ki - pengaturan pembajakan udara menurut hukum positif indonesia - mei 2007

36
KARYA ILMIAH PENGATURAN PEMBAJAKAN UDARA (HIJACKING) MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA OLEH : Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH i

Upload: joke-punuhsingon

Post on 17-Feb-2015

189 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

KARYA ILMIAH

PENGATURAN PEMBAJAKAN UDARA(HIJACKING) MENURUT HUKUM POSITIF

INDONESIA

OLEH :

Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH

YAYASAN GMIM Ds. A.Z.R. WENASUNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON

FAKULTAS HUKUMTOMOHON

2007

i

Page 2: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

PENGESAHAN

Panitia Penilai Karya Ilmiah Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen

Indonesia Tomohon, telah memeriksa dan menilai karya ilmiah dari :

Nama : Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH

NIDN : 0930086204

Jabatan : Asisten Ahli

Judul Karya Ilmiah : PENGATURAN PEMBAJAKAN UDARA

(HIJACKING) MENURUT HUKUM POSITIF

INDONESIA.

Dengan Hasil : Memenuhi Syarat

Tomohon, Mei 2007

Dekan / Ketua Tim Penilai

JULIUS KINDANGEN, SH

ii

Page 3: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

KATA PENGANTAR

Dipanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kekuatan dan

hikmat kebijaksanaan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan karya

ilmiah ini.

Penulisan karya ilmiah yang berjudul "Pengaturan Pembajakan Udara

(Hijacking) Menurut Hukum Positif Indonesia” ini dimaksudkan untuk

mengadakan pengkajian terhadap motif pembajakan udara serta perangkat aturan

yang mengatur masalah pembajakan udara sebagai suatu kejahatan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

para pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan karya ilmiah ini,

khususnya kepada Panitia Penilai Karya Tulis Ilmiah Fakultas Hukum UKIT,

lebih khusus lagi kepada Bapak JULIUS KINDANGEN, SH selaku Dekan/Ketua

Tim Penilai Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan koreksi dan masukan-

masukan terhadap karya ilmiah ini.

Sebagai manusia biasa tentu saja dalam usaha penulisan karya ilmiah ini

terdapat kekurangan dan kelemahan, baik itu materi maupun teknik penulisannya,

untuk itu maka segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif amat penulis

harapkan demi kesempurnaan penulisan ini.

Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa, selalu menyertai segala usaha

dan tugas kita.

Tomohon, Mei 2007

Penulis,

Drs. JOKE PUNUHSINGON,

SH

iii

Page 4: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

DAFTAR ISI

HALAMAN

JUDUL ........................................................................................................... i

PENGESAHAN ........................................................................ ii

KATA PENGANTAR ................................................................................. iii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iv

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah.......... ................................................... 1

B. Perumusan Masalah ..................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2

D. Manfaat Penulisan ..................................................................... 2

E. Metode Penelitian ..................................................................... 2

BAB II : PEMBAJAKAN PADA UMUMNYA ....................................... 4

A. Pengertian dan Motif-Motif Pembajakan ................................. 3

B. Pembajakan Di Laut .................................................................. 6

C. Pembajakan Di Udara ............................................................... 9

BAB III : PENGATURAN PEMBAJAKAN UDARA (HIJACKING)

MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA .............................. 13

A. Pengaturannya Dalam Hukum Positif ....................................... 13

B. Tinjauan Kasus Woyla ............................................................... 14

BAB IV : PENUTUP ................................................................................. 17

A. Kesimpulan ................................................................................. 17

B. Saran .......................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 19

iv

Page 5: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sebenarnya masalah pembajakan khususnya pembajakan di udara dapat

dilihat dari berbagai segi misalnya : dari segi Hukum Internasional dan dari segi

Hukum Pidana. Dalam makalah ini ditinjau mengenai pembajakan udara akan

ditinjau dari segi Hukum Internasional (International Law Approach) walaupun

tidak dilepaskan dari tinjauan dari segi Hukum Pidana. Akan tetapi titik fokusnya

adalah tinjauan dari segi Hukum Internasional.

Kita semua telah mengetahui bahwa masalah pembajakan pesawat udara

sudah merupakan masalah internasional dan telah melanda dunia sehingga perlu

ditanggulangi secara sungguh-sungguh oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Di

Indonesia sendiri telah tiga kali mengalami pembajakan pesawat udara di mana

yang terakhir adalah kasus pembajakan pesawat udara milik perusahaan

penerbangan Garuda : "Woyla" yang pada waktu itu berhasil diselesaikan dengan

gemilang.

