jurnal nano untuk belajar

19
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Nanopartikel 1.1.1 Definisi nanopartikel Nanopartikel adalah partikel berukuran antara 1-1000 nanometer. Nanopartikel dalam bidang farmasi mempunyai dua pengertian yaitu senyawa obat yang melalui suatu cara tertentu dibuat berukuran nanometer yang disebut dengan nanokristal dan senyawa obat dienkapsulasi dalam suatu sistem pembawa tertentu berukuran nanometer yang disebut dengan nanocarrier (Rachmawati, 2007). 1.1.2 Jenis Nanopartikel Pada dasarnya, nanopartikel dapat dibagi menjadi dua yaitu nanokristal dan nanocarrier. Nanocarrier memiliki berbagai macam jenis seperti nanotube, liposom, nanopartikel lipid padat (solid lipid nanoparticle/SLN), misel, dendrimer, nanopartikel polimerik dan lain- lain (Rawat et al., 2006). a. Nanokristal Nanokristal adalah penggabungan dari ratusan atau ribuan molekul yang membentuk kristal, terdiri dari senyawa obat murni dengan penyaluran tipis dengan menggunakan surfaktan. Pembuatan nanokristal disebut nanonisasi. Tidak seperti nanocarrier, nanokristal hanya memerlukan sedikit surfaktan untuk stabilisasi permukaan karena gaya elektrostatik sehingga mengurangi kemungkinan keracunan karena bahan tambahan untuk pembawa (Rawat et al., 2006). Ketika ukuran partikel dikurangi hingga kurang dari 100 nanometer, sifat partikel tersebut akan berubah. Berkurangnya ukuran partikel akan meningkatkan kelarutan obat sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas obat dalam tubuh. Oleh karena itu, pengembangan obat berukuran nano, dengan menggunakan teknik seperti miling, homogeniser tekanan tinggi, spray-drying, dan nano-presipitasi, terus dilakukan untuk membuat senyawa obat nanokristal. Selain itu penggunaan nanokristal juga dapat mencegah penggunaan pelarut berbahaya dan surfaktan dalam pembuatan larutan obat suntik. Nanokristal juga 3

Upload: novela-manuella

Post on 11-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

t

TRANSCRIPT

  • BAB 1

    TINJAUAN PUSTAKA

    1.1 Nanopartikel

    1.1.1 Definisi nanopartikel Nanopartikel adalah partikel berukuran antara 1-1000 nanometer. Nanopartikel dalam

    bidang farmasi mempunyai dua pengertian yaitu senyawa obat yang melalui suatu cara

    tertentu dibuat berukuran nanometer yang disebut dengan nanokristal dan senyawa obat

    dienkapsulasi dalam suatu sistem pembawa tertentu berukuran nanometer yang disebut

    dengan nanocarrier (Rachmawati, 2007).

    1.1.2 Jenis Nanopartikel Pada dasarnya, nanopartikel dapat dibagi menjadi dua yaitu nanokristal dan nanocarrier.

    Nanocarrier memiliki berbagai macam jenis seperti nanotube, liposom, nanopartikel lipid

    padat (solid lipid nanoparticle/SLN), misel, dendrimer, nanopartikel polimerik dan lain-

    lain (Rawat et al., 2006).

    a. Nanokristal

    Nanokristal adalah penggabungan dari ratusan atau ribuan molekul yang membentuk

    kristal, terdiri dari senyawa obat murni dengan penyaluran tipis dengan menggunakan

    surfaktan. Pembuatan nanokristal disebut nanonisasi. Tidak seperti nanocarrier,

    nanokristal hanya memerlukan sedikit surfaktan untuk stabilisasi permukaan karena gaya

    elektrostatik sehingga mengurangi kemungkinan keracunan karena bahan tambahan untuk

    pembawa (Rawat et al., 2006).

    Ketika ukuran partikel dikurangi hingga kurang dari 100 nanometer, sifat partikel tersebut

    akan berubah. Berkurangnya ukuran partikel akan meningkatkan kelarutan obat sehingga

    dapat meningkatkan bioavailabilitas obat dalam tubuh. Oleh karena itu, pengembangan

    obat berukuran nano, dengan menggunakan teknik seperti miling, homogeniser tekanan

    tinggi, spray-drying, dan nano-presipitasi, terus dilakukan untuk membuat senyawa obat

    nanokristal. Selain itu penggunaan nanokristal juga dapat mencegah penggunaan pelarut

    berbahaya dan surfaktan dalam pembuatan larutan obat suntik. Nanokristal juga

    3

  • 4

    memungkinkan pengembangan formulasi sediaan melalui rute pemberian dimana ukuran

    partikel adalah faktor yang kritis seperti obat tetes mata, sediaan topikal, cairan infus dan

    obat suntik (Rachmawati, 2007).

    Berkurangnya ukuran partikel dapat mempengaruhi efisiensi distribusi obat dalam tubuh

    karena dengan berkurangnya ukuran partikel maka akan meningkatkan luas permukaan

    partikel. Berkurangnya ukuran partikel juga meningkatkan disolusi dan kejenuhan larutan

    yang berhubungan dengan peningkatan kinerja obat secara in vivo. Jadi, sifat-sifat

    nanokristal secara umum tidak sama dengan senyawa obat tersebut dalam ukuran partikel

    yang lebih besar (Rachmawati, 2007).

    b. Nanotube

    Nanotube adalah lembaran atom yang diatur dalam bentuk tube atau struktur menyerupai

    benang dalam skala nanometer. Struktur ini memiliki rongga di tengah, dan memiliki

    struktur menyerupai sangkar yang berbahan dasar karbon (Rawat et al., 2006).

