isi referat.docx

36
BAB I PENDAHULUAN Otoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan dengan bertambahnya obat- obatan yang lebih poten maka daftar obat-obatan ototoksik makin bertambah. 1 Obat-obatan dan zat kimia dapat mempengaruhi telinga dalam dan mekanisme pendengaran. Umumnya efek yang muncul adalah gangguan vestibular dan pendengaran. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau ireversibel. 2 Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat yang telah diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran adalah golongan aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID), agen-agen kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan aminoglikosida. 1 Antibiotik aminoglikosid dan agen kemoterapi platinum merupakan dua kelompok obat utama yang saat ini sering digunakan secara klinis yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Seperti yang telah diketahui bahwa aminoglikosid memiliki peran penting dalam pengobatan infeksi jangka panjang dan platinum sebagai agen kemoterapi yang sangat efektif dalam pengobatan kanker. Kedua obat tersebut menyebabkan 1

Upload: an-ordinary-k-chazwin

Post on 26-Oct-2015

85 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

ototoksik

TRANSCRIPT

Page 1: ISI REFERAT.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Otoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran,

dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten maka daftar obat-obatan

ototoksik makin bertambah.1 Obat-obatan dan zat kimia dapat mempengaruhi telinga

dalam dan mekanisme pendengaran. Umumnya efek yang muncul adalah gangguan

vestibular dan pendengaran. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau

ireversibel.2

Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat yang telah

diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran adalah golongan

aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID), agen-agen

kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan aminoglikosida.1 Antibiotik

aminoglikosid dan agen kemoterapi platinum merupakan dua kelompok obat utama

yang saat ini sering digunakan secara klinis yang dapat menyebabkan gangguan

pendengaran permanen. Seperti yang telah diketahui bahwa aminoglikosid memiliki

peran penting dalam pengobatan infeksi jangka panjang dan platinum sebagai agen

kemoterapi yang sangat efektif dalam pengobatan kanker. Kedua obat tersebut

menyebabkan kerusakan sel rambut pada telinga dalam sehingga menyebabkan defisit

fungsional. Mekanisme yang mendasari hal tersebut diduga melibatkan produksi

reaktif oksigen spesies pada koklea yang memicu kematian sel.3

Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran atau ketulian mempunyai

dampak yang merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat maupun negara.

Gangguan pendengaran menyebabkan seseorang kesulitan dalam berkomunikasi

dengan lingkungannya dan terisolasi, kehilangan kesempatan dalam aktualisasi diri,

mengikuti pendidikan formal di sekolah umum, kehilangan kesempatan memperoleh

pekerjaan yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas hidup yang

bersangkutan. Kesulitan-kesulitan tersebut diatas akan bertambah besar di negara

1

Page 2: ISI REFERAT.docx

berkembang mengingat masih terbatasnya infrastruktur kesehatan telinga dan

pendengaran dalam melakukan pencegahan, deteksi dini, penatalaksanaan dan

habilitasi / rehabilitasi.

Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4

negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3

negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%).

Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% adalah angka cukup tinggi,

yang dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil Survei

Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksanakan

di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran akibat

obat ototoksik sebesar 0,3%.4

Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas kini sangat

sering ditemukan oleh karena penggunaan obat-obatan ototoksis yang semakin sering.

Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan

menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk

mempertimbangkan penggunaan obat-obatan ototoksik.1 Dengan mengetahui jenis

obat dan mekanisme ototoksiknya, diharapkan menjadi salah satu cara untuk

mengurangi prevalensi ototoksisitas di Indonesia.

2

Page 3: ISI REFERAT.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan

vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea

disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.1

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala

vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus

koklearis).1

Gambar.1 Anatomi Telinga Dalam.5

3

Page 4: ISI REFERAT.docx

Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media

berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan

endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s

membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini

terletak organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang

disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri

dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ

Corti.1

2.2. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.

Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah

melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui

daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani

dan tingkap lonjong.1

Gambar.2 Proses Pendengaran.5

4

Page 5: ISI REFERAT.docx

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang

menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibula bergerak.

Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga

akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.

Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi

stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion

bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel

rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan

menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus

auditorius.1 Serabut-serabut saraf ini berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan

ventralis dan menuju kolikulus inferior kotralateral,tetapi sebagian serabut tetap

berjalan ipsilateral. Penyilanga berikutnya terjadi pada lemnikus lateralis dan

kolikulus inferior yang selanjutnya berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian

menuju ke korteks pedengaran di lobus temporalis.5

2.3 Ototoksisitas

2.3.1 Definisi

Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak

struktur dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur

auditori dan/atau vestibular telinga dalam.2 Obat-obat ototoksik seringkali

menimbulkan reaksi toksik yang menyebabkan gangguan pendengaran pada individu

yang mengkonsumsinya. Gangguan pendengaran dapat bermanifestasi pada satu atau

kedua telinga, dengan derajat kerusakan dari yang ringan hingga berat, dan efeknya

ada yang bersifat sementara hingga menetap. 6

Berdasarkan American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) dan

the National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse Event

(CTCAE), ototoksisitas didefinisikan sebagai berikut :7

5

Page 6: ISI REFERAT.docx

Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometric nada murni pada satu

frekuensi

Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada dua frekuensi yang berdekatan

Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali

pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.

Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh CTCAE dan Brock sebagai

berikut :7

CTAE :

Derajat 1 : ambang dengar turun 15-25 dB dari pemeriksaan sebelumnya (1

tahun), dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.

Derajat 2 : ambang dengar turun 25-90 dB dari pemeriksaan sebelumnya (1

tahun), dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.

Derajat 3 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu

dengar (> 20dB bilateral pada frekuensi percakapan, > 30dB unilateral pada

frekuensi percakapan).

Derajat 4 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu

dengar dan implan koklea.

Brock :

Derajat 0 : ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi

Derajat 1: ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz

Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz

Derajat 3 : ambang dengar > 40 dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz

Derajat 4 : ambang dengar > 40 dB pada frekuensi 1.000-8.000Hz

2.3.2 Mekanisme Ototoksik

Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan

terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah terjadi

6

Page 7: ISI REFERAT.docx

perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang ditimbulkan

oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :1

a. Degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini dapat terjadi pada

penggunaan semua jenis obat ototoksik.

b. Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini dapat terjadi pada organ

corti dan labirin vestibuler, akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel

rambut luar lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan

degenerative ini terjadi dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga

akhirnya sampai ke bagian apeks.

c. Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya

degenerasi dari sel epitel sendiri.

Adapun berikut ini diuraikan beberapa preparat ototoksik dan mekanismenya.

2.3.2.1 Aminoglikosid

Obat-obat yang termasuk golongan aminoglikosida adalah: Streptomisin,

Neomisin, kanamisin, Gentamisin, Tobramisin, Amikasin dan yang baru adalah

Netilmisin dan Sisomisin. Netilmisin mempunyai efek seperti gentamisin tetapi sifat

ototoksisitasnya jauh lebih kecil. Sisomisin juga mempunyai efek ototoksisitas yang

jauh lebih kecil dibandingkan dengan aminoglikosida-aminglikosida lain.1

Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas

terhadap koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat

terjadinya akumulasi obat-obat ini secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe

telinga dalam. Akumulasi terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma tinggi. Waktu

paruh amioglikosida 5-6 kali lebih lama di dalam cairan otik daripada di dalam

plasma. Sebagian besar ototoksisitas bersifat ireversibel dan terjadi akibat destruksi

progresif sel-sel epitel sensorik.8 Aminoglikosida dilaporkan menimbulkan

kehilangan pendengaran pada 33% individu yang diterapi dengan obat ini.9

7

Page 8: ISI REFERAT.docx

Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti melalui

mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan terbentuk kompleks

aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe

mengaktifkan substansi Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu superoxide anion

radical, hydrogen peroxide, hydroxyl radical,peroxynitrite anion. Substansi-substansi

tersebut mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan membuat

mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c menginisiasi

apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan hilangnya sel-sel rambut pada organ

korti.9

Dengan dosis yang meningkat serta pemajanan yang diperlama, kerusakan

berkembang dari dasar koklea, tempat suara berfrekuensi tinggi di proses, ke apeks,

tempat suara berfrekuensi rendah di proses. Aminoglikosida diduga juga mengganggu

