rewang rencang : jurnal hukum lex generalis. vol.2. no.1

13
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Kesatu) https://jhlg.rewangrencang.com/ 1 ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN OLEH BADAN ARBITRASE INTERNASIONAL Danang Wahyu Setyo Adi Universitas Brawijaya Korespondensi Penulis : [email protected] Citation Structure Recommendation : Adi, Danang Wahyu Setyo. Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan oleh Badan Arbitrase Internasional. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021). ABSTRAK Permasalahan hukum di tingkat internasional mengandung kompleksitas dan kerumitan yang lebih dibandingkan dengan konflik dalam suatu yurisdiksi wilayah tertentu. Hal tersebut dikarenakan permasalahan hukum internasional dapat melibatkan beberapa negara sekaligus dan mekanisme penyelesaian yang memerlukan upaya yang tidak sedikit. Seperti pada kasus yang akan penulis bahas dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan sengketa Laut China Selatan yang diajukan oleh Negara Filipina sebagai salah satu negara yang merasa memiliki hak atas Laut China Selatan. Filipina membawa kasus sengketa Laut China Selatan dengan Negara Tiongkok ini ke ranah Arbitrase Internasional. Filipina mendalilkan bahwasannya tindakan China yang membangun pulau-pulau buatan telah menyebabkan kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang. Kelanjutan analisis dari kasus ini akan dibahas lebih detail pada bagian di bawah ini. Kata Kunci: Badan Arbitrase Nasional, China, Hukum Laut Internasional, Filipina, Sengketa Laut China Selatan

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Kesatu)

https://jhlg.rewangrencang.com/

1

ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN OLEH

BADAN ARBITRASE INTERNASIONAL

Danang Wahyu Setyo Adi

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Adi, Danang Wahyu Setyo. Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan oleh Badan

Arbitrase Internasional. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari

2021).

ABSTRAK

Permasalahan hukum di tingkat internasional mengandung kompleksitas dan

kerumitan yang lebih dibandingkan dengan konflik dalam suatu yurisdiksi

wilayah tertentu. Hal tersebut dikarenakan permasalahan hukum internasional

dapat melibatkan beberapa negara sekaligus dan mekanisme penyelesaian yang

memerlukan upaya yang tidak sedikit. Seperti pada kasus yang akan penulis bahas

dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan sengketa Laut China Selatan yang

diajukan oleh Negara Filipina sebagai salah satu negara yang merasa memiliki

hak atas Laut China Selatan. Filipina membawa kasus sengketa Laut China

Selatan dengan Negara Tiongkok ini ke ranah Arbitrase Internasional. Filipina

mendalilkan bahwasannya tindakan China yang membangun pulau-pulau buatan

telah menyebabkan kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang. Kelanjutan

analisis dari kasus ini akan dibahas lebih detail pada bagian di bawah ini.

Kata Kunci: Badan Arbitrase Nasional, China, Hukum Laut Internasional,

Filipina, Sengketa Laut China Selatan

Page 2: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Danang Wahyu Setyo Adi

Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan oleh Badan Arbitrase

Internasional

2

A. LATAR BELAKANG

Hubungan Internasional antar negara, negara dengan individu, atau negara

dengan organisasi internasional tidak selamanya berjalan dengan baik. Sering kali

hubungan itu menimbulkan sengketa antar para pihak yang menjalin hubungan

internasional. Manakala hal tersebut terjadi, hukum internasional memiliki

peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.

Hukum Internasional berperan untuk memberikan cara bagaimana para

pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya menurut hukum

internasional. Di samping itu, perlu pula dikemukakan bahwa suatu sengketa

bukanlah suatu sengketa menurut hukum internasional apabila penyelesaiannya

tidak mempunyai akibat pada hubungan kedua belah pihak.1 Sengketa

internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara subjek-

subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan

atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak

lainnya.2Sengketa internasional terjadi apabila perselisihan tersebut melibatkan

pemerintah, lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian

dunia yang berlainan terjadi karena2:

1. Kesalahpahaman tentang suatu hal;

2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak atau kepentingan negara lain;

