pembajakan udara - universitas indonesia

10
PEMBAJAKAN UDARA DAN EXTRADISI PEMBAJAK *) OJeh : K. Martono, SR. LLM. Pendahuluan Pada awal Juli 1980, seorang laki- laki tidak diketahui kebangsaannya, membajak sebuah pesawat udara tipe Boeing 737, milik perusahaan pener- bangan Aerolineas, Argeninas, Argenti- na. Pembajak. yang mengaku pendu- kung mendiang presiden Juan Peron itu , me!luntut uang tebusan US$ 100,000,00 kepada Menteri Perekono- mian, Martinez De Hoz. Tanggal 23 bulan yang sarna, sebuah pesawat udara tipe L 1 011 , millk peru sahaan penerbangan Delta Airlines, Amerika Serikat, dibajak oleh seorang berke· bangsaan Spanyol yang tinggal di Kuba. Pemerintah Amerika Serikat minta agar pembajak diextradisikan ke Amerika Serikat. Tiga hari kemudian, sebuah pesawat udara tipe Boeing 737 milik perusaha- an penerbangan di Kuwait, dibajak ke Iran oleh seorang berkebangsaan J or- dan yang dideportasioleh pemerintah Kuwait. Pembajak menuntut tebusan US$ 750.000.00 sebagai kompensasi deportasi. Sementara pemerintah Iran dengan Kuwait merundingkan ke- mungkinannya extradisi, pesawat uda- ra tinggal landas dengan tidak dike- tahui tujuan pendaratannya. Dalam bulan Desember 1980 yang lalu, tidak kurang dari tiga kali peris- tiwa pembajakan udara. Seorang Po- landia, membajak sebuah pesawat uda- ra tipe Antonov-24, yang sedang me- lakukan penerbangan dalam negeri. Pesawat udara milik perusahaan pener- bangan "LOT" Polandia ini, dipaksa mendarat disebuah pelabuhan udara millter Amerika Serikat di Jerman Barat. Pembajak yang minta suaka politik Jellnan Barat tersebut, ditun- tut oleh pemerintah Polandia untuk Mei 1981 251 diextradisikan ke Polandia. Selanjut- -- -, - . nya beberapa hari kemudian, dua orang yang tidak dikenal membajak sebuah pesawat udara tipe DC - 9 milik perusahaan penerbangan di Venezuela. Mereka telah menguasai pesltwat udara beberapa menit setelah tinggal landas dan menguasai menara pengawas dan merampas uang kirjrnan perusahaan asuransi Venezuela sejumlah US$ 1,6 juta. Lain peristiwa pembajakan udara terja di pada tanggal 16 Desem ber 1980 Sebuah pesawat udara jenis Boeing 727 milik perusahaan penerbangan Aviance Airlines, Colombia, yang se- dang membawa peserta Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) di Amerika La- tin, dipaksa mendarat di Kuba. Pem- bajak yang bernama Rosembergh Pa- bon, adalah pimpinan kaum revolusi- oner M-19. Ia telah memimpin pe- nyanderaan 11 diplomat di kedutaan besar Dominika di Bogota pada awal tahun 1980. Dari berbagai macam · peristiwa pembajakan udara tersebut, mengun- dang masalah-masalah hukum baik na- sional maupun internasional. Masalah- masalah hukum tersebut antara lain Dapatkah pembajak diextradisikan ? Apakah dasar hukum extradisi? Siapa- kah yang mempunyai jurisdiksi terha- dap pembajak ? Apakah hak dan ke- wajiban negara dimana pembajak keda- patan? Apakah pembajak dapat dihu- kum? Tindakan-tindakan apakah yang telah diambil oleh organisasi interna- sional baik pemerintah maupun non pernerintah? Banyak masalah-masalah hukum akibat pembajakan untuk dikemukakan disini. Tetapi dalam tulisan ini hanya akan dibatasi . uraian mengenai pembajakan udara pada umumnya dan extradisi pemba-

Upload: others

Post on 20-Mar-2022

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PEMBAJAKAN UDARA

DAN EXTRADISI PEMBAJAK *)

OJeh : K. Martono, SR. LLM.

Pendahuluan

Pada awal Juli 1980, seorang laki­laki tidak diketahui kebangsaannya, membajak sebuah pesawat udara tipe Boeing 737, milik perusahaan pener­bangan Aerolineas, Argeninas, Argenti­na. Pembajak. yang mengaku pendu­kung mendiang presiden Juan Peron itu, me!luntut uang tebusan US$ 100,000,00 kepada Menteri Perekono­mian, Martinez De Hoz. Tanggal 23 bulan yang sarna, sebuah pesawat udara tipe L 1 011 , millk perusahaan penerbangan Delta Airlines, Amerika Serikat, dibajak oleh seorang berke· bangsaan Spanyol yang tinggal di Kuba. Pemerintah Amerika Serikat

minta agar pembajak diextradisikan ke Amerika Serikat.

Tiga hari kemudian, sebuah pesawat udara tipe Boeing 737 milik perusaha­an penerbangan di Kuwait, dibajak ke Iran oleh seorang berkebangsaan J or-

dan yang dideportasioleh pemerintah Kuwait. Pembajak menuntut tebusan US$ 750.000.00 sebagai kompensasi deportasi. Sementara pemerintah Iran dengan Kuwait merundingkan ke­mungkinannya extradisi, pesawat uda­ra tinggal landas dengan tidak dike­tahui tujuan pendaratannya.