sistem transpor aktif yang penting untuk mempertahankan kesetimbangan ion pada

endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan terjadi. Hal ini akan diikuti

dengan degenerasi saraf pendengaran yang memburuk, sehingga menyebabkan

hilangnya pendengaran secara ireversibel.8

Gambar.3 Mekanisme Ototoksisitas Aminoglikosida (AG) pada Sel Rambut.9

8

Page 9: ISI REFERAT.docx

Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari organ korti dan sel

rambut vestibular tipe 1. Sel penunjang dan sel rambut dalam pada organ korti tidak

terpengaruhi. Salah satu penyebab yang mungkin dari pernyataan sebelumnya

adalah kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu antioksidan endogen

intraselular, pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel lainnya. Selain itu

terdapat gradien level glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel rambut luar pada

apeks koklea memiliki kadar glutathione yang lebih tinggi dari sel rambut luar di

basis koklea.10

Gambar 4. Scanning dengan mikrograph elektron pada organ korti guinea pig , memperlihatkan kehilangan sel rambut setelah terapi aminoglikosida

Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah sel-sel

rambut sensorik yang rusak dan berkaitan pula dengan lama pajanan obat.

Penggunaan aminoglikosida secara berulang, yang dalam setiap pemakaiannya

menyebabkan hilangnya sel lebih banyak lagi, dapat menyebabkan ketulian. Oleh

karena jumlah sel menurun seiring bertambahnya usia, pasien lanjut usia mungkin

lebih rentan terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam etakrinat dan furosemid

meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba. Walaupun semua

9

Page 10: ISI REFERAT.docx

aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun vestibula, beberapa

toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin terutama menimbulkan

efek pada vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama

mempengaruhi fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh yang sama

pada keduanya. Selain itu, 75% pasien yang menerima 2 gram streptomisin selama

lebih dari 60 hari menunjukkan gejala nistagmus atau ketidakseimbangan postural.

Pasien yang menerima dosis tinggi dan/atau pemakaian amioglikosida jangka panjang

sebaiknya dipantau.8

Tuli yang diakibatkannya bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan

kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral

dan dapat disertai gangguan vestibuler.1Gejala pertama dari toksisitas adalah

timbulnya tinitus nada tinggi. Jika pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan

pendengaran dapat terjadi setelah beberapa hari. Suara mendenging ini dapat bertahan

selama beberapa hari hingga 2 minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena persepsi

suara dalam rentang frekuensi tinggi (di luar rentang pembicaraan normal)

merupakan yang pertama hilang, maka individu yang terganggu ini terkadang tidak

sadar akan kesulitan ini, dan tidak akan dapat terdeteksi kecuali dilakukan

pemeriksaan audiometri.8

Pasien kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan pendengaran

hingga pada suatu saat mereka telah kehilangan 30 dB pada frekuensi 3000 Hz-4000

Hz. Monitoring fungsi pendengaran penting pada pasien yang mengalami insufisiensi

ginjal atau pada pasien yang mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari

dosis normal.2

2.3.2.2 Eritromisin

Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin biasanya bersifat

bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap

10

Page 11: ISI REFERAT.docx

mikroorganisme yang sangat rentan. Laporan ototoksisitas eritromisin pertama kali

dilaporka pada tahun 1972. Gangguan pendengaran sementara merupakan komplikasi

yang mungkin timbul dalam pengobatan menggunakan eritromisin. Hal ini teramati

setelah pemberian intravena eritromisin gluseptat atau laktobionat dosis tinggi ( 4

gr/hari) atau konsumsi oral eritromisin estolat dosis tinggi.7

Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin belum sepenuhnya dimengerti dan

lokasi kerusakan masih belum jelas diketahui. Beberapa peneliti menyatakan

kerusakan terjadi pada striae vaskularis, yang pada akhirnya mengganggu potesial

ionik. Peneliti lain menyatakan obat ini mempengaruhi jaras pendengaran sentral.

