jurnal at-turas

24
| 1 Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015 KONTROVERSI MASHLAHAH PERSPEKTIF NAJM AL-DIN AL-THUFI AL-HANBALI A. Malthuf Siroj IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo PO. BOX. 1 Karanganyar Paiton Probolinggo, HP: 087866145292 ABSTRACT Najm al-Din al-Thufi al-Hanbali is a smart, intelligent, productive and brave Islamic Scholars. He was considered as controversial person among his colleagues, because of his views on mashlahah are different from the other scholars of Usul -Fiqh in general. He said that the most important sources of Islamic law are the texts (Al-Quran and Al-Sunnah). It is no problem if both are relevant with mashlahah. However, if they contradict the mashlahah, the solutions that can be taken is prioritizing mashlahah of texts by specification(takhsis), not eliminating texts . At this point Thufi’s thought is considered as controversy. This article will attempt to examine this controversy using argumentative and philosophical approach to be able to point it objectively not tendentiously. Najm al-Din al-Thufi al-Hanbali adalah sosok ulama yang berpikiran cerdas, produktif dan berani. Ia dikalangan sejawatnya dianggap kontroversial karena pandangannya tentang mashlahah yang berbeda dari pandangan ulama Ushul-Fiqh pada umumnya. Ia mengatakan bahwa sumber hukum yang paling utama adalah nash (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) , apabila keduanya sejalan dengan mashlahah maka tentu tidak ada masalah, tapi apabila ia kontradiktif dengan mashlahah maka solusi yang dapat diambil adalah mendahulukan mashlahah dari nash dengan cara takhsis bukan dengan mengelimenasi nash. Pada titik inilah Thufi dianggap kontroversial. Artikel ini akan mencoba menelaah kontroversi ini dengan pendekatan filosofis- argumentatif untuk dapat memposisikannya secara obyektif dan tidak tendensius. Keyword : Controversy, Mashlahah, Nash

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal At-Turas

| 1

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

KONTROVERSI MASHLAHAH PERSPEKTIF NAJM AL-DIN AL-THUFIAL-HANBALI

A. Malthuf SirojIAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo

PO. BOX. 1 Karanganyar Paiton Probolinggo, HP: 087866145292

ABSTRACTNajm al-Din al-Thufi al-Hanbali is a smart, intelligent, productive and

brave Islamic Scholars. He was considered as controversial person amonghis colleagues, because of his views on mashlahah are different from theother scholars of Usul -Fiqh in general. He said that the most importantsources of Islamic law are the texts (Al-Quran and Al-Sunnah). It is noproblem if both are relevant with mashlahah. However, if they contradictthe mashlahah, the solutions that can be taken is prioritizing mashlahah oftexts by specification(takhsis), not eliminating texts . At this point Thufi’sthought is considered as controversy. This article will attempt to examinethis controversy using argumentative and philosophical approach to be ableto point it objectively not tendentiously.

Najm al-Din al-Thufi al-Hanbali adalah sosok ulama yang berpikirancerdas, produktif dan berani. Ia dikalangan sejawatnya dianggapkontroversial karena pandangannya tentang mashlahah yang berbeda daripandangan ulama Ushul-Fiqh pada umumnya. Ia mengatakan bahwa sumberhukum yang paling utama adalah nash (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) , apabilakeduanya sejalan dengan mashlahah maka tentu tidak ada masalah, tapiapabila ia kontradiktif dengan mashlahah maka solusi yang dapat diambiladalah mendahulukan mashlahah dari nash dengan cara takhsis bukan denganmengelimenasi nash. Pada titik inilah Thufi dianggap kontroversial. Artikelini akan mencoba menelaah kontroversi ini dengan pendekatan filosofis-argumentatif untuk dapat memposisikannya secara obyektif dan tidaktendensius.

Keyword : Controversy, Mashlahah, Nash

Page 2: Jurnal At-Turas

2 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

PENDAHULUANDalam teori hukum Islam mashlahah mempunyai kedudukan yang

amat penting. Mashlahah dapat dipandang sebagai tujuan hukum Islam(maqashid al-syari’ah). Sebagai sebuah tujuan, mashlahah harus dapatdicapai dari penerapan hukum Islam baik hukum yang bersumber dariAl-Qur’an maupun Hadits Nabi. Tanpa mashlahah, hukum itu tidaklebih dari sebuah rangkaian kata-kata normatif yang tidak bermaknayang pada saatnya akan digugat oleh logika akal sehat dankemanusiaan. Dengan demikian, mashlahah sebagai tujuan hukum padahakikatnya akan memberikan makna substantif bagi hukum itu sendiri.Allah dalam Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa terutusnyaNabi Muhammad tidak lain hanyalah sebagai rahmat bagi semesta alam.Allah dalam hal ini menghubungkan kerasulan Nabi Muhammad denganpencapaian rahmat. Kata rahmat di sini berarti belas kasih atau kasihsayang yang direpresentasikan dalam bentuk mewujudkan kebaikandan kemaslahatan bagi semua. Jadi mashlahah yang menjadi tujuanhukum Islam tidak lain adalah ekspresi dari belas kasih atau kasihsayang Allah kepada umat manusia.

Selain sebagai tujuan hukum, mashlahah juga dapat dipandangsebagai perinsip atau dasar penetapan hukum (tasyari’). Dalam teorihukum Islam terdapat prinsip atau dasar yang melandasi setiappenetapan hukum yaitu prinsip meniadakan kesulitan (masyaqqah)dan prinsip menjamin kemaslahatan manusia secara umum sertamewujudkan keadilan yang menyeluruh. (Musa, t.t: 127) Prinsip ataudasar ini nelandasi semua ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, dalam arti, bahwa semua ketentuan hukum didalam kedua sumber pokok ini baik ijtihadi maupun non ijtihadiditetapkan dengan memperhatikan atau mempertimbangkansepenuhnya prinsip atau dasar di atas.

Lebih dari itu mashlahah juga dipandang sebagai sumber hukum,dalam arti bahwa dari pertimbangan mashlahah itulah hukumdiistinbatkan (diproduksi). Konsep mashlahah sebagai sumber hukumini dikembangkan secara intensif dalam tradisi pemikiran madzhabMaliki yang populer dengan sebutan mashlahah mursalah atau istishlah.Sedangkan madzhab-madzhab fiqh yang lain dalam memperhatikan

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 3: Jurnal At-Turas

| 3

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

mashlahah tidak menyebutnya dengan term mashlahah mursalah atauistishlah tapi menggunakan term lain seperti istihsan dalam mdzhabHanafi dan qiyas dalam madzhab Syafi’i.

Karena begitu penting kedudukan mashlahah dalam teori hukumIslam maka tidak mengherankan apabila terdapat ulama yangmemposisikan mashlahah lebih unggul dari Al-Qur’an dan Hadits ketikaterjadi kontradiksi. Diantaranya adalah Najm al-Din al-Thufi al-Hanbaliyang memaparkan pemikirannya tentang persolan ini dalam kitabnyaSyarh al-Arbain al-Nawawiyah saat ia menjelaskan pengertian haditsyang ke 32 dari koleksi hadits karya Imam al-Nawawi. Pemikiran al-Thufi ini menimbulkan kontroversi dan polemik di kalangan ulamaUshul-Fiqh sehingga diperlukan kajian lebih mendalam untukmendudukkan persoalan ini pada proporsinya.

Kitab karya al-Thufi Syarh al-Arbain al-Nawawiyah sebagaimanatersebut diatas tidak berhasil penulis dapatkan, tetapi Abd al-WahhabKhallaf dalam kitabnya Mashadir al-Tasyri’ al-Islami fima la Nass fihimelampirkan secara lengkap teks Risalah al-Thufi itu dan teks inipenulis pergunakan sebagai sumber primer kajian ini karena dipandangcukup representatif dan otoritatif.