3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal;

4. Pelanggaran hukum atau perjanjian internasional.

Pada umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan ke

dalam dua kategori yaitu cara-cara penyelesaian secara damai dan cara-cara

penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan. Dimana cara-cara penyelesaian

sengketa secara damai dapat dilakukan apabila para pihak telah menyepakati

untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dan apabila negara-negara tidak

dapat mencapai suatu kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa

mereka secara damai maka cara pemecahan yang mungkin adalah dengan melalui

cara-cara kekerasan. Salah satu cara penyelesaian sengketa secara damai adalah

melalui jalur Arbitrase, yaitu salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa yang

telah dikenal lama dalam hukum internasional.

1 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004, Hlm.3. 2 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika

Global edisi ke- 2, PT Alumni, Bandung, 2005, Hlm.193.

Page 3: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Kesatu)

https://jhlg.rewangrencang.com/

3

Menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commision)

Arbitrase adalah ”a procedure for the settlement of disputes between states by a

binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily

accepted”.3 Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda mendeskripsikan

badan arbitrase sebagai berikut4:

“Arbitration is the resolution of international dispute through the

submission, by formal agreement of the parties, to the decision of a third

party who would be one or several persons by means of contentious

proceedings from which the result of definitive judgment is derived.”

Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa

cara, yaitu:

1. Institutionalized merupakan Penyelesaian oleh seorang arbitrator secara

terlembaga yang sudah berdiri sebelumya dan memiliki hukum acaranya

dan akan tetap ada meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai.

2. Ad Hoc merupakan Penyelesaian oleh lembaga yang dibentuk untuk

sementara waktu oleh para pihak yang sedang berselisih. Badan arbitrase

sementara ini akan berakhir tugasnya setelah putusan atas sengketa yang

ditanganinya keluar.

Penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase memiliki kelebihan berikut5:

1. Para pihak memiliki kebebasan dalam memilih hakimnya (arbitrator)

2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hukum acara atau

persyaratan bagaimana suatu putusan akan dikeluarkan.

3. Sifat dari putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.

4. Persidangan arbitrase dimungkinkan untuk dilaksanakan secara rahasia

apabila para pihak menginginkannya.

5. Para pihak sendiri yang menentukan tujuan atau tugas badan arbitrase.

3 Y.B.I.L., Vol.2 (1953) Hlm.202, sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Hukum

Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hlm.39. 4 Podesta Costa dan Ruda, Derecho International Public, Vol.2 Hlm.397. sebagaimana

dikutip dalam Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004, Hlm.39. 5 J.G. Merrills, International Disputes Settlement, Penerbit Cambridge U.P., Cambridge,

1995, Hlm.105.

Page 4: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Danang Wahyu Setyo Adi

Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan oleh Badan Arbitrase

Internasional

4

Di sisi lain memiliki kelebihan, badan arbitrase internasional publik

memiliki kekurangan sebagai berikut:

1. Pada umumnya negara masih enggan berkomitmen untuk menyerahkan

segketanya kepada badan arbitrase internasional.

2. Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjamin bahwa

putusannya akan mengikat dan pihak yang kalah akan melaksanakan

putusan tersebut.

Putusan arbitrase pada umumnya mengikat para pihak, namun hal tersebut

tidak menghilangkan kemungkinan untuk mengajukan upaya banding terhadap

putusan arbitrase kepada Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional

menjelaskan lebih lanjut beberapa hal mengenai alasan-alasan atau dasar-dasar

yang memungkinkan adanya upaya banding, yaitu6:

1. Excess de puvoir, yaitu manakala badan arbitrase telah melampaui

wewenangnya. Pada prinsipnya, wewenang arbitrator hanya terbatas pada

wewenang yang diberikan oleh para pihak sebagaimana tertuang dalam

perjanjian arbitrase (acta compromise). Manakala suatu badan arbitrase

tidak menaati atas-batas kekuasaannya itu, berarti ia telah melampaui

wewenangnya;

2. Tidak tercapainya putusan secara mayoritas, yang berakibat tidak adanya

kekuatan hukum pada putusan yang dikeluarkannya;

3. Tidak cukupnya alasan-alasan bagi putusan yang dikeluarkan. Pada

prinsipnya, suatu putusan badan arbitrase harus didukung oleh arguen-

argumen hukum yang memadai. Suatu alasan, meskipun dinyatakan

secara relatif singkat, namun jelas dan tepat, sudahlah cukup.

