kel. 9 jantung, epilepsi & hernia
DESCRIPTION
,mlkjTRANSCRIPT
MAKALAH FARMASI RUMAH SAKIT
PENYAKIT JANTUNG, EPILEPSI DAN HERNIA
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK IXKELAS B
DIAN MARETY RIZKI S. HAFID N21111207IRMALASARI N21111208RAHESTY WINDASARI N21111209SITTI MAIYSARAH H. SULAEMAN S. N21111662SYAMSUL NURMUH. ANUGRAH ALAM WARIS
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKERFAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2012
BAB IPENYAKIT JANTUNG
Uraian Penyakit
Jantung adalah salah satu organ vital tubuh yang berfungsi untuk
memompa darah bersih ke seluruh tubuh dan darah kotor ke paru-paru.
Jika terjadi gangguan pada jantung maka fungsi pemompaan darah akan
terganggu bahkan bisa berakibat pada kematian.
Ukuran jantung manusia kurang lebih sebesar kepalan tangan anak kecil.
Jantung adalah satu otot tunggal yang terdiri dari lapisan endothelium.
Jantung terletak di dalam rongga thorak, di balik tulang dada/sternum.
Struktur jantung berbelok ke bawah dan sedikit ke arah kiri. Jantung
hampir sepenuhnya diselubungi oleh paru-paru, namun tertutup oleh
selaput ganda yang bernama perikardium, yang tertempel pada
diafragma. Lapisan pertama menempel sangat erat kepada jantung,
sedangkan lapisan luarnya lebih longgar dan berair, untuk menghindari
gesekan antar organ dalam tubuh yang terjadi karena gerakan memompa
konstan jantung.Jantung dijaga di tempatnya oleh pembuluh-pembuluh
darah yang meliputi daerah jantung yang merata/datar, seperti di dasar
dan di samping. Dua garis pembelah (terbentuk dari otot) pada lapisan
luar jantung menunjukkan di mana dinding pemisah di antara sebelah kiri
dan kanan serambi (atrium) & bilik (ventrikel).
Jantung merupakan salah satu organ terpenting tubuh, berakibat pada
kematian. Masalah pada jantung dibagi karena kegagalan organ jantung
seringkali hampir menjadi dua bagian, yaitu penyakit jantung dan
serangan jantung. Penyakit jantung adalah sebuah kondisi yang
menyebabkan Jantung tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Serangan jantung adalah sebuah kondisi yang menyebabkan jantung
sama sekali tidak berfungsi. Kondisi ini biasanya terjadi mendadak, dan
sering disebut gagal jantung.
Jantung dapat diibaratkan suatu pompa berganda, yang terdiri dari
bagian kanan dan kiri. Bagian kanan memompa darah dari tubuh ke
paru – paru, sedangkan bagian kiri memompa darah dari paru – paru ke
tubuh. Setiap bagian terdiri dari dua kompartimen : diatas serambi (atrium)
dan dibawah bilik (ventrikulus). Antara serambi dan bilik terdapat katup,
begitu pula dengan bilik dan pembuluh besar. Fungsi keempat katup ini
adalah menjamin darah hanya mengalir ke satu jurusan.
Sirkulasi darah
Fungsi utama peredaran darah adalah penyaluran oksigen dan zat –
zat gizi lain yang dibutuhkan untuk metabolisme ke jaringan dan
organ. Darah yang miskin O2 dan kaya CO2 melalui vena masuk
kembali ke jantung di serambi kanan dan mengalir ke bilik kanan.
Dari sini, darah diteruskan ke paru – paru, dimana darah melepaskan
CO2 nya dan menyerap O2 (sirkulasi kecil). Darah kaya O2 lalu
mengalir kembali ke serambi kiri dan melalui bilik kiri di pompa ke
aorta dan organ tubuh (sirkulasi besar). Di dinding serambi kanan
‘’pace-maker’’ jantung (simpul sinus) yang menentukan irama (ritme)
jantung.
Volume menit
Cardiac output adalah jumlah darah yang setiap menit di pompa oleh
jantung ke dalam arteri. Volume menit ini adalah 5 l/menit pada
frekuensi jantung rata – rata 70 – 80 detak/menit dan dapat
diperbesar atau diperkecil sesuai kebutuhan. Misalnya, selama
pengeluaran tenaga besar seperti pada olah raga volume menit
orang muda biasa meningkat sampai 25 l/menit, karena jantung
berdetak samapai 180 kali/menit. Orang dewasa memiliki 4,5 – 5 L
darah.
Diastole-sistole
Pada setiap denyutan dapat dibedakan 2 fase, yakni diastole, dimana
otot jantung melepaskan diri dan biliknya terpenuhi darah vena.
Kemudian menyusul systole, dimana otot jantung menguncup
(kontraksi) sebagai reaksi diastole, sehingga darah dipompa keluar
jantung dan ke dalam arteri. Volume darah yang pada setiap
kontraksi dipompa keluar bilik jantung disebut volume pukulan (stroke
volume), yang pada orang dewasa berjumlah lebih kurang 60 ml. Bila
aliran darah ke jantung meningkat, artinya TD vena menguat, maka
frekuensi pukulan jantung harus dipertinggi. Dengan kata lain,
volume menitnya harus diperbesar, sesuai dengan persamaan :
volume pukulan x frekuensi = frekuensi menit
Gangguan – Gangguan Jantung dan Terapinya
1. Infark Jantung
Infark jantung adalah berkurang atau terhentinya supply darah ke
jantung, yang disebabkan oleh adanya penebalan dan
pengerasan dinding bagian dalam pembuluh arteri yang akhirnya
menyumbat aliran darah ke jantung.
Etiologi :
- Endapan oleh kolesterol dan kapur pada sebagian
pembuluh darah koroner.
- Lalu terjadi robek pada liang pembuluh darah.
- Kemudian terjadi pembekuan, sehingga terjadi penyumbatan
(trombosis coroner).
- Sehingga bagian jantung yang mengalami penyumbatan
mengalami kekurangan supply darah dan hipoksia.
- Akhirnya aritmia (ritme jantung terganggu), lalu
decompensasi cordis (jantung tidak lagi dapat memelihara
aliran darah) dan berhenti total. Bila infark hanya terjadi
pada sebagian kecil jaringan pembuluh, maka sisa otot
jantung masih memiliki cukup tenaga untuk mengatasinya
tapi bila infark terjadi pada seluruh jaringan pembuluh, maka
jantung akan berhenti.
Manifestasi Klinis
Berupa nyeri yang hebat sekali dibagian belakang tulang dada ,
rasa gelisah dan takut mati, juga tidak mampu menggerakkan
kaki tangan, sesak, berkeringat, muka membiru dan debar
jantung (tachycardia). Seringkali infark disusul oleh komplikasi –
komplikasi lainnya, misalnya trombo-emboli, dekompensasi,
shock dan bermacam – macam aritmia. Serangan nyeri pada
infark seringkali timbul dalam keadaan istirahat dan bertahan
lebih lama (sampai beberapa jam).
Diagnosa
Dikenal beberapa penyakit yang gejalanya sangat mirip infark
jantung dan seringkali dikelirukan dengannya, misalnya borok dan
perforasi lambung, peradangan mukosa lambung juga serangan
hiperventilasi.
Disamping elektocardiogram (ECG) terdapat beberapa tes darah
untuk memastikan betul adanya infark jantung. Tes-tes ini
berdasarkan meningkatnya (sementara) kadar enzim dan zat-zat
lainnya yang dilepaskan oleh sel-sel jantung yang mati.