Dalam bulan Desember 1980 yang lalu, tidak kurang dari tiga kali peris­tiwa pembajakan udara. Seorang Po­landia, membajak sebuah pesawat uda­ra tipe Antonov-24, yang sedang me-

lakukan penerbangan dalam negeri. Pesawat udara milik perusahaan pener­bangan "LOT" Polandia ini, dipaksa mendarat disebuah pelabuhan udara millter Amerika Serikat di Jerman Barat. Pembajak yang minta suaka politik Jellnan Barat tersebut, ditun­tut oleh pemerintah Polandia untuk

Mei 1981

251

diextradisikan ke Polandia. Selanjut--- -, - .

nya beberapa hari kemudian, dua orang yang tidak dikenal membajak sebuah pesawat udara tipe DC- 9 milik perusahaan penerbangan di Venezuela. Mereka telah menguasai pesltwat udara beberapa menit setelah tinggal landas dan menguasai menara pengawas dan merampas uang kirjrnan perusahaan asuransi Venezuela sejumlah US$ 1,6 juta. Lain peristiwa pembajakan udara terja di pada tanggal 16 Desem ber 1980 Sebuah pesawat udara jenis Boeing 727 milik perusahaan penerbangan Aviance Airlines, Colombia, yang se­dang membawa peserta Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) di Amerika La­tin, dipaksa mendarat di Kuba. Pem­bajak yang bernama Rosembergh Pa­bon, adalah pimpinan kaum revolusi­oner M-19. Ia telah memimpin pe­nyanderaan 11 diplomat di kedutaan besar Dominika di Bogota pada awal tahun 1980.

Dari berbagai macam · peristiwa pembajakan udara tersebut, mengun­dang masalah-masalah hukum baik na­sional maupun internasional. Masalah­masalah hukum tersebut antara lain Dapatkah pembajak diextradisikan ? Apakah dasar hukum extradisi? Siapa­kah yang mempunyai jurisdiksi terha­dap pembajak ? Apakah hak dan ke­wajiban negara dimana pembajak keda­patan? Apakah pembajak dapat dihu­kum? Tindakan-tindakan apakah yang telah diambil oleh organisasi interna­sional baik pemerintah maupun non pernerintah? Banyak masalah-masalah hukum akibat pembajakan untuk dikemukakan disini. Tetapi dalam tulisan ini hanya akan dibatasi . uraian mengenai pembajakan udara pada umumnya dan extradisi pemba-

252

jak udara. Untuk keperluan ini, agar mempun:;ai pengertian lebih jelas me­ngenai pembajakan udara perlu diurai­kan secara singkat perkembangan pem­bajak udara, motip pembajakan, hu­kum yang berlaku terhadap kejahatan udara baik hukum nasional maupun hukum internasional, hukum extradisi dan akhirnya extradisi pembajak uda­ra.

Perkembangan Pembajakan Udara

Berbicara mengenai "pembajakan", sebenarnya tindakan "pembajakan", sudah dikenal sejak awal tahun Masehi. Masa itu, ketika pedagang-pedagang, musafir-musafir' padang pasir masih memperg~makan onta atau hewan lain­nya. untuk mengangkut barang-barang dagangan atau barang-barang bawaan­nya. Mereka sering mengalami tindak­an "pembajakan", ditengah perjalanan mereka. Akan tetapi istilah "pem ba­jakan" atau "membajak" itu sendiri, pada waktu itu belum dikenal. Timbul­nya istilah itu diperkirakan pada seki­tar abad ke-18, dimana pada waktu itu para pembajak (merampok dengan cara menghentikan kendaraan di te­ngah jalan) dengan mempergunakan lentera (lampu minyak tanah) sebagai isyarat untuk menghadang kendaraan di tengah jalan. Dan ketika kendaraan berhenti, pembajak mengambil barang barang mereka.

Mengenai pembajak udara, pertama kali terjadi pada tahun 1930, dimana ,eorang revo1usioner Peru mengambil alih kemudi pesawat udara milik pe­merintah Peru, untuk melarikan diri. Sesudah peristiwa ini, untuk waktu yang cukup lama tidak terjadi 1agi pe­ristiwa pembajak~ udara. Hal ini tim­bul1agi, pada tahun 1947. Sejak tahun ini, sampai tahun 1951 gelombang per­tama pembajakan terjadi. Dalam wak­tu enam tahun terjadi peristiwa pem­bajakan 11 kali berhasil, dan 3 kali tidak berhasil. Gelombang pembajakan ini terjadi di np.gara-negara Eropah Timur seperti Bulgaria, Czechoslova-

Hukum dan Pembangunan

kia, Romania, Polandia dan Yugosla­via. Mereka lari dari negara-negara komunis kenegara-negara non komunis di Eropa Barat.

Gelombang pembajakan kedua, ter­jadi diantara tahun-tahun 1958 sampai tahun 1961. Masa ini adalah saat-saat mulai berdirinya pemerintahan Cuba dibawah pimpinan presiden Fidel Cas­tro, dan umumnya, arah tujuan pem­bajak adalah dari Cuba ke Amerika Serikat. Sebaliknya, sekitar tahun 1961, arah tujuan pembajak dari Amerika Serikat ke Cuba. Sebagian besar pesawat udara yang dibajak ada­lah pesawat udara berkebangsaan Ame­rika Serikat; kemudian berturuHurut berkebangsaan Amerika Latin seperti argentina. Brazilia, Mexico, Colombia dan Venezuela, hampir semuanya tu­juan pendaratan adalah Cuba.

