iklh 9 das prioritas jawap3ejawa.menlhk.go.id/get2.php?file=28597iklh9...dokumen laporan 2013 pusat...
TRANSCRIPT
Dokumen Laporan2013
PUSAT PENGELOLAAN EKOREGION JAWAKEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP2013
http://tripholiday.net/bengawan-solo-river.html
IKLH 9 DAS PRIORITAS JAWA
Daftar Isi
I. Pendahuluan ………………………………………. I-1
1. Latar Belakang ………………………………. I-1
2. Tujuan ………………………………………. I-4
3. Ruang Lingkup ………………………………. I-4
II. Indikator dan Paramter IKLH berbasis DAS …… . II-1
1. Aspek Sumberdaya Air ………………………. II-1
a. Kualitas Air Sungai ………………………. II-1
b. Kekritisan Air ………………………. II-4
2. Aspek Udara ………………………………. II-8
a. Kualitas Udara Ambien ………………. II-8
b. Pengatur Kualitas Udara ………………. II-10
3. Aspek Vegetasi-Lahan ………………………. II-12
a. Kualitas Tutupan Vegetasi ………………. II-12
b. Kekritisan Lahan ………………………. II-23
4. Aspek Keamanan Kehati ………………………. II-25
III. Profil 9 DAS
1. DAS Bengawan Solo ………………………. III - 1
2. DAS Brantas ………………………………. III - 11
3. DAS Ciliwung ………………………………. III - 20
4. DAS Cisadane ………………………………. III - 26
5. DAS Cimanuk ………………………………. III - 32
6. DAS Citanduy ………………………………. III - 40
7. DAS Citarum ………………………………. III - 50
8. DAS Progo ………………………………. III - 60
9. DAS Serayu ………………………………. III - 67
IV. Hasil Analisis dan Pembahasan ………… IV-1
1. Aspek Sumberdaya Air ……………………... IV-1
2. Aspek Udara ……………………………... IV-3
3. Aspek Vegetasi-Lahan ……………………... IV-5
4. Aspek Keamanan Kehati ……………………... IV-7
5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 9 DAS…..... IV-9
6. IKLH dan Kependudukan ….. ……………… IV-10
V. Kesimpulan dan Rekomendasi ……………… V-1
1. Kesimpulan ……………………………… V-1
2. Rekomendasi ……………………………… V-3
I - 1
BAB I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan (PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS,
Pasal 1). Bagi keperluan Pengelolaan Lingkungan, DAS dapat
dijadikan sebagai satuan pengelolaan, dengan demikian DAS dapat
diukur secara mandiri kualitas lingkungannya. Selama ini untuk
mengukur kualitas lingkungan umumnya dilakukan secara parsial
berdasarkan media, yaitu air, udara, dan lahan sehingga sulit untuk
menilai apakah kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah bertambah
baik atau sebaliknya. Salah satu cara untuk mereduksi banyaknya data
dan informasi tersebut adalah dengan menggunakan indeks.
Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2007 telah
mengembangkan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) untuk 30 ibukota
provinsi. Selain itu pada tahun 2009 Kementerian Lingkungan Hidup
(KLH) bekerja sama dengan Dannish International Development
Agency (DANIDA) juga mulai mengembangkan indeks lingkungan
berbasis provinsi yang pada dasarnya merupakan modifikasi dari EPI.
I - 2
Hingga saat ini Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) telah
digunakan KLH untuk mengetahui kualitas lingkungan hidup pada tiap-
tiap wilayah dengan basis administrasi dari tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. IKLH yang dikembangkan KLH menggunakan tiga
komponen sebagai penentu nilai, yaitu kualitas udara, kaulitas air, dan
tutupan hutan.
Mengacu kepada konsep yang digunakan oleh KLH, untuk
kepentingan pelaksanaan koordinasi perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di Ekoregion Jawa, Pusat Pengelolaan Ekoregion
Jawa (PPE Jawa) melakukan pengukuran Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup (IKLH) berbasis Daerah Aliran Sungai. Ada beberapa
pertimbangan yang menjadi latar belakang mengapa dilakukan kajian
IKLH berbasis DAS ini;
Pertimbangan pertama adalah IKLH berbasis administrasi
mengandung kelemahan jika dibandingkan antara satu dengan yang
lain. Pada umumnya kabupaten/kota yang berada di kawasan hulu
cenderung memiliki nilai IKLH yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan wilayah hilir. Wilayah yang telah mengantongi nilai IKLH
tinggi akan bertindak seolah acuh tak acuh terhadap tetangganya yang
sedang kerepotan membenahi nilai IKLH yang rendah. Padahal
rendahnya nilai IKLH kabupaten/kota wilayah hilir bisa jadi sebagai
akibat dari aktivitas pembangunan di wilayah hulu. Oleh karena itu
pendekatan IKLH berbasis DAS akan lebih konfrehensif, dapat menjadi
perekat kerjasama antara hulu dan hilir, dengan berpegang pada satu
dasar niali IKLH yang sama.
I - 3
Pertimbangan berikutnya adalah, bahwa IKLH berbasis
administrasi yang digunakan oleh KLH masih menggunakan aspek atau
komponen yang sedikit, hanya tiga komponen. Jumlah komponen yang
sedikit akan mengakibatkan bias yang besar. Oleh karena itu IKLH
berbasis DAS yang dikembangkan oleh PPE Jawa ini menggunakan
jumlah komponen yang lebih banyak, 7 (tujuh) komponen yaitu;
- Untuk pengukuran indeks kualitas pada aspek sumberdaya air, tidak
hanya kualitas air sungai yang dikaji, juga ditambahkan komponen
kekritisan air. Kekritisan air ini menyangkut besarnya perbandingan
antara ketersediaan dan kebutuhan akan sumberdaya air.
- Pada pengukuran indeks kualitas pada aspek udara, selain kualitas
udara ambien juga dihitung faktor pengatur kualitas udara yaitu
perbandingan tutupan vegetasi dan jumlah penduduk.
- Komponen yang berikutnya, dan ini sangat berbeda adalah
penggunaan komponen tutupan vegetasi untuk pengukuran indeks
kualitas vegetasi atau lahan, bukan menggunakan tutupan hutan
saja. Selain dari itu juga ditambahkan komponen lainnya yaitu
lahan kritis (kekritisan lahan).
- Komponen yang terakhir yang menjadi faktor penentu IKLH
berbasis DAS adalah keanekaragaman hayati. Dalam hal ini
penekanan pada aspek keamanan ekosistem yang menjadi tempat
mengamankan keanekaragaman hayati, flora dan fauna.
Pertimbangan terakhir adalah perlunya indikator atau pengukur
kinerja dalam pengelolaan lingkungan hidup. Setiap Instansi
I - 4
Pemerintah (Pusat dan Daerah) atau Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) mempunyai program dan kegiatan sendiri-sendiri yang secara
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas
lingkungan suatu DAS. Untuk melihat sejauh mana dampak yang
terjadi atau pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya Program dan
Kegiatan tersebut terhadap lingkungan secara menyeluruh, diperlukan
sebuah pengukur. Indeks kualitas lingkungan dapat dimanfaatkan untuk
mengukur keberhasilan program-program atau kegiatan pembangunan
dan/atau pengelolaan lingkungan tersebut. Selain sebagai sarana untuk
mengevaluasi efektifitas program-program pengelolaan lingkungan,
IKLH juga mempunyai peranan dalam hal membantu perumusan
kebijakan, membantu dalam mendisain program-program lingkungan,
serta mempermudah komunikasi dengan publik sehubungan dengan
kondisi lingkungan.
2. Tujuan
Memberikan informasi kepada para pengambil keputusan di
tingkat pusat dan daerah tentang kondisi lingkungan di suatu wilayah
tertentu -dalam hal ini DAS- dengan menampilkan nilai Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup (IKLH), khususnya pada 9 (Sembilan) DAS
prioritas yang ada di Pulau Jawa.
3. Ruang Lingkup
IKLH berbasis DAS yang dikerjakan oleh PPE Jawa dasar
teorinya menggunakan IKLH yang digunakan oleh KLH dengan sedikit
modifikasi. Modifikasi yang dimaksud meliputi indikator tutupan
I - 5
vegetasi, kualitas udara dan kualitas air serta penambahan komponen
keanekaragaman hayati. Selain dari itu juga modifikasi dalam jumlah
komponen yang diukur.
Mengingat bahwa yang diukur adalah DAS maka pokok bahasan
sumberdaya air menjadi fokusnya. Oleh karena itu tutupan vegetasi
yang dimaksud adalah tutupan lahan oleh vegetasi dalam
penggunaanya sebagai lahan hutan (hutan primer dan hutan sekunder),
kebun campuran dan perkebunan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa
hutan, kebun campuran dan perkebunan mempunyai fungsi optimal
sebagai penyerap dan penyimpan air.
Sebagai pembanding atau target untuk setiap indikator adalah
standar atau ketentuan yang berlaku berdasarkan peraturan
perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti ketentuan
tentang baku mutu air dan baku mutu udara ambien. Sealin dari itu juga
digunakan literatur yang didapat dari hasil-hasil penelitian ilmiah.
Berdasarkan ketersediaan data untuk setiap indikator
sebagaimana tersebut di atas, maka indeks yang dihasilkan adalah
untuk 9 DAS prioritas yang ada di pulau Jawa yaitu; DAS Brantas,
DAS Bengawan Solo, DAS Progo, DAS Serayu, DAS Citanduy, DAS
Cimanuk, DAS Citarum, DAS Ciliwung dan DAS Cisadane. Data
utama yang dihimpun untuk melakukan kajian ini adalah Data sekunder
tahun 2011 s.d. 2012, dan paling rendah data tahun 2010. Hasil-hasil
kajian ini ditetapkan sebagai baseline kajian untuk Tahun 2012. Jadi
IKLH 9 DAS Prioritas Jawa yang dikeluarkan dari hasil kajian ini
adalah IKLH Tahun 2012.
II - 1
BAB II
Indikator dan Paramter IKLH berbasis DAS
1. Aspek Sumberdaya Air
Pada aspek sumberdaya air, ada dua indikator yang
digunakan untuk mengukur indeks kualitas lingkungannya, yaitu;
kualitas air sungai dan neraca air (water balance). Kualitas air
yang diukur hanya pada air sungai utama saja dengan sebaran
lokasi yang proporsional dari hulu hingga hilir, sedangkan air tanah
untuk saat ini belum dilakukan pengukuran. Neraca air dapat
diartikan pula sebagai evaluasi ketersediaan air, yang
mempertimbangkan antara air yang tersedia (suplay) dan
kebutuhan/permintaan (demand).
a. Kualitas Air Sungai
Air, terutama air sungai mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Air
sungai menjadi sumber air baku untuk berbagai kebutuhan lainnya,
seperti industri, pertanian dan pembangkit tenaga listrik. Di lain
pihak sungai juga dijadikan tempat pembuangan berbagai macam
limbah sehingga tercemar dan kualitasnya semakin menurun.
Karena peranannya tersebut, maka sangat layak jika kualitas
air sungai dijadikan indikator kualitas lingkungan hidup. Selain
kualitasnya, sebenarnya ketersediaan air sungai juga perlu
II - 2
dijadikan indikator. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan
mengukur daya dukung air (ketersediaan air).
Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai
dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status
Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara lain
mengenai penentuan status mutu air dengan metoda indeks
pencemaran (Pollution Index – PI).
Menurut definisinya PIj adalah indeks pencemaran bagi
peruntukan j yang merupakan fungsi dari Ci/Lij, dimana Ci
menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i dan Lij
menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang dicantumkan
dalam baku peruntukan air j. Dalam hal ini peruntukan yang akan
digunakan adalah klasifikasi mutu air kelas II berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Formula penghitungan indeks pencemaran adalah:
√(
⁄ )
( ⁄ )
dimana:
(Ci/Lij)M adalah nilai maksimum dari Ci/Lij
(Ci/Lij)R adalah nilai rata-rata dari Ci/Lij
Evaluasi terhadap PIj adalah sebagai berikut:
Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 PIj 1,0
II - 3
Tercemar ringan jika 1,0 < PIj
Tercemar sedang jika 5,0 < PIj
Tercemar berat jika PIj > 10,0.
Pada prinsipnya nilai PIj > 1 mempunyai arti bahwa air
sungai tersebut tidak memenuhi baku peruntukan air j, dalam hal
ini mutu air kelas II. Penghitungan indeks kualitas air dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Setiap lokasi dan waktu pemantauan kualitas air sungai dianggap
sebagai satu sampel;
Hitung indeks pencemaran setiap sampel untuk parameter
TSS, DO, BOD, dan COD;
Hitung persentase jumlah sampel yang mempunyai nilai PIj >
1, terhadap total jumlah sampel pada tahun yang bersangkutan.
Melakukan normalisasi dari rentang nilai 0% - 100% (terbaik
– terburuk) jumlah sampel dengan nilai PIj > 1, menjadi nilai
indeks dalam skala 0 – 100 (terburuk – terbaik).
Setiap DAS diwakili oleh sungai utama dan beberapa sungai
cabang (orde-1) yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut:
Sungai tersebut ada di dalam wilayah suatu DAS.
Sungai prioritas untuk dikendalikan pencemarannya.
Keterwakilannya meliputi wilayah hulu, tengah dan hilir DAS.
Pemantauan setiap sungai paling sedikit dilakukan tiga kali
setahun pada tiga lokasi sehingga setidaknya ada sembilan sampel
II - 4
(data) kualitas air sungai setiap tahunnya. Pemilihan parameter
TSS, BOD, dan COD didasarkan pada ketersediaan data setiap
tahunnya.
b. Kekritisan Air
Sub indeks kualitas lingkungan berikutnya adalah evaluasi
kekritisan air, yaitu dengan membandingkan antara kebutuhan dan
ketersediaan air. Perhitungan estimasi jumlah air yang tersedia dan
jumlah kebutuhan air menggunakan metode yang dipakai dalam
Permen-LH No. 17 Tahun 2009. Evaluasi keritisan air ini dapat
disebut juga dengan penentuan daya dukung air. Indikator ini
penting untuk diukur mengingat pentingnya ketersediaan air dalam
sebuah DAS. Evaluasi ini dapat digambarkan secara skematis
seperti pada gambar 2.1. di bawah ini.
Gambar 2.1. Diagram Penentuan Daya Dukung Air
Evaluasi kekritisan Air ditentukan dengan menggunakan
metode koefisien limpasan berdasarkan informasi penggunaan
lahan serta data curah hujan tahunan. Sementara itu, kebutuhan air
dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak.
Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
II - 5
1) Penghitungan Ketersediaan (Supply) Air
Perhitungan dengan menggunakan Metode Koefisien Limpasan
yang dimodifikasi dari metode rasional.
Keterangan:
SA = ketersediaan air (m3/tahun)
C = koefisien limpasan tertimbang
Ci = Koefisien limpasan penggunaan lahan i (lihat Tabel 2.1)
Ai = luas penggunaan lahan i (ha) dari Peta Tutupan Lahan.
R = rata-rata aljabar curah hujan tahunan wilayah (mm/tahunan)
Ri = curah hujan tahunan pada stasiun i
m = jumlah stasiun pengamatan curah hujan
A = luas wilayah (ha)
10 = faktor konversi dari mm.ha menjadi m3
Tabel 2.1. Koefisien Limpasan
II - 6
Sementara itu data mengenai penggunaan lahan diperoleh
dari Peta Tutupan Lahan yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dalam Program MIH. Berdasarkan peta
tersebut, wilayah terbagi-bagi atas tutupan lahan untuk
penggunaan; hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran,
perkebunan, tegalan/ladang, sawah, permukiman, lahan terbuka,
semak belukar dan tubuh air. Dengan mengacu pada koefisien
limpasan sebagaimana tabel di atas, maka ditetapkan koefisen
limpasan untuk kajian ini adalah sebagaimana tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2. Koefisien Limpasan (penyesuaian)
No. Deskripsi Permukaan Ci
1. Hutan primer 0,10
2. Hutan sekunder 0,18
3. Perkebunan 0,15
4. Kebun campuran 0,18
5. Permukiman 0,65
6. Sawah 0,30
7. Tegalan/ladang 0,25
8. Semak belukar 0,25
9. Tanah terbuka 0,35
10. Tubuh air 1,00
2) Penghitungan Kebutuhan (Demand) Air
Setelah diukur ketersediaan air (permukaan), selanjutnya dilakukan
pengukuran akan kebutuhan air, dengan rumus sebagai berikut:
DA = N x KHLA
Keterangan:
DA = Total kebutuhan air (m3/tahun)
II - 7
N = Jumlah penduduk (orang)
KHLA = Kebutuhan air untuk hidup layak
Besarnya kebutuhan air untuk hidup layak diperoleh dari tetapan
yang sudah ada sebagaimana tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3. Total Kebutuhan Air
Sumber: Permen-LH No. 17 Tahun 2009
3) Penentuan Kekritisan Air
Indeks kekritisan air merupakan perbandingan antara
kebutuhan dengan ketersediaan air, yang dapat dirumuskan sebagai
berikut :
Indeks kekritisan = (kebutuhan air / ketersediaan air) x 100%
Klasifikasi yang digunakan disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 2.4. Klasifikasi Kekritisan Air menurut Notohadiprodjo
Indeks Klasifikasi
< 50 % Belum kritis
50 – 75 % Mendekati kritis
76 – 100 % Keadaan kritis
> 100 % Telah kritis Sumber : Notohadiprodjo, 1982
II - 8
Selanjutnya, untuk menentukan indeks kualitas air, faktor
kualitas air sungai sama pentingnya dengan faktor kekritisan air,
dengan demikian maka proporsi nilai kualitas air dan kekritisan air
masing-masing ditetapkan sebesar 50%.
