaitan dengan

persoalan benda-benda berharga, termasuk wanita. Sedangkan nepotisme

sering kali berkaitan dengan hal keluarga atau kelompok dalam urusan

publik. Disini, terdapat perbedaan antara pencurian dengan korupsi, antara

lain:

a. Jika pencurian dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi,

namun jika korupsi dapat dilakukan dengan cara terang-

terangan;

b. Pencurian tidak selalu berkaitan dengan amanat pemilik harta

kepada si pencuri, sedangkan korupsi pasti berkaitan erat dengan

kepercayaan publik;

c. Harta yang dicuri pada umumnya merupakan harta yang berada

di bawah kekuasaan orang lain, sedangkan korupsi, harta yang

dikorupsi pada umumnya berada dibawah kekuasaan si koruptor

tersebut;

d. Harta yang dicuri bisa jadi harta pribadi ataupun harta publik,

sedangkan harta yang dikorupsi pastilah harta publik.7

Faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain : tidak

optimalnya perwujudan Negara hukum yang dapat mengakibatkan

terjadinya potensi koruptif karena tidak adanya kontrol yang memadai

6 M. Darin Arif Mu’allifin, Problematika dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia,

Ahkam, Vol. 3, No. 2, November 2015, h. 316

7 A. Malthuf Siroj, Korupsi dalam Perspektif Hukum Islam dan Strategi

Pemberantasannya, al-ahkam, Vol. 11, No. 2, Desember 2016, h. 296-298

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

18

terhadap kekuasaan, dampaknya tidak hanya menyangkut sebagian

masyarakat dalam kurun waktu yang relatif lama, tetapi berpotensi

merampas hak-hak dalam hal sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat

banyak, adanya pelanggaran hak asasi manusia yang menyangkut dalam

hal sipil dan politik, sosial, ekonomi, serta budaya.8

Akibat korupsi adalah ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat tidak

mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak

mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing,

ketidakstabilan politik, pembatasan kebijaksanaan pemerintah dan tidak

represif. Salah satu diantaranya dengan pembentukan Komisi Pemeriksa

Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) melalui Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

KKN dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara

(KPKPN) dan selanjutnya pada era sekarang telah hadir lembaga anti

rasuah yang baru yang tugas dan wewenangnya diberikan sesuai Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam Undang-undang tersebut, KPK diberikan kewenangan penyadapan

tanpa meminta izin langsung oleh kepolisian negara republik indonesia,

kejaksaan dan Mahkamah Agung.9

Adanya korupsi yang sangat luar biasa ini tentu akan menghambat

keberlangsungan pembangunan di Indonesia. Tindak Pidana Korupsi

sebagai perilaku extra ordinary crime yang mengancam cita-cita negara

yang memerlukan penanganan hukum secara lebih lanjut dan serius,

korupsi sudah melanda masyarakat indonesia dan sudah memasuki semua

kalangan, seperti sudah tidak ada rasa takut, malu serta dosa bagi mereka

yang melakukan kejahatan tindak pidana korupsi.

8 Bambang Widjojanto, Negara Hukum, Korupsi, dan Hak Asasi Manusia : Suatu Kajian

Awal, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3, No. 1, 2012, h. 35

9 Suherry, Politik Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.

7, No. 1, April 2017, h. 52

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

19

5. Pemilu Legislatif

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 disebutkan bahwa

tujuan pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah serta

untuk membentuk pemerintah yang demokratis, kuat, dan memperoleh

dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana

diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945.

Pemilu dalam ranah reformasi tentu berbeda dengan pemilu-pemilu

pada masa Orde Baru. Oleh karena itu, untuk menjamin terselenggaranya

Pemilu yang demokratis haruslah memenuhi beberapa parameter, yakni:

Pertama, pemilu harus diselenggarakan secara demokratis, sehingga

memberi peluang bagi semua partai dan caleg yang terlibat untuk

berkompetensi secara fair dan jujur. Kedua, pemilu haruslah menciptakan

anggota legislatif yang lebih berkualitas, mandiri, dan memiliki

akuntabilitas yang tinggi. Ketiga, derajat keterwakilan. Anggota

MPR/DPR yang dibentuk haruslah memiliki keseimbangan perwakilan,

baik antara wakil masyarakat Jawa ataupun luar Jawa. Keempat, pemilu

harus bersifat menyeluruh. Kelima, pelaksanaan pemilu haruslah bersifat

praktis dan dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat.10

Tata cara menjadi wakil rakyat yang modern adalah melalui

pemilihan umum, karena cara ini memberikan peluang yang sama kepada

setiap orang untuk menjadi wakil rakyat di pemerintahan. Melalui

pemilihan umum akan terseleksi wakil rakyat yang terpercaya dan

mempunyai kemampuan menjadi wakil. Cara jadi wakil melalui

pengangkatan atau penunjukkan bertujuan untuk terciptanya perwakilan

seluruh kelompok kepentingan yang belum terwakili melalui pemilihan

umum sehingga DPR benar-benar mencerminkan representasi dari

pluralitas kekuatan masyarakat. Namun, menurut Kantaprawira, cara

menjadi wakil melalui pengangkatan atau penunjukkan dapat diterima

sebagai upaya penyempurnaan dari kelemahan kedua sistem pemilihan

10

Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kesatu, (Bandung :

PT. Refika Aditama, 2011), h. 282

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

20

umum yakni adanya distorsi opini yang meliputi diskrepansi antara

kekuatan partai dalam masyarakat dengan kekuatan kelompok masyarakat

dalam parlemen.

Keanggotaan Lembaga Perwakilan yang dipilih melalui pemilu,

maka sifat perwakilannya disebut perwakilan politik (Political

Representation). Hal ini merupakan perwujudan asas kedaulatan rakyat

yang secara implisit menjiwai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia merupakan negara

yang menjunjung demokrasi sehingga dalam menentukan pemerintah baik

itu anggota legislatif ataupun Presiden akan lewat cara Pemilihan Umum

dan Pemilihan Legislatif. Pemilihan legislatif adalah pemilihan umum

anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah

(DPD), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang nantinya

akan bertugas menjadi anggota lembaga legislatif. Pemilihan legislatif

diadakan setiap 5 tahun sekali.

Pemilihan legislatif sendiri di Indonesia telah dilakukan sebanyak 3

kali yaitu pada tahun 1999, 2004, 2009 dan yang keempat akan terjadi

pada tahun ini dan pemilihan ini akan memutuskan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah untuk 33 provinsi dan 497 kota. Untuk anggota

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri akan dipilih 560 anggota yang

diambil dari 77 daerah pemilihan bermajemuk yang dipilih dengan cara

sistem proporsional terbuka. Nantinya tiap pemilih di pemilu legislatif

akan mendapatkan satu surat suara yang bertujuan untuk memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Di kertas suara tersebut akan ada berbagai partai politik serta calon

anggota legislatif yang mencalonkan diri di daerah dimana tempat pemilih

tersebut berada. Cara memilihnya adalah dengan mencoblos satu lubang

pada gambar calon anggota legislatif yang dipilih atau di gambar partai

politik yang anda pilih. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempunyai 132

anggota, 132 anggota tersebut merupakan 4 perwakilan dari setiap provinsi

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

21

yang ada di Indonesia. Sistem memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah

memakai sistem Single Non Tranferable Vote.

Saat pemilu legislatif pemilih akan diberi satu surat yang berisi

semua calon independent yang telah mencalonkan diri di provinsi di mana

pemilih tersebut berada. Cara memilihnya dengan mencoblos satu lubang

pada nama calon anggota legislatif yang sudah anda pilih. Nantinya 4

nama kandidat yang mengumpulkan suara terbanyak di tiap provinsi akan

secara otomatis terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah

(DPD). Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

akan dipilih di 33 provinsi yang setiap provinsi akan mempunyai 35-100

anggota, jumlah anggota disesuaikan dengan berapa banyak penduduk

yang ada di provinsi tersebut.

Tentunya dalam memilih anggota DPR, DPD, DPRD dalam pemilu

legislatif kalian harus memilih calon anggota legislatif yang memenuhi

kriteria pemimpin yang baik agar negara Indonesia dipimpin oleh orang-

orang yang memang benar mau memajukan bangsa Indonesia. Negara

Indonesia dalam pemilihan legislatif memakai sistem multi partai.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 mewajibkan masing-masing partai

politik mengikuti proses pendaftaran yang mana nanti akan diverifikasi

oleh KPU bila ingin mengikuti pemilihan umum.

Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia termasuk

pemilihan legislatif baik itu bersifat nasional merupakan tanggung jawab

dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2011. Selain Komisi Pemilihan Umum (KPU)

lembaga yang bertanggung jawab akan berlangsungnya pemilihan umum

adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu) adalah lembaga yang mempunyai tugas untuk mengawasi

Pemilu termasuk Pemilihan Legislatif agar berjalan dengan benar. Selain

KPU dan Bawaslu, ada pula lembaga yang dikenal dengan nama Dewan

Kerhomatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP mempunyai tugas

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

22

untuk memeriksa gugatan atau laporan atas tuduhan pelanggarana kode

etik yang dilakukan oleh anggota KPU atau Bawaslu.11

B. Kerangka Teori

Kerangka teoritik adalah konsepsi-konsepsi, teori-teori, pandangan-

pandangan, penemuan-penemuan yang relevan dengan pokok permasalahan.

Adapun teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Teori Kewenangan

Dalam literatur hukum administrasi dijelaskan, bahwa istilah

wewenang sering kali disamakan dengan istilah kekuasaan. Padahal, istilah

kekuasaan tidaklah identik dengan istilah wewenang. Kata “wewenang”

berasal dari kata “authority” (Inggris) dan “gezag” (Belanda). Adapun,

istilah kekuasaan berasal dari kata “power” (Inggris) dan “macht”

(Belanda). Dari kedua istilah ini, jelas terdapat perbedaan makna dan

pengertian sehingga dalam penempatan istilah ini haruslah dilakukan

secara cermat dan hati-hati. Dalam konsep hukum tata negara dan hukum

administrasi keberadaan wewenang pemerintahan memiliki kedudukan

sangat penting.

Kewenangan merupakan kekuasaan formal (formal power) yang

dianggap mempunyai suatu wewenang (authority) sehingga berhak untuk

mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturannya dan

merupakan kekuasaan formal yang lahir dari hukum publik, yang

memberikan dasar untuk melakukan perbuatan publik. Bagi pemerintah,

dasar untuk melakukan perbuatan hukum publik ialah dengan adanya

kewenangan yang berkaitan dengan jabatan (ambt). Jabatan ada 3 (tiga)

sumber yaitu : atribusi, delegasi, dan mandat yang akan melahirkan

kewenangan (bevoegdheid, legal power, competence).

Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan.

Dalam tinjauan Hukum Tata Negara, atribusi ditunjukkan dalam

11

http://repository.unpas.ac.id/13193/5/BAB%20II.pdf, diakses pada tanggal 05

September pukul 17.41 BBWI

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

23

wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan

pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang ditunjuk oleh pembuat

undang-undang. Kewenangan atribusi menunjukkan pada kewenangan asli

atas dasar konstitusi. Kewenangan atribusi hanya dimiliki oleh DPR,

Presiden, dan DPD dalam hal pembentukan undang-undang. Hasil produk

dari ketiga lembaga Negara tersebut adalah undang-undang. Oleh karena

itu, materi yang diatur dalam undang-undang hanya terbatas pada hal-hal

yang bersifat umum saja, maka diperlukan bentuk-bentuk peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah (subordinate legislation) sebagai

peraturan pelaksana undang-undang yang bersangkutan.

Pemberian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai

teknis atau pelaksana dari undang-undang disebut dengan pemberian

kewenangan delegasi. Proses pendelegasian kewenangan regulasi atau

legislasi inilah yang disebut sebagai pendelegasian kewenangan legislative

atau “legislative delegation of rule making power”. Pengaturan

pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dengan 3 alternatif syarat,

yakni:

a. Adanya perintah yang tegas mengenai subjek lembaga pelaksana yang

diberi delegasi kewenangan dan bentuk peraturan pelaksana untuk

menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;

b. Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana

untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau

c. Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari

undang-undang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada

lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk

peraturan yang mendapat delegasi.12

Kewenangan mandat adalah pemberian, pelimpahan, ataupun

pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain

untuk mengambil keputusan atas tanggung jawab sendiri. Apabila

12

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006), h. 148-

149

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

24

kewenangan yang dilimpahkan atau didelegasikan tersebut merupakan

kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan (the

power of rule-making atau law-making), maka pendelegasian kewenangan

tersebut akan mengakibatkan peralihan kewenangan untuk membentuk

undang-undang sebagaimana mestinya.

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada

(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang

sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan

didukung oleh adanya sumber kewenangan tersebut. Stroink menyatakan

sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi)

pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan

organ (institusi) pemerintah merupakan suatu kewenangan yang dikuatkan

oleh adanya hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya.

Tanpa kewenangan tidak bisa dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang

benar.13

Menurut P. Nicolao, wewenang merupakan kemampuan untuk

melakukan suatu tindakan atau suatu perbuatan hukum tertentu, yakni

adanya tindakan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk menimbulkan

akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat

hukum (het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechshandelingen is

handelingen die op rechtsgevolg gerich zijn en dus ertoe strekken dat

bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Sementara itu, Menurut

Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidaklah sama dengan

kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau

tidak berbuat.

Secara yuridis, pengertian wewenang merupakan kemampuan yang

diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan

suatu akibat hukum. Menurut H.D. Stoud, wewenang dapat dijelaskan

13

Abrori, Keabsahan Penggunaan Kewenangan Kebebasan Bertindak bagi Pemerintah

(Diskresi) : Studi Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan, Jurnal Ilmiah Wawasan Insan Akademik, Vol. 1, No. 1, Mei 2016, h. 7

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

25

sebagai suatu keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

penggunaan suatu wewenang pemerintah oleh adanya subjek hukum

dalam hukum publik.

Dalam praktiknya, keseluruhan pelaksanaan dari wewenang

pemerintahan itu dilakukan atau dilaksanakan oleh pemerintah. Tanpa

adanya wewenang pemerintahan, maka tentunya pemerintah tidak akan

dapat melakukan suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan. Dengan

kata lain, pemerintah tidak akan mungkin melakukan suatu tindakan atau

perbuatan berupa pengambilan suatu keputusan atau kebijakan tanpa

dilandasi atau disertai dengan wewenang pemerintahan. Jika hal tersebut

dilakukan, maka tindakan atau perbuatan pemerintah yang dimaksud dapat

dikategorikan sebagai sebuah tindakan atau perbuatan yang tanpa dasar

alias perbuatan yang sewenang-wenang (cacat hukum). Oleh karena itu,

sifat dari wewenang pemerintahan perlu ditetapkan dan ditegaskan agar

tidak terjadi penyalahgunaan wewenang pemerintahan dan/atau tindakan

atau perbuatan yang sewenang-wenang.14

Keabsahan suatu wewenang mencakup 3 (tiga aspek) yaitu

wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur, maupun

substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, karena pada

peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan

diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, prosedur yang harus

dilaksanakan, hingga menyangkut substansi dari wewenang tersebut.15

2. Negara Hukum

Negara hukum (rechtsstaat atau the rule of law) merupakan

perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan

yang bebas dan tidak memihak serta menjamin hak asasi manusia. Secara

14

Andi Izman Maulana Padjalangi, Efektivitas Hubungan Kewenangan Antara

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Kabupaten Bone di Bidang Pekerjaan

Umum, Skripsi S1, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, 2015, h. 18

15 Andi Dzul Ikhram Nur, Tinjauan Hukum Administrasi terhadap Penyalahgunaan

Kewenangan dalam Tindak Pidana Korupsi, Skripsi S1, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin

Makassar, 2015, h. 32

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

26

garis besar, ciri-ciri dari negara hukum yaitu: a. adanya perlindungan

terhadap hak asasi manusia; b. Adanya pemisahan dan pembagian

kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin perlindungan hak asasi

manusia; c. pemerintahan berdasarkan peraturan; d. adanya peradilan

administrasi; e. supremasi hukum; f. persamaan kedudukan didepan

hukum (equality before the law).

Menurut Moh. Mahfud MD, ciri-ciri negara hukum adalah a.

adanya perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak

individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk

memperoleh atas hak-hak yang dijamin (due process of law); b. adanya

badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; c. pemilu yang bebas; d.

kebebasan menyatakan pendapat; e. kebebasan berserikat dan beroposisi;

f. pendidikan kewarganegaraan.16

Negara hukum bermaksud membatasi kekuasaan dalam hal ini

penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas

dan menelantarkan rakyatnya. Negara hukum meletakkan persamaan

dihadapan hukum, memberikan perlindungan hak asasi manusia (rakyat),

beserta peradilan jujur dan adil. Menurut Prof. Philipus M. Hadjon, negara

hukum pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan

hukum kepada semua rakyat, bahwa dalam perlindungan hukum ini

dilandasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip

negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia

mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tempat tujuan

daripada hukum, sebaliknya dalam negara totaliter tidak ada tempat bagi

hak asasi manusia.

Dalam negara hukum, hukum ditempatkan sebagai aturan main

dalam penyelenggaraan pemerintahan; dan kemasyarakatan, sementara

tujuan hukum itu sendiri antara lain diletakkan untuk menata masyarakat

16

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) :

Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi, (Ciputat: ICCE UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), h. 144

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

27

yang damai, adil dan bermakna. Artinya sasaran dari negara hukum adalah

terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan yang

bertumpu pada keadilan, kedamaian, dan kemanfaatan atau kebermaknaan.

Dalam negara hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrumen

dalam menata kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan.17

Perkembangan prinsip-prinsip negara hukum dipengaruhi oleh

semakin kuatnya paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam

kehidupan bernegara. Prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi

dijalankan secara beriringan, paham negara hukum disebut juga dengan

negara hukum yang demokratis. Hukum dibangun dan ditegakkan menurut

prinsip-prinsip demokrasi dan hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan,

ditafsirkan berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat). Sebaliknya,

demokrasi harus diatur berdasarkan hukum.

Kompleksitas negara hukum yang demokratik terimbangi jika

adanya pembagian kekuasaan, karena kecenderungan adanya sentralisasi

kekuasaan dalam satu tangan. Dikhawatirkan terjadi pemusatan

kekuasaan, munculnya distingsi-distingsi sosial dengan adanya

penyelewengan kekuasaan (abuse of power) dan pentakrifannya bukan

konsepsi negara hukum demokratik lagi, tetapi negara dengan sistem

kekuasaan absolutely.18

Dalam hal ini, Hamdan Zoelva menyatakan pembatasan terhadap

kebebasan pemerintahan merupakan prinsip utama dalam negara hukum.

Kekuasaan pemerintah yang terbatas merupakan konsekuensi logis dari

kedaulatan rakyat. Artinya, kekuasaan negara dan penyelenggara tersebut

harus berpijak kepada prinsip kedaulatan rakyat yang dimanifestasikan

17

Abustan, Eksistensi Indonesia sebagai Negara Hukum Demokrasi, Sebuah Telaah

Kritis, Justicia Sains, Vol. 2, No. 2, Desember 2017, h. 117

18 Syamsuddin Radjab, Negara Hukum Demokratis : Konstitusionalisme, Rule of Law dan

HAM, Sulesana, Vol. 8, No. 2, 2013, h. 96

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

28

kepada perlindungan hukum melalui undang-undang yang akan menjadi

pedoman bagi pemerintah dalam bertindak.19

Muhammad Tahir Azhary, menyatakan bahwa nomokrasi Islam

adalah suatu negara yang memiliki prinsip-prinsip umum, yaitu: a. prinsip

kekuasaan sebagai amanah; b. prinsip musyawarah; c. prinsip keadilan; d.

prinsip kesamaan; e. prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak asasi

manusia; f. prinsip peradilan bebas; g. prinsip perdamaian; h. prinsip

kesejahteraan; dan i. prinsip ketaatan rakyat. Negara Hukum Pancasila

memiliki banyak persamaan dengan nomokrasi Islam dalam hal prinsip-

prinsip umum sebagai sebuah negara hukum. Prinsip-prinsip umum dalam

nomokrasi Islam di Indonesia diimplementasikan dalam Undang-Undang

Dasar Negara 1945.20

Keberadaan suatu negara hukum memungkinkan untuk

memberikan rasa keadilan kepada masyarakatnya secara universal dengan

prinsip-prinsip hukum demokrasi, sehingga keberadaan masyarakat dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara secara otomatis memberikan konsepsi

pembelajaran dan pendidikan terhadap ketaatan hukum yang diharapkan

karena adanya suatu hukum. Tanpa adanya kesadaran dan pengetahuan

tentang hukum yang dimaksud oleh masyarakatnya secara tidak langsung

akan membebani negara itu sendiri sebagai penyelenggara negara terhadap

hukum dan masyarakat sebagai pihak yang seharusnya taat terhadap

hukum. Mekanisme kelembagaan negara hukum juga harus mampu

melindungi hak warga negaranya dari ketidakadilan dengan prinsip

kemanusiaan dan saling menghormati terhadap keberlangsungan hukum

yang ada. Hal itu menjadi satu kesatuan dalam sistem hukum dengan

otoritas penegak hukum. Lembaga kehakiman yang secara bebas dan taat

19

Adam Muhshi, Teologi Konstitusi : Hukum Hak Asasi Manusia atas Kebebasan

Beragama di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: PT. Lkis Printing Cemerlang, 2015), h. 17

20 Yusuf Faisal Ali, Konsep Negara Hukum dalam Islam dan Relevansinya di Indonesia,

Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. 1, No. 2, Agustus 2014, h. 109

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

29

akan asas keadilan untuk memberikan pengendalian terhadap keberadaan

hukum negara sebagai negara hukum.

Menurut Sudargo Gautama, negara hukum memiliki ciri-ciri,

antara lain: a. terdapat pembatasan kekuatan Negara terhadap perorangan,

artinya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakannya

dibatasi oleh adanya hukum, dan individu mempunyai hak terhadap

penguasa; b. asas legalitas, artinya setiap tindakan harus berdasarkan atas

hukum yang kemudian harus ditaati oleh pemeritah ataupun aparaturnya;

c. adanya pemisahan kekuasaan.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam menjaga keaslian judul yang peneliti ajukan dalam skripsi ini

perlu kiranya peneliti melampirkan juga beberapa rujukan untuk menjadi

bahan pertimbangan, antara lain :

1. Nama : Dewi Fortuna DM21

Institusi : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Tahun : 2017

Judul : Analisis Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tentang Pencalonan

Mantan Narapidana sebagai Anggota Legislatif

Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama membahas

mengenai pencalonan mantan narapidana sebagai anggota legislatif,

sedangkan dari sisi perbedaannya adalah, jika skripsi ini membahas

mengenai analisis fiqh siyasah berdasarkan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, sedangkan peneliti membahas

mengenai kewenangan KPU dalam membatasi hak politik mantan

narapidana korupsi dalam pemilu legislatif.