Salah satu sengketa yang dibawa ke badan arbitrase internasional adalah

sengketa Laut Cina Selatan. Sengketa wilayah Laut Cina Selatan merupakan

persaingan klaim atas perairan dan kepulauan di Laut Cina Selatan yang

melibatkan negara-negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia

dan Brunei dan Asia Timur seperti Cina dan Vietnam. Sengketa ini mengacu

kepada klaim antara negara-negara di atas terhadap kepulauan Spratly dan

Paracels, sekaligus wilayah perairan 12 mil laut lepas garis pantai di sekitarnya

sesuai dengan peraturan UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the

Sea). Adanya sengketa ini menyebabkan negara-negara di atas terlibat dalam

berbagai permasalahan diplomatik hingga konflik bersenjata.

6 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2004, Hlm.52.

Page 5: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Kesatu)

https://jhlg.rewangrencang.com/

5

Page 6: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Danang Wahyu Setyo Adi

Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan oleh Badan Arbitrase

Internasional

6

Page 7: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Kesatu)

https://jhlg.rewangrencang.com/

7

Page 8: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Danang Wahyu Setyo Adi

Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan oleh Badan Arbitrase

Internasional

8

B. PEMBAHASAN

1. Posisi Kasus

Pada 2013, Filipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas China di

Laut China Selatan kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS (United Nation

Convention on the Law of the Sea 1982). di Den Haag, Belanda. Filipina

menuding China mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan

mereklamasi demi membangun pulau buatan. Filipina berargumen bahwa klaim

China di wilayah perairan Laut Cina Selatan yang ditandai dengan “sembilan

garis putus-putus” atau “nine-dash-line” bertentangan dengan kedaulatan wilayah

Filipina dan hukum laut Internasional.

Kemudian Baru pada 2016 Pengadilan Arbitrase Internasional yang berbasis

di Den Haag, Belanda, memutuskan, China telah melanggar kedaulatan Filipina di

Laut China Selatan. Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)

menyatakan bahwasannya negara China tidak memiliki dasar hukum untuk

mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan. Namun pemerintah China

tidak menerima putusan tersebut.

Sengketa ini menimbulkan banyak pertentangan maupun perdebatan, tidak

hanya Antara China dan Filiphina saja, melainkan juga perdebatan antara lain

Vietnam, Brunei Darussallam, Malaysia, dan Indonesia, tetapi untuk Indonesia

menitikberatkan pada kasus Pulau Natuna saja. Selain itu sebagai contoh

perebutan wilayah di Laut Cina Selatan selain Filiphina dengan China yaitu, pada

akhir pekan 12 September 2019, ketegangan ini dirasakan Malaysia ketika kapal

Amerika Serikat mendekati pulau yang di klaim oleh China (kepulauan Spratly).

Sehingga China menganggap aksi itu sebagai tantangan, Amerika Serikat

menganggap bahwa wilayah tersebut merupakan berada di perairan yang

digunakan guna latihan bebas untuk bernavigasi. Sehingga Malaysiapun yang

berdekatan juga terus mendorong non-militerisasi untuk bersiap menghadapi

ketegangan konflik di Laut Cina Selatan.

Page 9: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Kesatu)

https://jhlg.rewangrencang.com/

9

Gambar 1. Peta Terkait Klaim Wilayah (Kepulauan Spratly)

2. Pertimbangan Hakim

Putusan itu sesuai dengan keberatan yang diajukan oleh Filipina. Mahkamah

Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan

mengendalikan sumber daya secara eksklusif di Laut China Selatan. Disebutkan

pula bahwa China telah menyebabkan “kerusakan parah pada lingkungan terumbu

karang” dengan membangun pulau-pulau buatan. China mengklaim hampir

seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk karang dan pulau.