    Gambar 1.1 Nanotube (Rawat et al., 2006).

    Terdapat dua macam nanotube, nanotube berdinding tunggal dan nanotube berdinding

    ganda. Nanotube berdinding tunggal dapat digunakan sebagai sistem pembawa obat dan

    gen karena bentuk fisiknya yang menyerupai asam nukleat. Nanotube berdinding ganda

    dapat pula digunakan sebagai sistem pembawa untuk transformasi khususnya untuk sel

    bakteri (E. coli) dan untuk elektroporasi sel dalam skala nano (Rawat et al., 2006).

    c. Liposom

    Liposom adalah konsentrat vesikel lapis ganda yang didalamnya terdapat cairan yang

    dibungkus dengan membran lipid lapis ganda yang umumnya terbuat dari fosfolipid alam

    atau sintesis dan kolesterol (Rawat et al., 2006).

  • 5

    Gambar 1.2 Liposom (Rawat et al., 2006).

    Liposom terbentuk ketika lapisan lipid yang tipis terhidrasi dan sejumlah besar kristal cair

    lapis ganda menjadi cair dan mengembang. Selama agitasi, lembaran lipid yang terhidrasi

    terpisah dan masing-masing bergabung membentuk vesikel yang mencegah interaksi

    antara inti hidrokarbon dari lapisan ganda dengan air disekitarnya. Liposom biasanya

    digunakan seebagai pembawa obat atau sedian kosmetik untuk mempertahankan

    kelembaban kulit (Rawat et al., 2006; Rachmawati, 2006).

    d. Nanopartikel Lipid Padat (Solid Lipid Nanopartikel/SLN)

    SLN merupakan pembawa koloidal berbahan dasar lipid padat berukuran submikronik (20-

    1000 nm) yang terdispersi dalam air atau dalam larutan surfaktan dalam air. SLN berisi inti

    hidrofob yang padat dengan disalut oleh fosfolipid lapis tunggal. Inti padat berisi senyawa

    obat yang dilarutkan atau didispersikan dalam matrik lemak padat yang mudah mencair.

    Rantai hidrofob fosfolipid mengelilingi pada matrik lemak. Emulgator ditambahkan pada

    sistem sebagai penstabil fisik (Rawat et al., 2006).

    Gambar 1.3 Nanopartikel lipid padat (Rawat et al., 2006).

    SLN dibuat dengan berbagai macam teknik seperti homogenisasi tekanan tinggi,

    pembentukan mikroemulsi, presipitasi, dan sebagai nanopelet lipid dan liposfer (Rawat et

    al., 2006).

    e. Misel

    Misel adalah agregat molekul ampifatik dalam air dengan bagian nonpolar berada pada

    bagian dalam dan bagian polar pada bagian luar yang terpapar air (Rawat et al., 2006).

  • 6

    Gambar 1.4 Misel (Rawat et al., 2006).

    Dalam lingkungan air, kopolimer dengan sifat ampifilik akan membentuk misel polimerik

    berukuran mesoskopik (1-100 nm). Dengan struktur demikian obat yang bersifat hidrofob

    (sukar larut dalam air) akan terdisposisi di bagian dalam inti misel sehingga struktur ini

    sangat cocok sebagai pembawa obat yang tidak larut air. Dengan obat didalam inti

    hidrofob misel dan lapisan luar yang hidrofil membantu dispersi misel dalam media air.

    Hal ini mengakibatkan misel cocok untuk sediaan intravena. Ukurannya yang dalam

    rentang nanometer menyebabkan misel dapat menghindari sistem retikuloendotelial dan

    membantu menembus sel endotelial. Misel memiliki kegunaan dalam stabilitas

    termodinamik di dalam larutan fisiologi yang mengakibatkan disolusi yang lambat secara

    in vivo (Rawat et al., 2006; Rachmawati, 2006).

    f. Dendrimer

    Dendrimer adalah senyawa makromolekul yang terdiri atas cabang-cabang di sekeliling

    inti pusat yang ukuran dan bentuknya dapat diubah sesuai dengan yang diinginkan (Rawat

    et al., 2006; Rachmawati, 2006).

    Gambar 1.5 Dendrimer (Rawat et al., 2006).

    Struktur dendrimer mempunyai tingkat keseragaman molekular, dengan bentuk dan

    karkteristik tertentu dan unik. Molekul obat dapat dimuatkan baik di dalam dendrimer

    ataupun diadsorbsi atau diikat pada permukaannya. Dendrimer hidrofil cocok untuk zat

    penyalut untuk perlindungan dan penghantaran obat menuju situr yang spesifik sehingga

    mengurangi toksisitas obat (Rawat et al., 2006; Rachmawati, 2006).

  • 7

    g. Nanopartikel Polimerik

    Nanopartikel adalah struktur koloidal berukuran nanometer yang tediri dari polimer

    sintesis atau semisintesis dengan rentang ukuran 10-1000 nm. Berdasarkan metode

    pembuatannnya, dapat diperoleh nanosfer atau nanokapsul yang didalamnya terdapat obat

    baik dengan cara dilarutkan, dijerat, dikapsulasi atau diikatkan pada matrik nanopartikel

    (Rawat et al., 2006).

