jurnal hukum lex generalis vol.1 no.2 (mei 2020) tema
TRANSCRIPT
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
i
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
ii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis
Volume 1 Nomor 2 (Mei 2020)
Tema Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
Pemimpin Umum : Ivan Drago, S.H.
Editorial : Fazal Akmal Musyarri, S.H.
Desain : Jacky Leonardo
Kontributor : Dian Ayu Nurul Muthoharoh dkk.
Ismi Pratiwi Podungge
Rossa Wahyu Ningrum dkk.
Distribusi : Guardino Ibrahim Fahmi
Liavita Rahmawati
Moch. Adrio Farezhi
Moh. Haris Lesmana
M. Rizky Andika P.
Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis
Klinik Hukum Rewang Rencang
Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142
Telp: 087777844417
Email: [email protected]
Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/
Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya
(Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
iii
DAFTAR ISI
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dkk.
Return to Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan ................................. 1
Ismi Pratiwi Podungge
Eksistensi Peran Serikat Buruh dalam Upaya Memperjuangkan Hak Upah
Pekerja (Dalam Penetapan Upah Minimum) ..................................................... 22
Rossa Wahyu Ningrum dkk.
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
sebagai Strategi Mewujudkan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi .......... 34
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
iv
KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG
JHLG seri bulan ini membahas mengenai ketenagakerjaan. Di situasi
pandemi saat ini, tidak hanya kesehatan yang menjadi isu penting. Isu
Ketenagakerjaan menjadi hal lain yang tidak kalah penting, sebab eksistensinya
berkaitan dengan kemampuan seorang mempertahankan hidup diri dan
keluarganya. Berikut kami mempersembahkan Jurnal Hukum Lex Generalies
series Hukum Ketenagakerjaan. Semoga Bermanfaat dan dapat menjadi referensi.
Terimakasih bagi para Penulis yang telah turut menyumbang solusi dan
analisanya. Akhir kata saya ingin mengutarakan sebuah Pesan dan Harapan,
“Semoga Tuhan selalu memberkati anda, keluarga, dan orang terdekat anda”.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia
Malang, 29 Mei 2020
Ivan Drago, S.H.
CEO Rewang Rencang
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
v
KATA PENGANTAR EDITORIAL
Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan
masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang :
Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami
terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya tentang Hukum.
Adapun lima tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut:
1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum;
2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum;
3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum;
4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah;
5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia.
Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan
ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih
banyak kepada para pihak yang mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis yang
terbit pada bulan Mei 2020 bertema “Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan”
dan akan terbit setiap bulan dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat
berlanjut hingga kesempatan berikutnya.
Malang, 26 Mei 2020
Fazal Akmal Musyarri, S.H.
Dewan Editorial RR : JHLG
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
vi
Undangan untuk Berkontribusi
Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang
para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum
untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan
segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan
tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses:
Https://jhlg.rewangrencang.com/
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
1
RETURN TO WORK SEBAGAI BENTUK JAMINAN KECELAKAAN KERJA
DI BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)
KETENAGAKERJAAN
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Universitas Brawijaya
Korespondensi Penulis : [email protected]
Citation Structure Recommendation :
Muthoharoh, Dian Ayu Nurul dan Danang Ari Wibowo. Return to Work sebagai Bentuk Jaminan
Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Rewang
Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020).
ABSTRAK
Pekerja atau buruh memiliki hak-hak yang dilindungi oleh hukum. Hak pekerja
yang menjadi fokus bahasan dalam tulisan ini adalah hak atas keselamatan dan
kesehatan kerja. Untuk melindungi hak tersebut, pemerintah memberikan jaminan
sosial berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi pekerja yang mengalami
penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat menimbulkan
dampak yang serius seperti cacat atau berpotensi cacat yang tentunya
mempengaruhi kemampuan bekerja. Return to Work merupakan perluasan
manfaat pada jaminan kecelakaan kerja, yaitu berupa pendampingan kepada
peserta yang mengalami kecelakaan kerja yang menimbulkan cacat atau
berpotensi cacat, mulai dari terjadinya musibah kecelakaan sampai dengan dapat
kembali bekerja. Tujuan program ini adalah untuk memastikan pekerja yang
mengalami kecelakaan kerja dapat kembali bekerja tanpa menghadapi risiko
pemutusan hubungan kerja karena kecacatan yang dialaminya.
Kata Kunci: Jaminan Kecelakaan Kerja, Pekerja, Return to Work
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
2
A. PENDAHULUAN
Ekonomi merupakan salah satu faktor penentu keberlangsungan hidup suatu
negara. Setiap negara melakukan berbagai upaya yang dapat menunjang
peningkatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negaranya, termasuk
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat.1 Di
dalam perkembangan ekonomi tersebut, tenaga kerja menjadi salah satu unsur
yang berpengaruh langsung terhadap pergerakan perekonomian di Indonesia.
Karena tanpa adanya tenaga kerja, mustahil kegiatan perekonomian khususnya di
pabrik-pabrik maupun di perusahaan dapat berjalan dengan baik.2 Hal ini
dibuktikan dengan survei yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik yang
menyatakan pada tahun 2017 jumlah tenaga kerja perusahaan yang bekerja di
industri skala besar dan sedang menurut subsektor 33 kelompok industri yang
disesuaikan dengan klasifikasi KBLI tahun 2009 mencapai 6.614.954 orang.3
Upaya meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia dilakukan
melalui berbagai cara, salah satunya adalah pemberdayaan tenaga kerja baik
tenaga kerja yang bekerja di dalam negeri maupun tenaga kerja yang berdomisili
di luar negeri. Pemberdayaan tersebut dapat berupa pemberian program pelatihan
skill ketenagakerjaan, penempatan tenaga kerja, pencarian lapangan pekerjaan,
perlindungan bagi kepentingan buruh, pendidikan keselamatan kerja, bantuan
terhadap rehabilitasi jabatan, dan asuransi sosial. Asuransi sosial yang dimaksud
adalah bantuan bagi tenaga kerja serta keluarganya untuk menanggulangi
hilangnya mata pencaharian yang disebabkan oleh usia lanjut, pengangguran,
kecelakaan kerja, penyakit selama bekerja dan lain-lain.4
1 Eko Wicaksono Pambudi, Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi (Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah), Penerbit Diponegoro University
Institutional Repository, UNDIP, Semarang, 2013, Hlm.1. 2 Hasudungan Reynald, Preferensi Politik Buruh Tebu dalam Pemilukada 2010 Kota Binjai
(Studi Kasus Perilaku Buruh Tebu PTPN 2 Kebun Sei Semayang dalam Pemilihan Walikota Binjai
Tahun 2010), Penerbit USU Institutional Repository, USU, Medan, 2015, Hlm.1. 3 Badan Pusat Statistik, Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar Dan Sedang Menurut Sub
Sektor tahun 2000-2017, diakses dari https://www.bps.go.id/statictable/2011/02/14/1063/jumlah-
tenaga-kerja-industri-besar-dan-sedang-menurut-subsektor-2000-2017.html, diakses pada 10
Maret 2020. 4 Luthfi J. Kurniawan dkk., Negara Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial, Penerbit Intrans
Publishing, Malang, 2015, Hlm.107-108.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
3
Asuransi sosial secara tidak langsung memainkan peranan penting dalam
peningkatan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Dalam sejarahnya, salah
satu manfaat asuransi sosial adalah memberikan perlindungan dasar untuk
memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya. Implikasi dari
perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada tenaga kerja sehingga
dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi maupun produktivitas
kerja. Sehingga manfaat jangka panjangnya tidak hanya dirasakan oleh tenaga
kerja dan pengusaha tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.5
Di Indonesia, pengejawantahan jaminan sosial dilakukan oleh suatu badan
usaha milik negara yang bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial berlandaskan pada filosofi kemandirian dan
harga diri untuk mengatasi resiko sosial ekonomi. Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam
sejarahnya, Sistem Jaminan Sosial Nasional mengacu pada kaidah internasional
yang dimasukkan dalam hukum nasional melalui amandemen UUD NRI 1945
dengan memasukkan kata jaminan sosial sebagai metode yang harus
dikembangkan oleh negara pasca krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia.
Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyebutkan “Setiap orang berhak atas jaminan
sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat”. Pasal ini lalu diperkuat lagi oleh Pasal 34 ayat (2) UUD NRI
1945 yang berbunyi “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan”. Dua Pasal tersebut merupakan amanat dari Pasal
27 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, Pasal 34
Ayat (1) yang berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”, serta
Pasal 34 Ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
5 BPJS Ketenagakerjaan, Sejarah BPJS Ketenagakerjaan, diakses dari
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/page/profil/Sejarah.html, diakses pada 10 Maret 2020.
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
4
Pasal-Pasal tersebut secara materiil menjadi dasar konstitusional jaminan
sosial dan menegaskan bahwa jaminan sosial merupakan “hak” bukan “hak
istimewa”.6 Konsep ini diakomodasi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.7 Di dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, terdapat perintah
untuk mentransformasikan empat Badan Usaha Milik Negara penyelenggara
program jaminan sosial menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Empat
Badan Usaha Milik Negara tersebut meliputi PT ASKES (Persero), PT
JAMSOSTEK (Persero), PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero).8
Jaminan sosial pekerja adalah suatu perlindungan bagi pekerja dalam bentuk
santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang
atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami
oleh pekerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan
meninggal dunia (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja).9
Berdasarkan pengertian tersebut, jaminan sosial pekerja salah satunya
diberikan karena adanya kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat membawa
dampak yang ringan hingga berat bagi pekerja yang mengalaminya. Salah satu
dampak dari kecelakaan kerja adalah berkurangnya fungsi organ tubuh atau
bahkan kecacatan permanen yang dapat mengurangi produktifitas dalam bekerja.
Berdasarkan alasan tersebut maka jaminan kecelakaan kerja diperlukan. Penulis
dalam tulisan ini akan membahas mengenai jaminan bagi pekerja yang mengalami
kecelakaan kerja untuk mendapatkan hak bekerjanya kembali melalui Return to
Work di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
6 Hak istimewa (privilege): Privilege is a particular benefit or advantage enjoyed by a
person, company,or class beyond the common advantages of other citizen. An exceptional or
extraordinary power or exemptions. A peculiar right, advantage, exception, power, franchise, or
immunity held by a person or class, not generally possessed by others. 7 Rudy Hendra Pakpahan dan Eka N.A.M. Sihombing, Tanggung Jawab Negara dalam
Pelaksanaan Jaminan Sosial, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.9, No.2 (Juli 2012), Hlm.170. 8 Jamsos Indonesia, Transformasi BPJS, diakses dari
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/387#_ftn1/, diakses pada 10 Maret 2020. 9 Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit
Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, Hlm.128-129.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
5
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah tulisan ini meliputi:
1. Bagaimana kriteria penyakit yang memperoleh manfaat Jaminan
Kecelakaan Kerja di BPJS Ketenagakerjaan?
2. Bagaimana pengaturan Return to Work sebagai Bentuk Jaminan
Kecelakaan Kerja di BPJS Ketenagakerjaan?
B. PEMBAHASAN
1. Kajian Umum tentang Tenaga Kerja
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut UUK menyebutkan bahwa tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di
luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Selanjutnya, Pasal 1 Angka 3 UUK
menyatakan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dalam UUK, istilah pekerja diidentikkan dengan istilah buruh atau dengan
kata lain undang-undang ini menyamakan kedua istilah tersebut.
Dalam melakukan pekerjaannya, pekerja memiliki hak dan kewajiban yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain sebagai berikut:
Bab Pasal
(Ayat)
Ketentuan Pasal
III
Kesempatan
dan Perlakuan
yang Sama
5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
6 Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang
sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
V
Pelatihan
Kerja
11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau
meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui
pelatihan kerja.
12 (3)
Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama
untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang
tugasnya.
18 (1)
Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi
kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang
diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah,
lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat
kerja.
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
6
V
Pelatihan
Kerja
23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan
berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari
perusahaan atau lembaga sertifikasi.
VI
Penempatan
Tenaga Kerja
31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan
dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di
luar negeri.
X
Perlindungan,
Pengupahan,
dan
Kesejahteraan
67 (1)
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang
cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis
dan derajat kecacatannya.
78 (2)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1)
wajib membayar upah kerja lembur.
79 (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada
pekerja/buruh.
80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang
secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan
ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat
selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan/bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran
kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah)
bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan.
84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu
istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2)
huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat
upah penuh.
85 (1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur
resmi.
86 (1)
Mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
- keselamatan dan kesehatan kerja;
- moral dan kesusilaan; dan
- perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama.
88 (1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
90 (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
99 (1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
XI
Hubungan
Industrial
104 (1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh.
137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan
damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
7
XII
Pemutusan
Hubungan
Kerja
158 (3)
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya
berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
161 (3)
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
162 (1)
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan
sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
169
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan
perbuatan tertentu.
172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan,
mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua
belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja
dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
XIII
Pembinaan
174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah,
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan
organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama
internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tabel 1. Hak Pekerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan
Sumber: Kreasi Penulis, disadur dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan
Bab Pasal
(Ayat)
Ketentuan Pasal
XI
Hubungan
Industrial
102 (2)
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh
dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi
menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,
menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan
perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota
beserta keluarganya.
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
8
XI
Hubungan
Industrial
126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan
pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada
dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau
perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
136 (1)
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib
dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk
mufakat.
140 (1)
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Tabel 1. Kewajiban Pekerja Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan
Sumber: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2. Kajian Umum Mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
a. Pengertian dan Dasar Hukum BPJS
Istilah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dikenal dalam Undang-Undang
Repubik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang selanjutnya disebut UU SJSN. Pasal 1 Angka 6 UU SJSN memberi
pengertian terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai badan hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial yang selanjutnya disebut UU BPJS juga memberikan definisi BPJS yang
sama dengan Pasal 1 Angka 6 UU SJSN tersebut.
Sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan
memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) dan
Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor X/MPR/2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan
sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat
yang lebih menyeluruh dan terpadu.10
10 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
9
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan
sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum
publik berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil
pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta.11
b. Sejarah BPJS
Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung
jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi
kepada masyarakat. Keberadaan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan yang ada
saat ini secara substansial masih diorientasikan dan terbatas diperlakukan kepada
buruh yang bekerja di sektor formal, baik yang bergerak pada industri,
perdagangan, maupun jasa.12 Sehingga Indonesia sesuai dengan kondisi
kemampuan keuangan negara mengembangkan program jaminan sosial
berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta
dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang
panjang. Dimulai dari pembentukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 jo.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja, Peraturan
Menteri Perburuhan (PMP) Nomor 48 Tahun 1952 jo. Peraturan Menteri
Perburuhan (PMP) Nomor 8 Tahun 1956 tentang Pengaturan Bantuan Untuk
Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP)
Nomor 15 Tahun 1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh, Peraturan
Menteri Perburuhan (PMP) Nomor 5 Tahun 1964 tentang Pembentukan Yayasan
Dana Jaminan Sosial (YDJS), serta diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Tenaga Kerja. Secara kronologis proses
lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan.
11 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. 12 Rachmad Safa’at, Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan ke-2, Penerbit
Surya Pena Gemilang, Malang, 2016, Hlm.199.
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
10
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut
landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun
1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 33 tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial
Tenaga Kerja (ASTEK) yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta
dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 1977 tentang Pembentukan Wadah Penyelenggara ASTEK yaitu
Perum Astek. Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Serta
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Ditetapkannya PT
Jamsostek sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program
Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal
bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya
arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya
penghasilan yang hilang akibat risiko sosial.
Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-
undang itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan Pasal
34 ayat 2, yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Manfaat perlindungan tersebut
dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi
dalam meningkatkan motivasi maupun produktivitas kerja.
Kiprah Perusahaan PT Jamsostek (Persero) yang mengedepankan
kepentingan dan hak normatif Tenaga Kerja di Indonesia dengan memberikan
perlindungan 4 (empat) program sesuai dengan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang selanjutnya
disebut UU Jamsostek, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya terus
berlanjutnya hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
11
Pada tahun 2011, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
tersebut, tanggal 1 Januari 2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan
Hukum Publik. PT Jamsostek (Persero) yang bertransformsi menjadi BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Hari Tua (JHT)
dengan penambahan Jaminan Pensiun terhitung mulai 1 Juli 2015.
Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan pun terus meningkatkan
kompetensi di seluruh lini pelayanan sambil mengembangkan berbagai program
dan manfaat yang langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya. Kini
dengan sistem penyelenggaraan yang semakin maju, program Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan tidak hanya memberikan manfaat
kepada pekerja dan pengusaha saja. Tetapi juga memberikan kontribusi penting
bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan menawarkan empat
program penting, yaitu meliputi Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua
(JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Pensiun (JP). Jaminan
Kematian (JKM) merupakan Program dari BPJS sebagai jaminan sosial yang
diberikan apabila karyawan yang meninggal dunia. Program Jaminan Kematian
ini diberikan kepada ahli waris dalam bentuk uang tunai, ketika karyawan
meninggal dunia tetapi bukan akibat kecelakaan kerja. Jaminan Hari Tua (JHT)
adalah program jaminan sosial dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan yang diberikan kepada karyawan yang sudah memasuki masa
pensiun. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah jaminan sosial Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yang diberikan apabila terjadi kecelakaan dalam
proses hubungan kerja. Jaminan Pensiun (JP) adalah jaminan sosial yang
diberikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk
memepertahankan kehidupan yang layak bagi karyawan atau ahli waris dengan
memberikan penghasilan ketika karyawan memasuki usia pensiun.
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
12
3. Kajian Umum Mengenai Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja
Jaminan Kecelakaan Kerja merupakan salah satu dari jaminan sosial yang
diatur dalam UU SJSN. UU SJSN tidak memberikan pengertian khusus terhadap
istilah jaminan kecelakaan kerja. UU SJSN memberikan pengertian atas
pengertian dua istilah yang berkaitan langsung dengan jaminan kecelakaan kerja,
yaitu jaminan sosial dan kecelakaan kerja.13 Pasal 1 angka 1 UU SJSN
memberikan pengertian atas jaminan sosial sebagai pengertian atas jaminan sosial
sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan kecelakaan
kerja diartikan sebagai kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah
menuju tempat kerja atau sebaliknya.14
Definisi kecelakaan kerja menurut Pasal 1 Angka 6 Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan
Kerja dan Jaminan Kematian adalah kecelakaan yang terjadi di dalam hubungan
kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju
Tempat Kerja atau sebaliknya dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
lingkungan kerja. Adapun pengertian Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya
disingkat JKK menurut Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah tersebut adalah
manfaat berupa bantuan uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan
pada saat peserta mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh lingkungan kerja.
Salah satu bagian penting dalam penyelenggaraan program jaminan
kecelakaan kerja terletak pada persoalan kepesertaan. Sebagaimana diketahui,
prinsip jaminan kecelakaan kerja adalah asuransi sosial, yang menyandarkan
programnya pada pembiayaan secara kolektif dan sesuai dengan fitrah manusia
madani yang selalu mengutamakan kepentingan bersama.15 Sesuai dengan amanat
UU SJSN, penyelenggara jaminan kecelakaan kerja dilakukan secara nasional,
dan UU SJSN secara jelas telah mewajibkan setiap orang untuk ikut serta dalam
program jaminan kecelakaan kerja.
13 Andika Wijaya, Hukum Jaminan Sosial Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2018,
Hlm.72. 14 Andika Wijaya, Ibid. 15 Bandingkan dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-
XII/2014 tanggal 7 Desember 2015, Hlm.210.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
13
Kepesertaan yang bersifat wajib demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 14
UU BPJS yang menyatakan bahwa setiap orang, termasuk orang asing yang
bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program
jaminan sosial. Pasal 1 angka 8 UU SJSN meberikan pengertian terhadap kata
“Peserta” sebagai setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat
enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Secara khusus, Pasal 30 UU
SJSN memberikan pengertian “Peserta jaminan kecelakaan kerja” sebagai seorang
yang telah membayar iuran. Kepesertaan jaminan kecelakaan kerja memiliki
keterkaitan dengan pembayaran iuran jaminan kecelakaan kerja.16
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian menentukan bahwa
setiap pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarakan dirinya
dan pekerjanya sebagai peserta dalam program jaminan kecelakaan kerja kepada
BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan yang bersifat imperatif, yaitu ketentuan yang mewajibkan setiap
pemberi kerja selain penyelenggara negara untuk mendaftarkan dirinya dan
pekerjanya sebagai peserta dalam program jaminan kecelakaan kerja kepada BPJS
Ketenagakerjaan, juga berlaku bagi setiap orang yang bekerja, hal ini tersirat pada
ketentuan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015.17
4. Identifikasi Penyakit yang Memperoleh Manfaat Jaminan Kecelakaan
Kerja di BPJS Ketenagakerjaan
a. Penyakit akibat kerja
Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan
kinerja karyawan. Dalam bekerja, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang
mengalami sakit dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga, dan
lingkungannya.18 Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja, semakin sedikit
kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Penyakit Akibat Kerja di kalangan
petugas kesehatan dan non kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik.
16 Andika Wijaya, Hukum Jaminan Sosial Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2018,
Hlm.75. 17 Andika Wijaya, Ibid. 18 Riswan Dwi Djatmiko, Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Penerbit Deepublish,
Yogyakarta, 2016, Hlm.23.
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
14
Sebagai faktor penyebab, sering Penyakit Akibat Kerja terjadi karena kurangnya
kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai.
Banyak pekerja yang meremehkan resiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-
alat pengaman walaupun sudah tersedia.19
Penyakit Akibat Kerja (PAK) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 7
Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja. Dalam peraturan itu yang dimaksud
dengan PAK ialah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan
kerja. Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan
pekerjaan yang diselenggarakan oleh International Labour Organization di Linz,
Austria, dihasilkan definisi menyangkut PAK sebagai berikut20:
1) Penyakit akibat kerja (Occupational Disease)
Yakni penyakit yang sebabnya spesifik atau terasosiasi kuat dengan
pekerjaan yang mana pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab
yang sudah diakui.
2) Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work Related Disease)
Yakni penyakit yang memiliki beberapa agen penyebab, dimana
faktor pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor risiko lain
dalam berkembangnya penyakit dengan etimologi yang kompleks.
3) Penyakit populasi kerja (Disease of Fecting Working Populations)
Yakni penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen
penyebab di tempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi
pekerjaan yang memberi efek buruk bagi kesehatan.
PAK adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan,
proses maupun lingkungan kerja. Faktor Lingkungan kerja sangat berpengaruh
dan berperan sebagai penyebab timbulnya Penyakit Akibat Kerja. Sejalan dengan
hal tersebut, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa PAK ialah gangguan
kesehatan baik jasmani maupun rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah
karena aktivitas kerja atau kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan.21
19 Riswan Dwi Djatmiko, Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Penerbit Deepublish,
Yogyakarta, 2016, Hlm.23. 20 Riski Novera Yenita, Higiene Industri, Penerbit Deepublish, Yogyakarta, 2015, Hlm.62. 21 Ahmad Suudi, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), diakses dari
http://staff.unila.ac.id/suudi74/files/2014/10/Materi-6-K3-Kerugian-Kecelakaan-Kerja-K3-
2014.pdf, diakses pada 20 maret 2020.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
15
Penyebab penyakit akibat hubungan kerja dibagi lima golongan, yaitu:
1) Golongan Fisik: Bising, vibrasi, radiasi pengion, radiasi non pengion,
tekanan udara, suhu ekstrem, dan pencahayaan.
2) Golongan Kimiawi: Ada kurang lebih 100.000 bahan kimia yang
sudah digunakan dalam proses industri, namun dalam daftar penyakit
ILO baru dapat diidentifikasi 31 bahan kimia sebagai penyebab
penyakit akibat kerja, sehingga dalam daftar ditambah 1 penyakit
yaitu untuk bahan kimia lainnya.
3) Golongan Biologik: Bakteri, virus, jamur, parasit dan lain-lain.
4) Golongan Fisiologik (Ergonomik): Desain tempat kerja yang kurang
ergonomis, tidak sesuai dengan fisiologi dan anatomi manusia, alat
kerja yang tidak sesuai dan cara kerja yang banyak menggunakan
posisi janggal dalam waktu lama dan atau gerakan-gerakan berulang.
5) Golongan Psikososial: Beban kerja terlalu berat, monotoni pekerjaan
dan lain sebagainya.
b. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Berbeda dengan diagnosis penyakit pada umumnya, diagnosis penyakit
akibat kerja mempunyai aspek medis, aspek komunitas dan aspek legal. Dengan
demikian tujuan melakukan diagnosis akibat kerja adalah:
1) Dasar terapi;
2) Membatasi kecacatan dan mencegah kematian;
3) Melindungi pekerja lain; dan
4) Memenuhi hak pekerja.
Dengan melakukan diagnosis penyakit akibat kerja, maka hal ini akan
berkontribusi terhadap:
1) Pengendalian risiko terkontaminasi pada sumbernya;
2) Identifikasi risiko kontaminasi baru secara dini;
3) Asuhan medis dan upaya rehabilitasi pada pekerja yang sakit dan/atau
cedera;
4) Pencegahan terhadap terulangnya atau makin beratnya kejadian
penyakit atau kecelakaan;
5) Perlindungan pekerja yang lain;
6) Pemenuhan hak kompensasi pekerja; dan
7) Identifikasi adanya hubungan baru antara pekerja dengan penyakitnya.
Secara umum Penyakit Akibat Kerja mempunyai ciri-ciri yang harus
diperhatikan yaitu:
1) Adanya hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit yang
diakibatkan.
2) Adanya fakta bahwa frekuensi kejadian penyakit pada populasi
pekerja lebih tinggi daripada pada masyarakat umum. Maksud disini
bahwa penyakit akibat kerja jumlahnya lebih banyak di kalangan
pekerja daripada di kalangan masyarakat umum.
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
16
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit
Akibat Kerja, Pasal 2 Ayat (3) menyatakan bahwa “Penyakit Akibat Kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis penyakit: a) yang disebabkan
pajanan faktor yang timbul dari aktivitas pekerjaan; b) berdasarkan sistem target
organ; c) kanker akibat kerja; dan spesifik lainnya”. Peraturan presiden tersebut
juga merinci klasifikasi dan jenis-jenis penyakit akibat kerja dalam lampirannya.
5. Implementasi Return to Work Sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan
Kerja di BPJS Ketenagakerjaan
Salah satu layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan adalah pengembangan Program Jaminan Kecelakaan Kerja
Return to Work yang mulai diimplementasikan pada 1 Juli 2015. Melalui program
ini, BPJS Ketenagakerjaan memberikan perlindungan berupa manfaat dan layanan
yang komprehensif kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mengalami cacat
akibat kecelakaan kerja. Selain biaya perawatan dan pengobatan, BPJS
Ketenagakerjaan juga akan memberikan biaya rehabilitasi medis, dan pelatihan
kejuruan hingga peserta tersebut dapat bekerja kembali.
Jaminan Kecelakaan Kerja Return to Work yang selanjutnya disebut JKK-
RTW merupakan perluasan manfaat pada jaminan kecelakaan kerja, yaitu berupa
pendampingan kepada peserta yang mengalami kecelakaan kerja yang
menimbulkan cacat atau berpotensi cacat, mulai dari terjadinya musibah
kecelakaan sampai dengan dapat kembali bekerja. Tujuan program ini adalah
untuk memastikan pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dapat kembali
bekerja tanpa menghadapi risiko pemutusan hubungan kerja karena kecacatan
yang dialaminya. Selain itu, lanjutnya, BPJS Ketenagakerjaan juga menjamin
penggantian kompensansi akibat kecelakaan kerja tidak terbatas alias unlimited.
Segala pembiayaan rehabilitasi akan ditanggung BPJS Ketenagakerjaan. Dengan
persyaratan, sebelumnya perusahaan sudah menandatangani kesepakatan dengan
BPJS Ketenagakerjaan untuk menerima pekerja kembali bekerja di
perusahaannya. Program ini memberikan pelayanan komprehensif dimulai dari
sejak perawatan setelah kecelakaan, pemulihan baik fisik maupun secara
psikologis, sampai akhirnya pekerja dapat kembali mandiri.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
17
Kecelakaan yang menyebabkan hilangnya anggota fisik seperti limb (tangan
dan/atau kaki), tentu akan menyebabkan pekerja merasa trauma, frustrasi bahkan
depresi. Program RTW akan terus mendampingi pekerja ini sampai akhirnya
menerima prosthetic limb (kaki atau tangan palsu) berikut perawatan dan latihan
setelah pemasangan prosthetic limb tersebut di BLK (Balai Latihan Kerja).
Pertimbangan Sustainability Program ini juga didukung oleh regulasi bahwa dari
iuran Program Jaminan Kecelakaan Kerja yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan,
dana kelolaan JKK diberikan kembali sepenuhnya kepada manfaat Program JKK
bagi tenaga kerja. Karena BPJS Ketenagakerjaan hanya mendapatkan iuran untuk
mengelola Program ini dan tidak mengambil keuntungan dari dana kelolaan
Program JKK. Dengan adanya program Return to Work, para peserta BPJS
Ketenagakerjaan yang mengalami cacat karena kecelakaan bekerja akan
mendapatkan perlindungan penuh. BPJS Ketenagakerjaan nantinya akan
memberikan biaya rehabilitasi medis serta pelatihan kejuruan sampai pekerja itu
mampu untuk bekerja kembali.
Program yang berjalan sejak tahun 2015 tersebut merupakan bentuk
pelayanan kepada pekerja yang mengalami cacat akibat kecelakaan kerja.
Program JKK-RTW ini dilatarbelakangi oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1997 Tentang Penyandang Cacat dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Secara substansi dua regulasi itu berisi materi:
a. Setiap penyandang cacat berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan
yang layak dan kesamaan kesempatan mendapatkan pekerjaan.
b. Perusahaan swasta memberikan kesempatan yang sama di
perusahaannya.
c. Pengusaha dilarang melakukan PHK untuk kasus pekerja/buruh dalam
keadaan cacat total tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
d. Pengusaha yang mempekerjakan penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
e. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama,
termasuk penyandang cacat.
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
18
Hal tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara pihak perusahaan dan
peserta yang mengalami cacat memberikan persetujuan secara tertulis.
Selanjutnya petugas khusus dari BPJS Ketenagakerjaan yang disebut sebagai
Manajer Kasus akan mendampingi peserta dalam proses Return to Work (RTW).
Manajer Kasus akan memantau pengobatan dan perawatan yang tepat dan efektif
bagi pasien serta memfasilitasi percepatan proses pemulihan atau proses
rehabilitasi. Setelah pengobatan dan rehabilitasi tuntas, Manajer Kasus
memberikan pelatihan pasca kecacatan yang bertujuan untuk memastikan peserta
dapat bekerja kembali secara normal. Apabila upaya tersebut telah dilakukan,
namun tidak memungkinkan bagi peserta yang bersangkutan untuk kembali
bekerja pada posisi dan bidang sebelum mengalami kecelakaan, maka Manajer
Kasus akan mencarikan solusi lain dan memberikan pelatihan dan keterampilan
khusus yang sesuai agar peserta dapat bekerja di unit kerja atau bidang lain pada
perusahaan yang sama. Jika usaha tersebut gagal, maka peserta tersebut akan
ditempatkan pada perusahaan baru dengan kemampuan yang sesuai. Dengan kata
lain, inti dari program JKK-RTW adalah peserta BPJS Ketenagakerjaan yang
cacat akibat kecelakaan kerja memperoleh jaminan dapat kembali bekerja.
Sehingga tidak akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena dianggap
tidak produktif dan tidak memiliki kemampuan lagi.
