kajian tentang pemerintahan desa
TRANSCRIPT
Kajian Tentang Pemerintahan Desa
1. Kedudukan Desa Dan Pemerintahannya
Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2001 disebutkan bahwa desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di
daerah Kabupaten.
Esensi yang dapat diambil dari Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2001 tersebut antara
lain :
1. Merupakan kesatuan masyarakat hukum;
2. Memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat;
3. Berdasarkan asal usul dan adat istiadat;
4. Adanya pengakuan.
2. Sifat Dan Ciri Organisasi Pemerintahan Desa
Organisasi pemerintahan Desa bersifat ambivalen dan semu, dalam arti bukan sebagai
organissai pemerintah yang sesungguhnya, cirri-cirinya antara lain :
1. Pegawainya bukan pegawai pemerintah;
2. Tidak mempunyai penghasilan tetap yang berasal dari anggaran Negara;
3. Tidak memiliki karier dan uang pension;
4. Tidak memiliki kewenangan untuk mengumpulkan pendapatan, yang ada hanyalah
penerimaan (bersifat pasif); artinya pemerintah Desa tidak mempunyai kewenangan
memungut pajak dan retribusi atas namanya sendiri, kecuali yang berasal dari penugasan
dari pemerintah atau pemerintah Daerah.
Untuk mengatasi masalah struktural mengenai kedudukan ambivalen pemerintah Desa
yang sudah berjalan sejak jaman Hindis Belanda, secara politis telah ada ketetapan MPR RI
No. IV Tahun 2000, khususnya rekomendasi No. 7 mengenai kemungkinan adanya otonomi
bertingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa.
Perubahan tersebut bersifat strategis dan jangka panjang, oleh karena itu perlu dilakukan
langkah-langkah persiapan antara lain melakukan amalgamasi (penggabungan) desa-desa
sehingga secara ekonomi dan kebudayaan layak menjadi daerah otonom yang sebenarnya,
hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 18 A UUD 1945 hasil amandemen.
Konsepsi di atas sebenarnya merupakan reaktualisasi dari pemikiran Moch. Hatta mengenai
otonomi, yang menekankan otonomi pada Kebupaten/Kota serta Desa, sedangkan Provinsi
lebih bersifat administratif.
Latar Belakang
Sejak berlakunya UU No. 32./2004 dan UU 33/2004, implementasi
kebijakan otonomi daerah menjadi fokus Pemerintah Pusat dan Daerah.
Disamping menempatkan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai sasaran
pelaksanaan otonomi, Pemerintah juga memandang bahwa Desa sudah
saatnya melaksanakan otonominya selaian otonomi asli yang ada selama
ini. Sistem pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menganut sistem
otonomi bertingkat, yakni Provinsi memiliki otonomi terbatas.
Kabupaten/Kota memiliki otonomi luas dan Desa memiliki otonomi asli.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 200 dan 216 menyatakan bahwa desa di kabupaten/kota memiliki
kewenangan-kewenangan yang dapat diatur secara bersama antara
pemerintah desa dan BPD yang dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayananan kepada masyarakat. Penyelenggaraan desa yang otonom
dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut pada dasarnya
merupakan proses yang terjadi secara simultan dan berkesinambungan
yang memerlukan pengetahuan aparatur daerah tentang kewenangan
mereka, potensi daerah dan menjaring aspirasi masyarakat di wilayahnya.
Yang menjadi pertanyaan apakah otonomi asli sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tersebut masih ada di desa-
desa Indonesia. Transformasi sosial ekonomi selama enam puluh (60)
tahun sejak Indonesia merdeka menyebabkan banyak perubahan yang
signifikan pada praktek penyelenggaraan pemerintahan desa. Sebagian
besar desa-desa di pulau Jawa telah mengalami perubahan ruang menjadi
kota atau desa-kota. [1] Sementara itu sebagian besar desa-desa di pulau
Sumatera mengalami trasnformasi menjadi desa industri perkebunan,
terutama perkebunan sawit dan karet. Perubahan struktur ekonomi desa
kontemporer ini menyebabkan urusan-urusan pemerintah desa pun
mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
Kewenangan atau urusan desa yang dulunya dikenal dengan otonomi asli
pun menjadi hilang dan atau mengalami perubahan bentuk.
Dari paparan tersebut diatas makalah ini berusaha untuk menjawab penting yang menggelitik para pengambil kebijakan atau praktisi adalah bagaimanakah pelaksanaan kewenangan Otonomi Desa di Indonesia? Apakah masih ada otonomi asli yang dilaksanakan oleh desa-desa di Indonesia? Data yang dipaparkan dalam paper ini adalah data yang dihasilkan dari penelitian lapangan yang dilakukan pada tahun 2005 yang dilakukan penulis sebagai tugas yang diberikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang ) Provinsi Riau.
Kewenangan Desa
Dalam Undang – undang No. 32 Tahun 2004 disebutkan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup (1) urusan
pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, (2) urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa, (3) tugas pembantuan dari Pemerintah,
Pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota dan yang
terakhir (4) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-
perundangan diserahkan kepada desa. Tugas pembantuan dari
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau pemerintah Kabupaten/kota
kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia.