2. Nama : Akhmad Nikhrawi Hamdie22

21

Dewi Fortuna DM, Analisis Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 4/PUU-VII/2009 tentang Pencalonan Mantan Narapidana sebagai Anggota Legislatif,

Skripsi S1, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017

22 Akhmad Nikhrawi Hamdie, Hak Eks Narapidana menjadi Anggota Legislatif ditinjau

dari Hak Asasi Manusia, As Siyasah, Vol. 1, No. 1, 2016

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

30

Judul : Hak Eks Narapidana menjadi Anggota Legislatif ditinjau

dari Hak Asasi Manusia

Persamaan Jurnal dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti

adalah sama-sama membahas mengenai hak eks narapidana menjadi

anggota legislatif, sedangkan dari sisi perbedaannya adalah jika jurnal ini

membahas hak eks narapidana menjadi anggota legislatif ditinjau dari

hak asasi manusia, sedangkan peneliti adalah membahas mengenai hak

politik mantan narapidana korupsi dalam pemilu legislatif.

3. Nama : Imam Soebechi23

Judul : Hak Uji Materiil

Tahun : 2016

Persamaan Buku dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti

adalah sama-sama membahas hak uji materiil, sedangkan dari sisi

perbedaannya adalah, jika buku ini membahas tentang hak uji materiil,

sedangkan peneliti adalah membahas mengenai hak uji materiil peraturan

komisi pemilihan umum terhadap undang-undang pemilu.

23

Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016)

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

31

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KOMISI PEMILIHAN UMUM

A. Sejarah Terbentuknya Komisi Pemilihan Umum

Walaupun Pemilu 1955 dikenal sebagai Pemilu pertama di Indonesia

namun sejarah pembentukan lembaga penyelenggaraan pemilu sudah dimulai

pada tahun 1946 ketika Presiden Soekarno membentuk Badan Pembentuk

Susunan Komite Nasional Pusat, menyusun disahkannya Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1946 Tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional

Indonesia Pusat (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1946).

Setelah revolusi kemerdekaan pada tanggal 7 November 1953

Presiden Soekarno menandatangani Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun

1955 tentang pengangkatan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) Panitia inilah

yang bertugas menyiapkan, memimpin dan menyelenggarakan pemilu 1955

untuk memilih anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Anggota

Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat disahkan pada 4 April

1953 dan menyebutkan PPI berkedudukan di ibukota Negara. Panitia

Pemilihan Daerah (PPD) berkedudukan di setiap daerah pemilihan. 1

Panitia Pemilihan Kabupaten berkedudukan di setiap kecamatan.

Panitia pendaftaran pemilihan berkedudukan di setiap desa dan panitia

pemilihan luar negeri. PPI ditunjuk oleh Presiden, Panitia Pemilihan ditunjuk

oleh Menteri Kehakiman dan Panitia Pemilihan Kabupaten ditunjuk oleh

Menteri Dalam Negeri. Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil

diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis.

Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa

dilanjutkan, dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu

tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun

1http://arsip.rumahpemilu.org/in/read/195/Penyelenggara-Pemilu-1955-Berlaku-Jujur-

dan-Sederhana, diakses pada tanggal 12 September 2018, Jam 20.53 BBWI

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

32

ditahun 1958 Pejabat Presiden Soekarno sudah melantik Panitia Pemilihan

Indonesia II, yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan

keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Presiden Soekarno secara sepihak membentuk DPR-Gotong Royong

(DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat

oleh Presiden. Pada Dektrit itu pula Presiden Soekarno membubarkan

Konstituante dan mengutarakan pernyataan untuk kembali ke UUD 1945

yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan kepartaian di

Indonesia. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali

otoriterianisme kekuasaan di Indonesia. Otoriterianisme pemerintahan

Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960, ia membubarkan

DPR hasil Pemilu 1955.

Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa

pemilihan memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945

tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR.

Rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu

tidak pernah sekalipun menyelenggarakan Pemilu Kepresidenan. Malah tahun

1963 MPRS yang anggotanya diangkat Soekarno, diinstruksikan untuk

menetapkan orang yang mengangkatnya menjadi Presiden seumur hidup.

Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan

rakyat. Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang

Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/1967) setelah

meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pasca kudeta G 30 S/PKI.

Tongkat kepemerintahan Republik Indonesia selanjutnya diserahkan kepada

Soeharto menggantikan jabatan Presiden Soekarno. Dimasa kepemerintahan

orde baru Presiden Soeharto membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU)

yang bertugas sebagai badan penyelenggara pemilihan umum di Indonesia.

LPU terbentuk berdasarkan Keppres Nomor 3 Tahun 1970 diketuai

oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan

Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan

Perbekalan dan Perhubungan. Menyusul runtuhnya rezim orde baru yang

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

33

diakibatkan gejolak politik dimasyarakat. Presiden Soeharto mengumumkan

pemunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia dari kekuasaannya

pada tanggal 21 Mei 1998 dan jabatan ke Presidenan selanjutnya digantikan

oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Pada masa inilah sejarah

KPU di Indonesia pertama kali dibentuk melalui Keppres Nomor 16 Tahun

1999.2

Secara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga

yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama

(1999-2001) dibentuk dengan Keppres Nomor 16 Tahun 1999 yang berisikan

53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan

dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan

Keppres Nomor 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang

berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.

KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres Nomor

101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU

Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007

minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum.

Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus

diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu

memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil.

Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor

penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu

menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai

pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga

membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh

personal yang jujur dan adil.

2 Rahmawati Laulewulu, Analisis Proses Pengambilan Keputusan Komisioner pada

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Prov. Sultra, Skripsi S1, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,

Universitas Halu Oleo Kendari, 2017, h. 48

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

34

Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu

2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk

meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas

penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut

independen dan non-partisan. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun

dan bersama pemerintah mensahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007

Tentang Penyelenggara Pemilu.

Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal

22E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu

diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh

suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan

mandiri.

Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung

jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU

sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun

dibatasi oleh masa jabatan tertentu.

Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan

Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun. Perubahan penting dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,

meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;

serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang

sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian

disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

35

Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang

permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam

menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan

perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan

pemilihan umum dan tugas lainnya.

KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan

Rakyat. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara

Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS,

KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan

Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting

dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam

rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki

integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan

ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara

Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk

Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu. Di dalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD,

jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah

anggota KPU berkurang menjadi 7 orang.

Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang

tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan

kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal

dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden

dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU memperhatikan

keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa

keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

36

Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil;

kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum;

keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan

efektivitas.

Indonesia sudah sejak awal kemerdekaan melaksanakan pemilihan

umum, sehingga tak heran jika pada tahun 1946 sudah dibentuk suatu

lembaga penyelenggaraan pemilu. Kendati pemilu 1955 merupakan pemilu

pertama di Indonesia, lembaga penyelenggara pemilu dibentuk tahun 1946

ketika Presiden Soekarno membentuk Badan Pembaharuan Susunan Komite

Nasional Pusat. BPS yang diketahui memiliki cabang-cabang di daerah

ternyata tidak pernah menjalankan tugasnya melakukan pemilihan anggota

parlemen. Setelah revolusi kemerdekaan reda pada 7 November 1953

Presiden Soekarno menandatangani Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun

1955 untuk memilih anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat.

PPI memiliki payung hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953

Tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan

rakyat. Undang-Undang ini mengatur bahwa perangkat-perangkat lain dalam

penyelenggaraan pemilu, adalah : Panitia Pemilihan yang berkedudukan di

setiap daerah pemilihan, Panitia Pemilihan Kabupaten yang berkedudukan di

setiap Kabupaten, Panitia Pemungutan berkedudukan di setiap desa, dan

Panitia Pemilihan Luar Negeri. Pemilihan anggota PPI maupun perangkat

pendukungnya juga diatur dalam undang-undang ini, yang kesemuanya

melalui mekanisme penunjukan langsung. PPI ditunjuk oleh Presiden, Panitia

Pemilihan ditunjuk oleh Menteri Kehakiman, dan Panitia Pemilihan

Kabupaten ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.

Pada masa Rezim Orde Baru PPI diganti dengan LPU (Lembaga

Pemilihan Umum). LPU dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3

Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya

terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU

dan Badan Perbekalan dan Perhubungan. Struktur organisasi penyelenggara

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

37

di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut

Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut

Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan disebut Panitia

Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia Pendaftaran

Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan

suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi

warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri

(PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok

Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat

sementara (ad hoc). 3

LPU inilah yang kemudian bermetaformosis menjadi KPU yang

dikenal saat ini. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru pelaksanaan pemilihan

umum menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komisi ini

bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pemilu, baik untuk memilih

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil

Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala Daerah Provinsi

(Gubernur) dan Kabupaten (Bupati) atau Kota (Walikota), dan pemilihan

pejabat publik lain yang diatur oleh undang-undang.

Miriam Budiardjo juga memberi catatan bahwa : “KPU telah

berkembang menjadi ajang sengketa antara partai-partai yang hanya

memperjuangkan kepentingan partai atau pribadinya. Citra para politisi telah

mencapai titik nol, sehingga timbul opini masyarakat bahwa dalam pemilu

yang akan datang sebaiknya KPU terdiri dari anggota yang independen, bebas

dan partai”.4 Kontroversi tidak hanya berhenti di situ. Sebuah situs internet

menulis: ”Pasca-Pemilu banyak anggota terlibat dalam kasus tindak pidana

korupsi, sehingga beberapa orang masuk bui. Tidak tahan dengan situasi,

3https://news.detik.com/kolom/4142377/kemandirian-penyelenggara-pemilu, diakses

pada tanggal 12 September 2018, Jam 20.41 BBWI

4Miriam Budiardjo “Pemilu 1999 Dan Pelajaran Untuk Pemilu 2004”. Dalam http:/

cetro.or.id/ pustaka/mariam.html. diakses tanggal 13 September 2018, Jam. 07.59 BBWI

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

38

Rudini mengundurkan diri sebagai Ketua KPU dengan meninggalkan

sejumlah konflik kepemimpinan”.5

Dengan demikian dapat diketengahkan bahwa idealitas pembentukan

KPU yang bebas dan mandiri seperti yang digagas berdasarkan Pasal 8 UU

Nomor 3 Tahun 1999 menjadi tidak terimplemetasi dengan baik. KPU

menjadi terbelenggu oleh perselisihan dan kepentingan masing-masing

anggotanya yang berasal dari perwakilan parpol. Hal ini bisa jadi dikarenakan

mayortias anggota KPU adalah terdiri dari atas unsur partai-partai politik

peserta Pemilu dan Pemerintah yang barang tentu memiliki agenda sendiri-

sendiri, partisan, dan sarat perjuangan untuk kepentingan

kelompok/parpolnya.

KPU pertama kali menyelenggarakan pemilu pada tahun 1999. Saat

itu KPU diisi oleh wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil peserta pemilu

1999. Setelah pemilu 1999 usai KPU pertama ini dirubah lagi untuk

memenuhi tuntutan masyarakat yang menginginkan KPU lebih independen

dan akuntabel. Anggota-anggota KPU tidak lagi unsur dari wakil-wakil

pemerintah dan wakil-wakil peserta, melainkan dari unsur nonpartisipan.

Untuk meningkatkan kualitas pemilu KPU sebagai penyelenggara

pemilu dituntut untuk independen dan non-partisipan. Untuk itulah terjadi

beberapa revisi undang-undang tentang pemilu pasca Orde Baru. Sebelumnya

penyelenggaraan pemilu diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2003 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian muncul

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu.

Menjelang pemilu 2009 dibuat pula Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disertai revisi

undang-undang pemerintahan daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 direvisi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang

5“Komisi Penghamburan Uang” Rabu, 14 November 2007. Dalam

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=12793&Itemid=

62, diakses tanggal 13 September 2018, Jam. 08.01 BBWI

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

39

Pemerintah Daerah. Kemudian terakhir Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu.6

B. Visi dan Misi

Komisi Pemilihan Umum memiliki Visi : “Terwujudnya Komisi

Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki

integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya

demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Visi tersebut kemudian

dijabarkan menjadi 5 (lima) misi, yaitu :

1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki

kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan

Pemilihan Umum;

2. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil,

akuntabel, edukatif dan beradab;

3. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih,

efisien dan efektif;

4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara

adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara

konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

dan

5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam

Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang

demokratis. 7

6https://nasional.kompas.com/read/2017/05/14/08135841/rekonstruksi.kelembagaan.kpu,

diakses pada tanggal 12 September 2018, Jam 20.46 BBWI

7http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2008/4/Visi-dan-Misi, diakses pada tanggal

12 September 2018, Jam 17.52 BBWI

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

40

C. Hubungan Antara KPU dengan Bawaslu, DKPP, dan Partai Politik

1. KPU Republik Indonesia

Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara

independen (independent regulatory agencies) merupakan lembaga negara

yang menyelenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia yang ditegaskan

dalam Pasal 22E UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan

beberapa undang-undang, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sebelum Pemilu 2004, KPU

terdiri dari anggota-anggota yang merupakan anggota sebuah partai politik

berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan

Umum, namun setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang

Pemilihan Umum, maka diharuskan anggota KPU ialah non-partisan dan

independen.8

Artinya bahwa keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai

komisi negara independen (independent regulatory agencies) yang diatur

dalam Konstitusi dan dijabarkan lebih lanjut dengan undang-undang

dikuatkan oleh pendapatnya Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa

kelembagaan negara di tingkat pusat dibedakan dalam 4 (empat) tingkatan

kelembagaan, yaitu :9

a. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan

lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden;

b. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang diatur dan

ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden;

8 Rahmat Setiawan Tonidaya, Model tentang Kemandirian Komisi Pemilihan Umum

dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, (Perspektif Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2016 dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Program Pasca

Sarjana, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta 2017, h. 10

9 Jimly Ashhiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 50

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

41

c. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau

Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan

Presiden;

d. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan

lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Pejabat di bawah

Menteri.

Hal ini menunjukkan dan menegaskan bahwa keberadaan Komisi

Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent

regulatory agencies) berada pada tingkatan kelembagaan yang kuat

dikarenakan pembentukaannya berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan

lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang yang artinya kelembagaan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kelembagaan negara bantu (state

auxiliary bodies) yang independen (independent regulatory agencies) pada

tingkatan Konstitusi, dengan catatan bahwa perlakuannya tidak bisa

disamakan dengan lembaga negara utama (main state organs)

Sehingga kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai

lembaga negara ditinjau menurut fungsi kelembagaan merupakan lembaga

penunjang (auxliary state organ) dalam ranah kekuasaan eksekutif yang

secara hierarkis kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan

organ lapis kedua (lembaga negara bantu (state auxiliary bodies) yang

sifatnya independen (independent regulatory agencies). Konstruksi logika

hukumnya dari perspektif Hukum Tata Negara adalah sebagai berikut :

1) Landasan filosofis, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai

komisi negara independen (independent regulatory agencies) tentunya

dapat dilihat dari nilai-nilai Pancasila baik sebagai filsafat hidup

(Weltanschaung, Volksgeist), maupun sebagai dasar negara dan ideologi

negara, ideologi nasional yang berfungsi sebagai jiwa bangsa dan jati diri

nasional. Esensinya bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai

penyelenggara Pemilu dari kesejarahan tetap diakui dan legitimate dari

Tahun 1955 sampai dengan Pemilu Tahun 2014, walaupun dengan

berbagai perubahan penyebutan nama.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

42

2) Segi yuridis konstitusional diatur dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945,

kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011

Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang di dalamnya diatur

cakupan mengenai kedudukan, tugas, fungsi, hubungan dan kewenangan

serta pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap

penyelenggaraan Pemilu.

3) Eksistensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sistem Pemilu

berdasarkan UUD 1945, yaitu menyangkut problematika yang dihadapi

KPU di Indonesia, konstruksi kewenangan dan tugas Komisi Pemilihan

Umum (KPU) dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dan pemerintahan

yang demokratis, kontribusi keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU)

dalam menunjang upaya pelaksanaan Pemilu menuju terwujudnya

kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis.

Sistem hierarkis Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemilihan

Umum (KPU) Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota

yang diatur secara tegas dalam peraturan perundangan (Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum) yang

menguatkan sistem kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara

nasional, mandiri, non-partisan dan independen.

2. Bawaslu

Badan pengawas pemilu merupakan lembaga penyelenggaraan pemilu

di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. sebagai lembaga dan

perannya memiliki kewenangan besar tidak hanya sebagai pengawas namun

juga sebagai eksekutor hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan pada

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Adapun tugas dan wewenang dari pada pengawas pemilu, antara lain :

mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu, menerima laporan dugaan

pelanggaran perundang-undangan pemilu, menyampaikan temuan dan

laporan kepada KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota atau kepolisian

ataupun instansi lain untuk ditindaklanjuti, mengawasi tindak lanjut

rekomendasi, mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilu,

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

43

dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang ditetapkan oleh undang-

undang.10

Dalam menjalankan tugas dan wewenang mengawasi setiap tahapan

pemilu, apa yang dilakukan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebetulnya

tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pemantau pemilu atau

pengamat pemilu, yakni sama-sama mengkritik, menghimbau, dan

memproses apabila terdapat hal yang menyimpang dari undang-undang.

Namun terkait dengan penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran pemilu,

maka disini terdapat perbedaan yang fundamental, karena pengawas pemilu

menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menerima laporan, dengan kata

lain Panwaslu merupakan satu-satunya pintu masuk untuk penyampaian

laporan pelanggaran pemilu. Selain itu pula Panwaslu juga satu-satunya

lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kajian terhadap

laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilu untuk memastikan apakah

hal tersebut benar-benar mengandung pelanggaran, dalam menjalankan

konstitusi terkait pelanggaran.11

Pernyataan di atas ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto

Rahardjo, di mana ciri dari Negara Hukum Pancasila ialah rule of moral atau

rule of justice, selain itu penerapan konsep negara hukum (the rule of law) di

Indonesia tidaklah serta merta dapat menerapkan secara mutlak seperti di

mana tempat konsep negara hukum (the rule of law) ini tumbuh dan

berkembang, yakni di Eropa, karena sebagaimana diketahui bersama bahwa

konsep the rule of law ini bukan merupakan sebuah institusi yang netral,

karena sangat terkait dengan wawasan sosial hubungan antar manusia,

masyarakat dan negara, sehingga perlu adanya penyesuaian dengan ciri dan

karakteristik dari Negara Indonesia, pernyataan ini pun sejalan dengan adanya

10

Muhammad Ja’far, Eksistensi dan Integritas Bawaslu dalam Penanganan Sengketa

Pemilu, Madani Legal Review, Vol. 3, No. 1, Juni 2018, h. 62

11 Herry Febriadi, Implementasi UU No. 7 Tahun 2017 terhadap Kedudukan dan Kinerja

Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Hulu Sungai Utara, Al’Adl, Vol. X, No. 1, Januari 2018, h.

51

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

44

penyandingan konsep negara hukum dengan konsep kedaulatan rakyat

(demokrasi), sebagaimana yang dinyatakan secara eksplisit di dalam Undang-

Undang Dasar 1945, dengan demikian maka kedaulatan hukum yang

diletakkan dan berpijak pada kedaulatan rakyat, maka dapat dibuat suatu

hipotesis, bahwa kedaulatan hukum bukanlah ditujukan semata-mata untuk

kepentingan hukum itu sendiri, namun harus ditujukan dan berpihak kepada

masyarakat,12

terkait dengan peranan Bawaslu dalam penegakan hukum

Pemilu pada penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

3. DKPP

Keberadaan DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara

Pemilu merupakan hasil revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007

menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Sebelum DKPP menjadi

lembaga yang permanen, penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara

Pemilu ditangani oleh Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-

KPU) dan Dewan Kehormatan KPU Provinsi serta Dewan Kehormatan

Bawaslu. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011,

maka seluruh kewenangan penyelesaian pelanggaran kode etik yang

dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, ditangani atau diselesaikan oleh

DKPP. Dengan Penanganan dan Penyelesaian oleh lembaga DKPP, maka

pemanggilan, pemeriksaan, dan persidangan lebih memastikan dan memenuhi

keadilan para pencari keadilan (Justice seekers).

Pembentukan dan kewenangan DKPP telah disebutkan di dalam

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu.

Menurut Pasal 109 Ayat (2), pada dasarnya DKPP dibentuk untuk memeriksa

dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran

kode etik yang dilakukan Penyelenggara Pemilu. Kemudian Pasal 110 Ayat

(1) menjelaskan bahwa DKPP menyusun dan menetapkan satu kode etik

untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas Penyelenggara

Pemilu. Selanjutnya Pasal 111 Ayat (1) dijelaskan juga bahwa DKPP

12

Angelo Emanuel Flavio Seac dan Sirajuddin, Penguatan Kewenangan Lembaga Badan

Pengawas Pemilu dalam Penegakan Hukum Pemilu, h. 88

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

45

bersidang untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode

etik yang dilakukan Penyelenggara Pemilu.13

4. Partai Politik

Menurut Miriam Budiardjo, yang dimaksud partai politik ialah suatu

kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,

nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk memperoleh

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional

untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Sedangkan Maurice

Duverger berpendapat ada tiga sistem kepartaian berdasarkan praktik politik,

yaitu : Pertama, sistem tunggal partai (one-party system), Kedua; sistem dwi

partai (two-party system), dan Ketiga; sistem multi partai (multi-party

system).14

Secara umum sistem kepartaian di Indonesia tak dapat dilepaskan dari

eksistensi kepengurusan di pusat. Solid tidaknya kepengurusan pusat parpol

dapat berpengaruh pada pilkada. Bila rezim pilkada serentak identik dengan

pemilu nasional, eksistensi dan peran maka kepengurusan parpol dari pusat

sangat menentukan. Dalam kaitan inilah, kita melihat hubungan tidak

langsung antara kedewasaan parpol dalam memperkuat soliditas dan

kelembagaannya. Karena itulah, realitas konflik di parpol, merupakan

tantangan, tidak saja bagi masa depan parpol itu, tetapi juga dalam konteks

masa depan kepemimpinan lokal.

Sistem politik Indonesia menempatkan Partai Politik sebagai pilar

utama penyangga demokrasi. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik,

maka sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-

undangan mengenai Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini

diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat,

13

William Hendri, Tinjauan Yuridis Kewenangan DKPP Menurut Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2011 terhadap Putusan DKPP Nomor : 23-25/DKPP-PKE-I/2012, Jurnal Selat,

Vol. 2, No. 1, Oktober 2014, h. 195

14 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya :

Penerbit Bina Ilmu, 1997), h. 160-161

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

46

efektif dan fungsional. Elite parpol seyogianya menyadari bahwa pilkada

bukan sekadar terkait dengan kepentingan parpol melainkan juga keterlibatan

rakyat dalam sebuah pesta demokrasi. Terlepas menang atau kalah dalam

kontestasi itu, semua pihak yang terlibat harus bisa menunjukkan bahwa

mereka telah menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi demokrasi.15

D. Tugas dan Kewenangan Komisi Pemilihan Umum

Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang

Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999

Tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi

dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan

bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas

kewenangan sebagai berikut :

1. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;

2. menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak

sebagai peserta Pemilihan Umum;

3. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan

mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat

sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;

4. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk

setiap daerah pemilihan;

5. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah

pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;

6. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil

Pemilihan Umum;

7. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat

tambahan huruf: tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum.

15

Angga Natalia, Peran Partai Politik dalam Mensukseskan Pilkada Serentak di

Indonesia Tahun 2015, Jurnal TAPIs, Vol.11, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 51

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

47

Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999

tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai

dimaksud dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah

Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan

Umum.16

Pengaturan tentang tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum

baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden termasuk

Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengacu kepada Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

Kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 diganti dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang

Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan secara khusus

diatur dalam Undang-Undang Nomor 72 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara

Pemilihan Umum.