2. Aspek Kualitas Udara
Pada aspek udara, ada dua indikator yang digunakan untuk
mengukur indeks kualitas lingkungannya, yaitu; kualitas udara
ambien dan pengatur kualitas udara. Berikut ini dijelaskan masing-
masing indikator yang akan dievaluasi.
a. Kualitas Udara Ambien
Kualitas udara, terutama di kota-kota besar dan metropolitan,
sangat dipengaruhi oleh kegiatan transportasi. Perhitungan indeks
untuk indikator kualitas udara dilakukan berdasarkan Keputusan
Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 tentang Pedoman
Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU).
Nilai ISPU mempunyai rentang dari 0 (baik) sampai dengan
500 (berbahaya). Menurut pedoman tersebut di atas, parameter-
parameter dasar untuk ISPU adalah partikulat (PM10), sulfur
dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), ozon (O3), dan nitrogen
dioksida (NO2). Setiap nilai hasil pengukuran parameter-parameter
tersebut dikonversikan menjadi nilai ISPU dengan berpedoman
pada Tabel 2.4.
II - 9
Tabel 2.4. Batas Indeks Pencemar Udara
ISPU PM10 (24 jam) SO2 (24 jam) CO (8 jam) O3 (1 jam) NO2 (1 jam)
(μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3)
0 0 0 0 0 0
50 50 80 5 120 282
100 150 365 10 235 565
200 350 800 17 400 1130
300 420 1600 34 800 2260
400 500 2100 46 1000 3000
500 600 2620 57,5 1200 3750
Penentuan indeks kualitas udara diolah dari data-data kualitas
udara dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh kabupaten atau
kota-kota di seluruh Jawa. Di mana pada masing-masing
kabupaten/kota dipilih tiga lokasi yang mewakili wilayah padat
kendaraan bermotor (transportasi), wilayah industri, dan wilayah
permukiman. Pengukuran kualitas udara dilakukan empat kali
dalam setahun, masing-masing selama 12 hari dengan
menggunakan metoda passive sampler. Mengingat keterbatasan
data yang ada, maka parameter yang diukur adalah SO2 dan NO2.
Nilai ISPU dari kedua parameter tersebut, dapat dilihat pada Tabel
3 di atas. Sedangkan formula untuk menghitung indeks dari setiap
parameter adalah sebagai berikut (KLH, 2010):
IPNO2 = ( -0,2 x (0,177 x KonsentrasiNO2 )) + 100
IPSO2 = ( -0,2 x (0,625 x KonsentrasiSO2 )) + 100
Nilai indeks yang menggambarkan kualitas udara suatu wilayah
adalah nilai maksimum dari indeks semua parameter pada semua
lokasi pemantauan di wilayah tersebut.
II - 10
b. Pengatur Kualitas Udara
Pengatur kualitas udara yang utama adalah vegetasi. Pada
dasarnya semakin banyak jumlah vegetasi, kualitas udara ambien
semakin baik. Manusia, dalam keadaan istirahat, membutuhkan
oksigen (O2) sejumlah 1,8 – 2,4 gram per menit, atau sekitar 155,52
– 373,25 kg perhari (24 jam) (sumber: Wikipedia). Berdasarkan
hitungan (penelitian) Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia-Jawa
Barat, 1 hektare area yang dipenuhi pohon, perdu, semak, dan
rumput akan menghasilkan kanopi seluas 5 hektare. Dalam 12 jam,
kanopi ini dapat menarik 1.800 kilogram karbon dioksida (CO2)
dan melepaskan 1.200 kilogram oksigen (O2). Dengan demikian
untuk kebutuhan oksigen yang cukup, setiap 1 orang manusia
membutuhkan sekitar 0,13 – 0,31 hektare (13 – 31 are) lahan
bervegetasi rapat.
Dalam banyak kasus yang terjadi, turunnya kualitas udara di
suatu wilayah, selain karena makin tingginya emisi gas buang, di
sisi lain juga karena makin berkurangnya lahan-lahan bervegetasi.
Lahan-lahan bervegetasi semakin terdesak dan berkurang
jumlahnya (luasnya) akibat dari pengalihan fungsi, terutama untuk
kebutuhan perumahan, perkantoran dan industri. Pertumbuhan
jumlah perumahan, perkantoran dan industri sangat berkorelasi
positif terhadap pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu penting
untuk dievaluasi sejauh mana perbandingan antara luas kawasan
bervegetasi dan jumlah penduduk. Yang dimaksudkan sebagai
kawasan bervegetasi di sini adalah kawasan (lahan) yang tertutup
atau bisa tertutup vegetasi berupa; hutan (hutan primer dan
II - 11
sekunder), perkebunan, kebun campuran, mangrove, sawah, semak
belukar, tegalan/ladang dan lahan terbuka (dalam Peta Penggunaan
Lahan). Untuk melakukan evaluasi pengatur kualitas udara,
menggunakan formula sebagai berikut:
Keterangan:
PKU = pengendali kualitas udara
Ltv = luas tutupan vegetasi (Ha)
Pdd = jumlah penduduk (org)
100 = faktor konversi ke skala 100
Sebelum menjumlah luas semua tutupan vegetasi (Ltv), masing-
masing penggunaan lahan diberi skor sebagai berikut:
No. Penggunaan Lahan skor
1 Hutan primer 5
2 Hutan sekunder 4
3 Hutan mangrove 3
4 Kebun campuran 4
5 Perkebunan 3
6 Tegalan/ladang 2
7 Semak belukar 2
8 Sawah 2
9 Tanah/lahan terbuka 1
Luas tutupan vegetasi (Ltv) merupakan penjumlahan dari masing-
masing penggunaan lahan setelah dikalikan dengan bobot.
Untuk menentukan indeks kualitas udara, hasil pengukuran
kualitas udara ambien lebih dipentingkan ketimbang faktor
II - 12
pengatur kualitas udara, dengan demikian maka bobot kualitas
udara ambien lebih besar. Dalam hal ini proporsi nilai kualitas
udara ambien sebesar 60% dan pengatur kualitas udara diberikan
proporsi sebesar 40%.
3. Aspek Vegetasi-Lahan
Pada aspek vegetasi-lahan ada dua parameter yang
digunakan untuk pengukuran indeks kualitas lingkungannya, yaitu;
tutupan vegetasi dan lahan kritis. Metode perhitungan masing-
masing dari kedua parameter tersebut dijelaskan sebagaimana
uraian berikut ini.
a. Tutupan Vegetasi
Vegetasi atau tumbuhan merupakan salah satu komponen
yang penting dalam ekosistem. Selain berfungsi sebagai penjaga
tata air, vegetasi juga mempunyai fungsi mencegah terjadinya erosi
tanah, mengatur iklim, tempat tinggal bagi berbagai jenis fauna,
dan tempat tumbuhnya berbagai plasma nutfah yang sangat
berharga bagi kehidupan, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pengukuran IKLH berbasis DAS, menggunakan tiga peta
utama yang dikeluarkan oleh KLH, yaitu: Peta batas wilayah DAS;
Peta Tutupan Lahan; dan Peta Ekoregion tingkat Pulau dan
Kepulauan, yang masing-masing berskala 1 : 500.000. Di dalam
Peta Tutupan Lahan, ada 13 (tiga belas) kategori tutupan yaitu;
hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, perekebunan,
sawah, permukiman, semak belukar, rawa, tambak/empang, tanah
II - 13
terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Yang digunakan sebagai
parameter penentu indeks tutupan vegetasi disepakati hanya
menggunakan 4 (empat) macam saja yaitu: hutan primer, hutan
sekunder, kebun campuran dan perkebunan, dengan pertimbangan
bahwa keempat jenis tutupan lahan tersebut cukup baik bagi
kepentingan konservasi air.
Sedangkan pada peta ekoregion terdapat 15 (lima belas)
satuan yaitu; satuan dataran fluvial, dataran organik, dataran
pantai, dataran struktural, dataran vulkanik, dataran solusional
(krast), perbukitan denudasional, perbukitan organik/koral,
perbukitan solusional (karst), perbukitan struktural, perbukitan
vulkanik, pegunungan denudasional, pegunungan struktural,
pegunungan vulkanik dan danau. Satuan ekoregion ini
dipertimbangkan sebagai faktor koreksi bagi kepentingan
konservasi lahan. Ada tujuh macam satuan ekoregion yang
digunakan sebagai faktor koreksi tersebut yakni: perbukitan
vulkanik, perbukitan struktural, perbukitan denudasional,
perbukitan karst, pegunungan vulkanik, pegunungan denudasional,
dan pegunungan struktural.
Untuk menghitung indeks tutupan vegetasi, ada beberapa
langkah yang harus dilakukan yaitu:
Langkah-1. Menghitung luas (prosentase) tutupan vegetasi.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa yang dimaksud
tutupan vegetasi disini adalah tutupan lahan oleh hutan primer,
hutan sekunder, kebun campuran dan perkebunan. Tutupan
II - 14
vegetasi diukur dalam satuan prosen, yaitu perbandingan luas
tutupan vegetasi terhadap luas DAS.
Keterangan:
TV = tutupan vegetasi
LHP = luas hutan primer
LHS = luas hutan sekunder
LKC = luas kebun campuran
LP = luas perkebunan
LDAS = luas total DAS
Untuk menentukan indeks tutupan vegetasi, tidak cukup
hanya dengan mempertimbangkan tutupan vegetasi saja, akan
tetapi perlu dipertimbangkan faktor lain seperti; faktor kesesuaian
dan faktor kemanfaatan (koservasi lahan). Ada banyak lahan yang
karena kondisi/karakter lahannya semestinya harus tertutup oleh
vegetasi (berhutan) akan tetapi pada kenyataannya justru terbuka.
Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal
18) bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal
30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau
pulau dengan sebaran yang proporsional. Oleh karena itu perlu
dilakukan langkah berikutnya.
Langkah-2. Menghitung prosentase kecukupan luas kawasan
hutan.
II - 15
Yang dimaksud kawasan hutan di sini adalah kawasan berhutan
(secara kenampakan citra satelit mencirikan hutan), yang
dikategorikan sebagai hutan primer dan hutan sekunder. Langkah
kedua ini disebut dengan Faktor Pemenuhan Kecukupan
(memenuhi syarat cukup sesuai dengan ketentuan UU 41/1999,
bahwa luas hutan minimal 30%). Rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Keterangan:
FCH = faktor kecukupan hutan
LHP = luas hutan primer
LHS = luas hutan sekunder
Langkah-3. Menghitung Tutupan Vegetasi Konservasi
Yang dimaksud sebagai tutupan vegetasi konservasi bagi
keperluan pengukuran IKLH berbasis DAS ini adalah besarnya
prosentase tutupan vegetasi pada satuan perbukitan dan
pegunungan vulkanik, struktural, denudasional dan solusional/karst
(berdasarkan peta ekoregion Pulau Jawa). Faktor ini
dipertimbangkan dengan tujuan untuk melindungi lahan
(konservasi lahan), dimana berdasarkan arahan pemanfaatan lahan,
satuan-satuan ini merupakan kawasan yang harus dikonservasi
untuk melindungi lahan/tanah dan sebagai resapan dan penyimpan
II - 16
air. Selanjutnya faktor ini disebut sebagai faktor konservasi lahan.
Rumus yang digunakan adalah:
Keterangan:
TVKi = tutupan vegetasi untuk konservasi lahan i
TV i = tutupan vegetasi pada satuan ekoregion i
LS i = luas satuan ekoregion i
Selanjutnya dihitung faktor konservasi lahan dengan rumus sebagai
berikut:
Keterangan:
FKL = faktor konservasi lahan
TVK i = tutupan vegetasi konservasi lahan i
BSE i = bobot penilaian untuk satuan ekoregion i
Di bawah ini disajikan tabel nama untuk masing-masing
satuan ekoregion dengan penjelasan karakteristiknya sebagai dasar
penetapan skor. Besarnya skor ditentukan berdasarkan tutupan
vegetasi dominan dan arahan penggunaan lahan terbaik pada
masing-masing satuan ekoregion.
II - 17
Secara prinsip satuan ekoregion vulkanik merupakan lahan
yang penting untuk dikonservasi (dengan tutupan vegetasi yang
maksimal), hal ini dengan pertimbangan bahwa;
Kerapatan tutupan vegetasi sangat diperlukan sebagai
pengaman (buffering) dari bahaya letusan gunung berapi.
Tutupan vegetasi yang optimal juga penting artinya bagi
konservasi tanah (mempertahankan kesuburan) dan konservasi
air, mengingat kawasan ini merupakan satuan lahan yang
sangat subur dan penyuplai air untuk kawasan bawahnya.
Vegetasi vulkanik juga merupakan Bank KEHATI, sumber
plasma nutfah yang sangat kaya, sehingga tutupan vegetasi
harus dipertahankan secara maksimal.
Demikian pula satuan ekoregion solusional (karst), juga
merupakan bentangalam yang cukup penting untuk dikonservasi
dengan tutupan vegetasi yang optimal, dengan pertimbangan
bahwa;
Tutupan vegetasi yang optimal penting artinya untuk
mempertahankan sumberdaya air, berupa sungai-sungai bawah
tanah, yang merupakan ciri khas satuan ekoregion ini.
Kawasan ini juga sangat kaya dengan gua-guanya yang
menarik, atraktif, yang berfungsi sebagai obyek wisata
maupun obyek penelitian.
II - 18
Secara ringkas, karakteristik dan kepentingan dari masing-
masing satuan ekoregion tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
ini.
Tabel 2.5. Penjelasan Karakteristik Satuan Ekoregion
No. Satuan
Ekoregion Karakteristik
1. Pegunungan Vulkanik
Topografi bergunung dengan lereng curam hingga sangat curam, dengan kemiringan lereng >30%. Pada umumnya mempunyai iklim basah (hujan tropis) dengan curah hujan tinggi (800 hingga >1.800 mm/tahun). Lereng curam hingga sangat curam, dan elevasi yang tinggi, maka tidak memungkinkan terdapatnya airtanah pada satuan ini. Namun lebih utama satuan ini berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan (cathment area) dan peresapan air hujan (recharge area). Batuan didominasi oleh material hasil proses vulkanik, yang dapat berupa bahan-bahan piroklastik akibat aliran lahar, atau batuan dasar yang keras dan kompak
berupa aliran lava. Tanah sangat berkembang dengan baik, berwarna gelap yang menunjukkan kandungan air dan bahan-bahan organik tinggi sehingga menyebabkan tingkat kesuburan yang tinggi, yang sering disebut dengan tanah Andosol.
2. Pegunungan Struktural
Morfologi atau relief bergunung dengan lereng curam hingga sangat curam (40 - 65% atau >65%). Relatif beriklim kering dengan curah hujan rendah. Jalur utara tersusun atas material batugamping berselang-selang dengan lapisan lempung marin. Jalur selatan tersusun atas material volkanik tua yang terbentuk pada kala Oligosen yang membentuk
pegunungan blok patahan zona selatan Jawa, dan pada beberapa lokasi terdapat sisipan batuan metamorfik berupa sekis, filit, gneis, kuarsit, dan marmer. relatif termasuk wilayah yang miskin airtanah. Sumberdaya air kemungkinan berupa mataair yang muncul pada tekuk lereng kaki perbukitan berupa mataair kontak, atau mataair struktur akibat patahan atau retakan batuan. Jasa ekosistem sebagai kawasan konservasi tanah (erosi, longsor, dan rayapan atanah), dan biologis (konservasi hayati). Perlindungan plasma nutfah melalui zonasi kawasan hutan produksi terbatas, kawasan konservasi dan penyangga.
