kemiskinan definisi

27
II. Tinjauan Pustaka 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi-definisi Kemiskinan. Kemiskinan memiliki berbagai macam definisi, namun menurut Hartwell (1972) belum ada definisi yang jelas. Dalam pendefinisian awal dan juga yang sederhana, kemiskinan dijelaskan sebagai keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (Hartwell, 1972; Murdoch, 2005; Hung dan Makdissi, 2004; Nayyar, 2005; Cohen dan Sullivan, 2010). Pendefinisian ini membuat kemiskinan hanya dipandang sebagai masalah ketidaksesuaian pendapatan. Hal ini dikarenakan kebutuhan dasar yang dimaksud, merupakan kebutuhan dasar secara fisik (Nayyar, 2005). Hal ini kemudian diperbaiki oleh Sen (1998; 1999) yang menjelaskan bahwa walaupun ketidaksesuaian pendapatan merupakan faktor yang penting, tetapi terdapat masalah lain yang juga harus diperhatikan dalam kemiskinan. Kurangnya kesempatan, dan belum terbentuk kemampuan dari seseorang merupakan masalah lain yang juga penting dalam mengatasi kemiskinan (Sen dalam Nayyar, 2005).

Upload: dimas-ari-darmantyo

Post on 05-Jul-2015

540 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kemiskinan definisi

II. Tinjauan Pustaka

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Definisi-definisi Kemiskinan.

Kemiskinan memiliki berbagai macam definisi, namun menurut Hartwell (1972) belum

ada definisi yang jelas. Dalam pendefinisian awal dan juga yang sederhana, kemiskinan

dijelaskan sebagai keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya

(Hartwell, 1972; Murdoch, 2005; Hung dan Makdissi, 2004; Nayyar, 2005; Cohen dan Sullivan,

2010). Pendefinisian ini membuat kemiskinan hanya dipandang sebagai masalah

ketidaksesuaian pendapatan. Hal ini dikarenakan kebutuhan dasar yang dimaksud, merupakan

kebutuhan dasar secara fisik (Nayyar, 2005).

Hal ini kemudian diperbaiki oleh Sen (1998; 1999) yang menjelaskan bahwa walaupun

ketidaksesuaian pendapatan merupakan faktor yang penting, tetapi terdapat masalah lain yang

juga harus diperhatikan dalam kemiskinan. Kurangnya kesempatan, dan belum terbentuk

kemampuan dari seseorang merupakan masalah lain yang juga penting dalam mengatasi

kemiskinan (Sen dalam Nayyar, 2005). Sen dalam Donaldson dan Duflo (2009) selanjutnya

mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan dari seseorang untuk mencapai keadaan yang

paling minimum diterima oleh masyarakat sekitar. Williamson (2001) , Duflo (2009), dan WHO

(2001) juga berpendapat bahwa kemiskinan tidak dapat lagi didefinisikan hanya sebagai masalah

pendapatan. Williamson (2001) menambahkan masalah kerentanan, voicelessness, dan tidak

adanya kekuasaan sebagai masalah yang menyertai kemiskinan. Duflo (2009) selain

menekankan pada masalah kekuasaan, juga menambahkan bahwa kemiskinan membuat

seseorang tidak dapat berpotensi secara penuh.

Page 2: Kemiskinan definisi

Haughton dan Khandker (2009) berdasarkan pemikiran dari Sen, menjelaskan

kemiskinan sebagai masalah deprivasi dari kebutuhan dasar yang bersifat multidimensi. Dengan

melihat kemiskinan tidak hanya dari sisi pendapatan, kemiskinan lebih lanjut didefinisikan

sebagai permasalahan yang multidimensional (Stern, 2001; WHO, 2001; Cheung, 2005; dan

Tridico, 2009). WHO (2001) menyebutkan adanya dimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya

dalam kemiskinan. Tridico (2009) menyebutkan bahwa selain ekonomi, kemiskinan memiliki

dimensi sosial dan politik. Hal yang berbeda diungkapkan Stern (2001) dan Cheung (2005) yang

melihat dimensi yang ada dari berbagai jenis deprivasi yang membatasi kehidupan dari orang-

orang miskin.