Dengan demikian untuk pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota penyelenggaranya

adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Daerah Propinsi dan Kabupaten/

Kota. Tanggungjawab dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPUD, baik

Propinsi maupun Kabupaten/Kota terhadap penyelenggaraan Pemilihan

Umum, baik pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, Pemilu Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah, dan menyangkut tugas dan wewenang masing-masing

tingkatan KPU saling berkaitan dan saling berhubungan, sebagaimana yang

ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007.

16

http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2008/5/Tugas-dan-Kewenangan, diakses

pada tanggal 12 september 2018, jam. 17.16 BBWI

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

48

BAB IV

KEWENANGAN KPU DALAM MEMBATASI HAK POLITIK MANTAN

NARAPIDANA KORUPSI DALAM PEMILU LEGISLATIF

A. Kewenangan KPU dalam Menyusun Peraturan KPU Nomor 20 Tahun

2018

Pembentukan peraturan perundang-undangan didasarkan pada

beberapa kewenangan, yakni berdasarkan perintah undang-undang ataupun

melekat pada tugas dan kewenangan yang dimiliki (atribusi). Wewenang

atribusi KPU dalam Penyelenggaran Pemilihan Umum khususnya terkait

dengan Pencalonan Anggota Legislatif diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf

c dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum, yaitu tugas dan wewenang KPU dalam Pemilihan Umum,

antara lain menyusun dan menetapkan peraturan KPU untuk setiap tahapan

pemilu.1

Selanjutnya, pemberian kewenangan atribusi KPU menyusun

peraturan juga diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017

Tentang Pemilihan Umum yang berbunyi :

1. Untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 7 tahun 2017 ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan

Keputusan KPU;

2. Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan

pelaksanaan peraturan perundang-undangan;

3. Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPU Provinsi dan KPU

Kabupaten/Kota menetapkan keputusan dengan berpedoman pada

keputusan KPU dan Peraturan KPU;

4. Dalam hal KPU membentuk Peraturan KPU yang berkaitan dengan

pelaksanaan tahapan pemilu, KPU wajib berkonsultasi dengan DPR dan

Pemerintah melalui rapat dengar pendapat;

1https://hendrakasim.wordpress.com/2018/06/08/larangan-caleg-mantan-napi-korupsi-

affirmative-action-sebuah-langkah-profetik/, diakses pada tanggal 23 September, Jam 10.50 BBWI

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

49

B. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis KPU dalam Membuat

Peraturan Larangan Mantan Terpidana Korupsi untuk Menjadi Bakal

Calon Legislatif

Surat Al-Maidah Ayat 38

Artinya : “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri,

potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka

lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa, Maha

bijaksana”.

Sebelum KPU membahas mengenai proses pembentukan pasal

yang melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai

anggota legislatif, KPU akan menjelaskan mengenai landasan filosofis,

sosiologis, dan yuridis yang menjadi dasar KPU untuk melarang mantan

terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam

Peraturan KPU. Adapun landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis adalah

sebagai berikut :

1. Landasan Filosofis

Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme telah merusak sendi-sendi

kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan

eksistensi negara sejak dahulu sampai sekarang. Sejalan dengan tujuan dan

cita hukum Bangsa dan Negara Indonesia dalam rangka mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. KPU memiliki

semangat, kewajiban, serta tanggung jawab yang bulat dan utuh dalam

rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang kuat dan warga negara

yang berdaulat. Syarat utama untuk mewujudkan hal tersebut tidak lain

ialah dengan mewujudkan negara bersih dan terbebas dari korupsi, kolusi,

dan nepotisme.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

50

Adanya tuntutan reformasi yang bersumber terutama dari hati

nurani rakyat adalah secara tegas menghendaki terciptanya penyelenggara

negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya dengan sungguh-

sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pembangunan dapat

berdayaguna dan berhasil guna. Hal ini sebagaimana yang ditetapkan

dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara

Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

(KKN).

Dalam rangka menyelamatkan kehidupan nasional sesuai dengan

tuntutan reformasi diperlukan adanya kesamaan visi, persepsi, dan misi

dari Seluruh Penyelenggara Negara dan masyarakat. Kesamaan visi,

persepsi, dan misi tersebut haruslah sejalan dengan tuntutan hati nurani

rakyat yang menghendaki terwujudnya Penyelenggara Negara yang

mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh

rasa tanggung jawab, yang dilaksanakan secara efektif, efesien, bebas dari

korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan

MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih

dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.2

Terhadap tujuan, semangat dan tuntutan tersebut perlu diwujudkan

dalam langkah dan kebijakan nyata oleh KPU sepanjang tidak

bertentangan dengan dasar kewenangan KPU serta peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia, salah satunya adalah dengan

melakukan kebijakan formulasi Peraturan KPU yang berusaha mencegah

perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme beserta para pelakunya masuk ke

dalam aspek-aspek penyelenggara negara pada masa yang akan datang.

Berdasarkan hal tersebut, KPU memiliki dasar yang secara

filosofis berakar kuat kepada semangat dan tujuan penyelenggara negara

2 Asriyah, Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

(Tinjuan Hukum Administrasi Negara dan Hukum Islam), Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, h. 51

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

51

berdasarkan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Landasan Sosiologis

Bertolak belakang dengan semangat dan tujuan Pancasila dan UUD

1945 serta tuntutan reformasi sebagaimana dijelaskan dalam landasan

filosofis tersebut, pada kenyataannya telah terjadi dalam penyelenggara

negara, praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok

tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang

melibatkan para pejabat negara sehingga merusak sendi-sendi

penyelenggara negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.

Bahwa tujuan dan semangat KPU dalam rangka mewujudkan

negara yang kuat dan warga negara yang berdaulat salah satunya

dilaksanakan dengan melakukan suatu pemenuhan terhadap kebutuhan

masyarakat akan pemimpin negara sebagai perwakilan rakyat yang bersih

dan terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta menjamin kualitas

kehidupan masyarakat yang baik pada masa yang akan datang.

Oleh karenanya, kebijakan formulasi Peraturan KPU yang

mencegah perilaku-perilaku korupsi dan para pelakunya masuk ke dalam

sendi-sendi kehidupan penyelenggara negara adalah suatu bentuk

perwujudan aspirasi masyarakat yang kuat dan layak untuk dipertahankan.

Kebutuhan masyarakat tersebut bersumber dari masalah bangsa dan negara

yang tak kunjung usai dan menjangkiti kehidupan masyarakat terus-

menerus.

Hal ini terbukti dari berbagai catatan buruk atas praktik

penyelenggara negara yang melibatkan praktik korupsi, kolusi, dan

nepotisme khususnya di tubuh lembaga perwakilan rakyat di Indonesia.

Catatan-catatan buruk yang dimaksud antara lain berdasarkan catatan

kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2017 bahwa selama

tahun 2017, setidaknya terdapat 20 dari 102 perkara korupsi yang

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

52

melibatkan pejabat birokrasi pemerintahan pusat dan daerah yang

pelakunya adalah para anggota DPR dan DPRD.3

Dengan demikian, telah nyata bahwa praktik-praktik korupsi,

kolusi, dan nepotisme telah berakar kuat dalam kehidupan sosial

masyarakat di Indonesia khususnya di kalangan pejabat dan penyelenggara

negara dan terbukti telah menunjukkan adanya keterlibatan anggota dewan

perwakilan rakyat dalam kasus-kasus yang ada.

Bahwa sejak rancangan PKPU Pencalonan mengemuka pada bulan

April 2018, setidaknya sudah terdapat 67.000 lebih dukungan dari orang-

orang yang menandatangani petisi dukungan untuk KPU melalui

change.org/koruptorkoknyaleg. Oleh karenanya semakin memperkuat

bahwa kebijakan formulasi larangan bagi terpidana korupsi untuk menjadi

calon legislatif mendapat dukungan yang luas dari masyarakat dan

merupakan aspirasi dan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan begitu saja.4

Menurut Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) periode 2011-2015, korupsi memiliki kecenderungan pada pola

yang berulang dan bahkan bermetamorfosa (2014). Dari data yang

dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW), fenomena residivis

korupsi atau orang yang pernah dijatuhi hukuman dalam perkara korupsi

lalu kembali melakukan korupsi setelah selesai menjalani hukuman

beberapa kali terjadi dan tercatat seperti misalkan saja di Samarinda oleh

Aidil Fitra/Ketua KONI Samarinda, Jawa Timur oleh Mochammad

Basuki/Ketua DPRD Jawa Timur dan di Hulu Sungai Tengah oleh Abdul

Latif/Bupati (https://www.antikorupsi.org/id/siaran-pers/kpu-harus-jalan-

terus-larang-mantan-napi-korupsi-nyaleg). Oleh karenanya melakukan

langkah antisipasi secara tegas dengan melakukan upaya pencegahan

melalui formulasi Peraturan KPU menjadi sangat beralasan secara sosial

3https://tirto.id/catatan-kinerja-kpk-di-2017-data-kasus-dan-latar-belakang-koruptor cCn5,

diakses pada tanggal 23 September 2018, Jam 18.37 BBWI

4https://www.merdeka.com/politik/larangan-kpu-agar-eks-napi-tak-nyaleg-demi-hindari-

residivis-korupsi.html, diakses pada tanggal 23 September Jam 00.00 BBWI

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

53

dan bahkan amat penting bagi penyelenggara negara ke depan.

Bagaimanapun, pelaku-pelaku korupsi tidak dapat lagi ditolerir untuk

masuk kembali duduk dan memegang kewenangan dalam lembaga negara

dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Dengan demikian

negara menanggung resiko terlalu tinggi jika tidak ada upaya pencegahan

sedari awal dan masih memberi kesempatan kepada perbuatan korupsi

melalui para pelakunya yang berperan dalam lembaga negara dan

pemerintahan.

Selain berupaya untuk mencegah korupsi kembali lagi dalam

penyelenggaraan negara melalui pembatasan kesempatan terhadap

pelakunya, kebijakan formulasi Peraturan KPU juga diharapkan mampu

mencegah para anggota dewan yang duduk di legislatif terpilih untik tidak

melakukan praktik-praktik KKN pada masa yang akan datang akibat

dampak perbuatannya tersebut ke depan akan sangat berpengaruh kepada

karier politiknya. Hal ini sejalan dengan Persson dan kawan-kawan (2003)

sebagaimana dikutip oleh Ikhsan Darmawan, Dosen Departemen Ilmu

Politik FISIP UI yang menilai bahwa bagaimana pemilihan diatur

memiliki implikasi terhadap tingkat korupsi di sebuah Negara

(https://www.antikorupsi.org/id/news/pemilihan-umum-tanpa-koruptor).

3. Landasan Yuridis

KPU melakukan kebijakan dalam Peraturan KPU yang melarang

adanya mantan terpidana korupsi untuk menjadi calon legislatif dengan

mendasarkan secara yuridis kepada beberapa peraturan perundang-

undangan, di antaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme.

Bahwa KPU telah melakukan pembacaan terhadap aturan

perundang-undangan yang ada dengan menerapkan metode-metode

penafsiran yang dibenarkan dan diperbolehkan dalam suatu analisis aturan

hukum. Dalam hal ini, KPU khususnya menggunakan metode penafsiran

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

54

sistematis. Penafsiran sistematis adalah metode penafsiran dengan cara-

cara memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika yang ditafsirkan

adalah pasal dari suatu undang-undang, maka ketentuan-ketentuan yang

sama apalagi satu asas dalam peraturan lainnya, juga harus dijadikan

acuan.

Selain penafsiran sistematis, pembacaan secara yuridis juga tidak

terlepas dari penafsiran gramatikal yang khas dan selalu ada dalam aturan

perundang-undangan, dan kemudian disempurnakan dengan penafsiran

ekstensif yang merupakan bentuk lebih lanjut dari penafsiran gramatikal.5

a. Proses Pengaturan Larangan Mantan Terpidana Korupsi Menjadi Calon

Anggota Legislatif dalam Persyaratan Pencalonan pada Peraturan KPU

Nomor 20 Tahun 2018

KPU diberikan tugas dan kewenangan atributif untuk menyusun

dan menetapkan Peraturan KPU untuk setiap tahapan Pemilu.

Sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 yang berbunyi : “Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu

bertujuan untuk : g. Mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas”.

Bahwa langkah konkret untuk mencapai tujuan dari Pemilihan

Umum yang bersih, adil, dan berintegritas adalah dengan mewujudkan

penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih dan bebas dari korupsi.

Dalam rangka mewujudkan Pemilihan Umum yang adil dan

berintegritas, sebagaimana amanat Undang-Undang, KPU sebagai

Penyelenggara Pemilu berkewajiban untuk menyelenggarakan Pemilu

yang berintegritas dengan mengimplementasikan dalam suatu

instrumen hukum guna memberikan kepastian hukum dalam

mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih dan bebas

dari korupsi, yang dalam hal ini nantinya diharapkan akan terwujud

pemerintahan legislatif yang bersih dari korupsi.

5 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Ed.1, Cetakan 11, (Jakarta : PT

RajaGrafindo Persada, 2008), h. 157

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

55

KPU memiliki gagasan untuk mengatur persyaratan mengenai

larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai

anggota legislatif, dimana persyaratan tersebut akan dijadikan sebagai

syarat calon. Ketentuan mengenai larangan mantan terpidana korupsi

untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif menimbulkan pro

dan kontra di DPR, di mana DPR berpendapat bahwa sebaiknya

pengaturan mantan terpidana korupsi dikembalikan kepada Pasal 240

Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum yang pada intinya ketentuan pasal tersebut

membolehkan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai anggota

legislatif sepanjang yang bersangkutan secara terbuka dan jujur

mengemukakan kepada publik bahwa dia mantan terpidana.

Sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

92/PUU-XIV/20166 yang pada pokoknya menganulir ketentuan Pasal 9

huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016

Tentang Pemilihan Kepala Daerah menjadi Undang-Undang yang

mengatur mengenai hasil konsultasi dengan DPR dalam Rapat Dengar

Pendapat (RDP) bersifat mengikat, di mana ketentuan pasal tersebut

tidak berlaku lagi sehingga ketika hasil konsultasi dengan DPR menurut

Pemohon tidak sesuai dengan semangat KPU dalam mewujudkan

Pemilu yang berintegritas dan bebas dari korupsi, maka KPU dapat

mengabaikan saran sebagaimana penjelasan tersebut dan tetap dapat

merumuskan ketentuan mengenai larangan mantan terpidana korupsi

mencalonkan diri sebagai anggota Legislatif dalam Peraturan KPU.

Selain itu juga, Kemenkumham pada awalnya tidak sependapat

dengan gagasan KPU dalam merumuskan ketentuan mengenai larangan

6http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1225-problematika-pkpu-

no-20-tahun-2018-mantan-koruptor-menjadi-caleg, diakses pada tanggal 23 September 2018, Jam

16.54 BBWI

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

56

mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota Legislatif,

dimana Kemenkumham pada awalnya tidak berkenan untuk

mengundangkan Konsep Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang

telah Para KPU buat. Terhadap hal tersebut, KPU mengadakan Focus

Group Discussion (FGD) dengan melibatkan para ahli dan pakar hukum

untuk membahas terkait dengan polemik terhadap ketentuan pasal

dalam Konsep Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur

mengenai larangan mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri

sebagai anggota Legislatif. Hal tersebut, dilakukan karena KPU sangat

mengedepankan asas kehati-hatian dan kepastian hukum dalam

mengambil sikap terhadap polemik tersebut.

Dalam Focus Group Discussion (FGD) tersebut, para ahli dan

pakar hukum berpendapat bahwa tidak seharusnya Kemenkumham

menolak untuk mengundangkan ketentuan Peraturan KPU Nomor 20

Tahun 2018 karena mengingat tahapan pencalonan anggota Legislatif

yang tidak dapat ditunda dan perlu ada ketentuan untuk mengatur

mengenai teknis pencalonan tersebut guna memberikan kepastian

hukum.

KPU juga melakukan korespondensi dengan Kemenkumham

untuk memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai dasar

pemikiran KPU dalam merumuskan pasal yang melarang mantan

terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota Legislatif.

Selain itu juga, Kemenkumham mengadakan sinkronisasi dengan KPU

untuk membahas mengenai ketentuan pasal yang melarang mantan

terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota Legislatif.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 11A Peraturan Kementerian

Hukum dan HAM Nomor 31 Tahun 2017 yang pada intinya mengatur

mengenai kewenangan Kemenkumham (dalam hal ini Dirjen Peraturan

Perundang-Undangan) untuk melakukan sinkronisasi guna memberikan

satu pemahaman yang sama mengenai ketentuan dalam suatu peraturan

yang dibuat oleh suatu lembaga.

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

57

Hasil sinkronisasi tersebut menghasilkan suatu pemahaman

bahwa ketentuan mengenai larangan mantan terpidana korupsi untuk

menjadi calon anggota Legislatif sebaiknya diatur dalam persyaratan

pencalonan, di mana partai yang akan mencalonkan para kadernya

sebagai anggota Legislatif diberikan kewenangan untuk melarang

mantan terpidana korupsi mendaftarkan diri sebagai calon anggota

Legislatif. Setelah melalui proses sebagaimana penjelasan tersebut,

KPU merumuskan ketentuan yang melarang mantan terpidana korupsi

menjadi calon anggota Legislatif dalam Pasal 4 Ayat (3) Peraturan KPU

Nomor 20 Tahun 2018 Tentang persyaratan pencalonan terhadap partai

politik yang akan mengajukan calon anggota Legislatif. Syarat tersebut

harus dipenuhi oleh Partai Politik dengan membuat pakta integritas

yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik sebagaimana diatur

dalam Pasal 11 Ayat (1) dan pada Lampiran Model B.3 Pakta Integritas

Pengajuan Bakal Calon Anggota Legislatif Peraturan KPU Nomor 20

Tahun 2018. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 241 dan Pasal 243

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang pada intinya mengatur

bahwa seleksi bakal calon anggota Legislatif dilakukan oleh Partai

Politik.

b. Ketentuan Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) Huruf D, dan Lampiran

Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota Legislatif,

Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tidak Bertentangan dengan

Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku

Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) huruf d dan Lampiran Model

B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota Legislatif

Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 merupakan pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dimana KPU diberi

kewenangan untuk mengatur secara detail dan rigid mengenai proses

pencalonan anggota legislatif termasuk mengenai syarat calon dan

pencalonan.

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

58

Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 disusun untuk

memastikan hak konstitusional warga negara dalam mengikuti

Pemilihan tetap terjamin secara baik dan dapat diterima secara hukum,

sebagaimana ketentuan pada Pasal 23 Ayat (1) dan Pasal 43 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

yang mengatur mengenai hak seseorang untuk memilih dan dipilih

dalam Pemilihan Umum. Tentunya hal ini menjadi sangat penting bagi

KPU, karena KPU dalam menerima pendaftaran Bakal Calon Anggota

Legislatif wajib berpedoman ketentuan peraturan perundang-undangan

dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, serta melindungi hak

masyarakat dalam mendapatkan pemerintahan legislatif yang baik,

bersih, dan berintegritas. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan khususnya pada asas kejelasan rumusan

dan asas ketertiban dan kepastian hukum.

Pelarangan mantan terpidana korupsi dalam Pencalonan

Anggota Legislatif adalah ikhtiar yang dilakukan oleh KPU dalam

rangka melaksanakan amanat Undang-Undang dalam menghasilkan

penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14-17/PUU-

V/2007, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa

persyaratan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, merupakan

persyaratan yang tidak diskriminasi.7 Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa setiap jabatan publik atau jabatan dalam

pemerintahan dalam arti luas, baik yang pengisiannya dilakukan

melalui pemilihan atau cara lain, menurut syarat kepercayaan

masyarakat. Dengan kata lain, jabatan publik adalah jabatan

7 Andi Nurul Asmi, Analisis Normatif terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih

dalam Jabatan Publik sebagai Pidana Tambahan bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Skripsi S1

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2018, h. 88

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

59

kepercayaan. Oleh karena itulah, setiap calon pejabat publik harus

memenuhi persyaratan tertentu sehingga nantinya didapatkan pejabat

yang bersih, berwibawa, jujur, dan mempunyai integritas moral yang

tinggi.

Bahwa terhadap jabatan publik yang pengisiannya dilakukan

dengan cara pemilihan oleh rakyat, Mahkamah berpendapat dalam

putusannya, tidak sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa

persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa

rakyatlah yang akan memikul sendiri resiko pilihannya. Sebab, jabatan

tersebut harus dipangku oleh orang yang berkualitas dan integritas

tinggi.

Sebagaimana penjelasan dan fakta hukum yang telah KPU

uraikan, dalil Pemohon yang menyatakan pengaturan dalam Peraturan

KPU Nomor 20 Tahun 2018 adalah tidak sejalan dan diduga

bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang adalah dalil yang harus

ditolak dan dikesampingkan karena fakta hukumnya pembentukan

Peraturan KPU khususnya.

C. Alasan Permohonan Pemohon

Pemohon dalam hal ini Jumanto sebagai warga negara pernah dijatuhi

pidana penjara berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164

K/Pid.Sus/2010 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana korupsi tanpa adanya hukuman tambahan yang

berupa larangan untuk aktif dalam kegiatan politik dan/atau dipilih atau

memilih dalam suatu Pemilihan Umum. Atas hukuman tersebut Pemohon

telah menjalani hukuman dan telah kembali beraktifitas menjadi masyarakat

biasa.

Namun hak-hak Pemohon menjadi terhalang dengan adanya norma

yang terdapat dalam Pasal 4 Ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018,

berbunyi, “dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka

sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana

bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi”, Pasal 11 Ayat

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

60

(1) huruf d yang berbunyi, “Dokumen persyaratan pengajuan bakal calon

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (1) berupa ... d. Pakta integritas

yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya

dengan menggunakan formulir Model B.3” dan Lampiran Model B.3 Pakta

Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD Provinsi, DPRD

Kabupaten/Kota. Adanya norma tersebut jelas telah melanggar hak

konstitusional pemohon yang telah diberikan oleh Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, padahal di Undang-Undang Pemilu

tersebut tidak mengatur adanya larangan bagi mantan narapidana korupsi

untuk mengikuti Pemilihan Umum.

Keinginan Pemohon untuk berpartisipasi dalam Pemilihan DPRD

sirna dikarenakan adanya Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) huruf d, dan

Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Terhadap berlakunya

norma tersebut telah serta-merta menghukum dan membatasi hak seseorang,

padahal suatu norema yang terdapat di dalam undang-undang tidak bisa

diberlakukan begitu saja. Norma tersebut hanya dapat berlaku dan dijalankan

melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika aturan

tersebut diberlakukan menunjukkan tidak adanya kepastian hukum terhadap

diri Pemohon. Oleh karena itu Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) huruf d,

dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 jelas-jelas

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum. Norma dalam undang-undang tersebut sudah menghukum

seseorang tanpa adanya proses peradilan yang sah.

Berdasarkan alasan yang diuraikan oleh Pemohon, Pemohon

mengalami kerugian atas berlakunya Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1)

huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 jelas-jelas

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan.

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

61

D. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor

46 P/HUM/2018

Disini yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil

Pemohon adalah Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) huruf d, dan Lampiran

Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD

Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor

20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota. Sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan

substansi permohonan yang diajukan Pemohon, terlebih dahulu akan

mempertimbangkan apakah permohonan memenuhi persyaratan formal, yaitu

mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji objek permohonan

keberatan hak uji materiil dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon

untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil.