Pertanda infark penting adalah kadar creatinikinase (CK-MB) dan
myoglobin (juga troponin T) yang masing-masing Ca 6 dan 3 jam
sesudah infark mencapai ketinggian maksimal. Semakin besar
infark semakin tinggi kadar tersebut.
Prevensi
Terdapat sejumlah indikasi bahwa makan banyak zat alamiah
flavonoid dapat menurunkan resiko infark jantung. Flavonoida
adalah antioksidansia alamiah yang banyak terkandung dalam
sayur mayur segar dan buah-buahan, terutama terdapat dalam
bawang dan buah apel, juga dalam the hijau dan anggur merah,
karena flavonoid dapat mencegah oksidasi radikal bebas dan luka
pada endotel pembuluh darah. sehingga endapan trombosit di
liang pembuluh darah dapat dicegah.
Pengobatan
Kelompok obat yang umum digunakan adalah sebagai berikut :
a. Trombolitika
Trombolitika guna melarutkan thrombus yang menyumbat
arteri koroner antara lain Streptokinase, alteplase, dan
urokinase. Obat-obat baru adalah reteplase, dan
staphylokinase. Injeksi intravena pada waktunya dapat
meniadakan penyumbatan dan membuka lagi arteri koroner
hingga besarnya infark dibatasi. Dengan demikian, resiko
kematian dapat diperkecil sampai Ca 50%. Disamping itu,
seringkali diberikan antitrombotikum (heparin) untuk
mencegah pembentukan thrombus baru.
b. Anti aritmika
Anti aritmika (lidokain, amiodaron, sotalol) dahulu sering
diberikan guna mencegah aritmia, khususnya fibrilasi bilik
yang berbahaya. Akan tetapi, kini ternyata bahwa obat-obat
ini tidak mengurangi resiko kematian. Maka, hanya
digunakan dalam kasus tertentu.
c. Analgetika narkotika
Analgetika narkotika seperti morfin, petidin atau fentanil dan
suatu tranquilizer (diazepam, droperidol, dsb) dapat
diberikan kemudian guna melawan nyeri dan rasa takut.
Pengobatan (Obat tradisional) :
Berikut adalah beberapa tanaman at yang biasa digunakan
dalam pengobatan infark mikard :
a. Bawang putih (Alium sativa), ambil 2 siung bawang putih.
Kemudian ditumbuk halus dan diperas dengan air secukupnya.
Saring. Minum secara teratur setiap hari.
b. Daun Salam (Syzigium polyanthum), 7 lembar daun salam dan
30 gram daun ceremai direbus dengan 600 cc air hingga tersisa
300 cc. Kemudian arinya diminum secara teratur.
Postmedikasi
Dilangsungkan segera sesudah infark dengan maksud menghindari
infark kedua. Untuk ini digunakan :
a. Antikoagulansia, (zat-zat pengencer darah) antara lain
asenokumarol.
b. Antitrombotika (asetosal, indobufen) yang dapat merintangi
penggumpalan trombosit dan pembentukan trombus.
c. β-blockers tertentu (propranolol, metoprolol dan timolol),
yang ternyata dapat mengurangi re-infark dan kematian
dengan lebih kurang 25%. Perlu diminum selama 1 - 2
tahun.
d. Antilipemika (atoirvastatin, simvastatin, lovastatin,
pravastatin) mengurangi komplikasi dan mortalitas, maka
dianjurkan pada pasien dengan kadar kolestrol tinggi (diatas
8 mmol/l).
2. Angina Pectoris
Angina pectoris adalah gangguan yang timbul sebagai akibat
hipoksia otot jantung (kekurangan oksigen) pada pembebanan
fisik atau emosional yang berlebihan dan hawa dingin disebabkan
oleh penciutan arteri jantung, infark, kejang-kejang, anemia hebat
atau penciutan aorta.
Etiologi
- Menciutnya satu atau lebih pembuluh arteri koroner jantung.
- Aliran darah ke otot jantung berkurang.
- Akibatnya otot jantung mengalami hipoksia dan kejang disertai
dengan rasa nyeri hebat. karena otot jantung kehabisan
tenaga dalam memompa dan menjaga sirkulasi darah
keseluruh tubuh.
Manifestasi Klinis
Berupa serangan nyeri hebat dibawah tulang dada yang seringkali
menjalar ke kedua pundak, ada kalanya ke leher dan rahang atau
ke lengan yang dirasakan sangat berat. Terutama timbul bila
berjalan (naik tangga, bukit atau mengeluarkan tenaga lain
sesudah makan). Lamanya serangan umumnya antara 5 dan 30
menit.
Prevensi
Tindakan umum yang perlu sekali dilakukan untuk membantu
mengurangi sera ngan angina (dan akhirnya menghindari infark
jantung) dimaksudkan untuk menyingkirkan pengaruh yang
memperbesar kebutuhan oksigen jantung. Yakni :
a. Berhenti merokok. Nikotin dari tembakau berkhasiat
vasokontroksi dengan peningkatan TD. Lagi pula asap
rokok mengandung karbonmonoksida (CO) yang
memperkecil penyerapan oksigen dan ter yang selain
bersifat karsinogen (kanker paru-paru) pada jangka
panjang juga dapat merusak dinding pembuluh dengan
efek aterosklerose.
b. Membatasi minum kopi dan alkohol sampai masing-
masing 2 - 3 cangkir dan 1 - 3 komsumsi.
c. Meniadakan overweight (diet lemak dan kolestrol).
d. Menghindarkan beban hebat, mental (stress, emosi)
maupun fisik terutama setelah makan atau mandi air
panas.
e. Berjalan 0,5 - 1 jam sehari, atau 3 - 5 x seminggu, secara
bertenaga (agak cepat) atau berlari-lari kecil guna
memperbaiki sirkulasi jantung.
f. Mengobati hipertensi bila ada, karena TD tinggi
memperburuk keadaan pembuluh (diet garam, dll)
Pengobatan
Keadaan kekurangan darah (ischemia) pada angina dapat
ditangani dengan sejumlah obat, yakni :
a. Nitrogliserin untuk menanggulangi serangan akut, bila perlu
bersama suatu analgetikum narkotik (morfin, fentanil) untuk
melawan nhyeri dan sedasi.
b. β-blockers (zat-zat penghemat penggunaan oksigen) pada
angina stabil atau instabil untuk mengurangi kebutuhan
oksigen.
c. Vasodilator koroner, antara lain nitrat long-acting
(isosorbidanitrat) dan antagonis Ca (diltiazem dan verapamil)
untuk memperlancar sirkulasi darah dan oksigen.
Penghematan penggunaan oksigen dapat dicapai pula dengan
cara menghindari atau mengurangi aktivitas fisik, yang
membebani jantung (seperti kerja terlampau keras), perubahan
suhu drastis atau berjalan (yang bertenaga) dengan lambung
penuh.
Pengobatan (Obat tradisional) :
Berikut adalah beberapa tanaman at yang biasa digunakan dalam
pengobatan angina pektoris :
a. Bawang putih (Alium sativa), ambil 2 siung bawang putih.
Kemudian ditumbuk halus dan diperas dengan air secukupnya.
Saring. Minum secara teratur setiap hari.
b. Daun Salam (Syzigium polyanthum), 7 lembar daun salam dan
30 gram daun ceremai direbus dengan 600 cc air hingga tersisa
300 cc. Kemudian arinya diminum secara teratur.
3. Aritmia (irama abnormal)
Aritmia adalah berubahnya ritme jantung dalam memompa
darah dari dan keluar jantung, yang disebabkan oleh adanya
penyumbatan di pembuluh darah.