Dalam pengaturan perundangan, pemerintah desa selalu disebutkan
terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu kepala pemerintahan dan wakil-wakil
rakyat. Dalam UU No. 19 tahun 1965 pemerintahan desa terdiri atas
Kepala Desa dan Badan Musyawarah Desa, dan pada UU No. 5 tahun 1979
pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa.
Sedangkan di bawah UU No. 22 tahun 1999 pemerintahan desa terdiri dari
Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, dan Pemerintah Desa terdiri
atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan Perangkat
Desa dan menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pemerintahan desa
terdiri atas kepala desa dan perangkat desa
Dari keempat UU tersebut kelihatannya terjadi “fluktuasi” otonomi
desa. Pada UU yang pertama disebutkan adanya badan musyawarah desa
yang secara tegas sebagai lembaga perwakilan rakyat, sehingga anggota-
anggotanya dipilih langsung oleh warga masyarakat; sementara pada UU
yang kedua LMD hanyalah lembaga musyawarah yang anggota-
anggotanya tidak dipilih oleh rakyat akan tetapi diangkat lebih karena
pilihan atau penunjukan Kepala Desa sendiri dan Kepala Desa secara
otomatis menjadi ketua LMD. Lain halnya pada UU No. 22 tahun 1999
dimana otonomi desa sedemikian luasnya, sehingga desa diberikan
keleluasaan untuk mengadakan kegitan yang dapat dipakai untuk
meningkatkan dan mendapatkan hasil-hasil atau dana yang bisa dipakai
untuk membiayai kegiatan-kegiatannya.
Demikian halnya pada UU No. 32 Tahun 2004, lembaga
musyawarah desa berubah menjadi badan permusyawaratan desa yang
berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung
dan menyatukan aspirasi masyarakat. Anggota badan permusyawaratan
desa aadalah wakil dari penduduk desa yang bersangkutan yang
ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Selain Badan
Permusyawaratan Desa menurut undang-undang ini juga dapat dibentuk
lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa yang
berpedoman pada peraturan perundang-undangan, lembaga ini bertugas
membantu pemerintahan desa dan merupakan mitra dalam
memberdayakan masyarakat desa.
Pencermatan lebih mendalam menunjukkan bahwa konflik penguasaan
kewenangan terutama disebabkan karena adanya kewenangan yang
menghasilkan penerimaan, yaitu adanya kecenderungan perebutan
kewenangan antar tingkatan pemerintahan untuk memperoleh sumber-
sumber keuangan yang berasal dari kewenangan tersebut. Kewenangan-
kewenangan yang menghasilkan sumber penerimaan cenderung
bermasalah, sedangkan kewenangan yang kurang menghasilkan
penerimaan dan atau memerlukan biaya cenderung untuk dihindari.
Friksi pada dasarnya berpangkal dari siapa yang mempunyai kewenangan
secara hukum atas hal yang disengketakan tersebut. Motif utama yang
mendorong bukanlah persoalan untuk memberikan pelayanan masyarakat
pada hal yang disengketakan tersebut, namun lebih pada bagaimana
menguasai sumber-sumber pendapatan yang dihasilkan dari kewenangan
yang disengketakan tersebut. Daerah menganggap bahwa dengan adanya
otonomi maka kebutuhan uang mereka menjadi tidak terbatas, sedangkan
PAD dan DAU terbatas sehingga hal tersebut menarik mereka untuk
menambah sumber-sumber penerimaan dari penguasaan obyek-obyek
yang dapat menghasilkan tambahan penerimaan daerah.
Analisis yang lebih fundamental mengindikasikan bahwa keberadaan unit
pemerintahan daerah bertujuan unuk melayani kebutuhan
masyarakat (public service). Ini berarti tiap daerah akan mempunyai
keunikan sendiri-sendiri baik dari aspek penduduk, maupun karakter
geografisnya. Masyarakat pantai dengan mata pencaharian utama di
perikanan akan berbeda dengan masyarakat pegunungan, ataupun
masyarakat pedalaman. Masyarakat pedesaan akan berbeda
kebutuhannya dengan masyarakat daerah perkotaan. Apabila keberadaan
Pemda untuk melayani kebutuhan masyarakat, maka konsekuensinya
urusan yang dilimpahkanpun seyogyanya berbeda pula dari satu daerah
dengan daerah lainnya sesuai dengan perbedaan karakter geografis dan
mata pencaharian utama penduduknya. Adalah sangat tidak logis apabila
di sebuah daerah kota sekarang ini masih dijumpai urusan-urusan
pertanian, perikanan, peternakan, dan urusan-urusan yang berkaitan
dengan kegiatan primer. Pelimpahan urusan otonomi yang sesuai dengan
kebutuhannya. Untuk itu analisis kebutuhan (need assessment)merupakan
suatu keharusan sebelum urusan itu diserahkan ke suatu daerah otonom.
Pada dasarnya kebutuhan rakyat dapat dikelompokkan kedalam dua hal
yaitu :
a) Kebutuhan dasar (basic needs) seperti air, kesehatan, pendidikan,
linkungan, keamanan, dsb;
b) Kebutuhan pengembangan usaha masyarakat seperti pertanian,
perkebunan, perdagangan, industri dan sebagainya;
Dalam konteks otonomi, daerah dan desa harus mempunyai kewenangan
untuk mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok
kebutuhan diatas. Kelompok kebutuhan dasar adalah hampir sama
diseluruh Indonesia hanya gradasi kebutuhannya saja yang berbeda.