    Nanopartikel polimerik meliputi nanokapsul dan nanosfer. Nanokapsul terdiri atas polimer

    yang membentuk dinding yang melingkupi inti dalam tempat di mana senyawa obat

    dijerat. Nanosfer dibuat dari matrik polimer padat dan di dalamnya terdispersi senyawa

    obat (Delie and Blanco, 2005).

    A B

    Gambar 1.6 Perbandingan antara nanokapsul (A) dan nanosfer (B) (Delie and Blanco, 2005).

    Polimer sintesis yang biasa digunakan sebagai bahan untuk nanopartikel polimerik antara

    lain poli(asam laktat) (PLA), poli(asam glikolat) (PGA), poli(asam laktat-glikolat) (PLGA)

    poli(metilmetakrilat) (PMMA), poli(alkilsianoakrilat) (PACA), dan poli(metilidenmanolat)

    (PMM). Beberapa polimer alam juga digunakan sebagai bahan dasar pembuatan

    nanopartikel polimerik. Polimer alam tersebut antara lain kitosan, gelatin, albumin, dan

    natrium aliginat (Rawat et al., 2006; Delie and Blanco, 2005).

    Material polimer memiliki sifat-sifat yang menguntungkan meliputi kemampuan

    terdegradasi dalam tubuh, modifikasi permukaan, dan fungsi yang dapat disesuaikan

    dengan keinginan. Sistem polimerik dapat mengatur sifat farmakokinetik dari obat yang

    dimuatkan yang mengakibatkan obat berada pada keadaan stabil. Kelebihan-kelebihan

    tersebut membuktikan bahwa nanopartikel polimerik merupakan sistem yang efektif dalam

    menjerat atau mengenkapsulasi obat-obat bioteknologi yang biasanya sensitif terhadap

    perubahan lingkungan. Nanopartikel polimerik yang mengikat peptida dapat digunakan

  • 8

    sebagai penghantaran melalui oral yang diperpanjang dan dapat meningkatkan penyerapan

    dan ketersediaan hayati (Rawat et al., 2006).

    Dengan perekayasaan, nanopartikel polimerik dapat ditargetkan untuk menghantarkan

    konsentrasi senyawa obat yang lebih tinggi menuju lokasi yang dikehendaki. Tetapi

    partikel pembawa obat akan dibuang dari sistem sirkulasi oleh makrofag. Hal tersebut

    adalah rintangan utama bila sel non-fagosit dalam tubuh merupakan sasaran pengobatan

    (Rawat et al., 2006).

    Disamping manfaat dan kelebihannya, nanopartikel polimerik memiliki keterbatasan

    seperti sitotoksisitasnya. Ukurannya yang kecil akan membuat makrofag memasukkannya

    dalam sel dan proses degradasi dalam sel dapat memberikan efek sitotoksik. Selain itu,

    metode produksi dalam skala besar yang sukar dilakukan disamping usaha yang cukup

    besar untuk mensintesis polimer dan kopolimer yang sesuai dengan sifat hidrofob dan

    hidrofil dari obat (Rawat et al., 2006).

    1.1.3 Tujuan Pembuatan Nanopartikel Tujuan pembuatan nanopartikel antara lain: meningkatkan stabilitas senyawa aktif

    terhadap degradasi lingkungan (oksidasi, hidrolisis, penguraian enzimatis), memperbaiki

    sistem penghantaran obat melalui suatu rute tertentu, memperbaiki absorbsi senyawa

    seperti makromolekul, mempermudah penanganan bahan toksik dan mengurangi

    sensitisasi terhadap operator, mengatasi masalah ketidakcampuran zat aktif dalam sediaan,

    menutupi rasa dan bau yang kurang menyenangkan suatu zat aktif, mengurangi efek iritasi

    zat aktif terhadap saluran cerna, memodifikasi pelepasan zat aktif, dan meningkatkan

    kelarutan dalam air

    1.1.4 Kelebihan Nanopartikel Nanopartikel memiliki beberapa kelebihan, antara lain: dapat menghantarkan obat dengan

    lebih baik ke unit yang kecil dalam tubuh; mengatasi resistensi yang disebabkan oleh

    barier fisiologi dalam tubuh yang disebabkan sistem penghantaran obat yang langsung

    dipengaruhi oleh ukuran partikel; meningkatkan efisiensi penghantaran obat dengan

    meningkatkan kelarutan dalam air obat-obat yang susah larut dalam air sehingga

    meningkatkan bioavailabilitas; dapat ditargetkan, sehingga dapat mengurangi toksisitas

    dan meningkatkan efisiensi distribusi obat; memungkinkan penghantaran obat hasil

  • 9

    rekayasa bioteknologi melalui berbagai anatomi tubuh yang ekstrim misalnya sawar otak,

    cabang saluran sistem pulmonari, tight junction dari sel epitel usus, dan lain sebagainya;

    dan memungkinkan penetrasi yang lebih baik pada tumor yang memiliki pori-pori

    berdiameter 100-1000 nm (Rawat et al., 2006).

    1.1.5 Kekurangan Nanopartikel Disamping kelebihannya, nanopartikel juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain:

    nanopartikel susah dalam penanganan dan penyimpanan karena mudah teragregasi;

    nanopartikel tidak cocok untuk obat dengan dosis besar; karena ukurannya kecil,

    nanopartikel dapat memasuki bagian tubuh yang tidak diinginkan yang dapat menimbulkan

    akibat yang berbahaya, misalnya dapat menembus membran inti sel dan menyebabkan

    kerusakan genetik yang tidak diinginkan atau mutasi (Rawat et al., 2006).