MENGENAL SOSOK NAJM AL-DIN AL-THUFI AL-HANBALINama lengkap al-Thufi adalah Sulaiman ibn Abd al-Qawi ibn Abd

al-Karim ibn Said al-Thufi al-Baghdadi al-Hanbali yang kemudianmendapat nama laqab Najm al-Din. Ia dilahirkan dan dibesarkan diThufi sebuah desa di kawasan Baghdad Irak pada tahun 673 H. (Khallaf,1972: 96)

Dalam menentukan tahun kelahiran Thufi, para penelitibiografinya berbeda pendapat sebagaimana juga dalam menentukantahun wafatnya. Ibnu Hajar menetapkan kelahiran Thufi pada tahun657 H. Ibnu Rajab dan Ibn al-Imad menyatakan Thufi dilahirkan padatahun 670 lebih. (Zayd, 1964: 67-68) Thufi selanjutnya wafat tahun716 H di Mekkah. (Khallaf, 1972: 97) Menurut al-Suyuthi Thufi wafattahun 711 H. sedangkan al-Shafadi mencatat Thufi wafat tahun 710H. (Zayd, 1964: 68)

Thufi memperoleh pendidikan di desa dimana ia dilahirkan dandibesarkan. Ia belajar dan berguru kepada ulama setempat. Dalam

A. Malthuf Siroj

Page 4: Jurnal At-Turas

4 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

waktu yang tidak terlalu lama ia berhasil menghafal dua kitab yaitukitab Mukhtashar karya Imam al-Khiraqi dalam ilmu fiqh dan kitab al-Luma’ karya Ibnu Jani al-Mushili dalam ilmu gramatika. BerikutnyaThufi juga berguru kepada ulama-ulama di Sharshar, diantaranya SyekhZain al- din Ali ibn Muhammad al-Sharshari , seorang ulama ahli fiqhbermadzhab Hanbali yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Buqi.Selanjutnya Thufi pindah ke kota Baghdad dan disana ia menghafalkitab Muharrar karya Ibn Taimiyah dalam ilmu Fiqh. Kitab ini kemudiandidalaminya di bawah bimbingan Syekh Taqiy al-Din al-Zarirati.Disamping mendalami Fiqh ia juga mendalami ilmu-ilmu lain sepertiBahasa Arab dan ilmu-ilmunya, Ushul-Fiqh, ilmu Hadits dan lain-lain.(Zayd, 1964: 70-71)

Pengalaman belajar Thufi tidak berhenti sampai disini. Setelahmemperoleh ilmu dari guru-gurunya di Baghdad ia kemudianmelanjutkan pendidikannya di Damskus dan berguru kepada IbnTaimiyah, selanjutnya pindah ke Mesir dan berguru kepada Abu Hayyanal-Nahwi mendalami kitab Mukhtashar kitab Sibawaih karya AbuHayyan sendiri.(Khallaf, 1972: 97)

Oleh para penulis biografinya, Thufi digambarkan sebagai sosokulama yang genius, tekun dan memiliki semangat belajar yang tinggi,senang meneliti untuk menemukan teori-teori keilmuan, berfikirbebas, kritis, berani dalam mengekspresikan pendapatnya. (Zayd,1964: 89) Thufi tergolong ulama produktif. Ia menghasilkan karya-karya yang tidak sedikit, tidak hanya dalam ilmu Ushul-Fiqh, tapi dalamberbagai bidang ilmu yang lain seperti Ulum al-Qur’an, Hadits, ilmuTauhid, Bahasa dan kesusastraannya. Karena itu, pemikirannya banyakmemberikan kontribusi terhadap perkembangan pemikiran dankeilmuan Islam pada masa itu. Karya-karya Thufi dalam ilmu UshulFiqh yang terkenal diantaranya : Mukhtashar al-Raudlah al-Qudamiyahdan Syarahnya, Mukhtasahar al-Hashil, Muktashar al- Mahshul, Mi’rajal-Wushul ila Ilm al-Ushul,dan Al-Dzari’ah ila Ma’rifat Asrar al-Syari’ah. (Zayd, 1964: 92)

Sebagai ulama yang produktif, Thufi tidak hanya menulis, tapijuga ditulis. Banyak ulama yang tertarik memberikan respon dankounter terhadap pemikirannya yang dinilai kontroversial, diantaranyaSyekh Jamal al-Din al-Qasimi, seorang ulama Damaskus yang secara

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 5: Jurnal At-Turas

| 5

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

1 Tentang apakah Thufi seorang penganut Syi’ah atau bukan, Musthafa Zayd menulis bahwasangat tidak masuk akal kalau Thufi dituduh penganut Syiah karena dalam kenyataannya ia menerimahadits-hadits dalam Koleksi 40 Hadits karya Imam al-Nawawi padahal perawi-perawinya bukanlah darikeluarga Nabi. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang-orang Syi’ah tidak akan menerima hadits kecualiberdasarkan riwayat keluarga Nabi. Di samping itu juga sangat tidak masuk akal pula apabila karya-karya Thufi dalam bidang Ushul al-Fiqh dan Fiqh yang ditulis berdasarkan madzhab Imam Ahmad ibnHanbal kemudian ia dituduh penganut Syi’ah. (Zayd, 1964: 88).

khusus menulis pemikiran Thufi dalam mashlahah. Begitu jugaMusthafa Zayd , Abd al-Wahhab Khallaf, Abu Zahrah dan lain lain.Selain itu karena pemikirannya yang kritis, Thufi dikenal sebagaipenganut Syi’ah1, karenanya maka di akhir perjalanan hidupnya, Thufimengalami masa-masa pahit dengan menjalani hukuman takzir danbahkan sempat dipenjara sebelum akhirnya meninggal di Mekkah.(Khallaf, 1972: 97)

PEMIKIRAN THUFI TENTANG MASHLAHAH1. Pengertian Mashlahah

Kata mashlahah adalah semakna dengan manfaat. Menurut IbnMandhur dalam Lisan al-Arab kata mashlahah juga semakna dengankata shalah, bentuk tunggal dari kata mashalih. Dengan demikian setiapsesuatu yang mengandung manfaat baik dengan cara menarik sesuatuyang menguntungkan atau menangkal sesuatu yang merugikan dapatdisebut mashlahah.(Ibnu Mandhur, 1990: 517)

Secara terminologis syar’i mashlahah dapat diartikan sebuahmanfaat yang dikehendaki oleh Allah untuk para hambaNya berupapemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda dengantingkat signifikansi yang berbeda satu sama lain. Manfaat itu berartisuatu kenikmatan atau sesuatu yang dapat menjadi instrumen untukmencapai kenikmatan tersebut. Begitu juga upayamempertahankannya dengan menangkal hal-hal yang dapatmerugikan.(al-Buthi, 1973: 23) Menurut Abdullah ibn Abd al-Muhsinal-Turki yang menulis karya tentang Ushul al-Fiqh Madzhab Imam Ahmadibn Hanbal, mashlahah adalah sesuatu yang menjadi landasanpenetapan hukum yang dapat menarik manfaat dan menangkalkerugian bagi manusia. Para ulama membagi mashlahah ke dalamtiga macam yaitu mashlahah yang secara jelas diakui oleh al-Qur’an

A. Malthuf Siroj

Page 6: Jurnal At-Turas

6 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

dan Hadits, kedua, mashlahah yang secara jelas ditolak oleh nashtersebut dan ketiga, mashlahah yang tidak jelas diakui atau ditolakoleh nash itu tapi mempertimbangkannya sebagai landasan penetapanhukum dapat diterima oleh akal sehat. Dan inilah yang disebut denganmashalih mursalah.(al-Turki, 1980: 413)