B. PERUMUSAN MASALAH

Karena pembahasan mengenai pembajakan udara dalam makalah ini

tercakup permasalahan yang bergitu luas, maka hal tersebut dibatasi pada hal-hal

sebagai berikut : pertama-tama tentang pengertian pembajakan serta apakah motif-

motifnya, macam-macam pembajakan yaitu pembajakan di laut dan pembajakan

di udara serta mengenai pembajakan pesawat udara ditinjau dari pengaturan-

pengaturan menurut Hukum Internasional dan sedikit mengenai pengaturan

dalam hukum positif Indonesia.

1

Page 6: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan diadakannya penulisan ini adalah :

a. Mencari pemecahan masalah pembajakan dalam pesawat udara yang

dewasa ini banyak dilakukan, terutama untuk kepentingan politik.

b. Mengkaji perangkat-perangkat aturan Hukum Internasional maupun

hukum positif Indonesia dalam mengatasi dan mengantisipasi kejahatan

pembajakan pesawat udara.

D. MANFAAT PENULISAN

Sedangkan kegunaan dari penulisan ini adalah :

a. Menambah perbendaharaan dalam kepustakaan Hukum

Internasional khususnya tentang Hukum Udara.

b. Menjadi suatu bahan pemikiran ilmiah dalam mengembangkan

Hukum Internasional tentang Hukum Udara dan Pengangkutan Udara yang

merupakan cabang ilmu hukum yang relatif masih muda sekaligus

mendorong dilakukannya penelitian-penelitian lebih lanjut.

E. METODE PENELITIAN

Karya Ilmiah ini menggunakan pendekatan secara komparatif-yuridis

dalam kajian tentang pembajakan udara. Juga digunakan metode kepustakaan

(library research) yang bagi penulis sangat efisien dan efektif mengingat

banyaknya literatur mengenai Hukum Udara yang terdapat di perpustakaan.

Dalam teknik pengolahan data penulis menggunakan teknik sebagai

berikut :

a. Deduksi : Dari data yang umum diambil kesimpulan yang khusus.

b. Induksi : Dari data yang khusus diambil kesimpulan yang umum.

2

Page 7: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

c. Komparatif (metode perbandingan) : Membandingkan literatur yang satu

dengan literatur yang lain; membandingkan pendapat atau teori satu sama

lain yang kemudian diambil kesimpulan.

3

Page 8: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

BAB II

PEMBAJAKAN PADA UMUMNYA

A. PENGERTIAN DAN MOTIF – MOTIF PEMBAJAKAN

Sebelum menguraikan tentang pokok masalah yaitu pembajakan udara,

maka ada baiknya diuraikan terlebih dahulu tentang pengertian "pembajakan"

tersebut.

Di dalam bahasa Indonesia, pembajakan berasal dari kata dasar "bajak"

yang mempunyai pengertian rangkap sebagai "perkakas pertanian untuk

menggemburkan dan membalikan tanah; luku, juga sebagai perampok, penyamun

di laut".1 Sayang dalam kasus ini tidak dibicarakan penjelasan tentang

'pembajakan udara'.

Pembajakan itu biasa dilakukan di laut dan bisa juga terjadi di udara.

Pembajakan atas sebuah pesawat udara dikenal dengan beberapa istilah seperti :

- Hijacking

- Sky-Jacking

- Air Piracy.

Istilah-istilah ini menunjukkan bahwa dikalangan para ahli Hukum

Internasional pun belum terdapat kesatuan pendapat mengenai istilah yang paling

tepat.

Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, SH, misalnya lebih condong untuk

menggunakan istilah 'Sky-Jacking' sebagaimana yang dikatakannya sebagai

berikut : "Lebih tepat kiranya untuk menggunakan istilah 'Sky-Jacking', istilah

masa kini sudah merupakan istilah yang dianggap meliputi segala kejahatan yang

terjadi di ruang udara dan sarana penerbangan".2 Walaupun menurut Prof. Dr.

1 W.J.S. Poerwdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 77.

2 Priyatna Abdurrasyid, Pedoman Perkuliahan Hukum Angkasa (Course Materrial), FH UNPAD, Bandung, 1974, hal. 8.

4

Page 9: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

Priyatna Abdurrasyid, SH, istilah 'sky-jacking' yang paling tepat namun kenyataan

dalam masyarakat orang lebih umum mempergunakan istilah 'hijacking' dari pada

'sky-jacking' atas 'air piracy'.

