infeksi saluran napas
DESCRIPTION
ispaTRANSCRIPT
xxiii
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi saluran Pernapasan Akut 2.1.1. Pengertian ISPA
Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan
akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran
pernapasan adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksa
seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup
saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ
adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini
dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002).
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala
klinis batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian
bawah/kedalam (Depkes RI, 2002).
Universitas Sumatera Utara
xxiv
2.2. Epidemiologi
2.2.1. Distribusi dan Frekwensi ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia
dari bayi, anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga
penyebab kematian anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar
75% dari semua jumlah kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa
pneumonia menyebabkan 28% kematian anak di dunia (Zairil, 2000).
Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian
besar kasus ISPA terjadi pada kelompok umur 7 – 12 bulan (65,23%) dan sebagian
besar kasus terjadi pada bayi laki-laki (73, 45 %). (Dewi, 1996).
ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian
besar kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih
awam dengan gangguan ini. Penderita cepat meninggal akibat pneumonia berat dan
sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini disebabkan oleh ketidaktahuan
masyarakat tentang gangguan ini (DepKes RI., 2000).
2.2.2. Determinan ISPA
Terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita disamping adanya
bibit penyakit, juga dipengaruhi oleh faktor anak itu sendiri, seperti anak yang belum
mendapat imunisasi campak dan kontak dengan asap dapur, serta kondisi perumahan
yang ditempatinya. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3
bagian yaitu :
Universitas Sumatera Utara
xxv
a. Bibit Penyakit (Agent)
ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih
jenis virus, bakteri, ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus
Streptococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan
Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain, golongan Paramyksovirus
termasuk didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan virus campak, adenovirus,
Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain.
Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang
tersering sebagai penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan
Haemofilus influenza. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak
umumnya disebabkan oleh virus.
b. Pejamu (Host)
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit,
terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti :
1. Umur Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita
dipengaruhi oleh faktor usia anak. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan
anak umur 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI., 1996).
Hasil analisis faktor resiko membuktikan bahwa umur merupakan salah satu
faktor resiko penyebab terjadinya kematian pada balita yang sedang menderita
Universitas Sumatera Utara
xxvi
pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil
resiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia muda (Djaja S,
1999).
Insidens ISPA paling tinggi terdapat pada bayi dibawah satu tahun dan
insidens menurun dengan bertambahnya umur (Kartasamita, 2000).
Hasil penelitian Sukar dkk (1996) didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2
tahun lebih peka 5 kali terkena ISPA dibandingkan dengan umur 5 tahun.
2. Jenis Kelamin Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk
penanggulangan pneumonia pada balita (1996), anak jenis kelamin laki-laki
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak
perempuan (Depkes RI., 1996).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa
proporsi kasus ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki
59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda.
Hasil Survei Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997,
menunjukkan adanya perbedaan prevalensi 2 minggu pada balita dengan batuk dan
napas cepat (yang merupakan ciri khas pneumonia) antara anak laki-laki dengan anak
perempuan, dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4% sedangkan
perempuan 8,5% (Depkes RI., 1997).
Universitas Sumatera Utara
xxvii
3. Status Gizi
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk ISPA
menurut Martin yang dikutip oleh Djaja (1999), membuktikan adanya hubungan
antara gizi buruk dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering
mendapat pneumonia. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa
malnutrisi merupakan faktor resiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita
malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak dengan
berat badan normal.
Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat
mengakibatkan daya tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit
infeksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa
status gizi kurang pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali
lebih besar dibandingkan dengan anak yang bergizi baik. Dalam penelitian ini
proporsi anak yang bergizi kurang lebih banyak pada kasus (41,03%) dari pada
pembanding (25,64%).
3. Berat Badan Lahir Berat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari 2500 gram.
Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan
bagian bawah. Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang
Universitas Sumatera Utara
xxviii
cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat
menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia
defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir
dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur (Sulistyowati (1999).
Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Menurut Thomson (1959) yang diikutip
Pudjiadi (2000) membuktikan bahwa berat badan lahir bayi naik dan insiden BBLR
menurun bila kandungan energi diet ibu bertambah.
Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko morbiditas maupun mortalitas
bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur
lebih besar (Pudjiadi, 2000).
Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari
pada bayi dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama tahun pertama
kehidupannya. ISPA adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi
yang baru lahir dengan berat rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang beratnya
diatas 2500 gram (Tuminah, S., 1999).
4. Status ASI dan Makanan Tambahan
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi tanpa tambahan cairan
lain (seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih), dan tanpa makanan
tambahan (seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim).
Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan.
Universitas Sumatera Utara
xxix
Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan pendamping secara
bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari
buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat.
Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan
sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang tidak memungkinkan untuk
menyusukan, jika memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun (Roesli, 2001).
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun terakhir ini
menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi
bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan
menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan
(imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat
penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang
berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran
pernapasan berat. Angka kematian kasus secara berarti lebih tinggi pada anak yang
telah disapih daripada anak yang masih diberi ASI (Tuminah, S., 1999).
Menurut Roesli (2001) yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie
(1990) bahwa kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 – 6 kali lebih banyak
pada bayi yang diberi susu formula daripada bayi yang mendapat ASI.
Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA
5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak
menderita ISPA.
Universitas Sumatera Utara
xxx
Bila ASI cukup bayi tidak perlu diberikan makanan tambahan dengan
makanan lain sampai usia 4 bulan atau bahkan 6 bulan. Namun bila ternyata bayi
menangis karena lapar, dapat diberikan makan tambahan sejak kira-kira umur 2
bulan. Sejak 2 bulan dapat diberikan buah-buahan (pisang) atau biskuit, sedangkan
pemberian makanan lumat sampai lembek (bubur susu) pada usia 3-4 bulan sesuai
keperluan bayi masing-masing. Bayi akan lapar dan menangis terus bila ASI kurang
memuaskan. Untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu ditimbang secara berkala.
Pada bulan ke empat biasanya mulai pemberian makanan padat bayi yang pertama,
yaitu makanan lumat misalnya; bubur susu yang dapat dibuat dari tepung, susu dan
gula (Roesli, 2001).
5. Status Imunisasi Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap
anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1
tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B. (Roesli, 2001).
Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai
penyakit. Anak yang belum pernah diimunisasi campak lebih berisiko terhadap
terjadinya kematian karena pneumonia, terutama pada balita yang sedang menderita
pneumonia (Djaja, S., 1999)
Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan insidens ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat
menentukan dalam tingginya angka insidens ISPA (Depkes RI., 1996).
Universitas Sumatera Utara
xxxi
Menurut The World Health Report 2005, angka kematian balita di Indonesia
sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup, penyebab utama kematian pada anak balita
adalah penyakit infeksi saluran napasan akut, diare, penyakit yang ditularkan
binatang dan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi .
UNICEF menyebutkan bahwa 27 juta anak balita dan 40 juta ibu hamil di
seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibat penyakit
yang dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta
kematian tiap tahun, termasuk 1,4 juta anak balita yang meninggal karena tidak
divaksin. Di Indonesia 2.400 anak meninggal setiap hari termasuk yang meninggal
karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin. Misalnya
tuberculosis, pertusis, difteri dan tetanus (Francais, 2007).
Penelitian yang dilakukan Dewi dkk (1996), diketahui bahwa ketidakpatuhan
imunisasi (imunisasi tidak lengkap) mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak
balita. Jumlah anak pada penelitian ini yang imunisasi tidak lengkap pada kasus
10,25% dan kontrol 5,13%.
6. Vitamin A Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai
macam infeksi, namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi
tidak begitu jelas (Pudjiadi, 2000).