Kemudian sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,

Mahkamah Agung mempertimbangkan terlebih dahulu penundaan

pemeriksaan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi Juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017,

yang amarnya menyatakan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011, yang menyatakan “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan

apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut

sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan

Mahkamah Konstitusi”, sepanjang mengenai kata “dihentikan” dinyatakan

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sepanjang tidak

dimaknai “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

62

undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib ditunda

pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian

peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi

sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka terhadap

permohonan tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan Penetapan Nomor 46

P/HUM/2018, yang pada pokoknya telah menunda pemeriksaan permohonan,

karena dasar pengujian atas peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian

Mahkamah Konstitusi. Namun, setelah Mahkamah Agung meneliti secara

seksama Surat Pemberitahuan dari Mahkamah Konstitusi Nomor

24/HK.06/9/2018, Perihal Permintaan Data, ternyata Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang sedang diuji di Mahkamah

Konstitusi, tidak ada pasal atau norma yang berkaitan dengan dasar pengujian

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah

Agung, baik secara formil maupun materiil.

Pemohon adalah mantan terpidana kasus korupsi berdasarkan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah dibebaskan serta

telah aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Pemohon tidak terkait dengan

mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Oleh

karena itu, Pemohon hanya relevan untuk mempersoalkan pengujian frasa

mantan terpidana korupsi tersebut.

Hak memilih dan dipilih sebagai anggota legislatif merupakan hak

dasar di bidang politik yang dijamin oleh Konstitusi yaitu Pasal 28 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengakuan hak

politik ini juga diakui dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

(International Covenant on Civil and Political Rights) atau ICCPR.

Pengaturan mengenai hak politik diatur dalan Pasal 43 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang

menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam

pemilihan umum berdasarkan persamaan hak sesuai dengan ketentuan

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

63

peraturan perundang-undangan”, sedangkan Pasal 73 juga menentukan “Hak

dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi

oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin

pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan

dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Undang-Undang Hak Asasi Manusia sangat jelas diatur bahwa setiap

warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam

pemilihan umum dan kalaupun ada pembatasan terhadap hak tersebut, maka

harus ditetapkan melalui undang-undang atau berdasarkan Putusan Hakim

yang mencabut hak politik seseorang tersebut di dalam hukuman tambahan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan dalam Pasal

18 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 35 Ayat (1) KUHP yang

mengatur pencabutan hak politik (hak dipilih dan memilih).

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018, Pasal 4

Ayat (3), menentukan, “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan

terbuka sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), tidak menyertakan mantan

terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”

Pasal 11 Ayat (1) huruf d, menentukan “Dokumen persyaratan

pengajuan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (1)

berupa ... d. Pakta integritas yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik

sesuai dengan tingkatannya dengan menggunakan formulir Model B.3”.

Lampiran Model B.3 berisi tentang Pakta Integritas Pengajuan Bakal

Calon Anggota DPR/DPR Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, PKPU Nomor 20

Tahun 2018.

Menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam Pasal 4 Ayat

(3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan

dengan Pasal 240 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan: “Bakal calon anggota DPR,

DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan

harus memenuhi persyaratan:

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

64

g. “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara

terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan

mantan terpidana”. Dari ketentuan tersebut, tidak norma atau aturan

larangan mencalonkan diri bagi Mantan Terpidana Korupsi sebagaimana

yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) huruf d dan

Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota

DPR/DPR Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, Peraturan Komisi Pemilihan

Umum Nomor 20 Tahun 2018.

Meskipun maksud daripada Komisi Pemilihan Umum mencantumkan

Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3

ditujukan kepada pimpinan partai politik pada saat melakukan proses seleksi

internal parpol terhadap Bakal Calon Anggota Legislatif agar tidak

mengikutsertakan mantan terpidana koruptor, bandar narkoba, dan kejahatan

seksual terhadap anak, akan tetapi hal tersebut membatasi hak politik

seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Legislatif dalam

Pemilihan Umum.

Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan pula

dengan Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang

menentukan, “peraturan di bawah undang-undang berisi materi untuk

menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Secara nyata, Komisi

Pemilihan Umum telah membuat ketentuan yang tidak diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan di atasnya.

Bahwa Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) huruf d dan Lampiran

Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 juga

tidak sejalan, berbenturan, atau tidak memenuhi asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

65

Adapun penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas

sebagaimana menjadi semangat Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor

20 Tahun 2018 (objek hak uji materiil) merupakan sebuah keniscayaan bahwa

pencalonan anggota legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan tidak

pernah memiliki rekam jejak cacat dalam berintegritas. Namun pengaturan

terhadap pembatasan hak politik seseorang harus berdasarkan undang-

undang, bukan diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang dalam hal ini Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun

2018.

Bahwa Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) huruf d dan Lampiran

Model B.3 yang mengatur tentang hak politik warga Negara, merupakan

norma hukum baru yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi dalam hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilihan Umum, maka ketentuan Pasal tersebut dalam hal

sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” harus dinyatakan bertentangan

dengan Undang-Undang 7 Tahun 2017 Juncto Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011.

E. Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan

belaka (machtsstaat). Menurut Julius Stahl, menyebutkan ada tiga ciri negara

hukum, dua diantaranya ialah “perlindungan terhadap hak asasi manusia” dan

“pemerintahan haruslah berdasarkan atas Undang-Undang Dasar”. Jika kita

lihat adanya aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang

membatasi hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah

(gubernur, bupati, dan walikota) hanya karena pernah melakukan tindak

pidana merupakan aturan yang bertentangan dengan konstitusi.

Seseorang yang telah melaksanakan atau selesai menjalani suatu

tindak pidana, maka orang tersebut kembali ke tengah-tengah masyarakat

menjadi orang biasa dan dipulihkan hak-haknya sedia kala dan memperoleh

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

66

hak hukum yang sama sebagaimana dengan halnya warga lainnya. Hal ini

akan berbeda jika hakim menjatuhkan hukuman tambahan. Sanksi moral dan

sanksi pidana dalam hukum pidana dibatasi hanya terhadap perbuatan yang

telah diputus oleh hakim berdasarkan putusannya. Sanksi pidana dalam

hukum pidana dibagi menjadi 2 jenis yakni sanksi pidana pokok dan sanksi

pidana tambahan. Sanksi pidana tambahan yakni berupa pencabutan hak

tertentu sebagai sanksi pidana tambahan yang dimaksud dalam Pasal 10 huruf

b Nomor 1 KUHP dijatuhkan berdasarkan putusan hakim dan diberikan batas

waktu tertentu. Pencabutan hak tertentu dalam hukum pidana tidak berlaku

untuk seumur hidup. Norma hukum pidana yang diujikan dalam perkara a

quo termasuk sebagai sanksi Pidana berupa Pencabutan Hak-Hak Hukum

tertentu yakni hak untuk menduduki jabatan publik tertentu.

Hakim memiliki kekuasaan untuk memberikan hukuman tambahan

selain hukuman tahanan badan, seperti mencabut hak-hak asasi manusia

sesorang sesuai aturan hukum. Jika seseorang melakukan kejahatan

melampaui batas kewajaran, hakimlah yang berhak untuk memberikan dan

mencabut hak nya serta memberikan hukuman mati sesuai dengan ketentuan

yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman. Seseorang tidak dapat dihukum tanpa melalui

prosedur hukum yang adil.

Adanya larangan seseorang untuk mencalonkan diri sebagai calon

anggota DPR/DPRD karena pernah dihukum berkaitan dengan tindak pidana

korupsi merupakan aturan yang sewenang-wenang. Pembuat undang-undang

telah menghukum seseorang tanpa batas waktu dan merlarang orang yang

pernah dipidana. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang

telah melampaui batas kewenangannya dan merupakan tindakan

inkonstitusional. Pembentuk undang-undang dalam membentuk undang-

undang ini seolah-olah sudah memutus hak seseorang dan berperan sebagai

hakim yang berhak menilai dan menjatuhkan hukuman kepada seseorang.

Mahkamah Konstitusi pernah memutus suatu aturan yang sejenis

dengan permohonan a quo, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

67

017/PUU-I/2003 dalam pertimbangannya menyatakan “Pasal 28J Ayat (2)

UUD 1945 memungkinkan pembatasan dan kebebasan seseorang dengan

undang-undang, tetapi pembatasan tersebut haruslah didasarkan atas alasan-

alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Hal

ini sejalan dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa dalam Pasal 4

Ayat (3) dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 telah

melanggar batas hak dari Pemohon. Bahwa syarat tidak pernah dipidana

dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih yang diberlakukan secara

merata kepada semua orang, bukan suatu alasan yang diperbolehkan untuk

membatasi hak seseorang sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi.

Berkaitan dengan hal ini, Mahkamah Konstitusi secara tegas dan jelas

menyatakan itu hanya diperbolehkan jika hak pilihnya tersebut sudah dicabut

oleh putusan yang telah berkekuatan tetap.

Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-

VII/2009, saat itu Mahkamah Konstitusi menguji Pasal 12 huruf g dan Pasal

50 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 58 huruf f Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD

1945. Norma yang diuji adalah mengenai “tidak pernah dijatuhi pidana

penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana

penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Dalam menguji norma tersebut dalam

putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat: (i) tidak berlaku untuk

jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka

waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani

hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka

dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan

narapidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

68

Pemohon sendiri pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah

Konstitusi berkaitan dengan larangan mantan narapidana mencalonkan diri

sebagai kepala daerah. Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi

mengeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015

dengan menguji Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Pasal

tersebut memuat tentang larangan mantan narapidana dalam pilkada. Namun

demikian Komisi Pemilihan Umum telah melakukan pelanggaran dengan

memasukkan norma yang sama sekali tidak diamanatkan di dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2017. KPU telah memberikan ketidakadilan dan

ketidakpastian hukum dengan mengatur kembali aturan yang diskriminatif

yang tidak ada rujukan atau amanah dari undang-undang.

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan perumusan masalah dan bagian pembahasan, baik

berdasarkan teori maupun data-data yang peneliti dapatkan selama proses

penelitian, maka peneliti merumuskan kesimpulan sebagai berikut :

1. Tugas dan kewenangan KPU hanya untuk melaksanakan tahapan-tahapan

pemilu sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

PKPU Nomor 20 tahun 2018 bertentangan dengan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

2. KPU tidak berwenang membatasi dan membuat norma baru terhadap hak

politik mantan narapidana korupsi dalam pemilu legislatif 2019. Adalah

tepat dan mendukung putusan Mahkamah Agung Nomor

46/P/HUM/2018 yang mengabulkan permohonan pemohon atas nama

Jumanto dan membatalkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang

larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif tahun 2019.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui penulisan ini,

maka peneliti membuat rekomendasi sebagai berikut :

1. Dalam pembatasan hak politik mantan narapidana korupsi, KPU

semestinya memperjuangkan dalam pembahasan penyusunan rancangan

undang-undang pemilu ke DPR.

2. Kepada partai politik pemilu supaya tidak mengusulkan nama-nama

calon anggota legislatif yang telah menjadi mantan narapidana korupsi.

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

70

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Al-Qur’anul Karim

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, editor, Leny Wulandari, Ed. 1 Cet. 2,

Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed. 1, Cet. 1,

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2013

Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006)

------------------------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi RI, 2006

----------------------, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, editor Tarmizi,

Ed. 1, Cet. 2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011)

-----------------------, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan

dalam UUD 1945, (Yogyakarta : FH UII, 2004)

Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Ed.1, Cetakan 11, (Jakarta : PT

RajaGrafindo Persada, 2008)

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi,

Cetakan Pertama, Malang: Bayumedia Publishing, 2005

Indra, Mexsasai, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kesatu,

(Bandung : PT. Refika Aditama, 2011)

Kansil, C.S.T., Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1985)

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cet. 4, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2008

Muhshi, Adam, Teologi Konstitusi : Hukum Hak Asasi Manusia atas Kebebasan

Beragama di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: PT. Lkis Printing

Cemerlang, 2015)

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya :

Penerbit Bina Ilmu, 1997)

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2004

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

71

Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) :

Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi,

(Ciputat: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003)

PERUNDANG-UNDANGAN

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan

6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

8) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-17/PUU-I/2003

9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007

10) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009

11) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015

12) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017

13) Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018

14) PKPU Nomor 20 Tahun 2018

JURNAL

Abrori, Keabsahan Penggunaan Kewenangan Kebebasan Bertindak bagi

Pemerintah (Diskresi) : Studi Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Jurnal Ilmiah Wawasan Insan

Akademik, Vol. 1, No. 1, Mei 2016

Abustan, Eksistensi Indonesia sebagai Negara Hukum Demokrasi, Sebuah Telaah

Kritis, Justicia Sains, Vol. 2, No. 2, Desember 2017

Ali, Yusuf Faisal, Konsep Negara Hukum dalam Islam dan Relevansinya di

Indonesia, Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan),

Vol. 1, No. 2, Agustus 2014

Angelo Emanuel Flavio Seac dan Sirajuddin, Penguatan Kewenangan Lembaga

Badan Pengawas Pemilu dalam Penegakan Hukum Pemilu

Fazzan, Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Jurnal

Ilmiah Islam Futura, Vol. 14, No. 2, Februari 2015

Febriadi, Herry, Implementasi UU No. 7 Tahun 2017 terhadap Kedudukan dan

Kinerja Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Hulu Sungai Utara, Al’Adl,

Vol. X, No. 1, Januari 2018

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

72

Handayani, Yeni, Hak Mantan Narapidana sebagai Pejabat Publik dalam

Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan

Hukum Nasional

Hendri, William, Tinjauan Yuridis Kewenangan DKPP Menurut Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2011 terhadap Putusan DKPP Nomor : 23-25/DKPP-

PKE-I/2012, Jurnal Selat, Vol. 2, No. 1, Oktober 2014

Irawan, Oktino Setyo, Analisis Kedudukan Komisi Pemilihan Umum sebagai

Lembaga Independen dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Dinamika

Hukum, Vol. 1, No. 2, Februari 2011

Ja’far, Muhammad, Eksistensi dan Integritas Bawaslu dalam Penanganan

Sengketa Pemilu, Madani Legal Review, Vol. 3, No. 1, Juni 2018

Kaban, Ramon, Perkembangan Demokrasi Di Indonesia, Perspektif, Vol. VII, No.

3, Juli 2000

Mu’allifin, M. Darin Arif, Problematika dan Pemberantasan Korupsi di

Indonesia, Ahkam, Vol. 3, No. 2, November 2015

Natalia, Angga, Peran Partai Politik dalam Mensukseskan Pilkada Serentak di

Indonesia Tahun 2015, Jurnal TAPIs, Vol.11, No. 1, Januari-Juni 2015

Purwoleksono, Didik Endro, Hukum Pidana, Demokrasi, dan HAM, Perspektif,

Vol. IX, No. 3, Juli 2003

Puspitasari, Sri Hastuti, Kontekstualisasi Pemikiran Machiavelli tentang

Kekuasaan-Tujuan Negara, Jurnal Hukum, Vol. 8, No. 18, Oktober 2001

Radjab, Syamsuddin, Negara Hukum Demokratis : Konstitusionalisme, Rule of

Law dan HAM, Sulesana, Vol. 8, No. 2, 2013

Rahman, Andik Abdul, Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam

Pemilihan Anggota Legislatif Kota Balikpapan Periode 2014-2019,

eJournal Ilmu Pemerintahan, Vol. 5, No. 3, 2017

Santoso, Thomas, Kekuasaan dan Kekerasan, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan,

dan Politik, Tahun XIV, No. 4, Oktober 2001

Setiadi, Wicipto, Pembangunan Hukum dalam Rangka Peningkatan Supremasi

Hukum, Jurnal RechtsVinding, Vol. 1, No. 1, April 2012

Siroj, A. Malthuf, Korupsi dalam Perspektif Hukum Islam dan Strategi

Pemberantasannya, al-ahkam, Vol. 11, No. 2, Desember 2016

Suherry, Politik Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Ilmu Pemerintahan,

Vol. 7, No. 1, April 2017

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

73

Sugiono, Bambang dan Ahmad Husni M.D, Supremasi Hukum dan Demokrasi,

Jurnal Hukum, Vol. 7, No. 14, Agustus 2000

Widjojanto, Bambang, Negara Hukum, Korupsi, dan Hak Asasi Manusia : Suatu

Kajian Awal, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3, No. 1, 2012

INTERNET

https://akurat.co/id-237056-read-pembatasan-hak-dipilih-bagi-mantan-terpidana-

korupsi-dalam-perspektif-hukum-dan-ham, diakses pada tanggal 01

September 2018 Pukul 17.10 BBWI

https://nasional.kompas.com/read/2018/06/05/10150891/langkah-kpu-larang-

mantan-napi-korupsi-jadi-caleg-terganjal-pemerintah?page=all diakses

pada tanggal 01 September 2018 Pukul 14.59 BBWI

https://riaureview.com/mobile/detailberita/2156/opini/kpu%E2%80%9Ctabrak%E

2%80%9Dhak-politik-mantan-napi-koruptor-sekaligus-

%E2%80%9Clangkahi%E2%80%9D-uu-pemilu, diakses pada tanggal 03

September 2018 Pukul 22.18 BBWI

https://akurat.co/news/id-237056-read-pembatasan-hak-dipilih-bagi-mantan-

terpidana-korupsi-dalam-perspektif-hukum-dan-ham?catId=2, diakses

pada tanggal 28 September 2018, Jam 19.00 BBWI

http://repository.unpas.ac.id/13193/5/BAB%20II.pdf, diakses pada tanggal 05

September pukul 17.41 BBWI

http://arsip.rumahpemilu.org/in/read/195/Penyelenggara-Pemilu-1955-Berlaku-

Jujur-dan-Sederhana, diakses pada tanggal 12 September 2018, Jam 20.53

BBWI

https://news.detik.com/kolom/4142377/kemandirian-penyelenggara-pemilu,

diakses pada tanggal 12 September 2018, Jam 20.41 BBWI

Miriam Budiardjo “Pemilu 1999 Dan Pelajaran Untuk Pemilu 2004”. Dalam http:/

cetro.or.id/ pustaka/mariam.html. diakses tanggal 13 September 2018,

Jam. 07.59 BBWI

“Komisi Penghamburan Uang” Rabu, 14 November 2007. Dalam

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=vi

ew&id=12793&Itemid=62, diakses tanggal 13 September 2018, Jam.

08.01 BBWI

https://nasional.kompas.com/read/2017/05/14/08135841/rekonstruksi.kelembagaa

n.kpu, diakses pada tanggal 12 September 2018, Jam 20.46 BBWI

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

74

http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2008/4/Visi-dan-Misi, diakses pada

tanggal 12 September 2018, Jam 17.52 BBWI

http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2008/5/Tugas-dan-Kewenangan,

diakses pada tanggal 12 september 2018, jam. 17.16 BBWI

https://hendrakasim.wordpress.com/2018/06/08/larangan-caleg-mantan-napi-

korupsi-affirmative-action-sebuah-langkah-profetik/, diakses pada tanggal

23 September, Jam 10.50 BBWI

https://tirto.id/catatan-kinerja-kpk-di-2017-data-kasus-dan-latar-belakang-

koruptor cCn5, diakses pada tanggal 23 September 2018, Jam 18.37 BBWI

https://www.merdeka.com/politik/larangan-kpu-agar-eks-napi-tak-nyaleg-demi-

hindari-residivis-korupsi.html, diakses pada tanggal 23 September Jam

00.00 BBWI

http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1225-problematika-

pkpu-no-20-tahun-2018-mantan-koruptor-menjadi-caleg, diakses pada

tanggal 23 September 2018, Jam 16.54 BBWI

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 1 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

PUTUSANNomor 46 P/HUM/2018

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESAMAHKAMAH AGUNG

Memeriksa dan mengadili perkara permohonan keberatan Hak Uji Materiil

atas Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3

Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD

Kabupaten/Kota, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018

Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 834)

pada tingkat pertama dan terakhir telah memutus sebagai berikut, dalam

perkara:

JUMANTO, beralamat di Dusun Siyem, RT 01, RW 04 Desa

Sogaan, Pakuniran, Probolinggo, Jawa Timur;

Selanjutnya disebut sebagai Pemohon;

lawan:KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIKINDONESIA, berkedudukan di Jalan Imam Bonjol Nomor 29

Jakarta;

Selanjutnya disebut sebagai Termohon;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

TENTANG DUDUK PERKARA:Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya

tertanggal 9 Juli 2018 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada

tanggal 9 Juli 2018 dan diregister dengan Nomor 46 P/HUM/2018, telah

mengajukan permohonan keberatan Hak Uji Materiil terhadap :

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 2 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

1. Bahwa ketentuan pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili dan menguji

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang

terhadap Undang-Undang”. Kewenangan yang sama kemudian

dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 ayat (2) huruf (b) yang juga

menyatakan “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji

peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap

Undang-Undang”;

2. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

juncto Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 31 kembali

menegaskan kewenangan yang sama, yakni menyebutkan “Mahkamah

Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan

di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan Mahkamah

Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah

Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak

memenuhi ketentuan yang berlaku”;

3. Bahwa Mahkamah Agung telah mengatur hukum acara permohonan

pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi melalui

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji

Materiil. Pasal 1 angka 1 Perma tersebut menentukan definisi dari Hak

Uji Materiil Mahkamah Agung yakni sebagai “Hak Mahkamah Agung

untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah

Undang-Undang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 3 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

tinggi”;

4. Bahwa Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan telah

mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang

terdiri atas: “(a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c)

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang; (d)

Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah

Provinsi; dan; (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”. Jika merujuk

kepada pasal tersebut, maka Peraturan Komisi Pemilihan Umum

adalah termasuk ke dalam peraturan perundang-undangan yang

secara hierarki berada di bawah peraturan perundang-undangan

berbentuk undang-undang;

5. Bahwa dengan merujuk kepada hierarki peraturan perundang

undangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 di atas, Peraturan Komisi

Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang

Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota adalah termasuk peraturan perundang-undangan

yang secara hierarki berada di bawah Undang-Undang. Hal ini juga

dibuktikan dalam konsiderans menimbang mengatakan “bahwa untuk

melaksanakan ketentuan Pasal 249 ayat (3), Pasal 257 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, perlu

menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota”;

Bahwa berdasarkan uraian di atas, terbukti Peraturan Komisi Pemilihan

Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 834) secara hierarki berada

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 4 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

di bawah undang-undang, sehingga Mahkamah Agung Republik Indonesia

berwenang memeriksa, mengadili dan memutus Permohonan a quo ;

II. PEMOHON MEMILIKI KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)

MENGAJUKAN PERMOHONAN INI;

1. Bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung pasal 31A ayat (2) menyatakan “Permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh

pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu: (a) Perorangan

Warga Negara Indonesia; (b) Kesatuan masyarakat hukum adat

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam

Undang-Undang; atau (c) Badan hukum publik atau badan hukum

privat”;

2. Bahwa Pemohon adalah Jumanto, Warga Negara Indonesia (WNI)

yang dapat dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang

didalamnya tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK). Oleh karena

itu Pemohon adalah “perorangan” sebagaimana yang dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

pasal 31A ayat (2) dan oleh karenanya adalah pihak yang sah untuk

mengajukan permohonan pengujian ini;

3. Bahwa Pemohon Jumanto sebagai warga negara pernah dijatuhi

pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana

korupsi tanpa adanya hukuman tambahan yang berupa larangan untuk

aktif dalam kegiatan politik dan/atau dipilih atau memilih dalam suatu

Pemilihan Umum. Atas hukuman tersebut keduanya telah menjalani

hukuman dan telah kembali beraktifitas menjadi masyarakat biasa;