Pendefinisian yang berbeda diungkapkan oleh Chambers (2005) dan Yunus (2006).

Chambers (2005) melihat kemiskinan sebagai sebuah pengalaman buruk dimana berbagai

masalah yang ada di dalamnya saling berinteraksi dan saling menguatkan. Yunus (2006) sendiri

memandang kemiskinan dari sisi pemenuhan hak asasi seseorang. Yunus (2006) juga

menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang terjadi karena tidak adanya

kesempatan yang diberikan kepada yang miskin.

Berdasarkan pada beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa kemiskinan saat

ini dipandang sebagai masalah multidimensional yang tidak hanya berasal dari ketidaksesuaian

pendapatan. Beberapa penulis seperti Williamson (2001), Tridico (2009), Duflo (2009), dan

Yunus (2006) menjelaskan adanya faktor lain yang menyebabkan kemiskinan itu terjadi selain

masalah pendapatan. Penjelasan mengenai apa yang menyebabkan munculnya kemiskinan tentu

tidak dapat ditunjukkan oleh definisi namun harus diketahui teori-teori mengenai kemiskinan.

Page 3: Kemiskinan definisi

2.12 Teori Kemiskinan

Bradshaw (2005) menjelaskan bahwa terdapat lima teori yang dapat dipakai untuk

menjelaskan kemiskinan: Individu, Budaya, Struktur Politik-Ekonomi, Geografis, serta Siklus

dan kumulatif. Sementara Schiller (2000) menjelaskan tiga pandangan terhadap apa yang

menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu : Kesalahan pada Karakter, Kesempatan Terbatas, dan

‘Big Brother’. Nurkse (1953) sebelumnya memberikan satu teori yang menjelaskan mengenai

kemiskinan yang disebut ‘the vicious circle of poverty’.

Teori Individu sebagaimana disebutkan oleh Bradshaw (2005) menjelaskan bahwa

seseorang menjadi miskin karena kemalasan dan pilihan buruk dari individu sendiri. Hal yang

sama diungkapkan Schiller (2000) pada teori kecacatan karakter yang menyebutkan bahwa

kemiskinan terjadi karena individu yang membatasi dirinya. Berdasarkan pada kedua teori

tersebut, upaya untuk mengatasi kemiskinan harus ditujukan pada upaya untuk mendorong

individu membuat pilihan yang lebih baik.

Teori selanjutnya yang dipakai untuk menjelaskan kemiskinan adalah teori budaya

(Bradshaw, 2005). Berdasarkan pandangan dari teori ini, kemiskinan terjadi karena adanya nilai-

nilai dalam masyarakat yang membuat seseorang membatasi dirinya dari kesuksesan. Nilai-nilai

kebudayaan yang ada di sini disebutkan menjadi alasan dari individu membuat pilihan yang

buruk. Berdasarkan pada teori budaya, kemiskinan dapat diatasi dengan pembentukan

masyarakat serta pengembangan kepemimpinan. Dengan solusi tersebut diharapkan individu

dapat terlepas dari nilai-nilai yang membatasi dirinya.

Teori ketiga yang dipakai dalam Bradshaw (2005) adalah teori struktur politik-ekonomi.

Dalam teori ini kemiskinan terjadi karena adanya pembatasan secara sistematis terhdap

Page 4: Kemiskinan definisi

kelompok tertentu untuk mengakses sumber daya yang ada. Teori ini lebih menyalahkan

kurangnya kesempatan yang diberikan kepada individu sebagai penyebab dari kemiskinan. Teori

yang hampir sama diungkapkan dalam Schiller (2000) yaitu ‘kesempatan yang terbatas’ yang

menjelaskan adanya diskriminasi terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat yang

memunculkan adanya kemiskinan. Dengan melihat penyebabnya, kemiskinan berdasarkan teori

ini dapat diatasi dengan dibukanya kesempatan bagi penduduk miskin terhadap akses sumber

daya yang sebelumnya dibatasi.