Faktor resiko untuk terjadinya ototoksisitas eritromisin adalah pasien dengan

gangguan renal, hepar, dan lanjut usia.7

Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah kurang

pendengaran, tinitus subjektif, dan terkadang vertigo. Pernah dilaporkan bahwa

terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian IV dosis

tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah pengobatan

dihentikan. Antibiotika lain seperti Vankomisin, Viomisin, Minoksiklin dapat

mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi

ginjalnya.1,2

2.3.2.3 Loop Diuretics

Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat yang memblok

pompa Na+-K+-2Cl—di bagian asenden tebal ansa Henle, sehingga diuretik ini

disebut juga sebagai diuretik loop.8 Ketiga obat yang tersebut di atas adalah obat yang

paling ototoksik dari golongan diuretik loop. Diuretik digunakan untuk memodifikasi

komposisi dan/atau volume dari cairan tubuh untuk menangani kondisi seperti

hipertensi, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis dan sindrom nefrotik.

Diuretik loop bekerja pada bagian asending loop of Henle ginjal. Target kerja dari

11

Page 12: ISI REFERAT.docx

obat ini adalah protein soldium-potassium-2 chloride (Na+-K+-2 Cl-) cotransporters.

Protein ini ternyata banyak ditemukan pada sel epitelial dan non-epitelial dan juga

terlokalisasi pada stria vaskularis koklea. Inhibisi dari kerja protein ko-transporter

tersebut menyebabkan eksresi Na+ dari sel marginal ke ruang intrastrial sehingga

menimbulkan edema pada ruang intrastrial dan juga pada sel penyusun stria

vaskularis. Akan terjadi penurunan potensial positif endolimfe. Kondisi ini akan

mempengaruhi potensial endokoklea, yang penting untuk mempertahankan potensial

sel rambut dalam batasan yang normal.10 Furosemid dilaporkan memiliki efek

langsung pada motilitas sel rambut luar ( outer hair cell) yang akan menimbulkan

disfungsi sensori.10

Diuretik loop dapat menyebabkan munculnya gejala tinitus, gangguan

pendengaran, ketulian, vertigo, dan rasa “penuh” pada telinga Biasanya gangguan

pendengaran yang terjadi ringan atau reversible, tetapi pada kasus-kasus tertentu

dapat menyebabkan tuli permanen. Ototoksisitas paling sering terjadi pada pemberian

intravena secara cepat dan sangat jarang terjadi pada penggunaan oral, terlebih lagi

bila diberikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Faktor resiko lainnya adalah

pemberian IV secara cepat (≥ 25 mg/menit). Asam etakrinat menginduksi

ototoksisitas lebih sering dibandingkan diuretik lainnya. Bila bersamaan digunakan

bersama aminoglikosida, dapat memperberat ototoksisitas yang muncul.1,8,10

Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada orang sehat. Pada

pasien dengan gagal ginjal, waktu paruh obat ini memanjang menjadi 3 jam. Kadar

plasma > 50 mg/L berkaitan dengan munculnya gangguan pendengaran.2

2.3.2.3 Obat antiinflamasi

Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat

anti inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik, anti-

inflamasi, dan pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui menghambat

12

Page 13: ISI REFERAT.docx

metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID juga

menghambat derivat non-prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion lipofilik,

dan bila pH semakin rendah (daerah inflamasi biasanya pH asam) maka semakin

besar kelarutannya. Asam asetilsalisilat (Aspirin) secara umum menghambat

translokasi anion melewati membran sel, yang berkontribusi pada munculnya

ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat menghambat protein membran (prestin)

dari sel rambut luar koklea yang memfasilitasi elektromotilitas melalui translokasi

transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga mempengaruhi daya

choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien yang sebelumnya telah

diterapi dengan salisilat menunjukkan struktur koklea yang normal. Hal ini

menyatakan bahwa efek ototoksisitas obat ini adalah reversibel.7

Konsentrasi serum asam salisilat 20-50 mg/dL berhubungan dengan

kehilangan pendengaran > 30 dB. Gangguan pendengaran yang ditemukan adalah tuli

sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus. Namun apabila pengobatan dihentikan

pendengaran akan pulih kembali dan tinitus menghilang.1,7

2.3.2.4 Obat Anti Malaria

Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.1

Pemberian klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi (> 250

mg) untuk mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan

ototoksisitas.8 Ototoksisitas terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral,

misalnya pada malaria serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran dan

tinitus. Namun bila pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih kembali dan