Menurut Pasal 5 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja
Serta Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerja dan Penyakit
Akibat Kerja, pekerja yang mengalami kecelakan kerja dan/atau penyakit akibat
kerja dapat memperoleh manfaat Program Kembali Kerja dengan persyaratan
sebagai berikut:
a. Terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dalam program JKK;
b. Pemberi kerja tertib membayar iuran;
c. Mengaami kecelakaan kerja atau Penyakit Akibat Kerja yang
mengakibatkan kecacatan;
d. Adanya rekomendasi dokter penasehat bahwa pekerja perlu difasilitasi
dalam program kembali kerja; dan
e. Pemberi kerja dan pekerja bersedia menandatangani surat persetujuan
mengikuti Program Kembali Kerja.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
19
Berikut adalah ilustrasi proses atau alur Return to Work di BPJS
Ketenagakerjaan
Gambar 1. Ilustrasi Alur Return to Work di BPJS Ketenagakerjaan
C. PENUTUP
Berdasarkan paparan makalah diatas, maka dapat disimpulkan beberapa
poin-poin penting sebagai berikut:
1. Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan dan/atau lingkungan kerja. Penyakit Akibat Kerja meliputi jenis
penyakit: a) yang disebabkan pajanan faktor yang timbul dari aktivitas
pekerjaan; b) berdasarkan sistem target organ; c) kanker akibat kerja; dan
Penyakit Akibat Kerja spesifik lainnya.
2. Return to Work merupakan perluasan manfaat pada jaminan kecelakaan
kerja, yaitu berupa pendampingan kepada peserta yang mengalami
kecelakaan kerja yang menimbulkan cacat atau berpotensi cacat, mulai dari
terjadinya musibah kecelakaan sampai dengan dapat kembali bekerja.
Tujuan program ini adalah untuk memastikan pekerja yang mengalami
kecelakaan kerja dapat kembali bekerja tanpa menghadapi risiko pemutusan
hubungan kerja (PHK) karena kecacatan yang dialaminya.
Dian Ayu Nurul Muthoharoh dan Danang Ari Wibowo
Return To Work sebagai Bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja di Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
20
DAFTAR PUSTAKA
Buku Agusmidah. 2010. Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia. (Bogor: Penerbit Ghalia Idonesia).
Djatmiko, Riswan Dwi. 2016. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. (Yogyakarta:
Penerbit Deepublish).
Kurniawan, Luthfi J., dkk.. 2015. Negara Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial.
(Malang: Penerbit Intrans Publishing).
Pambudi, Eko Wicaksono. 2013. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi (Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah).
(Semarang: Diponegoro University Institutional Repository UNDIP).
Reynald, Hasudungan. 2015. Preferensi Politik Buruh Tebu dalam Pemilukada
2010 Kota Binjai (Studi Kasus Perilaku Buruh Tebu PTPN 2 Kebun Sei
Semayang dalam Pemilihan Walikota Binjai Tahun 2010). (Medan: USU
Institutional Repository).
Safa’at, Rachmad. 2016. Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
(Malang: Penerbit Surya Pena Gemilang).
Wijaya, Andika. 2018. Hukum Jaminan Sosial Indonesia. (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika).
Yenita, Riski Novera. 2015. Higiene Industri. (Yogyakarta: Penerbit Deepublish).
Jurnal dan Prosiding
Pakpahan, Rudy Hendra dan Eka N.A.M. Sihombing. Tanggung Jawab Negara
dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.9.
No.2 (Juli 2012).
Soemarko, Dewi Sumaryani. Penyakit Akibat Kerja “Identifikasi dan
Rehabilitasi Kerja”, K3 Expo Seminar SMESCO, 26 April 2012.
Website
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Sejarah BPJS
Ketenagakerjaan. diakses dari
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/page/profil/Sejarah.html. diakses
pada 10 Maret 2020.
Badan Pusat Statistik. Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar Dan Sedang Menurut
Sub Sektor tahun 2000-2017. diakses dari
https://www.bps.go.id/statictable/2011/02/14/1063/jumlah-tenaga-kerja-
industri-besar-dan-sedang-menurut-subsektor-2000-2017.html. diakses pada
10 Maret 2020.
Jamsos Indonesia Transformasi BPJS. diakses dari
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/387#_ftn1/. diakses pada
10 Maret 2020.
Suudi, Ahmad. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). diakses dari
http://staff.unila.ac.id/suudi74/files/2014/10/Materi-6-K3-Kerugian-
Kecelakaan-Kerja-K3-2014.pdf. diakses pada 20 Maret 2020.
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
21
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 116. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5256.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 14. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3468.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001 tentang
Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 154. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5714.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja. Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 18.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016
tentang Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja Serta Kegiatan
Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat
Kerja. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 387.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII/2014.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
22
EKSISTENSI PERAN SERIKAT BURUH DALAM UPAYA
MEMPERJUANGKAN HAK UPAH PEKERJA (DALAM PENETAPAN
UPAH MINIMUM)
Ismi Pratiwi Podungge
Universitas Brawijaya
Korespondensi Penulis : [email protected]
Citation Structure Recommendation :
Podungge, Ismi Pratiwi. Eksistensi Peran Serikat Buruh dalam Upaya Memperjuangkan Hak
Upah Pekerja (Dalam Penetapan Upah Minimum). Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex
Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020).
ABSTRAK
Buruh dan Tenaga Kerja memiliki tujuan utama dalam melakoni pekerjaan
mereka sebagai salah satu stakeholder vital yang menunjang perekonomian.
Bukan hanya untuk mengabdi pada negara, tetapi juga sebagai upaya untuk
memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup. Namun pada faktanya, seringkali
pemberi kerja tidak sepenuhnya dapat memberi kesejahteraan yang layak. Upah
atau gaji yang didapat acapkali tidak sesuai dengan beban pekerjaan yang
dilakukan. Oleh karena itu, disinilah serikat pekerja atau serikat buruh memiliki
peranan yang penting dalam memenuhi kepentingan buruh atau tenaga kerja di
suatu perusahaan. Secara normatif, ketentuan mengenai serikat buruh atau serikat
pekerja terdiaspora dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia
terutama dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
Walaupun terdapat juga problematika yang melingkupinya terutama karena
adanya ketentuan dimungkinkannya didirikan beberapa serikat pekerja dan
dibolehkannya menerima sumbangan dari negara lain. Namun eksistensi dan
kondisi saat ini membuat eksistensi serikat pekerja semakin diterima luas.
Kata Kunci: Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan, Serikat Buruh,
Serikat Pekerja
Ismi Pratiwi Podungge
Eksistensi Peran Serikat Buruh dalam Upaya Memperjuangkan Hak Upah Pekerja
(Dalam Penetapan Upah Minimum)
23
A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesai Tahun 1945, yang memiliki tujuan mewujudkan
tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tentram, dan
tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat.
Negara hukum yang dianut di Indonesia adalah negara hukum yang demokratis
yang tercermin dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:
“Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”, ayat (2)
menyebutkan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar, dan ayat (3) nya menyebutkan bahwa: “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak
dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga
kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan
kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Perwujudan pembangunan
ketenagakerjaan salah satunya adalah dibentuknya Hukum Ketenagakerjaan.
Batasan atau pengertian Hukum Ketenagakerjaan menurut Imam Soepomo yang
dikutip oleh Sendjun Manullang ialah himpunan peraturan, baik tertulis maupun
tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada
orang lain dengan menerima upah.1
Salah satu unsur dalam hubungan industrial atau kegiatan perusahaan adalah
pekerja. Motivasi pekerja sekarang di samping pengabdian kepada bangsa dan
negara, juga merupakan upaya untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan.
Namun kenyataannya pada akhir-akhir ini, masyarakat pekerja sering tidak
mengetahui makna dari bekerja, karena penghasilan yang didapat tidak dapat
mensejahterakan diri dan keluarganya. Pemberitaan mengenai buruh tidak pernah
berhenti menghiasi media. Belum selesai masalah pertama, muncul masalah
kedua, ketiga dan seterusnya yang tak kunjung menemukan titik temu.
Permasalahan yang melingkupi buruh tersebut mulai dari kesejahteraan dengan
tolak ukur utama jumlah upah buruh, sistem kontrak dan outsourcing, PHK dan
masih banyak masalah lainnya.
1 Sandjun Manullang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta, 2001, Hlm.2.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
24
Kondisi ini juga diperparah dengan tidak berpihaknya pemerintah kepada
buruh. Pemerintah yang diharapkan menjadi penyelamat, justru terlalu banyak
menyampaikan retorika tanpa ada solusi. Di satu sisi buruh selalu dipinggirkan,
padahal di sisi lain buruh memiliki kontribusi untuk menopang perekonomian
negara. Buruh memiliki peran yang besar bagi suatu negara. Bukan hanya
berperan sebagai penggerak ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku utama
pembangunan. Karena jumlahnya yang besar, maka buruh juga menjadi salah satu
kekuatan utama dalam menentukan wajah masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Kontribusi buruh yang demikian besar ternyata tidak mendapat
apresiasi. Dari tahun ke tahun, selalu muncul permasalahan buruh terutama yang
berkaitan dengan kesejahteraan. Tidak bisa dipungkiri diantara banyak masalah
seputar buruh, permasalahan mengenai kesejahteraan merupakan masalah yang
paling sensitif. Masalah tersebut selalu dibicarakan karena menyangkut
kelangsungan hidup seseorang. Dari tahun ke tahun, permasalahan klasik yang
muncul adalah keinginan buruh untuk menaikan upah mereka. Hal ini
dikarenakan upah yang mereka terima dirasa tidak sebanding atau tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup nyata sehari-hari.
Serikat Pekerja adalah suatu organisasi para pekerja yang dibentuk untuk
memajukan, melindungi dan memperbaiki kepentingan-kepentingan sosial,
ekonomi dan politik dari para anggotanya melalui tindakan kolektif.2 Kepentingan
dominan yang diperjuangkan Serikat Pekerja adalah kepentingan ekonomi antara
lain,permintaan akan kenaikan gaji atau upah, pengurangan jam kerja dan
perbaikan kondisi kerja.3 Serikat Pekerja yang baik memiliki tipe Serikat Pekerja
seperti: Craft Union yaitu Serikat Pekerja yang beranggotakan karyawan yang
mempunyai keterampilan yang sama; Industrial Union yaitu dibentuk berdasarkan
lokasi pekerjaan yang sama. Serikat ini terdiri dari pekerja tidak berketerampilan
maupun berketerampilan dalam perusahaan atau industri tertentu; Mixed Union
yaitu mencakup pekerja terampil, tidak terampil dan setengah terampil dari suatu
lokasi tertentu tidak memandang dari industri mana. Bentuk Serikat Pekerja ini
mengkombinasikan Craft Union dan Industrial Union.
2 Edwin B. Flippo, Manajemen Personalia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1990, Hlm.177. 3 Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Penerbit BPFE,
Yogyakarta, 2000, Hlm.108.
Ismi Pratiwi Podungge
Eksistensi Peran Serikat Buruh dalam Upaya Memperjuangkan Hak Upah Pekerja
(Dalam Penetapan Upah Minimum)
25
Berdasarkan latar belakang diatas, maka adapun rumusan masalah yang
diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana eksistensi peran Serikat Buruh dalam
upaya memperjuangkan hak upah pekerja?
B. STUDI LITERATUR
1. Serikat Pekerja
Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 Ayat 17 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Serikat Pekerja merupakan
organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja dan keluarganya. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.16/MEN/2001 tentang Tata
Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyatakan Serikat
Pekerja/Buruh di Perusahaan adalah Serikat Pekerja/buruh yang didirikan
oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
Serikat Pekerja adalah hak melekat bagi pekerja4, “worker rights is
human rights”. Mengapa bisa dikatakan demikian? Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948)
Pasal 23 dengan jelas menyatakan hak tersebut: ayat (1) Setiap orang berhak
atas pekerjaan, berhak bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat
pekerjaan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan
akan pengganguran; ayat (2) Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak atas
pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama; ayat (3) Setiap orang
yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang
memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik dirinya sendiri
maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial
lainnya; ayat (4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-
Serikat Pekerja untuk melindungi kepentingannya.
4 Indah Budiari, Serikat Pekerja, Mengapa Penting?, Unionism, Edisi Revisi (November
2011), Hlm.3.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
26
2. Peran Serikat Pekerja
Peran Serikat Pekerja antara lain, menangani keluh kesah anggota.5
Serikat Pekerja mewakili anggotanya yang mempunyai keluh kesah dengan
membantu mereka dalam mencari dan menangani secara wajar dan adil akan
permasalahan dan persoalan yang dimilikinya, serta menyelesaikan berbagai
perselisihan yang terjadi oleh anggota-anggotanya. Serikat Pekerja perlu
untuk mempunyai pengetahuan, memiliki kemampuan dan sumber-sumber
untuk melakukan negosiasi dan menyelesaikan perselesihan atas nama
pekerja, meningkatkan pelaksanaan hubungan industrial untuk menciptakan
keharmonisan hubungan antara pekerja/Serikat Pekerja/pengusaha, bukan
hanya suatu slogan atau usaha dari satu pihak saja untuk mempertahankan
tetapi upaya dari kedua belah pihak, mengingat bahwa pekerja/Serikat
Pekerja/pengusaha adalah hubungan jangka panjang.
3. Fungsi Serikat Pekerja
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengenai Serikat
Buruh/Serikat Pekerja, dalam ayat (1) Serikat Pekerja/Buruh, Federasi dan
Konfederasi Serikat Pekerja/Buruh mempunyai fungsi6:
a. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang
ketenagakerjaan sesuai tingkatnya.
b. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya.
c. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial.
d. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
5 Indah Budiari, Serikat Pekerja, Mengapa Penting?, Unionism, Edisi Revisi (November
2011), Hlm.3. 6 Lihat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
Ismi Pratiwi Podungge
Eksistensi Peran Serikat Buruh dalam Upaya Memperjuangkan Hak Upah Pekerja
(Dalam Penetapan Upah Minimum)
27
C. PEMBAHASAN
1. Eksistensi Peran Serikat Buruh dalam Upaya Memperjuangkan Hak
Upah Pekerja
John Locke dengan menggunakan konstruksi hukum, mengupas tentang
perjanjian kemasyarakatan yang bertujuan untuk menjamin hidup, kebebasan, dan
hak milik rakyat dan bahwa pemerintah harus menghormati Hak Asasi Manusia
atay yang selanjutnya disebut dengan HAM. Makna perjanjian tersebut terletak
pada adanya jaminan atas hak-hak tersebut. HAM menurut cara pikir ini
mempunyai sifat pra-konstitusional. HAM merupakan hak yang diterima terlepas
dari ikatan kenegaraan (statsverband). Suatu ikatan kenegaraan yang tidak
menjamin HAM sebenarnya telah hilang dasar keberadaannya. Kebebasan
berserikat termasuk bagian dari HAM. Perlindungan terhadap pekerja termasuk
jaminan hak berserikat yang telah lama diperjuangkan oleh ILO.7
Brian Burkett menyatakan bahwa: pertama, jumlah negara anggota ILO
telah berkembang dari 42 pada tahun 1919, menjadi 177 pada tahun 2004. Antara
1919 hingga 2003, ILO mengadakan 185 konvensi dan 194 rekomendasi.
Konvensi dan rekomendasi ini berkaitan erat dengan masalah yang luas mengenai
hukum buruh dan kebijakan sosial: hak-hak dasar (kebebasan berserikat,
perundingan kolektif, kesetaraan dalam pekerjaan), kondisi kerja, pekerja anak,
perlindungan pekerja perempuan, jam kerja, inspeksi buruh, bimbingan dan
pelatihan kejuruan, masalah keamanan sosial, serta kesehatan dan keselamatan.8
Kedua, Deklarasi ILO tentang Prinsip dan Hak Dasar di Tempat Kerja
(“Deklarasi Fundamental”). Dokumen ini memberikan definisi konsensus dari
empat standar pokok perburuhan yang telah menjadi pusat dari standar kerja
global. Deklarasi Fundamental berpendapat bahwa empat standar pokok meliputi:
a) kebebasan berserikat dan pengakuan efektivitas terhadap hak untuk berunding;
b) penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib; c) penghapusan efektif
pekerja anak; dan d) penghapusan diskriminasi dalam hal pekerjaan dan jabatan.