Dalam putusan yang dikeluarkan Mahkamah Arbitrase juga menyatakan bahwa

reklamasi pulau yang dilakukan China di wilayah perairan ini tidak memberi hak

apa pun kepada pemerintah China. Alasannya, unsur daratan dalam Hukum Laut

Internasional dapat dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:

1. Pulau

Supaya bisa dikatakan sebagai pulau, sebuah daratan di tengah laut harus

bisa “menunjang habitat manusia atau kehidupan ekonomi secara

mandiri”. Jika sebuah negara memiliki pulau, negara itu berhak atas zona

ekonomi eksklusif (ZEE), yaitu hak memanfaatkan sumber daya alam

(termasuk menangkap ikan atau mengeksplorasi), sebatas atau sejauh 200

mil laut.

Page 10: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Danang Wahyu Setyo Adi

Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan oleh Badan Arbitrase

Internasional

10

2. Karang

Unsur-unsur daratan sebagai bebatuan di atas permukaan laut ketika air

pasang, terlepas berapapun besarnya. Sebuah negara yang memiliki

karang berhak atas wilayah dalam sejauh 12 mil laut dari karang tersebut.

3. Terumbu

Unsur-unsur daratan hanya bisa terlihat saat air laut surut. Negara yang

menguasai terumbu tidak memiliki hak atas sumber daya alam (SDA)

yang terdapat di sekitarnya.

Menurut pandangan hemat saya ketiga unsur ini, China menguasai sejumlah

terumbu di Laut China Selatan dan mereklamasinya menjadi pulau, kemudian

dilengkapi dengan pelabuhan dan landasan udara. Namun disisi lain, dalam

Hukum Laut Internasional, pulau buatan tidak diakui sebagai pulau. Mahkamah

mengatakan China telah melakukan pelanggaran atas hak-hak kedaulatan Filipina

dan menegaskan bahwa China “telah menyebabkan kerusakan lingkungan” di

Laut China Selatan dengan membangun pulau-pulau buatan.

3. Putusan Hakim

Pada intinya Dalam putusan yang dikeluarkan Mahkamah menyatakan:

1. Reklamasi pulau yang dilakukan China di perairan ini tidak memberi hak

apa pun kepada pemerintah China.

2. China telah melakukan pelanggaran atas hak-hak kedaulatan Filipina dan

menegaskan bahwa China “telah menyebabkan kerusakan lingkungan” di

Laut China Selatan dengan membangun pulau-pulau buatan.

Gambar 2. Klaim Batas Wilayah Antara Filipina dan China

Page 11: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Kesatu)

https://jhlg.rewangrencang.com/

11

Menurut pandangan saya, Hakim di mahkamah ini mendasarkan putusan

pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang termaktub di dalam UNCLOS

(United Nation Convention on the Law of the Sea 1982) yang ditandatangani

baik oleh pemerintah China maupun Filipina. Keputusan ini bersifat mengikat,

namun Mahkamah Arbitrase tak punya kekuatan untuk menerapkannya dan

mahkamah itu tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pemaksaan. Perkara

sengketa Laut China Selatan yang ditangani Mahkamah ini didaftarkan secara

unilateral oleh pemerintah Republik Filipina untuk menguji keabsahan klaim

China antara lain berdasarkan UNCLOS (The United Nations Convention on the

Law of the Sea) tahun 1982.

China telah berargumen bahwa institusi itu tidak memiliki yurisdiksi.

Apapun putusan mahkamah, China telah mengatakan tidak akan “menerima,

mengakui, atau melaksanakan”. Tetapi, jika putusan Mahkamah menguntungkan

Filipina, reputasi China menjadi rusak dan dilihat sebagai negara yang

mengabaikan Hukum Internasional. Ketegangan juga diperkirakan meningkat

antara China dan Filipina, atau Amerika Serikat yang memiliki aset militer di Laut

Cina Selatan. Posisi Filipina, sebagaimana ditegaskan Presiden Rodrigo Duterte,

bersedia membagi sumber daya alam dengan Beijing di Laut Cina Selatan,

walaupun putusan mahkamah menguntungkan Filipina.