II - 19
3. Pegunungan Denudasional
Material dominan adalah batuan-batuan beku gunungapi tua yang telah mengalami pelapukan tingkat lanjut, dan batuan sedimen berupa batugamping napal. Morfologi bergunung dengan lereng curam (>40%), dengan proses utama berupa denudasional yang dicirikan oleh tingkat pelapukan batuan yang telah lanjut, erosi lereng dan gerakan massa batuan sangat potensial. Akibat proses erosional dan longsor lahan yang intensif, maka pola aliran sungai seperti cabang-cabang pohon (dendritik), dengan alur rapat sejajar menuruni lereng, dan bertemu di lembah perbukitan menyatu menjadi sungai yang lebih besar. Namun demikian sifat aliran sungai relatif epimeral atau perenial dengan fluktuasi debit aliran sangat tinggi antara musim penghujan dengan kemarau. Airtanah sulit didapatkan. Jasa ekosistem dapat sebagai penyedia bahan dasar mineral bangunan. Perlindungan plasma nutfah melalui zonasi kawasan lindung dan penyangga.
4. Perbukitan Vulkanik
Topografi berupa perbukitan, dengan kelerengan lebih dari 15% dengan amplitudo relief 0-300m. Terbentuk sebagai hasil proses erupsi (letusan) gunungapi yang penyebarannya dibantu oleh proses
aliran sungai (fluvial). Secara umum berpotensi sebagai kawasan lindung terhadap mataair, tanah, dan lahan-lahan di bawahnya, dan secara orohidrologis berfungsi sebagai kawasan tangkapan dan resapan air hujan, banyak dijumpai mata-mata air dan air terjun. Proses perkembangan tanah sangat intensif, yang dapat membentuk jenis tanah Latosol dan Andosol. Jasa lingkungan sebagai penyedia lahan pertanian, sumber air bersih, perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah.
5. Perbukitan Denudasional
Material dominan adalah batuan-batuan beku gunungapi tua yang telah mengalami pelapukan tingkat lanjut, dan batuan sedimen berupa batugamping napal. Morfologi berbukit dengan lereng curam (30-40%), dengan proses utama berupa denudasional yang dicirikan oleh tingkat pelapukan batuan yang telah lanjut. Pola aliran sungai seperti cabang-cabang pohon (dendritik), dengan alur rapat sejajar menuruni lereng, dan bertemu di lembah perbukitan menyatu menjadi sungai yang lebih besar. Sifat aliran sungai relatif epimeral atau perenial dengan fluktuasi debit aliran sangat tinggi antara musim penghujan dengan kemarau. Airtanah relatif sulit didapatkan. Jasa ekosistem dapat sebagai penyedia bahan dasar mineral bangunan.
II - 20
6. Perbukitan Struktural
Topografi berupa perbukitan, dengan morfologi atau relief berbukit rendah (lereng 15-30%) hingga berbukit tinggi (lereng 30-40%). Relatif beriklim kering dengan curah hujan rendah. Terbentuk oleh proses pengangkatan tektonik yang membentuk struktur lipatan (antiklinal) pada zona utara Jawa akibat materialnya yang bersifat plastis; sedangkan pada zona selatan Jawa membentuk struktur blok patahan dengan bidang-bidang sesar (escarpment) yang tegak dan curam akibat material penyusunnya yang kompak dan keras. Relatif termasuk wilayah yang miskin airtanah. Sumberdaya air kemungkinan berupa mataair yang muncul pada tekuk lereng kaki perbukitan berupa mataair kontak. Umumnya terdapat tanah-tanah berlempung dengan indeks plastisitas yang tinggi berupa tanah Grumusol atau Vertisol.
7. Perbukitan Solusional (Karst)
Kemiringan lereng rendah (15-30%) hingga curam (30-40%). Material dominan adalah batuan sedimen organik atau non klastik, berupa batugamping terumbu (limestone, CaCO3), batugamping napal, atau batugamping dolomit. Menempati daerah dengan iklim basah bercurah hujan tinggi. Hidrologi permukaan berupa telaga-telaga karst (logva), dan
sungai bawah tanah dengan potensi aliran yang besar. Umumnya bertanah merah (terrarosa atau mediteran), dan tanah bersolum tipis yang disebut tanah litosol (rendzina). Pemanfaatan lahan secara umum berupa ladang tadah hujan dan kebun campuran. Jasa ekosistem sebagai pengatur tata air, budaya dan wisata minat khusus, penelitian dan pendidikan.
Sumber: Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan
Untuk menentukan bobot tutupan vegetasi masing-masing
satuan ekoregion terlebih dahulu dilakukan analisis penggunaan
lahan. Diambil tiga (3) macam penggunaan lahan eksisting yang
paling dominan. Dari ketiga macam penggunaan lahan eksisting
tersebut kemudian ditetapkan nilai bobotnya. Secara umum
penentuan nilai bobot menggunakan tabel berikut ini (berdasarkan
expert judgement).
II - 21
No Satuan Ekoregion Bobot Penjelasan
1 Pegunungan
Vulkanik
90 Umumnya berupa hutan
dengan kerapatan 80 - 90%.
2 Pegunungan
Struktural
80 Umumnya berupa kebun
campuran, dengan
kerapatan 80% atau lebih
3 Perbukitan
Vulkanik
80 Minimal 80% kawasan
tertutup vegetasi
4 Perbukitan
Denudasional
70 Minimal 70% kawasan
tertutup vegetasi
5 Perbukitan
Struktural
70 Minimal 70% kawasan
tertutup vegetasi
6 Perbukitan Karst 70 Minimal 70% kawasan
tertutup vegetasi
Penjelasan atas penentuan besarnya bobot di atas, adalah
berdasarkan analisis penggunaan lahan eksisting. Penggunaan
lahan (atau land cover) satuan ekoregion pegunungan vulkanik
pada umumnya berupa hutan primer dan hutan sekunder dengan
kerapatan tegakan mencapai 90% atau lebih. Pada umumnya juga,
pegunungan vulkanik 90% atau lebih kawasannya tertutup oleh
vegetasi, baik berupa hutan primer, hutan sekunder, kebun
campuran, ataupun perkebunan.
Penjelasan yang sama juga berlaku untuk satuan ekoregion
yang lain, misal perbukitan karst. Hasil analisis penggunaan lahan
eksisting, kawasan ini pada umumnya berupa perkebunan dan
tegalan dengan kerapatan tegakan sekitar 70%, atau hanya sekitar
seluas 70% dari total luas kawasan tertutup oleh vegetasi.
Demikian juga untuk kawasan-kawasan perbukitan yang lainnya.
II - 22
Dengan demikian, artinya bahwa jika 90% dari wilayah
satuan ekoregion pegunungan vulkanik itu tertutup vegetasi, berarti
dinyatakan baik. Atau jika seluruh wilayah tertutup vegetasi yang
kerapatannya hanya 90% saja, sudah dianggap baik. Hal yang sama
berlaku untuk satuan ekoregion yang lain. Kawasan perbukitan
karst, yang memang merupakan daerah yang minim air permukaan,
dianggap cukup baik jika hanya memiliki vegetasi penutup
tanahnya hanya memiliki kerapatan tegakan 70%.
Langkah-4. Menjumlah semua faktor koreksi
Maksud dari Faktor Koreksi adalah menjumlahkan faktor
kecukupan hutan dan faktor konservasi, kemudian membagi
dengan banyaknya faktor tersebut, rumus yang digunakan adalah :
Keterangan:
FK = faktor koreksi
FCH = faktor kecukupan hutan
FKL= faktor konservasi lahan
Langkah-5. Menghitung Indeks Tutupan Vegetasi
Indeks tutupan vegetasi dihitung dengan cara mengalikan hasil
perhitungan tutupan vegetasi dengan faktor koreksi.
ITV = TV x FK
Keterangan:
II - 23
ITV= indeks tutupan vegetasi
TV = tutupan vegetasi
FK = faktor koreksi
b. Kekritisan Lahan
Data lahan kritis yang digunakan untuk pengukuran
parameter kekritisan lahan adalah data-data lahan kritis yang
dikeluarkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS).
Pembagian kekritisan lahan meliputi kategori; sangat kritis, kritis,
agak kritis, potensial kritis dan tidak kritis. Untuk keperluan
pengukuran indeks kualitas lingkungan DAS ini hanya digunakan
kategori sangat kritis dan kritis saja.
Pada prinsipnya pengukuran kekritisan lahan adalah
mengkaji seberapa besar (proporsi) luas lahan yang terkategori
kritis jika dibandingkan dengan luas DAS-nya. Metode yang
digunakan dalam pengukuran parameter ini adalah dengan cara
membandingkan luas lahan kritis (kategori sangat kritis dan kritis)
dengan luas DAS. Rumus yang digunakan adalah:
Keterangan:
PLK = Porsi Lahan kritis
LSK = luas lahan sangat kritis
LK = luas lahan kritis
LDAS= luas DAS
II - 24
Asumsi dasarnya adalah bahwa semakin besar prosentase
luas lahan kritis suatu DAS berarti semakin buruk, dan sebaliknya
semakin kecil berarti semakin baik. Akan tetapi, tidaklah mungkin
bisa ditolerir jika lahan kritis di suatu DAS bisa mencapai 100%,
oleh karena itu perlu ditetapkan toleransi maksimal jumlah lahan
kritis adalah 70%. Toleransi ini dipertimbangkan dengan asumsi
bahwa minimal 30% luas lahan dalam suatu DAS yang harus
dipertahankan sebagai hutan (sesuai amanat UU 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan). Oleh karena itu perhitungan IKL (indeks
kekritisan lahan) diperoleh dengan rumus:
IKL = {1 – (PLK/70)} x 100
Dimana:
IKL = Indeks Kekritisan Lahan
PLK= Porsi Lahan Kritis
Berdasarkan asumsi ini maka, jika suatu DAS terdapat 70%
berupa lahan kritis artinya ia mendapatkan nilai kekritisan lahan 0.
70% lahan kritis sebagai batas paling buruk. Dan jika tidak
terdapat lahan kritis (lahan kritis mendekati 0) maka nilainya 100.
Terakhir, untuk menentukan indeks kualitas lahan, hasil
pengukuran tutupan vegetasi lebih dipentingkan ketimbang faktor
lahan kritis, dengan demikian maka proporsi nilai tutupan vegetasi
lebih besar. Dalam hal ini nilai tutupan vegetasi diberi bobot
sebesar 60%, dan kekritisan lahan diberi bobot sebesar 40%.
II - 25
4. Aspek Keamanan Keanekaragaman Hayati
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan
konservasi terdiri atas Kawasan Suaka Alam (KSA), yang terdiri
dari Hutan Cagar Alam (CA), dan Hutan Suaka Margasatwa (SM);
dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), yang terdiri dari Hutan
Taman Nasional (TN), Hutan Taman Wisata Alam (TWA), dan
Hutan Taman Hutan Raya (Tahura); serta Taman Buru (TB)
(pasal 27 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Kawasan konservasi merupakan kawasan yang memiliki
keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang
tergabung dalam suatu tipe ekosistem atau secara fisik masih asli
dan belum terganggu, juga merupakan komunitas tumbuhan
dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau
keberadaannya terancam punah. Kawasan ini sangat penting untuk
dilindungi dan dipertahannkan keberadaannya.
Selain kawasan konservasi, terdapat juga kawasan hutan
yang memiliki arti yang sangat penting dalam mempertahankan
keanekaragaman hayati, yaitu hutan lindung. Hutan lindung adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,
dan memelihara kesuburan tanah. Dari pengertian di atas tersirat
bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai
(termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan
II - 26
hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana
dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau),
dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan.
Oleh karena itu kawasan konservasi dan hutan lindung
dipertimbangkan sebagai indikator bagi penentuan keaneka-
ragaman hayati. Namun yang perlu diketahui adalah bahwa
kawasan-kawasan ini pada kenyataannya tidak semuanya dalam
kondisi berhutan yang masih baik. Bisa saja terdapat daerah yang
berupa tegalan, semak belukar, kebun campuran, bahkan sawah
dan permukiman.
Mengingat kondisi yang demikian, maka metode yang
digunakan untuk mengukur indeks kehati adalah dengan
membandingkan luas hutan primer dan hutan sekunder
(berdasarkan peta penggunaan lahan) yang berada di dalam
kawasan koservasi dan hutan lindung dengan luas kawasan
koservasi dan hutan lindung itu sendiri (berdasarkan TGHK).
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
IKH = indeks keanekaragaman hayati
LHp = luas hutan primer (berdasar data Peta LC)
LHs = luas hutan sekunder (berdasar data Peta LC)
LKK = luas hutan konservasi (berdasar TGHK)
LHL = luas hutan lindung (berdasar TGHK)
III - 1
BAB III
Profil Lingkungan 9 DAS
1. DAS Bengawan Solo
Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo merupakan DAS terbesar di Pulau
Jawa, terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah 1.529.568
Ha. Lokasi DAS Bengawan Solo berada pada posisi 110o18’ BT sampai 112
o45’ BT
dan 6o49’LS sampai 8
o08’ LS. DAS Bengawan Solo dibagi ke dalam tigaSub DAS,
yang meliputi SubDAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS
Bengawan Solo Hilir. DAS Bengawan Solo berbatasan dengan:
a. Bagian barat : berbatasan dengan DAS Serang dan DAS Progo
b. Bagian selatan : berbatasan dengan DAS Grindulu dan DAS Lorong
c. Bagian timur : berbatasan dengan DAS Brantas
d. Bagian utara : berbatasasn dengan Laut Jawa
Gambar 3.1. Peta DAS Bengawan Solo(Sumber: PPE Jawa, 2013)
III - 2
1.1. Karakteristik Lingkungan
a. Karatkeristik Fisik
Karakteristik fisik lingkungan dapat digambarkan dari satuan-satuan
ekoregion yang ada di dalamnya. Satuan ekoregion terluas di DAS Bengawan Solo
yaitu dataran vulkanik jalur Gunung Karang - Merapi - Raungseluas 21.19%.
Sebaran ekoregion DAS Bengawan Solo terlihat pada Gambar 3.2. berikut:
Gambar 3.2. Peta Ekoregion DAS Bengawan Solo
Secara lebih rinci, satuan-satuan ekoregion yang terdapat di dalam DAS Bengawan
Solo dan luas masing-masingnya, dapat dilihat pada Tabel 3.1. berikut ini.
Tabel 3.1. Luas masing-masing Ekoregion di DAS Bengawan Solo
Ekoregion KODE Luas (ha) (%)
Danau
5.955 0,39%
Dataran Fluvial Jawa F 198.591 12,98%
Dataran Struktural Blok Selatan Jawa S31 5.393 0,35%
Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S32 255.318 16,69%
Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 324.126 21,19%
III - 3
Ekoregion KODE Luas (ha) (%)
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 62.662 4,10%
Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng - Rembang K2 20.470 1,34%
Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong -
Gunungsewu – Blambangan
K1 26.181 1,71%
Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 109.452 7,16%
Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 236.918 15,49%
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 284.336 18,59%
Jenis tanah terbesar berupa grumusol kelabu tua sebesar 23,45%. Sebaran
jenis tanah yang terdapat di DAS Bengawan Solo dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Sedangkan besarnya luasan masing-masing jenis tanah, secara rinci disajikan pada
Tabel 3.2.