Takikardia dan bradikardia adalah kerja jantung yang abnormal
cepat atau abnormal lambat dengan frekuensi masing-masing
diatas 100 dan dibawah 60 denyutan per menit.
Heartblock merupakan suatu jenis aritmia yang disebabkan
oleh gangguan-gangguan penyaluran listrik dari serambi kanan
kebilik-bilik. Terapinya tidak dilakukan dengan obat, melainkan
dengan pacemaker, suatu alat kecil yang mengirimkan implus-
implus listrik ke jantung guna menormallisir frekuensi
kontraksinya.
Etiologi :
– Karena adanya gangguan atau kelainan ritme dan frekuensi
denyut jantung yang berupa tachycardia dan bradycardia.
– Akibatnya mengacaukan penyebaran aliran impuls listrik.
– Hal ini dapat mengacaukan ritme dan frekuensi pemompaan
darah dari dan ke luar jantung, akibatnya sirkulasi darah
menjadi tidak terkontrol.
– Bila jantung tidak dapat lagi memompa darah dan menjaga
sirkulasinya, maka akibatnya fatal yaitu kematian
Manifestasi Klinis:
– Ritme normal 70 s/d 80 denyut permenit.
– Tachycardia (abnormal cepat, > 100 denyut per menit) .
– Bradycardia (abnormal lambat, < 60 denyut per menit) secara
selang-seling.
Pengobatan :
Pengobatan gangguan ritme yang bertalian dengan infark
jantung mesti dilakukan dengan segera karena sering
berakibat fatal. Obat-obat yang digunakan :
– Lidokain
– Beta blocker
– Kinidin
– Heart block adalah aritmia dengan kontraksi bilik
berjalan terlalu lambat, akibatnnya penyaluran inpuls
listrik keseluruh jaringan jantung terlambat, kacau,
akhirnya terhenti.
– Terapinya menggunakan alat (pace maker)
Pengobatan (Obat tradisional) :
Berikut adalah ramuan obat herbal tradisional untuk mengurangi
aritmia :
Bahan:
Laos 1,5gram (1 jari)
Temukunci 5 gram (3 jari)
Kunir 1,5 gram (1 jari)
Kayu secang 5 gram (sejumput)
Adas 3 gram (3 sendok teh)
DaunSalam 1,5 gram (5 lembar)
Cara membuat ramuan herbal aritmia :
Rebus semua bahan dalam 2 gelas air hingga sisa 1 gelas. Minum
selagi hangat antara pukul 19.00-20.00. Gunakan kuali tanah liat
atau panic logam berlapis (email) untuk perebusannya. Ganti
bahan tiap kali membuat. Konsumsi selama 4-9 bulan.Hindari
konsumsi makanan berlemak dan perbanyak minum air putih.
4. Dekompensasi (Gagal Jantung)
Dekompensasi adalah tidak mampunya jantung dalam menjaga
stabilitas sirkulasi aliran darah, yang disebabkan oleh adanya
penyumbatan di pembuluh darah. Pada gangguan serius ini,
jantung tidak mampu lagi memelihara selayaknya peredaran
darah, hingga volume-menit menurun dan arteri mendapat
terlalu sedikit darah. Sebagai akibat kelemahan jantung ini,
darah terbendung divena paru-paru dan kaki, yang
menimbulkan sesak dada dan udema pergelangan kaki. Pada
keadaan parah, malahan dapat terjadi udem paru yang sangat
berbahaya, penyaluran darah ke jaringan juga berkurang
sehingga ginjal mengeksresi lebih sedikit natrium dan air. Dalam
hal akut, pasien perlu sesegera mungkin dirawat di Rumah
Sakit.
Etiologi :
– Serangan infark
– Aritmia
– Gangguan katup jantung
– Hipertensi
Sehingga jantung tidak dapat lagi memelihara sirkulasi aliran
darah secara normal, dan mengakibatkan terjadi udema di
paru-paru dan kaki (karena terjadi pembendungan di arteri)
Manifestasi Klinis :
Berupa sesak nafas (dyspnoe) yang semula, pada waktu
mengeluarkan tenaga, tetapi juga pada saat istirahat
(berbaring) dalam kasus yang lebih berat. Begitu pula udema
dipergelangan kaki dengan vena memuai karena darah balik
terhambat kembalinya kejantung. Seringkali juga perasaan
sangat letih dan kurang bertenaga.
Prevensi
Yakni banyak istirahat untuk meringankan beban jantung,
pembatasan asupan garam, dan pengobatan dengan diuretika
untuk memperbesar eksresi cairan. Yang terakhir perlu guna
mengurangi pengeluaran tenaga berlebihan yang memperkuat
penyaluran darah ke otot, sehingga mengurangi filtrasi
glomeruler dengan akibat retensi natrium.
Pengobatan
a. Diuretika
Mengeluarkan kelebihan cairan, sehingga pembebanan jantung
berkurang. Untuk ini, banyak digunakan diuretikum kuat
furosemida (oral 3 - 4 dd 80 - 500 mg), atau untuk efek cepat
intra vena 500 mg i.v. Bila furosemida tidak menghasilkan efek
secukupnya (resistensi diuretika), maka dapat ditambahkan
thiazida. Pada keadaan tidak akut, biasanya dapat diberikan
suatu tiazida dengan efek lebih berangsur-angsur, misalnya
HCT.
b. Glikosida jantung (Digoksin)
Memperkuat daya kontraksi jantung yang lemah, sehingga
memperkuat fungsi pompa. Seringkali diuretika dikombinasi
dengan digoksin, yang juga berdaya mengatasi resistensi
diuretika dengan jalan memperbaiki volume-menit jantung. Zat-
zat inotrop positif lainnya, seperti dopaminergika (dopamin,
ibopamin, dll), tidak dianjurkan karena kerjanya terlalu kuat
tanpa memiliki efek kronotrop negative. Obat-obat ini hanya
digunakan i.v pada keadaan akut (shock jantung, dsb).
Terhambat fosfodiaterase tidak dianjurkan berhubung efek
buruknya terhadap sel-sel jantung.
c. Penghambat ACE (enalapril, lisinopril, dan lain-lain)
Banyak digunakan pada gagal jantung kronis, juga setelah
infark pada pasien tertentu. AT-II- blockers (losartan, valsartan,
irbesartan, dan lain-lain) kini sudah mulai digunakan pula. Obat-
obat ini berkhasiat vasodilatasi perifer dan mengurangi preload
maupun afterload darah, yakni beban darah masing-masing
sebelum dan sesudah mencapai jantung.
d. Vasodilator koroner
Juga berefek mengurangi beban jantung, seperti nitro prusida
(i.v), prazosin, dan hidralazin. Obat-obat ini menurunkan
afterload dengan jalan vasodilatasi arteri. Nitrat sebagai dilator
vena mengurangi preload darah. Mengenai penggunaan
antagonis Ca tidak terdapat kesepakatan berhubung dengan
efek inotrop negatifnya.
Pengobatan (Obat tradisional) :
Berikut adalah beberapa tanaman at yang biasa digunakan dalam
pengobatan gagal jantug kongesif :
a. Daun Salam (Syzigium polyanthum), 7 lembar daun salam dan
30 gram daun ceremai direbus dengan 600 cc air hingga tersisa
300 cc. Kemudian arinya diminum secara teratur
5. Shock Jantung
Etiologi
Kurangnya pasokan darah ke jaringan, yang dapat disebabkan oleh
tachycardia hebat atau adanya peradangan pada otot jantung
(myocarditis).Sehingga jantung tidak dapat lagi memelihara sirkulasi aliran
darah secara normal, lalu pingsan.