Gelombang berikutnya adalah se­kitar tahun 1967 sampai dengan tahun 1971. Pada saat-saat ini dapat dikata­kan merupakan masa-masa krisis pener­bangan sipil internasional. Pada akhir tahun 1968, dimana konvensi Tokyo 1963 , tentang ''Pelanggaran-Pelang­garan dan Tindakan-Tindakan Terten­tu Lainnya yang Dilakukan Dalam Pe­~awat Udara" belum berlaku, pemba­jakan udara meraja lela dimana-mana. Organisasi Penerbangan Sipil Interna­sional (the International Civil Aviation Organization) serta organisasi-organi­sasi internasional lainnya baik peme­rintah maupun non pemerintah, me­nyerukan tindakan bersama vencegah­an dan pemberantasan pembajakan udara. Tetapi pembajakan udara bu­kannya mereda, melainkan baik kwa­litatif maupun kwantitatif meningkat. Arena pembajakan beralih dari dunia barat (Amerika) kedaerah Timur Te­ngah (Middle East). Sasaran pembajak­an terutama sekali penerbangan rute IsraeL Untuk menanggulangi pemba­jakan ini, dalam waktu dua tahun, organisasi penerbangan sipil int ern a­sionall telah mengesahkan dua buah konvensi internasional masing-masing mengenai "Pemberantas Penguasaan

Mei 1981

, , , ,

Ekstradisi Pembajak

Pesawat Udara Secara Melawan Hu­kum" yang biasa disebut "the Hague Convention of 1970" dan "Pemberan­tasan Tindakan-tindakan Melawan Hu­kum Yang Mengancam Keamanan Pe­nerbangan Sipil" yang biasa disebut "Montreal Convention of 1971".

Motip Pembajakan Udara

Berbagai motip melatar belakangi timbulnya aksi pembajakan udara, baik pribadi (personal), tekanan poli­tik maupun sosial. Mereka yang me­lakukan pem bajakan udara, karena ingin melarikan diri dari ancaman hukuman dapat digolongkan sebagai suatu tindakan krirninal biasa. kadang­kadang pembajak melakukan pemba­jakan udarakarena tekanan hidup yang diderita. Sebagai akibat diputar­nya film-film tentang pem bajakan atau setelah membaca berita-berita tentang pembajakan, mereka seakan-akan mendapat dorongan untuk melakukan pembajakan udara. Jenis pembajakan ini sering dilakukan oleh orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau­pun tekanan mental lainnya. Sementa­ra itu ada, golongan yang menganggap bahwa untuk melarikan diri dari sistem politik serta atau so sial tertentu, atau­pun keadaan-keadaan yang mengakibat kan tekanan phisik maupun mental, satu-satunya jalan hanyalah dengan car a membajak. Hal ini terbukti dari gelombang pembajakan yang terjadi antara tahun 1947 sampai dengan 1951. Mereka mem bajak pesawat udara dari Eropah Timur ke negara-ne­gara non komunis di Eropah Barat. Golongan terbesar adalah beIlllotip politik. Tenuasuk golongan ini ada­lah grup revolusioner kiri seperti "Black Panthers" di Amerika Seri­kat, kaum komunis muda di J epang, Korea Selatan, pergerakan pem be­basan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine) di Tirnur Tengah (Middle East), Ethiopia, koloni Portugis di Afrika, Kashmir dan juga kaum Yahudi di Rusia dan orang-orang

Mei 1981

253

Cuba di Amerika Serikat yang in gin kembali ke Cuba.

Mengenai pelaku pem bajak, dapat dilakukan . secara individu, organisasi maupun pemerintah atau organisasi­organisasi politik lainnya, bahkan da­pat juga dilakukan oleh awak pesawat udara itu sendiri sebagai pelaku pem­bajak. Pem bajak yang terdiri dari kaum militan yang menentang suatu pemerintahan tertentu, kadang-kadang melakukan tawar menawar tuntutan politis, sementara pesawat udara · de­ngan penumpang-penumpangnya ada dalam kekuasaan mereka. Pem bajak semacam ini banyak terjadi pada wak­tu timbulnya pertikaian politik antara negara-negara Arab dengan Israel. Pada tahun 1968, tiga orang anggauta "Popular Front for the Liberation of Palestine" mem bajak pesawat udara EL AL milik perusahaan penerbangan di Israel, menuju Aljazair. Pembajak menuntut agar anggauta PFLP yang di­tahan Israel dibe bask an. Sesudah itu, secara berturut-turut, terjadi peristiwa pembajakan pesawat udara milik per­usahaan penerbangan Trans World Airlines, Swissair, British Overseas Airways Corporation (BOAC), EL AL,

Pan American, Costa Rican dlL Seperti dikatakan diatas, pemerin­

tah juga bisa melakukan pembajakan udara. (Dalam hal ini pem bajakan ada­lah suatu tindakan pembelokan arah penerbangan, ketempat tujuan yang lain dari tujuan pendaratan semula). Pada tahun 1967, pemerintah Aljazair dan Congo terlibat pembajakan pesa­wat udara yang dicarter oleh perdana menteri Congo, Moise Tshombe. Yang paling hebat dari jenis pembajakan ini adalah dua buah pesawat udara milik angkatan udara Lybia yang memaksa pesawat udara milik maskapai pener­bangan Inggris (BOAC) untuk men­darat dipelabuhan udara Benghasi, dan menahan dua orang Sudan. yang menuju Khartoum yang akan ikut ber­gabung dengan suatu kekuatan yang akan melakukan kudeta di Sudan. Be­gitu pula pada bulan Agustus 1970,

254

pemerintah Israel menurunkan dan menahan dua orang pejabat Aljazair dari pesawat udara BOAC yang men­darat di Tel Aviv yang sedang dalam perjalanan dari Karachi ke London.