Sedangkan kebutuhan pengembangan usaha penduduk sangat erat
kaitannya dengan karakter daerah, pola pemanfaatan lahan dan mata
pencaharian penduduk.
Berbeda dengan negara maju dimana pembangunan usaha sebagian
besar sudah dijalankan oleh pihak swasta, maka di Negara Indonesia
sebagai negara berkembang, peran pemerintah masih sangat diharapkan
untuk menggerakkan usaha masyarakat. Kewenangan untuk
menggerakkan usaha atau ekonomi masyarakat masih sangat diharapkan
dari pemerintah. Pemda di negara maju lebih beerorientasi untuk
menyediakan kebutuhan dasar (basic services) masyarakat. Untuk itu,
maka Pemda di Indonesia mempunyai kewenangan (otonomi) untuk
menyediakan pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan
usaha ekonomi masyarakat lokal.
Dalam memberikan otonomi untuk pelayanan kebutuhan dasar dan
pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat, ada tiga hal yang
perlu dipertimbangkan yaitu :
a) Economies of scale : bahwa penyerahan urusan itu akan
menciptakan efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam
penyelenggaraanya. Ini berkaitaan dengan economies of scale(skala
ekonomis) dalam pemberian pelayanan tersebut. Untuk itu harus ada
kesesuaian antara skala ekonomis dengan catchment area (cakupan
daerah pelayanan). Persoalannya adalah sejauhmana skala ekonomis itu
sesuai dengan batas-batas wilayah administrasi Pemda yang sudah ada.
Makin luas wilayah yang diperlukan untuk mencapai skala ekonomis akan
makin tinggi otoritas yang diperlukan. Bandara dan pelabuhan yang
cakupan pelayanannya antar provinsi adalah menjadi tanggung jawab
nasional.
b) Akuntabilitas : bahwa penyerahan urusan tersebut akan
menciptakan akuntabilitas pemda pada masyarakat. Ini berarti bagaimana
mendekatkan pelayanan tersebut kepada masyarakat. Makin dekat unit
pemerintaahan yang memberikan pelayanan kepada masyaarakat akan
makin mendukung akuntabilitas.
c) Eksternalitas : dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan yang
memerlukan pelayanan tersebut. Eksternalitas sangat terkait dengan
akuntabilitas. Makin luas eksternalitas yang ditimbulkan akan makin tinggi
otoritas yang diperlukan untuk menangani urusan tersebut. Contoh,
sungai atau hutan yang mempunyai eksternalitas regional seyogyanya
menjadi tanggung jawab Provinsi untuk mengurusnya.
Potret Otonomi Desa di Provinsi Riau
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian deskriptif
eksploratif yang dalam penelitian seperti ini, pengetahuan mengenai
persoalan atau fenomena yang akan diteliti masih sangat kurang atau
sama sekali belum ada, oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk
mengeksplorasi data melalui depth interview dan kemudian
mendeskripsikannya.1. b. Unit Analisis dan Wilayah Penelitian
Unit analisis yang diteliti adalah desa sebagai suatu unit pemerintahan di
tingkat yang paling bawah yang dibagi pada beberapa kecamatan yang
diambil secara random. Wilayah penelitian akan meliputi beberapa desa di
Provinsi Riau yang berjumlah sebanyak 1318 desa pada tahun akhir tahun
2005. Dari jumlah populasi tersebut, diambil minimal 5% sebagai desa
sampel, yang selanjutnya dipilih secara systimatic random sampling. Dari
populasi yang ada desa-desa yang menjadi sampel adalah sebagai
berikut:Jumlah desa yang dijadikan sampel berjumlah 71 desa atau 5%
dari jumlah populasi dengan rincian sebagai berikut
Otonomi Desa Kontemporer: Otonomi Asli atau Tidak Asli?
Instrumen penelitian bertujuan untuk mendeteksi urusan-urusan
pemerintahan apa saja yang masih dilakukan atau menjadi kewenangan
pemerintah desa; apakah masih ada urusan asal usul, dan jika ada
bagaimana pelaksanaannya? Sebagai contoh urusan atau kewenangan
kehutanan dapat dilihat dari data dalam table berikut.
Dari table data dan wawancara langsung di lapangan terlihat bahwa
kewenangan bidang kehutanan dalam hal ini, kewenangan asli desa tidak
ada lagi. Dari mereka yang menjawab “ya” dalam pelaksanaan
kewenangan/urusan kehutanan ini, mereka hanya melaksanakan tugas
pembantuan dari pemerintah kabupaten bahkan pemerintah pusat.
Pengelohan hutan desa yang merupakan urusan otonomi asli desa sudah
tidak ada lagi. Pengolahan hutan sudah menjadi urusan pemerintah pusat
sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang kehutanan.
Jadi, kita melihat kasus per kasus dari semua urusan, mulai pertanian
hingga bidang otonomi pemerintahan, sifat tugas pembantuan yang
diberikan dapat dikatakan sebagai “tugas pembantuan semu”. Bukan
merupakan tugas pembantuan yang sepenuhnya diserahkan kepada desa
untuk mengatur dan mengelola pelaksanaan tugas. Jika ini diteruskan dari
tahun ke tahun, slogan otonomi desa yang bermuara kepada
pemberdayaan masyarakat desa hanya akan menjadi “otonomi desa tidak
asli lagi”.