tinitus hilang. Klorokuin dan kina dapat melalui plasenta sehingga dapat terjadi tuli

kongenital dan hipoplasia koklea karena pengobatan malaria sewaktu ibu sedang

hamil.1

Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran bila digunakan

dalam jangka waktu yang panjang dan dengan dosis tinggi. Dosis oral kuinin yang

13

Page 14: ISI REFERAT.docx

fatal untuk dewasa adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus,

berkurangnya ketajaman pendengaran, dan vertigo.8

2.3.2.5 Obat Anti Tumor

Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan dalam terapi

tumor ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala-leher. Seperti banyak agen

neoplastik lain, cisplatin dapat menyebabkan efek-efek yang tidak diinginkan antara

lain ototoksisitas. Efek ini terjadi pada 30% pasien yang diterapi dan pada akhirnya

menimbulkan ketulian permanen/reversibel. Banyak studi penelitian menyatakan

cisplatin menyebabkan kematian sel rambut yang merupakan organ sensori penting.

Setelah diinjeksi secara sistemik, cisplatin terakumulasi di cairan telinga dalam dan

diabsorbsi oleh sel epitel telinga. Platinated DNA ditemukan pada sel rambut dan sel-

sel penunjang. Pajanan cisplatin juga meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS)

di dalam sel rambut dan menyebabkan pengeluaran sitokin-sitokin tertentu. Namun,

studi lain menyatakan target primer cisplatin masih belum jelas, sel rambut ataukah

tipe sel epitel sensori telinga lain. Penelitian sebelumnya menyebutkan terapi cisplatin

menginduksi perubahan struktural pada sel-sel penunjang koklea.11

Gambar 4. Kehilangan sel rambut setelah 24 jam terapi cisplatin pada koklea

hewan.11

14

Page 15: ISI REFERAT.docx

Gambar 5. Kehilangan sel rambut ujung distal lebih sering ( daerah

frekuensi rendah) terapi cisplatin pada hewan.11

Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa terapi

dengan cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia, dimulai dari

distal/basal ke proksimal/apikal (distal-to-proximal pattern).11 Pola kerusakan ini

berkaitan erat dengan dimulainya penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi

tinggi terlebih dahulu. Selain itu cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria

vaskularis.7

Sejak pertama kali dikenalkan, dosis standar cisplatin adalah 50 mg/m2 .

Peningkatan pemberian dosis menimbulkan peningkatan kejadian dan derajat

gangguan pendengaran. Gejala yang ditimbulkan CIS Platinum, sebagai ototoksisitas

adalah tuli subjektif, tinitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan

keseimbangan. Tinitus biasanya samar-samar.1 Dilaporkan bahwa pada pasien yang

mendapatkan terapi cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami gangguan pendengaran.

Gangguan pendengaran biasanya terjadi secara bilateral dan muncul pertama kali

pada frekuensi tinggi ( 6000 Hz dan 8000 Hz) kemudian terkena ke frekuensi yang

lebih rendah ( 2000 Hz dan 4000 Hz) bila terapi dilanjutkan. Bila tuli ringan pada

penghentian pengobatan pendengaran akan pulih, tetapi bila tulinya berat biasanya

bersifat menetap. Gejala ototoksisitas dapat menjadi lebih berat setelah pemberian

15

Page 16: ISI REFERAT.docx

obat melalui bolus injeksi. Efek ototoksik dapat dikurangi dengan cara pemberian

secara lambat (slow infusion) dan pembagian dosis.2

2.3.2.6 Obat Tetes Telinga

Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida

seperti Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian oleh karena obat tersebut

dapat menembus membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun

membran tersebut pada manusia lebih tebal 3 x dibandingkan pada baboon (semacam

monyet besar) (± > 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus

obat-obatan tersebut.1

Obat tetes telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita infeksi telinga

luar. Beberapa laporan pada literatur menguraikan gejala ototoksisitas muncul setelah

pemberian agen ototopikal pada pasien dengan perforasi membran timpani. Jalur

untuk obat ototopikal melewati telinga tengah ke telinga dalam adalah melewati

tingkap bundar dan menuju perilimfe skala timpani. Membran tingkap bundar terdiri