Gambar 3.3. Peta Jenis Tanah DAS Bengawan Solo
Tabel 3.2. Luas Masing – Masing Jenis Tanah di DAS Bengawan Solo
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Mediteran Coklat Kemerahan dan Grumusol Kelabu 90.937 5,96%
Aluvial Kelabu 42.227 2,77%
Aluvial Kelabu Tua 94.228 6,17%
Aluvial Coklat Kekelabuan 31.773 2,08%
III - 4
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Aluvial Hidromorf 14.544 0,95%
Aluvial Kelabu 8.557 0,56%
Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan 21.760 1,43%
Andosol Coklat 2.202 0,14%
Andosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan 6.774 0,44%
Andosol Coklat, Andosol Coklat Kekuningan, Litosol 16.166 1,06%
Asoiasi Andosol Kelabu dan Regosol Kelabu 9.460 0,62%
Asosiasi Aluvial Kelabu dan Coklat KekelabuanAsosi 34.975 2,29%
Asosiasi Litosol dan Grumusol Kelabu Tua 1.335 0,09%
Asosiasi Litosol dan Mediteran Coklat 22.737 1,49%
Asosiasi Litosol dan Mediteran Coklat Kemerahan 743 0,05%
Asosiasi Mediteran Coklat Litosol 30.568 2,00%
Grumusol Coklat Kekelabuan dan Kelabu Kekuningan 18.373 1,20%
Grumusol Kelabu 74.025 4,85%
Grumusol Kelabu Tua 354.769 23,23%
Kompleks Andosol Kelabu Tua dan Litosol 3.328 0,22%
Kompleks Grumusol Hitam dan Litosol 3.497 0,23%
Kompleks Grumusol Kelabu dan Litosol 27.484 1,80%
Kompleks Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol 10.598 0,69%
Kompleks Litosol, Mediteran dan Renzina 169.195 11,08%
Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol 13.524 0,89%
Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 44.873 2,94%
Kompleks Mediteran Merah dan Litosol 20.890 1,37%
Kompleks Regosol Kelabu dan Grumusol Kelabu Tua 24.340 1,59%
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 9.693 0,63%
Latosol Coklat 25.835 1,69%
Latosol Coklat Kemerahan 19.114 1,25%
Latosol Coklat dan Regosol Kelabu 2.515 0,16%
Latosol Merah Kekuningan 3.748 0,25%
Litisol 4.681 0,31%
Litosol 72.555 4,75%
Mediteran Coklat 7.841 0,51%
Mediteran Coklat Kemerahan 86.662 5,68%
Mediteran Merah Tua dan Regosol 9 0,00%
Regosol Coklat Kekelabuan 18.201 1,19%
Regosol Kelabu 82.155 5,38%
Penggunaan lahan terbesar DAS Bengawan Solo berupa sawah. Berdasarkan
data curah hujan, curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.245 mm/tahun. Curah
hujan minimum sebesar 1.415 mm/tahun dan curah hujan maksimum 3.034
III - 5
mm/tahun. Gambaran secara spasial penggunaan lahan di DAS Bengawan Solo
dapat dilihat pada Gambar 3.4. sedangkan rincian luas masing-masing penggunaan
lahan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Gambar 3.4. Peta Penggunaan Lahan DAS Bengawan Solo
Tabel 3.3. Luas Penggunaan Lahan DAS Bengawan Solo
PENGGUNAAN LAHAN LUAS (HA) (%)
Hutan Primer 921 0,06%
Hutan Sekunder 58.077 3,80%
Kebun Campuran 193.531 12,65%
Perkebunan 222.447 14,54%
Permukiman 184.335 12,05%
Rawa 144 0,01%
Sawah 483.162 31,59%
Semak/Belukar 23.994 1,57%
Tambak/Empang 16.686 1,09%
Tanah Terbuka 41.869 2,74%
Tegalan/Ladang 292.612 19,13%
Tubuh Air 11.789 0,77%
III - 6
b. Karakteristik Sosial
Perkiraan jumlah Penduduk di DAS BengawanSolo tahun 2012 sebesar
16.394.053 jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk
tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Dengan luas DAS sebesar 1.529.568 Ha, maka kepadatan
penduduk di DAS Solo adalah 10,72 Jiwa/Ha atau sekitar 1.072 Jiwa/Km2.
Tabel 3.4. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Bengawan Solo Tahun 2012
Provinsi Kabupaten/
Kota
% Luas Dalam
DAS
Jumlah Penduduk
2010
Pertumbuhan Penduduk
(%)
Jumlah Penduduk
2012
DI Yogyakarta Gunung Kidul 0.07 675,382 0.06 47,505
DI Yogyakarta Sleman 0.01 1,093,110 1.92 14,624
Jawa Tengah Blora 0.53 829,728 0.10 440,538
Jawa Tengah Boyolali 0.60 930,531 0.27 564,602
Jawa Tengah Grobogan 0.01 1,308,696 0.21 15,643
Jawa Tengah Karanganyar 1.00 813,196 0.60 822,984
Jawa Tengah Klaten 0.97 1,130,047 0.07 1,098,875
Jawa Tengah Kota Surakarta 1.00 499,337 0.08 500,136
Jawa Tengah Magelang 0.00 118,227 0.62 327
Jawa Tengah Rembang 0.11 591,359 0.48 66,129
Jawa Tengah Semarang 0.05 930,727 1.02 48,770
Jawa Tengah Sragen 0.96 858,266 0.05 820,598
Jawa Tengah Sukoharjo 1.00 824,238 0.51 832,667
Jawa Tengah Wonogiri 0.99 928,904 -0.44 907,134
Jawa Timur Bojonegoro 1.00 1,209,973 0.38 1,219,186
Jawa Timur Gresik 0.44 1,177,042 1.60 529,063
Jawa Timur Kota Madiun 0.90 170,964 0.42 154,698
Jawa Timur Lamongan 0.82 1,179,059 -0.02 970,356
Jawa Timur Madiun 0.87 662,278 0.35 582,655
Jawa Timur Magetan 1.00 620,442 0.08 621,435
Jawa Timur Nganjuk 0.01 1,017,030 0.44 11,208
Jawa Timur Ngawi 1.00 817,765 0.06 818,747
Jawa Timur Pacitan 0.06 540,881 0.29 34,001
Jawa Timur Ponorogo 0.90 855,281 0.16 770,718
Jawa Timur Trenggalek 0.01 674,411 0.37 3,553
Jawa Timur Tuban 0.62 1,118,464 0.62 698,190
Jumlah Penduduk 16.394.053
III - 7
1.2. Permasalahan Lingkungan
Berbagai masalah lingkungan telah terjadi di DAS Bengawan Solo.
Permasalahan tersebut berupa banjir, lahan kritis, pencemaran air, erosi,
sedimentasi dan permasalahan sosial lainnya.
a. Banjir
Banjir besar di DAS Bengawan Solo Hulu pernah terjadi pada tahun 1966. Puncak
banjir diperkirakan sebesar 4.000 m3/det di Wonogiri, 2.000 m
3/det di Surakarta dan 1.850
m3/det di Ngawi. Luas daerah genangan banjir di sebelah hulu Kota Surakarta sekitar
18.000 ha dan di Sragen sekitar 10.000 ha. Pemerintah telah banyak membangun fasilitas
pengendali banjir. Fasilitas pengendalian banjir yang terutama dalam Wilayah DAS
Bengawan Solo adalah Bendungan Serbaguna Wonogiri (Waduk Gajah Mungkur) yang
terletak sekitar 55 km disebelah hulu Kota Surakarta.
b. Erosi dan Sedimentasi
Erosi lahan terutama terjadi di wilayah hulu DAS yaitu SubDAS Bengawan
Solo Hulu dan SubDAS Madiun. Selanjutnya erosi akan mengakibatkan
sedimentasi di daerah bawahnya hingga ke muara Sungai Bengawan Solo di Selat
Madura. Besarnya laju erosi permukaan yang terjadi di tiap-tiap daerah aliran
(catchment area) dalam wilayah DAS Bengawan Solo secara rinci dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 3.5.Produksi Sedimen Erosi Lahan Sub-DAS Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun
No. Catchment Area Luas
(km2)
Volume Erosi
Permukaan (m3/th)
No. Catchment
Area Luas
(km2)
Volume Erosi
Permukaan (m3/th)
1 K. Keduang 421 1.684.000 17 K. Ketonggo 477 1.908.000
2 Waduk Wonogiri 1.006 4.024.000 18 K. Gurdo 121 484.120
3 K. Walikan 137 548.000 19 K. Winongo 155 620.000
4 K. Juranggempol 107 428.000 20 K. Muneng 106 424.000
5 K. Jlantah 190 760.000 21 K. Kedung 112 448.000
6 Hilir K.Dengkeng 130 520.000 22 K. Jeroan 446 1.784.000
7 Hulu K.Dengkeng 355 1.420.000 23 K. Banjarsari 76 304.000
8 K. Gawe 269 1.076.000 24 K. Gandong 146 584.000
9 K. Brambang 263 1.052.000 25 K. Catur 186 744.000
10 Hilir K. Samin 63 252.000 26 K. Jati 81 324.000
11 Hulu K. Samin 275 1.100.000 27 K. Gede 156 624.000
12 K. Jurug 108 432.000 28 K. Gonggang 356 1.424.000
13 K. Pepe 543 2.172.000 29 K. Asin 303 1.212.000
III - 8
14 K. Mungkung 549 2.196.000 30 K. Tempuran 354 1.416.000
15 K. Pondok 232 928.000 31 K. Kenyang 285 1.140.000
16 K. Sawur 1,34 5.360.000 32 K. Plapar 304 1.216.000
Sumber:Pola Pengelolaan SDA Bengawan Solo, 2010
Untuk mengatasi masalah sedimentasi yang terjadi di Selat Madura,
pemerintah Belanda telah membuat sudetan sungai kearah utara melalui daerah
rawa menuju Laut Jawa, menghubungkan DAS Bengawan Solo dengan laut di
sebelah timur perkampungan nelayan Ujung Pangkah pada tahun 1890-an. Sampai
saat ini arah (alignment) saluran tersebut masih tetap seperti kondisi awal
dikarenakan oleh material lempung padat yang terdapat di daerah rawa tersebut,
tetapi telah terjadi perubahan di muara sungai.
Perkembangan perubahan muara sungai menunjukkan perubahan
memanjang sekitar 11 km kearah utara menuju Laut Jawa selama kurun waktu 110
tahun sejak dibangunnya saluran tersebut. Pada sekitar tahun 1922, telah terjadi
perubahan muara sepanjang 9 km ke arah utara sepanjang saluran memotong
endapan pasir dangkal sampai ke garis pantai. Pada tahun 2000, di muara telah
terbentuk tiga alur ke arah samping, dan tidak terjadi perubahan pada saluran
utama yang akhirnya tertutup. Ketika salah satu alur kearah samping berubah
menjadi lebih panjang dari yang lainnya, ada kecenderungan akan tertutup akibat
peningkatan endapan sedimen. Pada saat yang bersamaan, alur yang lain menjadi
besar karena ada tambahan debit yang masuk. Muara tersebut telah berkembang
membentuk beberapa alur melalui proses yang sama dan berulang seperti di atas.
Proses tersebut di atas merupakan proses yang normal dimana terjadi
gerusan dan endapan pada dasar sungai dan tidak terpengaruh oleh perubahan
akibat proses yang terjadi di pantai. Tidak terjadi endapan pasir di muara sehingga
tidak akan terjadi penyumbatan muara yang dapat menyebabkan banjir. Studi
mengenai teknik pantai dalam studi CDMP menyimpulkan bahwa tidak akan
terjadi pergerakan muara kearah utara, tetapi akan melebar kearah timur dan barat
dan dengan volume angkutan sedimen pada kondisi saat ini, maka Selat Madura
akan tertutup dalam waktu 200 tahun.
c. Lahan Kritis
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS
III - 9
Bengawan Solo (tahun 2010) disebutkan bahwa lahan yang terkategori sangat
kiritis mencapai luas 770,21 Ha dan lahan yang terkategori kritis mencapai luas
48.056,47 Ha. Tabel berikut ini menjelaskan secara rinci proporsi masing-masing
sesuai dengan tingkat kekritisannya.
Tabel 3.6. Lahan Kritis di DAS Bengawan Solo
No. Kategori Luas (Ha) (%)
1 Sangat Kritis 770,21 0,05
2 Kritis 48.056,47 3,01
3 Agak Kritis 478.753,89 30,02
4 Potensial Kritis 462.759,36 29,02
5 Tidak Kritis 604.374,67 37,90
Total 1.594.714,59 100,00 Sumber : BPDAS Bengawan Solo, 2010
d. Pencemaran
Selain menghadapi persoalan kerusakan lingkungan, DAS Bengawan Solo juga
mengalami pencemaran air sungai-sungainya. Pencemaran lingkungan yang terjadi di
Sungai Bengawan Solo disebabkan oleh limbah industri maupun limbah domestik.
Adanya pencemaran oleh limbah cair ini telah mengakibatkan penurunan kualitas air
sungai. Kualitas air terus menurun dari tahun ke tahun, hal ini tergambar dari hasil
pengukuran beban pencemaran untuk BOD, COD dan NH3-N yang dilakukan dalam
Prokasih Jawa Tengah. Berikut ini tertera tabel beban pencemaran Sungai Bengawan Solo,
segmen Jawa Tengah.
Tabel 3.7. Beban Pencemaran Sungai Bengawan Solo
Parameter (kg/th)
Tahun I (1989/90)
Tahun II (1990/91)
Tahun XV (2003)
Tahun XVI (2004)
Tahun XVII (2005)
BOD 22.966,0 5.936,180 347.682,89 414.071,63 241.305,27
COD 181.937 26.958,81 1.018.598,12 1.344.496,89 899.338,88
TSS 6.622,19 6.952,838 304.843,97 837.087,92 214.835,30
NH3-N - - 89.594,69 22.746,13 20.536,72 Sumber: PROKASIH Jawa Tengah, 2005
Sumber data lain juga memberikan gambaran bahwa kualitas air Sungai
Bengawan Solo telah mengalami pencemaran lingkungan. Data hasil pengukuran kualitas
air oleh Perum Jasa Tirta yang tercantum di dalam statistik lingkungan hidup berikut ini
memberikan gambaran hal tersebut. Dari tabel tersebut tertulis bahwa parameter kunci
(BOD, COD dan DO) di beberapa titik sampel telah melampaui baku mutu lingkungan.
III - 10
Tabel 3.8. Kualitas Air Sungai Bengawan Solo, Segmen Jawa Tengah
1.3. Upaya yang Telah Dilakukan
Sebagai upaya pengendali banjir telah dibangun waduk Gadjah Mungkur
mencakup daerah seluas 1.350 Ha. Waduk tersebut mempunyai kapasitas tampungan
sebesar 220 juta m3 untuk mereduksi puncak banjir sebesar 4.000 m
3/det menjadi 400
m3/det. Fasilitas lain yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan akibat banjir adalah
Flood Forecasting and Warning System (FFDAS). FFDAS yang berada di Bendungan
Wonogiri adalah satu-satunya yang ada dalam wilayah studi. Sistim tersebut telah dipasang
pada tahun 1982 sebagai peralatan tambahan bendungan untuk memantau dan
memperkirakan banjir yang masuk ke dalam waduk dan memberikan peringatan dini di
daerah disebelah hilir. Namun demikian, FFDAS dalam seluruh basin sungai yang akan
memberikan peringatan dini dan informasi banjir kepada penduduk dan instansi terkait
yang berwenang masih sangat dibutuhkan dalam BBDAS Bengawan Solo. Selebihnya,
juga terdapat sejumlah bangunan-bangunan sungai yang lain seperti bendungan dan
embung untuk penyediaan air irigasi dan keperluan lain. Berikut ini disajikan daftar waduk
atau embung yang terdapat di DAS Bengawan Solo.
III - 11
Tabel 3.9. Waduk atau Embung di DAS Bengawan Solo
Kabupaten Waduk/Embung Kabupaten Waduk/Embung
Sub DAS Bengawan Solo Hulu Sub DAS Bengawan Solo Hilir
Wonogiri Nawangan Bojonegoro Pacal
Ngancar Lamongan Prijetan
Parangjoho Gondang
Plumbon Blora Embung Jegong
Song Putri Sub DAS Kali Madiun
Wonogiri Magetan Telogo Pasir
Kedungguling Embung Nglompang
Klaten Jombor Embung Taman Arum
Sukoharjo Mulur Embung Titang Krajan
Karanganyar Lalung Ponorogo Telogo Ngebel
Delingan Madiun Dawuhan
Boyolali Cengklik Notopuro
Sragen
Ketro Ngawi Pondok
Embung Pare Sangiran
Embung Kedungsono
2. DAS Brantas
DAS Brantas terletak di Provinsi Jawa Timur dan secara geografis berada pada
110°30′ BT-112°55′ BT dan 7°01′ LS - 8°15′ LS. DAS Brantas memiliki luas
1.194.593 ha dengan panjang sungai utama 320 Km.DAS Brantas berbatasan dengan:
DAS Bengawan Solo di bagian barat; DAS Lamongan dan Selat Madura di bagian
utara; DAS Welang di bagian timur; dan DAS – DAS kecil di bagian selatan. Secara
spasial DAS Brantas dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Secara administrasi, DAS Brantas mencakup 16 Kabupaten dan 6 Kota dimana
persentase luas kabupaten dan Kota dalam DAS paling besar berada pada Kabupaten
Kediri, Kota Batu, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto,
Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Sidoarjo dimana 100% wilayahnya berada pada
DAS Brantas, menyusul Kabupaten Jombang yaitu 96,29 % dan Kabupaten Blitar yaitu
94,65% dan kabupaten/kota lainnya seperti terlihat pada tabel 3.10. dan peta
administrasi dapat dilihat pada Gambar 3.6.