Dalam sektor pendidikan yang merupakan cara untuk meningkatan
kualitas penduduk dalam menghadapi era persaingan masa depan, belum
mampu dilaksanakan secara maksimal, keterbatasan dana dan SDM
menjadi alasan dalam melaksanakan program ini.
[1] Istilah desa-kota diperkenalkan oleh Terry McGee (1998), ahli geografi
dari Kanada, yang menunjukkan percampuran antara ciri-ciri desa dan
kota pada pemanfaatan lahan. Sebagian lahan dimanfaatkan untuk
kegiatan industri dan berdampingan dengan kegiatan pertanian. Pekerja
masyarakat desa pun mengalami perubahan dari sektor pertanian ke
sektor industri, seperti pekerja pabrik, sektor informal, sektor transportasi
dan sektor keuangan.
[2] Lihat Soetardjo Koesoemo, Desa, Djembatan, 1978.
Desa masuk dalam entitas khusus yang diatur dalam satu bab khusus pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Desa diatur dalam Bab XI yang berisi Enam Bagian dan 17 pasal. Hal itu menunjukkan posisi desa sebagai bagian penting dalam tata kenegaraan di Indonesia.
Kawasan perdesaan didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Meski secara tekstual UU 32 tahun 2004 hanya menyebut nama desa, pada bagian penjelasan pasal 202 ayat 1 disebutkan hal itu juga berlaku untuk nama lain yang artinya sejenis, seperti nagari di Sumatra Barat, gampong di Aceh, lembang di Sulawesi Selatan, kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, serta negeri di Maluku.
Pada bagian umum atau pasal 200 UU 32 Tahun 2004, pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa dibentuk dalam satuan wilayah kabupaten/kota. Pembentukan, penggabungan, dan penghapusan desa memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat, termasuk dalam hal perubahan status desa.
Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Kepala desa diangkat berdasar hasil suara terbanyak dari pemilihan langsung yang diikut oleh penduduk desa setempat. Namun, pada desa-desa yang masih menjadi kesatuan hukum adat dapat merujuk pada ketentuan hukum adat yang sudah mendapat penetapan dari peraturan daerah.
Masa jabatan kepala desa selama enam tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu masa jabatan berikutnya (pasal 204). Pelantikan kepala desa dilakukan oleh bupati/walikota selambat-lambatnya 30 hari setelah pemilihan. Masa jabatan itu dapat dikecualikan untuk kesatuan hukum adat yang keberadaannya masih diakui.
Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa, mencakup: (1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hal asal-usul desa; (2) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa ; (3) tugas perbantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota; dan (4) urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan pada desa.
Otonomi desa
Otonomi Desa (1)
Otonomi desa adalah ide yang ditempelkan pada fakta bahwa desa merupakan sebuah entitas masyarakat otonom. Pertanyaan dasarnya adalah, manakah yang lebih dulu ada: masyarakat otonom ataukah otonomi desa? Guna menjawab pertanyaan sederhana ini, penting kemudian penemuan makna dasar dari kedua kata yang digunakan secara bergantian untuk konteks yang seringkali berbeda satu sama lain.
Otonomi adalah kata benda yang berasal dari kata bahasa Yunani autonomia(αὐτονομία). Kata autonomia dibentuk dari kata sifat autonomos (αὐτονόμος). Kata autonomos dibentuk dari dua kata yaitu auto (αὐτο) yang berarti sendiri, dan nomos(νόμος) yang berarti hukum atau aturan. Dengan demikian, maka autonomos atau otonom memiliki makna berhukum sendiri atau mempunyai aturan sendiri. Otonom berarti suatu kondisi dimana kemerdekaan dan kebebasan hadir sebagai identitas.Michael Luck dan Mark d’Inverno (1995) dalam tulisan berjudul “A Formal Frameworkfor Agency and Autonomy” membantu mempertajam pemaknaan kata otonom dan otonomi. Bertujuan menguraikan makna keagenan (agency) dan otonomi (autonomy) dari konsep “Multi Agent Systems“, Luck dan d”Ivarno mencanangkan otonomi sebagai suatu pencapaian dari agen yang bermotivasi. Agen yang bermotivasi adalah agen yang memiliki otonomi. Ia adalah agen yang tidak tergantung pada tujuan akhir agen lain, sebaliknya, memberikan tujuannya untuk diacu dalam hubungan antar agen.
Dalam konstruksi Luck dan d”Ivarno, tiap agen atau subjek bersifat otonom karena setiap mereka memiliki tujuan masing-
masing. Agen yang otonom, menyembunyikan dibelakang tindakannya untuk mencapai tujuan, suatu agenda yang berbasis pada pelayanan diri sendiri dan kesenangan sendiri. Tetapi hubungan antar agen atau antar subjek menghadirkan medan tempur bagi tiap agenda tersembunyi. Hanya agen yang mampu menduduki pusat hubungan, mempengaruhi tujuan agen yang lain, dan dengan demikian menjadikan agendanya sebagai agenda umum yang layak disebut agen bermotivasi atau agen yang memiliki otonomi.
Merujuk Luck dan d”Ivarno, sepintas nampak bahwa otonom adalah semacam DNA bawaan yang bersifat statis. Sementara otonomi adalah capaian dari agen termotivasi yang bersifat dinamis. Membawa konsep ini sebagai kerangka untuk melihat otonomi desa dan masyarakat desa yang otonom akan mempertegas makna dari masing-masing frasa.