atas 3 lapisan yang mengandung micropinocytotic vesicles. Vesikel ini memberikan

jalan pada banyak substansi, misalnya elektrolit, peroksidase, dan albumin. Masuknya

substansi tersebut melalui 3 mekanisme yaitu difusi, transpor inter-epitelial, dan

transpor-intraepitelial. Permeabilitas membran tingkap bundar ditemukan secara

eksperimental meningkat 48jam setelah munculnya infeksi telinga tengah. Selama

infeksi kronis (OMSK), membran tingkap bundar menjadi lebih tebal akibat deposisi

dari jaringan ikat dan juga terbentuknya mucosal web. Hal ini menyebabkan

membran menjadi kurang permeabel selama inflamasi kronik berlangsung.12

Ototoksisitas dari penggunaan topikal tetes telinga menampakkan derajat yang

bervariasi dalam derajat toksisitas vestibular dan koklea. Contohnya, pada pasien

dengan kadar plasma aminoglikosida yang tinggi (dalam jangka waktu yang lama),

akan terjadi kerusakan vestibulo-koklea. Namun, pada kadar teraupetikya (kadar

16

Page 17: ISI REFERAT.docx

plasma normal), pada beberapa pasien aminoglikosida dapat menimbulkan

ototoksisitas Hal ini disebabkan aminoglikosida dapat berada di telinga dalam,

terbebas dari ekresi renal atau metabolisme hepar. Preparat topikal telinga yang

memiliki efek protektif terhadap koklea dan vestibular adalah iron chelator, salisilat,

kortikosteroid, leupeptin, dan asam lipoik alfa.12

2.3.3 Gejala

Masing-masing obat ototoksik dapat menimbulkan gejala vestibuler dan

pendengaran. Umumnya efek yang ditimbulkan irreversible, kendatipun bila

dideteksi cukup dini dan pemberian obat dihentikan, sebagian ketulian dapat

dihentikan. Adapun gejala utama ototoksisitas adalah sebagai berikut :

a. Tinitus

Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan

bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz dan 6 Khz. Pada kerusakan yang

menetap tinitus lama-kelamaan tidak begitu kuat, tetapi juga tidak pernah

hilang. Tinitus ini seringkali mendahului serta lebih mengganggu daripada

gangguan pendengaran (tuli) yang dialami.1

Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa

menit setelah penyuntikan intravena. Akan tetapi, pada kasus-kasus yang tidak

begitu berat, dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan

progresif dengan hanya disertai tinitus ringan.1

b. Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli

sensorineural. Biasanya tuli bersifat bilateral, tetapi tidak jarang yang

unilateral. Tuli dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan

atau menetap setelah selesai pengobatan. Akan tetapi, kurang pendengaran

yang reversible dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina. Selain itu,

17

Page 18: ISI REFERAT.docx

tuli akut yang disebabkan oleh loop diuretics dapat pulih dengan

menghentikan pengobatan dengan segera.1

Kurang pendengaran yang disebabkan oleh pemberian antibiotika

biasanya terjadi setelah 3-4 hari, tetapi mungkin akan lebih jelas setelah dosis

pertama. Akan tetapi, tuli ringan juga pernah dilaporkan sebagai akibat

antibiotik aminoglikosida, biasanya menetap atau hanya sebagian yang pulih

kembali.1

Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang

tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram, sedangkan diuretik yang dapat

menimbulkan ototoksisitas biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar

atau sedikit menurun.1

Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas sangat

sering ditemukan, oleh karena pemberian gentamisin dan streptomisin.

Terjadinya secara perlahan-lahan dan beratnya sebanding dengan lama dan

jumlah obat yang diberikan serta keadaan fungsi ginjalnya.1

c. Vertigo

Ototoksisitas juga dapat menimbulkan gejala gangguan keseimbangan

badan dan sulit memfiksasikan pandangan terutama setelah perubahan posisi.

2.3.4 Pemeriksaan Audiologi

Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan

audiologi. Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE)

mendeteksi secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik

dibandingkan dengan kovensional Pure-tone threshold testing.13

1. Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)

Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian basal

dari koklea. HFA merupakan tes hantaran udara ( air-conduction threshold testing )

18

Page 19: ISI REFERAT.docx

untuk frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20 kHz. HFA dapat

mendeteksi gangguan pendengaran akibat aminoglikosida atau cisplatin. Oleh karena

itu HFA saat ini umum digunakan untuk memonitoring kasus-kasus ototoksisitas.7,13

Namun pemeriksaan ini belum tentu cocok diaplikasikan pada semua pasien.