    1.1.6 Pembuatan Nanopartikel Sifat fisikokimia dari partikel sangat mempengaruhi tingkat absorbsi dalam saluran cerna.

    Dan sifat tersebut dipengaruhi oleh metode pembuatan nanopartikel polimerik. Pemilihan

    metode pembuatan nanopartikel bergantung pada sifat obat dan polimer (Delie and Blanco,

    2005). Secara konvensional, secara umum nanopartikel dibuat dengan dua metode, yaitu:

    (i) polimerisasi monomer sintesis; dan (ii) dispersi polimer sintesis atau makromolekul

    alam (Soppimath et al., 2001; Delie and Blanco, 2005).

    Pembuatan nanopartikel dengan reaksi polimerisasi telah dikembangkan untuk polimer

    seperti poli(metilmetakrilat) (PMMA), poli(alkilsianoakrilat) (PACA), dan

    poli(metilidenmanolat) (PMM). Pada dasarnya, monomer yang tidak larut air didispersikan

    dalam fase air kemudian polimerisasi diinduksi dan dikendalikan dengan penambahan

    inisiator kimia atau dengan variasi dalam parameter fisik seperti pH, penggunaan radiasi

    sinar dan surfaktan sebagai penstabil. Senyawa obat akan terjerat dalam dinding polimer ketika ditambahkan ke dalam medium polimerisasi atau diadsorbsi pada permukaan

    partikel yang sudah terbentuk (Delie and Blanco, 2005).

  • 10

    A B

    Gambar 1.7 Perbandingan antara obat yang terjerat dalam polimer (A) dan yang teradsorpsi dipermukaan partikel (B) (Delie and Blanco, 2005).

    Pembuatan nanopartikel menggunakan polimer, berdasar pada pembentukan endapan. Pada

    prinsipnya, larutan organik yang mengandung polimer diemulsikan dalam fase air dengan

    atau tanpa surfaktan. Kemudian pelarut organik dihilangkan dengan berbagai macam cara

    seperti penguapan, difusi atau salting out dengan disertai pengadukan hingga terbentuk

    partikel. (Delie and Blanco, 2005). Beberapa metode telah dikembangkan dalam

    pembuatan nanopartikel dengan menggunakan polimer PLA, PLG, PLGA dan poly(-kaprolakton) dengan metode dispersi polimer (Soppimath et al., 2001), antara lain:

    a. Metode Penguapan Pelarut

    Dalam metode ini, polimer dilarutkan dalam pelarut organik, misalnya diklorometan,

    kloroform atau etil asetat. Zat aktif dilarutkan atau didispersikan dalam fase organik

    tersebut, dan campuran ini kemudian diemulsikan dalam air untuk membentuk emulsi fase

    organik dalam fase air, misalnya emulsi dengan menggunakan surfaktan atau emulgator

    seperti gelatin, PVA, polisorbat-80, poloksamer-188, dan lain-lain. Setelah terbentuk

    emulsi yang stabil, pelarut organik diuapkan baik dengan meningkatkan temperatur atau

    dengan pengadukan yang kontinu. Metode emulsi ganda juga telah digunakan untuk

    membuat nanopartikel yang berisi obat yang larut air. Kedua metode tersebut

    menggunakan homogenisasi dengan kecepatan tinggi atau sonikasi (Soppimath et al.,

    2001). Prosedur tersebut hanya dapat digunakan dalam skala lab, karena untuk produksi

    pilot skala besar diperlukan metode alternatif yang menggunakan emulsifikasi dengan

    energi rendah.

    b. Metode Emulsifikasi Spontan/Difusi Pelarut

    Metode emulsifikasi spontan/difusi pelarut adalah hasil modifikasi dari metode penguapan

    pelarut. Dalam metode ini, fase minyak yang digunakan berupa pelarut yang dapat larut

    dengan air (aseton atau metanol) yang ditambahkan dalam pelarut organik yang tidak larut

  • 11

    air (diklorometan atau kloroform). Karena difusi yang terjadi secara spontan dari pelarut

    yang larut air, terbentuk turbulensi antar muka diantara dua fase sehingga membentuk

    partikel yang lebih kecil. Bersamaan dengan berdifusinya pelarut larut air, ukuran partikel

    yang terbentuk semakin kecil (Soppimath et al., 2001).

    c. Modifikasi Metode Emulsifikasi Spontan/Difusi Pelarut

    Metode ini adalah hasil modifikasi lanjutan dari penguapan pelarut. Dibandingkan dengan

    metode emulsifikasi spontan/difusi pelarut, fase minyak yang digunakan dalam metode ini

    adalah campuran dari 2 pelarut organik yang bercampur air seperti etanol/aseton atau

    metanol/aseton, dan bukannya campuran pelarut yang dapat larut dengan air dengan

    pelarut organik yang tidak larut air seperti aseton/diklorometan atau aseton/kloroform.