Masyarakat desa yang otonom adalah masyarakat yang membawa dalam dirinya sendiri unsur kemerdekaan dan kebebasan. Kebebasan dan kemerdekaan untuk berperaturan sendiri dan mengatur dirinya sendiri. Tetapi sifat masyarakat otonom selalu statis.
Otonomi desa, sebaliknya. Ia adalah capaian dari usaha desa yang dilandasi motivasi. Motivasi untuk berada pada pusat hubungan antar agen atau subjek. Desa yang memiliki otonomi adalah desa yang memenangkan pertempuran agenda antar subjek. Desa yang mampu menduduki pusat hubungan, mempengaruhi tujuan agen yang lain, dan dengan demikian menjadikan agendanya sebagai agenda umum. Otonomi desa, sejatinya adalah sifat dinamis desa. Otonomi desa secara sederhana dapat disebut sebut sebagai identitas kemenangan desa.
Antara Fakta dan Mitos
Andaian otonomi desa adalah gambaran tentang desa yang mandiri, memiliki hukum sendiri, memiliki kekayaan sendiri dan mampu memberikan kesejahteraan, kerukunan dan kedamaian bagi warga desa. Dalam tampilan lukisan naturalis, desa yang otonom ditandai oleh objek-objek seperti sawah menguning,
gunung menjulang, petani yang meluku, sungai dengan air gemercik, dan anak-anak kecil berlari hadir pada kanvas berpigura ukiran. Suatu gambaran keindahan dan keserasian yang disindir dengan istilah “mooi van Indie“. Lukisan alam desa nan cantik mempesona yang seringkali menyembunyikan cerita tentang kemiskinan, kemelaratan, kelaparan, peruncingan stratifikasi sosial, dan otoritarianisme laten.
Meskipun terdapat cukup sumber tertulis untuk melacak keberadaan desa yang berotonomi, tapi sumber-sumber yang menyajikan data sebaliknya juga melimpah, terutama dengan hadirnya tulisan para sarjana sejarah Perancis yang menekankan metode kritik atas sejarah. Hanif Nurcholis (2011:21-26), mengikuti catatan Soetardjo, menginventarisir sebelas isi otonomi desa yaitu : (a) otonomi di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat yang dicirikan oleh sistem keamanan lingkungan, penjagaan sistem pengairan serta penjagaan lumbung desa, (b) otonomi di lapangan pertanian yang dicirikan dengan kesediaan desa memikul tanggung jawab ketersediaan pangan warga desa, (c) otonomi di bidang keagamaan yang ditandai oleh adanya petugas khusus yang ditunjuk mengatur dan menyelenggarakan acara keagamaan, (d) otonomi di bidang kesehatan masyarakat yang dicirikan oleh kewajiban bersama menjaga kebersihan lingkungan, (e) otonomi di bidang pengajaran yang dicirikan oleh kewajiban desa mendorong terlaksananya program wajib belajar, (f) otonomi desa di bidang perkreditan yang dicirikan dengan hadirnya lumbung desa yang menyelenggarakan usaha simpan pinjam hasil panen, (g) otonomi di bidang pasar desa dimana desa memiliki pasar sendiri, (h) otonomi atas hak tanah yang ditandai dengan dimilikinya hak tanah desa, (i) otonomi di bidang gotong royong dimana desa dapat mengerahkan masyarakat untuk bekerja bakti, (j) otonomi di bidang sinoman, biodo atau arisan sebagai representasi pertangungan bersama kewajiban antar warga, dan (k) otonomi di bidang pengadilan desa yang ditandai dengan adanya hakim perdamaian desa yang dijabat secara otomatis oleh kepala desa.
Jika tidak dikategorikan sebagai pengelompokan sifat yang dipaksakan, maka daftar panjang Nurcholis di atas lebih merupakan rincian dari tindakan penyelenggaraan urusan pemerintah desa. Tindakan-tindakan mana sebagian berasal dari
kebiasaan yang sudah berakar secara turun temurun, dan sebagian lagi berasal dari pelaksanaan program pemerintah. Otonomi di bidang kesehatan dan pengajaran jelas merupakan program pemerintah yang diwajibkan bagi desa. Sementara otonomi perkreditan, pasar desa, serta otonomi sinoman, biodo atau arisan adalah pengulangan atas definisi otonomi di bidang ekonomi. Sehingga dengan demikian, daftar panjang Nurcholis dapat disingkat menjadi hanya lima bentuk dan isi otonomi desa yaitu (a) otonomi di bidang ketentraman dan ketertiban, (b) otonomi di lapangan pertanian, (c) otonomi di bidang keagamaan, (d) otonomi di bidang jasa perekonomian, dan (e) otonomi desa di bidang pengadilan desa.
Sebagai suatu gerak dinamis dari upaya yang dilandasi motivasi, otonomi desa, sampai sekian jauh adalah capaian yang patut dirayakan. Tetapi pertanyaan kecil mengapung ditengah lautan kegembiraan. Apakah semua capaian diatas menandakan menangnya desa dalam pertempuran memperebutkan posisi pusat dari hubungan antar agen? Atau dalam formulasi pertanyaan yang lebih teknis: apakah otonomi desa yang ada sekarang adalah harapan dan tujuan desa?