Dalam menjelaskan pengertian mashlahah, Thufi mempunyaipandangan yang berbeda dari kebanyakan ulama. Ia tidakmendefisikannya secara jelas, hanya ia menulis bahwa yang dimaksuddengan mashlahah adalah mengimplementasikan nash (al-Qur’an danHadits) dan ijma’ dalam bidang ibadah dan hukum-hukum yangditentukan kadarnya dan mengimplementasikan mashlahah dalambidang muamalah dan hukum-hukum sejenis lainnya.(Khallaf, 1972:110)

2. Landasan Hukum MashlahahThufi mengemukakan pemikirannya tentang mashlahah ketika

ia menjabarkan kandungan hadits Nabi yang ke 32 dari Koleksi 40Hadits karya Imam Nawawi dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-Arbain al-Nawawiyah. Hadits itu riwayat Abu Said Saad ibn Malik ibnSinan al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda: La dlarar wa la dlirar(tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan kepada orang laindan tidak boleh pula saling berbuat sesuatu yang membahayakan satusama lain). Hadits ini berkualitas hasan. Ibn Majah dan al-Dar al-Quthnimeriwayatkannya secara musnad. Sedangkan Malik dalam kitabnyaal-Muwaththa’ meriwayatkannya secara mursal dari Amr ibn Yahyadari ayahnya dari Nabi Muhammad saw tanpa menyebut Abu Said.Sungguhpun demikian hadits ini memiliki sanad yang salingmemperkuat satu sama lain. (al-Nawawy, t.t: 87)

Thufi menyatakan bahwa hadits diatas menjadi landasan kuatberlakunya mashlahah sebagai sumber hukum Islam. Walaupun haditsitu berkualitas hasan atau bahkan hadits mursal dalam riwayat Malikia tetap dapat diberlakukan karena terdapat dalil pendukung (syahid)baik dari al-Qur’an maupun Hadits itu sendiri. Thufi selanjutnyamenjelaskan pengertian la dlarar dan la dlirar . Yang dimaksud dengankata dlarar adalah menimpakan sesuatu yang membahayakan(mafsadah) kepada orang lain secara umum, sedangkan yang dimaksud

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 7: Jurnal At-Turas

| 7

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

dengan kata dlirar adalah menimpakan sesuatu yang membahayakankepada orang lain karena adanya tindakan membahayakan yangmendahului yang dilakukan oleh orang lain itu.( Khallaf, 1972: 108)Dalam menjelaskan pengertian hadits diatas secara utuh , Thufiselanjutnya menulis bahwa adalah terlarang melakukan perbuatanyang membahayakan orang lain secara umum, begitu juga terlarangmelakukannya karena adanya tindakan membahayakan yangmendahului yang dilakukan oleh orang lain itu. Dan ini berarti bahwalarangan itu berdasarkan ketentuan syara’ kecuali terdapat ketentuanlain yang memperbolehkannya. Hal ini demikian karena dalamhukuman hudud atau hukum pidana Islam terdapat dlarar (sesuatuyang membahayakan) yang harus dilakukan dan ketentuan ini sahatau disyaritkan berdasarkan ijma ulama dengan mengacu kepada daliltertentu. (Khallaf, 1972: 108)

Selanjutnya Thufi menggaris bawahi bahwa hadits diatasmenekankan penafian segala bentuk kemudlaratan (sesuatu yangmembahayakan) dan mafsadah menurut syara’ secara umum kecualiyang berdasarkan dalil tertentu. Dan apa yang ditekankan oleh haditsdiatas haruslah didahulukan dari semua dalil hukum, sekaligus sebagaipenakhsis dalam menafikan kemudlaratan dan mewujudkankemaslahatan.

Validitas mashlahah, disamping mengacu kepada hadits diatasjuga mengacu kepada al-Qur’an Surat Yunus Ayat 57-58 (artinya),Hai manusia, sesungguhnya telah datang pelajaran dari Tuhanmu danpenyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada danpetunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlahdengan karunia Allah dan rahmatNya hendaklah dengan itu merekabergembira. Karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dariapa yang mereka kumpulkan.

Dengan ayat ini Thufi mencoba meyakinkan bahwa mashlahahsungguh diperhatikan dan dijamin perwujudannya dalam syariat Islamdengan tafsir sebagai berikut :

a) Firman Allah (artinya), sesungguhnya telah datang kepadamupelajaran dari Tuhanmu, menunjukkan betapa besar perhatianAllah untuk memberikan pelajaran kepada umat manusia yangdidalamnya terdapat kemaslahatan bagi kehidupan mereka.

A. Malthuf Siroj

Page 8: Jurnal At-Turas

8 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

Letak kemaslahatan itu ada pada kenyataan bahwa manusiadengan pelajaran tersebut akan dapat terhindar dari segalaperbuatan keji dan dapat menemukan jalan kebenaran.

b) Al-Qur’an disebut sebagai penyembuh berbagai penyakit yangmengendap dalam dada manusia seperti keragu-raguan ataukebimbangan dan lain-lain. Ini jelas merupakan kemaslahatanyang maha besar.

c) Al-Qur’an dalam ayat ini dikualifikasikan sebagai petunjukdan

d) Ia juga disebut sebagai rahmat. Petunjuk dan rahmat inisungguh merupakan suatu puncak kemaslahatan

e) Allah menghubungkan semua yang tersebut diatas dengan fadlal(karunia) dan rahmatNya, dan tentunya tidak ada yang dapatdiperoleh dari karunia dan rahmatNya itu kecuali kemaslahatanyang besar.

f) Allah memerintahkan umat manusia untuk bergembira dengansemua itu. Dengan demikian perintah ini dimaksudkan sebagaiucapan selamat (tahni’ah) kepada mereka. Dan ucapan selamatini tentu hanya dipergunakan untuk setiap kemaslahatan yangbesar.

g) Allah berfirman (artinya), karunia Allah dan rahmatNya ituadalah lebih baik dari sesuatu yang mereka kumpulkan. Apayang mereka kumpulkan tentulah sesuatu yang dianggap baikbagi mereka. Tetapi berdasarkan pernyataan Allah ini, makasesungguhnya Al-Qur’an dan kemaslahatan yang dikandungnyaitulah justru yang lebih baik dari apa yang dianggap baik olehmereka. Ini berarti bahwa Al-Qur’an dan kemaslahatan yangdikandungnya itu merupakan puncak kemaslahatan.(Khallaf,1972: 112-113)

Di bagian lain dari tulisaannya, Thufi menyatakan bahwa seluruhulama kecuali dari madzhab al-Dhahiriyah telah mencapai konsensusbahwa semua hukum-hukum Allah mengandung illat mewujudkankemaslahatan dan menghapus mafsadah, termasuk yang paling ekstrimdalam hal ini adalah Imam Malik dengan konsep mashlahahmursalahnya. Sungguhpun demikian, konsep ini tidak hanya dari Imam

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 9: Jurnal At-Turas

| 9

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

Malik saja tapi juga dari seluruh ulama, sebab dalam kenyataannyamereka mengakui validitasnya. Memang konsep mashlahah ImamMalik lah yang paling banyak membicarakannya. Bahkan para ulamayang tidak mengakui ijma’ sebagai sumber hukum, mereka justrumengakui validitas mashlahah. Sebagai contoh, pengakuan terhadapwajibnya syuf’ah yang mengandung illat memelihara hak-hak dankemaslahatan syarikat lama, pengakuan terhadap bolehnya akad salamdan ijarah (akad sewa) yang juga mengandung iilat memeliharakemaslahatan bagi umat manusia, sekalipun pada hakikatnya akad-akad ini bertentangan dengan qiyas karena merupakan transaksi atasobyek yang tidak/belum diketahui (majhul). Dengan demikian, semuaakad (transaksi) dengan segala bentuknya dipastikan mengandungillat mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.(Khallaf,1972: 116)