III - 12
Gambar 3.5. Peta Batas DAS Brantas
Tabel 3.10. Persentase Luas Kabupaten dalam DAS Brantas
No Kabupaten Luas
Kabupaten (Ha)
Luas Kabupaten dalam DAS (Ha)
% luas dalam DAS
1 Blitar 133.648 126.494,44 94,65%
2 Bojonegoro 219.879 654,18 0,30%
3 Gresik 119.125 12.084,88 10,14%
4 Jombang 111.509 107.373,39 96,29%
5 Kediri 138.605 138.605 100,00%
6 Kota Batu 13.674 13.674 100,00%
7 Kota Blitar 3.257 3.257 100,00%
8 Kota Kediri 6.340 6.340 100,00%
9 Kota Malang 14.528 7.376,01 50,77%
10 Kota Mojokerto 1.647 1.647 100,00%
11 Kota Surabaya 35.054 27.154,84 77,47%
12 Lamongan 178.205 188,03 0,11%
13 Lumajang 179.090 458,18 0,26%
14 Madiun 103.758 19.968,61 19,25%
15 Malang 353.065 229.390,82 64,97%
16 Mojokerto 71.783 71.783 100,00%
17 Nganjuk 122.425 122.425 100,00%
18 Pasuruan 147.402 41.153,55 27,92%
19 Ponorogo 130.570 8.588,85 6,58%
20 Sidoarjo 63.438 63.438 100,00%
21 Trenggalek 114.722 97.705,08 85,17%
22 Tulungagung 105.565 94.364,46 89,39%
III - 13
Gambar 3.6. Peta Administrasi DAS Brantas
2.1. Karakteristik Lingkungan
a. Karakteristik Fisik
DAS Brantas terdiri dari 13 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa,
Dataran Organik/Koral Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Struktural Blok
Selatan Jawa, Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng – Rembang, Dataran
Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung, Pegunungan Struktural Blok
Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung,
Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng – Rembang, Perbukitan Karst Jalur
Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu – Blambangan, Perbukitan Struktural
Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng – Rembang dan
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung. Sebaran satuan
ekoregion dalam DAS Brantas dapat dilihat pada Gambar peta ekoregion DAS
Brantas.
III - 14
Gambar 3.7. Peta Ekoregion DAS Brantas
Satuan ekoregion terluas di DAS Brantas berupa Dataran Vulkanik Jalur
Gunung Karang - Merapi - Raung (V3) yaitu seluas 456.071 Ha (38.18%)
menyusul Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung (V2)
seluas 229.127 Ha (19.18%). Masing-masing luasan ekoregion dalam DAS Brantas
dapat dilihat pada Tabel ekoregion DAS Brantas berikut.
Tabel 3.11. Luas Satuan Ekoregion DAS Brantas
NAMA KODE LUAS (ha) (%)
Danau 2.452 0,21%
Dataran Fluvial Jawa F 120.860 10,12%
Dataran Organik/Koral Jawa O2 28 0,00%
Dataran Pantai Utara Jawa M1 20.364 1,70%
Dataran Struktural Blok Selatan Jawa S31 36.858 3,09%
Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S32 28.350 2,37%
Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 456.071 38,18%
Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 2.166 0,18%
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 155.806 13,04%
Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng - Rembang K2 4.317 0,36%
Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu - Blambangan
K1 33.495 2,80%
Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 53.729 4,50%
Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 50.969 4,27%
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 229.127 19,18%
III - 15
Jenis tanah pada DAS Brantas sangat bervariasi yaitu terdiri dari 32 jenis
tanah dimana jenis tanah Regosol Coklat Kekelabuan menempati luasan yang
tertinggi yaitu 174.150,15 Ha (14,01%) dan menyusul jenis tanah Aluvial Kelabu
dengan luas 140.466,83 Ha (11,30%). Untuk melihat sebaran jenis tanah pada DAS
Brantas dapat dilihat pada gambar peta jenis tanah DAS Brantas.
Gambar 3.8. Peta Jenis Tanah DAS Brantas
Penggunaan lahan pada DAS Brantas dibagi ke dalam 11 penggunaan lahan
yaitu Hutan Primer, Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman,
Rawa, Sawah, Semak/Belukar, Tambak/Empang, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang.
Sebaran penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar peta penggunaan lahan
DAS Brantas.
III - 16
Gambar 3.9. Peta Penggunaan Lahan DAS Brantas
Penggunaan lahan untuk sawah menempati luasan terbesar yaitu 384.720,12
Ha (30,90%) menyusul tegalan/ladang 301.991,79 Ha (24,26%). Luasan tiap-tiap
penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel penggunaan lahan DAS Brantas
berikut.
Tabel 3.12. Luas Penggunaan Lahan DAS Brantas
LC_2011 LUAS (ha) (%)
Hutan Primer 72.073 6,03%
Hutan Sekunder 55.113 4,61%
Kebun Campuran 49.541 4,15%
Mangrove 114 0,01%
Perkebunan 155.241 13,00%
Permukiman 153.865 12,88%
Rawa 141 0,01%
Sawah 377.601 31,61%
Semak/Belukar 1.379 0,12%
Tambak/Empang 21.073 1,76%
Tanah Terbuka 6.234 0,52%
Tegalan/Ladang 297.840 24,93%
Tubuh Air 4.377 0,37%
III - 17
b. Karakteristik Sosial
Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Brantas tahun 2012 kurang lebih adalah
15.021.100jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun
2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi JawaTimur. Dengan
luas DAS sebesar 1.194.593 Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Citarum
adalah 12.57 Jiwa/Ha atau sekitar 1.257 Jiwa/Km2. Pertumbuhan penduduk dan
jumlah penduduk pada DAS Brantas dapat dilihat pada Tabel perkiraan jumlah
penduduk DAS Brantas.
Tabel 3.13. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Brantas Tahun 2012
No Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS
Jumlah Penduduk
2010
Pertumbuhan Penduduk
(%)
Jumlah Penduduk DAS Tahun
2012
1 Jawa Timur Blitar 94,65% 1116639 0,48 1.067.041
2 Jawa Timur Bojonegoro 0,30% 1209973 0,38 3.627
3 Jawa Timur Gresik 10,14% 1177042 1,60 123.259
4 Jawa Timur Jombang 96,29% 1202407 0,66 1.173.146
5 Jawa Timur Kediri 100,00% 1499768 0,64 1.519.026
6 Jawa Timur Kota Batu 100,00% 190184 1,25 194.968
7 Jawa Timur Kota Blitar 100,00% 131968 1,02 134.674
8 Jawa Timur Kota Kediri 100,00% 268507 0,95 273.633
9 Jawa Timur Kota Malang 50,77% 820243 0,81 423.219
10 Jawa Timur Kota Mojokerto 100,00% 120196 1,00 122.612
11 Jawa Timur Kota Surabaya 77,47% 2765487 0,62 2.168.952
12 Jawa Timur Lamongan 0,11% 1179059 -0,02 1.244
13 Jawa Timur Lumajang 0,26% 1006458 0,42 2.597
14 Jawa Timur Madiun 19,25% 662278 0,35 128.352
15 Jawa Timur Malang 64,97% 2446218 0,87 1.617.114
16 Jawa Timur Mojokerto 100,00% 1025443 1,23 1.050.824
17 Jawa Timur Nganjuk 100,00% 1017030 0,44 1.026.000
18 Jawa Timur Pasuruan 27,92% 1512468 1,03 431.013
19 Jawa Timur Ponorogo 6,58% 855281 0,16 56.440
20 Jawa Timur Sidoarjo 100,00% 1941497 2,21 2.028.259
21 Jawa Timur Trenggalek 85,17% 674411 0,37 578.633
22 Jawa Timur Tulungagung 89,39% 990158 0,64 896.467
Total Jumlah Penduduk 15.021.100
III - 18
2.2. Permasalahan Lingkungan
Permasalahan lingkungan di DAS Brantas dapat dilihat dari 2 kondisi yaitu
kondisi DAS Brantas hulu dan kondisi DAS Brantas tengah-hilir. Penjabaran
mengenai kondisi dan permasalahan lingkungan yang terdapat di DAS Brantas
hulu adalah sebagai berikut:
a. Kota Batu terdapat lahan kritis di dalam kawasan hutan + 925 Ha dan diluar
kawasan hutan + 1.899 Ha;
b. Kabupaten Malang lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 10.473 Ha dan
diluar kawasan hutan sebesar 46.315 Ha;
c. DAS Brantas hulu erosi mencapai 2,268 ton/ha/tahun terjadi peningkatan 300%;
d. Kondisi Mata Air terutama di enam gunung yang menjadi hulu mata air DAS
Brantas telah hilang sebanyak 200 titik mata air dari 421 mata air, di Batu
sebanyak 109 mata air atau tinggal 57 mata air;
e. Alih fungsi lahan yang mempunyai kemiringan lereng lebih dari 45%
seharusnya merupakan kawasan lindung saat ini sudah beralih fungsi dengan
pola tanam tanaman semusim.
Sedangkan permasalahan dan kondisi DAS Brantas bagian tengah-hilir
digunakan untuk mencuci dan mandi walaupun dengan kondisi sungai sudah
tercemar, drainase tersumbat oleh sampah, MCK langsung dialirkan ke sungai,
industri terletak di sempadan sungai, jamban yang letaknya dibantaran sungai,
serta pembuangan liar lumpur tinja.
2.3. Upaya yang Telah Dilakukan
Upaya yang telah dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran
lingkungan di DAS Brantas sebagai berikut :
Sosialisasi dan pendampingan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian
pencemaran;
Perencanaan dan pembangunan IPAL Komunal sistem Cluster;
Bimbingan teknis program produksi bersih/ produktivitas ramah lingkungan dan
demplot sarana pengolahan limbah;
III - 19
Evaluasi kinerja sarana pengolahan limbah/ IPAL industri dan domestik serta
pemanfaatannya untuk masyarakat;
Penerapan audit lingkungan dan Sistem Manajemen Lingkungan bagi industri
potensi pencemaran dan penegakan hukum lingkungan bagi industri;
Program patroli air dan garda lingkungan wilayah DAS Brantas;
Monitoring kualitas air, perhitungan daya tampung dan indeks biodiversitas
DAS Brantas.
Sebagai indikator terjadinya penurunan beban pencemaran air DAS Brantas adalah
Hasil penelitian terhadap biodiversitas/keanekaragaman jenis biota air di DAS
Brantas tahun 2012 semakin meningkat yang diperoleh jumlahspesies 42 jenis,
Hasil pengamatan Tim Patroli Air pada kondisi saat ini, semakin meningkatnya
masyarakat memanfaatkan air sungai Brantas sebagai sarana memancingan
Hasil pengujian kandungan logam berat pada air badan air dan sedimen di Kali
Surabaya pada 10 titik lokasi (stasiun Kedung klinter s/d Gunungsari) secara
umum memenuhi Baku Mutu Lingkungan antara lain : pada ABA -Chrom
(Cr)=0.02 mg/l; Tembaga (Cu) = 0,0169 mg/l; Air Raksa (Hg) = 0.0002 mg/l,
Pada sedimen : Chrom (Cr)=0.02 mg/l; Tembaga (Cu)= 0,291 mg/l; Air Raksa
(Hg) = 0.0002 mg/l.
Sementara upaya yang telah dilakukan dalam rangka pengendalian kerusakan
lingkungan di DAS Brantas sebagai berikut :
Rencana tindak vegetatif dimana arahan lokasi kegiatan adalah sasaran lokasi
hanya yang terdapat di dalam Sub-DAS prioritas. Dilakukan pada area dengan
tingkat kelerengan kurang dari 40% atau area-area yang masih dapat dijangkau
dalam operasional kegiatan vegetatif, sedangkan selebihnya dibiarkan terjadi
suksesi secara alami. Tidak dilakukan di dalam taman nasional dan cagar alam.
Di luar kawasan hutan hanya dilakukan di area lahan terbuka dan semak
belukar, lainnya diharapkan muncul sebagai inisiatif masyarakat melalui
kegiatan pendampingan yang mendorong untuk alih komoditas dari tanaman
musiman ke tanaman tahunan terutama di area lahan kritis. Tidak hanya
dilakukan di lahan kritis melainkan juga di areal-areal yang mempunyai tutupan
III - 20
lahan terbuka dan semak belukar untuk di luar kawasan hutan dan ditambah
dengan pertanian lahan kering untuk area kawasan hutan.
Rencana tindak sipil teknis untuk DAM pengendali pada 59 lokasi di 9
kabupaten. DAM penahan 162 unit berada di dlm kawasan dan dan 243 di luar
kawasan hutan. Embung ada 547 embung. Program sumur resapan dan biopori
ada 119.120 buah.
3. DAS Ciliwung
DAS Ciliwung merupakan salah satu pemasok air yang penting bagi DKI Jakarta.
Disisi lain, apabila DAS Ciliwung meluap dampak yang ditimbulkannya akan langsung
mengenai jantung Ibukota dan pusat-pusat ekonomi yang penting di DKI Jakarta.Luas
areal DAS Ciliwung sebesar 44.007 Ha. Panjang sungai utamanya adalah kurang lebih
117 km.DAS Ciliwung berbatasan dengan:
a. Bagian barat : berbatasan dengan DAS Angke dan DAS Krukut
b. Bagian selatan : berbatasan dengan DAS Citarum dan DAS Citarik
c. Bagian timur : berbatasan dengan DAS Bekasi dan DAS Sunter
d. Bagian utara : berbatasasn dengan Laut Jawa
Gambar 3.10. Peta Batas DAS Ciliwung Gambar 3.11. Peta Administrasi DAS Ciliwung
III - 21
Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung mencakup dalam 2 provinsi
yang terdiri dari 10 kota/kabupaten. Secara rinci, besarnya kota/kabupaten yang masuk
dalam DAS Ciliwung dapat terlihat pada Tabel berikut:
Tabel 3.14. Persentase Luas Kota/Kabupaten dalam DAS Ciliwung
No. Kabname Luas (Ha) Luas Kab.
(Ha) (%)
1 Bogor 20.421 271.062 7,53%
2 Cianjur 390 384.016 0,10%
3 Kota Bogor 3.068 11.850 25,89%
4 Kota Depok 5.815 20.029 29,03%
5 Kota Jakarta Barat 575 12.444 4,62%
6 Kota Jakarta Pusat 3.810 5.238 72,74%
7 Kota Jakarta Selatan 3.996 15.432 25,89%
8 Kota Jakarta Timur 2.817 18.270 15,42%
9 Kota Jakarta Utara 3.070 13.999 21,93%
10 Sukabumi 44 414.570 0,01%
3.1. Karakteristik Lingkungan
a. Karakteristik Fisik
DAS Ciliwung terdiri dari 4 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa,
Dataran vulkanik jalur Gunung Karang-Merapi-Raung, Perbukitan vulkanik jalur
Gunung Karang-Merapi-Raung, dan Pegunungan vulkanik jalur Gunung Karang-
Merapi-Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Ciliwung dapat dilihat pada
Gambar peta ekoregion DAS Ciliwung.
Tabel 3.15. Luas Satuan Ekoregion DAS Ciliwung
NAMA KODE LUAS (ha) (%)
Dataran Fluvial Jawa F 8.494 19,30%
Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung
V3 14.492 32,93%
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung
V1 8.735 19,85%
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung
V2 12.284 27,92%
III - 22
Gambar 3.10. Peta Ekoregion DAS Ciliwung Gambar 3.11. Peta Tanah DAS Ciliwung
Tanah yang terbentuk pada umumnya berasal dari bahan induk abu volkan
dan batuan piroklastik. Berdasarkan Peta Tanah Semi Detil Tahun 1992 skala
1:50.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, jenis
tanah yang terdapat di daerah penelitian meliputi order Aluvial, Andosol, Regosol
dan Latosol.Andisol terbentuk dari pelapukan bahan induk volkan yang
menghasilkan bahan amorf. Bahan amorf terdiri dari alofan, ferrihidrit, dan
senyawa kompleks humus-aluminium. Tanah ini berwarna hitam kelam, berbobot
isi rendah (<0,85g/cm3), dan dikenal terasa berminyak (smeary) bila diremas
karena mengandung 36 bahan organik antara 8 hingga 30%. Andisol banyak
ditemukan di daerah berelevasi tinggi seperti lereng atas dan sekitar puncak
Gunung Mandalawangi, Gunung Joglog, Gunung Sumbul, dan Gunung Mas.