Sebuah Cita-Cita
Terhadap pertanyaan ini, semua pendukung cita-cita otonomi desa tentu akan menjawab : belum. Desa yang disebut otonom adalah desa dengan pengaturan rumah tangga, yang meminjam kalimat Soetardjo (dalam Nurcholis, 2011:21), “sangat luas”. Luasnya otonomi desa disebabkan oleh faktor pembentukan desa atas inisyatif kelompok-kelompok penduduk, baik berdasarkan geneologis, teritorial, maupun campuran antara keduanya, yang bertujuan membentuk kesatuan masyarakat hukum yang relatif bebas dari kekuatan luar.
Otonomi Desa Yang Diakui dan Di Lindungi Menurut UUD 1945A. Otonomi Desa Yang Diakui dan Di Lindungi Menurut UUD 1945
Otonomi desa yang merupakan otonomi asli telah diamanatkan dalam Konstitusi Republik indonesia yakni dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2), yaitu sebagai berikut:Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukumadat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya, Rozali Abdullah dalam bukunya menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, juga mengakui hak otonomi asli yang melekat pada Desa. Dia mengatakan bahwa:Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa sebagai perwujudan demokrasi.[1]Dalam wacana politik-hukum, dikenal adanya dua macam konsep hak berdasarkan asal usulnya. Masing-masing hak berbeda satu sama lainnya. Pertama, yaitu hak yang bersifat berian (hak berian), dan kedua adalah hak yang merupakan bawaan yang melekat pada sejarah asal usul unit yang memiliki otonomi itu (hak bawaan). Dengan menggunakan dua perbedaan ini, maka digolongkan bahwa otonomi daerah yang dibicarakan banyak orang dewasa ini adalah otonomi yang bersifat berian. Oleh Karena itu wacana bergeser dari hak menjadi wewenang (authority). Kewenangan selalu merupakan pemberian, yang selalu harus dipertanggungjawabkan. Selain itu, konsep urusan rumah tangga daerah hilang diganti dengan konsep kepentingan masyarakat. Dengan demikian, otonomi daerah merupakan kewenangan pemerintahan daerah untuk mengatur kepentingan masyarakat di daerah.Dalam Undang-Undang Dasar 1945, konsep hak yang bersifat bawaan inilah yang melekat pada “daerah yang bersifat istimewa” yang memiliki “hak asal-usul”. Karena itu, berbeda dengan “pemerintah daerah”, desa dengan otonomi desa, yang muncul sebagai akibat diakuinya hak asal usul dan karenanya bersifat istimewa itu, memiliki hak bawaan. Hak bawaan dari desa sebagai susunan asli itu setidaknya mencakup hak atas wilayah (yang kemudian disebut sebagai wilayah hak ulayat), sistem pengorganisasian social yang ada di wilayah yang bersangkutan (sistem kepemimpinan termasuk didalamnya), aturan-aturan dan mekanisme-mekanisme pembuatan aturan di wilayah yang bersangkutan, yang mengatur seluruh warga (“asli” atau pendatang) yang tercakup di wilayah desa yang bersangkutan. Sedangkan pengertian otonomi desa sesuai dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang Kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya disarikan secara tersirat dan tidak memberikan definisi secara umum.Otonomi Desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan Utuh oleh karena itu baik daerah bahkan negara seharusnya memberikan hak kepada desa yang seluas-
luasnya untuk melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Namun tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pengakuan terhadap otonomi desa, tidak terlepas dari adanya hak asal-usul desa, karena desa telah ada sejak sebelum Kolonial Belanda Masuk Keindonesia. Hal ini dibenarkan oleh Nasroen, dia mengatakan bahwa:Desa di Indonesia telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lampau. Dari zaman ke zaman, desa, nagari, marga ini ada dan tetap ada sampai dewasa ini. Majapahit telah hilang, demikian pun Sriwijaya, Atjeh, Bugis, Minangkabau, Mataram dan sebagainya. Hindia Belanda, Pendudukan Jepang telah lenyap, tetapi desa, nagari, marga, itu tetap ada. Dari jalan sejarah ini, sebagai bukti dapat diambil kesimpulan bahwa sesuatu negara akan tetap ada, selama desa, nagari, marga itu ada, asal negara itu sanggup menyatukan dirinya dengan desa, nagari, dan marga.[2]
Sebagai bukti bahwa desa itu telah ada beratus-ratus tahun lalu, dapat dilihat dari peninggalan sejarah berupa tulisan pada benda benda sejarah. Menurut Bayu Surianinggrat dari tulisan prasasti-prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa:1. Desa sebagai lembaga pemerintahan terendah telah ada sejak dahulu kala dan bukanlah impor dari luar indonesia, malah murni bersifat indonesia;2. Tampaknya desa adalah tingkat yang langsung dibawah kerajaan. Dengan kata lain, pada waktu itu terdapat sistem pemerintahan di daerah dua tingkat;3. Masyarakat Indonesia sejak dahulu kala telah mengenal sistem pemerintahan di daerah, dan yang sekarang menjadi hakikat dari asas-asas penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, swantanra (yaitu yang disebut sekarang sebagai otonomi atau hak untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri);4. Terdapat jenis-jenis desa, antara lain Desa Kramat, Desa Perdikan, dan sebagainya dengan hak-hak khusus.[3]