Banyak pasien menderita gangguan pendengaran pada kisaran frekuensi

konvensional, yang mungkin tidak terukur dengan HFA yang sensitif terhadap

gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi.7

2. Otoacoustic emission (OAE)

Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang

dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut

saraf eferen dan mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel rambut

akan menginduksi depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara

memasukkan probe ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat

mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi untuk memberikan stimulus suara.

Mikrofon berfungsi untuk menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah

pemberian stimulus.1

Gambar 6. Probe OAE. 1

Otoacoustic emission dibagi mejadi 2 kelompok, yaitu :1

1. Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)

19

Page 20: ISI REFERAT.docx

2. Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)

Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang timbul dengan

adanya stimulus suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1). Stimulus-frequency Otoacoustic

Emission; 2). Transiently-evoked Otoacoustic Emission (TEOAE); 3). Distortion-

product Otoacoustic Emission (DPOAE).1

Gambar 7. Distortion-product Otoacoustic Emission

(DPOAE).13

20

Page 21: ISI REFERAT.docx

Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik DPOAE efektif untuk

deteksi dini. DPOAE menggunakan stimulus dua nada murni (F1,F2) dengan

frekuensi tertentu.1,13

3. Pure Tone Audiometry (Audiometri nada murni )

Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan

pendengaran akibat obat ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi

tinggi pada audiogram.13

Gambar 8. Audiometri Nada Murni pada pasien dengan terapi

cisplatin.13

21

Page 22: ISI REFERAT.docx

2.3.5 Penatalaksanaan

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada

waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dapat

diketahui secara audiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus

segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat,

jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita

insufisiensi ginjal dan sifat obat itu sendiri.1

Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain

dengan alat bantu dengar (ADB), psikoterapi, auditory training, termasuk cara

menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total

dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapata

dipertimbangkan pemasangan implant koklea (Cochlear implant).1,13

2.3.6 Pencegahan

Oleh karena tidak ada pengobatan tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan

menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk

mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,

memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala

keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinitus, kurang pendengaran, dan

vertigo.1

Dalam menangani pasien yang mendapat obat-obatan yang berpotensi

ototoksik, aturan pertama adalah pasien harus diingatkan mengenai efek samping

yang mungkin. Jika mungkin dilakukan suatu penelitian dasar yang mencakup uji

keseimbangan dan pendengaran sebelum obat diberikan. Pada tanda peringatan yang

pertama, lakukan pengujian ulangan. Pada beberapa kasus, pemantauan kadar obat

akan menunjukkan kadar toksik sebelum timbulnya efek toksik obat.14

22

Page 23: ISI REFERAT.docx

2.3.8 Prognosis

Prognosis sangat bergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya

pengobatan, kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik malah

mungkin buruk.1

23

Page 24: ISI REFERAT.docx

BAB III

KESIMPULAN

Ototoksisitas merupakan efek berbahaya dari obat dan substansi kimia pada

organ pendengaran dan keseimbangan. Penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik

akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang

disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain degenerasi

stria vaskularis, degenerasi sel epitel sensori dan degenerasi sel ganglion.

Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4

negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%). Hasil

Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang

dilaksankan di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan

pendengaran akibat obat ototoksik sebesar 0,3%.

Banyak obat dilaporkan memiliki efek ototoksik. Beberapa obat yang paling

sering digunakan dan bersifat ototoksik antara lain aminoglikosida, eritromisin,

diuretik loop, obat anti inflamasi, obat anti malaria, anti tumor, dan obat tetes telinga.

Masing-masing obat ini memiliki mekanisme tersendiri dalam merusak struktur

pendengaran dan keseimbangan. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau

ireversibel.

Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan

audiologi. Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE)

mendeteksi secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik. Tuli yang

diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Apabila ketulian sudah

terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat bantu dengar,

psikoterapi, auditory training, belajar berkomunikasi total dengan belajar membaca

24

Page 25: ISI REFERAT.docx

bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan

implan koklea.

25