Dalam konteks ini Thufi lebih jauh menyatakan bahwa bukanlahsuatu hal yang meragukan lagi terutama bagi orang-orang yang bernalarsehat adanya kenyataan bahwa Allah menjamin dan memeliharakemaslahatan manusia baik secara umum maupun khusus. Yangdimaksud secara umum disini adalah kemaslahatan yang berupapenciptaan manusia dari tidak ada menjadi ada atau kemaslahatanyang berupa penciptaan alam dan seluruh isinya yang diciptakan Allahhanya untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia. Danyang dimaksud secara khusus adalah kemaslahatan hidup di akhiratkelak yang hanya diberikan kepada orang-orang yang beruntungmendapatkan hidayah-Nya. Memang Allah telah menyeru umatmanusia agar mereka beriman dan memperoleh kebahagiaan hidup diakhirat kelak, tetapi sebagian dari mereka lalai dan tidak maumemenuhi seruan iman tersebut karena tidak diperolehnya hidayahdari Allah. Allah hanya memeberi hidayah kepada orang-orang yang Iakehendaki.

Dengan memahami pernyataan diatas maka amat tidak masukakal apabila Allah akan membiarkan atau mengabaikan kemaslahatanmanusia dalam hukum-hukum syara’ karena kemaslahatan ini lebihuniversal dan lebih urgen nilainya bagi kehidupan mereka. Karena itumemelihara kemaslahatan dalam hukum syara’ merupakan suatu yang

A. Malthuf Siroj

Page 10: Jurnal At-Turas

10 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

pasti sehingga tidak boleh diabaikan dengan tendensi atau dalihapapun. (Khallaf,1972: 116-118)

Pada bagian akhir dari pembicaraan ini, Thufi mengemukakanbahwa apabila nash dan ijma’ serta sumber-sumber hukum lainnyasejalan dengan prinsip mashlahah maka tentu tidak ada masalah, tapiapabila sebaliknya maka hendaknya ditempuh cara kompromis antarakeduanya atas dasar takhsis dan mendahulukan mashlahah atas dasarbayan (penjelasan). (Khallaf,1972: 118)

3. Sumber Hukum dan Klasifikasinya.Berdasarkan penelitian yang dilakukan Thufi, terdapat 19 macam

sumber hukum dalam Islam dan tidak lebih dari jumlah itu. Sumberhukum tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan tingkatvaliditasnya sebagai berikut : a. Al-Qur’an. b. Al-Sunnah. c. Ijma’ al-Ummah (kesepakatan ulama mujtahid). d. Ijma’ ahl al-Madinah(kesepakatan ulama Madinah). e. Qiyas. f. qaul al-Shahabi (fatwasahabat). g. mashlahah mursalah. h. istishhab. i. bara’ah ashliyah.J. adat. k. istiqra’ (penelitian hukum). l. sadd al-dzara’i. m. istidlal(menetapkan hukum berdasarkan dalil yang bukan nash, ijma’ danqiyas). n. istihsan. o. al-akhdzu bi al-akhaf (mengambil hukum yanglebih ringan). p. al-ishmah (menetapkan hukum berdasarkan pendapatorang yang memperoleh hak dari Allah untuk menetapkan hukum). q.ijma ahl al-Kufah (kesepakatan ulama Kufah). r. ijma’ al-itrah(kesepakatan ulama ahl al-bait). s. ijma’ khulafa al-arba’ah(kesepakatan khalifah yang empat).

Sumber-sumber hukum diatas ini menurut Thufi sebagian telahdisepakati dan sebagian yang lain masih diperdebatkan validitasnyadi kalangan ulama. (Khallaf,1972: 109)

4. Ruang Lingkup Berlakunya Mashlahah.Penerapan mashlahah sebagai sumber hukum dalam

pengertiannya yang spesifik menurut Thufi mempunyai ruang lingkupyang terbatas. Hal ini dapat diketahui dari pengertian mashlahahmenurut Thufi yaitu berpegang teguh dengan nash dan ijma dalambidang ibadat dan hukum yang telah ditentukan ukuran dan kadarnya,dan menerapkan mashlahah dalam bidang muamalat dan hukum-hukumlain yang sejenis. Dengan demikian penerapan mashlahah sebagai

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 11: Jurnal At-Turas

| 11

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

sumber hukum hanya terbatas dalam bidang muamalat (hukum-hukumyang mengatur hubungan antar manusia secara horizontal), sedangkandalam bidang ibadat dan hukum-hukum yang telah ditentukan ukurandan kadarnya berlaku ketentuan nash dan ijma’. Hal ini demikian,karena menurut Thufi pengaturan bidang ibadat itu merupakan hakpenuh Allah dan manusia tidak dapat memahami tentang berapa,bagaimana, kapan dan dimana ibadat itu harus dilakukan kecualiberdasarkan penjelasan dan informasi dari Allah itu sendiri. Olehkarenanya, khusus dalam bidang ini, seseorang tidak mempunyaipilihan lain kecuali berbuat dan mengamalkan ibadat sesuai ketentuandan petunjuk Allah agar dengan demikian ia dapat dianggap taat danloyal kepada Allah.

Thufi dalam hal ini menyesalkan tindakan para ahli filsafat yangberupaya merasionalisasikan bidang ibadat yang membuat merekadurhaka kepada Allah dan sesat serta menyesatkan. Berbeda dalamhal menyangkut persoalan muamalat yaitu segala hukum yangberkaitan dengan hak-hak manusia maka ketentuan hukum yangmengatur bidang ini merupakan siyasah syar’iyah yang ditetapkanhanya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka. (Khallaf,1972:143)

5. Kontradiksi antara Mashlahah dengan Nash dan Ijma’Telah dinyatkan diatas bahwa mashlahah dalam pengertian

spesifik Thufi merupakan sumber hukum yang paling unggul, meskipundalam bagian lain dari tulisannya ia juga menyatakan bahwa nash danijma’ merupakan sumber hukum yang paling kuat dibanding sumber –sumber hukum yang lain . Pernyataan yang terlihat kurang konsistenini dapatlah dimengerti sebab menurut Thufi , nash dan ijma’merupakan sumber hukum yang paling kuat sepanjang kedua sumberhukum tersebut tidak bertentangan dengan prinsip mashlahah. Apabilaterdapat kontradiksi diantara keduanya maka mashlahahlah yang harusdidahulukan. Thufi dalam hal ini mengajukan alasan-alasan rasionalsebagai berikut :

a. Bahwa ulama yang menolak ijma’ sebagai sumber hukummengakui sepenuhnya validitas mashlahah. Dengan demikianmashlahah menjadi faktor pendorong konsenus di kalangan

A. Malthuf Siroj

Page 12: Jurnal At-Turas

12 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

ulama, sebaliknya ijma’ menjadi pemicu terjadinyaperselisihan.

b. Nash Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak jarang satu sama lain salingkontradiktif. Ini berarti bahwa nash menjadi pemicu terjadinyaperbedaan pendapat yang tercela menurut syara’, sedangkanmashlahah merupakan sesuatu yang substantif dan tidakdiperdebatkan lagi eksistensinya. Ini berarti bahwa mashlahahmerupakan penyebab terjadinya kesepakatan pendapat yangmemang sangat dituntut oleh syara’. Dengan demikianmemposisikan mashlahah sebagai sumber hukum tentu lebihbaik. (Khallaf,1972: 129)