4. Bahwa Jumanto selaku Pemohon warga negara Republik Indonesia

yang pernah dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana

berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 5 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pid.Sus/2010 tanggal 9

Juni 2010. Dalam putusan tersebut Pemohon dijatuhi pidana penjara

karena melakukan tindak pidana korupsi. Di dalam putusan tersebut

tidak ada hukuman tambahan yang melarang Pemohon untuk aktif

dalam kegiatan politik, dipilih atau memilih dalam suatu Pemilihan

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Jumanto saat ini telah dibebaskan

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM. Bahwa

Jumanto yang saat ini telah aktif dalam kegiatan bermasyarakat saat ini

bermaksud untuk mencalonkan diri menjadi Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten Probolinggo. Namun demikian

dengan adanya aturan yang terdapat dalam undang-undang yang diuji

tersebut menjadi mustahil bagi Jumanto untuk mencalonkan diri dalam

proses Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di

Kabupaten Probolinggo;

5. Bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan

rakyat, di mana kedaulatan tersebut dijalankan berdasarkan pada

Undang-Undang Dasar sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1 ayat

(2) UUD 1945. Pemohon dalam hal ini sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari ratusan juta rakyat Indonesia yang memiliki kedaulatan

yang sama;

6. Sebagai “perorangan”, maka kedudukan Pemohon sebagai

perseorangan warganegara, dan oleh karena itu mempunyai hak-hak

konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, baik hak yang bersifat

tidak langsung seperti hak untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang

sebagai konsekuensi dari pernyataan bahwa Negara Republik

Indonesia adalah sebuah “negara hukum” sebagaimana normanya

diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pemohon dalam hal ini

pernah duduk dalam jabatan di pemerintahan dengan menjadi wakil

rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dalam

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 6 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

menjalankan perannya tersebut Pemohon selalu berusaha menjujung

pemerintahan agar dapat menjalankan fungsinya dalam melayani

masyarakat, begitu pun ketika Pemohon dinyatakan bersalah oleh

Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht),

Pemohon secara sadar dan penuh tanggung jawab menjalani hukuman

sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

7. Pemohon yang telah menjalani hukuman pidana sesuai dengan aturan,

kemudian kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk beraktifitas dan

menjalani kehidupan sehari-hari. Melakukan kegiatan seperti sediakala

seperti sebelum menjalani hukuman pidana penjara. Hukuman pidana

telah mengajarkan kepada Pemohon untuk melakukan instrospeksi dan

memperbaiki diri dalam berperilaku sehari-hari. Hal ini sesuai dengan

asas dan tujuan pemidanaan yang terdapat di berbagai peraturan

perundang-undangan;

8. Bahwa pada saat ini Pemohon bermaksud untuk kembali berperan

dalam membangun daerahnya dalam pemerintahan dengan menjadi

calon wakil rakyat dalam hal ini adalah menjadi Anggota DPRD di

Kabupaten Probolinggo. Namun demikan, hak keduanya menjadi

terhalang dengan adanya norma yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (3)

PKPU Nomor 20 Tahun 2018, berbunyi, “dalam seleksi bakal calon

secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan

seksual terhadap anak, dan korupsi.”, Pasal 11 ayat (1) huruf d,yang

berbunyi, “Dokumen persyaratan pengajuan bakal calon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berupa ... d. Pakta integritas yang

ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya

dengan menggunakan formulir Model B.3” dan Lampiran Model B.3

Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD

Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota. Norma tersebut jelas dan nyata

melanggar hak konstitusional pemohon yang diberikan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara RI

Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6109)

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 7 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

kepada Pemohon karena Pemohon yang pernah menjalani hukuman

pidana penjara korupsi, padahal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

tidak mengatur larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk

mengikuti Pemilihan Umum;

9. Bahwa dalam Putusan Pemohon yang telah berkekuatan hukum tetap

sama sekali tidak ada Pidana Tambahan yang melarang Pemohon

untuk dipilih dan/atau memilih atau untuk aktif dalam kegiatan politik

atau dalam suatu jabatan politik dan/atau menduduki jabatan di

pemerintahan atau dengan kata lain melarang Pemohon untuk menjadi

calon wakil rakyat di DPR atau DPRD;

10. Bahwa keinginan Pemohon untuk berpartisipasi dalam Pemilihan

DPRD sirna dikarenakan adanya Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1)

huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Bahwa

berlakunya norma tersebut telah serta-merta menghukum dan

membatasi hak seseorang, padahal suatu norma yang terdapat di

dalam undang-undang tidak bisa diberlakukan begitu saja. Norma

tersebut hanya dapat berlaku dan dijalankan melalui putusan

pengadilan. Bahwa seseorang hanya bisa dihukum dengan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika aturan tersebut

diberlakukan menunjukkan tidak adanya kepastian hukum terhadap diri

Pemohon. Oleh karena itu Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d,

dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 jelas-jelas

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182,

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6109), Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), dan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614);

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 8 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

11. Bahwa berlakunya norma dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1)

huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 telah

membatasi hak konstitusional Pemohon dalam rangka memajukan

dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma dalam

undang-undang tersebut sudah menghukum seseorang tanpa adanya

proses peradilan yang sah. Walaupun Pemohon pernah dinyatakan

bersalah dan telah menjalani hukuman atas perbuatannya, sehingga

saat ini Pemohon menjadi warga yang bebas dan merdeka. Pemohon

sebagai warga negara yang bebas dan merdeka itulah hak dan

kedudukan Pemohon telah dipersamakan dengan warga negara yang

lain, tidak boleh dibeda-bedakan. Pemohon diberikan hak untuk

kembali beraktifitas sehari-hari dalam rangka untuk kebaikan diri dan

masyarakat sekitarnya. Pemohon sebagai warga yang aktif dalam

kegiatan sosial memiliki harapan agar dirinya dapat bermanfaat bagi

masyarakat luas di daerahnya. Namun demikian aturan dalam kedua

pasal a quo yang diuji telah secara jelas dan tegas menghilangkan hak

Pemohon dalam memajukan dalam memperjuangkan haknya secara

kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara;

12. Bahwa berdasarkan argumentasi sebagaimana telah diuraikan dalam

angka 1 sampai dengan 12 di atas, terbukti Pemohon mengalami

kerugian atas berlakunya Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d,

dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 jelas-jelas

bertentangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara RI No 6109), Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), dan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614) yang

apabila Mahkamah mengabulkan permohonan a quo, segala kerugian

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 9 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

yang dialami Pemohon dapat dihentikan atau dicegah dari munculnya

dampak yang jauh lebih besar lagi. Dengan demikian Pemohon

memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan

permohonan a quo;

13. Bahwa Pemohon berharap dengan adanya kebijaksanaan Mahkamah

Agung yang akan mengabulkan petitum permohonan ini, maka

kerugian Pemohon dimaksud, diharapkan tidak akan atau tidak lagi

terjadi;

III. OBJEK PENGUJIAN

Bahwa Pasal yang diuji adalah:

a. Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018, berbunyi,

“Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan

mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap

anak, dan korupsi”;

b. Pasal 11 ayat (1) huruf d, yang berbunyi;

“Dokumen persyaratan pengajuan bakal calon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berupa ... d. Pakta integritas

yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik sesuai

dengan tingkatannya dengan menggunakan formulir Model

B.3”;

c. Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018;

Terhadap batu uji:

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182,

Tambahan Lembaran Negara RI No 6109);

b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 10 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3614);

IV. ARGUMENTASI YURIDIS

1. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana

dinyatakan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah sebuah “negara

hukum”. Para penyusun UUD 1945 menjelaskan bahwa Negara

Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat)

dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

Digunakannya istilah “rechtsstaat” ini menunjukkan bahwa para

penyusun UUD 1945 menggunakan konsep negara hukum di Jerman

di masa itu. Julius Stahl, seorang ahli hukum Jerman, menyebutkan

ada tiga ciri negara hukum dalam konsep “rechsstaat” itu, dua

diantaranya ialah “perlindungan terhadap hak asasi manusia” dan

“pemerintahan haruslah berdasarkan atas Undang-Undang Dasar”.

Sementara para penyusun UUD 1945 tegas mengatakan bahwa

Negara Republik Indonesia tidaklah berdasarkan atas “kekuasaan

belaka” atau “machtsstaat” yang dalam Bahasa Jerman mengandung

arti negara itu dijalankan semata-mata berdasarkan kekuasaan,

bukan berdasarkan atas hukum;

2. Bahwa negara yang mengandung ciri “machtstaat” itu tidaklah

semata-mata harus dilihat pada tindakan-tindakan kongkretnya, tetapi

juga pada norma-norma hukum yang diciptakannya. Sebuah negara

bisa saja menyatakan dirinya secara normatif konstitusional bahwa

negaranya adalah “negara hukum”, namun dalam produk

perundang-undangan di bawah konstitusi yang diciptakannya, negara

itu justru menginjak-injak konstitusi dan melalui norma-norma hukum

yang diciptakannya negara itu mendapatkan legitimasi untuk

bertindak secara totaliter. Salah satu cara untuk menghindari

terjadinya negara seperti itu, maka semua produk hukum yang

diciptakan oleh negara haruslah menjamin asas keadilan dan

kepastian hukum. Asas keadilan mengandung makna adanya

proporsionalitas dan asas kepastian hukum mengandung makna

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 11 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

bahwa norma hukum yang diciptakan haruslah tidak multi tafsir dan

tidak menimbulkan kerancuan kewenangan antar lembaga-lembaga

negara (staatsorgan) dan lembaga-lembaga pemerintahan

(regeringsorgan);

3. Bahwa Perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mengubah

paradigma ketatanegaraan adalah pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3)

UUD 1945. Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa

”Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”. Penegasan ini menunjukkan bahwa

demokrasi sebagai paradigma, tidak berdiri sendiri, tetapi paradigma

demokrasi yang dibangun harus dikawal bahkan harus didasarkan

pada nilai hukum, sehingga produk demokrasi dapat dikontrol secara

normatif oleh paradigma hukum. Hal ini berarti bahwa paradigma

demokrasi yang dibangun adalah berbanding lurus dengan paradigma

hukum dan inilah paradigma negara demokrasi berdasar atas hukum

atau negara hukum yang demokratis. Paradigma ini berimplikasi pada

kelembagaan negara, model kekuasaan negara, prinsip pemisahan

kekuasaan dan checks and balances, serta kontrol normatif yang

pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga peradilan. (Paul Christoper

Manuel, et.al., 1999: 16 – 17). Oleh karena itu paradigma tersebut

mengubah paradigma supremasi parlemen menjadi prinsip supremasi

hukum (Negara, pemerintah dan masyarakat diatur dan diperintah

oleh hukum). Selanjutnya Pasal 1 Ayat (3) Undang Undang Dasar

1945 (UUD 1945) menyatakan dengan tegas bahwa "Negara

Indonesia adalah negara hukum". Di dalam konsep cita negara hukum

terdapat prinsip-prinsip yang menjadi karakteristik utama dan harus

dijalankan guna terwujudnya negara hukum. Prinsip-prinsip tersebut

senantiasa berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat,

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin

kompleksnya kehidupan masyarakat di era global. Dua isu pokok

yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip

negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 12 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini berarti, seluruh

kelompok masyarakat terlindungi posisi, fungsi dan perannya dalam

mengembangkan dirinya, kelompok masyarakat dan Negara. Kondisi

ini juga akan berdampak pada penghormatan, perhatian dan

pemenuhan hak-hak warga negara dan hak-hak individu (to respect,

to protect and to fullfil - citizen’s constitutional right and human right).

Dengan demikian setiap warga Negara dan setiap orang akan

memperoleh perlakuan yang berkesimbangan (balance), perlakukan

menurut kepatutan (proper), dan perlakuan yang wajar (proporsional)

yang berujung pada terwujudnya keadilan sejati;

4. Bahwa beberapa ketentuan UUD 1945 menegaskan atas

perlindungan hak-hak dasar Pemohon sebagai warga Negara RI

pembayar pajak harus mendapat hak atas perlindungan dari negara

atas segala hal yang dapat merugikan Pemohon. Perlindungan atas

hak-hak dasar baik selaku perorangan dan selaku warga negara RI

(Protector of citizen’s constitutional right and protector of human right)

menjadi penting bagi negara atas orang per-orang dan warganya agar

aktifitas kemanusiaannya dan sosial serta politiknya dapat dijalankan

sebagaimana mestinya. Dalam hubungan ini, maka negara memiliki

kewajiban untuk memperhatikan, melindungi dan memenuhi hak-hak

dasar orang perorang dan warga negaranya (to respect, to protect

anda to fullfil of the citizen’s constitutional right and the human right).

Beberapa ketentuan dalam UUD 1945 yang terkait dengan hak-hak

dasar Pemohon dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal

28D ayat (3) UUD 1945. Sebagai bagian fundamental dari hak dasar

yang diatur dan dijamin oleh UUD 1945 tersebut, maka dengan

sendirinya negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam

memberikan perhatian, perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak

dasar tersebut dan tidak boleh suatu kebijakan negara berupa

undang-undang yang dapat mengurangi terhadap hak-hak dasar

tersebut;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 13 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

5. Bahwa sejatinya, secara normatif konstitusional kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

(Pasal 1 ayat 2). Kedaulatan rakyat ini dapat diwujudkan dengan

memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara

untuk dapat memilih dan dipilih secara demokratis. Hal tersebut

tentunya harus didukung dengan peraturan perundang-undangan

yang adil dan tidak diskriminatif yang membeda-bedakan kedudukan

setiap warga negara. Prinsip kedaulatan rakyat ini telah berjalan maju

sejak Indonesia merdeka. Pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati,

dan walikota) bukan hanya persoalan kekuasaan semata yang

menjadi kewenangan pemerintah pusat untuk memilih kepala daerah

di bawahnya, saat ini pemilihan kepala daerah dipilih oleh rakyat

secara langsung sebagai bukti kedaulatan berada di tangan rakyat,

untuk itulah masyarakat harus diberikan pilihan secara adil dan tanpa

diskriminasi. Masyarakat nantinya yang akan diberikan pilihan sesuai

dengan kehendaknya siapa yang cocok menjadi pemimpin di

daerahnya;

6. Bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 telah

menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Untuk

itulah kedaulatan rakyat hanya akan berjalan baik jika didasari dengan

hukum yang adil yang memberikan kesempatan kepada seluruh

warga negara untuk berpartisipasi. Jika kita melihat alasan tersebut,

adanya aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang

membatasi hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala

daerah (gubernur, bupati, dan walikota) hanya karena pernah

melakukan tindak pidana merupakan aturan yang bertentangan

dengan konstitusi. Konstitusi kita dibuat oleh para Pendiri Bangsa

(The Founding Fathers) yang telah berpikiran maju bagi bangsanya

dengan cara berbuat adil dan tidak diskriminatif, meninggalkan

sikap-sikap kolonialisme sebagai warisan penjajah. Para The

Founding Fathers kita pernah mengalami hukuman penjara menurut

aturan hukum kolonial, mereka juga harus dibuang ke pelosok tanah

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 14 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

air karena membela bangsa dan idealismenya. Apa jadinya jika aturan

seperti pada Pasal 7 huruf gdan Pasal 45 ayat (2) huruf k

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 diberlakukan saat itu, tentunya

Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta tidak dapat menjadi Presiden

dan Wakil Presiden. Bahwa melihat hal tersebut menunjukkan jika

orang yang pernah dipenjara tidak berarti buruk secara moral. Pidana

penjara tidak menjamin seseorang akan buruk selamanya, dan

sebaliknya seseorang yang tidak pernah dihukum tidak menjamin

seseorang itu akan selalu berbuat baik. Hukuman tidak dapat

digunakan sebagai tolak ukur moral, dan visi seseorang pemimpin

dalam membangun masyarakat. Para Pendiri Bangsa membuktikan

hal tersebut;

7. Bahwa jika kembali melihat ke belakang sejarah bangsa ini, sejak

zaman Orde Lama dan Orde Baru banyak tindakan-tindakan yang

dilakukan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya

dengan cara membuat aturan untuk membatasi hak warga negara

dalam kegiatan politik. Untuk itulah setelah Reformasi 1998, dilakukan

refleksi ulang akan kondisi bangsa Indonesia dan membangun

kembali negeri dengan visi yang jauh ke depan. Hal ini

diejawantahkan melalui amandemen konstitusi Undang-Undang

Dasar 1945 yang sebelumnya dianggap sakral dan suci sehingga

tidak dapat diubah. Salah satunya dalam perubahan kedua UUD 1945

yang mengakui hak setiap orang yang diberikan pengakuan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama di hadapan hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28D

ayat (1) UUD 1945 dan pembatasan yang dibuat oleh suatu

undang-undang semata-mata hanya untuk penghormatan atas hak

dan kebebasan untuk memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana

termaktub di dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945;

8. Bahwa pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota)

sebagai bagian dari proses demokrasi merupakan keistimewaan

Republik Indonesia. Hal ini sebagai warisan Reformasi yang

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 15 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

membedakan dengan Orde sebelumnya. Aturan

perundang-undangan pasca Reformasi telah memberikan kedaulatan

secara penuh di tangan rakyat untuk memilih secara langsung

pemimpin daerahnya. Rakyat akan tahu siapa yang layak dipilih dan

tidak dipilih. Jika seseorang pernah dinyatakan bersalah dan tidak

berkontribusi bagi daerahnya tentunya orang tersebut tidak akan

dipilih sebagai pemimpin. Namun demikian, tidak berarti seseorang

yang pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan

yang berkekuatan hukum tetap tersebut tidak boleh berpartisipasi

dalam pemilihan kepala daerah. Undang-undang tidak boleh

melakukan diskriminasi dengan membatasi kesempatan setiap orang

karena tindakan yang pernah dilakukan seseorang, biarlah nanti

daulat rakyat yang memutuskan;

9. Bahwa dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah memberikan jaminan

kedudukan di dalam hukum bagi seluruh warga negara. Jaminan

kedudukan tersebut berlaku kepada semua orang, termasuk kepada

orang yang pernah dipidana. Tidak ada pembedaan kepada orang

yang pernah dipidana, karena statusnya kembali bebas dan merdeka.

Pembedaan kedudukan warga negara ini mengingatkan kita pada

zaman Orde Baru yang membedakan orang karena seseorang

tersebut merupakan mantan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia).

Seseorang yang pernah di cap PKI selama hidupnya – zaman Orde

Baru – akan mengalami diskriminasi dalam setiap hal, mulai dari

dipenjara sebagai tahanan politik, berlanjut ke hukuman yang sifatnya

administratif seperti tanda tertentu pada KTP, sulit mendapatkan

pekerjaan di pemerintahan, ataupun hilang haknya untuk memilih

dan/atau dipilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dimana bentuk

diskriminasi itu berlangsung terus-menerus tanpa ada batas waktu.

Mengenai hal ini Mahkamah pernah mengeluarkan Putusan Nomor

11-17/PUU-I/2003;

10.Bahwa seseorang yang telah melaksanakan atau selesai menjalani

suatu sanksi pidana, maka orang tersebut kembali ke tengah-tengah

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 16 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

masyarakat menjadi orang biasa dan dipulihkan hak-haknya seperti

sedia kala dan memperoleh hak hukum sama sebagaimana warga

lainnya. Hal ini akan berbeda jika hakim menjatuhkan hukuman

tambahan;

11.Bahwa sanksi moral dan sanksi pidana dalam hukum pidana dibatasi

hanya terhadap perbuatan yang telah diperiksa dan diputus oleh

hakim yang kemudian dimuat dalam putusannya. Sanksi pidana

dalam hukum pidana hanya ada 2 (dua) jenis yakni sanksi Pidana

Pokok dan sanksi Pidana Tambahan. Sanksi pidana tambahan

berupa pencabutan hak tertentu sebagai sanksi pidana tambahan

dimaksud dalam Pasal 10 huruf b Nomor 1 KUHP dijatuhkan

berdasarkan putusan hakim dan diberikan dalam waktu tertentu atau

dibatasi;

12.Bahwa pencabutan hak tertentu dalam hukum pidana, dibatasi karena

waktu atau dalam masa tertentu atau keadaan sampai pulih kembali

dapat menjalankan hak hukumnya atau kewajibannya. Pencabutan

Hak Tertentu dalam hukum pidana tidak berlaku untuk waktu yang

tidak terbatas atau seumur hidup. Norma hukum pidana yang diujikan

dalam perkara a quo menurut hukum pidana termasuk sebagai sanksi

Pidana Tambahan berupa Pencabutan Hak-Hak Hukum Tertentu

yaitu hak untuk menduduki jabatan publik tertentu;

13.Bahwa tujuan dalam hukum pidana adalah penjatuhan sanksi pidana

penjara bagi pelanggaran hukum pidana agar kembali menjadi

anggota masyarakat yang terhormat dengan menjalankan pidana

penjara dengan sistem pemasyarakatan yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Sanksi pidana dibatasi masa berlakunya dan harus melalui putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,

terbatas yang dimuat dalam putusan pengadilan yang tentu saja

dibatasi masa berlakunya;

14.Bahwa Pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik berdasarkan

putusan pengadilan pidana dibatasi dalam masa tertentu oleh waktu

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 17 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

atau keadaan. Norma yang diuji secara administrasi memberi

hukuman/pencabutan haknya untuk menjadi wakil rakyat (Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat) untuk selamanya atau seumur hidup;

15.Bahwa syarat administrasi menghubungkan dengan norma hukum

pidana dan pemidanaan, penggunaannya tidak boleh bertentangan

secara filosofis normatif yakni maksud dan tujuan pelarangan suatu

perbuatan dan pemidanaan dalam hukum pidana. Hal ini sebagai

konsekuensi logis dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia;

16.Bahwa prinsip hukum dalam hukum pidana, pencabutan hak hukum

setiap orang dilakukan berdasarkan putusan pengadilan dan sifat

putusan pengadilan dalam kaitannya dengan pencabutan hak hukum

tertentu bersifat terbatas tidak boleh mematikan hak keperdataan atau

dibatasi dalam masa tertentu yakni ada waktu tertentu, atau keadaan

tertentu sampai dia pulih dapat mengembangkan hak hukumnya

kembali. Maka apabila bermaksud untuk merumuskan syarat

administrasi yang dihubungkan dengan norma hukum pidana atau

norma pemidanaan dalam menduduki jabatan publik negara

sebaiknya menggunakan batas waktu tertentu atau limitasi yakni

selama waktu tertentu setelah seorang selesai menjalani pidana

penjara;

17.Bahwa tidak dibenarkan norma hukum administrasi memuat

pencabutan hak hukum seseorang karena menjalani pidana penjara

untuk selamanya atau seumur hidup padahal hukum pidana dan

pengadilan pidana tidak pernah menjatuhkan pidana tambahan

berupa pencabutan hak hukum terpidana untuk selamanya atau

seumur hidup. Selain itu adanya penyamaan semua orang melakukan

kejahatan karena norma hukum administrasi adalah tidak tepat.