Pelaku lainnya dari pem bajakan adalah awak pesawat udara itu sendiri yang membajak. Hal ini terjadi pada tahun 1956. Sebuah pesawat Carter Perancis, yang membawa lima pemim­pin pemberontak Aljazair dan pejabat udara dipaksa mendarat dipelabuhan udara militer Perancis di Aljazair.

Pembajak yang bermotip peram­pokan terjadi pada tahun 1968 dan 1969. Pesawat udara berkebangsaan Am erika Serikat, yang melakukan pe­nerbangan dalam negeri, dipaksa men­darat ke Cuba dan sebelum mendarat pem bajak merampas semua harta pe­numpang. Tetapi setelah mendarat , pembajak ditahan oleh Pemerintah Kuba dan dipaksa untuk mengembali­kan harta tersebut kepada penumpang. Hal yang sarna terjadi pada tahun 1971 Pesawat udara yang mengadakan pe­nerbangan dari Miami-New York di­paksa untuk mendarat di Nassau , dan pembajak menuntut tebusan US $ 500 .000.00

Berbeda dengan motip pembajakan pada masa sebelum pembajakan udara, pembajakan udara sebagian besar ada­lah berm otip politik. Hal ini terbukti dari data yang dikumpulkan oleh INTERPOL (International Police) yang ternyata 64.4% dari jumlah pem­bajakan udara adalah bermotip poli tik dan sisanya berbagai macam motip .

HUKUM MENGENAI KEJAHATAN PENERBANGAN (PEMBAJAKAN)

a. Hukum Nasional

Pada umumnya, pandangan interna­sional berpendapat bahwa ten tang pembajakan udara adalah sebagai suatu kejahatan dalam dunia penerbangan yang menganeam keselamatan penum­pang dan/atau pesawat udara serta merukan perkembangan penerbangan

Hu kum dan Pem bal1gul1al1

sipil baik nasional maupun interna­sional. Hal ini akan dapat menghilang­kan/mengurangi kepercayaan masya­rakat terhadap keamanan penerbang­an sipi!. Sewajarnyalah, us aha-us aha pencegahan pem baj akan segera di­am bi!. Langkah-langkah semaeam ini sampai tahun 1960 belum tampak di­lakukan seeara internasiona!. Se­dangkan usaha nasional untuk menee­gah pembajakan udara, satu dan lain negara berbeda, tergantung seberapa 1auh keterlibatan pesawat udara na-

sional mereka. Di negara-negara komunis, menje­

lang 1950 sudah diumumkan tentang ancaman hukuman terhadap pembajak udara. Rusia menganeam hukuman ter­hadap pembajak udara, bukan hanya berupa hukuman kurungan, melainkan lebih jauh lagi, dengan ancaman hu­kum mati. Pada tahun 1950, saat-saat rnembanjirnya pelarian dari Eropah Tim ur ke negara-negara non-korn unis di Eropah Barat , atau sekitar arena pembajakan udara di Kuba, boleh dikatakan di negara-negara non-komu­nis belurn ada hukum nasional rnenge­nai pembajakan udara. Sebelas tahun kemudian, 1961, situasi sangat ber­lainan, setelah disadari bahwa pem­bajakan udara akan dapat rnerugikan bahkan mengubur perusahaan pener­bangan nasional rnereka. Tahun 1961, Arnerika Serikat , setelah pesawat uda­ranya dibajak , mengumumkan bahwa terhz.dap pembajak udara dapat di­ancam h ukum mat i at au kurungan ti­dak kurang dar.l 20 t allun. Sejak ge­lorn bang pembiljakan tahun 1967, terutama pada aren a pem bajakan uda­ra di Timur Tengah (l1.1 iddle East), negara-negara Eropah Barat mulai menyusun undang-undang anti pemba­jakan udara, Indonesia, dengan un dang undang nomor 2 tahun 1976 dan un­dang-undang nomor 4 tahun yang sa­rna, mengumumkan undang-undang kejahatan penerbangan dengan. menga­dakel .;! perobahan-perobahan beberapa pasal K UHF bertalian dengan perluas­an bc'\akunY2. pemndang-undangan pi-

Mei 1981

, • I

I , , i I

Ekstradisi Pembajak

dana kejahatan penerbangan dan keja­hatan terhadap sarana/prasarana pe­nerbangan.