Vitamin A mulai menarik perhatian para ilmuwan setelah beberapa laporan
penelitian oleh Somar dkk mengenai pentingnya vitamin A. Sejak itu beberapa
Universitas Sumatera Utara
xxxii
penelitian dilakukan untuk mengetahui efek suplementasi vitamin A terhadap
morbiditas, mortalitas dan lamanya ISPA, akan tetapi hasilnya masih saling
bertentangan (Zairil, 2000).
Sampai saat ini satu hal mengenai suplementasi vitamin A yang diterima
secara luas yang juga direkomendasikan oleh WHO adalah untuk memberikan
vitamin A pada penderita campak, didaerah dimana angka kematian akibat penyakit
campak (CFR) lebih dari 1%.
Hasil penelitian prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan tidak adanya
perbedaan bermakna pada insiden dan derajat ISPA diantara anak yang mendapat
vitamin A, juga tidak didapatkan perbedaan ISPA sebelum dan setelah pemberian
vitamin A, hanya didapatkan lama ISPA agak lebih panjang pada anak yang tidak
mendapat vitamin A (Kartasasmita, 2000).
c. Lingkungan (environment) Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan
terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses
terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik,
biologis dan sosial.
Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara
langsung maupun tidak terhadap lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan
sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara, kelembaban,
air, dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA, adalah tergolong air borne
Universitas Sumatera Utara
xxxiii
diasease karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke
dalam tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemiologi
mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan.
Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam
ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian
atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis,
bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993).
Secara garis besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap
dalam ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang /
minyak tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh
ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya.
1. Asap Dalam Ruangan Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas
penghuninya, antara lain ; penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak maupun
memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan minyak
tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan insektisida semprot maupun
bakar. Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan bahan bangunan
sintetis berupa cat dan asbes (Anwar, A., 1992).
Penggunaan bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang
dan minyak tanah muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya infeksi saluran
pernapasan. Saat ini sebagian masyarakat pedesaan masih menggunakan bahan bakar
Universitas Sumatera Utara
xxxiv
biomasa untuk memasak (Charles dkk, 1996). Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu
yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap sambil memasak akan
mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan ibu
yang tidak membawa bayi/anak balitanya didapur (Sukar dkk., 1997).
Rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun
sumber penerangan memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali lebih besar
dibandingkan dengan bahan bakar gas (Soesanto, dkk, 2000). Keadaan dapur yang
penuh dan lembab juga merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pernapasan.
(Charles, dkk.,1996)
Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan bakar kimia. Satu batang
rokok dibakar akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, karbon
monoksida, nitrogen oksida, hiydrogen cyanida, amoniak, acrolein, artcresor, peryline
dan lain-lain. Secara umum bahan ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu
komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat atau
partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Bila rokok dibakar maka asapnya akan
berterbangan disekitar perokok. Asap yang berterbangan itu mengandung bahan yang
berbahaya dan bila dihisap oleh orang yang berada disekitar si perokok, maka orang
itu juga akan menghisap bahan kimia berbahaya didalam dirinya walau ia sendiri
tidak merokok. Anak balita misalnya akan lebih berbahaya dibanding orang dewasa
karena daya tahan tubuhnya masih rendah (Aditama, T.Y., 1996).
Menurut Riyadina (1995), bahwa pada anak-anak paparan asap rokok
(sidestream smoke) dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama mempererat
Universitas Sumatera Utara
xxxv
timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan fungsi paru-paru pada waktu
dewasanya nanti.
Paparan asap rokok memperberat timbulnya ISPA, karena dari 1 batang rokok
yang dinyalakan akan menghasilkan asap sampingan selama sekitar 10 menit,
sementara asap utamanya hanya akan dikeluarkan pada waktu rokok itu dihisap dan
biasanya hanya kurang dari 1 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu
ke udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena kadar bahan
berbahayanya lebih tinggi dari pada asap utamanya, maka perokok pasif tetap
menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok orang sekitarnya (Aditama, T. Y.,
1996). Di negara maju, anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah
didapatkan memiliki suatu peningkatan resiko bronkitis dan pnemonia jika
dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak merokok (Tuminah, 1999).
2. Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah
menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap
terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar
CO2 menjadi racun Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam
kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007).
Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, dengan
kelembaban sekitar 60% optimum. Untuk memperoleh kenyaman udara seperti
Universitas Sumatera Utara
xxxvi
dimaksud diatas diperlukan adanya ventilasi yang baik. Luas lubang ventilasi
insidentil (dapat buka tutup) minimum 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya
adalah 10% dari luas lantai ruangan (Sanropie, D., 1989).
Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat
diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan
masalah ventilasi. Sebuah penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran
pernapasan dengan kondisi ventilasi. Sebab itu kondisi ventilasi dapat dijadikan
indikator rumah sehat (Achmadi, U.F., 1991).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (1996) diketahui bahwa rumah
yang berventilasi buruk lebih banyak anggota keluarganya yang menderita ISPA
dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan.
3. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.
Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal
jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur,
ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.
Hasil dari beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara
kesehatan lingkungan dalam rumah dengan kejadian kesakitan. Studi terhadap
kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan
kepadatan penghuni per meter persegi, sehingga adanya efek sinergi yang diciptakan
dimana sumber pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan, bersamaan
Universitas Sumatera Utara
xxxvii
dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan penghuni pada
setiap keluarga. Dengan demikian kuman yang umumnya sebagai penyebab penyakit
menular saluran pernapasan terdapat makin banyak, bila jumlah penghuni semakin
banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah penghuni yang padat
serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit
melalui droplet kontak langsung (Poerno, K., 1983).
Demikian halnya dengan Achmadi (1991) yang melaporkan bahwa anak yang
tinggal dirumah yang padat (<10 m2 / orang) akan mendapat resiko ISPA sebesar 1,75
kali dibandingkan anak yang tinggal dirumah yang tidak padat.
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya.
Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
perjubelan (overcrowded). Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 2,5 – 3 m2 untuk setiap anggota keluarga (Notoatmodjo, 2007).
Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Tehnik
Universita Indonesia (FT UI) menggunakan luas rumah per penghuni, yang
dibedakan dalam 5 kategori yaitu ≤ 3,9 m2 / orang, 4-5 m 2 / orang, 5-6,9 m2/ orang,
7-8 m2/ orang, dan ≥ 9 m2/ orang (FT UI., 1983).
4. Status Ekonomi dan Kependidikan Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan, serta upaya pencegahan penyakit. Pada
Universitas Sumatera Utara
xxxviii
kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya status
ekonominya rendah pula. Mereka sulit untuk menyerap informasi mengenai
kesehatan dalam hal penularan dan cara pencegahannya. Pendidikan yang rendah
menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk memilih makanan yang bergizi dan
pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Soewasti, dkk., 1997).
Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang
meningkatkan kematian ISPA terutama pnemonia. Kekurangpahaman orang tua
terhadap pnemonia juga menyebabkan keterlambatan mereka mambawa anak mereka
yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka beranggapan bahwa bayi/anak balita
mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang sebenarnya merupakan tanda awal
pnemonia. Orang tua hanya memberikan obat batuk tradisional yang tidak
memecahkan masalah (Tuminah, S., 1999).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Djaya (1999), ibu dengan pendidikan
lebih tinggi akan lebih banyak membawakan anak berobat ke fasilitas kesehatan,
sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri maupun
berobat ke dukun ketika anaknya sakit.
2.3 Arah dan Kebijakan P2 ISPA Pelaksanaan pemberantasan penyakit ISPA ditujukan pada kelompok usia
balita, yaitu bayi ( 0 - <1 tahun ) dan anak balita ( 1- <5 tahun ) dengan fokus
penanggulangan pada penyakit pnemonia (Depkes RI,2002).