Dalam perspektif hukum pidana, pencabutan orang melakukan

pelanggaran hukum pidana harus dengan putusan, tidak boleh

dengan norma;

18.Bahwa seseorang dihukum tentunya harus melalui proses yang adil

dan prosedural. Sistem hukum pidana kita menutut seseorang hanya

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 18 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

dapat dihukum jika putusan telah berkekuatan hukum tetap. Dalam

perjalanannya hakim yang memutus akan menilai suatu tindak pidana

dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri/PN), banding (Pengadilan

Tinggi/PT), sampai kasasi (Mahkamah Agung/MA). Tingkatan itu

memberikan kesempatan kepada hakim untuk menilai tindak pidana

seseorang dan menerapkan hukuman yang sesuai dengan kualitas

berat ringannya suatu tindak pidana. Bahkan putusan yang telah

melampaui tiga tingkatan tersebut (PN, PT, dan MA atau yang telah

berkekuatan hukum tetap) bisa dilakukan pemeriksaan kembali

melalui prosedur Peninjauan Kembali yang menguji lagi keabsahan

suatu putusan pemidanaan. Dengan hal tersebut, Hakim diharapkan

akan mengadili dengan seksama dan akan mengoreksi jika ada

kesalahan dari putusan sebelumnya. Putusan hakim hanya

membatasi pada perbuatan pidana yang dilakukan yang dibuktikan di

dalam persidangan dan memberikan batasan waktu hukuman;

19.Bahwa hakim memiliki kekuasaan untuk memberikan hukuman

tambahan selain hukuman tahanan badan, seperti mencabut hak-hak

asasi seseorang setelah menilai kualitas tindak pidana dalam

prosedur yang sesuai aturan hukum. Jika seseorang melakukan

kejahatan melampaui batas kewajaran, hakim di negeri ini bahkan

diberikan hak untuk mencabut hak paling dasar yang dimiliki makhluk

hidup yaitu memberikan hukuman mati. Hakimlah yang memiliki hak

dan kewenangan yang diberikan undang-undang untuk menjatuhkan

hukuman kepada seseorang sebagaimana diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman;

20.Bahwa seseorang tidak dapat dihukum tanpa melalui prosedur hukum

yang adil (fair). Adanya larangan mencalonkan diri kepada seseorang

untuk menjadi anggota DPR/DPRD karena pernah dihukum berkaitan

dengan tindak pidana korpusi merupakan aturan yang

sewenang-wenang. Pembuat undang-undang menghukum sesorang

tanpa batas waktu dan melarang orang yang pernah dipidana. Hal ini

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 19 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

menunjukkan pembentuk undang-undang telah melampaui batas

kewenangannya dan ini merupakan tindakan inkonstitusional.

Pembentuk undang-undang dalam membentuk undang-undang ini

seolah-olah sudah memutus hak seseorang dan berperan sebagai

hakim yang berhak menilai dan menjatuhkan hukuman kepada

seseorang. Padahal mengenai penjatuhan putusan ini adalah

kewenangan hakim dan diatur tegas dalam Bab X mengenai Putusan

Pengadilan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, “Putusan pengadilan

selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal

tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau

sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”;

21.Bahwa demokrasi menuntut partisipasi aktif dari setiap orang dalam

suatu negara dengan pondasi hukum di dalamnya. Tanpa pondasi

hukum yang adil hanya akan melahirkan pemerintahan yang totaliter

dan benih-benih kediktatoran. Perjalanan bangsa telah mengajarkan

bagaimana proses pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah

dalam bingkai demokrasi hanya digunakan untuk mempertahankan

kekuasaan pada sekelompok orang tertentu, untuk itulah konsitusi

dibuat untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua

orang. Partisipasi dalam berdemokrasi tersebut tentunya adalah

dengan melibatkan setiap orang untuk ikut serta di dalam proses

demokrasi, salah satunya adalah proses pemilihan, yang di dalamnya

terdapat yang dipilih dan memilih. Tujuannya adalah agar setiap

orang berlomba dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negara

dengan cara yang adil dan berlandaskan hukum. Mengenai hal ini

konstitusi kita telah menjamin di dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

Konstitusi kita menjamin setiap orang untuk memperjuangkan dirinya

secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara.

Kontitusi tidak membedakan-bedakannya. Melihat konsitusi ini jelas

bahwa antara masyarakat biasa dan mantan narapidana haknya

sama dalam pembangunan bangsa Indonesia. Mantan narapidana

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 20 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

adalah warga negara yang telah menjalani hukuman berdasarkan

putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan telah

kembali ke masyarakat untuk menjadi warga yang bebas dan

merdeka. Semua warga negara dengan itu dapat turut serta dalam

kegiatan pembangunan salah satunya dengan menjadi wakil rakyat;

22.Bahwa salah satu bentuk turut serta dalam membangun masyarakat,

bangsa, dan negara sebagaimana termuat dalam Pasal 28C ayat (2)

UUD 1945 adalah menjadi bagian dalam pemerintahan sebagaimana

di dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Negara telah menjamin

kepada setiap orang untuk duduk dalam pemerintahan dengan tidak

ada pengecualian. Bentuk partisipasi dalam pemerintahan tidak dapat

dilepaskan dari kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).

Sehingga jika ada aturan yang membatasi seseorang untuk duduk

dalam pemerintahan tentu bertentangan dengan konstitusi negara.

Adanya aturan yang melarang seseorang untuk duduk dalam

pemerintahan karena orang tersebut pernah melakukan tindak pidana

merupakan aturan yang inkonstitusional. Bahwa kemudian tidak ada

jaminan seseorang yang tidak pernah dipidana akan dapat memimpin

daerah dengan adil, bersih, dan membawa masyarakatnya dalam

kesejahteraan;

23.Bahwa Mahkamah Konstitusi pernah memutus suatu aturan yang

sejenis dengan permohonan a quo, yaitu dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 yang

pada pertimbangannya menyatakan “Pasal 28J ayat (2) UUD 1945

memungkinkan pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan

undang-undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut

haruslah didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan

proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan itu hanya dapat

dilakukan dengan maksud “semata-mata untuk menjamin pengakuan

serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,

nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 21 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

masyarakat demokratis”; Pembatasan hak pilih (aktif maupun pasif)

dalam proses pemilihan lazimnya hanya didasarkan atas

pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan jiwa,

serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut

hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif”. Hal ini

sejalan dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa dalam Pasal

4 ayat (3) dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018

telah melanggar batas hak dari Pemohon. Bahwa syarat tidak pernah

dipidana dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih yang

diberlakukan secara merata kepada semua orang, bukan suatu

alasan yang diperbolehkan untuk membatasi hak seseorang

sebagimana yang dimaksudkan dalam konstitusi. Mengenai hal ini

Mahkamah sudah tegas dan jelas menyatakan itu hanya

diperbolehkan jika hak pilihnya tersebut sudah dicabut oleh putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, di mana sifatnya adalah

individual dan tidak kolektif;

24.Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

4/PUU-VII/2009 tanggal 18 Maret 2009, saat itu Mahkamah menguji

Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah terhadap UUD 1945. Norma yang diuji adalah mengenai

“tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun

atau lebih”. Dalam menguji norma tersebut dalam putusannya

Mahkamah menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang tidak memenuhi syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 22 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka

waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai

menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang

secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang

bersangkutan mantan narapidana; (iv) bukan sebagai pelaku

kejahatan yang berulang-ulang”;

25.Bahwa Pemohon sendiri pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah

Konstitusi berkaitan dengan larangan mantan narapidana

mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Atas permohonan tersebut,

Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 mengabulkan permohonan agar

pasal 7 huruf g Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan. Pasal tersebut memuat

ketentuan bahwa mantan narapidana dilarang ikut pilkada. Bahwa

selanjutnya DPR membuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

yang telah menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

dengan tetap memperbolehkan mantan narapidana untuk maju

sebagai calon wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat, DPRD

Kabupaten/Kota.

26.Bahwa dengan adanya beberapa Putusaan Mahkamah yang bersifat

final and binding seperti tersebut di atas, DPR telah mengakomodasi

aturan hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum. Namun demikian Komisi Pemilihan Umum

telah melakukan pelanggaran dengan memasukan suatu norma yang

sama sekali tidak diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 tersebut. KPU telah memelihara ketidakadilan dan

ketidakpastian hukum dengan mengatur kembali aturan yang

diskriminatif yang tidak ada rujukan atau amanah dari

undang-undang. Aturan KPU tersebut dimuat di dalam Pasal 4 ayat

(3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor

20 Tahun 2018;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 23 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

27.Berdasar hal tersebut jelas apa yang dibuat oleh KPU tersebut

dengan membuat PKPU Nomor 20 Tahun 2018 jelas tidak sesuai

hukum dan peraturan perundang-undangan, tidak memiliki landasan

filosofis dan diskriminatif;

IV.A Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Bertentangan dengan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum(Lembaran Negara RI

Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara RI No 6109)

1. Bahwa putusan mahkamah konstitusi sudah memberikan

pertimbangan yang adil dengan tetap memberikan kesempatan

kepada setiap orang untuk menjadi pelayan publik dengan menjadi

kepala daerah atau wakil rakyat di dewan perwakilan. Setiap aturan

yang merintangi seorang mantan narapidana diberikan aturan yang

adil dan berimbang, dengan tetap melindungi hak yang melekat pada

dirinya;

2. Bahwa Pemohon sendiri pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah

Konstitusi berkaitan dengan larangan mantan narapidana

mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Atas permohonan tersebut,

Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan MK Nomor

42/PUU-XIII/2015 mengabulkan permohonan agar pasal 7 huruf g

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala

Daerah dibatalkan. Pasal tersebut memuat ketentuan bahwa mantan

narapidana dilarang ikut pilkada. Bahwa selanjutnya DPR membuat

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang telah menindaklanjuti

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan tetap

memperbolehkan mantan narapidana untuk maju sebagai calon wakil

rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat, DPRD Kabupaten/Kota.

3. Bahwa dengan tetap memasukan persyaratan yang sifatnya

diskriminatif tersebut yang melarang Pemohon sebagai wakil rakyat

dengan alasan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana

korupsi dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018, maka apa yang

dilakukan oleh KPU jelas berlawanan dengan Undang-Undang Nomor

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 24 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

7 Tahun 2017. Aturan KPU tersebut tidak memiliki landasan formil

dan materil pembentukan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sendiri tidak mengatur hal

tersebut, tidak ada norma di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 yang melarang mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai

wakil rakyat di DPR atau DPRD. Tidak ada norma di dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang memerintahkan KPU

untuk mengatur hal tersebut;

4. Bahwa di dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi:

“Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus

memenuhi persyaratan:

a. telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

d. dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa

Indonesia;

e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas,

madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah

kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat;

f. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan

Bhinneka Tunggal Ika;

g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun

atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada

publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;

h. sehat jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika;

i. terdaftar sebagai pemilih;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 25 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

j. bersedia bekerja penuh waktu;

k. mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah,

aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan

pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau

badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya

bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat

pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat,

notaris, pejabat pembuat akta tanah, atau tidak melakukan

pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan

keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan

konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai

anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

m.bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara

lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan pada badan

usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan

Lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;

o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan dan

p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.”

Bahwa berdasarkan Pasal 240 ayat (1) huruf g, hanya diatur

mengenai “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5

(lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur

mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan

terpidana”. Sehingga berdasarkan norma tersebut, tidak ada norma /

aturan mengenai larangan mencalonkan diri bagi mantan narapidana

tindak pidana korupsi sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 4

ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 26 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Nomor 20 Tahun 2018. Aturan PKPU tersebut jelas bertentangan

dengan norma yang ada di atasnya karena membuat norma baru

yang tidak diamanahkan dalam undang-undang. Norma yang ada di

dalam PKPU tersebut justru diskriminatif dan tidak mempunyai

landasan hukum di dalam undang-undang;

5. Bahwa selanjutnya mengenai kewenangan dari Partai Politik untuk

melakukan seleksi anggota partai dalam mencalonkan diri ada di

dalam Pasal 241 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum berbunyi:

(1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon

anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;

(2) Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan

anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan

internal Partai Politik Peserta Pemilu;

Selanjutnya di dalam Pasal 243 UU Nomor 7 Tahun 2017, berbunyi:

(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 disusun

dalam daftar bakal calon oleh partai politik masing-masing;

(2) Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus Partai

Politik Peserta Pemilu tingkat pusat;

(3) Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh

pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi;

(4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh

pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota;

Berdasarkan aturan tersebut adalah kewenangan dari Partai Politik

peserta pemilu untuk menentukan mana yang layak menjadi calon

anggota di dewan perwakilan, bagian dari tugas partai untuk

melakukan seleksi berdasar aturan partainya sendiri, sehingga tidak

ada halangan atau kewajiban untuk melarang mantan terpidana

korupsi menjadi anggota partai dan mencalonkan diri dari partainya.

Berdasar hal tersebut maka Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20

Tahun 2018. Aturan PKPU tersebut jelas bertentangan dengan norma

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 27 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

tersebut. partai memiliki kebebasan yang dijamin oleh undang-undang

tersebut, sehingga norma di dalam PKPU jelas bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017;

IV.B Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5234);

1. Bahwa dengan adanya putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015

mengabulkan permohonan agar pasal 7 huruf g Undang-undang

Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan.

Pasal yang telah dibatalkan tersebut memuat ketentuan bahwa

mantan narapidana dilarang ikut pemilihan yang menduduki jabatan

publik. Bahwa selanjutnya DPR membuat Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 yang telah menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut dengan tetap memperbolehkan mantan narapidana tanpa

membedakan jenis pidana yang dilakukan untuk maju sebagai calon

wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat, DPRD

Kabupaten/Kota;

2. Bahwa jika kita lihat secara formil sesuai Pasal 8 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan itu jelas dikatakan bahwa peraturan

perundang-undangan (dalam hal ini peraturan komisi) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi

atau dibentuk berdasarkan kewenangan;

3. Bahwa perlu kami sampaikan kembali, tindakan KPU yang

memasukkan kembali aturan yang sama padahal sudah pernah

diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dan telah ada undang-undang

yang menindaklanjutinya, tidak sejalan dengan Pasal 12 huruf d UU

Nomor 12 Tahun 2011, yaitu peraturan di bawah undang-undang

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 28 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana

mestinya. KPU telah membuat peraturan yang sama sekali tidak

pernah diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan di atasnya;

4. Bahwa berdasarkan poin 1 sampai 3 di atas, maka Pasal 4 ayat (3),

Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20

Tahun 2018 tidak sejalan, berbenturan, atau tidak memenuhi

asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

sebagaimana yang dijelaskan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

IV.C Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d,dan Lampiran Model B.3

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3614)

1. Bahwa adanya Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan

Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 menunjukkan

adanya ketidakpercayaan Pembentuk Undang-Undang terhadap

sistem pemasyarakatan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam

UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;

2. Bahwa sistem pemasyarakatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1

ayat (2) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, “Sistem

Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas

serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan

Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang

dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan

tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab”;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28

Page 112: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 29 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

3. Bahwa norma Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan

Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 itu, tidak sejalan

dengan folisofi sistem pemasyarakatan kita. Filosofi pemasyarakatan

kita mendidik orang supaya jadi orang baik, tidak lagi menghukum

orang itu, menyiksa orang itu supaya jera, tapi supaya orang itu

insyaf, supaya orang itu menjadi orang baik terus sudah ber-akhlakul

karimah terus dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) jadi

orang baik, kembali hidup di masyarakat sebagaimana layaknya

seorang warga negara yang baik. Itu tujuan filosofi pemasyarakatan

kita itu. Tapi adanya pasal a quo yang diuji itu kan sepertinya filosofi

pemasyarakatan sudah tidak ada artinya. Orang ini sudah dihukum

katakanlah diancam 5 tahun karena dituduh melakukan tindak pidana

korupsi, lalu dihukum 2 tahun, baik kelakuannya dikasih remisi, kena

Pembebasan Bersyarat (PB), setahun kemudian sudah dikeluarkan

dari LP. Seyogianya kan, orang itu sudah diterima menjadi warga

negara yang baik karena sudah dididik di LP itu, itu sudah jadi orang

baik, sudah kembali ke tengah-tengah masyarakat. Tapi sepertinya

ketentuan ini Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan

Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 ini seperti tidak

mengakui sistem pemasyarakatan kita dan seperti tidak juga

mengakui apa yang susah payah dilakukan oleh lembaga

pemasyarakatan dalam rangka mendidik warga binaan supaya

menjadi orang yang baik;

4. Bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran

Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 membatasi hak-hak

seseorang, seolah-olah seseorang tidak dapat lagi menjadi baik

karena pernah menjadi warga binaan lembaga pemasyarakatan.

Terlihat di sini jika komisioner KPU tidak percaya dengan sistem

pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan;

5. Bahwa dalam hukum pidana dikenal adanya pengampunan dan

permaafan dan juga dikenal di dalamnya adalah taubat.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29

Page 113: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 30 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Pemasyarakatan sebagai salah satu sarana menjalani pidana disebut

sebagai resosialisasi atau pemasyarakatan kembali narapidana;

6. Bahwa khusus yang terkait dalam konteks filsafat pemidanaan bagi

mantan terpidana adalah tidak tepat menempatkan hukum atau

sanksi moral kepada mantan terpidana karena telah menjalani sanksi

pidana penjara sebagai orang yang tidak lagi memenuhi standar

moral dalam menduduki jabatan publik, menempatkan mantan

terpidana sebagai orang yang tidak memiliki standar moral alias tidak

bermoral baik, untuk selamanya atau seumur hidup;

7. Bahwa berdasarkan poin 1 sampai 6 di atas, Pasal 4 ayat (3), Pasal

11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun

2018 tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3614). Hal tersebut juga jelas bertentangan dengan

hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan

hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

V. RINGKASAN

Dari uraian-uraian sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka sampailah

Pemohon kepada ringkasan dari permohonan ini yang dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Pemohon memohon kepada Mahkamah Agung untuk menguji norma

Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3

Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD

Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota Peraturan Komisi Pemilihan Umum

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018

Nomor 834) terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182,

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30

Page 114: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 31 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6109), Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5234), dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995

Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3614);

2. Berdasarkan Pasal 24A Ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang

Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 ayat

(2) huruf (b), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung Juncto Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009

Pasal 31 dan Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor

01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, Berdasarkan Pasal 7 ayat

(1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, Mahkamah Agung Republik

Indonesia berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus

Permohonan ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final;

3. Bahwa Pemohon menerangkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1)

huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal

Calon Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 2018 Nomor 834) bertentangan dengan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara

RI Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara RI No

6109), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31

Page 115: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 32 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5234), dan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3614).

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mohon

kepada Ketua Mahkamah Agung, berkenan memeriksa permohonan dan

memutus sebagai berikut:

1. Menerima dan Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk Seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang

Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota bertentangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor

182, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6109), Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5234), dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995

Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3614);

3. Menyatakan Pasal 11 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 20 Tahun 2018

tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota bertentangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara RI Tahun 2017

Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara RI No 6109),

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32

Page 116: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 33 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Republik Indonesia Nomor 5234), dan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3614) ;

4. Menyatakan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang

Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara RI Tahun

2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara RI No 6109),

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5234), dan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3614);

5. Menyatakan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran

Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota tidak sah dan

tidak berlaku mengikat umum;

6. Memerintahkan Termohon untuk mencabut Pasal 4 ayat (3), Pasal 11

ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018

tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota;

7. Memerintahkan Termohon untuk memuat putusan ini dalam Berita

Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat lain, mohon

putusan yang seadil-adilnya;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33

Page 117: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 34 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya,

Pemohon telah mengajukan bukti-bukti berupa :

1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pemohon (Bukti P-1);

2. Fotokopi Putusan Nomor 1164 K/Pid.Sus/2010 (Bukti P-2);

3. Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor

20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Bukti P-3);

4. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum (Bukti P-4);

5. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Bukti P-5);

6. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan (Bukti P-6);

7. Fotokopi Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 (Bukti P-7);

Menimbang, bahwa permohonan Hak Uji Materiil tersebut

disampaikan kepada Termohon pada tanggal 12 Juli 2018, sesuai Surat

Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI Nomor

46/PER-PSG/VII/46 P/HUM/2018 tanggal 12 Juli 2018;

Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut,

Termohon mengajukan jawaban tertulis tertanggal 1 Agustus 2018 yang

pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:

I. JAWABAN TERMOHON 1. Bahwa Termohon menolak dengan tegas seluruh dalil yang

disampaikan Pemohon dalam Permohonan, KECUALI hal-hal yang

secara tegas diakui, dinyatakan dan disampaikan oleh Termohon

dalam jawaban ini;

2. Bahwa yang menjadi objek keberatan dalam permohonan ini

adalah Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 4 ayat

(3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta

Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34

Page 118: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 35 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Peraturan KPU Nomor

20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (untuk selanjutnya

disebut dengan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018) terhadap

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(untuk selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut

dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), dan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

(untuk selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017);

3. Bahwa terhadap dalil tersebut, Termohon menyampaikan

penjelasan, bantahan dan/atau sanggahan yang tersusun sebagai

berikut:

A. PENJELASAN TERKAIT KEWENANGAN TERMOHONMENYUSUN PERATURAN KPU NOMOR 20 TAHUN 2018Bahwa dasar dibentuknya Peraturan KPU Nomor 20 Tahun

2018 adalah sebagai berikut:

1) Bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan

didasarkan pada beberapa kewenangan, yaitu berdasarkan

perintah undang-undang dan/atau melekat pada tugas dan

kewenangan yang dimiliki (atribusi);

2) Bahwa wewenang atribusi Termohon dalam Penyelenggaran

Pemilihan Umum khususnya terkait dengan Pencalonan

Anggota legislatif diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf c

dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum, yaitu tugas dan wewenang Termohon

dalam Pemilihan Umum, antara lain menyusun dan

menetapkan peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35

Page 119: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 36 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

3) Bahwa selanjutnya, pemberian kewenangan atribusi

Termohon menyusun peraturan juga diatur dalam Pasal 75

Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

yang berbunyi:

(1) Untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang ini, KPU membentuk

Peraturan KPU dan Keputusan KPU;

(2) Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) merupakan pelaksanaan peraturan

perundang-undangan;

(3) Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya,

KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menetapkan

keputusan dengan berpedoman pada keputusan KPU

dan Peraturan KPU;

(4) Dalam hal KPU membentuk Peraturan KPU yang

berkaitan dengan pelaksanaan tahapan Pemilu, KPU

wajib berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah

melalui rapat dengar pendapat;

1) Bahwa berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas,

Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 telah dibentuk

berdasarkan kewenangan yang sah yang diberikan oleh

undang-undang yang melekat pada Termohon;

B. PENJELASAN TERKAIT MEKANISME PENYUSUNANPERATURAN KPU NOMOR 20 TAHUN 2018;Bahwa sebelum memberi penjelasan terhadap isu pokok

permohonan, Termohon perlu menyampaikan penjelasan

tentang tahapan yang telah dilakukan Termohon dalam proses

penyusunan Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 baik secara

formil maupun secara materiil yang tersusun sebagai berikut:

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36

Page 120: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 37 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

1) Bahwa sesuai kewenangan atribusi sebagaimana diuraikan

di atas, Termohon menyusun rancangan peraturan sebagai

pedoman penyelenggaraan Pemilu;