    Alternatif ini mencegah agregasi partikel bahkan dalam fase organik yang mengandung

    polimer dalam konsentrasi tinggi, yang mengakibatkan peningkatan hasil sehingga tepat

    digunakan untuk skala industri. Kelebihan lainnya adalah penggunaan dari pelarut

    berbahaya seperti diklorometan dapat dihindari, proses pemurnian dapat disederhanakan

    dengan menggunakan teknik ultrafiltrasi. Prosedur yang digunakan terdiri dari 3 tahap,

    yaitu quasi emulsification (pelarutan polimer dalam alkohol/aseton dan pembentukan

    emulsi dalam air), pemurnian (menggunakan ultrafiltrasi) dan proses kering-beku

    (Murakami et al., 1999).

    d. Pembuatan Nanopartikel dengan Menggunakan Teknologi Cairan Superkritis

    Cairan superkritis menjadi metode alternatif yang cukup menarik karena cairan ini

    merupakan pelarut yang ramah lingkungan dan dapat menghasilkan partikel yang memiliki

    kemurnian tinggi dan tanpa adanya pelarut yang tersisa. Secara umum prosedur yang

    dilakukan adalah sebagai berikut: bahan nanopartikel dilarutkan dalam cairan superkritis

    dibawah tekanan yang sangat tinggi kemudian larutan tersebut disemprotkan melalui

    nozzle. Ketika disemprotkan, tekanan cairan superkritis menurun, hal ini menyebabkan

    kemampuan cairan superkritis untuk melarutkan berkurang drastis sehingga partikel-

    partikel kecil akan mengendap seketika. Kelebihan lain dari penggunaan cairan superkritis

    adalah proses pembentukan partikel yang sangat kecil sehingga ukuran partikel yang

    dihasilkan sangat kecil (Gupta, 2006; Soppimath et al., 2000).

    d. Metode Spray-Drying

    Cara lain pembuatan nanopartikel dengan menggunakan polimer adalah melalui metode

    spray-drying dimana obat dilarutkan atau didispersikan ke dalam pelarut organik yang

  • 12

    mengandung polimer, kemudian disemprotkan dalam aliran udara panas. Pelarut akan

    segera menguap dan nanopartikel yang kering dapat diperoleh (Delie and Blanco, 2005).

    1.1.7 Absorbsi Nanopartikel dalam Saluran Gastrointestinal Secara fisiologi, fungsi dari saluran gastrointestinal (GI) adalah untuk mencerna dan

    menyerap nutrisi, air dan vitamin yang terkandung dalam makanan. Tetapi, saluran GI juga

    berfungsi sebagai penghalang antara lingkungan dengan sisten sirkulasi sistemik untuk

    mencegah masuknya patogen, toksin dan makromolekul yang tidak tercerna (Delie and

    Blanco, 2005; Bhardwaj et al., 2006).

    Saluran GI dilapisi dengan epitel yang terbuat dari sel-sel, diantaranya adalah sel absorpsi

    (enterosit) dan sel goblet yang mensekresi mukus. Sel-sel ini bergabung secara erat dan

    membentuk penghalang yang kuat dan dilapisi mukus. Folikel limfoid, bagian dari usus

    yang berhubungan dengan sisten limfoid (GALT) dan berperan dalam pengembangan

    respon imun mukosal, terletak di antara lapisan enterosit. Folikel limfoid terdistribusi

    menyebar atau berkelompok di dalam bagian yang disebut Peyers patches (PPs). PPs

    merupakan lapisan tunggal epitel terdiferensiasi yang terdiri dari enterosit absorptif seperti

    epitel yang terasosiasi folikel (FAE). Jumlah PPs berbeda-beda pada tiap individu dan

    spesies serta tergantung pada umur. PPs berada sepanjang usus dan jumlah terbanyak

    terdapat pada ileum. Folikel limfoid-folikel limfoid terselubungi oleh FAE yang terdiri dari

    enterosit, sel M yang didiferensiasi dari enterosit dan beberapa sel goblet. Bagian ini

    merupakan tempat awal antigen ditemukan. FAE dan sel M merupakan tempat untuk

    pengambilan partikel. Absobsi partikel khususnya, tetapi tidak hanya, terjadi pada PPs

    pada tingkat sel M. Partikel dapat melintasi PPs atau melalui lapisan enterosit. Absorbsi

    partikel terjadi sangat cepat dan merupakan mekanisme transelular dan beberapa dengan

    jalur paraselular (Delie and Blanco, 2005; Bhardwaj et al., 2006).

  • 13

    Gambar 1.8 Skema representasi dari epitel usus pada bagian Peyers patch dan detail

    FAE (Delie and Blanco, 2005).

    Sifat fisikokimia nanopartikel sangat mempengaruhi tingkat pengambilan pada usus. Dua

    faktor utama yang mempengaruhi adalah ukuran partikel dan sifat polimer yang digunakan

    untuk membuat nanopartikel. Sebelum diabsobsi, terjadi interaksi antara partikel dengan

    permukaan sel. Karena hal tersebut, sifat polimer yang digunakan untuk membuat

    nanopartikel, khususnya kesetimbangan sifat hidrofobik/hidrofilik polimer dan muatan

    permukaan, dan juga adanya senyawa obat yang terdapat pada permukaan nanopartikel

    akan mempengaruhi tingkat pengambilan. Setelah diinternalisasi, nanopartikel akan

    difagositosis oleh makrofag dan didistribusikan dalam seluruh bagian tubuh (Delie and

    Blanco, 2005).