7 Harifin A. Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia,
Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2010, Hlm.54. 8 Brian W. Burkett, The International labour dimension: an introduction, dalam Michael
Lynk, Globalization and the Future of Labour Law, Penerbit Cambridge University Press,
Cambridge, 2006, Hlm.19-20.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
28
Ketiga, posisi ILO sebagai badan penetapan standar unggul internasional
tentang isu-isu perburuhan telah memungkinkan untuk menegaskan dampak yang
berarti terhadap pengembangan sistem regional. Seperti yang akan dibahas di
bawah, melindungi prinsip-prinsip kerja fundamental telah menjadi fokus diskusi
dalam Uni Eropa, NAFTA, Mercosur, dan KTT Proses Amerika. Selain itu,
perdebatan sekitar “Klausul Sosial” dalam Organisasi Perdagangan Dunia
sebagian besar berpusat pada proposal untuk menghubungkan liberalisasi
perdagangan agar menghormati standar yang ditetapkan dalam Deklarasi
Fundamental. ILO tetap ada di “depan dan pusat” dari semua diskusi tentang
dimensi buruh internasional. Indonesia sebagai salah satu anggota ILO, telah
menserasikan asas-asas kebebasan berserikat dalam UU Nomor 21 Tahun 2000,
dengan dimungkinkannya dibentuk lebih dari satu Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Hal ini menyebabkan keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh banyak
didirikan di satu perusahaan. Sayangnya, karena ketidaksiapan buruh
melaksanakan hak berserikat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengeruk
keuntungan bagi kepentingannya sendiri dengan menjual bangsa. Dikatakan
demikian karena berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2000 diperbolehkan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh itu menerima sumbangan dana dari negara lain.9
Sering pula keberadaan yang lebih dari satu jumlahnya di satu perusahaan
justru memicu terjadinya perselisihan perburuhan yang dapat berakibat mogok
kerja yang seharusnya justru bertentangan dengan tujuan disahkannya UU Nomor
21 Tahun 2000 tersebut. Meskipun kebebasan Serikat Buruh telah dijamin oleh
Konvensi PBB/ILO, UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 21 tahun 2000,
namun kebebasan berserikat tersebut masih harus diperjuangkan. Sebab yang
tampak hanya kebebasan secara formal atau yang tampak dilihat dari luar
perusahaan. Sedangkan kebebasan sesungguhnya untuk menuntut hak-hak
normatif di lingkungan perusahaan, sangat sulit untuk didapatkan. Serikat
Pekerja/Serikat Buruh pada suatu perusahaan baru dapat terbentuk apabila
mempunyai anggota paling sedikit 10 orang anggota. Sedangkan di bidang kerja
informal, pada umumnya pekerjanya kurang dari 10 orang, tidak wajib
mendirikan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan hampir-hampir tidak terdatakan.
9 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2009, Hlm.78.
Ismi Pratiwi Podungge
Eksistensi Peran Serikat Buruh dalam Upaya Memperjuangkan Hak Upah Pekerja
(Dalam Penetapan Upah Minimum)
29
Serikat Pekerja di berbagai negara10 paling sedikit mempunyai tiga fungsi,
yaitu: 1) Serikat Pekerja adalah lembaga yang melakukan perundingan dengan
pengusaha tentang upah dan kondisi kerja; 2) Serikat Pekerja adalah bagian dari
gerakan sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan para pekerja;
dan 3) Serikat Pekerja adalah kelompok penekan yang mempengaruhi parlemen,
pemerintah dan administrasi publik. Sepanjang abad ke-20, posisi Serikat Pekerja
diterima secara umum menjadi bagian yang kuat dan lebih terintegrasi kerangka
kelembagaannya untuk negosiasi dari upah, jam kerja, dan kondisi kerja.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, menjelaskan bahwa Serikat
Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Sedangkan asas, sifat dan tujuan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh diatur dalam Pasal-Pasal berikut:
1. Menerima Pancasila sebagai dasar negara dan UUD NRI Tahun 1945
sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
NRI Tahun 1945;
3. Mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab;
4. Bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan,
serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/ buruh dan
keluarganya.
Kemudian adapun hak Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah sebagai berikut:
1) membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha; 2) mewakili
pekerjaan/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial; 3) mewakili
pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan; 4) membentuk lembaga atau
melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan
pekerja/buruh; dan 5) melakukan kegiatan lainnya dibidang ketenagakerjaan yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10 Zulkarnain Ibrahim, Eksistensi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Upaya
Mensejahterakan Pekerja, Jurnal Media Hukum, Vol.23, No.2 (2016), Hlm.154.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
30
Kedua, berkewajiban Serikat Pekerja: 1) melindungi dan membela anggota
dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya; 2)
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya; dan 3)
mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Pelaksanaan aktivitas Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dalam mengelola organisasinya harus menerapkan standar
demokrasi yang tumbuh dari bawah atau dari anggotanya. Sikap demokrasi
Serikat Pekerja berguna untuk memperjuangkan, membela serta melindungi hak
dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh
dan keluarganya. Tujuannya ialah memberikan perlindungan, pembelaan hak dan
kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya. Dapat kita lihat dari dua sudut pandang antara lain sebagai berikut:
pertama, sudut pandang pekerja/buruh dalam hal eksploitasi dan diskriminasi; Jika
diamati dari fakta upah yang dibayarkan kepada pekerja, pada umumnya
pemerasan bukan sekedar pelanggaran sosial lagi. Menurut M. Yahya Harahap,
tindakan pengusaha telah menindas dan memeras pekerja untuk menumpuk
kekayaan yang melimpah bagi pengusaha. Upah yang diterima tidak sesuai
dengan upah yang realistis dan aktual, jauh dari pemenuhan standar kebutuhan
pokok (primary need). Hal ini tidak mungkin memenuhi jaminan kehidupan.11
Dalam memperjuangkan upah bagi pekerja oleh Serikat Buruh, salah
satunya adalah melalui proses penetapan upah minimum. Persoalan mengenai
upah buruh yang diambil dari situs surabaya.tribunnews.com tahun 2013, para
buruh di PT Hexamitra Charcoalindo melakukan unjuk rasa menuntut upah sesuai
Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kab. Gresik sebesar Rp 1,74 juta perbulan.
Sedangkan perusahaan hanya memberikan upah sebesar Rp 1,56 juta per bulan
tanpa diikutkan program Jamsostek. Dari persoalan tersebut dapat dilihat bahwa
perusahaan cenderung berbuat sewenang-wenang kepada pekerjanya.
Pekerja/buruh hanya dipandang sebagai obyek dan faktor ekstern bukan sebagai
faktor intern sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan atau sebagai unsur
konstitutif yang menjadikan perusahaan dapat mencapai tujuannya.
11 M. Yahya Harahap, Citra Penegakan Hukum, Majalah Peradilan, Tahun X, No.117 (Juni
1995), Hlm.145.
Ismi Pratiwi Podungge
Eksistensi Peran Serikat Buruh dalam Upaya Memperjuangkan Hak Upah Pekerja
(Dalam Penetapan Upah Minimum)
31
Upah minimum adalah hak atau penerimaan bulanan minimum yang
diberikan perusahaan kepada pekerja sebagai imbalan dari suatu pekerjaan atau
jasa yang biasanya dinyatakan dalam bentuk uang atau tunjangan baik untuk
karyawan itu sendiri maupun untuk keluarganya melalui persetujuan atau
peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja.12
Upah merupakan sumber penghasilan utama seorang pekerja, sehingga upah harus
cukup memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dengan wajar. Batas
kewajaran tersebut dalam Kebijakan Upah Minimum di Indonesia dapat dinilai
dan diukur dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) atau sering disebut
Kebutuhan Hidup Layak (KHL).13
Penetapan upah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 88 hingga Pasal 98, yaitu
pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
Masih dalam Pasal 88 ayat 4, Pemerintah juga memetapkan upah minimum
berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi. Penetapan upah minimum dilakukan oleh Gubernur
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 89 ayat 3, “Upah Minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh Gubernur dengan mempertimbangkan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.”
Peran Serikat Pekerja dalam penetapan upah minimum yaitu Serikat
Pekerja/Serikat Buruh menjadi wakil dari anggotanya, hal ini diperlukan apabila
pekerja tidak mempunyai kemampuan dalam melakukan negosiasi, perundingan
atau penetapan keputusan dalam tingkat upah, jam kerja, kondisi kerja dan
masalah keamanan kerja. Oleh karena itu, Serikat Pekerja/Serikat Buruh
diperlukan untuk melakukan perundingan dengan perusahaan.14 Selain itu Serikat
Pekerja/Serikat Buruh mempunyai kekuatan bargaining dalam perundingan
kolektif dengan perusahaan guna mendapatkan kesepakatan dalam penetapan
upah minimum serta bersedia mendukung manajemen untuk mengajukan
penangguhan pelaksanaan upah minimum kepada pemerintah.
12 Satriando Fajar Perdana, Fungsi Serikat Pekerja dalam Perlindungan Hak-Hak Pekerja
di PT. PAL Indonesia, Fakultas Hukum UPN “Veteran”, Surabaya, 2012, Hlm.47. 13 Sonny Sumarsono, Ekonomi Manajemen Sumberdaya Manusia dan Ketenagakerjaan,
Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2003, Hlm.22. 14 Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE YKPN, Yogyakarta, 2004.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
32
Selain itu Serikat Pekerja juga dapat melakukan aksi penolakan terhadap
upah minimum yang ditetapkan pemerintah maupun perusahaan yang dianggap
masih jauh dari pemenuhan hidup para pekerja/buruh.15 Serikat Pekerja juga dapat
melakukan survei untuk menghitung nilai kebutuhan buruh dan keluarganya atau
mengenai konsep komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), hasil survei tersebut
digunakan oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagai salah satu pedoman yang
akan dibawa ke Dewan Pengupahan untuk menentukan upah minimum.16
D. PENUTUP
Serikat Pekerja/Serikat Buruh di berbagai negara paling sedikit mempunyai
tiga fungsi, yaitu: 1) Serikat Pekerja adalah lembaga yang melakukan perundingan
dengan pengusaha tentang upah dan kondisi kerja; 2) Serikat Pekerja adalah
bagian dari gerakan sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan
para pekerja; dan 3) Serikat Pekerja adalah kelompok penekan yang
mempengaruhi parlemen, pemerintah dan administrasi publik. Sepanjang abad ke-
20, posisi Serikat Pekerja telah diterima secara umum, telah menjadi bagian yang
kuat dan lebih terintegrasi kerangka kelembagaannya untuk negosiasi dari upah,
jam kerja, dan konsisi kerja
Peran Serikat Pekerja dalam penetapan upah minimum yaitu Serikat Pekerja
menjadi wakil dari anggotanya, hal ini diperlukan apabila pekerja tidak
mempunyai kemampuan dalam melakukan negosiasi, perundingan atau penetapan
keputusan dalam tingkat upah, jam kerja, kondisi kerja dan masalah keamanan
kerja. Oleh karena itu Serikat Pekerja diperlukan untuk melakukan perundingan
dengan perusahaan.17 Selain itu Serikat Pekerja mempunyai kekuatan bargaining
dalam perundingan kolektif dengan perusahaan guna mendapatkan kesepakatan
dalam penetapan upah minimum serta bersedia mendukung manajemen untuk
mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum kepada pemerintah.
15 A. Nurul Fajri Osman, Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Memberikan
Perlindungan Terhadao Buruh, Jurnal Hukum, Vol.2, No.1 (2013) Hlm.32-46. 16 Tjandraningsih, Indrasari dan Rina Herawati, Menuju Upah Layak (Survei Upah Buruh
Tekstil dan Garmen di Indoneisa), Penerbit Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, 2009. 17 Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE YKPN, Yogyakarta, 2004.
Ismi Pratiwi Podungge
Eksistensi Peran Serikat Buruh dalam Upaya Memperjuangkan Hak Upah Pekerja
(Dalam Penetapan Upah Minimum)
33
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Flippo, Edwin B.. 1990. Manajemen Personalia. (Jakarta: Penerbit Erlangga).
Handoko. 2000. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. (Yogyakarta:
Penerbit BPFE).
Lynk, Michael. 2006. Globalization and the Future of Labour Law. (Cambridge:
Penerbit Cambridge University Press).
Manullang, Sandjun. 2001. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
(Jakarta: Penerbit Rineka Cipta).
Perdana, Satriando Fajar. 2012. Fungsi Serikat Pekerja dalam Perlindungan Hak-
Hak Pekerja di PT. PAL Indonesia. (Surabaya: Penerbit Fakultas Hukum
UPN “Veteran”).
Simamora, Henry. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. (Yogyakarta:
Penerbit STIE YKPN).
Sumarsono, Sonny. 2003. Ekonomi Manajemen Sumberdaya Manusia dan
Ketenagakerjaan. (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu).
Tjandraningsih, Indrasari dan Rina Herawati. 2009. Menuju Upah Layak (Survei
Upah Buruh Tekstil dan Garmen di Indoneisa). (Jakarta: Penerbit Friedrich
Ebert Stiftung).
Tumpa, Harifin A.. 2010. Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di
Indonesia. (Jakarta: Penerbit Prenada Media).
Wijayanti, Asri. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. (Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika).
Publikasi
Budiari, Indah. Serikat Pekerja, Mengapa Penting?. Unionism. Edisi Revisi
(November 2011).
Harahap, M. Yahya. Citra Penegakan Hukum. Majalah Peradilan. Tahun X.
No.117 (Juni 1995).
Ibrahim, Zulkarnain. Eksistensi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Upaya
Mensejahterakan Pekerja. Jurnal Media Hukum. Vol.23. No.2 (2016).
Osman, A. Nurul Fajri. Penetapan Upah Minimum dalam Rangka Memberikan
Perlindungan Terhadao Buruh. Jurnal Hukum. Vol.2, No.1 (2013).
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3989.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279.
Universal Declaration of Human Rights 1948.
The 1998 ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
34
ODISSEY CONCEPT; REFORMULASI PENYELENGGARAAN JAMINAN
SOSIAL TENAGA KERJA SEBAGAI STRATEGI MEWUJUDKAN
KESEJAHTERAAN TENAGA KERJA ASEAN YANG TERINTEGRASI
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Universitas Brawijaya
Korespondensi Penulis : [email protected]
Citation Structure Recommendation :
Ningrum, Rossa Wahyu, dkk.. Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja sebagai Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang
Terintegrasi. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020).
ABSTRAK
Karya tulis ini menjelaskan tentang jaminan sosial tenaga kerja kelompok Negara
ASEAN. Tenaga kerja sebagai penunjang peningkatan pembangunan dan
pertumbuhan perekonomian dalam suatu negara berhak atas jaminan sosial. Di
Indonesia, jaminan sosial tenaga kerja itu sendiri di lindungi oleh Asuransi TKI
yang tergabung didalam satu konsorsium asuransi. Basic nya karena konsorsium
merupakan sebuah jaminan sosial asuransi swasta justru lebih mengutamakan
Profit Oriented dibanding menjamin keberlangsungan nasib tenaga kerja mulai
dari sebelum pemberangkatan sampai menjamin keselamatan TKI kembali ke
negara asalnya. Ada beberapa kendala yang masih menjadi momok belum
terselesaikan masalah tenaga kerja, mulai dari kesulitan dalam pengurusan klaim
asuransi karena tenaga kerja harus kembali ke negara asal untuk mengurus klaim
asuransinya dan klaim asuransi oleh konsorsium yang tidak maksimal. Sehingga
penulis membuat gagasan yaitu BPJS Go International yang merupakan leburan
dari konsorsium-konsorsium asuransi di Indonesia. Selain itu penulis juga
membuat gagasan mengenai konsep pemenuhan jaminan sosial terpadu dan
terintegrasi untuk tenaga kerja ASEAN berbasis Odissey Concept.