Universitas Sumatera Utara
xxxix
2.3.1. Kebijakan
Untuk mencapai tujuan program pemberatasan penyakit ISPA balita maka
dirumuskan kebijakan sebagai berikut :
a. Melaksanakan promosi penanggulangan pnemonia balita sehingga masyarakat,
mitra kerja terkait dan pengambil keputusan mendukung pelaksanaan
penanggulangan pnemonia balita.
b. Melaksanakan penemuan penderita melalui saran kesehatan dasar (pelayanan
kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Sarana Rawat Jalan
Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan Posyandu dan Kader Posyandu.
c. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi dini,
pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi dan rujukan ke sarana
kesehatan yang lebih memadai.
d. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pnemonia balita serta faktor
resikonya termasuk faktor resiko lingkungan dan kependudukan.
2.3.2. Strategi Rumusan umum strategi pemberantasan penyakit ISPA adalah sebagai
berikut:
a. Promosi penanggulangan pnemonia balita melalui advokasi, bina suasana dan
gerakan masyarakat.
b. Penurunan angka kesakitan dilakukan dengan upaya pencegahan atau
penanggulangan faktor resiko melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor,
seperti melalui kerjasama dengan program imunisasi, program bina kesehatan
Universitas Sumatera Utara
xl
balita, program bina gizi masarakat dan program penyehatan lingkungan
pemukiman.
c. Peningkatan penemuan melalui upaya peningkatan prilaku masyarakat dalam
pencaharian pengobatan yang tepat.
d. Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan Manejemen Terpadu Balita
sakit (MTBS) dan audit kasus untuk peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA.
e. Peningkatan sistem surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans rutin, autopsi
verbal dan pengembangan informasi kesehatan serta audit manejemen program.
2.4 Kegiatan Pokok P2 ISPA Dalam mencapai sasaran dan tujuan pemberantasan penyakit ISPA, maka
Strategi Pemberantasan Penyakit ISPA dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu
promosi penanggulangan pnemonia balita, kemitraan, peningkatan penemuan kasus,
peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA, peningkatan kualitas sumber daya,
surveilans ISPA, pemantauan dan evaluasi dan pengembangan program ISPA.
Dalam pelaksanaannya kegiatan P2ISPA mengacu kepada pendekatan
Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular Berbasis Wilayah atau dengan kata lain
diarahkan menanggulangi secara komprehensif faktor-faktor yang berhubungan
dengan ksakitan dan kematian balita termasuk faktor resiko lingkungan, faktor resiko
kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan secara terpadu dengan mitra
kerja terkait yang didukung oleh surveilans yang baik serta tercemin dalam
perencanaan dan penganggaran kesehatan secara terpadu (P2KT).
Universitas Sumatera Utara
xli
Secara rinci kegiatan pokok ISPA dijabarkan sebgai berikut:
2.4.1. Promosi Penanggulangan Pnemonia Balita
Promisi pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan
advokasi, bina suasana dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari
kegiatan promosi balita secara umum adalah meningkatnya pengetahuan, sikap dan
tindakan masyarakat dalam upaya dalam penanggulangan pnemonia balita. Sasaran
promosi dalam P2 ISPA mencakup sasaran primer (ibu balita dan keluarganya),
sasaran sekunder (petugas kesehatan dan petugas lintas program serta lintas sektor),
dan sasaran tersier (pengambil keputusan). Pesan pokok, metode dan media yang
digunakan sesuai dengan sasaran.
2.4.2. Kemitraan Merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program.
Pembangunan kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan untuk meningkatkan
peran serta masyarakat, peran serta lintas program dan lintas sektor terkait serta peran
pengambil keputusan termasuk penyandang dana. Dengan demikian pembangunan
kemitraan diharapkan pendekatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit
ISPA khususnya pnemonia dapat terlaksana secara terpadu dan kompherensif.
Dengan kata lain intervensi pemberantasan penyakit ISPA tidak hanya tertuju
pada penderita saja, tetapi juga terhadap faktor resiko (lingkungan dan
kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor
lain yang berkompeten.