Teori kemiskinan yang selanjutnya dipakai dalam Bradshaw (2005) adalah teori

geografis. Teori ini mengungkapkan adanya unsur geografis yang menyebabkan suatu wilayah

menjadi miskin. Solusi yang dapat diberikan berdasarkan teori ini adalah dengan pembangunan

jaringan yang lebih baik, serta peningkatan kualitas pembangunan di wilayah tersebut.

Teori terakhir yang diungkapkan oleh Bradshaw (2005) adalah teori siklus dan kumulatif.

Dalam teori ini, kemiskinan terjadi karena berbagai masalah dari individu yang saling terkait dan

berhubungan dengan defisiensi pada masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan

menurut teori ini bersifat kompleks karean satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Solusi

yang diusulkan dari teori ini adalah dengan pembentukan program untuk membangun self-

sufficiency yang menghubungkan antara individu dan organisasi masyarakat.

Satu teori dari Schiller (2000) memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemiskinan.

Teori ‘big brother’ menjelaskan bahwa kemiskinan terjadi karena pemerintah merusak insentif

untuk self-sufficiency. Solusi yang diusulkan berdasarkan teori ini sebenarnya mirip dengan

solusi dari teori siklus pada Bradshaw (2005) hal yang membedakan pada ‘big brother’

disarankan pemerintah mengurangi peranannya dalam mengatasi masalah kemiskinan.

Page 5: Kemiskinan definisi

Teori ‘the vicious circle of poverty’ sendiri yang berasal dari Nurkse (1953) bukan teori

yang menjelaskan mengenai penyebab dari kemiskinan. Pada teori ini dijelaskan bahwa masalah

kemiskinan seperti sebuah lingkaran setan dimana apa yang menyebabkan kemiskinan dari

seseorang juga terjadi karena kondisi orang ataupun kelompok tersebut yang miskin. Hal ini

memunculkan proposisi “a country is poor because it is poor”.

Dengan melihat teori-teori yang ada dapat diketahui bahwa kemiskinan memiliki

berbagai dimensi permasalahan. Dimensi-dimensi tersebut sebagaimana dijelaskan dalam teori

siklus (Bradshaw, 2005) maupun ‘the vicious circle of poverty’ dari Nurkse saling berkaitan satu

sama lain. Dimensi-dimensi apa yang menjadi permasalahan dalam kemiskinan selanjutnya akan

dijelaskan pada bagian selanjutnya.

2.13 Dimensi Kemiskinan

Sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa definisi, kemiskinan memiliki banyak dimensi.

Selanjutnya dalam teori siklus ditunjukkan bahwa dimensi-dimensi tersebut saling berkaitan.

Dimensi - dimensi apa saja yang menjadi permasalahan dalam kemiskinan dijelaskan oleh

Narayan et al (2000) pada sepuluh dimensi dari deprivasi. Kesepuluh dimensi tersebut adalah:

capabilities : kekurangan dalam informasi, pendidikan, keterampilan, dan

kepercayaandiri;

aset dan livelihood : kepemilikan aset yang terbatas,kesulitan dalam pekerjaan,dan

pekerjaan yang bersifat musiman;

tempat tinggal : Terisolasi, kuarang pelayananan, rentan terhadap penyakit

fisik : kelaparan,sakit, dan penampilan yang miskin

hubungan gender : Hubungan gender yang bermasalah dan tidak setara

Page 6: Kemiskinan definisi

hubungan sosial : pengisolasian, dan diskriminasi

keamanan : kurang perlindungan, dan rasa perdamaian

perilaku : penindasan oleh kelompok yang berkedudukan lebih tinggi

kelembagaan : kelembagaan yang tidak memperhatikan orang-orang miskin; dan

pengorganisasian : orang-orang miskin memiliki pengorganisasian yang lemah dan tidak

terhubung.