Manifestasi klinis :
Komplikasi infark jantung ini sangat di takuti, karena sering kali
fatal. Kekurangan pemasukan darah ke jaringan bergejala kulit
pucat dan dingin, rasa takut dan gelisah, pingsan.
Prevensi :
Bila terjadi serangan, maka segera diberikan obat yang bersifat :
- Kardiotonik (memperkuat kontraksi jantung) seperti glikosida
jantung.
- Vasopresor/inotrop (menaikan frekuensi detak jantung dan
tekanan darah) seperti dopamin).
Obat-Obat Shock Jantung
No Nama obat / Cara Cara kerja Efek terapi Efek samping1. Gol. Kardiotonik
Glikosida jantung :
• Digoksin (lanoxin)
• Metil digoksin
(lanitop)
• Digitoksin
(digitaline)
B
erdaya
inotropik
positif
(memperkuat
kontraksi
jantung,
volume
pukulan dan
volume per
menit
• Gagal
jantung
• Aritmia
(fibrilasi
atrium dengan
ritme ventrikel
pesat)
• Gangguan
usus-lambung
• Mual, muntah
• Nyeri perut
diperbesar)
Berdaya
chronotrop
negatif
(menurunkan
frekuensi
denyutan)
2. Gol. Dopaminergika
• Dopamin (dobutamin
giulini)
• Dobutamin(dobutrex)
• Ibopamin (inopamil)
• Berdaya
vasodilatasi
• Berdaya
efek inotrop
positif
• Dosis
diperbesar
berdaya
vasokontriksi
dan
menaikan
Tekanan
darah
• Berdaya
vasodilatasi
• Keadaan shock
sesudah infark
dan bedah
jantung
• Gagal jantung
• Khusus
untuk
dekompensasi
(dikombinasi
dengan obat
diuretik)
• Tidak
boleh per oral
, terurai oleh
enzim MAO)
• Mual, muntah
• Nyeri kepala
• Mual, muntah
• Nyeri kepala
• Tachykar
di
(berdebar)
perifer
• Berdaya
inotropik
positif
3. Gol. Fosfodiesterase
• Amrinon (inocor)
• Milrinon (corotrope)
• Memperbaiki
kontraktilitas
otot
jantung
(karena
menghambat
kerja enzim
fosfodiestera
se, sehingga
terjadi
peningkatan
resorpsi
kalsium di
myocard)
• Vasodila
tasi otot
polos
• Dekompensasi
kronis
• Gangguan
usus-lambung
• Aritmia
BAB II
EPILEPSI
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang
berulang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan
bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun
seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi
otak. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000
sementara di negara berkembang mencapai100/100,000. Pendataan
secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40%
adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan
pada usia lanjut. Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi neuron kortikal yang mengalami
gangguan.
Loncatan elektrik abnormal sebagai pencetus serangan sangat
sering berasal dari neuron-neuron kortikal. Faktor lain yang ikut berperan
dalam terjadinya bangkitan adalah ketidakseimbangan neurotransmiter
eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran ion direseptor yang berperan
terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter. Ikatan eksitatorik dengan
reseptor terkait akan membuka pintu untuk masuknya ion kalsium yang
berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang
berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus dan
korteks serta mengarah pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri.
Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit
di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya
dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui
sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma
kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West
syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka
kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya
epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti
hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron,
ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi.
Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami
perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam
masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini
dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.
Klasifikasi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu
pada tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy
(ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis
bangkitan (tipe serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absans (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang
kurang lengkap). Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah
digunakan untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama,
yaitu
a. Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus
yang terlokalisir di otak.
b. Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang
lebih luas pada kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun
1989 adalah :
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
1. Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro
temporal spike)
2. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
3. Simptomatik
4. Lobus temporalis
5. Lobus frontalis
6. Lobus parietalis
7. Lobus oksipitalis
2. Umum
a. Idiopatik
1. Kejang neonatus familial benigna
2. Kejang neonatus benigna
3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
4. Epilepsi Absans pada anak
5. Epilepsi Absans pada remaja
6. Epilepsi mioklonik pada remaja
7. Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
8. Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b. Simptomatik
1. Sindroma West (spasmus infantil)
2. Sindroma Lennox Gastaut
3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)
1. Serangan neonatal
4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
1. Kejang demam
2. Berkaitan dengan alkohol
3. Berkaitan dengan obat-obatan
4. Eklampsia
5. Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks
epilepsi)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara
langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa
disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir
selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang
baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh
orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas,
sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja
mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat
membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman
elektroensefalografi (EEG).
Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh
cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga
pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental
problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik
maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun
tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi
dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan
ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi
tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi
juga akan bias mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa
menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang
biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan
sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak.
Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak
terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA
atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat
(NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.6-
8 Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja
dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi
antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik)
begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya
dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara
mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan
ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor.
Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang
dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut
maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita
epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter
tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti
gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik,
glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap
dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus
dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses
belajar.
Penanggulangan
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok
inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie-pilepsi yang dikenal sampai
sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium),
klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin),
lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal),
fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine
(Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex)
(Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status
epilepsy dimulai dari terapi benzodiazepine yang kemudian menyusul
fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas
kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik.
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain
mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain
yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang.12-14
Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat
secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu
sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai activator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-
hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate
dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperbolehkan ion kalsium
masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru
merupakan antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya
masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari
pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di
vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat
antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni
glutamat dan GABA).17 Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi
levetirasetam berkorelasi
dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan
efek sebagai antiepilepsi.
Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat
digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral
lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata
levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya.
Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai
antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan
protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel
protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai
ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini
terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang
analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.
PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP EPILEPSI
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai
faktor risiko tinggi. Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan
risiko komplikasi obstetrik pada wanita penyandang epilepsi dibandingkan
dengan kehamilan normal. Hal ini disebabkan adanya pengaruh
kehamilan terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap
janin dan pengaruh obat anti epilepsi terhadap perkembangan janin.
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita
akan mengalami peningkatan serangan epilepsi, sepertiga wanita akan
mengalami perubahan serangan dan sepertiga wanita lagi akan
mengalami penurunan frekwensi serangan. Peningkatan frekwensi
serangan epilepsi ini tidak ada hubungan dengan jenis serangan, usia
wanita penyandang epilepsi, lama menderita epilepsi, obat anti epilepsi
atau frekwensi serangan pada kehamilan yang lalu.
Wanita penyandang epilepsi yang makin sering mengalami serangan
kejang setiap bulannya sebelum hamil, frekwensi serangannya akan
meningkat selama kehamilan, sedangkan wanita penyandang epilepsi
yang dalam waktu sembilan bulan tidak pernah kejang atau hanya satu
kali, tidak akan mengalami peningkatan serangan kejang selama hamil.
Penderita lebih dari dua tahun bebas serangan maka risiko timbulnya
serangan epilepsi selama hamil menurun atau tidak timbul.
Wanita penyandang epilepsi yang sering mengalami serangan
kejang umum atau fokal sebelum konsepsi akan lebih sering mengalami
serangan selama kehamilan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
frekwensi serangan epilepsi meningkat pada waktu mengandung bayi laki-
laki (64%) sedangkan waktu mengandung bayi perempuan (30%) tetapi
beberapa peneliti lain tidak berpendapat demikian.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering
terjadi pada kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit
meningkat trimester III. Meningkatnya frekwensi serangan kejang pada
wanita penyandang epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh:
A. Perubahan hormonal
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan
meningkat secara bertahap selama kehamilan dan mencapai puncaknya
pada trimester ketiga. Sedangkan kadar hormon khorionik gonadotropin
mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama yang kemudian
menurun terus sampai akhir kehamilan. Seperti diketahui bahwa serangan
kejang pada epilepsi berkaitan erat dengan rasio estrogen-progesteron,
sehingga wanita penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-progesteron
yang meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan
dengan yang rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah
menghambat transmisi GABA (dengan merusak enzim glutamat
dekarboksilase). Sedangkan kita ketahui bahwa GABA merupakan
neurotransmiter inhibitorik, sehingga nilai ambang kejang makin rendah
dengan akibat peningkatan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.