Terjadinya perbedaan pendapat terkait nash di atas lebihdisebabkan karena pertentangan riwayat dan masalah internalnash itu sendiri. Menurut sebagian orang, yang menjadipenyebab utama pertentangan riwayat itu adalah tindakanKhalifah Umar ibn Khathab yang melarang para Sahabatmencatat hadits pada waktu itu, padahal beliau mengetahuisabda Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan para Sahabatmenuliskan khutbat al-wada (pidato perpisahan Nabi) untukAbu Syah dan yang juga memerintahkan mereka agar mencatatilmu dengan tulisan. Seandainya Khalifah Umar membiarkanpara Sahabat mencatat hadits-hadits yang diriwayatkan dariNabi niscaya hadits itu akan lebih dapat terpelihara, dan kalaudemikian halnya maka catatan-catatan hadits tersebut akandapat kita baca sebagaimana kitab Shahih Bukhari dan ShahihMuslim di zaman sekarang. (Khallaf,1972: 133)

c. Dalam penerapan hukum Islam sering terjadi praktik hukumyang menyalahi nash karena pertimbangan mashlahah sepertimenyalahinya Ibn Mas’ud terhadap nash dan ijma’ dalam soaltayamum karena pertimbangan mashlahah ihtiyath (kehati-hatian) dalam ibadah. (Khallaf,1972: 133) Dan menyalahinyasebagian Sahabat terhadap perintah Rasulullah dalam sebuahhadits (artinya), janganlah seorangpun dari kalian melakukanshalat Ashar kecuali di Bani Quraidhah. Maka sebagian Sahabatmelaksanakan shalat Ashar di jalan karena mereka beranggapanbahwa Nabi tidak bermaksud melarangnya dan sebagian yang

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 13: Jurnal At-Turas

| 13

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

lain melaksanakannya setelah sampai di Bani Quraidhah, makakejadian itu disampaikan kepada Rasulullah dan beliau tidakmempersalahkan seorangpun dari mereka . Contoh lain adalahmenyalahinya Nabi sendiri terhadap suatu tindakan yangseharusnya beliau lakukan karena pertimbangan mashlahah,sebagaimana dapat dipahami dari sabda Nabi (artinya),seandainya tidak karena kaummu baru saja keluar dari alamkekafiran niscaya ka’bah itu aku rusak dan akan aku bangundiatas fondasi yang diletakkan Nabi Ibrahim AS (Riwayat al-Nasa’i). Dan masih banyak contoh-contoh lain yang serupa yangdikemukakan Thufi sebagai bukti penerapan hukum Islam yangmenyalahi nash atau ijma’ karena pertimbangan mashlahah.

Disamping itu, Thufi juga mengemukakan alasan-alasan rasionalmengapa mashlahah harus diperioritaskan dari ijma yang menurutThufi karena ijma’ sebagai sumber hukum mempunyai kelemahan-kelemahan sebagai berikut:

a. Landasan ijma’ yang berupa ayat dan hadits yang dikemukakanoleh mayoritas ulama merupakan pendalilan dengan dalil-dalildhahir yang didengar dari mulut ke mulut (dhawahir sam’iyah).Dalil-dalil itu tidak mempunyai kepastian hukum karenamegandung banyak kelemahan yang dapat diungkap dari hasilpenelitian yang mendalam. Mengambil dalil dengan dalil-dalilsemacam itu baru dapat dibenarkan apabila juga didukung olehijma. Tetapi apabila hal ini terjadi maka berarti ijma’ berlakuberdasarkan ijma’ pula dan terjadilah suatu perputaran matarantai yang tidak akan berkesudahan. (Khallaf,1972: 125)

b. Kata al-mukminin dalam ayat 115 Surat al-Nisa’ (artinya), danbarangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaranbaginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-arangmukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yangtelah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam.Dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Dan kataummati dalam hadits (artinya), umatku tidak akan bersepakatdalam kesesatan (HR.Ibn Majah). Kedua kata tersebut (al-mukminin dan ummati) mengandung pengertian yang mencakupkeseluruhan orang-orang mukmin dan semua umat Muhammad

A. Malthuf Siroj

Page 14: Jurnal At-Turas

14 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

SAW, padahal- sesuai informasi dari Nabi sendiri, umat Nabi ituterpecah menjadi 73 golongan. Seandainya benar-benar terjadiconsensus di kalangan mereka yang terpecah-pecah tersebuttentu kesepakatan itu dapat dijadikan dasar hukum yangberkualitas qath’i. Nampaknya hal itu tidak mungkin terjadi.Kalupun hal ini terjadi maka consensus itu dimungkinkan hanyadalam persoalan teologis dan persoalan kecil lainnya saja. Dankarenanya konsensus mereka dalam persoalan teologis ini dapatdijadikan dasar hukum. (Khallaf,1972: 125) Selain itu Thufi jugamengungkap kelemahan ijma’ dari aspek keterpeliharaan(ishmah) para pelaku ijma’ (ahl al-ijma’) dari segala kesalahandan kekeliruan, soal kemungkinan terjadinya kesepakatan yangmenyeluruh dalam hal umat Nabi terpecah ke dalam 73golongan dan kenyataan-kenyataan lain yang mengindikasikanbahwa ijma dalam sepanjang penerapannya tidak lepas daripenolakan ulama lain terhadap hokum yang telah disepakatiitu, misalnya Abu Bakar, Umar dan Utsman telah sepakat untukmemahjubkan ibu dari bagian waris 1/3 menjadi 1/6 sebabbersama dengan dua saudara. Kesepakatan ini ternyata ditolakoleh Ibnu Abbas. Beliau berpendapat bahwa ibu dapat terhalang(mahjub) dari bagian waris 1/3 menjadi 1/6 apabila ia bersamadengan minimal tiga saudara. Contoh lain, kesepakatan paraSahabat terhadap bolehnya tayamum karena sakit atau karenatidak ada air. Kesepakatan ini juga ditolak oleh Ibnu Mas’ud.Menurutnya tayamum diperbolehkan, tidah hanya karena sakitatau tidak ada air saja, tapi juga boleh karena dingin dalam halada air sekalipun. (Khallaf,1972: 127-128)

TANGGAPAN PARA ULAMA TERHADAP PEMIKIRAN THUFI TENTANGMASHLAHAH

Berikut akan dikutip tanggapan sebagian ulama yangmengkounter pemikiran Thufi yang dianggapnya kontroversial.Diantaranya Syekh Muhammad Zahid al-Kautsary dalam makalahnyatentang Syariat Allah dalam Pandangan Umat Islam, menyinggungpemikiran Thuf sebagai berikut, (artinya), termasuk dari cara merekayang licik (maksudnya penyebar pemikiran yang menghebohkan) dalam

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 15: Jurnal At-Turas

| 15

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

upaya mereka mengubah ketentuan syara’ sesuai keinginannya adalahperkataan sebagian mereka bahwa ketentuan dasar dalam pembinaanhokum dalam bidang muamalat dan hokum yang sejenis adalahmashlahah. Apabila nash bertentangan dengan mashlahah makahendaknya nash tersebut ditinggalkan dan mengambil dasarmashlahah. Celakalah orang yang berpikiran seperti ini danmenjadikannya sebagai dasar dari ajarannya yang baru. Hal ini tidaklain adalah usaha merongrong ajaran Allah untuk dapat menghalalkansesuatu yang diharamkanNya dengan kedok mashlahah. (Zayd, 1964:147)