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat pemaknaan bahwa desa telah ada jauh sebelum Negara Indonesia terbentuk. Oleh karena itu suatu hal yang sangat wajar apabila adanya pengakuan terhadap otonomi desa.Desa memiliki hukumnya tersendiri seperti hukum kebiasaan (hukum adat) yang hidup dan terpelihara dalam masyarakatnya dan juga memiliki sistem kepengurusan wilayah desanya tersendiri seperti kepengurusan mengenai pasar desa, lumbung desa, dan lain-lain. Begitu pula desa dalam Kecamatan Walea Besar Kabupaten Tojo Una-Una juga memiliki adat istiadatnya seperti hukumnya sendiri dan sistem kepengurusan wilayah desanya tersendiri. Contohnya apabila seseorang terbukti mencuri buah kelapa atau mencuri ayam, dihukum dengan cara menggantungkan buah kelapa/ayam yang dicurinya dileher si pencuri tersebut kemudian si pencuri tersebut disuruh berteriak sepanjang jalan dan disaksikan oleh penduduk desa sambil mengatakan “saya pencuri ayam/buah kelapa dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi”, atau diberi sanksi lain seperti melakukan penimbunan terhadap jalan-jalan desa yang rusak atau berlubang. Namun sanksi moral ini di peruntukan bagi pelanggaran-pelanggaran bisa. Kemudian mengenai kepengurusan wilayah desanya, desa di Kecamatan Walea Besar Kabupaten Tojo
Una-Una melakukan juga kepengurusan/pengelolaan pasar desa ataupun pengelolaan hasil perkebunan maupun hasil laut untuk kepentingan perekonomian desanya. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan juga pengaruh dampak dari peraturan perundang-undangan nasional (hukum positif) ataupun dampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, baik hukum adatnya maupun kepengurusan wilayahnya tidak terlaksana lagi sebagaimana mestinya. Padahal sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan dan efektif dilaksanakan maka harus didukung dan dilindungi karena merupakan wujud otonomi asli bagi desa.Pemberian Otonomi Kepada Desa, bukan hanya diberikan kepada desa yang definitif atau dengan kata lain Desa asli, melainkan pemberian otonomi desa juga di berikan oleh Undang-Undang baik itu Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah kepada Desa administratis seperti apa yang dikatakan oleh HAW. Widjaja dalam Bukunya:Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sementara itu, terhadap desa di luar desa geneologis yaituh desa yang bersifat administrasi seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.[4]
[1] Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Op. Cit, hlm. 168.[2] Nasroen, Daerah Otonom Tingkat Terbawah. Beringin Tranding Company, Jakarta, 1955, hlm. 41.[3] Bayu Surianingrat, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Aksara Baru, Jakarta, 1981, hlm. 18.
[4] HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 148.
Kelurahan, di Mana Dudukmu?OPINI | 31 October 2012 | 10:13 Dibaca: 2263 Komentar: 0 0
Kelurahan adalah unit terdepan pemerintahan. Segala urusan pemerintah tumpah ruah di kelurahan. Mulai dari mengurusi orang kawin (surat keterangan belum pernah kawin), orang lahir (surat pengantar akte kelahiran), orang dewasa (surat pengantar KTP), hingga orang mati (surat pengantar keterangan kematian), diurusi oleh kelurahan. Terlepas dari satire iklan rokok dimana pencari layanan bertemu jin yang juga bisa disuap, gambaran tentang kelurahan sebenarnya merupakan potongan mozaik pemeri ntahan yang menarik.
Kelurahan, pertama kali dikenal ketika negara orde baru menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam penjelasan umum undang-undang dimaksud disebutkan bahwa kelurahan adalah suaatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah di bawah Camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Kelurahan, dengan demikian, berbeda dari desa pada aspek “hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri”. Desa boleh menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, kelurahan tidak.
Local State Government
Alasan mengapa kelurahan tidak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri tergambar dalam pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Kelurahan adalah desa yang berada di Ibukota Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya dan Kota Administratif. Dengan asumsi bahwa desa-desa dalam wilayah itu lebih mencirikan lingkungan masyarakat perkotaan dibanding perdesaan, dilakukan perubahan statusnya menjadi kelurahan. Demikianlah, desa dalam lingkup ibukota dan kota berubah menjadi kelurahan. Jabatan lurah diisi oleh pegawai negeri sipil, sama halnya dengan perangkat kelurahan.
Kelurahan merupakan bentuk local state government atau pemerintah negara pada level masyarakat lokal. Ia lebih mewakili kepentingan negara ketimbang kepentingan masyarakat. Beban penanganan masalah kemasyarakatan bukan pada kelurahan. Ia merupakan beban kepala kelurahan. Dalam pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 disebutkan dengan jelas bahwa kepala kelurahan adalah penyelenggara dan penanggung jawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Konstruksi ini mengingatkan kita pada “kewenangan atributif” yang dimiliki Gubernur, Bupati, Walikota dan Camat. Kewenangan yang melekat pada pejabat dan bukan organisasi pemerintahan. Kewenangan mana bersumber dari kekuasaan presiden dan delegasikan kepada para pejabat yang menempati level pemerintahan di bawahnya.