Umumnya Andisol berada dalam bentuk Konsosiasi Typic Hapludands, dan
Asosiasi Typic Hapludands dan TypicTropopsamments. Luas masing-masing jenis
tanah DAS Ciliwung dan persebarannya dapat dilihat pada Tabel 3.16 dan Gambar
3.11.
III - 23
Tabel 3.16. Luas Masing – Masing Jenis Tanah DAS Ciliwung
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Aluvial Hidromorf 936 2,15%
Aluvial Kelabu Tua 3.533 8,10%
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 5.180 11,87%
Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 161 0,37%
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat 5.150 11,80%
Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan 21.242 48,69%
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 229 0,52%
Latosol Coklat 4.626 10,60%
Latosol Coklat Tua Kemerahan 2.548 5,84%
Regosol Coklat 23 0,05%
Tingkat penggunaan lahan (land cover) merupakan indikator penting dalam
mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya
daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi saat
musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau. Jenis dan luas
penggunaan lahan yang terdapat di DAS Ciliwung dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.17. Penggunaan Lahan DAS Ciliwung
LC_2011 LUAS (ha)
(%)
Hutan Primer 312 0,71%
Hutan Sekunder 3.055 6,94%
Kebun Campuran 11.263 25,59%
Perkebunan 2.228 5,06%
Permukiman 23.686 53,81%
Rawa 45 0,10%
Sawah 183 0,41%
Semak/Belukar 106 0,24%
Tanah Terbuka 20 0,05%
Tegalan/Ladang 3.035 6,89%
Tubuh Air 85 0,19%
Tabel 3.12. Penggunaan Lahan DAS Ciliwung
III - 24
Berdasarkan tabel diatas penggunaan lahan di DAS Ciliwung dibedakan
menjadi 8 kelas penggunaan lahan yaitu; perkebunan, permukiman, rawa, sawah,
semak/belukar, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Tutupan lahan di DAS
Ciliwung sebagian besar merupakan permukiman yang mencakup kawasan seluas
23.686 Ha atau meliputi 53.81%. Penggunaan lahan terbesar kedua adalah
tegalan atau ladang seluas 3.035 ha atau sebesar 6.89%.
b. Karakteristik Sosial
Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Ciliwung tahun 2012 kurang lebih
adalah 7.370.265 jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk
tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk masing-masing
kabupaten/kota yang berada di dalam DAS. Dengan luas DAS sebesar 44.007 Ha,
maka kepadatan penduduk di DAS Citarum adalah 168jiwa/ha. Pertumbuhan
penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Citarum dapat dilihat pada Tabel
perkiraan jumlah penduduk DAS Citarum.
Tabel 3.18. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Ciliwung
Kabupaten % luas dalam DAS
Jumlah Penduduk
2010
jumlah penduduk DAS 2010
Pertumbuhan Penduduk (%)
Jumlah Penduduk DAS Tahun
2012
Bogor 0,08 4771932 366.602 3,15 390.062
Cianjur 0,00 2171281 2.211 1,11 2.261
Kota Bogor 0,30 950334 280.869 2,40 294.512
Kota Depok 0,52 1738570 908.903 4,32 989.128
Sukabumi 0,00 2341409 1.571 1,22 1.609
Kota Jakarta Barat 0,06 2.281.945 136.434 1,82 141.446
Kota Jakarta Pusat 0,82 902.973 744.288 0,31 748.909
Kota Jakarta Selatan 0,34 2.062.232 692.097 1,45 712.313
Kota Jakarta Timur 1,00 2.693.896 2.693.896 1,38 2.768.761
Kota Jakarta Utara 0,78 1.645.659 1.282.753 1,49 1.321.264
Jumlah Penduduk 7.370.265
3.2. Permasalahan Lingkungan
Berdasarkan paparan BPLHD Prov. Jawa Barat permasalahan yang terdapat
di DAS Ciliwung lebih disebabkan oleh adanya perubahan tata guna lahan
sehingga menimbulkan degradasi DAS. Dampak dari adanya degradasi lahan
terlihat pada menurunnya debit mata air, berkurangnya jumlah dan fungsi situ.
III - 25
Permasalahan lain diangkat oleh BPLHD Prov. Jawa Barat di dalam DAS
Ciliwung adalah adanya ketidaktaatan industri pada pengelolaan limbah B3 yang
tidak sesuai.
Hasil analisa permasalahan di DAS Ciliwung sebagaian besar dalam kondisi
rusak dengan ditandai seringnya terjadi bencana alam banjir, longsor dan
kekeringan sebagai konsekwensi dari penurunan kualitas lingkungan sehingga
menyebabkan kerugian yang sangat luas bagi kepentingan hidup manusia baik
yang hidup di daerah hulu maupun hilir DAS.
Kejadian banjir yang diartikan sebagai luapan air hujan dari penampungan
merupakan fenomena alam sebagai akibat hujan tidak tertampung oleh tanah dan
penampungan permukaan baik dalam bentuk kolam, danau/situ, badan sungai dan
saluran drainase. Faktor yang berpengaruh terhadap fenomena alam banjir ini dapat
dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu faktor bentukan alam, yang
dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi lokal tetapi juga kondisi global (iklim,
pasang surut muka laut, morfologi) dan faktor bentukan manusia (penggunaan
lahan, saluran drainase buatan).
Permasalahan yang terjadi di DAS Ciliwung tidak hanya mengenai banjir
tetapi juga kualitas air yang kurang baik. Hasil laporan tahun 2010 mengenai
kualitas air sungai yang dilakukan oleh Badan pengelola lingkungan hidup daerah
Provinsi DKI Jakarta secara umum diperoleh bahwa kondisi air sungai di DKI
Jakarta dari hulu menuju ke hilir telah buruk kualitasnya, baik itu kualitas fisik,
kualitas kimia maupun kualitas biologi. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengukuran
di lapangan yang dilakukan oleh BPLHD Provinsi DKI Jakarta pada 13 sungai
dengan pengambilan 45 titik pengambilah sempel yang meliputi; 3 peruntukan air
baku air minum (golongan B), peruntukan perikanan dan peternakan (golongan C)
serta peruntukan pertanian dan usaha perkotaan (golongan D). 13 sungai tersebut
yaitu Sungai Ciliwung, Cipinang, Angke, Mookervart, Grogol, Sunter,
Pesanggrahan, Krukut, Tarum Barat, Cengkareng, Kali Baru Timur, Buaran,
Cakung Drain, Blencong, Petukangan dan Kamal.
Dalam menentukan beban pencemar, pengelola lingkungan hidup daerah
Provinsi DKI Jakarta menggunakan parameter yang sesuai dengan SK Gubernur
Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 582 tahun 1995 tentang penetapan
III - 26
peruntukan dan baku mutu air sungai/ badan air serta baku mutu limbah cair di
wilayah DKI Jakarta yang meliputi faktor fisik, kimia dan biologi. Parameter yang
diukur meliputi; Parameter Fisik (DHL, TDS, TSS, Kekeruhan, DO, PH),
Parameter Kimia (Hg, Fe, PB, Cl, NO3, SO4, BOD, COD, dll) dan Parameter
Biologi (bakteri coli dan bakteri coli tinja). Dari seluruh parameter yang diukur,
berdasarkan Indeks Pencemar Sungai, disimpulkan bahwa seluruh sungai di
wilayah DAS Ciliwung (segmen hilir/Wilayah Jakarta) berada dalam kisaran
Cemar Sedang hingga Cemar Berat. Data selengkapnya mengenai kualitas air
sungai-sungai di DAS Ciliwung, dilaporkan secara lengkap dalam Laporan Tahun
2010 Peningkatan Kualitas Air Sungai Provinsi DKI Jakarta.
4. DAS Cisadane
DAS Cisadane secara geografis terletak pada posisi 106028’50” - 106
056’0” BT
dan 600’59”- 6
047’02” LS. Secara administratif DAS Cisadane terletak di 3 Kabupaten
dan 2 Kota yaitu Kab. Bogor, Kab. Sukabumi, Kab. Tangerang, Kota Bogor dan Kota
Tangerang dengan luasan areal DAS Cisadane sebesar 138.308 ha. Persentase masing-
masing luas kabupaten dan kota dalam DAS terlihat pada Tabel 3.19. DAS Cisadane
berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, DAS Citarik bagian selatan, DAS
Ciliwung dan DAS Kali Angke di sebelah timur dan DAS Ciujung, DAS Cimanceri,
DAS Cirarab dan DAS Ciasin dibagian baratnya (Gambar 3.14.).
Tabel 3.19. Presentase Luas Kabupaten dalam DAS
KABNAME LUAS (ha) (%)
Bogor 106.464 76,98%
Kota Bogor 5.193 3,75%
Kota Tangerang 6.771 4,90%
Sukabumi 930 0,67%
Tangerang 18.938 13,69%
III - 27
Gambar 3.14. Peta Batas DAS Cisadane Gambar 3.15. Peta Administrasi DAS Cisadane
4.1. Karakteristik Lingkungan
a. Karakteristik Fisik
DAS Cisadane terdiri dari 5 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa,
Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi –
Raung, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung dan
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung. Sebaran satuan
ekoregion dalam DAS Cisadane dapat dilihat pada Gambar 3.16. Sedangkan luas
masing-masing Ekoregion dalam DAS Cisadane terlihat pada Tabel 3.20.
Tabel 3.20. Satuan Ekoregion DAS Cisadane
Nama Kode Luas (Ha) (%)
Dataran Fluvial Jawa F 5.065 3,66%
Dataran Pantai Utara Jawa M1 1.058 0,76%
Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 40.751 29,46%
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 59.878 43,29%
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 31.557 22,82%
III - 28
Gambar 3.16. Peta Ekoregion DAS Cisadane Gambar 3.17. Peta Tanah DAS Cisadane
Berdasarkan jenis tanahnya, DAS Cisadane memiliki 15 jenis tanah. Data
luasan masing-masing jenis tanah disajikan dalam Tabel 3.21. Dominasi luas jenis
tanah yang terbesar di DAS Cisadane adalah jenis Asosiasi Latosol Merah, Latosol
Coklat Kemerahan dengan luas 30.337 ha. Persebaran jenis tanah ini berada
disepanjang wilayah timur Sub-DAS Cisadane bagian hulu. Latosol coklat
merupakan jenis tanah pegunungan yang berbahan induk Tuf Volkan Intermedier
yang termasuk dalam golongan ultisol.
Tabel 3.21. Luas masing-masing Jenis Tanah DAS Cisadane
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Aluvial Hidromorf 133 0,10%
Aluvial Kelabu Tua 90 0,07%
Andosol Coklat Kekuningan 2.769 2,01%
Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat 12.146 8,80%
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 4.857 3,52%
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Cokl 5.541 4,01%
Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kekunin 9.696 7,03%
Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu 17.351 12,57%
Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan d 30.337 21,98%
Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat 8.078 5,85%
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 6.859 4,97%
Latosol Coklat 12.140 8,80%
III - 29
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Latosol Coklat Kekuningan 2.100 1,52%
Latosol Coklat Tua Kemerahan 19.677 14,26%
Podsolik Merah 6.237 4,52%
Penggunaan lahan di DAS Cisadane dibedakan 12 kelas penggunaan lahan
yaitu hutan primer, sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, rawa,
sawah, semak/belukar, tambak/empang, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh
air. Secara spasial penggunaan lahan DAS Cisadane terlihat pada Gambar 3.20.
Penggunaan lahan di DAS Cisadane sebagian besar merupakan kebun campuran
yang mencakup kawasan seluas 70.908 Ha atau meliputi 51.27%. Penggunaan
lahan terbesar kedua adalah permukiman seluas 16.329 atau 11.81 %.Berikut ini
disajikan tabel penggunaan lahan di DAS Cisadane.
Tabel 3.22. Penggunaan Lahan DAS Cisadane
LC_2011 LUAS (ha) (%)
Hutan Primer 7.416 5,36%
Hutan Sekunder 11.501 8,32%
Kebun Campuran 70.908 51,27%
Perkebunan 13.255 9,58%
Permukiman 16.329 11,81%
Rawa 179 0,13%
Sawah 12.138 8,78%
Semak/Belukar 2.725 1,97%
Tambak/Empang 972 0,70%
Tanah Terbuka 277 0,20%
Tegalan/Ladang 1.804 1,30%
Tubuh Air 808 0,58%
Jumlah 138.312 100,00%
Gambar 3.20. Peta Penggunaan Lahan DAS Cisadane
b. Karakteristik Sosial
Perkiraan jumlah penduduk di DAS Cisadane tahun 2012 kurang lebih
adalah 4.164.964jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk
tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk masing-masing
III - 30
kabupaten/kota yang berada di dalam DAS. Dengan luas DAS sebesar 138.308 Ha,
maka kepadatan penduduk di DAS Cisadane adalah 30jiwa/ha. Pertumbuhan
penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Cisadane dapat dilihat pada Tabel
perkiraan jumlah penduduk DAS Cisadane.
Tabel 3.23. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Cisadane
Kabupaten % luas dalam DAS
Jumlah Penduduk
2010
jumlah penduduk DAS 2010
Pertumbuhan Penduduk
(%)
Jumlah Penduduk DAS
Tahun 2013
Kota Tangerang 0.50 1.798.601 894.205 3.12 950.874
Tangerang 0.26 2.834.376 749.322 4.02 810.778
Bogor 0.39 4.771.932 1.868.856 3.15 1.988.448
Kota Bogor 0.40 950.334 384.541 2.4 403.220
Sukabumi 0.00 2.341.409 11.365 1.22 11.644
Jumlah Penduduk 3.908.289
4.164.964
4.2. Permasalahan Lingkungan
Kualitas air sungau Cisadane tidak semuanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan air domestik, peternakan, industri, perikanan, pemeliharaan sungai dan
pertanian. Berdasarkan PP nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air maka sebagian besar sungai dilakukan
pemantauan. Berdasarkan titik-titik pantau kualitas air DAS Cisadane diketahui
bahwa Sungai Cisadane mengalami permasalahan kualitas air.
Kualitasair sub-DAS Cisadane bagian hulu dipantau dari titik pantau air Pasir
Buncir, Muara Jaya, Cimande Hilir, Batu beulah 1 dan Batu beulah 2. Kualitas air
Sub-DAS Cisadane tengah dipantau dari titik pantau air Putat Nutug, Kerihkil,
Pabuaran, PDAM, Gading Serpong dan Bendung Pasar. Sedangkan kualitas air
Sub-DAS Cisadane hilir dipantau dari titik pantau air di Kali Baru.
Tabel3.24. Permasalahan Kualitas Air di Sungai Cisadane
No Titik Pantau BOD COD DO Koliform Fecal Coli
Bulan Agustus 2005
1 Pasir Buncir IV ^ ^ ++ ++
2 Muara Jaya IV ^ ^ ++ III
3 Cimande Hilir ++ III ^ III ^
4 Legok Muncang III ^ ^ ^ ^
5 Batu beulah 1 ^ ^ ^ ^
6 Batu beulah 2 IV ^ ^ ^ ^
7 Karihkil IV ^ ^ ++ ++
III - 31
No Titik Pantau BOD COD DO Koliform Fecal Coli
8 Putat nutung IV ^ ^ ++ ++
9 Pabuaran ++ III ^ III ^
10 Gunung sindur IV ^ ^ III ^
Bulan April 2005 & 2006
11 PDAM ^ III III ++ ^^
12 Gading Serpong ^ III III ++ ^^
13 Bendung Pasir Batu ^ III III ++ ^^
14 Kali Baru ^ III ^ ^ v
Bulan Desember 2005
1 Pasir Buncir IV ^ ^ ++ ++
2 Muara Jaya IV ^ ^ ++ III
3 Cimande Hilir ++ III ^ III III
4 Legok Muncang III ^ ^ ^ ^
5 Batu beulah 1 III ^ ^ ^ ^
6 Batu beulah 2 III III ^ ^ ^
7 Karihkil IV - ^ ++ ++
8 Putat nutung IV - ^ ++ ++
9 Pabuaran ++ III ^ ++ ^
10 Gunung sindur IV ^ ^ III ^
Bulan November 2005 & 2006
11 PDAM ^ ^ IV ^ ^^
12 Gading Serpong ^ ^ IV ++ ^^
13 Bendung Pasir Batu ^ ^ IV ++ ^^
14 Kali Baru ^ ^ ^ III ^^
Sumber : Pramesti (2007)
Keterangan
Angka romawi : kualitas ke – i
(++) : Melebihi ambang batas
(^) : Memenuhi syarat kualitas air 1 atau 2
(^^) : Tidak ada data
Kualitas air sungai berdasarkan titik pantau Sub-DAS Cisadane bagian hulu
mengalami permasalahan pencemaran karena BOD yang tinggi. Dimulai dari titik
pantau awal kualitas air di Sb-DAS bagian hulu yaitu di Pasir Buncir, sudah
mengalami pencemaran BOD, koliform dan fecal coli. Hal tersebut akan
berdampak pada kualitas air sungai pada bagian bawahnya. Pencemaran
disebabkan oleh beberapa sumber pencemar, diantaranya adalah penduduk, ternak,
industri dan lahan kritis yang berupa erosi dan zat organik serta kegiatan pertanian.