Di dalam perundang-undangan pidana kita sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan

beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan

perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan

penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, juga tidak

dijelaskan atau dicantumkan istilah 'pembajakan udara'. Dalam undang-undang

tersebut hanya dirumuskan hanya dirumuskan perbuatan yang dikenal dengan

'pembajakan udara' itu istilah 'pengusaan pesawat udara secara melawan hukum'.

Juga diketemukan istilah 'merampas, menguasai pengendalian pesawat udara

dalam penerbangan'. Namun istilah 'pembajakan' sendiri tidak diketemukan.

Lain halnya dengan pembajakan di udara, maka dalam pembajakan di laut

kiranya sudah mempunyai istilah yang mantap, yaitu apa yang dalam bahasa

Inggris dikenal dengan istilah 'piracy', yaitu : "an act of vilonce commited at the

sea by persons or armed vesseis not acting under the authority of a state or

organized community".3 Kalau ini diterjemahkan secara bebas berarti suatu

tindakan dengan kekerasan di laut oleh orang-orang atau kapal-kapal yang tidak

dibawah kekuasaan sesuatu negara atau masyarakat yang terorganisir.

Sekarang akan dibahas tentang motif-motif pembajakan baik pembajakan

udara maupun pembajakan di laut. K. Martono, SH menyebutkan bahwa motif-

motif yang melatarbelakangi timbulnya aksi pembajakan udara adalah :

a. Pribadi (personel).

b. Tekanan politik.

c. Tekanan sosial. 4

Motif pribadi misalnya pembajakan udara yang dilakukan karena ingin

melarikan diri dari ancaman hukuman yang akan dijatuhkan atas dilakukannya

3 Smith and Zurcher, Dictionary of American Politics, Barnes and Nobles Inc., NY, p. 289.

4 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 9.

5

Page 10: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

suatu perbuatan pidana. Seorang yang melakukan suatu perbuatan pidana yang

diancam dengan pidana mati misalnya karena sudah ketahuan, lalu melarikan diri

ke luar negeri dengan melakukan pembajakan pesawat udara. 5

Motif politik misalnya terlihat dimana orang-orang atau golongan-

golongan yang melarikan diri dari sistem politik tertentu, misalnya beberapa orang

Polandia dan Jerman Timur yang melarikan diri ke negara bebas.

Menurut data yang ada pada INTERPOL, maka 65 % dari jumlah

pembajakan udara bermotif politik dan sisanya berbagai macam motif. 6

Di samping motif-motif yang disebutkan tadi, ada juga pembajakan udara

yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai uang. Pembajakan jenis yang

oleh Prof. Mr. G.M.A. Inkiriwang disebut "Travel Hijacking".

Ada juga pembajakan udara yang bermotifkan lebih dari satu misalnya

disamping motif politik juga motif kriminal biasa, seperti dalam kasus

pembajakan pesawat udara Woyla, dimana nampak motif politik (tuntutan-

tuntutan politik) juga motif rampok (tuntutan 1,5 juta US Dollar).

Sama halnya dalam pembajakan pesawat udara, di dalam pembajakan

kapal laut (piracy) motifnya ada juga yang politik, tetapi dalam pembajakan kapal

laut motif tersebut adalah merampok untuk mencari keuntungan sebesar-

besarnya.

B. PEMBAJAKAN DI LAUT

Pembajakan di laut terhadap kapal-kapal yang lalu lalang di suatu perairan

dilakukan oleh bajak laut atau perompak.

Menurut Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, SH, "dalam hukum kebiasaan

internasional 'piracy' merupakan kejahatan internasional dan berunsur perampok,

5 Smith and Zurcher, Op – Cit, hal. 289.

6 Hukum Pembajakan Udara dan Riwayat Kejahatan Itu Sepanjang Sejarah, Sinar Harapan tanggal 29 April 1981, hal. VI.

6

Page 11: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

perampasan dengan kekerasan di lautan dan harus mempunyai unsur perbuatan

penyerangan dari satu kapal ke kapal lain". 7

Dalam Convention On The Highs Seas (Geneva, Februari 24 to April

1958) dalam Artikel 5 ayat (1) mengenai piracy dikatakan sebagai berikut :