World Bank (2000) dalam Attacking the Poverty juga menyebutkan tiga dimensi dalam

kemiskinan sebagai penyebab. Ketiga dimensi tersebut adalah: pendapatan dan aset,

pemberdayaan, dan kerentanan terhadap shock. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi

dan menimbulkan masalah kemiskinan.

Dengan berbagai dimensi yang ada, kemiskinan sebagaimana disebutkan oleh WHO

(2001) merupakan masalah yang kompleks. Hal ini berimplikasi pada kebijakan yang harus

diterapkan untuk mengatasinya. Sebagai pendekatan, pemerintah tentunya memerlukan data

maupun profil kemiskinan di wilayahnya. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengukuran

kemiskinan.

2.1.4 Pengukuran Kemiskinan

Todaro dan Smith (2003) mengungkapkan empat kriteria yang perlu dipenuhi dalam

pengukuran kemiskinan. Keempat kriteria tersebut adalah: anonymity; population

independence; monotonicity; dan prinsip sensitivitas distribusi. Dua kriteria pertama, anonymity

dan population independence menunjukkan bahwa pengukuran kemiskinan tidaak bergantung

pada siapa yang miskin dan pada populasi apa kemiskinan terjadi. Sementara kriteria

monotonicity didasarkan pada aksioma dari Sen (1976): Dengan keadaan lain tetap, penurunan

Page 7: Kemiskinan definisi

pendapatan dari seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan pasti meningkatkan tingkat

kemiskinan. Pada kriteria keempat: prinsip sensitivitas distribusi dijelaskan bahwa transfer yang

terjadi dalam perekonomian dapat menyebabkan kondisi seseorang menjadi lebih miskin atau

kurang miskin.

Terdapat beberapa cara pengukuran kemiskinan (Todaro dan Smith, 2003). Metode

pengukuran yang paling sederhana adalah dengan menggunakan garis kemiskinan absolut atau

Head-count ratio. Pada metode ini kemiskinan diukur berdasarkan proporsi orang yang berada

di bawah garis kemiskinan. Kelebihan dari cara pengukuran ini adalah kemudahan dalam

penginterpretasian (Ravallion,1994). Namun penggunaan metode ini menurut Todaro memiliki

kelemahan karena menganggap semua yang berada di bawah garis kemiskinan memiliki beban

yang sama.

Permasalahan pada metode pengukuran head-count, kemudian diperbaiki dengan

menggunakan ukuran poverty gap. Pada metode ini diukur seberapa besar pendapatan yang

dibutuhkan untuk untuk meningkatkan pendapatan sampai pada garis kemiskinan. Pada cara

pengukuran ini dapat diukur potensi untuk menghilangkan kemiskinan melalui transfer. Namun

poverty gap menurut Sen (1976) juga memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan efek

transfer antar penduduk miskin.

Metode pengukuran yang lain adalah metode yang diperkenalkan Foster, Greer, dan

Thorbecke (1984) atau biasa disingkat menjadi FGT. Pada metode ini selain memasukkan

pengukuran dari dua metode sebelumnya juga memberikan perbaikan pada kelemahan yang ada.

Pada metode FGT diukur derajat ketimpangan antar penduduk miskin, serta memperhitungkan

efek dari shock dalam perekonomian terhadap tingkat distribusi pendapatan diantara penduduk

Page 8: Kemiskinan definisi

miskin. Metode FGT juga memiliki kelemahan, tidak dapat memperhitungkan derajat

ketidaksetaraan antar sub-grup di masyarakat (Ravallion, 1994)

Pengukuran terhadap kemiskinan ini dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana kebijakan

yang akan diterapkan. Pelaksanaan dari kebijakan sendiri tidak lepas dari masalah

penganggaran. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diketahui bagaimana struktur anggaran

pemerintah, terutama APBD di Indonesia.