Sebaliknya kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh glutamat
sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.
B. Perubahan metabolik
Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan
retensi air dan garam serta perubahan metabolik seperti terjadinya
perubahan metabolisme di hepar yang dapat mengganggu metabolisme
obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi), terjadinya alkalosis
respiratorik dan hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan
kejang, meskipun masih selalu diperdebatkan.
C. Deprivasi tidur
Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan
beberapa keadaan seperti rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan
janin dalam kandungan, nokturia akibat tekanan pada kandung kencing
dan stress psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan serangan kejang.
Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat
mengganggu pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone
merupakan salah satu obat yang sering digunakan untuk hiperasiditas,
gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan abdominal distention dapat
menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin menurunkan
absorbsi sebanyak 60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata.
Tonus lambung dan pergerakannya menurun pada kehamilan sehingga
menghambat pengosongan lambung.
D. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa
keadaan antara lain berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya
volume distribusi, penurunan protein binding plasma, berkurangnya kadar
albumin dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada trimester
terakhir.
Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia
gestasi mempengaruhi kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti
epilepsi yang terikat dengan protein berkurang dan menyebabkan
peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini akan
cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang
disebabkan oleh induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon
steroid (estrogen dan progesteron). Pada umumnya dalam beberapa hari-
minggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.
E. Suplementasi asam folat
Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan
pada penderita yang telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada
kehamilan trimester ketiga menjelang partus dan pada masa puerperium
bagi ibu hamil yang sebelumnya tidak pernah mendapat suplemen asam
folat. Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin menjadi anemia 11%
(anemia mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi yang
dikonsumsi berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan juga
didapatkan thrombositopenia.
Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti
epilepsi (phenytoin dan phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya
dalam plasma. Namun dapat dikatakan tidak sampai meningkatkan jumlah
serangan kejang.
Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko
terjadinya insiden abortus spontan dan anomali neonatal, gangguan
perkembangan pada bayi yang dilahirkan. Jadi walaupun terdapat sedikit
kekhawatiran terhadap pemberian asam folat namun dosis rendah
minimal 0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap aman dan
dapat dilanjutkan selama kehamilan pada wanita penyandang epilepsi.
Dosis tinggi (4 mg/hari) diberikan pada wanita hamil yang sebelumnya
melahirkan anak dengan kelainan neural tube defect, terutama wanita
yang mendapat obat anti epilepsi asam valproat dan karbamazepin.
F. Psikologik (stres dan ansietas)
Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah
terjadinya serangan kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan
tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi dan gangguan psikologik sekunder.
G. Penggunaan alkohol dan zat
Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati
dan menurunkan kadar plasma obat anti epilepsi (phenobarbital,
phenytoin dan karbamazepin) sehingga timbul kejang. Disamping itu
intoksikasi alkohol mapun obat-obatan terlarang akan menyebabkan
gangguan siklus tidur normal sehingga meningkatkan frekwensi kejang.
Hal lain yang meningkatkan frekwensi serangan kejang pada wanita
penyandang epilepsi selama kehamilan adalah faktor kesengajaan
menghentikan makan obat karena takut efek obat terhadap janin yang
dikandungnya. Dari penelitian terhadap 125 wanita hamil dengan epilepsi,
27% tidak meneruskan penggunaan obatnya dengan alasan ketakutan
akan efek samping (termasuk teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya
pada bayi yang diberi ASI. Sebenarnya obat anti epilepsi di ASI jumlahnya
relatif sedikit. Jadi pada wanita penyandang epilepsi, obat anti epilepsi
bukanlah kontraindikasi untuk pemberian ASI.
PENGARUH EPILEPSI DAN OBAT ANTI EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN DAN JANIN
A. Pengaruh terhadap kehamilan
Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4
kali, yaitu perdarahan pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III,
hiperemesis gravidarum sebagian besar akibat dosis tinggi obat anti
epilepsi, herpes maternal ditemukan 6 kali lebih sering dan resiko
timbulnya preeklampsia 50%-250%. Risiko pada ibu dapat terjadi trauma
fisik, menurunnya kemampuan neuropsikologik dan kemungkinan untuk
dilakukannnya seksio sesaria. Sedangkan kematian ibu hamil sewaktu
serangan kejang sangat jarang sekali (di Inggris hanya sekitar 1 per
tahun) dan penyebab kematian karena asfiksia pada saat serangan.
Pada wanita hamil penyandang epilepsi, insiden komplikasi
eklampsia tidak meningkat, yang lebih sering ditemukan adalah
preeklampsia. Eklampsia atau Pregnancy Induced Hypertension (PIH)
adalah hipertensi ensefalopati yang mendadak timbul menyebabkan
fibrinoid arterio nekrosis disertai perdarahan dengan akibat disrupsi atau
kerusakan tunika media arteriola, merembesnya protein serum terjadilah
edema vasogenik. Pada pemeriksaan CT Scan dan MRI kepala
ditemukan edema difus dan perdarahan otak. Hal ini harus segera diatasi
dengan menurunkan tekanan darah misalnya dengan Ca channel blocker,
mengatasi edema dengan hiperventilasi dan pemberian kortikosteroid.
B. Pengaruh terhadap janin
Kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil
penyandang epilepsi. Serangan epilepsi pada wanita hamil dapat
menyebabkan kelainan atau kematian pada janin.
Kematian pada janin lebih sering disebabkan saat serangan ibu hamil
mengalami kecelakaan seperti terjatuh, luka bakar dan tenggelam.
Sedangkan trauma dapat menyebabkan pecahnya selaput ketuban,
persalinan prematur, infeksi.
Kejang umum tonik klonik sekali saja atau tunggal akan
mempengaruhi denyut jantung janin menjadi lambat (transient fetal
bradycardia selama 20 menit), sedangkan bila kejang berulang dan
berlangsung lama komplikasi terhadap jantung menjadi lebih berat serta
dapat mengganggu sirkulasi sistemik janin sehingga bisa timbul hipoksia.
Pengaruh lainnya yang dapat dijumpai akibat kejang pada wanita
hamil yaitu keguguran 3-4 kali dari kehamilan normal, kemampuan untuk
hidup janin menurun seperti Apgar skor yang rendah, lahir mati dan
kematian perinatal , gangguan perkembangan janin (berat badan lahir
rendah dan kelahiran prematur) menjadi 2 kali lipat serta terjadi
perdarahan intra kranial, dimana setelah dilakukan induksi persalinan
ternyata bayi yang meninggal sudah mengalami maserasi. Bila status
epileptikus timbul saat kehamilan biasanya sepertiga dari ibu-ibu dan
setengah dari janin tidak dapat diselamatkan dan harus segera diatasi
tanpa memandang kehamilannya.
C. Pengaruh terhadap neonatus
Bayi lahir mati, kematian neonatal serta kematian perinatal
didapatkan dua kali lipat lebih banyak daripada populasi umum.