    Selain mekanisme transselular yang telah diterangkan diatas, mekanisme transport

    nanopartikel melintasi sel usus yang memungkinkan lainnya adalah jalur paraselular

    melalui kanal air. Absorbsi paraselular adalah perlintasan obat melalui ruang antara sel

    yang berukuran dalam rentang nanometer. Pada manusia, diameter pori kanal air berukuran

    antara 4 dan 8 , sedangkan pada tikus dan kelinci berukuran sekitar 10-15 . Epitel

  • 14

    mukosal dalam usus halus berdiri dari sel yang terpolarisasi yang terhubung oleh

    sambungan antar sel yang erat (tight intercellular junctions) seluas 5000 nm tidak dapat

    menembus PPs, sedangkan pertikel berukuran antara 2000-5000 nm tetap berada pada PPs

    dan partikel berukuran

  • 15

    melepasan zat aktif secara in vitro dan in vivo, dan kemampuan penetrasi menembus barier

    fisiologis.

    a. Ukuran dan Distribusi Ukuran Nanopartikel

    Ukuran partikel mempengaruhi secara langsung terhadap keunikan sifat dari nanopartikel,

    karena itu penentuan ukuran dan distribusi ukuran nanopartikel harus dilakukan. Beberapa

    metode dapat digunakan dalam penentuan seperti penghamburan cahaya dinamis (dynamic

    light scattering/DLS), penghamburan cahaya statis (static light scattering/SLS), Ultrasonik

    spektroskopi, turbidimetri, NMR, Coulter counter, penyaringan dan lain sebagainya

    (Haskell, 2006).

    b. Morfologi Nanopartikel

    Bentuk dan keadaan permukaan nanopartikel penting untuk diketahui karena hal ini dapat

    memberikan informasi tentang sifat pelepasan obat. Untuk melihat permukaan nanopartikel

    dapat digunakan mikroskop elektron pemindaian (scanning electron microscopy/SEM),

    mikroskop elektron transmisi (transmission electron microscopy/TEM), mikroskop daya

    atom (atomic force microscopy) (Haskell, 2006).

    c. Muatan Permukaan Nanopartikel

    Muatan permukaan partikel mempengaruhi pengambilan partikel. Partikel yang hidrofob

    akan diabsorbsi lebih cepat daripada partikel yang permukaannya bersifat hidrofil. Jumlah

    partikel yang berada dalam PPs melalui rute oral berkorelasi dengan hidrofobisitas relatif

    polimer yang digunakan untuk membuat partikel. Meningkatkan hidrofobisitas partikel

    menambah permeabilitas melalui mukus tetapi mengurangi translokasi melalui dan

    melintasi sel absorpsi. Karena itu, kesetimbangan sifat hidrofil-lipofil optimum merupakan

    sifat yang perlu dimiliki oleh polimer pembentuk matrik (Bhardwaj et al., 2006). Selain itu

    muatan yang terdapat pada permukaan dapat mengakibatkan agregasi partikel dalam

    penyimpanan dan akan mempersulit partikel dalam melintasi membran plasma karena

    molekul atau partikel yang bermuatan tidak bisa melintasi membran plasma (Haskell,

    2006).

    Untuk mengetahui muatan permukaan nanopartikel dapat digunakan beberapa metode,

    antara lain penghamburan cahaya elektroforesis (electrophoretic light scattering),

    elektroforesis tube U (U-tube electrophoresis), dan fraksinasi medan elektrostatis

    (electrostatic field fractionation/electrostatic-FFF) (Haskell, 2006).

  • 16

    d. Persen Penjeratan Zat Aktif

    Persen penjeratan zat aktif ditunjukan dengan perbandingan antara jumlah obat dalam

    nanopartikel dengan jumlah teoritis obat dalam nanopartikel dalam persen (Niwa et al.,

    1993)

    %100elnanopartik dalamobat ritisjumlah teo

    elnanopartik dalamobat jumlah (%) aktifzat penjeratanPersen =

    Semakin mendekati 100%, persen penjeratan semakin baik. Persen penjeratan perlu

    diketahui untuk mengoptimasi metode sehingga bahan yang digunakan tidak banyak

    terbuang.

    e. Profil Pelepasan Zat Aktif

    Profil pelepasan zat aktif penting dalam pengembangan formula sediaan farmasi. Tingkat

    pelepasan zat aktif bergantung pada: (i) desorpsi obat yang teradsorbsi; (ii) difusi obat

    menembus matrik nanopartikel untuk nanosfer atau difusi obat menembus dinding polimer

    untuk nanokapsul; (iii) erosi matrik nanopartikel; (iv) kombinasi proses erosi matrik dan

    difusi obat (Soppimath et al., 2001).

    Metode yang digunakan dalam mengamati pelepasan zat aktif secara in vitro adalah : (i) sel

    difusi berdampingan dengan membran biologis atau membran buatan; (ii) teknik difusi

    kantung dialisis; (iii) teknik dialisis balik; (iv) ultrasentrifugasi; (v) ultrafiltrasi; (vi) teknik

    ultrafiltrasi sentrifuga (Soppimath et al., 2001).

    f. Kemampuan Penetrasi Menembus Barier Fisiologi

    Kemampuan penetrasi menembus barier fisiologis perlu diketahui karena hal ini akan

    mempengaruhi jumlah nanopartikel yang berhasil masih dalam sistem sirkulasi mengingat

    zat aktif yang dimuatkan dalam nanopartikel adalah zat yang sulit atau bahkan tidak

    memiliki kemampuan penetrasi menembus barier fisiologis (Bhardwaj et al., 2006).