(1) a. Any illegal acts of violence, detention of any act of deperdtion, commited for private ands by the crew or the passengers of a private ship or a private aircraft, or against person or proverty an board such ship or aircraft.

b. Against a ship, person or proverty in a place outside the jurisdiction of any state.8

Pengertian pembajakan yang lebih luas dapat dilihat dalam Laporan I.L.C

1956 antara lain sebagai berikut :

Pembajakan meliputi semua kekejaman dan penahanan yang ilegal, atau

setiap tindakan perampokan yang dilakukan untuk tujuan-tujuan sendiri dari

orang-orang yang berada di atas kapal bajak laut atau pesawat terbang dan

dilakukan di laut lepas terhadap sebuah kapal atau orang-orang atau barang-

barang yang berada di atas kapal itu.9

Selanjutnya, L. Oppenheim and Lauterpacht mengatakan bahwa ''piracy'

dapat didefinisikan sebagai "every unauthorsea act of violence against person or

goods commited on the open sea either by a private against versel or by the

mutionous crew or passenger against their own vessel".10

Jadi pembajakan di laut adalah setiap tindakan dengan kekerasan yang

tidak sah melawan orang-orang atau barang yang dilakukan di laut lepas baik

yang dilakukan oleh kapal-kapal privat melawan kapal yang lain maupun oleh

anak buah dan penumpang kapal terhadap kapal mereka sendiri.

7 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 123.

8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, BPHN Binacipta, Bandung, 1978, hal. 224.

9

? J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Saduran F. Isjwara), Alumni, Bandung, 1972, hal. 145.

10 L. Oppenheim-Lauterpacht, International Law - A Treaties, Longmans Green and Co, London, 1966, hal. 608.

7

Page 12: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

Bahkan menurut Oppenheim-Lauterpacht, jauh sebelum perkembangan

Hukum Internasional modern sekarang ini pembajak sudah dinyatakan "an

outlaw" (pelanggar hukum) yaitu sebagai "hostishumani generis (musuh umat

manusia). 11

Menurut Hukum Internasional tindakan daripada pembajak mengakibatkan

ia kehilangan perlindungan dalam negaranya sendiri. Pembajakan juga sering

disebut sebagai 'international crime'; pembajakan adalah merupakan musuh

negara dan dapat dibawah ke depan pengadilan di mana saja.

Pembajakan sebagai'kejahatan internasional' hanya dapat dilakukan di laut

lepas. Pembajakan yang dilakukan di wilayah perairan suatu negara biasanya tidak

menjadi objek Hukum Internasional dan sebagaimana halnya dengan jenis

perampokan yang lain, termasuk wewenang negara pemilik laut yang

bersangkutan. 12

Pembajakan adalah suatu kejahatan terhadap keamanan di laut lepas dan

oleh sebab itu sangat berbahaya bagi keamanan dan keselamatan di laut lepas.

Lain halnya dengan pengaturan mengenai pembajakan di udara yang baru

mendapat pengaturannya sejak tahun 1976 yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 4

Tahun 1976, maka mengenai pembajakan di laut sudah diatur didalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana kita yaitu dalam pasal-pasal 438 sampai dengan

pasal 447 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 13

Bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita memperluas pengertian

pembajakan tidak saja di laut lepas, akan tetapi juga yang dilakukan di laut

teritorial Indonesia di pantai, di pesisir dan di sungai. Jadi pengertian pembajakan

di laut menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lebih luas daripada

pengertian pembajakan menurut Hukum Internasional sebagaimana yang

disebutkan di muka.

11 Ibid, hal. 609.

12 Mochtar Kusumaatmadja, Op – Cit, hal. 224.

13 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 245.

8

Page 13: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

C. PEMBAJAKAN DI UDARA

Bagian ini adalah merupakan inti pembicaraan di makalah ini.

Sebagaimana halnya dengan pembajakan di laut, maka demikian juga

pembajakan di udara merupakan 'international crime' dan merupakan musuh umat

manusia.

Pembajakan pesawat udara adalah merupakan suatu jenis kejahatan yang

relatif baru bilamana dibandingkan dengan jenis kejahatan yang lain. Dunia

mencatat bahwa pembajakan pesawat udara yang pertama terjadi tahun 1930

yaitu ketika seorang Peru membajak sebuah pesawat udara Peru kemudian

melarikan diri.