Kurang adanya pengaturan dalam hukum pidana nasional terhadap tin­dakan kejahatan seperti itu ditiap-tiap negara, tidaklah menjadi penghalang untuk menghukum pembajak udara, sebab berbagai macam ancaman hu­kuman dapat diterapkan, seperti pemi­likan senjata tanpa ijin, perampokan atau mengancam kehidupan orang lain, yang ancaman hukumannya da­pat berupa kurungan beberapa bulan sampai hukuman mati. Cuba dim Phili­pina telah menjatuhkan hukuman ma­ti terhadap pembajak udara. Hukum nasional Canada, Polandia, Mesir, Yunani, Australia, menerapkan ancaman hukuman yang berbeda-be­da terhadap pem bajak udara. Pada ta­hun 1970, Rusia telah menjatuhkan hukuman kurungan IS tahun sampai dengan hukuman mati, Amerika Se­rikat menerapkan hukuman kurungan dari 20 tahun sampai hukuman mati, sedangkan Indonesia mengancam hu­kuman kurungan tiga tahun sampai dengan hukuman seumur hidup sesuai dengan undang·undang nomor 4tahun 1976.

b. Hukum Internasional

Sebagian besar negara, menurut hu­kum nasional mereka, dapat menjatuh­kan ancaman hukuman yang berat ter­hadap pembajakan udara, sepanjang menyangkut pesawat udara nasional mereka. Tidaklah demikian persoalan­nya terhadap pesawat udara asing yang dibajak dan mendarat di wilayah mereka. Aturan umum hukum inter­nasional ten tang perlakuan terhadap pembajak udara pesawat asing ditentu­kan oleh pertirn bangan politik. Pada umumnya, pembajak diberi suaka politik atau dibiarkan saja dapat me­neruskan perjalanannya Misalnya, pembajak-pembajak dari Eropa Timur pada tahun 1947 sampai dengan 1951, dari negara-negara komunis ke negara­negara non-komunis di Eropah Barat.

Mei1981

255

Pembajak dengan gembira disambut sebagai pahlawan pelarian politik dari negara-negara komunis. Pem bajak Cu­ba yang lari ke Amerika Serikat selalu diberi suaka politik. Aljazair dan Syria yang sangat bangga dengan pembajak udara Palistina, telah mengcluarkan pe­rangko bcrgam bar dua orang gerilya­wan PFLP dengan latar belakang pe­sawat udara yang sedang dibakar.

Sejak tahun 1967, dunia interna­sional mulai mempertimbangkan bah­wa tindakan pembajakan udara tidak­lah semata-mata bermotip politik, me­lainkan juga mcrupakan tindakan keja­hatan biasa. N egara-negara Eropah Ba­rat, disamping mempunyai hak untuk memberi suaka politik, mereka juga menghukum pem bajak udara. Ada be­berapa kasus. yang mana pengadilan negara-ncgara Eropah Barat telah, di­samping menyatakan hak, memberi suaka politik, menghukum kurungan pembajak-pembajak Czechoslovakia dan Polandia selama delapan sampai tiga puluh bulan, karena dituduh mem­bahayakan keselamatan penumpang di dalam pesawat udara. Rafael Mini­chiello, seorang veteran warga negara Amerika Serikat yang membajak TWA ke Roma, dihukum penjara pemerin­tah It ali selama 7'12 tahun kurungan, karena dituduh penculikan dan "memi­liki scnjata tanpa ijin, tetapi akhirnya dibebaskan setelah dikurung selama­nya delapan belas bulan.

Konvensi intcrnasional yang per­tama kali mengenai kejahatan pener­bangan sipil ialah Konvensi Tokyo tahun 1963 mengenai "Pelanggaran­Pelanggaran Dan tindakan-Tindakan Tertentu Lainnya Yang Dilakukan Dalam Pesawat Udara (the Offinces and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft)" yang ditanda tangani di Tokyo tahun 1963. Konvensi ini mengatur agar jangan sampai pe1ang­garan atau tindakan-tindakan tertentu

yang dilakukan di dalam pesawat uda-ra yang membahayakan pesawat, pe­numpang dan barang-barangnya, di­biarkan begitu saja tidak ada hukum-

256

an , karena negara tersebut tidak mem­punyai jurisdiksi terhadap pelanggar. Negara dimana pesawat udara asing itu mendarat, tidak mempunyai jurisdiksi sebab wewenang jurisdiksi pada negara dimana pesawat udara tersebut didaf­tar.

Konvensi tersebut juga memberi wewenang kepolisian kepada kapten pesawat udara atau awak pesawat uda­ra lainnya. Mereka dapat menahan , menurunkan dan mengamankan pe­numpang yang dicurigai melakukan tindakan pelanggaran. bilamana polisi negara dimana pesawat udara terbang, tidak dapat melakukan tugas-tugas kepolisian. Tetapi wewenang ini tidak berlaku bilamana pesawat terbang di atas lautan bebas atau daerah tidak bertuan. Disamping itu, konvensi juga mengatur wewenang dan kewajiban negara anggau ta konvensi. Setiap ne­gara anggauta konvensi harus meng­izinkan kapten pesa wat udara asing, untuk menurunkan orang yang di­curigai atau melakukan suatu pelang­garan di dalam pesawat udara. Negara dimana orang tersebut ditumnkan, ha­rus mengambil langkah-Iangkah terten·· tu untuk menjaga serta melakukan pc·· meriksaan pendahuluan dan menghu­bungi negara atau perwakilan negara di mana pembajak mempunyai ke­warga negaraan .

Sepanjang mengenai extradisi, ne­gara dimana pesawat udara asing ter­sebut mendarat atau dimana pelang­gar itu berada, tidak diwajibkan untuk mengextradisikan pembajak atau pe­langgar kepada negara dimana pesawat udara tersebut terdaftar. Hal ini meru­pakan titik kelemahan konvensi terse·· but, karena negara dimana pesawat tersebut terdaftar tidak dapat rnelak­sanakan jurisdiksinya terhadap pem­bajak sebab ia berada di luar wilayah hukurnnya. Kelemahan-kelemahan ter­sebut dimanfaatkan oleh pembajak un­tuk meningkatkan pembajakan udara.