Kata Kunci: ASEAN, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Odissey Concept
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
35
A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang tergabung dalam
kelompok negara-negara Asia Tenggara (Association South East of Asian Nation
atau ASEAN).1 Sebagai negara berkembang, Indonesia melakukan berbagai upaya
yang dapat menunjang peningkatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
negaranya. Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat.2 Di
dalam perkembangan ekonomi tersebut, tenaga kerja menjadi salah satu unsur
yang berpengaruh langsung terhadap pergerakan perekonomian di Indonesia,
karena tanpa adanya tenaga kerja mustahil kegiatan perekonomian khususnya di
pabrik-pabrik maupun di perusahaan dapat berjalan dengan baik.3 Hal ini
dibuktikan dengan survei yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik, yang
menyatakan pada tahun 2013 jumlah tenaga kerja perusahaan yang bekerja di
industri skala besar dan sedang menurut subsektor 28 kelompok industri yang
disesuaikan dengan klasifikasi KBLI tahun 2009 mencapai 4.382.908 orang.4
Tenaga kerja yang dimaksud tidak hanya tenaga kerja yang berada dan
menetap di dalam negeri, tetapi juga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja
di luar negeri. Data survei yang juga diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik
menyatakan jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada
tahun 2014 sebanyak 429.872 orang. Jumlah tersebut meliputi tenaga kerja yang
bekerja di sekitar kawasan Asia Pasifik dan Amerika, kawasan Timur Tengah dan
sekitar benua Afrika serta benua Eropa.5 Sehingga TKI yang bekerja di luar negeri
telah terdiaspora secara global dalam skala besar ke banyak negara di dunia.
1 Windy Sri Wahyuni, Tinjauan Hukum terhadap Instrumen Penyertaan (Saham) pada
Pasar Modal Syariah, Penerbit USU Institutional Repository USU, Medan, 2011, Hlm.1. 2 Eko Wicaksono Pambudi, Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi (Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah), Penerbit Diponegoro University
Institutional Repository UNDIP, Semarang, 2013, Hlm.1. 3 Hasudungan Reynald, Preferensi Politik Buruh Tebu dalam Pemilukada 2010 Kota Binjai
(Studi Kasus Perilaku Buruh Tebu PTPN 2 Kebun Sei Semayang dalam Pemilihan Walikota Binjai
Tahun 2010), Penerbit USU Institutional Repository USU, Medan, 2015, Hlm.1. 4 Badan Pusat Statistik, Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang Menurut Sub
Sektor tahun 2008-2013, diakses dari https://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1063/,
diakses pada 04 April 2016. 5 Badan Pusat Statistik, Jumlah TKI Menurut Kawasan/Negara Penempatan dan Jenis
Kelamin 2013 dan 2014, diakses dari https://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1808/,
diakses pada 04 April 2015.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
36
Upaya meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia dilakukan
melalui berbagai macam cara, salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah
adalah pemberdayaan tenaga kerja baik tenaga kerja yang bekerja di dalam negeri
maupun tenaga kerja yang berdomisili di luar negeri. Pemberdayaan tersebut
dapat berupa pemberian program pelatihan skill atau kemampuan
ketenagakerjaan, penempatan tenaga kerja, pencarian lapangan pekerjaan,
perlindungan bagi kepentingan buruh, pendidikan keselamatan kerja, bantuan
terhadap rehabilitasi jabatan, dan asuransi sosial. Asuransi sosial yang dimaksud
adalah bantuan bagi tenaga kerja serta keluarganya untuk menanggulangi
hilangnya mata pencaharian yang disebabkan oleh usia lanjut, pengangguran,
kecelakaan kerja, dan penyakit yang diderita selama bekerja dan lain-lain.6
Asuransi sosial secara tidak langsung memainkan peranan penting dalam
peningkatan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Dalam sejarahnya, salah
satu manfaat asuransi sosial adalah memberikan perlindungan dasar untuk
memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya. Implikasi dari
perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada tenaga kerja sehingga
dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi maupun produktivitas
kerja. Sehingga manfaat jangka panjangnya tidak hanya dirasakan oleh tenaga
kerja dan pengusaha tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.7
Di Indonesia sendiri, implementasi jaminan sosial dilakukan oleh suatu
badan usaha milik negara yang bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial berlandaskan pada filosofi kemandirian dan
harga diri untuk mengatasi resiko sosial ekonomi. Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam sejarahnya,
Sistem Jaminan Sosial Nasional mengacu pada kaidah internasional yang
dimasukkan dalam hukum nasional melalui amandemen UUD NRI 1945 dengan
memasukkan kata jaminan sosial sebagai metode yang harus dikembangkan oleh
negara pasca krisis ekonomi Indonesia di beberapa waktu silam.
6 Luthfi J. Kurniawan dkk., Negara Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial, Penerbit Intrans
Publishing, Malang, 2015, Hlm.107-108. 7 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Sejarah BPJS Ketenagakerjaan,
diakses dari http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/page/profil/Sejarah.html, diakses pada 04 April
2016.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
37
Adapun Pasal 28H ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwasannya
“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.8 Pasal ini lalu diperkuat
lagi oleh Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan”.9 Dua Pasal tersebut merupakan amanat
dari Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”10 dan Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi
“Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”.11
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945) tersebut secara material menjadi alasan yuridis
konstitusional jaminan sosial dan menegaskan bahwa jaminan sosial merupakan
“hak” bukan “hak istimewa”.12 Konsep ini kemudian diakomodasi dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial.13 Di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional terdapat perintah untuk mentransformasikan
empat Badan Usaha Milik Negara penyelenggara program jaminan sosial menjadi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Empat Badan Usaha Milik Negara tersebut
meliputi PT ASKES (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero), PT ASABRI
(Persero) dan PT TASPEN (Persero).14
8 Indonesia (1), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD NRI
1945, Ps.28H ayat (3). 9 Ibid., Ps.34 ayat (2). 10 Ibid., Ps.27 ayat (2). 11 Ibid., Ps.34 ayat (1). 12 Hak Istimewa (Privilege): Privilege is a particular benefit or advantage enjoyed by a
person, company,or class beyond the common advantages of other citizen. An exceptional or
extraordinary power or exemptions. A peculiar right, advantage, exception, power, franchise, or
immunity held by a person or class, not generally possessed by others. 13 Rudy Hendra Pakpahan dan Eka N.A.M. Sihombing, Tanggung Jawab Negara dalam
Pelaksanaan Jaminan Sosial, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.9, No.2 (Juli 2012), Hlm.170. 14 Jamsos Indonesia, Transformasi BPJS, diakses dari
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/387#_ftn1/, diakses pada 07 April 2016.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
38
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional tersebut diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan kemudian lahirlah putusan
Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 007/PUU-III/2005 pada tanggal 31
Agustus 2005 yang menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
yang mengikat. Namun Mahkamah Konstitusi berpendapat pasal lain dalam
perkara yang diajukan yaitu Pasal 52 ayat (2) tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan berfungsi untuk
mengisi kekosongan hukum setelah dicabutnya Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan menjamin kepastian hukum karena belum ada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) yang memenuhi persyaratan agar undang-undang tersebut
dapat dilaksanakan, sehingga keempat perseroan penyelenggara jaminan sosial
berada dalam posisi transisi dan harus ditetapkan kembali sebagai Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dengan sebuah undang-undang sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo. 15
Pada tanggal 25 November 2011 pemerintah mengundangkan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagai pelaksana ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-
undang tersebut membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang masing-masing berkedudukan dan
berkantor di ibu kota Negara Republik Indonesia dan dapat mempunyai kantor
perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota. Undang-undang ini
secara otomatis membubarkan PT AKSES (Persero) dan PT JAMSOSTEK
(Persero) tanpa proses likuidasi lalu mengalihkan peserta, program, aset dan
liabilitas serta hak dan kewajiban PT AKSES (Persero) ke Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan, dan dari PT JAMSOSTEK (Persero) ke Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
15 Asih Eka Putri, Seri Buku Saku – 2: Paham BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia dan DJSN, Jakarta, 2014, Hlm.10-11.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
39
Pengalihan tersebut juga diikuti dengan pengubahan kelembagaan persero
menjadi badan hukum publik. Undang-undang ini juga mengatur organ dan tata
kelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial termasuk modal awal ditentukan
paling banyak dua triliun rupiah yang diambil dari dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Modal awal dari pemerintah merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham-saham. Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menangguhkan
pengalihan program-program yang diselenggarakan PT ASABRI (Persero) dan PT
TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.16
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mulai beroperasi sejak
tanggal 1 Januari 2014 atas perintah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Sejak dioperasikan,
penyelenggaraan program-program pelayanan kesehatan perorangan dialihkan
dari PT ASKES (Persero). Tidak hanya programnya namun juga hak dan
kewajiban hukum, aset, liabilitas, pegawai sejak PT ASKES (Persero) dinyatakan
bubar tanpa likuidasi, beralih ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang Saham
mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT ASKES (Persero) setelah
dilakukan audit oleh kantor akuntan publik dan Menteri Keuangan mengesahkan
laporan posisi keuangan pembuka Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan dan laporan posisi keuangan pembuka dana jaminan kesehatan.17
Pada tanggal yang sama yaitu pada tanggal 1 Januari 2014 juga, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan mulai dioperasikan dan
mengambil alih program-program yang sebelumnya telah diselenggarakan oleh
PT JAMSOSTEK (Persero) antara lain Program Jaminan Kecelakaan Kerja,
Program Jaminan Kematian dan Program Jaminan Hari Tua. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan juga mengambil alih segala aset,
liabilitas, pegawai dan hak serta kewajiban hukum dari PT JAMSOSTEK
(Persero) sejak dinyatakan bubar tanpa likuidasi. Menteri Badan Usaha Milik
Negara selaku Rapat Umum Pemegang Saham mengesahkan laporan posisi
keuangan penutup perusahaan negara PT JAMSOSTEK (Persero).
16 Asih Eka Putri, Ibid., Hlm.11-13. 17 Asih Eka Putri, Ibid., Hlm.14.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
40
Hal itu setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik dan Menteri
Keuangan mengesahkan laporan posisi keuangan pembuka Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan laporan posisi keuangan pembuka dana
jaminan ketenagakerjaan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
terus menerima peserta baru hingga 30 Juni 2015. Pada 1 Juli 2015, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan menyelenggarakan Program
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan
Pensiun sesuai ketentuan undang-undang bagi peserta yang tidak mengikuti
kepesertaan PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero).18
Jaminan sosial menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial
untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak.19 Peserta BPJS adalah setiap orang termasuk WNA yang bekerja
paling singkat enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran.20 Pelaksanaan
di dalam negeri tidak menimbulkan masalah yang serius, justru peserta pengguna
BPJS bertambah secara signifikan setiap tahun. Menjelang akhir tahun 2015,
peserta pengguna BPJS mencapai 18,7 juta orang sedangkan target peserta
pengguna yang dipasang oleh BPJS untuk tahun 2016 adalah sebanyak 25 juta
orang.21 BPJS Ketenagakerjaan juga mencatat jumlah tenaga kerja RI saat ini
mencapai 120 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 80 juta orang bekerja di
sektor informal, sedangkan 40 juta orang sisanya bekerja di sektor formal.
Sehingga kedepannya BPJS ketenagakerjaan akan lebih fokus kepada pekerja
informal yang jumlahnya lebih banyak daripada pekerja formal.22
18 Asih Eka Putri, Ibid., 17-18. 19 Indonesia (2), Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011, LN Tahun 2011 No.116, TLN No.5256, Ps.1 angka 2. 20 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS: Jika ditafsirkan secara
gramatikal, kata “setiap” dalam penggalan kalimat [...] setiap orang [...] di pasal tersebut merujuk
pada pengertian seluruh Warga Negara Indonesia baik yang bekerja di dalam maupun di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan dalam perkembangannya, setiap warga
negara asing yang bekerja di wilayah NKRI membayar iuran yang telah dibebankan kepadanya. 21 Imam Suhartadi dalam Berita Satu, 2016, BPJS Ketenagakerjaan Targetkan 25 Juta
Peserta, diakses dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/321617-2016-bpjs-ketenagakerjaan-
targetkan-25-juta-peserta.html/, diakses pada 05 April 2016. 22 Lani Pujiastuti dalam Detik Finance, Jaring 23 Juta Peserta di 2016, BPJS
Ketenagakerjaan Fokus Pekerja Informal, diakses dari
http://finance.detik.com/read/2015/12/04/121918/3087859/4/jaring-23-juta-peserta-di-2016-bpjs-
ketenagakerjaan-fokus-pekerja-informal/, diakses pada 05 April 2016.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
41
Namun sayangnya upaya pengimplementasian jaminan sosial mengalami
kendala ketika dibawa keluar negeri, terlebih jika berusaha diterapkan kepada para
Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja diluar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Nurus S. Mufidah, Wasekjen ASPEK menyatakan bahwa program
jaminan sosial tidak meng-cover tenaga kerja yang berada di luar negeri. Padahal
seharusnya tenaga-tenaga kerja tersebut mendapatkan hak yang sama, tidak hanya
asuransi kesehatan tapi juga program lainnya seperti Jaminan Hari Tua (JHT),
Jaminan Pensiunan dan Jaminan Kematian.23 TKI juga sering disebut sebagai
“Pahlawan Devisa Negara” karena jasanya yang besar dalam menggenjot
pendapatan nasional yang berasal dari remiten TKI yang bekerja di luar negeri.
Pada tahun 2014 tercatat pemasukan devisa yang dihasilkan dari uang Tenaga
Kerja Indonesia sebesar US$ 8 milyar atau sekitar 100 juta triliun rupiah.24
Jumlah tersebut akan meningkat jika etos dan semangat kerja Tenaga Kerja
Indonesia naik. Salah satu caranya adalah memberi jaminan sosial yang
merupakan hak Tenaga Kerja Indonesia juga. Sehingga harapannya dengan
pemberian jaminan sosial oleh pemerintah tersebut, para Tenaga Kerja Indonesia
lebih fokus dengan pekerjaannya dan tidak terlalu mengkhawatirkan hal-hal yang
menjadi resiko dalam menjalankan pekerjaan seperti kecelakaan yang
mengakibatkan sakit dan/atau cacat yang terkadang dapat mengancam karir dan
berakhir dengan pemutusan hubungan kerja. Cara yang selama ini telah
diterapkan dalam memberi jaminan sosial bagi Tenaga Kerja Indonesia adalah
menggunakan sistem konsorsium asuransi, melalui mekanisme pendaftaran calon
Tenaga Kerja Indonesia oleh perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia.
Konsorsium asuransi adalah kumpulan sejumlah perusahaan asuransi sebagai satu
kesatuan yang terdiri dari ketua dan anggota, untuk menyelenggarakan program
asuransi Tenaga Kerja Indonesia yang dibuat dalam perjanjian konsorsium.25
23 Nidia Zuraya dalam Republika Online, Program Jaminan Sosial, Hanya Milik Pekerja di
Dalam Negeri?, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/kolom/fokus/13/11/14/mw9esn-
program-jaminan-sosial-hanya-milik-pekerja-di-dalam-negeri/, diakses pada 05 April 2016. 24 H.Satrio Widianto dalam Pikiran Rakyat, Devisa TKI Sebesar Rp 100 Triliun, diakses
dari http://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2015/05/07/326426/devisa-tki-sebesar-rp-100-triliun,
diakses pada 05 April 2016. 25 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Peraturan Menteri
tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.07/MEN/V/2010, Ps.1 angka 14.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
42
Namun dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7
Tahun 2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia hanya menetapkan satu
konsorsium asuransi Tenaga Kerja Indonesia yang diketuai oleh satu perusahaan
swasta dan beranggotakan 10 perusahaan swasta. Hal ini dianggap bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan diatasnya oleh Mahkamah Agung
sehingga Mahkamah Agung mencabut keberlakuan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi tersebut dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Bertepatan dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung yang
mengabulkan permohonan gugatan yang teregistrasi Nomor 2 P/HUM/2013 atas
nama pemohon Indasah dan termohon Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Muhaimin Iskandar, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi langsung
mengeluarkan tiga keputusan untuk mengisi kekosongan hukum dalam hal
asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Keputusan itu masing-masing bernomor 212,
213 dan 214 dan dikeluarkan pada tahun 2013. Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi menunjuk beberapa perusahaan asuransi yang kemudian
dikelompokkan menjadi tiga konsorsium asuransi.