Gelombang pembajakan pesawat udara kemudian timbul lagi sekitar

tahun 1950 yang melanda negara-negara komunis di mana banyak mereka

melarikan diri ke negara bebas. Kita ingat misalnya pembajakan yang dilakukan

oleh orang-orang Kuba terhadap pesawat udara Amerika Serikat untuk melarikan

diri kembali ke Kuba.

Mengenai perilaku pembajakan pesawat udara ada yang dilakukan oleh

perorangan maupun kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi bahkan

oleh awak kapal itu sendiri.

Indonesia sendiri tidak luput dari masalah pembajakan pesawat udara.

Sampai sekarang tercatat telah tiga kali terjadi pembajakan pesawat udara di

Indonesia. Pembajakan pesawat udara yang pertama terjadi pada tanggal 4 April

1972 terhadap sebuah pesawat milik perusahaan penerbangan Merati dari jenis

Viscount yang sedang terbang jurusan Surabaya -Jakarta. Motif pembajakan

adalah semata-mata uang. 14

Pembajakan pesawat udara yang kedua terjadi tanggal 5 September 1977

terhdap sebuah pesawat udara milik perusahaan penerbangan nasional Garuda DC

9 yang sedang menerbangi jurusan Jakarta – Surabaya. Motifnya adalah motif

politik di mana ia menyandera seorang pramugari dengan sebilah pisau.

Pembajaknya bernama Triyudo, yang secara emosional ingin menegakkan

14 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 246.

9

Page 14: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

keadilan dan kebenaran di muka bumi dengan caranya sendiri tadi, kemudian

dihukum penjara satu tahun 6 bulan. 15

Memang dalam banyak hal pembajakan pesawat udara dilakukan untuk

memaksakan kehendak orang-orang atau organisasi-organisasi tertentu dengan

jalan kekerasan, atau cara yang bertentang dengan Piagam Perserikatan Bangsa-

Bangsa.

Menurut Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, berdasarkan Piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa maka ancaman atau penggunaan kekerasan bukan saja harus

ditiadakan (juga ancaman yang ditujukan kepada kejujuran dan kebasan politik

sesuatu negara) akan tetapi penggunaan cara lain yang tidak sesuai dengan Piagam

PBB harus dicegah. 16

Suatu pertanyaaan yang timbul adalah apakah sebabnya pembajakan lebih

cenderung untuk memilih pesawat udara untuk dibajak daripada kendaraan-

kendaraan lain seperti kereta api, bis, kapal laut dan sebagainya ? Biasanya

seorang pembajak yang membajak sebuah pesawat udara memang ia sudah

mempertaruhkan nyawanya. Ia demikian nekad kalau perlu bersedia mati

bersama-sama para penumpang dan awak pesawat dengan jalan meledakan

pesawatnya yang sedang mengudara. Juga setiap kekerasan pada pesawat akan

menimbulkan resiko yang tidak kecil. Dan kalau sebuah pesawat jatuh,

kemungkinan untuk hidup bagi penumpang dan awaknya sangatlah kecil.

Keadaan ini diketahui oleh pembajak dan ia memanfaatkan keadaan ini.

Sebab secara psikologis mereka tahu bahwa menyelamatkan saudara lebih penting

daripada kemanusiaan. Oleh sebab itu tuntutan para pembajak biasanya

dikabulkan. Namun ada juga negara (termasuk Indonesia) yang tidak mau

mengalah begitu saja terhadap tuntutan para pembajak sebagaimana ternyata

dalam ketiga pembajakan yang terjadi di Indonesia.

15 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 245.

16 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 245.

10

Page 15: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

Masalah pembajakan pesawat udara ini sudah sangat disadari oleh bangsa-

bangsa di dunia, sehinga ICAO (International Civil Aviation Organization) telah

mengesahkan tiga Konvensi Internasional yaitu :

1. Tokyo Convention 1963 tentang pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-

tindakan tertentu lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara (Offences

and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft).

2. Konvensi Den Haag 1970 tentang pemberantasan penguasaan pesawat udara

secara melawan hukum (The Suppresion of the Unlawful Seizure of the

Aircraft).

3. Konvensi Montreal 1976 tentang pemberantasan tindakan-tindakan melawan

hukum yang mengancam keamanan penerbangan sipil (The Suppresion of the

Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation).