Pad a tahun 1969, Kornite Hukum Organisasi Penerbangan Sipil Interna-

• sional diperintahkan untuk menyiap-

Hukum dan Pembangunan

kan suatu draft konvensi untuk men­cegah pem bajakan. Draft konvensi te­lah disiapkan dan dibahas dalam kon­perensi Diplomatik rnengenai hukum udara internasional di Den Haag tahun 1970. Yang paling sulit dibahas dalam konperensi tersebut adalah ketentuan rnengenai "Ex tradisi". Amerika Seri­kat dan Rusia menghendaki agar ja­ngan sampai politik dipakai sebagai alasan untuk tidak rnengextradisikan pembajak. Semua pembajak, apapun alasannya, harus dapat diextradisikan dengan negara dimana pesawat udara tersebut didaftar. Apakah pelanggaran tersebut bellllotip politik, agama, ras semuanya hams dapat diextradisikan. Begitu pula pembajak, walaupun pesa­wat melakukan penerbangan dalam negeri, negara dimana pem bajak keda­patan, hams dapat diextradisikan. Misalnya, pesawat udara registrasi Indonesia, melakukan penerbangan da­lam negeri Jakarta - Banjarmasin, dipaksa mendarat ke Balikpapan, ke­mudian pembajak lari ke Malaysia (dalam hal ini pembajak kedapatan di Malaysia), maka pembajak tersebut da­pat diextradisikan ke Indonesia.

Usul kedua negara besar ini, Ame­rika Serikat dan Rusia ditolak oleh negara-negara Eropa Barat dan negara­negara berkem bang lainnya. Mereka menghendaki penj ahat-penjahat ber­motip po litik tidak dapat diextradisi­kan. Pendapat lai.n adalah konvensi , dalam hal t idal<- adanya peIjanjian ex­tradisi timbal b8.lik dian tara mereka, dipertimbangkan sebagai dasar hukum extradisi. Delegasi Belanda menyata­kan, bukan saja dipertimbangkan se­bagai dasar hukum extradisi, melain­kan mewajibkan sebagai dasar hukum extradisi. DeJegasi Belanda menyata­kan , melainkan mewajibkan sebagai dasar hukum extradisi. Hal ini 1ebih ditentang oleh negara-negara Afrika dan negara-negara berkembang lainnya. Setelah panjang lebar dibahas akhirnya dapat di se tujui antara lain sebagai be­rikut •

Mei 1981

j

I

Ekstradisi Pembajak

a. Negara anggau ta bertanggung ja wab un­tuk memasukkan pelanggaran sebagai ke­jahatan di dalam perjanjian ex tradisi yang dibuat dian tara mereka ;

b. Bilamana negara yang minta extrad isi ti­dak mempunyai perjanjian extradisi tim­bal balik dengan negara yang diminta ex­tradisi, apabila negara terakhir ini rnen­syaratkan adanya perjanjian ex tradis~

maka ia boleh mernpertirnbangkan kon­vensi sebagai dasar hukurn ex tradisi Extradisi akan tunduk pada hukurn na­sional negara yang terakhir ini. M isal­nya Indonesia dengan Singapore tidak mempunyai perjanjian ex tradis~ Singa­pore minta Indonesia untuk rnengextra-

, disikan pernbajak yang Iari ke Indonesia. Bilamana Indonesia rnensyaratkan ada­nya perjanjian ex tradisi, maka Indo ne­sia dapat mempergunakan konvensi se­bagai dasar h uk urn ex tradisi

c. Dalam hal su b. b). diatas, bilarnana In­donesia tidak rnensyaratkan adanya per­janjian ex tradis~ rnaka Indo nesia meng­akui bahwa pembajak tersebut dapat diex tradisikan ke Singapore.

Hukum Extradisl

Tidaklah ada artinya suatu keten­tuan yang menyatakan bahwa negara dimana pesawat udara didaftar berwe­nang mengadili dan menghukum pem-

. bajak udara, bila negara tersebut tidak dapat melaksanakanjurisdiksi tersebut, karen a kenyataannya pembajak secara phisik berada di luar jurisdiksinya. Oleh karena itu , diperlukan suatu upaya agar pembajak udara dikem bali­kan ke negara dimana pesawat tersebut didaftar, agar ia dapat diadili dan di­hukum. Upaya pengembalian pemba­jak terse but biasanya dilakukan mela­lui tata cara ex tradisi.

Ex tradisi adalah suatu penyerahan oleh suatu negara kenegara lain, se­seorang tertuduh atau sese orang yang melakukan suatu kejahatan diluar wi­layah hukumnya , dan didalam jurisdik­si teritorial negara lain, dimana negara yang berkompeten untuk mengadili dan menghukum ia, minta penyerahan. Biasanya penyerahan terse but berda­sarkan perjanjian extradisi. Perjanjian

Mei 1981

257

ex t radisi ini merupakan dasar ' hukum dan yang akan memuat secara terperin­ci , kejahatan-kejahatan yang dapat di ex tradisikan.

Secara umum, negara-negara meng­extradisil;:an tertuduh hanya penja­hat-penjahat yang berat (serious) dan kejahatan-kejahatan tersebut harus di­ancam hukuman oleh hukum nasional negara yang minta dan yang diminta untuk mengextradisikan penjahat. Ke­jahatan-kejahatan agam a, ras dan po­litik biasanya tidak diextradisikan.