2) Bahwa sehubungan dengan kewenangan tersebut,

Termohon telah melakukan mekanisme penyusunan

perubahan peraturan yang partisipatif secara konsisten

dengan mekanisme sebagai berikut:

a) melakukan inventarisasi dan menyusun isu

strategis materi muatan yang akan dituangkan dalam

Peraturan KPU;

b) melakukan pembahasan Peraturan KPU dalam

rapat di lingkungan Sekretariat Jenderal KPU dan

rapat-rapat pleno KPU;

c) melakukan uji publik dengan Partai Politik dan

pemangku kepentingan (stakeholder);

d) melakukan konsultasi dengan Komisi II DPR RI

dan Pemerintah cq. Kementerian Dalam Negeri;

e) mengadakan Focus Group Discussion (FGD)

dengan para pakar hukum dan ahli di bidang pemilihan

umum;

f) menyusun perumusan akhir dan pembahasan

final persetujuan Anggota KPU dalam pleno KPU;

g) penandatanganan Peraturan KPU oleh Ketua

KPU;

h) permohonan pengundangan kepada Menteri

Hukum dan HAM RI;

3) Bahwa dalam proses penyusunan Peraturan KPU Nomor 14

tahun 2018, Termohon telah memerhatikan ketentuan dalam

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

menyatakan “bahwa dalam membentuk PeraturanPerundang-undangan harus berdasarkan pada asas

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37

Page 121: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 38 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baikdan berpedoman pada sumber hukum formal diIndonesia.” Adapun sumber hukum formal di Indonesia

yang telah dipedomani oleh Termohon meliputi:

Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi;

4) Bahwa pembentukan Peraturan KPU Nomor Nomor 20

Tahun 2018 juga telah didasarkan pada asas-asas materi

muatan peraturan perundang-undangan sebagaimana

tertuang dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

5) Bahwa sesuai dengan standar mekanisme pembentukan

Peraturan KPU, Termohon melakukan inventarisasi dan

menyusun isu strategis materi muatan yang akan dituangkan

dalam Peraturan KPU yang kemudian dilanjutkan dengan

melakukan pembahasan Peraturan KPU secara internal

dalam rapat di lingkungan Sekretariat Jenderal KPU dan

rapat-rapat pleno KPU;

6) Bahwa setelah dilakukan pembahasan final di lingkungan

KPU, Termohon kemudian melaksanakan uji publik dengan

para pemangku kepentingan yaitu dengan mengundang

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Partai Politik,

serta pihak-pihak pemangku kepentingan (Kementerian

Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, KPK, Komisi

Penyiaran Indonesia, Bawaslu DKPP), untuk membahas

isu-isu strategis terkait dengan Peraturan KPU (Bukti T – 1);

7) Kemudian, Termohon melakukan Rapat Dengar Pendapat

dengan DPR dan Pemerintah terkait rumusan Peraturan

KPU yang telah disiapkan guna dilakukan pembahasan

(Bukti T – 2);

8) Bahwa Termohon juga melakukan Focus Group Discussion

(FGD) dengan melibatkan Para Ahli dan Pakar di Bidang

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38

Page 122: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 39 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Hukum untuk membahas Konsep Peraturan KPU Nomor 20

Tahun 2018 (Bukti T – 3);

9) Bahwa setelah dilaksanakan seluruh proses dan tahapan

penyusunan peraturan sebagaimana tersebut di atas, pada

tanggal 2 Juli 2018 Rancangan Peraturan KPU yang

dimaksud ditetapkan dan ditandatangani oleh Ketua KPU

serta pada tanggal 3 Juli 2018 diundangkan oleh Menteri

Hukum dan HAM Republik Indonesia (Bukti T-4);

10) Bahwa setelah dilaksanakan seluruh proses dan tahapan

pengesahan, Termohon juga melakukan publikasi Peraturan

KPU Nomor Nomor 20 tahun 2018 di laman resmi Jaringan

Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) KPU sebagai

upaya Termohon untuk mempublikasikan kebijakan yang

telah dibuat dalam Peraturan KPU (Bukti T – 5 );

11) Bahwa berdasarkan seluruh uraian dan fakta tersebut di

atas, jelas bahwa Peraturan KPU Nomor Nomor 20 tahun

2018 secara nyata telah memenuhi aspek hukum formil dan

aspek hukum materiil pembentukan suatu peraturanperundang-undangan sebagaimana yang disyaratkanoleh ketentuan peraturan perundang-undangan;

C. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS DALAMFORMULASI PELARANGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSIUNTUK MENJADI BAKAL CALON ANGGOTA DPR, DPRDPROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA DALAMRANCANGAN PKPU PENCALONAN ANGGOTA DPR, DPRDPROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA;Sebelum Termohon membahas lebih jauh mengenai proses

pembentukan pasal yang melarang mantan terpidana korupsi

untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, izinkan Termohon

menjelaskan mengenai landasan filosofis, sosiologis dan yuridis

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39

Page 123: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 40 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

yang menjadi dasar Termohon untuk memfomulasikan larangan

mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota dalam Peraturan KPU. Adapun landasan

filosofis, sosiologis dan yuridis adalah sebagai berikut:

a. Landasan Filosofis

1) Bahwa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme berpeluang

besar dan telah merusak sendi-sendi kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta

membahayakan eksistensi negara sejak dahulu sampai

sekarang;

2) Bahwa sejalan dengan tujuan dan cita hukum Bangsa

dan Negara Indonesia dalam rangka mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, KPU memiliki semangat,

kewajiban dan tanggung jawab yang bulat dan utuh

dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara

yang kuat dan warga negara yang berdaulat. Syarat

utama mewujudkan hal tersebut tidak lain adalah

dengan mewujudkan negara bersih dan terbebas dari

korupsi, kolusi dan nepotisme;

3) Bahwa tuntutan reformasi yang bersumber terutama dari

hati nurani rakyat adalah secara tegas menghendaki

terciptanya penyelenggara negara yang mampu

menjalankan fungsi dan tugasnya secara

sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar

reformasi pembangunan dapat berdayaguna dan

berhasil guna. Hal ini sebagaimana yang kemudian

ditetapkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40

Page 124: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 41 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

(KKN);

4) Bahwa dalam rangka menyelamatkan kehidupan

nasional sesuai tuntutan reformasi diperlukan kesamaan

visi, persepsi, dan misi dari Seluruh Penyelenggara

Negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan

misi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani

rakyat yang menghendaki terwujudnya Penyelenggara

Negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya

secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab,

yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari

korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana

diamanatkan oleh Ketetapan MPR RI Nomor

XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

(Penjelasan Umum atas UU No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari

Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme);

5) Bahwa tujuan, semangat dan tuntutan sebagaimana

angka 2) s.d. 4), perlu diwujudkan dalam langkah dan

kebijakan nyata oleh KPU sepanjang tidak bertentangan

dengan dasar kewenangan KPU serta peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, salah

satunya adalah dengan melakukan kebijakan formulasi

Peraturan KPU yang berusaha mencegah perilaku

korupsi, kolusi dan nepotisme beserta para pelakunya

masuk ke dalam aspek-aspek penyelenggaraan negara

pada masa yang akan dating;

6) Bahwa berdasarkan pertimbangan angka 1) s.d. angka

4), KPU dengan demikian memiliki dasar yang secara

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41

Page 125: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 42 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

filosofis berakar kuat kepada semangat dan tujuan

penyelenggaraan negara berdasarkan amanat Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b. Landasan Sosiologis

1) Bahwa bertolak belakang dengan semangat dan tujuan

Pancasila dan UUD 1945 serta tuntutan reformasi

sebagaimana digambarkan dalam landasan filosofis

huruf a, pada kenyataannya telah terjadi dalam

penyelenggaraan negara, praktik-praktik usaha yang

lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang

menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang

melibatkan para pejabat negara sehingga merusak

sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai

aspek kehidupan nasional;

2) Bahwa tujuan dan semangat KPU dalam rangka

mewujudkan negara yang kuat dan warga negara yang

berdaulat salah satunya dilaksanakan dengan

melakukan suatu pemenuhan terhadap kebutuhan

masyarakat akan pemimpin negara sebagai perwakilan

rakyat yang bersih dan terbebas dari korupsi, kolusi dan

nepotisme, serta menjamin kualitas kehidupan

masyarakat yang baik pada masa yang akan datang.

Oleh karenanya, kebijakan formulasi Peraturan KPU

yang mencegah perilaku-perilaku korupsi dan para

pelakunya masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan

penyelenggaraan negara adalah suatu bentuk

perwujudan aspirasi masyarakat yang kuat dan layak

untuk dipertahankan;

3) Bahwa kebutuhan masyarakat sebagaimana angka 2),

bersumber dari masalah bangsa dan negara yang tak

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42

Page 126: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 43 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

kunjung usai dan menjangkiti kehidupan masyarakat

terus-menerus. Hal ini terbukti dari berbagai catatan

buruk atas praktik penyelenggaraan negara yang

melibatkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme

khususnya di tubuh lembaga perwakilan rakyat di

Indonesia (DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD

Kabupaten/Kota). Catatan-catatan buruk yang dimaksud

antara lain berdasarkan catatan kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2017 bahwa

selama tahun 2017, setidaknya terdapat 20 (dua puluh)

dari 102 (seratus dua) perkara korupsi yang melibatkan

pejabat birokrasi pemerintahan pusat dan daerah yang

pelakunya adalah para anggota DPR dan DPRD;

4) Dengan demikian, telah nyata bahwa praktik-praktik

korupsi, kolusi dan nepotisme telah berakar kuat dalam

kehidupan sosial masyarakat di Indonesia khususnya di

kalangan pejabat dan penyelenggara negara dan

terbukti telah menunjukkan adanya keterlibatan anggota

dewan perwakilan rakyat dalam kasus-kasus yang ada;

5) Bahwa sejak rancangan PKPU Pencalonan mengemuka

pada bulan April 2018, setidaknya sudah terdapat

67.000 lebih dukungan dari orang-orang yang

menandatangani petisi dukungan untuk KPU melalui

change.org/koruptorkoknyaleg. Oleh karenanya semakin

memperkuat bahwa kebijakan formulasi larangan bagi

terpidana korupsi untuk menjadi calon anggota DPR,

DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota mendapat

dukungan yang luas dari masyarakat dan merupakan

aspirasi dan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan

begitu saja;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43

Page 127: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 44 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

6) Bahwa menurut Abraham Samad, Ketua Komisi

Pemberantasan Korupsi Korupsi (KPK) periode 2011

s.d. 2015, korupsi memiliki kecenderungan pola yang

berulang dan bahkan bermetamorfosa (2014). Dari data

yang dihimpun Indonesan Corruption Watch (ICW),

fenomena residivis korupsi atau orang yang pernah

dijatuhi hukuman dalam perkara korupsi lalu kembali

melakukan korupsi setelah selesai menjalani hukuman

beberapa kali terjadi dan tercatat seperti misalkan di

Samarinda oleh Aidil Fitra/Ketua KONI Samarinda, Jawa

Timur oleh Mochammad Basuki/Ketua DPRD Jawa

Timur dan di Hulu Sungai Tengah oleh Abdul Latif/Bupati

((https://www.antikorupsi.org/id/siaran-pers/kpu-harus-jal

an-terus-larang-mantan-napi-korupsi-nyaleg). Oleh

karenanya melakukan langkah antisipasi secara tegas

dengan melakukan upaya pencegahan melalui formulasi

Peraturan KPU menjadi sangat beralasan secara sosial

dan bahkan amat penting bagi penyelenggaraan negara

ke depan. Bagaimanapun, pelaku-pelaku korupsi tidak

dapat lagi ditolerir untuk masuk kembali duduk dan

memegang kewenangan dalam lembaga negara dan

pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Negara

dengan demikian menanggung risiko terlalu tinggi jika

tidak ada upaya pencegahan sedari awal dan masih

memberi kesempatan kepada perbuatan korupsi melalui

para pelakunya yang berperan dalam lembaga negara

dan pemerintahan;

7) Bahwa selain berupaya untuk mencegah korupsi kembali

lagi dalam penyelenggaraan negara melalui pembatasan

kesempatan terhadap pelakunya, kebijakan formulasi

Peraturan KPU juga diharapkan mampu mencegah para

anggota dewan yang duduk di DPR, DPRD Provinsi

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44

Page 128: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 45 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

maupun Kabupaten/Kota terpilih untuk tidak melakukan

praktik-praktik KKN pada masa yang akan datang akibat

dampak perbuatannya tersebut ke depan akan sangat

berpengaruh kepada karier politiknya. Hal ini sejalan

dengan Persson dan kawan-kawan (2003) sebagaimana

dikutip oleh Ikhsan Darmawan, Dosen Departemen Ilmu

Politik FISIP UI yang menilai bahwa bagaimana

pemilihan diatur memiliki implikasi terhadap tingkat

korupsi di sebuah

Negara(https://www.antikorupsi.org/id/news/pemilihan-u

mum-tanpa-koruptor);

c. Landasan Yuridis

1) Bahwa KPU melakukan kebijakan formulasi Peraturan

KPU yang melarang mantan terpidana korupsi untuk

menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan

DPRD Kabupaten/Kota dengan mendasarkan secara

yuridis kepada beberapa peraturan

perundang-undangan, di antaranya UU No. 7 Tahun

2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU No.

28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang

Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme;

2) Bahwa KPU melakukan pembacaan terhadap aturan

perundang-undangan yang ada dengan menerapkan

metode-metode penafsiran yang dibenarkan dan

diperbolehkan dalam suatu analisis aturan hukum.

Dalam hal ini, KPU khususnya menggunakan metode

penafsiran sistematis;

3) Bahwa penafsiran sistematis sebagaimana dimaksud

angka 2) adalah metode penafsiran dengan cara

memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika yang

ditafsirkan adalah pasal dari suatu undang-undang,

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45

Page 129: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 46 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

maka ketentuan-ketentuan yang sama apalagi satu asas

dalam peraturan lainnya, juga harus dijadikan acuan

(Utrecht, 1983).

4) Bahwa selain penafsiran sistematis, pembacaan secara

yuridis juga tidak terlepas dari penafsiran gramatikal

yang khas dan selalu ada dalam membaca aturan

perundang-undangan, dan kemudian disempurnakan

dengan penafsiran ekstensif yang merupakan bentuk

lebih lanjut dari penafsiran gramatikal;

1) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 169 huruf d UU

Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

menyebutkan secara jelas bahwa:

“Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil

presiden adalah:

… d. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak

pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak

pidana berat lainnya”.

Sedangkan yang dimaksud dengan "tidak pernah

mengkhianati negara" sebagaimana dijabarkan

dalam Penjelasan adalah tidak pernah terlibat

gerakan separatis, tidak pernah melakukan gerakan

secara inkonstitusional atau dengan kekerasan

untuk mengubah dasar negara, serta tidak pernah

melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2) Bahwa berdasarkan rumusan Pasal pada angka 5),

setidaknya diperoleh 2 (dua) hal:

a) Tindak pidana korupsi ditempatkan sejajar

dengan perbuatan mengkhianati Negara;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46

Page 130: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 47 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

b) Tindak pidana korupsi ditempatkan sejajar

dengan tindak pidana berat lainnya;

Dari kedua hal tersebut, nampak jelas bahwa tindak

pidana korupsi merupakan suatu perbuatan yang

sifat dan dampaknya tidak boleh dianggap

sebagaimana perbuatan (pidana) lainnya. Tindak

pidana korupsi harus ditempatkan sebagai suatu

perbuatan yang sifatnya sama layaknya gerakan

separatis, gerakan inkonstitusional atau dengan

kekerasan untuk merubah negara dan sudah pasti

bertentangan dengan UUD 1945 yang di dalamnya

mengandung filosofi, cita dan tujuan berbangsa dan

bernegara;

Selain itu juga bahwa tindak pidana korupsi

merupakan bagian dari tindak pidana berat yang

dampaknya dirasakan secara luas tidak hanya oleh

sebagian kalangan masyarakat, namun juga

menyakiti perasaan, hati dan emosi masyarakat

secara luas seperti layaknya perbuatan kejahatan

penyalahgunaan narkoba, hingga kejahatan seksual

terhadap anak. Kesemuanya berkaitan dan

berdampak secara erat dan nyata terhadap masa

depan bangsa. Itulah mengapa bahwa persyaratan

sebagai seorang calon Presiden dan calon Wakil

Presiden berlaku bagi siapapun warga negara

Indonesia namun dibatasi dan dikecualikan bagi

mereka yang secara sifat dan dampaknya pernah

melakukan tindakan-tindakan atau

perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

rumusan Pasal 169 huruf d UU Pemilu di atas;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47

Page 131: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 48 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

3) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor

28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan

Nepotisme, Penyelenggara Negara meliputi:

a) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;

b) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

c) Menteri;

d) Gubernur;

e) Hakim;

f) Pejabat negara yang lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku; dan

g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam

kaitannya dengan penyelenggaraan negara

sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”;

4) Bahwa berdasarkan rumusan ketentuan

sebagaimana angka 7, maka yang dimaksud dengan

Penyelenggara Negara termasuk di dalamnya

pejabat negara pada lembaga tinggi negara yang

antara lain saat ini terdiri dari Presiden dan Wakil

Presiden serta DPR. Juga pejabat negara yang lain

seperti misalnya Kepala Perwakilan Republik

Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai

Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil

Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya, juga

termasuk pula pejabat Pemerintahan Daerah (DPRD

Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota);

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48

Page 132: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 49 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

5) Bahwa berdasarkan penafsiran sistematis dengan

mengacu pada pengertian Penyelenggara Negara

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 28/1999

maka sudah semestinya DPR, DPRD Provinsi dan

DPRD Kabupaten/Kota ditempatkan sebagai suatu

kesatuan sistem yang masing-masing memiliki

kewajiban dan konsekuensi hukum yang sama

dalam upaya penyelenggaraan negara yang bersih

dan bebas dari KKN;

6) Bahwa berdasarkan konsekuensi sebagaimana

angka 9), kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal

169 huruf d UU Pemilu yang membatasi persyaratan

untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden yakni

hanya diperbolehkan bagi mereka yang tidak pernah

mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan

tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat

lainnya, sudah semestinya juga diberlakukan secara

setara bagi persyaratan untuk menjadi anggota

DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota

maupun bagi bakal calon anggota DPD. Artinya

bahwa persyaratan yang melarang mereka yang

pernah mengkhianati negara atau pernah melakukan

tindak pidana korupsi atau tindak pidana berat

lainnya juga berlaku dalam persyaratan bagi bakal

calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD

Kabupaten/Kota dan juga DPD, tidak hanya berlaku

bagi Presiden dan Wakil Presiden saja;

7) Bahwa penafsiran sebagaimana angka 10) di atas

dapat dipahami dengan menempatkan Presiden dan

Wakil Presiden, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota serta DPD, berada dalam satu

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49

Page 133: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 50 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

kesatuan fungsi yang sama dalam upaya

penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari

KKN sehingga terdapat pula

konsekuensi-konsekuensi yang berlaku sama dalam

proses pencalonannya seperti dalam hal persyaratan

bagi siapa pun yang hendak mencalonkan diri

sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi maupun

DPRD Kabupaten/Kota harus juga memenuhi

persyaratan bukan merupakan pelaku tindak pidana

korupsi sebagaimana diterapkan bagi bakal calon

Presiden dan Wakil Presiden;

8) Bahwa berdasarkan rumusan yang telah

diformulasikan dalam RPKPU Pencalonan, mampu

ditegaskan pula bahwa tidak ada satupun rumusan

yang bertentangan dengan undang-undang di

atasnya (dalam hal ini UU Pemilu). Justru kemudian,

KPU telah melakukan penyempurnaan terhadap

ketentuan UU Pemilu yang belum sempat dijabarkan

lebih lanjut dengan melakukan penafsiran ekstensif

yang secara hukum dibenarkan;

9) Bahwa hal tersebut pada angka 12) juga dilakukan

dalam kerangka penafsiran sistematis terhadap

peraturan perundang-undangan lainnya di bidang

kepemiluan yakni UU No. 10 tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,

Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada)

yang mengatur larangan bagi mantan terpidana

bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50

Page 134: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 51 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

terhadap anak untuk mencalonkan diri sebagai calon

kepala daerah meskipun mantan terpidana tersebut

telah secara terbuka dan jujur mengemukakan

kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan

terpidana (Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada).

Terhadap pengaturan tersebut, secara sistematis

dapat diartikan bahwa jika kejahatan seksual

terhadap anak dan kejahatan narkoba dikategorikan

sebagai kejahatan/tindak pidana terhadap

kemanusiaan yang tergolong berat dan luar biasa

sehingga bagi mantan terpidana kejahatan tersebut

dilarang untuk memperoleh kesempatan dalam

proses pemilihan umum, maka demikian pula halnya

dengan tindak pidana korupsi yang pada Pasal 169

huruf d UU Pemilu ditempatkan sejajar (dalam sifat

maupun dampaknya) dengan kejahatan berat

lainnya;

10) Bahwa berdasarkan pertimbangan angka 1 s.d.

angka 12, rumusan kebijakan formulasi yang

dihasilkan terbukti telah memenuhi unsur kepastian

hukum dan keadilan yang berlaku dalam

masyarakat;

D. PENJELASAN MENGENAI PROSES PENGATURANLARANGAN MANTAN NARAPIDANA KORUPSI MENJADICALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWANPERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI, DAN DEWANPERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTADALAM PERSYARATAN PENCALONAN PADA PERATURANKPU NOMOR 20 TAHUN 2018

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51

Page 135: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 52 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

1) Bahwa Termohon diberikan tugas dan kewenangan atributif

untuk menyusun dan menetapkan Peraturan KPU untuk

setiap tahapan Pemilu;

2) Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf c

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi:

“Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu bertujuan untuk:

g. Mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas”;

3) Bahwa langkah konkret untuk mencapai tujuan dari

Pemilihan Umum yang bersih adil dan berintegritas adalah

dengan mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum

yang bersih dan bebas dari korupsi;

4) Bahwa dalam rangka mewujudkan Pemilihan Umum yang

adil dan berintergritas, sebagaimana amanat

Undang-Undang, Termohon sebagai Penyelenggara Pemilu

berkewajiban untuk menyelenggarakan Pemilu yang

berintegritas dengan mengimplementasikan dalam suatu

instrumen hukum guna memberikan kepastian hukum dalam

mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih

dan bebas dari korupsi, yang dalam hal ini nantinya

diharapkan akan terwujud pemerintahan legislatif yang

bersih dari korupsi;

5) Bahwa Teradu memiliki gagasan untuk mengatur

persyaratan mengenai larangan bagi mantan terpidana

korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, di mana persyaratan tersebut akan

dijadikan sebagai syarat calon;

6) Bahwa ketentuan mengenai larangan mantan terpidana

korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52

Page 136: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 53 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Kabupaten/Kota menimbulkan pro dan kontra di DPR, di

mana DPR berpendapat bahwa sebaiknya pengaturan

mantan terpidana korupsi dikembalikan kepada Pasal 240

ayat (1) huruf g Undang-Undangn Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum yang pada intinya ketentuan pasal

tersebut membolehkan mantan narapidana mencalonkan diri

sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sepanjang yang

bersangkutan secara terbuka dan jujur mengemukakan

kepada publik bahwa dia mantan terpidana.