2.1.5 Alokasi Anggaran

Dalam pengalokasian anggaran selama ini dikenal dua jenis pengalokasian: pro-poor dan

pro-growth. Pada pengalokasian anggaran yang bersifat pro-poor, anggaran yang dipakai untuk

mengurangi tingkat kemiskinan pada umumnya berasal dari pengeluaran pembangunan (Sen,dan

Thorat 2000). pada anggaran pro-poor Pengeluaran tersebut lebih ditujukan kepada

pembangunan di sektor-sektor sosial. Hal ini dikarenakan menurut Agrawal (2007) sektor sosial

memiliki peranan penting dalam mengurangi tingkat kemiskinan.

Jenis pengalokasian anggaran yang lain adalah pro-growth, yang lebih menekankan pada

pencapaian pertumbuhan ekonomi. Pengalokasian anggaran yang bersifat pro-growth menurut

Dollar dan Kray (2000) tidak bisa disebut merugikan golongan miskin. Pada penelitian yang

berjudul ‘Growth is Good for the Poor’ bahkan ditemukan bahwa pengeluaran yang ditujukan

kepada golongan miskin cenderung tidak efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan.

Adanya dua jenis alokasi anggaran tidak selalu menunjukkan bahwa keduanya tidak

dapat disatukan. Berdasarkan penelitian dari Ravallion dan Datt (1999) kebijakan untuk

pertumbuhan ekonomi dapat bersifat pro-poor. Setelah mengetahui jenis pengalokasian anggaran

yang dimungkinkan, maka selanjutnya perlu diketahui bagaimana struktur anggaran yang ada.

Page 9: Kemiskinan definisi

Di Indonesia, anggaran pemerintah daerah diatur melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah)

2.1.6 Struktur APBD

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, APBD memiliki

struktur sebagai satu kesatuan yang terdiri dari: 1. Pendapatan Daerah ; 2. Belanja Daerah; dan 3.

Pembiayaan Daerah. Struktur dari APBD kemudian diklasifikasikan berdasarkan urusan

pemerintahan dan organisasi yang bertanggung jawab terhadap urusan tersebut sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan setiap struktur yang ada

dalam APBD.

2.1.6.1. Pendapatan Daerah

Pendapatan daerah adalah hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan

bersih dalam periode tahun bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.

Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah yang

menambah ekuitas dana. Pendapatan daerah meliputi: Pendapatan Asli Daerah; Dana

Perimbangan; dan Pendapatan Lain-lain yang sah.

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD):

PAD adalah bagian dari pendapatan daerah yang bersumber dari potensi daerah itu

sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Kewenangan daerah dalam memungut PAD dimaksudkan agar daerah

dapat mendanai pelaksanaan otonomi daerah yang bersumber dari potensi daerahnya sendiri.

b. Dana Perimbangan, yang terdiri atas: Dana Alokasi Umum; Dana Alokasi Khusus; dan Dana

Bagi Hasil, yang meliputi bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak.

Page 10: Kemiskinan definisi

c. Pendapatan Lain-Lain yang Sah, yang meliputi: Pendapatan Hibah; Pendapatan Dana

Darurat; Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi kepada Kabupaten/Kota; Bantuan Keuangan

dari Provinsi atau dari Pemerintah Daerah lainnya; Dana Penyesuaian; dan Dana Otonomi

Khusus.

2.1.6.2. Belanja Daerah

Belanja daerah meliputi semua pengeluaran uang dari Rekening Kas Umum Daerah yang

mengurangi ekuitas dana, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang

tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah digunakan untuk

mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan. Sesuai Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal

31 ayat (1), belanja daerah diklasifikasikan berdasarkan urusan wajib, urusan pilihan atau

klasifikasi menurut organisasi, fungsi, program kegiatan, serta jenis belanja.