Ada suatu prinsip umum bahwa ex tradisi tidak akan dijamin terhadap pelanggaran-pelanggaran politik. Prin­sip ini dimaksudkan agar suatu negara dapat dengan bebas melindungi sistim politik mereka, tetapi akhir-akhir ini, dengan banyaknya perjanjian-perjanji­an extradisi, banyak negara-negara yang dalam praktek tidak ., berpegang teguh pada prinsip ini. Hal ini dise­babkan sering pelanggaran politik di­kaitkan dengan pembunuhan, peram­pokan dan lain-lain yang sebenarnya adalah kejahatan biasa. Walaupun be­gitu, negara-negara Eropah Barat dan negara-negara berkembang masih bertahan, bahwa kejahatan yang ber­motip politik tidak dapat dimasukkan di dalam perjanjian extradisi.

Ex tradisi Pembajak Udara

Pembajak udara sering tidak dapat diextradisikan karena tidak adanya perjanjian extradisi timbal balik antara mereka. Walaupun, mungkin, ada per­janjian extradisi timbal balik , pem ba­jak udara sering tidak dimasukkan ke dalam perjanjian extradisi tersebut. Dalam kasus peristiwa pembajakan pe­sawat udara tipe Antonov-24, milik perusahaan penerbangan "LOT" Po­landia, pemerintah Polandia menun­tut agar pem bajak diextradisikan ke Polandia. Pemerintah Jerman Barat . ' sebagai negara berdaulat, berhak me-lindungi siapa saja yang berada di­wilayahnya. Walaupun pemerintah

258

Polandia mempunyai jurisdiksi ter­hadap pembajak, Polandia tidak darat berbuat apa-apa karena pem ba­jak berada di luar wilayah hukumnya. Satu-satunya upaya adalah agar pem­bajak dikirim kern bali ke Polandia untuk diadili. Pengembaliart pembajak

ke Polandia baru mungkin apabila ada perjanjian extradisi timbal balik antara Polandia dengan Jerman Barat. Bila­mana kedua negara tersebut tidak mempunyai perjanjian extradisi, mere­ka dapat mempcrgunakan konvensi Den Haag sebagai dasar hukum extra­disi. Didalam konvensi tersebut dinya­takan bahwa dalam hal tidak adanya perjanjian extradisi tim bal balik dian­tara negara anggauta , oonvensi dapat dipergunakansebagai dasar hukum ex­tradisi .

Persoalannya, apakah pemerintah Jerman Barat mau melaksanakan ex­tradisi terse but atau tidak ? J awaban pertanyaan ini tergantung beberapa pertimbangan oleh Jerman Barat. Per­tim bangan-pertim bangan itu antara lain apakah motip pem bajakan terse­but? Berdasarkan posisi Jellnan Barat pada waktu sidang diplomatik menge­nai hukum udani internasional di Den Haag, Jerman Barat berpendirian tidak akan mcngextradisikan pembajak yang bermotip politik . Kemungkinan, dalam hu bungannya dengan pem bajakan ter­sebut , J eIlllan Barat tidak akan meng­ex tradisikan ke Polandia. Tetapi, ke­mungkinan, sikap Jerman Barat terse­but berobah, karena kenyataannYJi ke­jahatan politik sclalu dibarengi tindak­an pidana kejahatan biasa, seperti pe­rampokan, pembunuhan dan lain-lain. Pembajak yang berkebangsaan Polan­dia terse but ternyata hanya menuntut suaka politik tanpa dibarengi dengan tindakan pidana kejahatan. Menyim­pulkan dari anggapan ini, maka J er­man Barat tidak akan mengextradisi­kan pembajakan ke Polandia.

Bilamana kesimpulan terse but be­nar, maka, berdasarkan pasal 7 kon­vensi terse but menentukan antara lain bilamana negara dim ana kedapat-

Hukum dan PembangunQn

an pembajak, tidak mengextradisikan pembajak kenegara dimana pesawat udara didaftar, maka ncgara tersebut wajib mengadili dan menuntut pem­bajak terse but menurut hukum na­sionalnya. Sudah barang tentu , Jerman Barat akan menuntut dan mengadili pembajak bilamana ia punya hukum nasional mengenai pembajakan udara atau hukum-hukum lain yang dapat ditrapkan terhadap kejahatan udara.

Disamping pertimbangan tersebut diatas, factor-factor lain seperti hak­hak azasi manusia harus diperhatikan pula. Hal ini diakui pula dalam pasal 14 deklarasi hak-hak azasi manusia. Pasal terscbut antara lain mengatakan bahwa setiap individu berhak mencari dan menikmati perJindungan politik dari negara lain. Walaupun pasal terse­bu t tidak mewajibkan suatu negara untuk mem beri perlindungan setiap in­dividu yang meminta perlindungan ke­padanya. Faktor ini juga akan mem­pengaruhi apakah Jerman Barat akan mengextradisikan ataukah tidak. Hal ini memang dimungkinkan karena konvensi Den Haag tidak mewajibkan negara anggauta untuk mengextradisi­kan pembajak yang kedapatan di da­lam jurisdiksinya, terscrah kepada ke­bijaksanaan negara anggauta.

Permintaan ex tradisi pem bajak uda­ra juga tcrjadi pada peristiwa pemba­jakan pesawat udara tipe Ll 0 II, milik perusahaan penerbangan Delta Airlines di Amerika Serikat. Seorang berke­bangsaan Spanyol yang tinggal di Ku­ba, membajak se buah pesawat udara yang sedang mclakukan penerbangan dalam negcri, kc K uba. Setelah men­darat di Kuba , pesawat udara kembali ke Amerika Serikat ,. Pemcrintah Ame­rika Serikat minta agar pembajak diextradisikan ke Amerika Serikat.