Perdarahan pada neonatus terjadi dalam 24 jam pertama dari awal
kehidupan. Keadaan ini disebabkan kekurangan atau defisiensi faktor
pembekuan II, VII, IX dan X yang tergantung pada vitamin K. Defisiensi
vitamin K disebabkan oleh obat anti epilepsi secara kompetitif
menghambat transpostasi vitamin K melalui plasenta dan ditambah
dengan kadar vitamin K yang rendah pada kehamilan. Keadaan ini dapat
dicegah dengan memberikan vitamin K dosis tinggi pada minggu terakhir
kehamilan. Namun karena lebih sering terjadi persalinan prematur maka
vitamin K (10-20 mg/hari) ini diberikan pada 2-4 minggu terakhir.
Perdarahan neonatus harus diberi fresh frozen plasma untuk mengatasi
koagulopati.
Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko
timbulnya drug withdrawal 7 hari setelah partus, dengan gejala sebagai
berikut kegelisahan, gemetar (tremor), mudah terangsang
(hipereksetibilitas), high pitch cry, nafsu makan yang besar disusul dengan
muntah-muntah. Gejala ini mulai timbul pada saat bayi telah meninggalkan
rumah sakit sehingga membuat kepanikan pada ibunya. Biasanya semua
gejala ini akan berakhir dalam 1 atau 2 minggu, kecuali hipereksitibilitas
dapat berakhir 2-4 bulan.
Pada ibu yang mendapat asam valproat dan phenytoin selama
hamil, bayinya dapat mengalami serangan kejang intrauterin dan
perinatal, juga retardasi mental dan gangguan perkembangan bahasa.
Malformasi kongenital ditemukan 1,25%-11,5% (normal 2%-3%) pada
yang mendapat obat anti epilepsi politerapi, penggunaan dosis tinggi obat
anti epilepsi dan kadar asam folat yang rendah.
Beberapa studi atau penelitian mendapatkan hampir sebagian
besar malformasi kongenital terjadi akibat pengaruh obat anti epilepsi
yang diberikan pada wanita hamil trimester pertama (18,9%), tetapi ada
yang berpendapat karena memang sudah ada factor genetiknya. Tidak
ada malformasi yang khas diakibatkan oleh pemakaian obat anti epilepsi
satu jenis tertentu.
Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu
malformasi mayor 2%-3% (yang paling sering adalah celah orofacial,
anomali jantung dan defek pada neural tube) dan malformasi minor 15%
(yang paling sering adalah hipertelorism, lipatan epikantal, shallow philt,
hipoplasia jari digital dan lipatan simian). Hanya saja dikatakan defek
neural tube (terutama spina bifida lumbosakral) yang diakibatkan asam
valproat (1%-2%) lebih banyak daripada karbamazepin (0,5%). Oleh
karena itu ada yang menyarankan agar dosis yang digunakan diturunkan
pada wanita hamil penyandang epilepsi.
Proses metabolisme obat anti epilepsi merupakan faktor utama
yang potensial terhadap teratogenitas janin. Defek genetik akibat proses
detoksifikasi dan inhibisi yang berinteraksi dengan obat anti epilepsi
tertentu diduga mempunyai pengaruh yang kuat pada risiko teratogenitas.
Kelainan distal digital hipoplasia merupakan tanda spesifik untuk
teratogenitas dari phenytoin. Dibandingkan obat anti konvulsan lain,
tampaknya phenytoin paling banyak disalahkan untuk malformasi
kongenital ini, namun kelainan kongenital yang lebih sering dijumpai (4
kali) seperti bibir sumbing atau celah palatum serta kelainan jantung
biasanya dapat diperbaiki dengan tindakan operatif. Hal yang
mencemaskan adalah neuroblastoma yang terjadi pada anak yang
terpapar phenytoin in utero.
Wanita hamil penyandang epilepsi yang mendapat obat anti
epilepsi karbamazepin pada 35 bayi didapatkan 11% defek craniofacial,
26% finger nail hipoplasia dan 20% perkembangan yang lambat.40 Berikut
ini adalah beberapa sindroma obat anti epilepsi, yaitu:
- Sindroma Trimethadione fetal berupa short stature (kerdil),
mikrosefali, retardasi mental, lipatan epikantal, hernia inguinalis
dll. Trimethadione ini karena sangat teratogenik saat ini tidak
digunakan lagi.
- Sindroma Hidantoin Fetal berupa dismorfi fascial, retardasi mental
dan retardasi perkembangan intrauterin. Keadaan dismorfi fascial
ini dapat timbul akibat phenobarbital, penggunaan alkohol yang
menyebabkan defisiensi asam folat.
- Sindroma Embriopati Primidone berupa dismorfi fascial, berat
badan lahir rendah, gangguan perkembangan dan defek jantung.
- Sindroma Valproat berupa dismorfi fascial, finger nail hipoplasia,
distress perinatal, Apgar skor yang rendah, mikrosefali dan
defisiensi perkembangan postnatal.
- Sindroma Karbamazepine berupa dismorfi fascial, mikrosefali,
kelainan jari kuku dan gangguan perkembangan.
D. Pengaruh obat anti epilepsi terhadap kehamilan
Seperti telah diketahui bahwa pemberian obat anti epilepsi
mempunyai risiko, karena itu memilih antara minum atau tidak minum obat
haruslah berpedoman pada risiko timbulnya komplikasi obat anti epilepsi
pada ibu dan janin atau neonatus. Dalam membandingkan efek samping
(kematian dan anomali) ketiga obat anti epilepsi maka yang paling kurang
efek sampingnya berturut-turut adalah phenobarbital, phenytoin dan
karbamazepin.
Beberapa tindakan obastetik yang perlu dipertimbangkan akibat
pengaruh obat anti epilepsi pada kehamilan yaitu amniosintesis (trimester
II dan III) dilakukan 2,5 – 4,5 kali dan induksi partus dilakukan 2-4 kali.
Keadaan ini disebabkan oleh partus lama, perdarahan dan kelelahan
uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi, sehingga akhirnya dilakukan
seksio sesaria (dua kali lebih sering dari biasa). Sebenarnya epilepsi
sendiri bukanlah suatu indikasi untuk operasi, karena kejang tonik klonik
hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil penyandang epilepsi
sehingga Hilesmaa membuat daftar indikasi seksio sesaria.
PENANGANAN KEHAMILAN DENGAN EPILEPSI
Tujuan utama adalah mencegah timbulnya serangan pada
penderita epilepsi yang sedang hamil. Seperti telah dijelaskan bahwa
kadar obat anti epilepsi (kadar plasma total) akan mengalami penurunan
selama kehamilan, sebaliknya kadar obat anti epilepsi bebas terjadi
peningkatan. Kadar obat anti epilepsi bebas ini berkaitan langsung
dengan timbulnya serangan kejang dan terjadinya efek samping sehingga
pada wanita hamil kadar obat anti epilepsi perlu diperiksa. Mengingat
banyaknya efek samping obat anti epilepsi dan komplikasi pada
kehamilan, maka penanganan kehamilan dengan epilepsi meliputi:
a. Pemeriksaan kadar obat anti epilepsi.
Kadar obat anti epilepsi dalam darah sebaiknya selalu dikontrol
setiap bulan sebelum terjadinya kehamilan sehingga penyesuaian dosis
pada saat kehamilan bisa dilakukan. Disini perlu kerjasama dengan ahli
farmakologi klinik.
b. Penyuluhan pada wanita penyandang epilepsi usia remaja sebelum
konsepsi mengenai: - Risiko akibat timbulnya serangan selama
kehamilan seperti perdarahan, eklampsia dan prematuritas.
- Risiko obat anti epilepsi pada janin, yaitu timbulnya malformasi dan
gangguan perkembangan.