Abu Zahrah dalam kitabnya Ibn Hanbal, Hayatuhu wa Asharuhuwa Ara’uhu wa Fiqhuhu menulis : (artinya), sesungguhnya dalil-dalilyang ia (Thufi) kemukakan tidaklah mengandung kepastian dalamdalalahnya terhadap apa yang menjadi pemikirannya, bahkan relevansiantara dalil-dalil tersebut dengan pemikirannya itu sangatlah lemahyang tidak cukup kuat untuk mendukung klaimnya yang memungkinkanbahwa nash-nash Allah yang qath’I itu dapat bertentangan dengankemaslahatan. (al-Turky, 1980: 442)

Di bagian lain tulisannya, ia juga menulis :(artinya), inilahpemikiran Thufi, kami telah menjabarkan, meneliti dan mengungkapkepalsuannya. Tidak diragukan lagi bahwa pemikirannya itu bertolakbelakang dengan pemikiran Imam Ahmad, sebab sebagaimana andaketehui bahwa Imam Ahmad itu sangat konsisten berpegang kepadanash dan meyakini validitasnya. (al-Turky, 1980: 442)

Abd al-Wahab Khallaf memberikan tanggapan terhadappemikiran kontroversial Thufi sebagai berikut : (artinya), sesungguhnyaThufi yang mengambil dalil mashlahah mursalah secara mutlak baikdalam hal terdapat nash atau tidak, akan dapat membuka pintupenetapan hukum tanpa dasar nash dan menjadikan hukum-hukumnash dan ijma’ sebagai sasaran upaya merubah hukum dengan ra’yu(akal) karena mengambil dalil mashlahah tidak lain adalah bersifatra’yu (akal) dan spekulatif. Sangat mungkin akal memandang sesuatusebagai mashlahah tapi setelah dilakukan penelitian tarnyata ia adalahsuatu mafsadah. Menjadikan nash-nash sebagai sasaran perubahanhukum melalui akal dan pikiran spekulatif adalah tindakan yang

A. Malthuf Siroj

Page 16: Jurnal At-Turas

16 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

membahayakan syari’at Allah dan ketentuan-ketentuan hukum-Nya.(Khallaf,1972: 101)

Muhammad Yusuf Musa turut juga menulis tentang pemikiranThufi, ia mengatakan, pemikiran Thufi tentang mashlahah merupakanhasil ijtihadnya yang keliru, karena mashlahah dapat dijadikan dalilhukum hanya apabila sejalan dengan nash-nash. Oleh karenanya, dalamkeadaan bagaimanapun, tidak pada temapatnya apabila mashlahahdiprioritaskan dari nash saat terjadi kontradiksi, karena hal ini berartimenasakh/menghapus nash dengan mashlahah padahal sekarang sudahbukan zaman nasakh. (Zayd, 1964: 171)

Ahmad Zaki Yamani menulis bahwa pendapat Thufi tentangmashlahah adalah pendapat yang berbahaya karena secara aparioritelah memungkinkan terjadinya kontradiksi antara nash al-Qur’andan al-Sunnah dengan kepentingan umum secara permanen, suatuhal yang tidak mungkin terjadi dan tidak masuk akal. (Yamani, t.t:36)

Di bagian lain tulisannya ia juga mengatakan, kita tidak tahubagaimana jadinya pendapat Thufi seandainya ia berumur panjangdan sempat hidup bersama kita sekarang ini dalam kondisi dimanapendapat telah beraneka ragam, hawa nafsu dominan dan kedudukanakal merosot. (Yamani, t.t: 37)

TELAAH KONSEPTUAL MASHLAHAH PERSPEKTIF AL-THUFI1. Pengertian Mashlahah

Tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa mashlahah merupakantujuan dan dasar penetapan hukum Islam. Semua ulama teoretisihukum Islam berkonsensus atas kebenaran pernyataan ini karenatujuan kerasulan Nabi Muhammad SAW telah dinyatakan oleh Allahsecara eksplisit dan sangat tegas adalah hanya karena rahmat bagisemua semesta alam. Dengan demikian, hukum-hukum yang dibawaoleh Nabi pastilah mengandung muatan mashlahah sebagai wujud darirahmat tersebut. Perbedaan pendapat akan mulai terjadi apabiladalam pandangan subyektif ulama, mashlahah itu dipandang tidaksejalan dengan nash.

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 17: Jurnal At-Turas

| 17

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

Sebelum memasuki pembahasan ini, terlebih dahulu akandikemukakan pengertian mashlahah menurut Thufi sebab pemahamanThufi tentang mashlahah berbeda dari pemahaman mayoritas ulamaUshul-Fiqh. Mashlahah menurutnya adalah, mengimplementasikannash (al-Qur’an dan Hadits) dan ijma’ dalam bidang ibadah dan hukum-hukum yang ditentukan kadarnya dan mengimplementasikanmashlahah dalam bidang muamalah dan hukum-hukum sejenislainnya. Dengan pernyataan ini sebenarnya Thufi tidak bermaksudmenjelaskan pengertian mashlahah secara definitif, tetapi denganpernyataan itu ia ingin menegaskan bahwa mashlahah itu lingkupberlakunya adalah dalam bidang muamalah dan hukum-hukum yangsejenis sedangkan dalam bidang ibadah dan hukum-hukum yang telahditentukan kadarnya sepenuhnya berlaku ketentuan nash (al-Qur’andan Hadits).

Pemikiran semacam ini pada prinsipnya dapatlah diterima karenabidang muamalah merupakan tataran taaqquli yang ketentuanhukumnya dapat dirasionalisasikan sehingga pertimbangan mashlahahdalam hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting sepertidiperbolehkannya akad salam semata-mata karena tuntutan mashlahahwalaupun sebenarnya transaksi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip umum jual beli. Sedang bidang ibadah sesuai dengan namanyamerupakan tataran ta’abbudi yang sepenuhnya menjadi hak Allahuntuk mengaturnya sehingga nash yang merupakan firman Allahmenjadi acuan utama dalam ibadah. Dalam kaitan ini terdapat kaidahyang menyatakan bahwa hukum dasar dalam ibadah adalah batalsehingga terdapat dalil yang memerintahkannya dan hukum dasardalam muamalah adalah sah sehingga terdapat dalil yangmembatalkannya.

Selain hal tersebut diatas, bidang muamalah merupakan bidanghukum Islam yang sangat dinamis, selalu berkembang sejalan denganperkembangan situasi dan kondisi, lebih-lebih di zaman sepertisekarang ini yang banyak dipengaruhi kemajuan teknologi informasidan berimbas kepada praktik bermu’amalah dalam kehidupanmasyarakat luas, maka karena itu hukum muamalah ini dibiarkan begitulonggar oleh Allah SWT dan nash yang mengatur hukum ini secarakuantitatif sangatlah sedikit sehingga bidang ini bisa berkembang

A. Malthuf Siroj

Page 18: Jurnal At-Turas

18 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

sesuai tuntutan mashlahah. Berbeda dengan hukum-hukum ibadahyang merupakan otoritas Allah SWT dalam pengaturannya, makaketentuan hukum ini berlaku strik, konstan dan ajeg. Karenanya makapraktik pengamalan hukum ini selalu menunggu petunjuk dari Allahatau Nabi seperti pengamalan shalat, haji dan lain-lain. Nabi bersabda,shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya shalat.Tentang haji Nabi bersabda, ambillah dari saya ibadah haji kamusekalian.