Universitas Sumatera Utara
xlii
2.4.3. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus
Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya
penurunan kematian pnemonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya
penemuan dan tatalaksana penderita ini.
Dalam kebijakan dan strategi Program P2 ISPA maka penemuan dan
tatalaksana penderita ini dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga,
kader dan posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan swasta (praktek dokter,
poliklinik swasta, RS swasta). Dengan demikian yang melaksanakan kegiatan secara
langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana kesehatan tersebut dan kader
posyandu di masyarakat. Adapun prosedur penemuan dan tatalaksana penderita ISPA
di masing-masing sarana/tingkatan mengacu pada tatalaksana standar yang
ditetapkan.
Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) disarana kesehatan dasar. Disamping itu
perlu dilakukan audit kasus dalam upaya peningkatan kualitas tatalaksana kasus yang
dilaksanakan dengan koordinasi tingkat kabupaten/kota.
2.4.4. Peningkatan Kualitas Sumber Daya a. Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA meliputi kader,
petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA di sarana pelayanan kesehatan
(Polindes, Pustu, Puskesmas, RS, Poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas,
Universitas Sumatera Utara
xliii
kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA
dilakukan di berbagai jenjang melalui kegiatan pelatihan, setiap pelatihan yang
dilakukan perlu ditindaklanjuti dengan supervisi dan monitoring serta pembinaan di
lapangan. Selanjutnya pelaksanaan pelatihan secara terpadu dengan program lain
perlu dikembangkan, terutama pelatihan menyangkut aspek manajemen atau
pengelola program P2 ISPA dilakukan pula melalui kegiatan magang, asistensi
tatalaksana oleh dokter ahli, studi banding, seminar dan workshop sesuai dengan
kebutuhan.
b. Logistik Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan program
P2 ISPA. Aspek logistik Pemberantasan Penyakit ISPA mencakup peralatan, bahan
dan sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini
logistik kegiatan distandarisasi, dari logistik untuk kegiatan penemuan dan
tatalaksana penderita dan logistik untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran
informasi. Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita mencakup obat dan
alat bantu hitung pernapasan (soundtimer). Untuk kegiatan komunikasi dan
penyebaran informasi, logistik yang telah disediakan program meliputi media cetak
dan elektronik.
2.4.5. Surveilans ISPA Untuk melaksanakan kegiatan pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan penyakit termasuk ISPA secara efektif dan efisien, diperlukan data
Universitas Sumatera Utara
xliv
dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat. Upaya dalam
mendapatkan data atau informasi tersebut diatas dilakukan melalui kegiatan
surveilans epidemiologi ISPA yang aktif dengan diferivikasi oleh survey atau
penelitian yang sesuai.
Surveilans epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan
informasi yang dapat digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan program pemberantasan ISPA secara efektif dan efisien serta
mampu mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang bakal muncul. Data dan
informasi dimaksud meliputi data dan informasi kesakitan dan kematian pnemonia,
sumber penularan, faktor resiko yang berhubungan dengan pnemonia (faktor resiko
lingkungan dan kependudukan) dan data yang berhubungan dengan kinerja program.
Untuk itu mulai tahun 2002 dikembangkan kegiatan autopsi verbal kematian balita
akibat pnemonia dan audit kasus pnemonia.
Dalam pelaksanaanya di lapangan, kegiatan surveilans dapat disesuaikan
dengan situasi dan kebutuhan setempat, baik mekanisme kerja maupun bentuk
instrumennya. Namun demikian secara umum pelaksanaan surveilans Program P2
ISPA mengikuti langkah-langkah surveilans epidemiologi pada umumnya,
sebagaimana diuraikan berikut:
a. Tujuan Surveilans ISPA Menyediakan informasi tentang situasi dan besarnya masalah penyakit ISPA
khususnya kejadian pnemonia balita dan kematian balita akibat pnemonia di
Universitas Sumatera Utara
xlv
masyarakat beserta faktor resikonya dan informasi lain yang diperlukan bagi upaya
pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA secara efektif sehingga angka
kesakitan dan kematian balita akibat pnemonia dapat diturunkan sesuai tujuan
pemberantasan penyakit ISPA.