Namun dalam pelaksanaannya konsorsium asuransi memiliki beberapa
kelemahan atau masalah salah satunya yaitu klaim asuransi yang baru bisa
dinikmati oleh Tenaga Kerja Indonesia setelah kembali ke Indonesia. Sehingga
untuk mengatasi hal tersebut, penulis membuat gagasan yang mengakomodasi
upaya penyelenggaraan jaminan sosial untuk tenaga kerja ASEAN dengan cara
menghubungkan penyelenggara jaminan sosial atau Social Security Company
atau SSC dengan perusahaan swasta multinasional yang ditunjuk oleh ASEAN
atau Multinational Insurance Coorporation (MoniC). Konsep ini bernama
Odissey atau One-Door Insurance System for ASEAN Employments.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membuat karya tulis yang
berjudul “Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja sebagai Strategi Mewujudkan Tenaga Kerja ASEAN yang
Terintegrasi”. Rumusan masalah yang diangkat oleh penulis adalah bagaimana
kondisi implementasi jaminan sosial bagi Tenaga Kerja Indonesia saat ini dan
bagaimana implementasi konsep BPJS Go International dan Odissey Concept
dalam usaha memenuhi jaminan sosial bagi tenaga kerja di ASEAN?
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
43
B. PEMBAHASAN
1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia Selama ini
Indonesia adalah negara kesejahteraan (Welfare State). Ciri sebuah Negara
kesejahteraan adalah munculnya kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan
umum bagi warga negaranya.26 Negara Kesejahteraan sangat erat kaitannya
dengan kebijakan sosial yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-
upaya negara dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya, terutama
melalui perlindungan sosial.27 Salah satu upaya yang dilakukan oleh Negara
Indonesia untuk mensejahterakan warga negaranya adalah melalui jaminan sosial.
Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin
seluruh Warga Negara agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.28
Jaminan sosial bukan hak istimewa, melainkan hak dari setiap tenaga kerja
sehingga setiap pekerja wajib mendapatkan jaminan sosial baik tenaga kerja yang
bekerja di dalam negeri maupun tenaga kerja yang bekerja di luar negeri atau TKI.
a. BPJS Ketenagakerjaan
BPJS merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam
sejarahnya, Sistem Jaminan Sosial Nasional mengacu pada kaidah internasional
yang dimasukkan dalam hukum nasional melalui amandemen Undang-Undang
Dasar 1945, dengan memasukkan kata jaminan sosial sebagai metode yang harus
dikembangkan oleh negara pasca krisis ekonomi Indonesia. Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terdapat perintah
untuk mentransformasikan empat Badan Usaha Milik Negara penyelenggara
program jaminan sosial menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Empat Badan Usaha Milik Negara tersebut meliputi PT JAMSOSTEK (Persero),
PT ASKES (Persero), PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero).29
26 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit Pustaka Tinta
Mas, Surabaya, 1998, Hlm.11. 27 Perlindungan sosial (social protection) mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan
sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets) dalam Edi Suharto,
Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik (Social Policy as Public Policy), Edisi II, Penerbit
Alfabeta, Bandung, 2008, Hlm.8. 28 Indonesia (3), Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004, LN. Tahun 2004 Nomor 150, TLN. Nomor
4456, Ps.1 angka 1. 29 Jamsos Indonesia, Transformasi BPJS, diakses dari
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/387#_ftn1/, diakses pada 07 April 2016.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
44
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional tersebut diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan lahir putusan Mahkamah
Konstitusi atas perkara nomor 007/PUU-III/2005 pada tanggal 31 Agustus 2005
yang menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) undang-undang
tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Namun, Mahkamah Konstitusi berpendapat pasal lain dalam perkara yang
diajukan yaitu Pasal 52 ayat (2) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan berfungsi untuk mengisi kekosongan
hukum setelah dicabutnya Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan menjamin
kepastian hukum karena belum ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
memenuhi persyaratan agar undang-undang tersebut dapat dilaksanakan. Sehingga
keempat perseroan penyelenggara jaminan sosial berada dalam posisi transisi dan
harus ditetapkan kembali sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan
sebuah undang-undang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1).30
Pada tanggal 25 November 2011, pemerintah mengundangkan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagai pelaksana ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-
undang tersebut membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang masing-masing berkedudukan dan
berkantor di ibu kota Negara Republik Indonesia dan dapat mempunyai kantor
perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota. Undang-undang ini
secara otomatis membubarkan PT AKSES (Persero) dan PT JAMSOSTEK
(Persero) tanpa proses likuidasi lalu mengalihkan peserta, program, aset dan
liabilitas serta hak dan kewajiban PT AKSES (Persero) ke Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan, dan dari PT JAMSOSTEK (Persero) ke Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Pengalihan tersebut juga diikuti
dengan mengubah kelembagaan persero menjadi badan hukum publik.
30 Asih Eka Putri, Seri Buku Saku – 2: Paham BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia dan DJSN, Jakarta, 2014, Hlm.10-11.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
45
Undang-undang ini juga mengatur organ dan tata kelola Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) termasuk modal awal ditentukan paling
banyak dua triliun rupiah yang diambil dari dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Modal awal dari pemerintah merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham-saham. Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menangguhkan
pengalihan program-program yang diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero)
dan PT ASABRI (Persero) ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan paling lambat pada tahun 2029.31
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mulai beroperasi sejak
tanggal 1 Januari 2014 atas perintah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Sejak dioperasikan,
penyelenggaraan program-program pelayanan kesehatan perorangan dialihkan
dari PT ASKES (Persero). Tidak hanya programnya namun juga hak dan
kewajiban hukum, aset, liabilitas, pegawai sejak PT ASKES (Persero) dinyatakan
bubar tanpa likuidasi, beralih ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang Saham
mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT ASKES (Persero) setelah
dilakukan audit oleh kantor akuntan publik dan Menteri Keuangan mengesahkan
laporan posisi keuangan pembuka Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan dan laporan posisi keuangan pembuka dana jaminan kesehatan.32
Pada tanggal 1 Januari 2014 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan mulai dioperasikan dan mengambil alih program-program yang
telah diselenggarakan oleh PT JAMSOSTEK (Persero) antara lain program
jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian dan Program Jaminan Hari
Tua. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan juga mengambil alih
aset, liabilitas, pegawai dan hak serta kewajiban hukum dari PT JAMSOSTEK
(Persero) sejak dinyatakan bubar tanpa likuidasi. Menteri Badan Usaha Milik
Negara selaku Rapat Umum Pemegang Saham mengesahkan laporan posisi
keuangan penutup PT JAMSOSTEK (Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor
akuntan publik dan Menteri Keuangan.
31 Asih Eka Putri, Ibid., Hlm.11-13. 32 Asih Eka Putri, Ibid., Hlm.14.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
46
Pemerintah mengesahkan laporan posisi keuangan pembuka Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan laporan posisi keuangan
pembuka dana jaminan ketenagakerjaan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan terus menerima peserta baru hingga 30 Juni 2015. Pada 1 Juli
2015, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan menyelenggarakan
Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan
Jaminan Pensiun sesuai ketentuan undang-undang bagi peserta yang tidak
mengikuti PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero).33
Jaminan sosial menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial
untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak.34 Peserta BPJS adalah setiap orang termasuk WNA yang bekerja
paling singkat enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran.35 Pelaksanaan
di dalam negeri tidak menimbulkan masalah yang serius, justru peserta pengguna
BPJS bertambah secara signifikan setiap tahun. Menjelang akhir tahun 2015,
peserta pengguna BPJS mencapai 18,7 juta orang, sedangkan target peserta
pengguna yang dipasang oleh BPJS untuk tahun 2016 adalah sebanyak 25 juta
orang.36 BPJS Ketenagakerjaan juga mencatat jumlah tenaga kerja RI saat ini
mencapai 120 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 80 juta orang bekerja di
sektor informal, sedangkan 40 juta orang sisanya bekerja di sektor formal.
Sehingga kedepannya BPJS ketenagakerjaan akan lebih fokus kepada pekerja
informal yang jumlahnya lebih banyak daripada pekerja formal.37
33 Asih Eka Putri, Ibid., 17-18. 34 Indonesia (4), Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011, LN Tahun 2011 No.116, TLN No.5256, Ps.1 angka 2. 35 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS: Jika ditafsirkan secara
gramatikal, kata “setiap” dalam penggalan kalimat [...] setiap orang [...] di Pasal tersebut merujuk
pada pengertian seluruh Warga Negara Indonesia baik yang bekerja di dalam maupun di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan dalam perkembangannya, setiap warga
negara asing yang bekerja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak terdaftar
sebagai peserta BPJS apabila masa kerjanya minimal enam bulan dan telah membayar iuran yang
telah dibebankan kepadanya. 36 Imam Suhartadi, 2016, BPJS Ketenagakerjaan Targetkan 25 Juta Peserta, diakses dari
http://www.beritasatu.com/ekonomi/321617-2016-bpjs-ketenagakerjaan-targetkan-25-juta-
peserta.html/, diakses pada 05 April 2016. 37 Lani Pujiastuti, Jaring 23 Juta Peserta di 2016, BPJS Ketenagakerjaan Fokus Pekerja
Informal, diakses dari http://finance.detik.com/read/2015/12/04/121918/3087859/4/jaring-23-juta-
peserta-di-2016-bpjs-ketenagakerjaan-fokus-pekerja-informal/, diakses pada 05 April 2016.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
47
Nurus S. Mufidah, Wasekjen ASPEK, menyatakan bahwa program jaminan
sosial tidak meng-cover tenaga kerja yang berada di luar negeri. Padahal
seharusnya tenaga-tenaga kerja tersebut mendapatkan hak yang sama, tidak hanya
asuransi kesehatan tapi juga program lainnya seperti Jaminan Hari Tua (JHT),
Jaminan Pensiunan dan Jaminan Kematian.38 Jumlah devisa TKI akan meningkat
jika etos dan semangat kerja Tenaga Kerja Indonesia naik, salah satu caranya
adalah memberi jaminan sosial yang merupakan hak Tenaga Kerja Indonesia juga.
Sehingga harapannya dengan pemberian jaminan sosial oleh pemerintah tersebut,
para Tenaga Kerja Indonesia lebih fokus dengan pekerjaannya dan tidak terlalu
mengkhawatirkan hal-hal yang menjadi resiko dalam menjalankan pekerjaan
seperti kecelakaan yang mengakibatkan sakit dan/atau cacat yang terkadang dapat
mengancam karir dan berakhir dengan pemutusan hubungan kerja.
b. Konsorsium Asuransi (Asuransi TKI) sebagai Perlindungan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia Selama Ini
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada hakekatnya juga termasuk tenaga kerja,
namun yang membedakan hanya wilayah tempat bekerjanya yaitu di luar negeri.
Definisi TKI itu sendiri yakni setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi
syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu
dengan menerima upah.39 Saat ini, TKI mendapatkan suatu bentuk perlindungan
berupa sebuah program asuransi yang dinamakan dengan Asuransi Tenaga Kerja
Indonesia (Asuransi TKI). Program Asuransi adalah program yang diberikan
kepada calon TKI yang meliputi pra-penempatan, masa penempatan, dan purna
penempatan di luar negeri dalam hal terjadi risiko-risiko yang diatur dalam
peraturan menteri.40 Program Asuransi tersebut diselenggarakan oleh perusahaan
asuransi swasta yang tergabung dalam suatu konsorsium asuransi swasta dan telah
mendapat penetapan oleh menteri.41
38 Nidia Zuraya, Program Jaminan Sosial, Hanya Milik Pekerja di Dalam Negeri?, diakses
dari http://www.republika.co.id/berita/kolom/fokus/13/11/14/mw9esn-program-jaminan-sosial-
hanya-milik-pekerja-di-dalam-negeri/, diakses pada 05 April 2016. 39 Indonesia (5), Undang-Undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri¸Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, LN. Tahun
2004 Nomor 133, TLN. Nomor 4445, Ps.1 angka 1. 40 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Peraturan Menteri
tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia, Permenakertrans Nomor PER.07/MEN/V/2010, Ps.1
angka 5. 41 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Ibid., Ps.3.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
48
Konsorsium Asuransi TKI adalah kumpulan sejumlah perusahaan asuransi
sebagai satu kesatuan yang terdiri dari ketua dan anggota, untuk
menyelenggarakan program asuransi TKI yang dibuat dalam perjanjian
konsorsium.42 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada awalnya hanya
menetapkan satu konsorsium asuransi dalam peraturan pengatur asuransi TKI.
Namun dicabut oleh Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan diatasnya yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Perasuransian dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Putusan Mahkamah Agung ini
merupakan putusan yang mengabulkan permohonan gugatan yang teregistrasi
Nomor 2 P/HUM/2013 atas nama pemohon Indasah dan termohon Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Muhaimin Iskandar.
Konsorsium Asuransi TKI yang telah ditetapkan oleh pemerintah yakni
Konsorsium Asuransi TKI Jasindo dengan ketua PT Asuransi Jasa Indonesia
(Persero), Konsorsium Asuransi TKI Astindo dengan ketua PT Asuransi Adira
Dinamika dan Konsorsium Asuransi Mitra TKI dengan ketua PT Asuransi Sinar
Mas. Penetapan ketiga konsorsium tersebut ditandatangani oleh Menteri
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi dengan menerbitkan Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 212 Tahun 2013,
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
213 Tahun 2013 dan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 214 Tahun 2013.
Di dalam tiga Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
Republik Indonesia itu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjuk
tiga konsorsium asuransi dimana masing-masing konsorsium diketuai oleh satu
perusahaan asuransi dan beranggotakan sepuluh perusahaan asuransi. Konsorsium
asuransi Jasindo adalah satu-satunya konsorsium asuransi yang berbentuk Badan
Usaha Milik Negara. Sedangkan dua konsorsium asuransi lain yaitu Konsorsium
Asuransi Astindo dan Konsorsium Asuransi Mitra TKI ialah perseroan.
Disebutkan juga bahwasannya tiga konsorsium asuransi akan beroperasi paling
lama empat tahun sejak keluarnya keputusan tersebut.
42 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Ibid., Ps.1 angka 14.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
49
Berikut Tabel mengenai penyelenggara ke tiga konsorsium TKI tersebut.43
Konsorsium Asuransi
TKI Jasindo
(Penyelenggara 1)
Konsorsium Asuransi
TKI Astindo
(Penyelenggara 2)
Konsorsium Asuransi
TKI Mitra TKI
(Penyelenggara 3)
PT Asuransi Jasa
Indonesia (Asuransi
Umum)
PT Asuransi Adira
Dinamika (Asuransi
Umum)
PT PT Asuransi Sinar
Mas (Asuransi Umum)
PT Asuransi Central
Asia (Asuransi Umum)
PT Victoria Insurance
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Jasa Tania
(Asuransi umum)
PT Asuransi Ekspor
Indonesia (Asuransi
Umum)
PT Malacca Trust
Wuwungan Insurance
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Videi
(Asuransi Umum)
PT Staco Mandiri
(Asuransi Umum)
PT Tugu Pratama
Indonesia (Asuransi
Umum)
PT Asuransi Parolamas
(Asuransi Umum)
PTAsuransi Binagriya
Upakara (Asuransi
Umum)
PT Panin Insurance Tbk
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Dayin Mitra
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Tri Pakarta
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Mega
Pratama (Asuransi
Umum)
PT Asuransi Intra Asia
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Indrapura
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Recapital
(Asuransi Umum)
PT Pan Pasific Insurance
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Himalaya
Pelindung (Asuransi
Umum)
PT Asuransi Astra Buana
(Asuransi Umum)
PT Maskapai Asuransi
Sonwelis
PT Asuransi Asoka Mas
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Umum
Bumiputeramuda 1967
(Asuransi Umum)
PT Asuransi Jiwa Tugu
Mandiri (Asuransi
Umum)
Pt Asuransi Jiwa Bringin
Jiwa Sejahtera (Asuransi
Jiwa)
PT Asuransi Recapital
Life (Asuransi Jiwa)
PT Asuransi Jiwa Sinar
Mas MSIG (Asuransi
Jiwa)
Tabel 1. Penyelenggara Konsorsium TKI
Sumber: Kreasi Penulis
43 Perjanjian kerja bersama antara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia dengan Konsorsium Asuransi TKI ASTINDO, Konsorsium Asuransi TKI
JASINDO, Konsorsium Asuransi TKI MITRA TKI tentang Peningkatan Penggunaaan Transaksi
Non Tunai secara Terintegrasi dalam Penyelenggaraan Program Asuransi TKI Nomor
B.70/ISU/II/2015, Nomor 0710/AST-TKI-SRT/II/2015, Nomor 002/147-1/II/2015, Nomor
001/KONS-MITRA TKI/II/2015.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
50
Berdasarkan tabel diatas penyelenggara konsorsium asuransi TKI masing-
masing memiliki satu ketua dan beranggotakan 10 perusahaan asuransi. Tugas
dari perusahaan yang tergabung sebagai anggota pada masing-masing konsorsium
yakni untuk melakukan verifikasi data jenis asuransi pada masing-masing
perusahaan baik asuransi kerugian atau asuransi jiwa.44 Berdasarkan Pasal 14
Permenakertrans Nomor PER.07/MEN/V/2010 menyatakan bahwa45:
“Konsorsium Asuransi TKI wajib memberikan pelayanan kepada peserta
program asuransi TKI berupa:
a. Pendaftaran kepersertaan Asuransi;
b. Perpanjangan kepersertaan Asuransi;
c. Penyerahan KPA kepada Calon TKI;
d. Pembayaran klaim Asuransi Pra, Masa, dan Purna Penempatan; dan
e. Pelayanan lain sesuai lingkup pertanggungan.”