Secara umum permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1. Ketersediaan air di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane secara umum telah
sangat kritis,
III - 32
2. Belum terkendalinya pemanfaatan ruang baik di sepanjang sempadan sungai
maupun pengelolaan di badan sungainya,
3. Ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan semakin
mahal dan langka baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga menimbulkan
berbagai konflik antar sektor maupun antar wilayah,
4. Fluktuasi ketersediaan air permukaan sangat tinggi, sehingga sering terjadi
kebanjiran di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal tersebut
merupakan wujud dari hulu DAS yang fungsi konservasinya telah jauh
berkurang,
5. Belum adanya kesinergian antar wilayah dalam bentuk role sharing antara
Propinsi/Kabupaten/Kota Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hilir dalam rangka
penanganan hulu DAS.
6. Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS
yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang
tahun
5. DAS Cimanuk
DAS Cimanuk memiliki panjang 337,67 km merupakan sungai terpanjang kedua
di Jawa Barat yang mampu menyediakan 2,2 miliar m3 air per tahun, yang sebagian
besar di digunakan untuk irigasi lahan pertanian. DAS Cimanuk terbentang dari 9
Kabupaten yakni Bandung, Ciamis, Cirebon, Garut, Indramayu, Kuningan,
Majalengka, Sumedang dan Tasikmalaya seperti terlihat pada Gambar 3.22.
DAS Cimanuk berbatasan dengan Laut Jawa di bagian utara, DAS Ciwulan dan
DAS Cikandang bagian selatan, DAS Citanduy dan DAS Cisanggarung di sebelah
timur dan DAS Citarum di sebelah baratnya.DAS Cimanuk merupakan penopang
utama sumberdaya air di Jawa Barat (Gambar 3.21.). Luas DAS Cimanuk 374.153 ha.
III - 33
Gamba3 3.21. Peta Batas DAS Cimanuk Gambar 3.22. Peta Administrasi DAS Cimanuk
Tabel 3.25. Presentase Luas Kabupaten/Kota dalam DAS Cimanuk
KABNAME LUAS (ha) (%)
Bandung 1.527 0,41%
Ciamis 854 0,23%
Cirebon 141 0,04%
Garut 116.621 31,18%
Indramayu 50.576 13,52%
Kuningan 234 0,06%
Majalengka 97.853 26,17%
Sumedang 105.657 28,25%
Tasikmalaya 503 0,13%
5.1. Karakteristik Lingkungan
a. Karakteristik Fisik
DAS Cimanuk terdiri dari 8 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa,
Dataran Organik/Koral Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Vulkanik Jalur
Gunung Karang - Merapi – Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa,
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung, Perbukitan
Struktural Jalur Bogor - Kendeng – Rembang dan Perbukitan Vulkanik Jalur
Gunung Karang - Merapi – Raung. Sebaran satuan ekoregion DAS Cimanuk dapat
III - 34
dilihat pada Gambar 3.23. Sedangkan luas masing-masing Ekoregion dalam DAS
Cisadane terlihat pada Tabel 3.26.
Gambar 3.23. Peta Ekoregion DAS Cimanuk Gambar 3.24. Peta Jenis Tanah DAS Cimanuk
Tabel 3.26. Satuan Ekoregion DAS Cimanuk
NAMA KODE LUAS (ha) (%)
Dataran Fluvial Jawa F 60.221 16,10%
Dataran Organik/Koral Jawa O2 18 0,00%
Dataran Pantai Utara Jawa M1 9.713 2,60%
Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 51.016 13,64%
Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 3.334 0,89%
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 89.324 23,87%
Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 62.109 16,60%
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 98.418 26,30%
Jenis tanah DAS Cimanuk bagian hulu lebih kurang dari 32% adalah
Regosol. Jenis tanah yang ada berupa Regosol Abu-abu hingga Regosol Coklat
Abu-abu, yang memiliki kedalaman sedang hingga dalam dan bertekstur lempung
(Loam) hingga lempung berpasir (Sandy Loam). Jenis tanah lain yang ada berupa
Latosol (25%). Andosol merupakan jenis tanah lain yang banyak ditemui, dengan
sebaran luasan 17%, berupa tanah coklat dengan kedalaman sangat dalam dan
bertekstur lempung.
III - 35
Pada ruas DAS bagian Tengah hampir 70% berupa tanah Latosol. Pada
daerah sekitar sungai dan tributary, tanah yang ditemui adalah Aluvial dengan
kedalaman agak dalam dan tekstur tanah liat berat berwarna keabu-abuan. Pada
DAS Cimanuk bagian Hulu dan Tengah, jenis tanah yang banyak dijumpai adalah
Latosol, Regosol, dan Andosol. Jenis tanah yang ada di bagian hilir pada umumnya
adalah Tanah Gley (78%) dan Alluvial (18%) sedangkan sisanya berupa tanah
Mediteran dan Podzolik.
Tabel 3.27. Luas masing-masing Jenis Tanah DAS Cimanuk
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Aluvial Coklat Kelabu 11.809 3,18%
Aluvial Hidromorf 3.630 0,98%
Aluvial Kelabu Tua 2.803 0,76%
Andosol Coklat 5.563 1,50%
Andosol Coklat Kekuningan 3.609 0,97%
Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat 45.662 12,30%
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 54.300 14,63%
Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 22.604 6,09%
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Cokl 39.133 10,54%
Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu 8.289 2,23%
Asosiasi Mediteran Coklat dan Litosol 7.458 2,01%
Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu 6.191 1,67%
Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol 175 0,05%
Grumusol Kelabu 2.758 0,74%
Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediteran 26.878 7,24%
Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 6.155 1,66%
Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kunin 18.148 4,89%
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 5.761 1,55%
Kompleks Regosol dan Litosol 20.721 5,58%
Latosol Coklat 35.691 9,62%
Latosol Coklat Kekuningan 338 0,09%
Latosol Coklat Kemerahan 31.731 8,55%
Latosol Coklat Tua Kemerahan 7.541 2,03%
Regosol Coklat 3.908 1,05%
Regosol Kelabu 319 0,09%
Penggunaan lahan di DAS Cimanuk dibedakan 12 kelas penggunaan lahan
yaitu hutan primer, sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, rawa,
sawah, semak/belukar, tambak/empang, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh
III - 36
air. Secara spasial pemggunaan lahan yang terdapat di DAS Cimanuk terlihat pada
Gambar 3.25. Penggunaan lahan di DAS Cimanuk sebagian besar merupakan
sawah yang mencakup kawasan seluas 122.436 ha atau meliputi 32.72%.
Penggunaan lahan terbesar kedua adalah Kebun Campuran seluas 70.765 ha atau
18.91 %. Berikut ini disajikan Tabel penggunaan lahan di DAS Cimanuk.
Tabel 3.28. Luas Penggunaan Lahan DAS Cimanuk
LC_2011 LUAS (ha) (%)
Hutan Primer 1.548 0,41%
Hutan Sekunder 33.078 8,84%
Kebun Campuran 70.765 18,91%
Perkebunan 1.110 0,30%
Permukiman 14.781 3,95%
Rawa 6 0,00%
Sawah 122.436 32,72%
Semak/Belukar 6.306 1,69%
Tambak/Empang 1.605 0,43%
Tanah Terbuka 5.938 1,59%
Tegalan/Ladang 114.782 30,68%
Tubuh Air 1.797 0,48%
Jumlah 374.153 100,00%
Gambar 3.25. Peta Penggunaan Lahan DAS Cimanuk
b. Karakteristik Sosial
Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Cimanuk tahun 2012 sebesar 3.263.247
jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010
dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk kabupaten/kota yang berada di
DAS Cimanuk.
Tabel 3.29. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Citanduy Tahun 2012
Provinsi Kabupaten % luas
dalam DAS
Jumlah Penduduk
2010
Pertumbuhan Penduduk (%)
Jumlah Penduduk DAS Tahun
2012
Jawa Barat Bandung 0.01 3178543 2.57 39,135
Jawa Barat Ciamis 0.01 1532504 0.47 9,572
III - 37
Provinsi Kabupaten % luas
dalam DAS
Jumlah Penduduk
2010
Pertumbuhan Penduduk (%)
Jumlah Penduduk DAS Tahun
2012
Jawa Barat Garut 0.37 2404121 1.61 922,680
Jawa Barat Indramayu 0.26 1663737 0.46 442,495
Jawa Barat Kuningan 0.00 1035589 0.51 4,048
Jawa Barat Majalengka 0.90 1166473 0.4 1,054,971
Jawa Barat Sumedang 0.70 1093602 1.23 786,661
Jawa Barat Tasikmalaya 0.00 1675675 1.15 3,684
Jumlah Penduduk 3,263,247
5.2. Permasalahan Lingkungan
Degradasi kualitas lingkungan DAS Cimanuk ditengarai dengan tingginya
prosentasi lahan kritis (di dalam maupun diluar kawasan hutan) sehinga laju erosi
lahan dan sedimentasi disungai meningkat, yang selanjutnya akan mempercepat
sedimentasi di danau, waduk dan saluran-saluran irigasi. Secara umum,
permasalahan lingkungan yang terjadi di DAS Cimanuk berupa:
1. Salah satu indikator yang menjadikan DAS Cimanuk sebagai DAS yang paling
kritis adalah fluktuasi debit pada saat musim kemarau dan musim hujan.
Fluktuasi debit pada saat musim kemarau dan musim hujan terlihat pada
Gambar berikut:
(Sumber : Balai Data dan Informasi SDA, PSDA Jawa Barat)
2. Kekeringan sering terjadi di pantura Ciayu pada musim kemarau yang
mengancam lahan pertanian. Disisi lain, banjir mengancam lahan pertanian dan
perekonomian daerah pada saat musim hujan. Bencana kekeringan pada musim
kemarau selalu melanda daerah Pantura Cirebon – Indramayu. Di Kabupaten
Indramayu terdapat 13 lokasi rawan banjir seluas 8.834 ha yang perlu mendapat
perhatian dan penanganan lebih lanjut. Sedang lokasi kritis sungai-sungai di
III - 38
wilayah Indramayu mencapai 30 tempat. Di daerah hilir terutama di musim
hujan S. Cimanuk sering meluap dan menggenangi lahan persawahan.
3. Neraca air pada periode bulan Januari - Oktober 2013 berdasarkan data
menunjukkan neraca air maksimum tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan
nilai 523,93 dan neraca air minimum terendah terjadi pada bulan Oktober
dengan nilai 17,36. Nilai Q rata-rata tertinggi pada bulan Januari yaitu 330,93
dan Q rata-rata minimum terendah pada bulan September yaitu 46,17.
4. Daerah Tangkapan air sepanjang DAS Cimanuk banyak terdapat lahan kritis,
disertai peningkatan erosi lahan. Kerusakan dan lahan kritis pada daerah aliran
sungai atau DAS Cimanuk, yang melintas dari Kabupaten Garut hingga
Indramayu, ternyata relatif parah.
5. Berdasarkan data BPDAS Cimanuk Citanduy terkait dengan perubahan tutupan
lahan dianggap menjadi salah satu permasalahan yang benimbuklan dampak
yang sangat besar terhadap kerusakan lingkungan. Gambar perubahan tutupan
lahan tahun 1999, 2005 dan 2011 terlihat pada Gambar Berikut.
6. Data BPDAS Cimanuk Citanduy Menunjukkan bahwa kondisi lahan sangat
kritis seluas 1.137,20 Ha dan luas lahan kritis seluas 13.532,20 Ha yang
seluruhnya menjadi prioritas untuk perbaikan tutupan vegetasi. Sedangkan data
tahun 2013 menunjukkan perluasan lahan kritis yaitu luasan lahan sangat kritis
1.966,39 Ha, luas lahan kritis 14.854,88 Ha. Namun terjadi penurunan luas
lahan agak kritis yaitu 77.250 ha. Beberapa program dan kegiatan terkait
rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan pada DAS Cimanuk berupa;
III - 39
reboisasi kawasan konservasi, rehabilitasi kawasan fungsi lindung, rehabilitasi
hutan dan lahan melalui kebun bibit rakyat, rehabilitasi lahan melalui
pembangunan hutan kota, rehabilitasi mangrove dan hutan pantai,
pengembangan hutan kemitraan, pembangunan infrastruktur untuk konservasi
tanah dan air.
7. Erosi di DAS Cimanuk menimbulkan sedimentasi di Sungai Cimanuk. Erosi
banyak terjadi di bagian hulu sungai dan sedimentasi terjadi di bagian tengah
maupun hilir sungai. Data BPDAS Cimanuk Citanduy menujukkan bahwa
tingginya tingkat erosi pada DAS Cimanuk disebabkan akibat penggunaan lahan
di wilayah hulu tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah. Juga akibat
kawasan lindung yang dijadikan pertanian intensif. Selain erosi praktek ini juga
menyebabkan sedimentasi dan banjir.
8. Kajian kebutuhan komposting untuk timbulan sampah 2,5 L/orang/hari dengan
komposisi 60% sampah organik, pada segmen Majalengka diperlukan 164 unit,
Garut 112 unit, Indramayu 21 unit, Sumedang 24 unit
9. Kualitas air di DAS Cimanuk dapat dikategorikan buruk karena hal-hal sebagai
berikut:
a) Hampir semua sungai membawa zat padat terlarut dalam alirannya, dengan
kadar yang tinggi, sebagai indikasi adanya erosi lahan di DAS.
b) Parameter COD dan BOD melebihi baku mutu yang disyaratkan.
c) Parameter Phosfat (PO4) dan Chlorida (Cl) melebihi baku mutu yang
disyaratkan, kemungkinan dari limbah pertanian dan perkebunan.
III - 40
d) Hampir seluruh aliran sungai tercemar sulfat (SO4), sulfida (H2S), besi (Fe),
mangaan (Mn) dan seng (Zn) secara berlebihan.
Data BPLHD Jabar menunjukkan bahwa status mutu air rata-rata DAS
Cimanuk pada tahun 2012 berdasarkan hasil evaluasi dengan menggunakan
metode Storet berdasarkan BMA PP nomor 82 tahun 2001 pada kelas II
menunjukkan bahwa seluruh lokasi tercemar berat. Segmentasi DAS Cimanuk
terdiri segmen 1 yaitu bagian hulu meliputi kabupaten Garut, segmen 2 di
kabupaten Sumedang, segmen 3 kabupaten Majalengka, segmen 4 atau bagian
hilir di kabupaten Indramayu. Berdasarkan Pergub Jabar Nomor 12 tahun 2013
BMA DAS Cimanuk ditetapkan bahwa segmen 1 sampai segmen 3 ditetapkan
sebagai klas II dan segmen 4 ditetapkan sebagai klas 3. Kondisi BMA DAS
Cimanuk saat ini segmen 1 sampai segmen 4 adalah cemar berat atau masuk klas
IV. Sedangkan telah ditetapkan mutu air sasaran DAS Cimanuk untuk segmen 1
dan 2 adalah klas II serta segmen 3 dan 4 adalah klas III.
Berdasarkan hasil uji kualitas Air pada beberapa segmen, terdapat beberapa
parameter yang melebihi baku mutu berdasar BMA PP 82/2001 yaitu BOD, COD,
Nitrat, Sulfida, Koli Tinja dan Koli Total di lokasi Boyongbong, Sukaregang,
Wado, Tomo, Jatibarang. Upaya mitigasi yang dilakukan untuk memperbaiki
kualitas air DAS Cimanuk akibat limbah domestik antara lain melalui intervensi
pembangunan IPAL komunal dan komposting. Kajian terhadap kebutuhan IPAL
untuk skala 250 orang atau 50 KK masing-masing 5 jiwa pada segmen
Majalengka diperlukan 230 unit, segmen Garut 405 unit, Indramayu 120 unit,
Sumedang 144 unit.
6. DAS Citanduy
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy terletak di Provinsi Jawa Tengah dan
Jawa Barat dengan luas wilayah365.172 Ha. DAS Citanduy mencakup 11
kabupaten/kota yaitu Kab. Banyumas, Kab. Brebes, Kab. Ciamis, Kab. Cilacap, Kab.