b. Kegiatan 1. Pengumpulan data
Data penyakit ISPA termasuk pnemonia balita dikumpulkan di sarana kesehatan
tingkat pertama (rawat jalan rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Posyandu, serta
pelayanan kesehatan swasta) dengan menggunakan formulir, kartu atau buku
khusus. Selanjutnya kasus pnemonia dari sarana tersebut dilaporkan ke
puskesmas yang menangani wilayah kerja dari sarana kesehatan yang
bersangkutan, secara aktif (melaporkan sendiri) maupun pasif (puskesmas
menjemput laporan dari sarana kesehatan di wilayah kerjanya) dengan
menggunakan instrumen standar yang dibuat oleh puskesmas. Puskesmas
selanjutnya meneruskan laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Untuk
laporan kasus pnemonia dari rumah sakit, laporan langsung ke Dinas Kesehatan
(Subdin P2M).
2. Pengolahan dan Analisa Data Data yang telah terkumpul, baik dari institusi sendiri maupun dari luar
selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisa. Pengolahan dan analisa data
dilaksanakan baik oleh puskesmas, Kabupaten/kota maupun Propinsi.
Universitas Sumatera Utara
xlvi
3. Penyajian Data Umpan Balik
Sebagai bahan atau dasar bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan atau perbaikan
pelaksanaan kegiatan, hasil kerja survailans ISPA perlu disajikan dan
disebarluaskan atau diumpanbalikan kepada pihak-pihak yang memerlukannya
secara teratur, baik kalangan internal maupun eksternal.
4. Peningkatan Jaringan Informasi
Jaringan informasi antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan pusat sangat diperlukan
untuk membangun sistem informasi kesehatan yang handal sehingga mampu
meningkatkan koordinasi dan keterpaduan pelaksanaannya pemberantasan
penyakit ISPA antar berbagai jenjang dari mulai perencanaan sampai dengan
evaluasi program.
2.4.6. Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan
(monitoring) dan penilaian (evaluasi).
a. Pemantauan
Pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk
memantau secara teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat
diketahui apakah kegiatan program dilaksanakan sesuai dengan yang telah
direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program.
Pelaksanaan pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA dapat memanfaatkan
kegiatan supervisi dan bimbingan tehnis, Pencatatan Pelaporan
Universitas Sumatera Utara
xlvii
Pemberantasan Penyakit ISPA, dan Pemantauan program P2M&PL di
Kabupaten/kota.
b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah
memenuhi target yang diharapkan, mengidentifikasi masalah dan hambatan
yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan selanjutnya
termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi dilaksanakan di
berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi
maupun Kabupaten/Kota.
2.4.7. Peningkatan Manajemen Program
Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian terus
ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan,dan administrsi. Aspek
manajemen tersebut diatas merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang
mengelola Pemberantasan Penyakit ISPA baik di tingkat pusat, provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Kegiatan ini juga dilaksanakan di berbagai tingkat administrasi
kesehatan.
Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan dilakukan melalui
penerapan perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT) dalam
perencanaan kegiatan program P2 ISPA. Penerapan P2KT dalam pelaksanaan
program P2ISPA akan efektif bila didukung kinerja surveilans yang mampu
memberikan informasi yang lengkap dan akurat sehingga menghasilkan perencanaan
program P2 ISPA berdasarkan fakta (evidence based palanning).
Universitas Sumatera Utara
xlviii
Dalam meningkatkan manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi
sumber biaya masyarakat, swasta, organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga
donor, mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk program
cukup terbatas. Pembiayaan dipusat terutama bersumber pada APBN dengan sumber
dana tambahan dari sumber dana lain seperti dana kerjasama Pemerintah RI dengan
organisasi internasional, dana bantuan pinjaman luar negeri.