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) wajib membayar asuransi yaitu Asuransi Pra-
penempatan, Penempatan dan Purna Penempatan. Besarnya Asuransi Pra-
penempatan Rp.50.000.000,-, jangka waktu pertanggungannya paling lama 5
bulan sejak penandatangan perjanjian. Program asuransi tersebut meliputi:
1) Risiko meninggal dunia;
2) Risiko sakit dan cacat;
3) Risiko gagal berangkat bukan karena kesalahan calon TKI; dan
4) Risiko tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan/ pelecehan seksual.
Besar Asuransi Penempatan yakni Rp.300.000,- dan jangka waktu
pertanggungannya paling lama 24 bulan. Program asuransi tersebut meliputi:
1) Risiko gagal ditempatkan bukan karena kesalahan TKI;
2) Risiko meninggal dunia;
3) Risiko sakit dan cacat;
4) Risiko kecelakaan di dalam dan di luar jam kerja;
5) Risiko pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara perseorangan maupun
massal sebelum berakhirnya perjanjian kerja;
6) Risiko upah tidak dibayar;
7) Risiko pemulangan TKI bermasalah;
8) Risiko menghadapi masalah hukum;
9) Risiko tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan/pelecehan seksual;
10) Risiko hilangnya akal budi; dan
11) Risiko yang terjadi dalam hal TKI dipindahkan ke tempat kerja/tempat
lain yang tidak sesuai dengan perjanjian penempatan.
44 Putu Arma Indirayani, Tanggung Jawab Konsorsium Asuransi Bagi Tenaga Kerja
Indonesia Berdasarkan Permenakertrans No.P.07/Men/V/2010 Tentang Asuransi Tenaga Kerja
Indonesia, Penerbit Universitas Mataram Repository, Mataram, 2014, Hlm.6. 45 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Peraturan Menteri
tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia, Permenakertrans Nomor PER.07/MEN/V/2010, Ps.14.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
51
Sedangkan Asuransi Purna, penempatan besar asuransi yang dibayarkan
adalah Rp. 50.000.000,- dan jangka waktu pertanggungannya paling lama 1 bulan
sejak berakhirnya perjanjian kerja yang terakhir atau TKI sampai ke daerah asal
dengan ketentuan tidak melebihi 1 bulan sejak perjanjian kerja yang terakhir
berakhir. Program asuransi ini meliputi:
1) Risiko kematian
2) Risiko sakit
3) Risiko kecelakaan; dan
4) Risiko kerugian atas tindakan pihak lain selama perjalanan pulang ke
daerah asal, seperti risiko tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan atau
pelecehan seksual dan risiko kerugian harta benda.
Namun program ini belum efektif. Hal ini dapat dilihat dari asuransi yang
diperoleh tidak sesuai dengan jaminan sosial yang seharusnya diperoleh TKI
sebagai Warga Negara indonesia. Pengelolaan asuransi TKI yang dilakukan oleh
pihak swasta yaitu konsosrsium asuransi bukan oleh negara langsung, yang mana
pada prinsipnya asuransi komersil bersifat mencari keuntungan sehingga para TKI
yang bersangkutan sulit untuk melakukan klaim Asuransi.46 Terbukti dari tingkat
klaim Asuransi tidak sampai lima persen dari jumlah peserta. Banyaknya
permasalahan yang dihadapi oleh TKI di luar negeri seperti pemutusan hubungan
kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, kematian, sakit dan lain-lain menunjukkan
bahwa pelaksanaan program asuransi TKI belum dapat dilaksanakan secara
maksimal. BNP2TKI mencatat pada tahun 2010 dan 2011, terdapat 15.874 klaim
asuransi yang diajukan, yang disetujui sebanyak 8.269 klaim (52%), yang ditolak
sebanyak 7.391 klaim (47%) dan dalam proses sebanyak 215 klaim (1%).
Tabel 2. Data Klaim TKI Tahun 2010-2011
Sumber: BNP2TKI
46 Pusat Sumber Daya Buruh Migran, Kontroversi Asuransi TKI Harus Dituntaskan,
diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/132498, yang dimuat pada
http://www.buruhmigran.or.id/2011/01/kontroversi-asuransi-tki-harus-dituntaskan/, diakses pada
tanggal 8 April 2016.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
52
Penerimaan pengajuan dan pembayaran klaim TKI merupakan tanggung
jawab yang paling penting dari Konsorsium Asuransi karena dari pembayaran
klaim yang dilakukan, implementasi pelaksanaan program asuransi, yang
merasakan manfaatnya adalah calon TKI. Namun kenyataannya dewasa ini
mengenai klaim asuransi TKI merupakan hal yang bermasalah yang dihadapi oleh
pihak TKI. Tercatat oleh Kemenakertrans (Kementerian Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi) yang menyatakan terdapat 5.693 klaim asuransi TKI yang ditolak
oleh perusahaan asuransi. Sekitar 10 perusahaan asuransi yang ditunjuk
pemerintah menolak membayar klaim asuransi TKI.
Hanya 1.067 TKI yang dalam proses pembayaran, dan sisanya ditolak.
Klaim tersebut ditolak karena bermasalah (Direktur Jenderal Pembina
Penempatan Tenaga Kerja Reyna Usman Jakarta, 19 Juni 2012.). Data BNP2TKI
mencatat Rekapitulasi Premi dan Peserta Asuransi sejak Januari-Agustus 2014
pada 3 konsorsium asuransi TKI yaitu Mitra TKI berjumlah 124.903, Jasindo
185.890, dan Astindo 100.897. Adapun untuk Rekapitulasi Klaim Asuransinya
pada periode Januari-Agustus 2014 untuk TKI Mitra TKI, jumlahnya ada 111
orang dengan nilai klaim 1.101.865.404, untuk Jasindo jumlahnya ada 760 orang
dengan nilai klaim 3.446.531.430, dan untuk Astindo jumlahnya ada 266
orang dengan nilai klaim 2.242.562.715.
Dalam penelitian yang dilakukan pada konsorsium asuransi Jasindo, klaim
atas nama Najamudin diproses dalam jangka waktu lebih 2 bulan. Terhitung sejak
bulan Februari hingga pembayaran dilakukan bulan April. Secara normatif dalam
Pasal 26 ayat menyatakan bahwa “santunan atas klaim yang diajukan wajib
dibayar oleh konsorsium TKI selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak persyaratan pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat 4 terpenuhi”.
Inilah salah satu yang nantinya menjadi masalah asuransi bagi TKI, bahwa proses
pencairan dana santunan memerlukan waktu yang cukup lama dimana tidak sesuai
dengan apa yang tercantum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi tersebut.47
47 Putu Arma Indirayani, Tanggung Jawab Konsorsium Asuransi Bagi Tenaga Kerja
Indonesia Berdasarkan Permenakertrans No.P.07/Men/V/2010 Tentang Asuransi Tenaga Kerja
Indonesia, Penerbit Universitas Mataram Repository, Mataram, 2014, Hlm.7.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
53
Permasalahan lain yang dituturkan oleh Direktur Jenderal Pembina
Penempatan Tenaga Kerja Reyna Usman yang mana ia menjelaskan bahwasanya
untuk mengurus klaim asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) harus kembali ke
Indonesia untuk mencairkan klaim asuransinya. Hal ini memerlukan waktu yang
lama dan terjadi penumpukan pada masa purna penempatan.48 LSM Migrant Care
(Direktur Eksekutif LSM Migrant Care, Anis Hidayah) menyatakan bahwa
birokrasi klaim asuransi terlalu berbelit-belit, proteksi yang kurang, tata kelola
tidak maksimal serta data dan mekanisme yang transparan masih belum jelas.49
Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI, Lisna Yoelani Poeloengan, juga
menyebutkan bahwa pengurusan klaim asuransi saat ini dikeluhkan para TKI.
Menurutnya, susahnya pencairan yang dialami TKI dikarenakan pihak perusahaan
Konsorsium Asuransi TKI memberlakukan standar ganda, yaitu ketika menarik
premi dari tertanggung (TKI) perusahaan konsorsium TKI menggunakan payung
hukum Permenakertrans Nomor 07/MEN/V/2010. Akan tetapi, ketika tertanggung
mengalami masalah kerja yang menjadi jenis risiko yang ditanggung asuransi
perlindungan TKI seperti sakit, kecelakaan kerja, gagal berangkat bukan karena
kesalahan calon TKI, mengalami tindak kekerasan, pelecehan seks dan
pemerkosaan, gagal ditempatkan bukan karena kesalahan TKI dan sebagianya
hingga kasus TKI meninggal dunia-pihak perusahaan Konsorsium Asuransi TKI
menggunakan polis asuransi sebagaimana diatur didalam Undang-Undang yang
berkaitan dengan materi asuransi.50
Koordinator Supervisi pencegahan, komisi pemberantasan korupsi (KPK),
Asep Rahmat Suwandha, mengatakan lembaganya merekomendasikan
pengelolaan asuransi TKI diserahkan pada BPJS Ketenagakerjaan. BPJS
Ketenagakerjaan dinilai memiliki kapasitas dalam mengurusi asuransi TKI dan
dapat menjalin kerjasama yang lebih komprehensif untuk mengelola asuransi
diluar negeri. Lembaganya kemudian merekomendasikan pengelolaan itu
diserahkan pada BPJS Ketenagakerjaan sebagai lembaga pemerintah yang
mendapat amanat undang-undang untuk mengurusi tenaga kerja di Indonesia.
48 Badan Pemeriksa Keuangan, Peran Konsorsium Asuransi Dipertanyakan, diakses dari
http://jdih.bpk.go.id/?p=42879/, diakses pada 8 April 2016. 49 Badan Pemeriksa Keuangan, Ibid.. 50 Pernyataan Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI Lisna Yoelani Poeloengan depan
forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR, di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
54
2. Konsep BPJS Go International dan Odissey Concept dalam Usaha
Memenuhi Jaminan Sosial Bagi Tenaga Kerja di ASEAN
a. Konsep BPJS Go International
BPJS Go International merupakan konsep yang digagas oleh penulis
sebagai program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dikelola oleh BPJS
ketenagakerjaan yang khusus menangani masalah Tenaga Kerja Indonesia yang
bekerja di Luar Negeri. Tujuan BPJS Go Internasional mengemban misi negara
untuk memenuhi konstitusional Tenaga Kerja Indonesia atas jaminan sosial
dengan dengan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat indonesia. Pentingnya BPJS Go International dalam
menyelenggarakan program jaminan sosial dengan cakupan seluruh penduduk
Indonesia. Sama halnya dengan Asuransi TKI, BPJS Go International memiliki
tugas dan ambil alih mulai dari Pra-Penempatan, Masa Penempatan dan Pasca
Penempatan. Fungsi BPJS Go International sama dengan fungsi BPJS umumnya
yaitu memenuhi empat program diantaranya program jaminan kecelakaan kerja,
jaminan hari tua, jaminan pensiun dan Jaminan Kematian. Program Jaminan
Kecelakaan Kerja bertujuan untuk menjamin agar peserta TKI memperoleh
manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang apabila mengalami kecelakaan
kerja atau menderita penyakit akibat kerja.
Selanjutnya Program Jaminan Hari Tua diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib, dengan tujuan untuk
menjamin agar peserta TKI menerima uang tunai apabila memasuki masa habis
kontrak kerja, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Kemudian
Program Jaminan Pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial atau tabungan wajib, untuk mempertahankan derajat kehidupan
yang layak pada saat peserta TKI kehilangan atau berkurang penghasilannya
karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap. Kemudian
Program Jaminan Pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial atau tabungan wajib, untuk mempertahankan derajat kehidupan
yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena
memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
55
Sedangkan Program Jaminan Kematian diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial dengan tujuan untuk memberikan santuan
kematian yang dibayarkan kepada ahli waris peserta TKI yang meninggal dunia.
Adapun Tugas BPJS Go International adalah :
a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta dari PJTKI yang
bersangkutan;
b. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja
(majikan);
c. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta Tenaga Kerja
Indonesia (TKI);
d. Mengumpulkan dan mengelola data peserta TKI program jaminan sosial;
e. Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai
dengan ketentuan program jaminan sosial;
f. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan
sosial kepada peserta TKI, masyarakat, dan negara pemeri kerja yang
bersangkutan;
g. Mendaftarkan dan bekerjasama dengan MoniC (Multinational Insurance
Corporation); dan
h. Mendaftarkan tenaga kerja ke MoniC (Multinational Insurance
Corporation).
Bagan 1. BPJS Go International
Sumber: Kreasi Penulis
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
56
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yaitu BPJS Ketenagakerjaan
mengakomodasi sebuah program yang khusus menangani Tenaga Kerja Indonesia
yakni BPJS Go International, BPJS memiliki kewenangan dalam sistem asuransi
TKI mulai dari masa pra-penempatan, masa penempatan, pasca penempatan.
Program asuransi dalam masa pra-penempatan meliputi risiko meninggal dunia,
sakit atau cacat, kecelakaan, kegagalan berangkat yang bukan karena kesalahan
calon TKI, serta risiko akibat tindakan kekerasan fisik dan seksual. Program
asuransi saat masa penempatan meliputi risiko gagal penempatan, meninggal
dunia, sakit dan cacat, kecelakaan saat jam kerja maupun diluar jam kerja,
pemutusan hubungan kerja (PHK), upah tidak dibayar, pemulangan, masalah
hukum, serta risiko hilangnya akal budi. Sedangkan program asuransi pasca
penempatan mencakup risiko kematian, sakit, kecelakaan, serta resiko tindakan
kekerasan selama perjalanan pulang.