2. Kedudukan Nash dan Mashlahah.Dilihat dari klasifikasi sumber hokum menurut Thufi nampak

secara jelas kepada kita bahwa Thufi tidak bermaksudmendegradasikan nash dari kedudukannya sebagai sumber hukumutama. Ia memposisikan nash pada urutan pertama dan kedua secaraberturut-turut (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan menempatkan mashlahahmursalah pada urutan ke 7. Hal ini mengisyaratkan bahwa Thufi sangatkonsisten berpegang kepada nash sebagimana madzhab Imam Ahmadibn Hanbal yang dianutnya, disamping itu ia juga mengakui validitasmashlahah sebagai dasar penetapan hukum yang amat penting. Namundemikian kontroversi mulai muncul pada saat nash berkontradiksidengan mashlahah. Dalam pandangan Thufi mashlahah haruslahdidahulukan dari nash dengan cara takhsis dalam hal berkaitan denganbidang muamalah.

Pandangan Thufi tentang kedudukan nash sesungguhnya tidakmenimbulkan kontroversi yang berlebihan sebab secara terang-terangan ia memposisikan al-Qur’an pada urutan pertama dan al-Sunnah pada urutan kedua dalam klasifikasi sumber hukum Islam,sungguhpun al-Sunnah rentan diperdebatkan validitasnya oleh sebagiankelompok tertentu, misalnya kaum Khawarij, Syiah, Muktazilah danlain-lain. Kaum Khawarij menolak al-Sunnah karena sikap merekayang mengkafirkan para Sahabat yang mendukung peristiwa tahkim(arbitrase). Bagi mereka para Sahabat itu tidak bisa dipercaya karenamenerima tahkim dan tunduk kepada pemimpin-pemimpin yang telahmelakukan penyelewengan. (al-Siba’i, 1985: 130) Sedangkan kelompokSyi’ah menolak al-Sunnah karena beranggapan bahwa kebanyakan paraSahabat tidak adil sebab mereka mengkhianati wasiat Nabi MuhammadSAW terhadap Ali KW yang memberikan hak kekhalifahan kepadanya.

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 19: Jurnal At-Turas

| 19

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

Dengan demikian riwayat-riwayat mereka harus ditolak kecuali riwayatbeberapa orang yang dianggap masih setia kepada Ali KW yangjumlahnya kurang lebih hanya lima belas orang dan riwayat merekapunharus melalui imam-imam Syi’ah yang diyakini kemaksumannya. (al-Siba’i, 1985: 131)

Dari kalangan Mu’tazilah yang sangat keras menolak al-Sunnahadalah al-Nidzamiyah. Kelompok ini tidak mengakui validitas HaditsMutawatir apalagi Hadits Ahad. Mereka beranggapan bahwa dalamkemutawatiran umat Islam secara keseluruhan terdapat kemungkinanmereka berkonsensus (ijma’) atas kesalahan. (al-Siba’i, 1985: 135)

Sedangkan mashlahah menurut Thufi bukanlah mashlahahmursalah sebagaimana dimaksud oleh Imam Malik dan sebagaimanajuga dipahami oleh kebanyakan ulama Ushul-Fiqh, sebab Thufimemahami mashlahah secara lebih komprehensif. Dapat diasumsikanbahwa Thufi memahami mashlahah sebagai tujuan hukum Islam(maqashid al-syari’ah). Asumsi ini dilandasi alasan rasional sebagaiberikut :

a. Dalam bidang ibadah Thufi menekankan implementasi nash,sebab tujuan ibadah hanya dapat diketahui oleh Allah SWTsemata, karena itu maka pelaksanaan dan formulasinyaharuslah berdasarkan nash dan contoh konkret dari NabiMuhammad SAW sebagai penjelas kehendak Allah dalampenetapan hukum, sesuai sebuah kaidah sebagaimana telahdikutip diatas yang menyatakan bahwa hukum dasar dalamibadah adalah batal kecuali terdapat dalil nash yangmemerintahkannya.

b. Dalam bidang muamalah Thufi memperioritaskan mashlahahsaat terjadi kontradiksi dengan nash dengan cara takhsis, sebabtujuan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatanmanusia. Dan kemaslahatan manusia itu tentu sangat dinamisdan variatif yang berbeda antara satu komunitas dengankomunitas yang lain dan antara satu zaman dengan zamanyang lain. Dengan demikian, pernyataan bahwa prinsip yangmelandasi hukum muamalah itu adalah mashlahah sepenuhnyadapatlah diterima, sesuai sebuah kaidah sebagaimana juga telahdikutip diatas yang menyatakan bahwa hukum dasar dalam

A. Malthuf Siroj

Page 20: Jurnal At-Turas

20 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

muamalah adalah sah kecuali terdapat dalil yang menyatakanbatal.

3. Kontradiksi antara Mashlahah dan NashMenurut Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah semua nash

tidak akan berkontradiksi dengan mashlahah dan apabila sebagianmashlahah juz’iyah dibiarkan begitu saja tanpa hokum maka hal itudimaksudkan agar ketentuan hukumnya itu disesuaikan dengantuntutan zaman dan lingkungan. (Zayd, t.t: 160) Sependapat dengankedua ulama diatas adalah para ulama penentang validitas mashlahahmursalah sebagai sumber hukum Islam. Diantara tokohnya adalah al-Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang menjadikemaslahatan manusia telah terakomodasi dalam syari’at Allah secarasempurna, dan seandainya manusia membutuhkan lebih dari itu makatentu Allah tidak akan membiarkannya begitu saja, Allah pastimensyariatkannya. (Khallaf, 1972: 94) Mereka meyakini kesempurnaansyari’at Allah dalam mengatur semua kepentingan manusia dan tidakada kemaslahatan yang diluar itu. Pendapat ini juga mengindikasikanbahwa mereka tidak pernah membayangkan akan terjadi kontradiksiantara mashlahah dan nash.

Ulama Malikiyah mempunyai pandangan yang berbeda. Merekamemungkinkan terjadinya kontradiksi antara mashlahah dan nashapabila nash tersebut tidak qath’i baik dalam segi eksistensi maupunpemaknaannya. (al-Turki, 1980: 435) Al-Ghazali juga mempunyaipendapat yang sama, bahkan menurutnya mashlahah dapatdidahulukan dari nash apabila mashlahah tersebut memenuhi tigakualifikasi, yaitu dlaruriyah (bersifat primer), qath’iyah (pasti) dankulliyah (bersifat umum). (Al-Ghazali, t.t: 294)

Abu Zahrah juga termasuk ulama yang berpandangan sepertidiatas, artinya kontradiksi antara mashlahah dan nash mungkin sajaterjadi apabila nash itu bersifat dhanni baik dari segi sanad maupunpemaknaannya sedangkan mashlahah bersifat umum maka mashlahahitu dapat menjadi pen-takhsis bagi nash itu. Tetapi apabila carakompromistik ini tidak dapat dilakukan maka nash tersebut boleh tidakdiberlakukan, sebab dalam hal ini terdapat dua dalil, yang satu qath’idan yang lain dhanni. Mengacu kepada kaidah Ushul Fiqh bahwa apabiladalil qath’i bertentangan dengan dalil dhanni maka dalil dhanni itu

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 21: Jurnal At-Turas

| 21

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

harus di-takhsis dengan dalil qath’i atau dapat diabaikan apabiladalil itu tidak dapat menerima takhsis. (Zahrah, 1958: 227)

Pandangan Thufi tentang hal ini sebagaimana telah dipaparkandiatas memiliki kemiripan dengan pendapat yang terakhir ini, bahkanpendapat Abu Zahrah ini cenderung lebih kontroversial, karenamenjadikan pengabaian nash sebagai sebuah pilihan solusi seandainyacara kompromistik tidak dapat dilakukan. Thufi dengan pendapatnyaitu tidak sekontroversial pendapat Abu Zahrah di atas. Ia menegaskanbahwa apabila terjadi kontradiksi antara mashlahah dan nash makamashlahah itu harus didahulukan dari nash dengan cara takhsis bukandengan cara mengeliminasi nash. Bahkan kemungkinan ini hanyaberlaku dalam bidang muamalah saja, sedangkan dalam bidang ibadahsepenuhnya berlaku ketentuan nash. Bagi Thufi nash diakuinya sebagaisumber hukum yang paling utama dan tidak dapat digantikan dengansumber hukum lain.