Di provinsi pembiayaan terutama bersumber dari APBN dan Dana Alokasi
Umum (DAU) provinsi disamping sumber dana lain. Begitu pula di tingkat
Kabupaten/Kota sebagian besar masih bertumpu pada APBN disamping DAU
Kabupaten/Kota, sedangkan potensi sumber dana dari masyarakat atau swasta belum
teralokasi dengan baik. Untuk itu dalam mewujudkan pembiayaan program P2ISPA
yang memadai di berbagai jenjang administrasi kesehatan, perlu diupayakan secara
terus-menerus penggalian potensi sumber biaya non pemerintah.
2.4.8. Pengembangan Program
Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA khususnya
pnemonia, perlu dilakukan pengembangan program sesuai dengan tuntutan
perkembangan di masyarakat. Pengembangan program P2 ISPA dilakukan
diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba konsep-konsep intervensi baru
seperti pendekatan tatalaksana penderita ISPA, pencegahan dan penanggulangan
faktor resiko baik dilingkungan maupun kependudukan, peningkatan kemitraan,
Universitas Sumatera Utara
xlix
peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya
seperti pertemuan kajian program, seminar, workshop dan sebagainya.
2.5 Landasan Teori
Menurut John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh
adanya pengaruh faktor pejamu (host) dan lingkungan (Environment) yang
digambarkan dengan model tuas (gambar 2.1.). Agent suatu penyakit meliputi agent
biologis dan non-biologis, misalnya agent fisik, kimia. Faktor host adalah faktor-
faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap faktor agent.
Sedangkan faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinsik yang dapat
mempengaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.
Host Agent
Environment Gambar 2.1. Neraca keseimbangan model terjadinya gangguan kesehatan atau
penyakit termasuk didalamnya “kejadian ISPA”.
Berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia dan
berbagai publikasi ilmiah dilaporkan berbagai faktor resiko yang meningkatkan
kejadian (morbiditas) ISPA yang akan dijelaskan berikut, yaitu:
a. Host (pejamu)
Manusia yang keberadaannya dipengaruhi oleh ; umur, jenis kelamin, status
ASI, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A dan
pemberian makanan tambahan.
Universitas Sumatera Utara
l
b. Agent (Infectious agent)
Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus, dan parasit
(infection agent)
c. Environment (lingkungan)
Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host yang
terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan
sebagai faktor lingkungan meliputi ; Bakteri, virus dan parasit (infectious agent),
polusi udara (asap rokok dan dapur) dan kepadatan tempat tinggal.
Konsep di atas adalah suatu konsep yang dinamis, setiap perubahan dari
ketiga lingkungan tersebut akan menyebabkan bertambah atau berkurangnya kejadian
suatu penyakit. Untuk itu guna menurunkan kesakitan/kejadian ISPA. Maka
dirumuskan suatu upaya pemberantasan penyakit dengan pendekatan terhadap faktor
resiko yang berhubungan melalui kerjasama dengan program imunisasi, program bina
kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan program penyehatan lingkungan
pemukiman (Depkes RI., 2002).
Universitas Sumatera Utara
li
2.6 Kerangka Konsep Penelitian
Determinan
Gambar.2.2. Kerangka konsep penelitian
Kerangka konsep penelitian pada gambar 2.2 terlihat bahwa ISPA pada anak
balita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam yaitu status gizi,
status ASI dan berat badan lahir sedangkan faktor dari luar yaitu asap rokok, asap
dapur, kepadatan hunian, status imunisasi, vitamin A dan makanan tambahan dini.
Faktor internal : - Status Gizi - Status ASI - BBL
Faktor External: - Asap Rokok - Asap Dapur - Kepadatan hunian - Status imunisasi - Vitamin A - Pemberian makanan
tambahan
Kasus Ispa
Bukan Ispa
Universitas Sumatera Utara