Menurut Konvensi Tokyo 1963, yurisdiksi terhadap pembajak yang

melakukan pembajakan pesawat udara berada pada negara di mana pesawat udara

didaftarkan (pasal 3 dan 4). Jadi kalau kita ambli contoh kasus Woyla, maka

menurut ketentuan pasal 3 dan 4 Konvensi Tokyo yang berhak melakukan

yurisdiksi terhadap pembajak adalah bukan pemerintah Thailand (tempat terakhir

pesawat udara itu mendarat), tetapi Indonesia (tempat di mana pesawat udara

didaftarkan).

Walaupun demikian, sesuai dengan Konvensi ini, Pemerintah Thailand

harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar supaya pelaksanaan

yurisdiksi dapat berlangsung dengan baik. Bilamana pesawat mendarat maka

negara dimana tempat pendaratan harus mengijinkan penumpang/awak kapal

meneruskan perjalanan mereka dan mengambil barang-barang kepada mereka

yang berhak.

Hanya saja salah satu kelemahan dalam Konvensi Tokyo ini adalah

ketentuan bahwa negara anggota tidak wajib melakukan ekstradisi pembajak

kepada negara di mana pesawat udara itu didaftarkan. Jadi misalnya dalam kasus

pesawat Garuda, sesuai dengan Konvensi Tokyo, maka pemerintah Thailand

tidak wajib mengekstradisikan pembajak itu kepada pemerintah Indonesia.

11

Page 16: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

Kecuali apabila antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Thailand ada

perjanjian ekstradisi.

Bahwa dalam kasus pembajakan pesawat garuda Woyla itu

penanganannya dilakukan bersama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah

Thailand, maka hemat penulis, hal ini disebabkan karena adanya semangat

ASEAN dalam membentuk kerjasama termasuk kerjasama dalam penanggulangan

kejahatan. Baik Indonesia dan Thailand sama-sama peserta Konvensi Tokyo.

Bilamana kejahatan pembajakan menurut sifatnya adalah merupakan

'international crime', maka dalam hubungan-hubungan internasional dalam

masyarakat internasional, seharusnya dapat bekerjasama dalam menanggulangi

bentuk kejahatan ini. Hanya saja, penanggulangannya dari negara-negara. 17

Seorang pelarian Kuba dari Amerika Serikat yang membajak sebuah

pesawat TWA misalnya,begitu sampai di Kuba akan dianggap sebagai 'pahlawan'.

Sebaliknya di Amerika Serikat ia dicap sebagai penjahat besar yang harus

dihukum.

Oleh sebab itu benarlah apa yang dikatakan oleh Prof. Mr. G.M.A.

Inkiriwang yang mengatakan bahwa, "selama ada contraversi politik antara

negara-negara atau dalam suatu negara, kemungkinan terjadi pembajakan tetap

ada. 18

Demikianlah uraian-uraian mengenai pembajakan pesawat udara dilihat

dari segi Hukum Internasional.

BAB III

PENGATURAN PEMBAJAKAN UDARA 17 J. Frankel, Hubungan Internasional, (Alih Bahasa Laila H. Hasyim), ANS Sungguh

Bersaudara, Jakarta, 1980, hal. 154.

18 G.M.A. Inkiriwang, Hukum Udara dan Pembajakan Udara (Pidana Dies Natalis FH Unsrat Manado tanggal 1 Agustus 1979.

12

Page 17: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

( HIJACKING)

A. PENGATURANNYA DALAM HUKUM POSITIF

Ketika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibuat tahun 1914, masalah

pembajakan pesawat udara tidak mendapat pengaturan. Hal ini disebabkan karena

pada waktu bentuk kejahatan pembajakan pesawat udara belum dikenal.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata bahwa

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita sudah ketinggalan jaman. Hal ini

disadari oleh pemerintah dan pada tahun 1976 dikeluarkanlah UU No. 4 Tahun

1976 tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan

perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap

sarana/prasarana penerbangan.

Khusus mengenai pembajakan pesawat udara ditambahkan dua pasal yaitu

pasal 479 i dan 479 j yang selengkapnya sebagai berikut :

Pasal 479 i : Barang siapa dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan

hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat

udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua

belas tahun.