Mentakhsis nash dengan mashlahah untuk mengatasi problemkontradiksi antara keduanya berarti membatasi lingkup keumumannash dengan mashlahah. Metode yang diambil Thufi ini sejalan denganpendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah yang memperbolehkan nashditakhsis dengan urf atau kebiasaan. Urf/ kebiasaan merupakan cermindari mashlahah yang dianggap baik dan ingin diwujudkan olehmasyarakat. Contoh, ulama Malikiyah mentakhsis keumuman ayat 233Surat Al-Baqarah dengan urf/kebiasaan. Ayat itu memerintahkan agarpara ibu menyusui anak-anaknya dua tahun sempurna. Menurut ulamaMalikiyah, keumuman ayat tersebut tidak mencakup para ibu darikalangan elit atau mereka yang mempunyai status sosial yang tinggi.Mereka boleh tidak menyusui sendiri anak-anaknya danmenggantikannya kepada orang lain karena hal ini sudah menjadikebiasaan dalam masyarakat. (al-Zuhaili, 1986: 257)

Kalau metode takhsis semacam ini dapat diterima oleh sebagianbesar ulama maka kontroversi pandangan Thufi tentang mashlahahtidaklah beralasan sebab pandangan yang mengedepankan mashlahahdengan cara takhsis saat terjadi kotradiksi dengan nash merupakansebuah dinamika pemikiran atau perbedaan pendapat yang sepenuhnyadapat ditoleransi dan dihormati. Dengan demikian tuduhan-tuduhanyang dialamatkan kepada Thufi terkait pandangannya tentang

A. Malthuf Siroj

Page 22: Jurnal At-Turas

22 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

mashlahah yang dinilai kontroversial sepatutnya dikoreksi karena tidakberdasar.

Selain itu, pada dasarnya terjadinya kontradiksi antara mashlahahdan nash hanyalah dalam pandangan maujtahid saja, atau dengankata lain, kontradiksi tersebut terjadi hanyalah dalam tataran ijtihadibelaka, sedangkan dalam hakikatnya tidaklah demikian, sebabbagaimana bisa disebut telah terjadi kontradiksi antara keduanyapadahal nash itu diyakini bersifat akomodatif terhadap semuakemaslahatan yang dibutuhkan manusia, Allah tidak mungkinmembiarkannya begitu saja? Dengan demikian yang terjadisesungguhnya adalah kontradiksi antara dua mashlahah yang sama-sama berdasarkan nash. Yang satu mashlahah berdasarkan nash yangspesifik dan yang lain adalah mashlahah berdasarkan nash yang bersifatumum. Tetapi dalam pandangan mujtahid yang terlihat ke permukaanadalah kontradiksi antara mashlahah dan nash. Hal ini terjadi karena:

a. Keterbatasan pengetahuan mujtahid tentang nash dan aspek-aspek lain yang terkait seperti tujuan penetapan hukum,pemaknaan nash, dan koherensinya dengan nash lain, sehinggadengan keterbatasan pengetahuan tersebut ia kurang mampuberistidlal dan menyinkronisasikannya dengan tuntutanmashlahah yang terus berkembang.

b. Kompleksitas mashlahah yang menyangkut kepentingan obyektifmanusia dan yang terus berkembang sejalan perkembanganzaman, tempat dan lingkungan, sedangkan nash merupakansebuah formula yang ajeg dan final. Dengan demikian seorangmujtahid akan dihadapkan kepada problem ketersediaan nashyang dapat merespon mashlahah tersebut.

c. Perbedaan cara pandang mujtahid dalam melihat permasalahanhukum Islam, sebagian melihatnya secara filosofis denganpendekatan multi-dimensional dan sebagian yang lainmelihatnya secara tekstual dengan pendekatan tunggal.

Karena faktor-faktor inilah maka seorang mujtahid akan menarikkesimpulan bahwa telah terjadi kontradiksi antara mashlahah dan nashyang membutuhkan pencarian solusi. Maka solusi yang diambil Thufi

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali

Page 23: Jurnal At-Turas

| 23

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

adalah men- takhsis nash dengan mashlahah dalam lingkup hukummuamalah dan tidak dalam ibadah.

KESIMPULANDari paparan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan sebagai

berikut :

a. Pengertian mashlahah menurut Thufi berbeda dari pandanganpara ulama Ushul Fiqh pada umumnya yaitumengimplementasikan nash dalam bidang ibadah dan hukum-hukum yang ditentukan ukuran dan kadarnya danmengimplementasikan mashlahah dalam bidang muamalah danhukum-hukum sejenis.

b. Thufi dalam mengklasifikasikan sumber hukum menempatkanAl-Qur’an dalam urutan pertama, berikutnya Al-Sunnah padaurutan kedua, dan kedua nash tersebut dinyatakannya sebagaisumber hukum yang paling kuat validitasnya.

c. Apabila terjadi kontradiksi antara mashlahah dan nash makasolusi yang dapat diambil adalah mendahulukan mashlahah darinash dengan cara takhsis bukan dengan cara mengeliminasinash.

d. Hasil telaah menunjukkan bahwa pendangan Thufi yangdianggap kontroversial oleh sebagian ulama ini pada dasarnyamerupakan pandangan yang wajar dalam dinamika pemikiranUshul-Fiqh, sebab pandangan serupa juga dikemukakan olehulama Malikiyah dan Hanafiyah yang memperbolehkan takhsisnash dengan urf/kebiasaan yang merupakan cermin darimashlahah.

DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abd al-Wahhab. 1972. Mashadir al-Tasyri al-Islami Fima LaNass Fih. Kuwait: Dar al-Qalam.

al-Turki, Abdullah ibn Abd al-Muhsin. 1980. Ushul Madzhab al-ImamAhmad. Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Haditash,.

A. Malthuf Siroj

Page 24: Jurnal At-Turas

24 |

Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

al-Ghazali, Abu Hamid. t.t. Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul. Kairo:Muassasat al-Halabi wa Syurakah.

Yamani, Ahmad Zaki. t.t. al-Syari’at al-Khalidah, wa Musykilat al-Ashr. Bandung: PT. al-Maarif.

Ibn Mandhur. 1990. Lisan al-Arab. Beirut: Dar al-Shadir.

Auda, Jasser. 2015. Maqasid Shariah as Philosiphy of Islamic Law, ASystem Approach. Bandung: PT Mizan Pustaka, Bandung.

Siroj, Malthuf. 2013. Paradigma Ushul-Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.

Abu Zahrah, Muhammad. 1958. Ushul al-Fiqh. Mesir: Dar al-Maarif.

Musa, Muhammad Yusuf. t.t. Al-Madkhal li Dirasat al-Fiqh al-Islami.t.tp: Dar al-Fikr al-Arabi.

al-Siba’i, Musthafa. 1985. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tsyri’ al-Islamy. Beirut: al-Maktab al-Islamy.

Zayd, Musthafa. 1964. al-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islami. t.tp: Daral-Fikr al-Arabi.

al-Buthi, Said Ramadlan. 1973. Dhawabit al-Mashlahah. t.tp. Muassasahal-Risalah.

al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Nawawy, Yahya ibn Syaraf al-Din. t.t. Syarh al-Arbain al-Nawawiyah.Surabaya: Syirkah Maktabah wa al-Mathbaah Salim.

Kontroversi Mashlahah Perspektif Najm Al-din Al-thufi Al-hanbali