Sebenarnya, menurut konvensi Den Haag, walaupun pesawat tersebut me­lakukan penerbangan dalam ncgeri, ne­gara anggauta konvensi dimana keda­patan pembajak, dapat mengextradisi­kan pembajak kencgara dim ana pe£a­wat didaftar. Tetapi, dalam hubungan-

Mei 1981

Ekstradisi Pembajak

nya dengan pembajakan tersebut di atas, Kuba tidak menjadi peserta konvensi Den Haag, walaupun Ameri­ka Serikat peserta konvensi Den Haag tidak dapat diterapkan. J alan lain yang dapat ditempuh adalah melalui perjanjian extradisi timbal balik an­tara kedua negara tersebut, bilamana ada. Pengalaman telah membuktikan bahwa Kuba mengadili pembajak orang-orang Kuba di Amerika Serikat yang ingin kembali ke Kuba.

7. Kesimpulan

Enam bulan terakhir ini dunia pe­nerbangan sipil internasional, kem bali terasa dicemaskan peristiwa-peristiwa pembajakan udara baik pem bajakan itu bermotip politik maupun kejahatan biasa.Sebenarnya, masalah pem bajak­an telah berlangsung sejak awal tahun Masehi, hanya pem baj akan udara di­mulai sejak tahun 1930. Kemudian se­car a bergelombang terjadi peristiwa pembajakan an tara tahun 1947 sampai dengan 1951, tahun 1958 sampai de­ngan 1961 dan tahun 1967 sampai de­ngan 1971.

Selain gelombang-gelombang pem­bajakan tersebut, sesungguhnya pem­bajakan berlangsung terus menerus, walaupl'.n berbagai usaha baik secara nasional maupun internasiona1, Usaha secara nasional tidak ada halangan apa­pun juga karena mereka dapat mene­rapkan hukum nasional mereka dengan berbagai macam ancaman hukuman baik hukuman kurungan yang ringan maupun berat, bahkan sampai hukum­an mati. Usaha secara internasional mengalami berbagai macam halangan dengan berbagai macam alasan politik maupun kepentingan lainnya. Walau­pun akhirnya dunia internasional me­nyadari bahwa disamping kepentingan

politik sebagai pertimbangan, juga ke-

. ,

Mei 1981

259

jahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil harus dipertimbang­kan pula. Dalam hubungan ini, Organi­sasi Penerbangan Sipil Internasional telah mengesahkan tiga konvensi inter­nasional mengenai kejahatan pener­bangan sipil yaitu konvensi Tokyo 1963 tentang "Pelanggaran-Pelanggar­an dan Tindakan-Tindakan Tertentu Lainnya Yang Dilakukan Dalam Pe­sawat Udara (the Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft), konvensi The Hague menge­nai .. pemberantasan Penguasaan Pesa­wat Udara Secara Melawan Hukum (Convention for the Suppression of Un­lawful Seizure of Aircraft)", dan kon­vensi Montreal 1971 mengenai "Pem­berantasan Tindakan-Tindakan Mela­wan Hukum Yang Mengancam Kea­manan Penerbangan Sipil (Convention for the Suppression of Unlaw,ful Acts Againt the Safety of Civil Aviation").

Untuk mencegah pembajakan uda­ra, setidak-tidaknya mengurangi prek­wensi pembajakan, telah diusahakan agar para pem bajak udara dapat dihu­kum oleh negara yang mempunyai wewenang untuk mengadili. Wewenang mengadili tersebut biasanya tidak da­pat dilaksanakan dengan baik karena setelah pembajak melakukan pemba­jakan, mereka melarikan diri ke wila­yah hukum negara lain untuk meng­hindari tuntutan hukum. Oleh· karena itu hukum internasional dalam hal ini konvensi Den Haag, mengatur masalah­masalah extradisi, walaupun pelaksana­an extradisi terse but banyak tergan­tung kebijaksanaan negara angguta. Kebijaksanaan-kebijaksanaan negara anggauta untuk mengextradisikan atau tidak, didasarkan atas pertimbangan­pertim bangan politik, agama serta hak­hak asasi manusia yang diakui secara universial .

260 Hukum dan Pembangunan

BAHAN BACAAN

L LOW EN FEL, A.F., Aviation Law : Cases and Materials New York: Matthew, Bender -1972

2. CASTEL, J .(~ . , International Law, 3rd Edition Toronto: Buttherworths - 1976

3. The Canadian Yearbook of International Law, Volume 7 pp. 269-295 (1969)

4. International Conciliation Volum e 585, pp. 7-27 {1971}

5. Harvard International Law Journal, Volume 12 pp. 33 -- 70 (I971)

6. lCAO Document 8966

Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation

7. leAO Document 8364

Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft

8. lCAO Document 9285

Annual Re port of the Coullcil - 1979 Montreal, 1980

9. Kumpulan I'eraturan Dibidang Perhubungan Udara Vol. I, II Edisi 1979

. *) Disampaikall pada lokakarya Permasalahan Hukum dan Pengaturan Perhubungan di Ja-

karta tanggal 31 Maret··· 2 April 1 98 1.

Tetap unggul rasanya ,khas

1'.1'. l'I'ruSIIhftlln Ilokok TJllp (in.\\"(i G:\ll-\M

K4'dlrl-lndorw!ila

Mei 1981

, . ,