- Risiko timbulnya serangan kejang pada anak (kejang neonatal,
kejang tanpa demam dan epilepsi), termasuk adanya prediposisi
genetik pada bayi bila orang tuanya menderita epilepsi.
c. Masa Pra Konsepsi
- Melakukan evaluasi terhadap kontrasepsi KB yang dipergunakan
- Melakukan evaluasi terhadap obat anti epilepsi yang dipergunakan.
- Melakukan evaluasi kembali mengenai diagnosis epilepsinya atau
bukan epilepsi (kejang nonepilepsi, sinkop atau suatu sindroma lain).
- Mencoba menghentikan obat anti epilepsi pada yang telah bebas
kejang 2-3 tahun.
- Berusaha menggunakan monoterapi dengan dosis terendah yang efektif,
bila memungkinkan merubah dari politerapi ke monoterapi serta
ditambah multivitamin dengan suplementasi asam folat. Asam folat
harus diberikan minimal 4 minggu sebelum konsepsi. Bila terdapat
riwayat neural tube defect dalam keluarga maka valproat dan
karbamazepin sebaiknya dihindari.
Masa Post Konsepsi
- Berikan cukup perhatian terhadap semua keluhan dan anjurkan istirahat
yang cukup, karena kedua faktor ini sering menimbulkan peningkatan
atau kambuhnya serangan.
- Jangan menghentikan atau mengganti obat anti epilepsi tanpa
sepengetahuan dokter.
- Mengukur kadar obat anti epilepsi bebas setiap trimester untuk
menyesuaikan dosis obat, terutama pada bulan terakhir dan menjelang
persalinan untuk mencegah timbulnya kejang pada waktu bersalin.
Selanjutnya pemeriksaan obat anti epilepsi ini harus diikuti sampai
minggu ke-8 postpartum karena kadarnya dapat meningkat dan
menimbulkan toksisitas.
- Pemeriksaan USG untuk deteksi adanya kelainan janin (spina bifida,
defek jantung atau ekstremitas).
- Vitamin K (20 mg/hari) harus diberikan 3 minggu sebelum masa
persalinan sampai persalinan untuk mencegah perdarahan pada
neonatal.
Masa Post Partum
- Dokter spesialis anak atau saraf anak yang mengobservasi harus
waspada terhadap timbulnya perdarahan neonatus dan gejala drug
withdrawal terutama pada ibu yang minum phenobarbital. Lalu dilakukan
evaluasi terhadap kemungkinan adanya gangguan perkembangan,
terutama pada anak yang ibunya menderita epilepsi yang sukar diatasi.
- Pada umumnya ibu dapat menyusui bayinya namun bila terlihat efek
sedasi, gangguan minum dan menurunnya berat badan bayi maka
dianjurkan untuk memperpendek pemberian ASI tersebut. Penghentian
obat anti epilepsi jangan berlangsung mendadak karena dapat
menimbulkan kejang pada neonatal.
BAB II
HERNIA
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia
abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan
muskulo-aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan
isi hernia. Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau
kongenital dan hernia dapatan atau akuisita. Hernia diberi nama menurut
letaknya, misalnya diafragma, inguinal, umbilikal, femoral.
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi
hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan
masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk ke perut, tidak ada keluhan
nyeri atau gejala obstruksi usus. Bila isi kantong tidak dapat direposisi
kembali ke dalam rongga perut, hernia disebut hernia ireponibel. Ini
biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum
kantong hernia. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun tanda sumbatan
usus. Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya
terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak
dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase
atau vaskularisasi. Secara klinis, hernia inkarserata lebih dimaksudkan
untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan
vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulata. Pada keadaan
sebenarnya, gangguan vaskularisasi telah terjadi pada saat jepitan
dimulai, dengan berbagai tingkat gangguan mulai dari bendungan sampai
nekrosis.
Gambar 1. Bagian-bagian Hernia
1. Kantong hernia: pada hernia abdominalis berupa peritoneum
parietalis;
2. Isi hernia: berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong
hernia. Pada hernia abdominalis berupa usus; 3. Locus Minoris
Resistence (LMR); 4. Cincin hernia: Merupakan bagian locus
minoris resistence yang dilalui kantong hernia; 5. Leher hernia:
Bagian tersempit kantong hernia yang sesuai dengan kantong
hernia.
Klasifikasi Hernia Berdasarkan Arah Herniasi
• Hernia Eksterna
Penonjolannya dapat dilihat dari luar :
a. Hernia Inguinalis Medialis dan Lateralis
b. Hernia Femoralis
c. Hernia Umbilicus
d. Hernia Epigastrica
e. Hernia Lumbalis
f. Hernia Obturatoria
g. Hernia Semilunaris
h. Hernia Perinealis
i. Hernia Ischiadica
• Hernia Interna
Bila isi hernia masuk ke dalam rongga lain, misalnya cavum thorax, cavum
abdomen :
a. Hernia Epiploici Winslowi : Herniasi viscera abdomen melalui foramen
omentale
b. Hernia Bursa Omentalis
c. Hernia Mesenterica
d. Hernia Retroperitonealis
e. Hernia Diafragmatic
Hernia Inguinalis
Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia
abdominalis) adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi:
hernia inguinalis indirek (lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam
kanalis inguinalis melalui locus minoris resistence (annulus inguinalis
internus); dan hernia inguinalis direk (medialis), di mana isi hernia masuk
melalui titik yang lemah pada dinding belakang kanalis inguinalis. Hernia
inguinalis lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, sementara
hernia femoralis lebih sering terjadi pada wanita.5
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau
karena sebab yang didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal
adalah prosesus vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan di dalam
rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia. Tekanan
intra abdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi
prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia inguinalis.
Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan berat badan,
sering mengangkat benda berat, atau mengedan. 1,6,7 Jika kantong hernia
inguinalis lateralis mencapai scrotum maka disebut hernia skrotalis.
Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis
yang teraba dapat dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya.
Pemeriksaan Hernia
1. Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral
Meskipun hernia dapat didefinisikan sebagai setiap penonjolan
viskus, atau sebagian daripadanya, melalui lubang normal atau abnormal,
90% dari semua hernia ditemukan di daerah inguinal. Biasanya impuls
hernia lebih jelas dilihat daripada diraba.
Pasien disuruh memutar kepalanya ke samping dan batuk atau
mengejan. Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral untuk melihat
timbulnya benjolan mendadak selama batuk, yang dapat menunjukkan
hernia. Jika terlihat benjolan mendadak, mintalah pasien untuk batuk lagi
dan bandingkan impuls ini dengan impuls pada sisi lainnya. Jika pasien
mengeluh nyeri selama batuk, tentukanlah lokasi nyeri dan periksalah
kembali daerah itu.
2. Pemeriksaan Hernia Inguinalis
Palpasi hernia inguinal dilakukan dengan meletakan jari pemeriksa
di dalam skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit skrotum ke dalam.
Harus ada kulit skrotum yang cukup banyak untuk mencapai cincin
inguinal eksterna. Jari harus diletakkan dengan kuku menghadap ke luar
dan bantal jari ke dalam. Tangan kiri pemeriksa dapat diletakkan pada
pinggul kanan pasien untuk sokongan yang lebih baik.
Telunjuk kanan pemeriksa harus mengikuti korda spermatika di
lateral masuk ke dalam kanalis inguinalis sejajar dengan ligamentum
inguinalis dan digerakkan ke atas ke arah cincin inguinal eksterna, yang
terletak superior dan lateral dari tuberkulum pubikum. Cincin eksterna
dapat diperlebar dan dimasuki oleh jari tangan.