    Pengamatan secara in vitro dapat menggunakan kultur sel. Lapisan sel Caco-2 didapat dari

    adenocarcinoma kolon manusia adalah cara pemeriksaan permeabilitas yang baing sering

    digunakan untuk mempelajari transpor transepitel. Lapisan sel Caco-2 dapat diubah

    menjadi sel M dengan cara kokultur dengan limfosit PPs (Bhardwaj et al., 2006).

  • 17

    Percobaan secara ex vivo dilakukan dengan menggunakan bagian usus untuk mengamati

    permeabilitas obat melalui jaringan usus mamalia. Jaringan usus yang akan digunakan

    untuk pengamatan pengambilan dan transport nanopartikel harus diperoleh dari binatang

    yang baru dikorbankan karena lapisan sel epitel akan cepat lisis (Bhardwaj et al., 2006).

    1.2 HPMCP

    Hidroksipropilmetilselulosaftalat (HPMCP) adalah polimer turunan selulosa dengan

    struktur tulang punggung polimerik selulosa yang terdiri atas struktur dasar pengulangan

    unit-unit anhidroglukosa. Tiap unit mempunyai tiga gugus hidroksil yang dapat digantikan

    oleh substituen lain (Rowe et al., 2006).

    O

    O

    OH

    OR

    CH2OR

    OR

    OH

    CH2OR'

    O

    n Gambar 1.10 Struktur molekul monomer HPMCP (Rowe et al., 2006).

    HPMCP adalah ester asam monoftalat dari HPMC yang dibuat secara esterifikasi HPMC

    dengan ftalat anhidrid. Derajat alkilasi dan karboksibenzoil menentukan sifat polimer dan

    pH larutan (Rowe et al., 2006).

    HPMCP tersedia dalam berbagai jenis, diantaranya HP-55, HP-50, HP-55 F, HP-55S.

    Angka di belakang HP menunjukkan kelarutan polimer dalam pH tersebut, S menunjukkan

    bobot molekul yang besar, sedangkan F menunjukkan produk dengan ukuran partikel kecil

    (Rowe et al., 2006).

    HPMCP merupakan serbuk berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa. HPMCP larut

    dalam aseton, campuran aseton-metanol (1:1), metilen klorida-metanol (1:1) dan larutan

    alkali. Tidak larut dalam air, heksan dan larutan asam (Rowe et al., 2006).

    Secara umum penambahan pemlastis dari luar dalam penyalutan menggunakan HPMCP

    tidak diperlukan, karena HPMCP memiliki sifat pemlastis sehingga film yang terbentuk

    cukup kuat dan kenyal untuk melindungi sediaan yang disalut secara mekanik. Berbeda

  • 18

    dengan selulosa asetat ftalat (CAP) dan kopolimer akrilat yang membutuhkan pemlastis

    jika digunakan sebagai penyalut. HPMCP dapat digunakan sebagai penyalut, zat

    pensuspensi, bahan pembentuk film, dan penyalut enterik (Rowe et al., 2006).

    1.3 Eudragit RL PO

    Eudragit RL, dikenal juga sebagai kopolimer amonium metakrilat, merupakan kopolimer

    yang disintesis dari asam akrilat dan ester asam metakrilat dengan mengandung kelompok

    amonium kuarterner sebanyak 10%. Kelompok amonium tersebut berada dalam bentuk

    garam dan meningkatkan permeabilitas tidak tergantung pH polimer. Eudragit RL

    memiliki struktur kimia pada gambar 1.2

    C

    H

    H2C

    C

    O

    CH3

    O

    CH2C

    CH3

    C

    CH3

    H2C C

    CH3

    C

    O

    CH2

    C

    O

    C2H5

    H2C

    C

    O

    CH2CH2N(CH3)3+ Cl-

    O O O

    CH2N(CH3)3+ Cl- Gambar 1.11 Struktur molekul monomer Eudragit RL (Rowe et al., 2006).

    Eudragit RL PO merupakan serbuk berwarna putih dengan sedikit berbau menyerupai

    amin. Eudragit RL larut dalam aseton, alkohol, diklorometan, dan etil asetat. Eudragit RL

    tidak larut pada larutan asam maupun larutan basa. Eudragit RL tidak larut dalam air, dan

    lapisan film yang dibentuk dari polimer ini bersifat permeabel terhadap air (Rowe et al.,

    2006).

    Eudragit RL biasanya digunakan sebagai bahan penyalut untuk membentuk lapisan film

    yang tidak larut dalam air. Lapisan film yang dibentuk memiliki sifat permeabilitas yang

    tinggi (Rowe et al., 2006).

    Eudragit RL cocok digunakan sebagai bahan pembawa nanopartikel karena Eudragit RL

    tidak larut dalam air sehingga diharapkan dapat terus membungkus senyawa obat hingga

    masuk ke dalam sistem sirkulasi.

  • 19

    1.4 Isoniazid

    Isoniazid atau INH (C6H7N3O, BM 137,14) memiliki sinonim asam nikotinat hidrazida

    mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dan 102% C6H7N3O, dihitung terhadap

    zat anhidrat. Tampak sebagai kristal putih atau tidak berwarna atau serbuk kristalin putih,

    tidak berbau dan secara perlahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya, awalnya berasa manis

    kemudian pahit. Titik leleh isoniazid adalah 170-174 C.