Klasifikasi belanja menurut urusan wajib dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006

merupakan belanja pemerintah yang diproritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat. Sementara belanja urusan pilihan berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005

berkaitan dengan kondisi, kekhasan, dan keunggulan daerah yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sementara pada pengklasifikasian yang terakhir, belanja daerah terbagi menjadi belanja

langsung dan tidak langsung. Belanja langsung merupakan belanja yang penganggarannya

dikaitkan langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sementara pada belanja tidak

langsung, penganggaran tidak dikaitkan secara langsung terhadap pelaksanaan suatu program.

Page 11: Kemiskinan definisi

2.1.6.3. Pembiayaan Daerah

Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran

yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-

tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah adalah transaksi keuangan pemerintah daerah

yang dimaksudkan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus APBD. Pembiayaan

Daerah menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 59 terdiri dari Penerimaan

Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan Daerah.

a. Penerimaan Pembiayaan

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 60 menyebutkan bahwa Penerimaan

Pembiayaan Daerah, meliputi: Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun Lalu; Pencairan

Dana Cadangan; Penerimaan pinjaman daerah; Hasil penjualan kekayaan daerah yang

dipisahkan; Penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan Penerimaan piutang daerah.

b. Pengeluaran Pembiayaan

Pengeluaran Pembiayaan Daerah, meliputi: Pembentukan dana cadangan; Penyertaan

modal (investasi) pemerintah daerah; Pembayaran utang pokok yang jatuh tempo; dan Pemberian

pinjaman daerah.

Dari keseluruhan struktur anggaran dalam APBD hal yang harus diperhatikan adalah

bagian pengeluaran. Hal ini dikarenakan masalah kebijakan pemerintah yang perhitungannya

dapat didekati dengan menggunakan proporsi pengeluaran pemerintah. Berdasarkan hal tersebut

maka selanjutnya akan dibahas mengenai konsep pengeluaran pemerintah.

Page 12: Kemiskinan definisi

2.1.7 Konsep Pengeluaran Pemerintah

Salah satu konsep dalam pengeluaran pemerintah adalah sesuai usulan dari Musgrave dan

Rostow (Bain, 2010). Secara terpisah keduanya menunjukkan bhawa perkembangan

pengeluaran pemerintah berkaitan dengan pola pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di

masyrakat. Berdasarkan pada pandangan ini perkembangan dari pengeluaran pemerintah

dikaitkan dengan tingkat output masyarakat.

Konsep pengeluaran pemerintah yang lain, diusulkan oleh Adolph Wagner tahun 1883

(Bain, 2010). Pada Wagner Hypothesis dijelaskan mengenai pengeluaran pemerintah yang

semakin besar persentasenya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto. Wagner dalam

hipotesisnya menjelaskan bahwa keharusan untuk mengatur: hubungan yang timbul dalam

masyarakat, hukum, pendidikan, dan kebudayaan menjadikan peranan pemerintah menjadi

semakin besar. Hal ini didasarkan pada teori organis mengenai pemerintah sebagai individu

yang bebas bertindak.

Teori yang lain mengenai pengeluaran pemerintah adalah teori Peacock dan Wiseman.

Pada teori ini dijelaskan bahwa perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang

semakin meningkat, dan peningkatan PDB mengakibatkan penerimaan pemerintah menjadi

semakin besar. Ketika terdapat gangguan yang menyebabkan pengeluaran pemerintah

meningkat maka pemerintah akan berusaha meningkatkan penerimaannya dengan cara

menaikkan tarif pajak. Gangguan yang ada juga dapat menyebabkan pergeseran konsentrasi

kegiatan ekonomi dari swasta ke publik. Pada intinya teori ini didasarkan pada analisis bahwa

pemerintah berusaha meningkatkan pengeluaran sementara sebagai sumber biaya pembayaran

pajak yang semakin besar adalah sesuatu yang tidak disukai oleh masyarakat.