Ketentuan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, seluruh WNI yang
bekerja baik didalam negeri maupun diluar negeri berhak menikmati program
jaminan sosial ketenagakerjaan. Maka para pekerja termasuk TKI juga akan
mendapatkan manfaat yakni jaminan Ketenagakerjaan, Jaminan Hari Tua,
Jaminan Pensiunan dan Jaminan Kematian. Program BPJS Go International
meng-cover program jaminan tersebut kepada TKI untuk mendapatkan hak yang
sama sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
1. Sinergitas Social Security Company (SSC) dengan Multinational
Insurance Coorporation (MoniC)
Jaminan sosial merupakan salah satu hak dari semua orang, termasuk tenaga
kerja suatu negara meskipun tempat kerjanya berada di negara lain. Sehingga
meskipun seorang tenaga kerja dari suatu perusahaan tidak menetap dan bekerja di
wilayah negara tersebut, jaminan sosial tetap menjadi hak yang wajib dipenuhi
oleh negara asalnya. Namun dalam fakta di lapangan, negara justru hanya
memberikan jaminan sosial sebelum masa penempatan (pra-penempatan) saja dan
lepas tangan ketika tenaga kerja sudah diberangkatkan ke negara lain tempat dia
bekerja, karena majikan di negara tersebut wajib mendaftarkan asuransi kepada
tenaga kerja asing yang bekerja di wilayahnya. Sehingga negara berasumsi tidak
perlu lagi memenuhi jaminan sosial di masa penempatan tenaga kerja tersebut.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
57
Asumsi tersebut justru merupakan kesalahan fatal karena faktanya banyak
klaim asuransi tenaga kerja asing yang bermasalah karena faktor birokrasi. Maka
untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan program perlindungan terhadap Tenaga
Kerja Indonesia yang bekerja diluar wilayah Indonesia dengan sistem konsorsium
asuransi. Namun pelaksanaan dari sistem konsorsium asuransi tersebut
menimbulkan masalah baru. Berdasarkan data BNP2TKI, tercatat bahwa pada
tahun 2010 dan 2011, terdapat 15.874 klaim asuransi yang diajukan, yang
disetujui sebanyak 8.269 klaim (52%), yang ditolak sebanyak 7.391 klaim (47%)
dan dalam proses sebanyak 215 klaim (1%).51 Hampir sebagian dari klaim
asuransi ditolak sehingga dapat dikatakan klaim asuransi tidak maksimal.
Selain itu sulitnya proses atau mekanisme pengajuan klaim juga menjadi
masalah baru dalam penerapan sistem konsorsium asuransi dalam upaya
memenuhi hak jaminan sosial bagi Tenaga Kerja Indonesia. Tenaga Kerja
Indonesia harus kembali ke Indonesia untuk dapat mengajukan klaim asuransi jika
sewaktu-waktu Tenaga Kerja Indonesia tersebut terkena evenemen atau resiko,
yaitu peristiwa yang tidak pasti terjadi yang merugikan atau menghilangkan
keuntungan seperti sakit atau cacat dikarenakan kecelakaan pada saat bekerja.52
Padahal evenemen itu dapat menyebabkan Tenaga Kerja Indonesia kehilangan
pekerjaannya sebelum kontrak dengan pihak majikan atau pemberi kerja usai.
Penulis memiliki gagasan dalam usaha pengejawantahan upaya pemenuhan
jaminan sosial untuk tenaga kerja. Gagasan tersebut mengakomodasi beberapa
gagasan yang pernah diterapkan pemerintah namun lebih disempurnakan sehingga
dapat menciptakan konsep perlindungan jaminan sosial terhadap tenaga kerja
yang terintegrasi. Konsep ini bernama Odissey (One-Door Insurance System for
ASEAN Employments) Concept. Adapun tenaga kerja yang dimaksud tidak hanya
tenaga kerja dari Indonesia saja, namun tenaga kerja yang berasal dari semua
negara yang menjadi anggota ASEAN dan bekerja diluar wilayah negara asalnya.
Odissey Concept secara sederhana diperagakan oleh bagan dibawah ini.
51 Pernyataan Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI Lisna Yoelani Poeloengan depan
forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR, di Gedung DPR Senayan, Jakarta. 52 Asuransi Bank, Hukum Asuransi – Dasar Pengetahuan untuk Nasabah Asuransi di
Indonesia, diakses dari http://www.asuransibank.com/2012/08/hukum-asuransi.html/, diakses pada
10 April 2016.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
58
Bagan 2. Model Alur Administrasi dalam Odissey Concept
Sumber: Kreasi Penulis
Keterangan:
Bagan diatas menunjukkan bahwa sepuluh negara di kawasan Asia
Tenggara yang telah tergabung di dalam ASEAN mengintegrasikan badan
penyelenggara jaminan sosial atau Social Security Company (SSC) di negara
masing-masing baik yang berbentuk badan usaha milik negara maupun badan
hukum berbentuk perseroan yang telah ditunjuk oleh kementerian tenaga kerja di
negara terkait. SSC tersebut kemudian diintegrasikan dengan suatu perusahaan
asuransi multinasional atau Multinational Insurance Cooperation (MoniC) yang
tersebar di sepuluh negara ASEAN. MoniC tersebut dipilih oleh sepuluh negara
ASEAN dalam forum bersama menteri ketenagakerjaan negara anggota ASEAN.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
59
MoniC ialah perusahaan asuransi multinasional swasta dan mendirikan
kantor di negara-negara ASEAN. Sistemnya selain sebagai perusahaan asuransi
pada umumnya, juga mendapat fungsi tambahan setelah ditunjuk dan dipercaya
oleh menteri ketenagakerjaan dari negara-negara ASEAN. Fungsi tersebut adalah
sebagai perpanjangan tangan dari Social Security Company atau SSC yang telah
mengintegrasikan dirinya dengan MoniC. Sistem yang dipakai dalam
Memorandum of Understanding adalah sistem bagi hasil dengan perbandingan
hasil lebih banyak ke SSC ASEAN. SSC yang berjumlah 10 berdasarkan jumlah
peserta ASEAN dalam hal ini bertugas mengawasi SSC sehingga potensi
penyelewengan dana oleh MoniC berkurang. MoniC memudahkan penjembatanan
tenaga kerja dengan SSC. Prinsip dalam konsep Odissey ini adalah negara dapat
mengawasi dan mensejahterakan tenaga kerjanya sendiri.
Contoh penerapan: Calon Tenaga Kerja Indonesia mendaftarkan dirinya
pada Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), namun tidak selalu tenaga
kerja setiap negara harus mendaftar ke PJTK di negara terkait. PJTKI
mendaftarkan terlebih dahulu calon Tenaga Kerja Indonesia ke Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Go International. Setelah diberangkatkan, majikan
di negara tempat Tenaga Kerja Indonesia bekerja mendaftarkan Tenaga Kerja
Indonesia tersebut ke MoniC dengan cara mengisi Alien Employment Form
(AEF), yaitu suatu formulir khusus untuk mendaftarkan tenaga kerja asing.
MoniC yang telah terintegrasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Go
International meneruskan ke BPJS Go International. Setelah menginventarisasi
dan mengumpulkan data pendaftar serta diverifikasi dengan Origin Employment
Form (OEF), tenaga kerja tersebut baru terdaftar dalam sistem.
Origin Employment Form atau OEF adalah formulir khusus yang diisi oleh
PJTKI sebagai kewajibannya mendaftarkan calon Tenaga Kerja Indonesia ke
BPJS Go International. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan
jaminan sosial pada saat sebelum atau pra-penempatan dan sesudah atau pasca
penempatan. Sedangkan untuk perlindungan jaminan sosial ketika masa
penempatan juga ditanggung oleh BPJS Go International yang didaftarkan
melalui MoniC dengan Alien Employment Form atau AEF setelah diverifikasi
keotentikan datanya dengan Origin Employment Form atau OEF.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
60
Adapun proses pencairan klaim asuransi jika terjadi evenemen adalah
dengan cara mendatangi kantor MoniC di negara tempat tenaga kerja tersebut
bekerja. Sistem ini menyempurnakan sistem yang sekarang sedang dipakai oleh
Indonesia yaitu konsorsium asuransi. Dimana untuk dapat mengklaim asuransi,
seorang Tenaga Kerja Indonesia diharuskan pulang terlebih dahulu ke Indonesia.
Tenaga Kerja Indonesia harus menanggung terlebih dahulu biaya perawatan di
negara tempat dia bekerja dengan biaya sendiri sebelum ditanggung oleh
konsorsium asuransi. Namun dengan diterapkannya sistem Odissey Concept,
tenaga kerja tidak perlu lagi pulang ke negara asalnya terlebih dahulu melainkan
hanya perlu mendatangi kantor MoniC di negara tempat dia bekerja. Setelah
MoniC meninjau dan menyatakan bahwa klaim asuransi tersebut diterima, MoniC
meneruskannya ke BPJS Go International. BPJS Go International melakukan
transfer dana asuransi ke Tenaga Kerja Indonesia yang mengajukan klaim.
Pelaksanaan konsep Odissey oleh negara-negara ASEAN dapat dipaksakan
menggunakan protokol khusus asuransi tenaga kerja ASEAN. Sehingga setelah
memiliki dasar hukum dan disetujui oleh seluruh atau sebagian besar peserta
ASEAN, setiap negara wajib mengimplementasikan konsep Odissey tersebut.
Konsep Odissey memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat menekan angka korupsi
asuransi oleh perusahaan karena MoniC diawasi langsung oleh SSC dari 10
negara peserta ASEAN. Sedangkan kelebihan untuk Indonesia yaitu Tenaga Kerja
Indonesia yang bekerja diluar wilayah Indonesia tidak perlu lagi pulang ke
Indonesia untuk melakukan klaim asuransi. Pemerintah juga tidak perlu
mendirikan cabang BPJS di negara-negara ASEAN yang membutuhkan banyak
dana, namun verifikasi data klaim asuransi cukup dilakukan oleh MoniC dan
setelah diteruskan, BPJS melakukan transfer dana klaim asuransi ke Tenaga Kerja
Indonesia yang mengajukan klaim asuransi. Dengan diberlakukannya konsep ini
diharapkan dapat memberi jaminan sosial kepada tenaga kerja di ASEAN dan
menciptakan kondisi pemenuhan jaminan sosial ketenagakerjaan yang integratif.
Konsep ini secara luas modelnya tidak hanya dapat diterapkan di kawasan negara
ASEAN saja karena hanya sebagai contoh simulasi. Secara luas atau global,
konsep ini juga memungkinkan untuk diimplementasikan secara masal di banyak
negara di dunia untuk menjamin kesejahteraan para tenaga kerja.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
61
C. PENUTUP
Berdasarkan pada paparan karya tulis ilmiah diatas, dapat ditarik beberapa
poin-poin kesimpulan meliputi:
1. Indonesia adalah negara kesejahteraan, maka wajib memberi hak
termasuk jaminan sosial bagi tenaga kerja baik yang bekerja di dalam
maupun diluar wilayah Indonesia. Pemberian jaminan sosial tidak
mengalami kendala yang berarti dalam implementasinya bagi tenaga
kerja yang bekerja di wilayah Indonesia, jika dibandingkan dengan
kesejahteraan yang dinikmati oleh Tenaga Kerja Indonesia. Namun
problematika lebih terasa kemunculannya jika diimpelemtnasikan bagi
Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Untuk kasus itu, pemerintah mengeluarkan
kebijakan berupa konsorsium asuransi untuk Tenaga Kerja Indonesia
namun tidak maksimal karena terdapat beberapa kekurangan seperti
klaim asuransi yang sering bermasalah, administrasi dan birokrasi yang
menyulitkan Tenaga Kerja Indonesia, serta untuk melakukan klaim
asuransi Tenaga Kerja Indonesia harus pulang terlebih dahulu ke
Indonesia untuk menikmati klaim asuransinya.
2. Implementasi konsep BPJS Go International yang menggantikan fungsi
konsorsium asuransi dan Odissey Concept diperlukan di ASEAN untuk
menjamin kesejahteraan tenaga kerja yang bekerja di luar wilayah
negaranya dengan memberikan jaminan sosial satu pintu yang bebas dari
kesewenangan perusahaan asuransi tidak bertanggungjawab dan hanya
mengejar orientasi profit semata. Dengan memanfaatkan prinsip negara
tetap bertanggung jawab terhadap jaminan sosial tenaga kerja walaupun
tidak bekerja di wilayah negaranya sehingga pengawasan dapat
dilakukan dengan maksimal. Dengan demikian diharapkan dapat
membentuk sistem pemenuhan jaminan sosial yang terintegrasi bagi
tenaga kerja khususnya Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar
wilayah negaranya.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.2 (Mei 2020)
Tema/Edisi : Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan (Bulan Kelima)
https://jhlg.rewangrencang.com/
62
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Indirayani, Putu Arma. 2014. Tanggung Jawab Konsorsium Asuransi Bagi
Tenaga Kerja Indonesia Berdasarkan Permenakertrans
No.P.07/Men/V/2010 Tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. (Mataram:
Penerbit Universitas Mataram Repository).
Kurniawan, Luthfi J., dkk., Negara Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial.
(Malang: Penerbit Intrans Publishing).
Utrecht, E.. 1998 Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. (Surabaya:
Penerbit Pustaka Tinta Mas).
Pambudi, Eko Wicaksono. 2013. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi (Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah).
(Semarang: Diponegoro University Institutional Repository).
Putri, Asih Eka. 2014. Seri Buku Saku – 2: Paham BPJS Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. (Jakarta: Penerbit Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor
Perwakilan Indonesia dan DJSN).
Reynald, Hasudungan. Preferensi Politik Buruh Tebu dalam Pemilukada 2010
Kota Binjai (Studi Kasus Perilaku Buruh Tebu PTPN 2 Kebun Sei
Semayang dalam Pemilihan Walikota Binjai Tahun 2010). (Medan: Penerbit
USU Institutional Repository USU).
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik (Social Policy as
Public Policy). (Bandung: Penerbit Alfabeta).
Wahyuni, Windy Sri. Tinjauan Hukum terhadap Instrumen Penyertaan (Saham)
pada Pasar Modal Syariah. Sumatera Utara: USU Institutional Repository.
Publikasi
Pakpahan, Rudy Hendra dan Eka N.A.M. Sihombing. Tanggung Jawab Negara
dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.9. No.2
(Juli, 2012).
Website
Asuransi Bank. 2012. Hukum Asuransi – Dasar Pengetahuan untuk Nasabah
Asuransi di Indonesia. http://www.asuransibank.com/2012/08/hukum-
asuransi.html/. diakses pada 10 April 2016.
BPJS Ketenagakerjaan. Sejarah BPJS Ketenagakerjaan.
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/page/profil/Sejarah.html. diakses
pada 04 April 2016.
Badan Pusat Statistik. Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar Dan Sedang Menurut
Sub Sektor tahun 2008-2013.
https://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1063/. diakses pada 04
April 2016.
Badan Pusat Statistik. Jumlah TKI Menurut Kawasan/Negara Penempatan dan
Jenis Kelamin 2013 dan 2014.
https://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1808/. diakses pada 04
April 2015.
Badan Pemeriksa Keuangan. Peran Konsorsium Asuransi Dipertanyakan, diakses
dari http://jdih.bpk.go.id/?p=42879/. diakses pada 8 April 2016.
Rossa Wahyu Ningrum, Dyah Alif Suryaningsih dan Fazal Akmal Musyarri
Odissey Concept; Reformulasi Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagai
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Tenaga Kerja ASEAN yang Terintegrasi
63
Suhartadi, Imam. Peserta di 2016, BPJS Ketenagakerjaan Fokus Pekerja
Informal.
http://finance.detik.com/read/2015/12/04/121918/3087859/4/jaring-23-
juta-peserta-di-2016-bpjs-ketenagakerjaan-fokus-pekerja-informal/.
diakses pada 05 April 2016.
Jamsos Indonesia. Transformasi BPJS.
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/387#_ftn1/. diakses pada
07 April 2016.
Pusat Sumber Daya Buruh Migran. Kontroversi Asuransi TKI Harus Dituntaskan.
diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/132498. yang dimuat
pada http://www.buruhmigran.or.id/2011/01/kontroversi-asuransi-tki-
harus-dituntaskan/. diakses pada 8 April 2016.
Widianto, H. Satrio. Devisa TKI Sebesar Rp 100 Triliun. http://www.pikiran-
rakyat.com/ekonomi/2015/05/07/326426/devisa-tki-sebesar-rp-100-triliun.
diakses pada 05 April 2016.
Zuraya, Nidia. Program Jaminan Sosial, Hanya Milik Pekerja di Dalam Negeri?.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/fokus/13/11/14/mw9esn-
program-jaminan-sosial-hanya-milik-pekerja-di-dalam-negeri/. diakses
pada 05 April 2016.
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 116. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5256.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4445.
Peraturan Menteri Nomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja
Indonesia. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 273.
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
212 Tahun 2013.
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
213 Tahun 2013.
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
214 Tahun 2013.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 P/HUM/2013.