    N

    NH

    H2N

    O Gambar 1.12 Struktur molekul isoniasid (Depkes RI, 1995).

    Larutan isoniazid 5% dalam air memiliki pH 6-8. Tetapan disosiasi isoniazid adalah 1,8

    untuk gugus nitrogen hidrazin, 3,5 untuk gugus nitrogen piridin, dan 10,8 untuk gugus

    asam. Logaritma koefisien partisi dalam sistem oktanol dan larutan pH 7,4 adalah -1,1.

    Kelarutan INH dalam air, etanol, dan kloroform berturut-turut adalah 1:8, 1:45, dan

    1:1000. Isoniazid sangat mudah larut dalam eter (Lund, 1994).

    Isoniazid dapat bekerja sebagai bakteriostatik atau bakteriosida, tergantung pada

    konsentrasi obat yang terikat pada tempat infeksi dan kepekaan bakteri. Beberapa

    mekanisme kerja INH meliputi interferensi metabolisme protein, asam nukleat,

    karbohidrat, dan lemak bakteri. Salah satu prinsip kerja INH adalah penghambatan sintesis

    asam mikolat yang merupakan komponen lemak bakteri sehingga menyebabkan hilangnya

    ketahanan bakteri terhadap asam dan rusaknya dinding sel. Isoniazid bekerja pada bakteri

    yang peka dan aktif membunuh pada saat pembelahan sel, serta memiliki spesifisitas yang

    tinggi terhadap bakteri genus Mycobaterium antara lain M. tuberkulosis, M. bovis, dan

    beberapa strain M. kansaii (Gilman, 2001).

    Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian INH adalah neuritis perifera, disfungsi

    hati sedang, reaksi hipersensitivitas, efek hematologi (agrunolositosis, eosinophilia,

    trombositopenia). INH dikontraindikasikan untuk penyakit hati akut dan hipersensitivitas

    (McEvoy, 2002).

  • 20

    INH langsung diserap dari saluran cerna. Pemberian dosis oral sebesar 300 mg (5mg/kg

    untuk anak-anak) menghasilkan konsentrasi plasma puncak 3-5 g/mL dalam l-2 jam. INH langsung berdifusi cepat dari dalam darah ke seluruh cairan tubuh dan jaringan.

    Metabolisme INH, terutama asetilasi oleh N-asetiltransferase hati ditentukan secara

    genetik. Waktu paruh rata-rata pada asetilator cepat dan lambat secara berturut-turut adalah

    kurang dari 1 jam dan 3 jam. Metabolit-metabolit INH dan sebagian kecil obat dalam

    bentuk tetap dikeluarkan melalui urin. Dosis tidak perlu disesuaikan pada pasien dengan

    gagal ginjal, tapi direkomendasikan dosis 1/3 sampai 1/2 dari dosis normal pada pasien

    dengan insufisiensi hati parah (McEvoy, 2002).

    1.1 Papain

    Papain adalah senyawa proteolitik yang dimurnikan berasal dari Carica papaya Linn

    (Kel. Caricaceae). Nama lain papain adalah papayatin atau vegetable pepsin karena

    mempunyai kerja yang mirip dengan pepsin dan tripsin dalam kemampuannya

    menguraikan protein (Harsha et al., 1996). Papain mengandung tidak kurang dari 6000

    Unit tiap mg. Satu unit aktivitas enzim papain adalah aktivitas yang melepas setara dengan

    1g tirosin dari susbstrat kasein pada kondisi tertentu (USP 28th, 2005).

    Gambar 1.13 Struktur tiga dimensi papain

    Tampak sebagai serbuk putih atau putih keabu-abuan dan bersifat agak higroskopik.

    Praktis larut dalam air dan gliserol, tidak larut dalam sebagian besar pelarut organik.

    Papain aktif pada pH 5 tetapi dapat berfungsi dalam medium netral hingga basa. Serapan

    UV maksimal pada 278 nm (E1%1 cm 25). (Merck Index 13th, 2001).

    Papain tidak efektif bila digunakan sendiri dan memerlukan zat pengaktivasi untuk

    menstimulasi potensi mencernanya. Papain dapat diaktivasi dengan menggunakan HCN

    dan H2S. Larutan hidrogen peroksida dan garam logam berat dapat menginaktivasi papain.

    Kombinasi papain dan urea dapat memberikan aktifitas mencerna dua kali lebih besar dari

  • 21

    pada hanya menggunakan papain. Campuran papain-urea pada umumnya dapat ditoleransi

    dan tidak mengiritasi (National PBM Drug Monograph, 2004).

    Kegunaan papain sebagai enzim proteolitik dalam bidang industri sangat beragam. Papain

    merupakan enzim penting pada industri makanan dan minuman, kosmetika, industri kulit

    dan farmasi. Pada industri makanan, selain digunakan sebagai pengempuk daging, juga

    digunakan sebagai penggumpal kasein susu pada proses pembuatan keju (Jagtiani et

    al.,1988). Dalam bidang farmasi, papain digunakan untuk mengatasi gangguan pencernaan.

    Telah terbukti pemberian sediaan ini pada pasien dengan beberapa jenis tumor

    menunjukkan kelangsungan hidup yang diperlama. Salah satu efek samping papain adalah

    terjadinya reaksi alergi seperti kulit kemerahan dan gatal-gatal. Papain tidak dianjurkan

    untuk orang hamil dan yang mengalami gangguan pendarahan.