Menurut lembaga konsultasi pertahanan IHS Jane, ketegangan di Laut

China Selatan diduga akan memicu naiknya anggaran pertahanan di kawasan

Asia-Pasifik sampai seperempatnya hingga akhir dekade ini. Anggaran pertahanan

di kawaan Laut Cina Selatan diprediksikan akan naik dari US$ 435 miliar tahun

lalu menjadi US$ 533 miliar pada tahun 2020. Belanja militer global juga akan

bergeser dari Eropa Barat dan Amerika Utara ke arah pasar negara-negara

berkembang terutama di kawasan Asia.

Namun pada Senin, 25 Juli 2016, pihak Filipina akhirnya setuju menarik

tuntutannya agar pertemuan ASEAN tetap menghasilkan pernyataan bersama.

Negara-negara Asia Tenggara akhirnya mencapai kata sepakat pada Selasa setelah

Filipina menarik tuntutan untuk menyebut pengadilan internasional mengenai

sengketa Laut Cina Selatan dalam pernyataan bersama.

Page 12: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Danang Wahyu Setyo Adi

Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan oleh Badan Arbitrase

Internasional

12

Dalam pernyataan bersama yang akhirnya disepakati, ASEAN meminta

resolusi damai terhadap sengketa Laut China Selatan sesuai dengan Hukum

Internasional, termasuk hukum laut PBB yang dijadikan rujukan pengadilan

arbitrase internasional. Para pihak berusaha untuk menyelesaikan sengketa

teritorial dan yurisdiksi mereka dengan cara damai, tanpa menggunakan ancaman

atau penggunaan kekerasan, melalui konsultasi dan negosiasi yang ramah dengan

negara-negara berdaulat secara langsung, sesuai dengan prinsip hukum

internasional yang diakui secara universal, termasuk UNCLOS 1982.

Negara-negara tersebut sepakat untuk mengendalikan diri dari aktivitas

yang akan meningkatkan perselisihan dan mempengaruhi perdamaian dan

stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan. Termasuk menahan diri dari tindakan

menghuni pulau, pulau karang, pulau buatan, dan fitur lainnya yang terdapat di

wilayah perairan tersebut. Namun pernyataan itu tidak menyinggung soal

keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) pada 12 Juli 2016 tentang

Laut Cina Selatan di Den Haag, Belanda. PCA memutuskan bahwa klaim Beijing

atas perairan kaya sumber daya alam tersebut tidak memiliki dasar hukum.

C. KESIMPULAN

Putusan ini sesuai dengan keberatan yang diajukan oleh Filipina. Mahkamah

Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan

mengendalikan sumber daya secara eksklusif di Laut China Selatan. China telah

menyebabkan “kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang” dengan

membangun pulau-pulau buatan. Hakim di Mahkamah ini mendasarkan putusan

pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS (United Nation Convention

on the Law of the Sea) yang ditandatangani oleh pemerintah China dan Filipina.

Pada Senin, 25 Juli 2016, Filipina akhirnya setuju menarik tuntutannya agar

pertemuan ASEAN tetap menghasilkan pernyataan bersama. Dalam pernyataan

bersama disepakati, ASEAN meminta resolusi damai terhadap sengketa Laut

China Selatan sesuai dengan Hukum Internasional, termasuk hukum laut PBB

yang dijadikan rujukan pengadilan arbitrase internasional, dan sepakat untuk

mengendalikan diri dari aktivitas yang akan meningkatkan perselisihan dan

mempengaruhi perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan.

Page 13: Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021)

Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Kesatu)

https://jhlg.rewangrencang.com/

13

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. (Jakarta:

Penerbit Sinar Grafika).

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam

Era Dinamika Global edisi ke- 2. (Bandung: Penerbit PT Alumni).

Merrills, J.G.. 1995. International Disputes Settlement. (Cambridge: Penerbit

Cambridge U.P.).

United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.