Pasal 479 j : Barang siapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan

perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan,

dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Walaupun dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa perbuatan inilah yang

disebut 'pembajakan ', namun melihat sifat perbuatannya, maka perbuatan ini

memenuhi unsur untuk dapat disebut pembajakan pesawat udara. Hal ini sesuai

dengan apa yang dikatakan oleh R. Soesilo bahwa "ketentuan pasal ini mengatur

13

Page 18: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

tindak pidana kejahatan penerbangan yang lazim dikenal dengan nama

pembajakan pesawat udara". 19

Selanjutnya pasal 479 k mengatur mengenai pembajakan pesawat udara

yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (deelneming), maupun pembajakan

yang dilakukan dengan berencana, mengakibatkan luka berat, mengakibatkan

kerusakan pada pesawat udara dan dilakukan dengan maksud untuk merampas

kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.

Pembahasan dalam makalah ini tidak akan dilanjutkan uraian-uraian

mengenai unsur-unsur pasal 479 i, j dan k Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

sebab hal ini adalah bidang Hukum Pidana.

Yang jelas bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita sudah

mengalami kemajuan dengan ditetapkannya kejahatan pembajakan sebagai

perbuatan pidana dan dimasukkan dalam KUHP.

Di samping itu juga Indonesia telah menanda-tangani Konvensi-Konvensi

Internasional mengenai pembajakan pesawat udara. Oleh karena itu kalau dahulu

(sebelum tahun 1976) pembajakan pesawat udara hanya dikenakan dengan pidana

atas dasar ancaman penggunaan senjata api secara tidak sah, maka dengan adanya

UU No. 4 Tahunn 1976, maka pengaturan tentang pembajakan pesawat udara

makin mantap demi kepentingan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

B. TINJAUAN KASUS WOYLA

Kita yang menaruh perhatian terhadap perkembangan hukum di Indonesia

tentu saja menaruh perhatian terhadap pelanggaran hukum yang 'spektakuler'

seperti dalam kasus pembajakan udara milik perusahaan penerbangan Garuda

"Woyla" pada tanggal 28 Maret 1981 yang lalu.

Peristiwanya sendiri telah banyak ditulis oleh media massa seperti surat

kabar dan media elektronik lainnya, bahkan untuk itu telah terbit beberapa buku

19 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1976, hal. 269.

14

Page 19: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

seperti yang ditulis oleh R. Wiwoho (Operasi Woyla) dan Rinaldi dkk (Tragedi-

1981-Garuda DC 9-206 dibajak).

Secara singkat peristiwanya adalah sebagai berikut : sebuah pesawat

terbang DC 9 pada tanggal 28 Maret 1981, dibajak di atas Pekanbaru oleh lima

orang yang kemudian dikenal dengan dipimpin oleh Mahrizal. Pesawat domestik

ini kemudian dipakai untuk terbang ke Bangkok dan mendarat di lapangan

terbang Muang di Thailand.

Dari kontak-kontak yang dilakukan dengan pembajak, ternyata bahwa

motif pembajakan di samping motif politik (mereka minta membebaskan kawan-

kawannya yang ditahan karena melakakukan kejahatan), juga bermotifkan

'rampok' sebagaimana ternyata dari tindakan mereka mengumpulkan semua uang

dan perhiasan milik penumpang.

Di samping itu mereka meminta uang tebusan 1,5 juta US Dollar dan

menerbangkan mereka ke tempat yang nanti akan ditentukan.

Pada waktu itu, Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan untuk

tidak memenuhi tuntutan pembajak dan berunding dengan pemerintah Thailand

untuk melancarkan operasi militer untuk membebaskan para penumpang dan

awak kapal.

Kisah penyelamatannya sudah banyak ditulis, hasilnya adalah sebagai berikut :

1. Satu orang anggota Kopashanda yaitu Peltu Achmad Kirang tertembak dan

meninggal dunia.

2. Kapten Pilot Herman Rante tertembak dan meninggal dunia.

3. Semua sandera dan awak kapal lainnya selamat dan pesawat dalam keadaan

yang relatif utuh (masih dapat diterbangkan).

Beberapa catatan yang dapat diberikan mengenai kasus pembajakan

pesawat Garuda Woyla ini adalah :

1. Motifnya disamping Motif politik, juga motifnya adalah rampok.

2. Kita sadari bahwa di tengah kita masih ada "musuh dalam selimut". Peristiwa

tadi hendaknya menyadarkan kita semua bahwa di tengah-tengah kita terdapat

golongan ekstrim yang tidak segan-segan melancarkan tindakan yang tidak

berperikemanusiaan.

15

Page 20: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

3. Pemerintah sama sekali tidak mentolerir tindak kekerasan seperti pembajakan

dan jenis ancaman lainnya.