7) Bahwa sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang pada pokoknya menganulir

ketentuan Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

menjadi Undag-Undang yang mengatur mengenai hasil

konsultasi dengan DPR dalam Rapat Dengar Pendapat

(RDP) bersifat mengikat, di mana ketentuan pasal tersebut

tidak berlaku lagi sehingga ketika hasil konsultasi dengan

DPR menurut Termohon tidak sesuai dengan semangat

Termohon dalam mewujudkan Pemiu yang berintergritas

dan bebas dari korupsi, maka Termohon dapat

mengabaikan saran sebagaimana penjelasan pada angka 6

dan tetap dapat merumuskan ketentuan mengenai larangan

mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota dalam Peraturan KPU;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53

Page 137: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 54 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

8) Bahwa selain itu juga Kemenkumham pada awalnya tidak

sependapat dengan gagasan Termohon dalam merumuskan

ketentuan mengenai larangan mantan terpidana korupsi

mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, di mana

Kemenkumham pada awalnya tidak berkenan untuk

mengundangkan Konsep Peraturan KPU Nomor 8 Tahun

2018 yang telah Para Teradu buat;

9) Bahwa terhadap hal tersebut, Teradu mengadakan Focus

Group Discussion (FGD) dengan melibatkan para ahli dan

pakar hukum untuk membahas terkait dengan polemik

terhadap ketentuan pasal dalam Konsep Peraturan KPU

Nomor 8 Tahun 2018 yang mengatur mengenai larangan

mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota. Hal tersebut diakukan karena

Teradu sangat mengedepankan asas kehati-hatian dan

kepastian hukum dalam mengambil sikap terhadap polemik

tersebut;

10) Bahwa dalam Focus Group Discussion (FGD) tersebut para

ahli dan pakar hukum berpendapat bahwa tidak seharusnya

Kemekumham menolak untuk mengundangkan ketentuan

Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2018 karena mengingat

tahapan pecalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang tidak dapat

ditunda dan perlu ada ketentuan untuk mengatur mengenai

teknis pencalonan tersebut guna memberikan kepastian

hokum;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54

Page 138: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 55 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

11) Bahwa Termohon juga melakukan korespondensi dengan

Kemenkumham untuk memberikan penjelasan dan

pemahaman mengenai dasar pemikiran Termohon dalam

merumuskan pasal yang melarang mantan terpidana korupsi

untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

12) Selain itu juga, Kemenkumham mengadakan sinkronisasi

dengan Termohon untuk membahas mengenai ketentuan

pasal yang melarang mantan terpidana korupsi untuk

mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini

sesuai dengan ketentuan Pasal 11A Peraturan Kementerian

Hukum dan HAM Nomor 31 Tahun 2017 yang pada intinya

mengatur mengenai kewenangan Kemenkumham (dalam

hal ini Dirjen Peraturan Perundang-Undangan) untuk

melakukan sinkronisasi guna memberikan satu pemahaman

yang sama mengenai ketentuan dalam suatu peraturan yang

dibuat oleh suatu lembaga;

13) Hasil sinkorinisasi tersebut menghasilkan suatu pemahaman

bahwa ketentuan mengenai larangan mantan terpidana

korupsi untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

sebaiknya diatur dalam persyaratan pencalonan,di mana

partai yang akan mencalonkan para kadernya sebagai

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan untuk

melarang mantan terpidana korupsi mendaftarkan diri

sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55

Page 139: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 56 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

14) Setelah melalui proses sebagaimana penjelasan pada angka

6 sampai dengan angka 13, Termohon merumuskan

ketentuan yang melarang mantan terpidana korupsi menjadi

calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan

KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang persyaratan pencalonan

terhadap partai politik yang akan mengajukan calon anggota

Legislatif. Syarat tersebut harus dipenuhi oleh Partai Politik

dengan membuat pakta integritas yang ditandatangani oleh

pimpinan partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 11

ayat (1) dan pada Lampiran Model B.3 Pakta Integritas

Pengajuan Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Peraturan KPU

Nomor 20 Tahun 2018. Hal ini sesuai dengan ketentuan

Pasal 241 dan Pasal 243 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 yang pada intinya mengatur bahwa seleksi bakal calon

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Partai Politik.

E. KETENTUAN PASAL 4 AYAT (3), PASAL 11 AYAT (1) HURUFD, DAN LAMPIRAN MODEL B.3 PAKTA INTEGRITASPENGAJUAN BAKAL CALON ANGGOTA DEWANPERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYATDAERAH PROVINSI, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYATDAERAH KABUPATEN/KOTA PERATURAN KPU NOMOR 20TAHUN 2018 TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KETENTUANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56

Page 140: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 57 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

1) Bahwa rumusan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) Huruf

d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan

Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Peraturan Kpu Nomor 20

Tahun 2018 merupakan pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017, di mana Termohon diberi

kewenangan untuk mengatur secara detail dan rigid

mengenai proses pencalonan anggota legislatif termasuk

mengenai syarat calon dan pencalonan;

2) Bahwa rumusan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) Huruf

d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan

Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Peraturan Kpu Nomor 20

Tahun 2018 disusun untuk memastikan hak konstitusional

warga negara dalam mengikuti Pemilihan tetap terjamin

secara baik dan dapat diterima secara hukum,

sebagaimana ketentuan dalam dalam Pasal 23 ayat (1)

dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur mengenai

hak seseorang untuk memilih dan dipilih dalam Pemilihan

Umum. Tentunya hal ini menjadi sangat penting bagi

Termohon, karena Termohon dalam menerima pendaftaran

Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota wajib berpedoman

ketentuan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai

yang hidup di masyarakat, serta melindungi hak

masyarakat dalam mendapatkan pemerintahan legislatif

yang baik, bersih dan berintegritas. Hal ini sejalan dengan

ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57

Page 141: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 58 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

khususnya asas: (1) asas kejelasan rumusan, artinya

pembentukan peraturan perundang-undangan harus

menggunakan bahasa hukum yang jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam penerapannya; (2) asas ketertiban dan

kepastian hukum, artinya setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus dapat mewujudkaan ketertiban

dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum;

3) Bahwa pelarangan mantan terpidana korupsi dalam

Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah ikhtiar yang

dilakukan oleh Termohon dalam rangka melaksanakan

amanat Undang-Undang dalam menghasilkan

penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi,

kolusi dan nepotisme.

4) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor:

14-17/PUU-V/2007 (Bukti T-5), dalam pertimbangan

hukumnya menyatakan bahwa persyaratan tidak pernah

sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, merupakan

persyaratan yang tidak diskriminasi. Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa setiap jabatan publik atau jabatan

dalam pemerintahan dalam arti luas, baik yang

pengisiannya dilakukan melalui pemilihan maupun melalui

cara lain, menuntut syarat kepercayaan masyarakat.

Dengan kata lain, jabatan publik adalah jabatan

kepercayaan (vertrouwenlijk-ambt). Oleh karena itulah,

setiap calon pejabat publik harus memenuhi persyaratan

tertentu sehingga nantinya didapatkan pejabat yang bersih,

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58

Page 142: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 59 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

berwibawa, jujur dan mempunyai integritas moral yang

tinggi;

5) Bahwa terhadap jabatan publik yang pengisiannya

dilakukan dengan cara pemilihan oleh rakyat, Mahkamah

berpendapat dalam putusan perkara sebagaimana angka

5, tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa

persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar

alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul sendiri resiko

pilihannya. Sebab, jabatan tersebut harus dipangku oleh

orang yang berkualitas dan integritas tinggi;

6) Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

14-17/PUU-V/2007, sudah sangat jelas, bahwa pembentuk

Undang-Undang diberikan kewenangan untuk memberikan

persyaratan bagi seseorang yang ingin mencalonkan diri

dalam suatu jabatan publik. Hal ini semata-mata agar

menghasilkan pejabat publik yang berkualitas dan

berintegritas.

7) Bahwa semangat Termohon dalam Pasal 60 ayat (1) huruf

g dan huruf j Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 yang

menjadi objek keberatan Pemohon, adalah selaras dengan

pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor

14-17/PUU-V/2007 yang menginginkan terpilihnya pejabat

publik yang bersih, berwibawa, jujur dan mempunyai

integritas moral yang tinggi;

8) Bahwa sebagaimana penjelasan dan fakta hukum yang

telah Termohon uraikan, dalil Pemohon yang menyatakan

pengaturan dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018

adalah tidak sejalan dan diduga bertentangan dengan

ketentuan Undang-Undang adalah dalil yang harus ditolak

dan dikesampingkan karena fakta hukumnya pembentukan

Peraturan KPU khususnya;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59

Page 143: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 60 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

I. KESIMPULAN1. Bahwa Permohonan Pemohon merupakan Permohonan eror

in objecto (kesalahan gugatan atas objek yangdipermasalahkan);

2. Bahwa Termohon memiliki landasan filosofis, sosiologis dan

yuridis dalam merumuskan ketentuan mengenai larangan mantan

terpidana korupsi menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah;

3. Bahwa Termohon juga melibatkan para pihak untuk

mendapatkan masukan dan saran dalam merumuskan ketentuan

mengenai larangan mantan terpidana korupsi menjadi calon anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

4. Bahwa secara formil maupun secara materiil, Termohon telah

membentuk dan menyusun Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018

sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku. Termohon

telah melakukan tahapan konsultasi dengan Komisi II DPR-RI dan

Pemerintah sebagaimana amanat undang-undang dan telah

mendapat saran, tanggapan, dan masukan dari pihak-pihak terkait.

Namun, Termohon memiliki kemandirian dalam menentukan sikap

untuk merumuskan ketentuan mengenai larangan mantan terpidana

korupsi menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah;

5. Bahwa proses pembentukan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018

telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang Nomor 12

Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

sehingga seluruh dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 4 ayat (3),

Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60

Page 144: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 61 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Pengajuan Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018

pada perkara a quo melanggar ketentuan hukum adalah tidakterbukti;

II. PETITUMBerdasarkan uraian dan penjelasan sebagaimana Termohon

sampaikan, Termohon memohon kepada Ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesia/Majelis Hakim Agung yang memeriksa, memutus

dan mengadili permohonan Hak Uji Materiil Peraturan KPU Nomor 20

Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dapat memberikan putusan sebagai

berikut :

a. Menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d,

dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang

Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota telah memenuhi ketentuan yang berlaku, yaitu asas

kejelasan rumus, asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan;

b. Menyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat

ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (1) huruf d Peraturan

KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

c. Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf

d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61

Page 145: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 62 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang

Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;

d. Memerintahkan kepada Termohon untuk tetap memberlakukan

ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran

Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Peraturan KPU

Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

e. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk

mengirimkan petikan putusan ini kepada KPU RI untuk dicantumkan

dalam Berita Acara KPU RI;

f. Menghukum Pemohon untuk membayar segala biaya yang

timbul dalam perkara ini.

Apabila Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia/Majelis Hakim

Agung berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya

(ex aequo et bono).Menimbang, bahwa selain surat-surat bukti di atas, Termohon juga

menyerahkan keterangan tertulis para ahli sesuai Surat Nomor

1027/PY.01.1-SD/03/KPU/IX.2018, tanggal 6 September 2018, Perihal

Keterangan Tertulis Ahli dari KPU RI terkait ketentuan dalam Peraturan KPU

yang mengatur tentang Larangan bagi Mantan Narapidana Korupsi untuk

Mencalonkan Diri sebagai Anggota DPD. DPR. serta DPRD Provinsi dan

Kabupaten/Kota, masing-masing sebagai berikut:

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62

Page 146: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 63 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

1. Keterangan ahli Dr. Bayu Dwi Anggono. S.H., M.H. (Pengajar Ilmu

Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember);

2. Keterangan ahli Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Hukum Tata Negara

dan Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta);

3. Keterangan ahli Titi Anggraini (Direktur Eksekutif Yayasan Perludem);

PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak

uji materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak

uji materiil Pemohon adalah Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan

Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota

DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, Peraturan Komisi Pemilihan

Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2018 Nomor 834) (bukti P-3);

Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan

substansi permohonan yang diajukan Pemohon, terlebih dahulu akan

mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan

formal, yaitu mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji objek

permohonan keberatan hak uji materiil dan kedudukan hukum (legal

standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji

materiil;

Kewenangan Mahkamah Agung

Bahwa kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji permohonan

keberatan hak uji materiil didasarkan pada ketentuan Pasal 24A ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 31A Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 20 ayat (2)

huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, serta Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63

Page 147: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 64 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, yang pada intinya menentukan bahwa

Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi;

Bahwa peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum

yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga

negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 1 angka 2);

Bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan telah

ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,

yang terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d.

Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi;

dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;

Bahwa selain peraturan perundang-undangan di atas, terdapat

peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank

Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang

dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah

undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala

Desa atau yang setingkat, yang diakui keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan (vide Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011);

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 64

Page 148: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 65 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil berupa

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang

Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (bukti

P-3), merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 249 ayat (3) dan Pasal

257 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum, dan hierarkinya berada di bawah undang-undang, sehingga

termasuk jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Pasal 1 angka 2

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011, dengan demikian

Mahkamah Agung berwenang untuk menguji objek keberatan hak uji materiil

a quo;

Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

Menimbang, bahwa selanjutnya Mahkamah Agung akan

mempertimbangkan apakah Pemohon mempunyai kepentingan untuk

mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga Pemohon

mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mempersoalkan objek

permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A ayat (2)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

Menimbang, bahwa Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2009 menyatakan bahwa permohonan pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang hanya dapat dilakukan oleh

pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan

tersebut, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau

c. badan hukum publik atau badan hukum privat;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 65

Page 149: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 66 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Bahwa lebih lanjut Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2011 menentukan bahwa Pemohon keberatan adalah

kelompok orang atau perorangan yang mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan

tingkat lebih rendah dari undang-undang;

Bahwa dengan demikian, Pemohon dalam pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang harus menjelaskan dan

membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal

31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 1 angka 4

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011;

b. kerugian hak yang diakibatkan oleh berlakunya peraturan

perundang-undangan yang dimohonkan pengujian;

Bahwa dalam permohonannya, Pemohon adalah Warga Negara

Indonesia, mantan Terpidana kasus korupsi dan tidak pernah dicabut hak

politiknya berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap Nomor 1164 K/Pid.Sus/2010 tanggal 9 Juni 2010 (bukti P-2) dan telah

dibebaskan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM

Republik Indonesia, Pemohon saat ini telah aktif dalam kegiatan

bermasyarakat dan bermaksud untuk mencalonkan diri menjadi Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten Probolinggo, namun

demikian dengan adanya aturan yang terdapat dalam Peraturan Komisi

Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 menjadi mustahil bagi Pemohon

untuk dapat mencalonkan diri dalam proses Pemilihan Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten Probolinggo. Bahwa objek hak uji

materiil dalam permohonan ini pada pokoknya mengenai materi muatan

pasal yang menyatakan setiap partai dalam melakukan seleksi bakal calon

anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak

menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual

terhadap anak, dan korupsi. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka

Pemohon merasa kepentingannya dirugikan karena objek hak uji materiil a

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 66

Page 150: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 67 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

quo telah membatasi dan/atau mencabut hak politik Pemohon untuk

mendaftar sebagai Bakal Calon Peserta Pemilu Anggota DPRD Kabupaten

Probolinggo;

Bahwa dari dalil-dalil Pemohon dan Termohon dikaitkan dengan

bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa Pemohon

merupakan subjek hukum yang dirugikan haknya akibat berlakunya objek

hak uji materiil, dengan demikian Pemohon mempunyai kedudukan hukum

(legal standing) untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil a

quo sebagaimana dimaksud Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2009 dan Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 2011;

Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah Agung

berwenang untuk menguji permohonan a quo dan Pemohon mempunyai

kedudukan hukum (legal standing), sehingga secara formal dapat diterima;

Bahwa selanjutnya Mahkamah Agung akan mempertimbangkan

pokok permohonan, yaitu apakah ketentuan yang dimohonkan uji materiil a

quo bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

atau tidak;

Pokok PermohonanBahwa pokok permohonan keberatan hak uji materiil adalah

pengujian Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model

B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD

Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor

20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018

Nomor 834) terhadap:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan; dan

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 67

Page 151: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 68 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;

Bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon

mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda P-1 s.d. P-7;

Bahwa untuk membuktikan dalil-dalil jawabannya, Termohon

mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda T-1 s.d. T.5 dan

menyampaikan keterangan tiga ahli secara tertulis;

Pendapat Mahkamah AgungBahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah

Agung memandang perlu untuk mempertimbangkan terlebih dahulu

penundaan pemeriksaan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi Juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

93/PUU-XV/2017, tanggal 20 Maret 2018, yang amarnya menyatakan Pasal

55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 98,

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4316) yang menyatakan “Pengujian

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang

dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang

menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian

Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”,

sepanjang mengenai kata “dihentikan” dinyatakan bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pengujian

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang

dilakukan Mahkamah Agung wajib ditunda pemeriksaannya apabila

undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang

dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan

Mahkamah Konstitusi”;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68

Page 152: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 69 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, maka terhadap

permohonan a quo Mahkamah Agung telah mengeluarkan Penetapan

Nomor 46 P/HUM/2018, tanggal 13 Juli 2018, yang pada pokoknya telah

menunda pemeriksaan permohonan, karena dasar pengujian atas peraturan

tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi. Namun,

setelah Mahkamah Agung meneliti secara saksama Surat Pemberitahuan

dari Mahkamah Konstitusi Nomor 24/HK.06/9/2018, tanggal 12 September

2018, Perihal Permintaan Data, ternyata Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 tentang Pemilihan Umum yang sedang diuji di Mahkamah Konstitusi,

tidak ada pasal atau norma yang berkaitan dengan dasar pengujian

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah

Agung, baik secara formil maupun materiil;

Bahwa selain itu dalam permohonan keberatan hak uji materiil atas

Peraturan Komisi Pemilihan Umum mempunyai kekhususan dibandingkan

permohonan hak uji materiil atas peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang lain pada umumnya, karena menurut ketentuan Pasal 76

ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dibatasi oleh

tenggang waktu karena terkait dengan jadwal pentahapan Pemilihan Umum,

dan apabila permohonan ini diputus setelah jadwal yang ditentukan maka

putusan ini tidak memberikan manfaat bagi pencari keadilan dan

masyarakat;

Bahwa dengan demikian, penetapan penundaan pemeriksaan

permohonan ini tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan harus dicabut

serta pemeriksaan dilanjutkan pada pokok permohonan;

Bahwa objek permohonan yang dimohonkan pengujian adalah norma

tentang larangan bagi mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual

terhadap anak, dan korupsi menjadi Bakal Calon Anggota Legislatif

sebagaimana diuraikan dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 69

Page 153: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 70 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota (PKPU No. 20/2018);

Bahwa Pemohon adalah mantan terpidana kasus korupsi

berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan

telah dibebaskan serta telah aktif dalam kegiatan bermasyarakat (bukti P-2).

Pemohon tidak terkait dengan mantan terpidana bandar narkoba dan

kejahatan seksual terhadap anak. Oleh karena itu, Pemohon hanya relevan

untuk mempersoalkan pengujian frasa mantan terpidana korupsi tersebut;

Bahwa hak memilih dan dipilih sebagai anggota Legislatif merupakan

hak dasar di bidang politik yang dijamin oleh Konstitusi yaitu Pasal 28

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Pengakuan hak politik ini

juga diakui dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

(International Covenant on Civil and Political Rights disingkat ICCPR) yang

ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan

Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966 sebagaimana telah

diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik);

Bahwa lebih lanjut pengaturan mengenai hak politik diatur dalam

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (UU HAM), yang menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk

dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak

melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan

adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 73

Undang-Undang tersebut juga menentukan “Hak dan kebebasan yang diatur

dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan

undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan

penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang

lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”;

Bahwa dalam UU HAM di atas sangat jelas diatur bahwa setiap warga

negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam

pemilihan umum dan kalaupun ada pembatasan terhadap hak tersebut

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 70

Page 154: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 71 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

maka harus ditetapkan dengan undang-undang, atau berdasarkan Putusan

Hakim yang mencabut hak politik seseorang tersebut di dalam hukuman

tambahan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan

dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 35 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai

pencabutan hak politik (hak dipilih dan memilih);

Bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018,

Pasal 4 ayat (3), menentukan, “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis

dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan

mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan

korupsi.”

Bahwa “Pasal 11 ayat (1) huruf d, menentukan “Dokumen persyaratan

pengajuan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)

berupa ... d. Pakta integritas yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai

Politik sesuai dengan tingkatannya dengan menggunakan formulir Model

B.3”;

Bahwa Lampiran Model B.3 berisi tentang Pakta Integritas Pengajuan

Bakal Calon Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, PKPU

Nomor 20 Tahun 2018;

Bahwa menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam Pasal 4

ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018

bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan:

“Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:

a. “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 71

Page 155: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 72 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa

yang bersangkutan mantan terpidana”;

Bahwa dari ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g tersebut tidak ada

norma atau aturan larangan mencalonkan diri bagi Mantan Terpidana

Korupsi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat

(1) huruf d dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon

Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, Peraturan Komisi

Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018;

Bahwa meskipun maksud Komisi Pemilihan Umum mencantumkan

Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3 ditujukan

kepada pimpinan partai politik pada saat melakukan proses seleksi internal

parpol terhadap Bakal Calon Anggota Legislatif agar tidak mengikutsertakan

mantan terpidana koruptor, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap

anak, akan tetapi hal tersebut pada intinya membatasi hak politik seseorang

yang akan mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Legislatif dalam Pemilihan

Umum;

Bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran

Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018

bertentangan pula dengan Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 yang

menentukan, “peraturan di bawah undang-undang berisi materi untuk

menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Komisi Pemilihan

Umum telah membuat ketentuan yang tidak diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan di atasnya;

Bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran

Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tidak

sejalan, berbenturan, atau tidak memenuhi asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana yang dijelaskan

dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 72

Page 156: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 73 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

Bahwa penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas

sebagaimana menjadi semangat Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor

20 Tahun 2018 (objek hak uji materiil) merupakan sebuah keniscayaan

bahwa pencalonan anggota legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan

tidak pernah memiliki rekam jejak cacat integritas. Namun pengaturan

terhadap pembatasan hak politik seorang warga negara harus dimuat dalam

undang-undang, bukan diatur dalam peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang in casu Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor

20 Tahun 2018;

Bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran

Model B.3 yang mengatur tentang hak politik warga Negara, merupakan

norma hukum baru yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi dalam hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum, maka ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf

d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 sepanjang frasa

“mantan terpidana korupsi” harus dinyatakan bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan

perundang-undangan lain yang terkait;

MENGADILI,1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon

JUMANTO tersebut;

2. Menyatakan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran

Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 73

Page 157: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 74 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2018 Nomor 834) sepanjang frasa “mantan terpidana

korupsi” bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karenanya tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum;

3. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan

petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam

Berita Negara;

4. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah

Agung pada hari Kamis, tanggal 13 September 2018 oleh Dr. H. Supandi,

S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan

Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai

Ketua Majelis, Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., dan Dr. H. Yodi Martono

Wahyunadi, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua

Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan oleh Kusman,

S.IP., S.H., M.Hum., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para

pihak.

Anggota Majelis: Ketua Majelis,

ttd ttd

Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 74

Page 158: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44623/1/MIA ARLITAWATI-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Halaman 75 dari 73 halaman Put. No. 46 P/HUM/2018

ttd

Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H

Panitera Pengganti,

ttd

Kusman., S.IP., S.H., M.Hum

Biaya-biaya1. Meterai ……..…… Rp 6.000,002. Redaksi ……….… Rp 5.000,003. Administrasi …... Rp989.000,00Jumlah ………………. Rp1.000.00,00

Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG – RI

a.n. PaniteraPanitera Muda Tata Usaha Negara,

H. ASHADI, SHNIP : 195409241984031001

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 75