Dengan jari telunjuk ditempatkan pada cincin eksterna atau di
dalam kanalis inguinalis, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke
samping dan batuk atau mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa
impuls tiba-tiba yang menyentuh ujung atau bantal jari penderita. Jika ada
hernia, suruh pasien berbaring terlentang dan perhatikanlah apakah
hernia itu dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan terus-menerus
pada massa itu. Jika pemeriksaan hernia dilakukan dengan perlahan-
lahan, tindakan ini tidak akan menimbulkan nyeri.
Setelah memeriksa sisi kiri, prosedur ini diulangi dengan memakai
jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan. Sebagian pemeriksa lebih
suka memakai jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan pasien, dan
jari telunjuk kiri untuk memeriksa sisi kiri pasien. Cobalah kedua teknik ini
dan lihatlah cara mana yang anda rasakan lebih nyaman. Jika ada massa
skrotum berukuran besar yang tidak tembus cahaya, suatu hernia inguinal
indirek mungkin ada di dalam skrotum. Auskultasi massa itu dapat dipakai
untuk menentukan apakah ada bunyi usus di dalam skrotum, suatu tanda
yang berguna untuk menegakkan diagnosis hernia inguinal indirek.
3. Transluminasi Massa Skrotum
Jika anda menemukan massa skrotum, lakukanlah transluminasi.
Di dalam suatu ruang yang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi
pembesaran skrotum. Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis
normal tidak dapat ditembus sinar. Transmisi cahaya sebagai bayangan
merah menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa, seperti
hidrokel atau spermatokel.
Tabel 1. Diagnosis Banding Pembesaran Skrotum yang Lazim Dijumpai8
Diagnosis
Umur Lazim
(Tahun)
Transiluminasi
EritemaSkrotum
Nyeri
Epididimitis Semua umur
Tidak Ya Berat
Torsio testis < 35 Tidak Ya BeratTumor testis < 35 Tidak Tidak MinimalHidrokel Semua
umurYa Tidak Tidak ada
Spermatokel Semua umur
Ya Tidak Tidak ada
Hernia Semua umur
Tidak Tidak Tidak ada sampai sedang*
Varikokel > 15 Tidak Tidak Tidak ada* Kecuali kalau mengalami inkarserasi, di mana nyerinya mungkin berat
Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan
pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia
yang telah direposisi.
2. Operatif
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia
inguinalis yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis
ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia adalah hernioraphy, yang terdiri
dari herniotomi dan hernioplasti.
a. Herniotomi
Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke
lehernya. Kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan,
kemudian direposisi, kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu
dipotong.
b. Hernioplasti
Pada hernioplasti dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis
internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplasti
lebih penting artinya dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan
dengan herniotomi. Dikenal berbagai metode hernioplasti seperti
memperkecil anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup
dan memperkuat fasia transversa, dan menjahitkan pertemuan m.
tranversus internus abdominis dan m. oblikus internus abdominis yang
dikenal dengan nama conjoint tendon ke ligamentum inguinale poupart
menurut metode Bassini, atau menjahitkan fasia tranversa m. transversus
abdominis, m.oblikus internus abdominis ke ligamentum cooper pada
metode Mc Vay. Bila defek cukup besar atau terjadi residif berulang
diperlukan pemakaian bahan sintesis seperti mersilene, prolene mesh
atau marleks untuk menutup defek.
Pencegahan
Kelainan kongenital yang menyebabkan hernia memang tidak dapat
dicegah, namun langkah-langkah berikut ini dapat mengurangi tekanan
pada otot-otot dan jaringan abdomen:
a. Menjaga berat badan ideal. Jika anda merasa kelebihan berat badan,
konsultasikan dengan dokter mengenai program latihan dan diet yang
sesuai.
b. Konsumsi makanan berserat tinggi. Buah-buahan segar, sayur-
sayuran dan gandum baik untuk kesehatan. Makanan-makanan
tersebut kaya akan serat yang dapat mencegah konstipasi.
c. Mengangkat benda berat dengan hati-hati atau menghindari dari
mengangkat benda berat. Jika harus mengangkat benda berat,
biasakan untuk selalu menekuk lutut dan jangan membungkuk dengan
bertumpu pada pinggang.
d. Berhenti merokok. Selain meningkatkan resiko terhadap penyakit-
penyakit serius seperti kanker dan penyakit jantung, merokok
seringkali menyebabkan batuk kronik yang dapat menyebabkan
hernia inguinalis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Tjay,Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. Edisi V. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.
3. Fakultas Kedokteran UI. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Media Aesculapius. Jakarta
4. Ganiswarna S, 2007, Farmakologi dan Terapi EDISI 5, Universitas Indonesia, Jakarta.
5. Price, A.S., dan Wilson, M.L. 1995. Patofisiologi. Edisi 4, EGC Buku Kedokteran. Jakarta.
6. Sukandar EY.,dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. PT.ISFI Penerbitan.
Jakarta.
7. Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. EGC. Jakarta.
8. Bagian Farmakolgi FK-UI. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed. IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
9. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta : EGC, 204pp. 519-37
10.Mulyana S. Hernia inguinalis. http://medlinux.blogspot.com . Diakses tanggal 05 februari 2012
11.Anonim. Inguinal hernia. http://en.wikipedia.org . Diakses tanggal 05 februari 2012
12.Anonim. Inguinal hernia. http://www.mayoclinic.com . Diakses tanggal 05 februari 2012
13.Anonim. What is an inguinal hernia. http://health.yahoo.com . Diakses tanggal 05 februari 2012
14.Shorvon S. Status epilepticus. Program and abstracts of the 17th World Congress of Neurology; June 17-22, 2001; London, UK. J Neurol Sci. 2001;187(suppl 1):S213
15.Fosgren L. Epidemiology of epilepsy: a global problem. Program and abstracts of the 17th World Congress of Neurology. J Neurol Sci. 2001;187(suppl 1):S212
16.WHO. Epilepsy: epidemiology, etiology, and prognosis, WHO Fact Sheet No.165, 2001
17.Holmes GL, Ben-Ari Y. The neurobiology and consequences of epilepsy in developing brain. Pediatr Res 2001; 49:320-5
18.Christensen J, Vestergaard M, Mortensen PB, Sidenius P, Agerbo E. Epilepsy and risk of suicide: a population-based case-control study. Lancet Neurol. 2007; 6:693-8
19.Swartz MH. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Alih Bahasa : Lukmanto P, Maulany R.F, Tambajong.
20.American Academy of Neurology Quality Standards Subcommittee. Practice parameter: management issues for women with epilepsy (summary statement). Neurology, 1998; 51: 944-8
21.7. Martin PJ, Millac PA. Pregnancy, epilepsy, management and outcome: a 10 year perspective. Seizure, 1993; 2: 277-80
22.8. Janz D. The teratogenic risk of antiepileptic drugs. Epilepsia, 1975; 16: 159-169
23.9. Nelson KB, Ellenberg JH. Maternal seizure disorder, outcome of pregnancy and neurologic abnormalities in the children. Neurology, 1982; 32: 1247-1254
24.10. Ramson, Dombrowski, Evans, Ginsburg. Contemporary therapy in obstetrics and gynecology. Philadelphia: WB Saunders, 2002: 115-8
25.11. Yerby MS, Devinsky O. Epilepsy and pregnancy, Neurological Complications of pregnancy Ed. By Devinsky O. Raven Press, New York, 1994:45-63
26.7. Yerby MS, Leavitt A, Erickson BS, et. al. Antiepileptics and the development of congenital anomalies. Neurology, 1992; 42: 132-140