Kelurahan pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 memiliki kedudukan yang kokoh. Meski otonomi berhenti di tingkat Kabupaten/Kota, sukar untuk menampik kesan bahwa kelurahan berposisi sebagai organisasi kekuasaan tingkat 5 dibawah negara, propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Ada pula kesan bahwa kelurahan merupakan kelas bergengsi berikut yang dapat digapai oleh desa apabila desa telah mencapai kemajuan.
Perubahan Setengah Hati
Perubahan paradigma kekuasaan seiring gelora semangat reformasi tercermin dalam politik pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah memberi kekuasaan pengaturan kelurahan dan desa kepada Kabupaten/Kota. Bertolak pada pemikiran bahwa otonomi berhenti sampai daerah Kabupaten/Kota, undang-undang ini memandang tidak lagi diperlukan pengaturan tentang desa dan kelurahan secara rinci. Meski kemudian muncul Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa sebagai amanat Pasal 111 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kelurahan, dalam orde reformasi hampir tidak tersentuh sama sekali.
Penjelasan umum undang-undang ini menyebutkan bahwa kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota di bawah kecamatan.Sementara kecamatan dimaknai sebagai wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota. Pengertian semacam ini bermuara pada kesimpulan bahwa kecamatan dan kelurahan adalah wilayah kerja.
Apakah itu wilayah kerja? Tidak ada definisi khusus dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai hal ini. Karenanya wilayah kerja dapat dianggap sebagai semua wilayah dimana pemerintahan bekerja. Suatu pengertian yang dapat menyesatkan siapa saja.
Sebagai wilayah kerja lurah, kelurahan adalah “unit kosong pemerintahan” atau “unit tanpa pemerintahan”. Secara teknis, hal itu bermakna kelurahan merupakan wilayah bebas. Masalah kelurahan adalah masalah masyarakat, dan karenanya, masyarakat sendiri yang menemukan, mendefinisikan serta menyelesaikan masalah-masalah dimaksud. Itulah mengapa, organisasi kemasyarakatan di tingkat kelurahan memiliki posisi yang kuat. Ia lebih kuat dari organisasi kemasyarakatan di tingkat desa. Organisasi kemasyarakatan kelurahan adalah “mitra” pemerintah kelurahan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Organisasi itu meliputi RT/RW, Karang Taruna, PKK, Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat, lembaga adat, dan lembaga lainnya yang menurut urgensinya dapat dibentuk di tingkat kelurahan.
Pemerintah kelurahan, yang direpresentasi oleh Lurah merupakan bagian dari perangkat daerah , yang bertugas memfasilitasi kebutuhan masyarakat. Ini adalah kedudukan paling ideal dari cita-cita kemandirian masyarakat. Sayang bahwa pemerintah daerah belum memahami esensinya. Meski berkedudukan “hanya”” sebagai perangkat daerah, lurah masih diatur sebagaimana profilnya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979. Suatu cara pengaturan yang menjadikan kelurahan kehilangan identitasnya.
Tanpa Kebijakan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan merupakan produk lanjutan, sepanjang tentang pemerintahan kelurahan, dari undang-undang pemerintahan daerah tahun 1999. Kelurahan tetap merupakan wilayah “tanpa pemerintahan”, sementara lurah adalah perangkat daerah kabupaten/kota.
Implementasi undang-undang pemerintahan daerah yang baru ini menandai sebuah lompatan kecil sejarah. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2006 disebutkan bahwa lurah mendapatkan limpahan sebagian urusan kabupaten/kota. Urusan yang dilimpahkan kepada kelurahan adalah (1) urusan yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat kelurahan, dan (2) lebih efektif dan efisien dikerjakan oleh kelurahan.
Pelimpahan sebagian urusan memungkinkan lurah bekerja lebih terarah, lebih efektif, dan lebih “mengurus”. Lurah dapat bertindak sebagai perangkat daerah yang memutuskan masalah-masalah masyarakat sekaligus sebagai orang yang bertindak atas nama Bupati/Walikota dalam urusan-urusan tertentu. Pemerintah Kota Depok memberikan kepada lurah kekuasaan untuk mengurus pemeliharaan TPS, rekomendasi ijin usaha, pelaksanaan trantibum, pendataan penyakit menular, dan penyediaan data penderita gizi buruk kepada lurah.
Pelimpahan sebagian urusan kepada lurah disertai dengan pembuatan standar pelayanan minimal (SPM) dan anggaran. Jumlah anggaran yang diberikan kepada lurah bervariasi. Ada kelurahan yang mendapatkan dana 700 juta. Ada juga yang menerima 1 milyar rupiah. Tergantung pada urusan yang “diminta” lurah.
Kabupaten/kota lain tidak melimpahkan sebagian urusan. Kelurahan dijadikan sebagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memiliki rencana kerja anggaran (RKA) tahunan sendiri. Meski pada kenyataannya, pos-pos pengeluaran dan belanja diatur secara rigid oleh pemerintah kabupaten kota.
Apapun itu, lurah sudah saatnya diberdayakan. Mendudukan lurah tanpa melimpahkan padanya sebagaian urusan atau menjadikan organisasinya sebagai
satuuan kerja perangkat daerah sama saja dengan menjadikannya “kaisar boneka”. Pemerintah daerah kabupaten/kota sudah saatnya memilih di antara keduanya. Jika tidak memilih keduanya, mungkin sebaiknya kelurahan dihapus saja.