Page 13: Kemiskinan definisi

Pemerintah sendiri menurut Hyman (2008) memiliki tiga peranan besar dalam

perekonomian yaitu peranan alokasi, peranan distribusi,dan peranan stabilisasi. Peranan alokasi

merupakan peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi untuk mengoptimalkan

pemanfaatannya dan mendukung efisiensi produksi. Peranan yang kedua, merupakan peranan

pemerintah untuk mendistribusikan pendapatan secara langsung dan tidak langsung berdasarkan

kepemilikan faktor-faktor produksi, permintaan dan penawaran, sistem warisan, dan kemampuan

memperoleh pendapatan. Pendistribusian secara langsung dilakukan melalui pajak progresif

yang memberikan beban pajak yang lebih besar pada kelompok berpendapatan tinggi. Sementara

pendistribusian secara tidak langsung dilakukan dengan pengalokasian pengeluaran pemerintah

misalkan untuk subsidi, perumahan mewah untuk kelompok dengan pendapatan tertentu,dan

sebagainya. Sedangkan peranan yang ketiga, peranan stabilisasi berkaitan dengan kewajiban

pemerintah untuk menstabilkan perekonomian. Hal ini dikarenakan perekonomian yang

sepenuhnya dikuasai oleh swasta akan sangat peka terhadap goncangan.

2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu

Ravallion dan Datt (1999)

Ravallion dan Datt (1999) menggunakan survey 20 rumahtangga pada 15 provinsi di

India, menganalisis pada kondisi apa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat

kemiskinan. Variabel pengeluaran pemerintah yang dipakai adalah pengeluaran untuk

pembangunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pembangunan, rata-rata hasil

pertanian,dan hasil non-pertanian yang tinggi , serta tingkat inflasi yang rendah berpengaruh

terhadap pengurangan tingkat kemiskinan, namun hasil non-pertanian menjadi kondisi dasar

untuk pertumbuhan ekonomi yang pro-poor.

Page 14: Kemiskinan definisi

Fan, Hazell, dan Thorat (2000)

Fan, Hazell, dan Thorat (2000) mengestimasi dampak langsung dan tidak langsung dari

pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan desa di India menggunakan metode regresi FIML

(Fully Informated Maximum Likelihood). Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari

14 Provinsi di India dengan periode waktu 1970-1993. Pada penelitian tersebut Fan, Hazell, dan

Thorat (2000) menggunakan tujuh variabel pengeluaran pemerintah: Irigasi, penelitian

agrikultur, pendidikan, jalan, kekuasaan, kesehatan dan kesejahteraan, serta pembangunan desa.

Hasil penelitian menemukan bahwa tiga jenis pengeluaran pemerintah memiliki dampak paling

besar terhadap pengurangan tingkat kemiskinan: penelitian agrikultur, pendidikan, serta

kesehatan dan kesejahteraan. Pengeluaran yang memiliki dampak paling besar dari ketiganya

adalah pengeluaran pemerintah pada penelitian agrikultur.

Jha, Biswal, dan Biswal (2001)

Jha, Biswal, dan Biswal (2001) menguji keefektifan dari pengeluaran publik terhadap

pengurangan tingkat kemiskinan pada 14 provinsi di India untuk periode 1957/1958-1997. Pada

penelitian ini digunakan tiga variabel pengeluaran pemerintah: pembangunan, kesehatan, dan

pendidikan. Pengeluaran untuk pendidikan dalam penelitian dibagi menjadi dua yaitu

pengeluaran untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu pendidikan untuk universitas,dan

pengeluran untuk pendidikan informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran

pemerintah untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi lebih efektif dalam mengurangi tingkat

kemiskinan.