4. Penjagaan di pelabuhan-pelabuhan udara di Indonesia perlu ditingkatkan guna

mencegah lolosnya para pembajak.

5. Semangat ASEAN yang konkrit dan tindakan pemerintah Thailand yang

sangat bersahabat.

6. Adanya pasukan teroris yang patut dibanggakan. Waktu itu Indonesia adalah

negara nomor 3 di dunia yang berhasil menaklukan pembajak. Yang pertama

adalah Israel dengan penyerangan di Entebbe, dan Jerman dengan peristiwa

Mogadishu.

Demikianlah tanggapan penulis mengenai kasus pembajakan pesawat

Garuda Woyla.

16

Page 21: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

BAB IV

P E N U T U P

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

1. Masalah pembajakan khususnya pembajakan di udara dapat dilihat dari segi

Hukum Internasional dan dari segi Hukum Pidana.

2. Masalah pembajakan pesawat udara sudah merupakan masalah internasional

dan telah melanda dunia sehingga perlu ditanggulangi secara sungguh-

sungguh oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Di Indonesia sendiri telah tiga kali

mengalami pembajakan pesawat udara di mana yang terakhir adalah kasus

pembajakan pesawat udara milik perusahaan penerbangan Garuda : "Woyla"

yang pada waktu itu berhasil diselesaikan dengan gemilang.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan

beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan

perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan

penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.

4. Menurut Konvensi Tokyo 1963, yurisdiksi terhadap pembajak yang

melakukan pembajakan pesawat udara berada pada negara di mana pesawat

udara didaftarkan.

5. Hanya saja salah satu kelemahan dalam Konvensi Tokyo ini adalah ketentuan

bahwa negara anggota tidak wajib melakukan ekstradisi pembajak kepada

negara di mana pesawat udara itu didaftarkan.

6. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata bahwa Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana kita sudah ketinggalan jaman. Hal ini disadari

oleh pemerintah dan pada tahun 1976 dikeluarkanlah UU No. 4 Tahun 1976

tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan

17

Page 22: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap

sarana/prasarana penerbangan.

Dengan demikian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita sudah

mengalami kemajuan dengan ditetapkannya kejahatan pembajakan sebagai

perbuatan pidana dan dimasukkan dalam KUHP.

7. Indonesia telah menanda-tangani Konvensi-Konvensi Internasional mengenai

pembajakan pesawat udara.

B. S A R A N

1. Sebagai cara penangulangan pembajakan pesawat udara di Indonesia adalah

dengan peningkatan kewaspadaan nasional, untuk itu kita tidak boleh lengah

sedikitpun juga sebab musuh-musuh kita selalu berusaha memanfaatkan

kelengahan kita.

2. Berdasarkan pengalaman peristiwa Woyla, maka seseorang atau orang-orang

yang bercita-cita membajak pesawat udara harus berpikir seribu kali untuk

melaksanakan niatnya, untuk itu kesigapan dari aparat keamanan perlu

ditingkatkan untuk menjaga reputasi Indonesia sebagai salah satu negara yang

berhasil menanggulangi upaya mengatasi upaya pembajakan.

18

Page 23: Ki - Pengaturan Pembajakan Udara Menurut Hukum Positif Indonesia - Mei 2007

DAFTAR PUSTAKA

- Abdurrasyid P., Pedoman Perkuliahan Hukum Angkasa (Course Materrial), FH UNPAD, Bandung, 1974.

- Frankel J, Hubungan Internasional, (Alih Bahasa Laila H. Hasyim), ANS Sungguh Bersaudara, Jakarta, 1980.

- Inkiriwang G.M.A., Hukum Udara dan Pembajakan Udara (Pidana Dies Natalis FH Unsrat Manado tanggal 1 Agustus 1979.

- Kusumaatmadja M., Hukum Laut Internasional, BPHN Binacipta, Bandung, 1978.

- Oppenheim-Lauterpacht, International Law - A Treaties, Longmans Green and Co, London, 1966.

- Poerwadarminta W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976.

- Smith and Zurcher, Dictionary of American Politics, Barnes and Nobles Inc., NY. 1966.

- Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1976.

- Starke J.G, Pengantar Hukum Internasional (Saduran F. Isjwara), Alumni, Bandung, 1972.

- Wiwoho R, Kisah Nyata Operasi Woyla, PT. Monara Garuda Nusantara, Jakarta, 1981.

19