Page 15: Kemiskinan definisi

Fan, Huong, dan Long (2004)

Fan, Huong, dan Long (2004) mengestimasi dampak langsung dan tidak langsung dari

pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan desa di Vietnam menggunakan metode regresi

FIML (Fully Informated Maximum Likelihood). Data yang digunakan berasal dari 7 wilayah

pertanian di Vietnam dengan periode waktu 1993-2002. Variabel pengeluaran pemerintah yang

digunakan pada penelitian ini sama dengan penelitian Fan, Hazell, dan Thorat (2000) untuk

kemiskinan desa di India. Hasil yang ditemukan juga sesuai dengan penelitian di India.

Laabas dan Limamm (2004)

Laabas dan Limamm (2004) menggunakan data cross-section 77 negara, menganalisis

dampak dari kebijakan publik terhadap tingkat kemiskinan. Variabel kebijakan publik diukur

dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB, dan tingkat kemiskinan diukur

menggunakan model FGT. Dengan metode OLS ditemukan bahwa distribusi pendapatan

memiliki dampak paling besar terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan

bahwa kebijakan publik yang ditujukan untuk distribusi pendapatan lebih efektif dalam

mengurangi tingkat kemiskinan.

Agrawal (2007)

Agrawal (2007) menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan

kemiskinan. Pada penelitian ini dianalisis juga hubungan antara perubahan pengeluaran

pemerintah pada sektor sosial terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Agrawal (2007)

dengan data tingkat provinsi di Kazakhstan untuk tahun 1998-2003 menunjukkan bahwa

pengeluaran pemerintah pada sektor sosial sangat dibutuhkan untuk pengurangan tingkat

kemiskinan.

Page 16: Kemiskinan definisi

Jung, Cho, dan Roberts (2009)

Jung, Cho, dan Roberts (2009) menganalisis efek dari pengeluaran pemerintah terhadap

kemiskinan di Amerika serikat bagian selatan. Pada penelitian ini digunakan data tingkat

counties sebanyak 1195 counties dari 12 states di wilayah selatan selatan Amerika Serikat.

Penelitian menggunakan metode GWR (Geographically weighted regression), di mana data

pengeluaran pemerintah yang dipakai dalam penelitian berasal dari data tiga tahun sebelum dari

data kemiskinan yang dipakai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah

untuk fasilitas rekreasi merupakan pengeluaran yang paling efektif dalam mengurangi tingkat

kemiskinan.

Mehmood dan Sadiq (2010)

Mehmood dan Sadiq (2010) menganalisis hubungan antara pengeluran pemerintah dan

tingkat kemiskinan, dengan menggunakan data dari tahun 1976-2010 di Pakistan. Pada

penelitian ini pengeluaran pemerintah diukur dengan persentase terhadap PDB,dan menggunakan

metode ECM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah mengurangi tingkat

kemiskinan, namun hal ini ditentukan oleh komposisi dari pengeluaran.

Tridico (2010)

Tridico (2010) dengan data cross-section 50 ETE (Emerging Transition Economies) pada

tahun 2004 menganalisis kualitas dari pertumbuhan ekonomi di ETE. Hasil penelitian

menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam

penelitian ini, Tridico menyarankan untuk mengurangi tingkat kemiskinan, suatu negara

membutuhkan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan yang tinggi, serta tingkat

stabilitas politik yang tinggi. Pada sisi pengeluaran pemerintah, pengeluaran untuk kesehatan

Page 17: Kemiskinan definisi

memiliki pengaruh yang lebih besar, namun tingkat stabilitas politik ditemukan sangat

mempengaruhi pengurangan tingkat kemiskinan.

Penelitian yang akan dilakukan penulis sendiri rencananya akan menguji hubungan antara

pengalokasian anggaran pemerintah pada tingkat Kabupaten/Kota terhadap pengurangan tinghkat

kemiskinan. Metode yang akan digunakan dimodifikasi dari model pada penelitian Ravallion

dan Datt (1999). Variabel pengeluaran yang akan diuji sebagaimana disarankan dari penelitian-

penelitian terdahulu adalah menggunakan pengeluaran pembangunan pada sektor pertanian,

kesehatan,dan pendidikan serta belanja untuk bantuan sosial.