Garut, Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kab.Majalengka, Kab.
Sumedang dan Kab. Tasikmalaya. DAS Citanduy berbatasan dengan Samudera Hindia
dibagian selatan, dengan DAS Pemali dan DAS Cibeureum di bagian timur, DAS
Cimanuk dan DAS Cisanggarung di bagian utara dan DAS Cimanuk di bagian barat.
III - 41
Gambar 3.26. Peta Batas DAS Citanduy
Gambar 3.27. Peta Administrasi DAS Citanduy
III - 42
Tabel 3.30. Presentasi Luas Kabupaten/Kota dalam DAS Citanduy
KABNAME LUAS (ha) (%)
Banyumas 332 0,09%
Brebes 48 0,01%
Ciamis 178.939 49,00%
Cilacap 95.612 26,18%
Garut 1.956 0,54%
Kota Banjar 12.812 3,51%
Kota Tasikmalaya 13.374 3,66%
Kuningan 11.917 3,26%
Majalengka 575 0,16%
Sumedang 3 0,00%
Tasikmalaya 49.601 13,58%
6.1. Karakteristik Lingkungan
a. Karakteristik Fisik
Gambar 3.28. Peta Ekoregion DAS Citanduy
DAS Citanduy terdiri dari 11 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa,
Dataran Pantai Selatan Jawa, Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng –
Rembang, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung, Pegunungan
Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng –
III - 43
Rembang, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung,
Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu – Blambangan,
Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor -
Kendeng – Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi –
Raung. Sebaran satuan ekoregion DAS Citanduy dapat dilihat pada Gambar 3.28.
Sedangkan luas masing-masing Ekoregion dalam DAS Citanduy terlihat pada
Tabel 3.31 berikut
Tabel 3.31. Satuan Ekoregion DAS Citanduy
NAMA KODE LUAS (ha)
(%)
Dataran Fluvial Jawa F 46.183 12,65%
Dataran Pantai Selatan Jawa M2 36 0,01%
Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S32 10.339 2,83%
Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 45.324 12,41%
Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 12.695 3,48%
Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S12 44.574 12,21%
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 31.529 8,63%
Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu - Blambangan
K1 421 0,12%
Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 36.469 9,99%
Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 82.045 22,47%
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 55.573 15,22%
Secara umum jenis tanah dominan yang terdapat di DAS Citanduy berupa
latosol dengan bahan induk Tuff Vilkan yang sangat peka erosi. Jenis tanah ini
mendominasi luasan Sub-DAS. Jenis tanah akan berbeda sejalan dengan relief atau
topografi yang berbeda. Tanah pada lahan atas DAS Citanduy terdiri dari residu
incesed yang terbentuk dari bahan vulkanis. Debu vulkanis dan debris dari hasil
letusan Gunung Galunggung tercampur dengan tanah ini. Jenis tanahnya berupa
kambisol, gleisol, latosol mediteran dan pedsolik merah kuning. Jenis tanah pada
elevasi yang lebih tinggi adalah andosol, sedangkan pada elevasi yang lebih rendah
berupa tanah latosol. Jenis tanah ini merupakan batuan induk yang selama ini
tererosi dan terangkut oleh aliran sungai dan akhirnya terendapkan di Segara
Anakan.
Tanah latosol merupakan tanah dengan tingkat perkembangan sedang-lanjut
(virile-senile stage), dicirikan oleh solum tanah yang dalam, berwarna coklat
III - 44
kemerahan-coklat kekuningan, mempunyai horizon kambik atau oksik, bertekstur
liat –lempung berliat, kandungan aluminum dan besi oksida yang cukup tinggi dan
kesuburannya relative rendah.
Gambar 3.29. Peta Jenis Tanah DAS Citanduy
Tanah podsolik merupakan tanah dengan tingkat perkembangan lanjut,
mempunyai horizon timbunan liat (argilik), kejenuhan basa yang rendah (< 30%),
kandungan bahan organik dan unsur hara yang rendah sehingga tingkat
kesuburannya rendah. Karena kesuburan tanahnya maka penggunaan tanah
tersebut untuk lahan pertanian harus disertai dengan pemupukan untuk
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanaman yang diusahakan.
Tanah alluvial merupakan tanah yang terbentuk akibat proses fluvial yang
terbentuk pada wilayah tanggul sungai (kanan kiri sungai) dan dataran banjir. Karena
terbentuk dari bahan yang baru diendapkan tanah ini biasanya mempunyai kesuburan
tanah yang tinggi dan banyak dimanfaatkan untuk lahan persawahan. Tanah andosol
terbentuk dari bahan abu volkan hasil letusan gunung api, bertekstur lempung berdebu –
lempung berpasir, dan terdapat pada wilayah dataran tinggi dan perbukitan. Tanah
tersebut mempunyai kandungan mineral yang cukup baik, terletak pada wilayah dataran
III - 45
tinggi, dan mempunyai tekstur tanah ideal untuk menunjang pertumbuhan dan produksi
tanaman hortikultura. Tanah litosol merupakan tanah dengan solum yang dangkal
(biasanya < 25 cm), sehingga tanah tersebut langsung duduk diatas bahan induk tanah atau
batuan keras baik batu kapur, batu liat maupun batuan vulkanik.
Grumusol adalah tanah yang berbentuk dari batuan kapur pada wilayah yang
mempunyai curah hujan tidak terlalu tinggi dan memungkinkan terbentuk mineral
montmorilonit (liat tipe 2:1). Tanah ini mempunyai kemampuan mengembang dan
mengkerut yang tinggi sehingga akan retak pada musim kemarau. Organosol merupakan
tanah yang terbentuk dari bahan organik pada kondisi tergenang (jenuh) air. Karena
terbentuk dari bahan organik, tanah tersebut mempunyai kapasitas tukar kation yang
tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan kandungan unsur hara yang rendah.
Tabel 3.32. Luas masing-masing Jenis Tanah DAS Citanduy
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Aluvial Kelabu Tua 3.698 1,01%
Aluvial Coklat Kekelabuan 4.975 1,36%
Aluvial Coklat Kelabu 1.103 0,30%
Aluvial Hidromorf 11.827 3,23%
Aluvial Kelabu Kekuningan 9.226 2,52%
Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan 5.232 1,43%
Andosol Coklat Kekuningan 7.643 2,09%
Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat 14.229 3,89%
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 11.603 3,17%
Asosiasi Glei Humus dan Aluvial Kelabu 8.603 2,35%
Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol 22.621 6,19%
Grumusol Hitam 10.607 2,90%
Grumusol Kelabu 6.273 1,72%
Grumusol Kelabu Tua 2.434 0,67%
Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, 29.402 8,04%
Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 6.602 1,81%
Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kunin 18.578 5,08%
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 8.009 2,19%
Kompleks Regosol dan Litosol 7.391 2,02%
Kompleks Resina, Litosol Batukapur dan Brown Fores 86 0,02%
Latosol Coklat 70.477 19,27%
Latosol Coklat Kemerahan 4.012 1,10%
Latosol Coklat Tua Kemerahan 79.775 21,81%
Mediteran Merah Tua dan Regosol 19.203 5,25%
Organosol 2.093 0,57%
III - 46
Penggunaan lahan di DAS Citanduy dibedakan 9 kelas penggunaan lahan
yaitu Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Sawah,
Semak/Belukar, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang dan Tubuh Air. Secara spasial
penggunaan lahan yang terdapat di DAS Citanduy terlihat pada Gambar 3.30.
Penggunaan lahan di DAS Citanduy sebagian besar merupakan kebun campuran
yang mencakup kawasan seluas 234.502 ha atau meliputi 64,21%, selengkapnya
penggunaan lahan di DAS Citanduy dapat dilihat pada Tabel 3.33.
Gambar 3.30. Peta Penggunaan Lahan DAS Citanduy
Tabel 3.33. Luas Penggunaan Lahan DAS Citanduy
LC_2011 LUAS (ha) (%)
Hutan Sekunder 38.280 10,48%
Kebun Campuran 234.502 64,21%
Perkebunan 11.674 3,20%
Permukiman 4.879 1,34%
Sawah 38.362 10,50%
Semak/Belukar 4.089 1,12%
Tanah Terbuka 76 0,02%
Tegalan/Ladang 32.676 8,95%
Tubuh Air 650 0,18%
III - 47
b. Karakteristik Sosial
Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Citanduy tahun 2012 sebesar 3.263.247
jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010
dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk kabupaten/kota yang berada di
DAS Citanduy.
Tabel 3.34. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Citanduy 2012
Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS
Jumlah Penduduk
2010
jumlah penduduk DAS 2010
Laju Pertumbuhan
(%)
Jumlah Penduduk DAS Tahun
2013
Jawa Barat Ciamis 76,09% 1.532.504 1.166.033 0,47 1.177.020
Jawa Barat Garut 0,51% 2.404.121 12.201 1,61 12.597
Jawa Barat Kota Banjar 100,00% 175.157 175.157 1,14 179.173
Jawa Barat Kota Tasikmalaya 80,89% 635.464 514.045 1,13 525.728
Jawa Barat Kuningan 10,47% 1.035.589 108.465 0,51 109.574
Jawa Barat Majalengka 0,02% 1.166.473 267 0,4 269
Jawa Barat Tasikmalaya 19,60% 1.675.675 328.364 1,15 335.960
Jawa Tengah Banyumas 0,15% 1.554.527 2.290 0,59 2.317
Jawa Tengah Brebes 0,18% 1.733.869 3.125 0,11 3.132
Jawa Tengah Cilacap 40,59% 1.642.107 666.454 0,2 669.122
Jumlah Penduduk
3.014.892
6.2. Permasalahan Lingkungan
Permasalahan lingkungan yang terjadi di DAS Citanduy salah satunya adalah
penggunaan pupuk buatan yang mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi.
Selain itu, adalah pencemaran air oleh limbah domestik dari rumah tangga.
Berdasarkan pengamatan BBWS Citanduy tahun 2008 terhadap 3 lokasi yang
berada di DAS Citanduy yaitu Pataruman, Tunggilis dan Panumbangan selama
pemantauan, tidak satu lokasipun yang kualitas airnya memenuhi kriteria baku
mutu air kelas II, karena tingginya kandungan koli tinja. Parameter lainnya yang
tidak memenuhi kriteria umumnya adalah kadar BOD. Kualitas air yang sudah
tidak sesuai untuk digunakan pada kelas 1 dan kelas 2.
Berdasar data BPLHD Jawa Barat 2012, Status mutu air di DAS Citanduy
dengan metode Storet berdasar BMA PP 82/2001 seluruh lokasi tercemar berat.
Data kualitas air Citanduy berdasar PP 82/2001 Klas II yang tidak memenuhi baku
mutu adalah TSS, BOD, COD, Nitrat, Sulfida, Koli tinja, Koli total.
III - 48
Perubahan tata guna lahan di DAS terutama di daerah catchment area tidak
diimbangi dengan usaha dan upaya konservasi menyebabkan erosi dan
sedimentasi. Serta menambah jumlah kategori luas lahan kritis di DAS. Terjadinya
lahan-lahan kritis di DAS tidak saja menyebabkan penurunan produktivitas tanah,
tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS.
Berdasarkan data BPDAS Citanduy tahun 2012 luas lahan sangat kritis
terbesar berada di wilayah kabupaten Ciamis seluas 1.090,08 ha dan luas lahan
kritis seluas 6.118,57 ha. Wilayah kedua terbesar adalah kabupaten Cilacap dengan
luas lahan sangat kritis seluas 700,29 Ha dan lahan kritis seluas 7.571,99 Ha.
Berdasar data BPDAS 2012, beberapa kawasan sepanjang DAS Citanduy
yang merupakan daerah rawan banjir meliputi Kota Banjar terdiri dari Kecamatan
Purwaharja seluas 210 Ha, Kecamatan Pataruman seluas10 Ha. Kabupaten Ciamis
meliputi Kecamatan Pamarican seluas 400 Ha, Kecamatan Banjarsari seluas 450
Ha, Kecamatan Lakbok seluas 800 Ha, Kecamatan Padaherang seluas 1.200 Ha,
Kecamatan Kali pucang seluas 403 Ha. Di Kabupaten Cilacap meliputi Kecamatan
Dayeuh luhur seluas 80 Ha,Kecamatan Wanareja seluas 750 Ha, Kecamatan
Majenang seluas 300 Ha, Kecamatan Cipari seluas 260 Ha, Kecamatan Cimanggu
seluas 20 Ha, Kecamatan Karangpucung seluas 10 Ha, Kecamatan Lumbir seluas
10 Ha, Kecamatan Kawunganten seluas 1.050Ha, Kecamatan Bantarsari seluas 700
Ha, Kecamatan Gandrungmangu seluas 500 Ha, Kecamatan Sidareja seluas 540
Ha, Kecamatan Kedungreja seluas 95 Ha, Kecamatan Patimuan seluas 300 Ha.
III - 49
Berdasar data BPDAS Citanduy tahun 2012, akibat erosi dan sedimentasi
menyebabkan terjadinya perubahan terhadap luasan Segara Anakan sebagai muara
dari DAS Citanduy. Tahun 1903 luas Segara Anakan sebesar 6.450 Ha, pada
tahun 1939 menyusut menjadi 6.060 Ha, tahun 1971 berkurang menjadi 4.290 Ha,
tahun 1986 terus menyusut menjadi 2.700 Ha, tahun 1992 menjadi 1.800 Ha,
tahun 2000 menjadi 600 ha, dapat dipastikan luas segara anakan pada tahun 2013
lebih kecil dibandingkan luas tahun 2000.
Berdasar data BBWS 2012Di Wilayah Sungai Citanduy sering terjadi krisis
ketersediaan air di beberapa wilayah tertentu mengingat kondisi sarana dan
prasarana yang ada tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Dimana pada saat debit
maksimum dapat terjadi banjir untuk kondisi lokasi – lokasi yang rawan banjir, dan
pada saat debit minimum dapat terjadi kekeringan. Sehingga perlu adanya strategi
dalam pengelolaan Sumber Daya Air untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi
di Wilayah Sungai Citanduy.
Beberapa kawasan DAS Citanduy yang merupakan daerah rawan kekeringan
KABUPATEN KECAMATAN DESA
Cilacap a. Kedungreja Sidanegara (40 Ha)
Cisumur (131 Ha) Gandrungmangu (43 Ha) Bulusari (30 Ha) Gandrungmanis (76 Ha)
b. Sidareja Tegalsari (19 Ha)
Margasari (11 ha) Sidamulya (7 Ha) Sidareja (32 Ha) Kunci (32 ha) Tinggarjaya (52 Ha) Karanganyar (31 ha)
c. Patimuan Bulu Payung (290 Ha)
Patimuan (69 Ha) Rawa Apu (303 Ha) Purwodadi (35 Ha) Sidamukti (388 Ha) Cimrutu (15 Ha)
d. Lakbok Selatan
Paledah (404 Ha) Sindangwangi (241,84 Ha) Sukanegara (496 Ha) Ciganjeng (174,79 ha)
e. Lakbok Utara Sindang Angin (209,76 Ha) Tambakreja (190 Ha)
f. Rawa Onom Randegan II ( 40 Ha)
Sumber: BBWS Citanduy 2012
III - 50
6.3. Upaya yang Telah Dilakukan
Upaya mengatasi masalah telah dan akan dilakukan oleh instansi terkait
seperti Dinas Kehutanan, BBWS, BPDAS, BLH. Secara umum strategi dan arah
penanganan masalah-masalah tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu
aspek ekologis melalui rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan, aspek sosial
ekonomi antara lain melalui pemberdayaan kelompok masyarakat /kelompok tani
dalam kegiatan rehabilitasi dan konservasi, meningkatkan peran masyarakat dalam
pengelolaan /penataan kawasan Lindung DAS Citanduy. Meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat melalui kegiatan vegetatif yaitu
Rehabilitasi Kawasan Hutan, Hutan Rakyat, Rehabilitasi areal bakau/ pesisir,
Penghijauan Kota/ Penghijauan Lingkungan, Turus Jalan. Serta kegiatan sipil
teknis yaitu pembangunan Dam Penahan/ Pengendali, Pengendali Jurang (Gully-
Plug), Sumur Resapan, Embung.
Rencana pengembangan infrastruktur sumberdaya air, meliputi:
pembangunan waduk Cibatarua di Kabupaten Garut, pembangunan waduk
Lapangan Gagah Jurit, waduk Sukahurip, waduk Hyang, waduk Cikembang
dan waduk Leuwikeris di Kabupaten Ciamis, dan Waduk Ciwulan di Kabupaten
Tasikmalaya; rencana revitalisasi dan optimalisasi fungsi waduk dan danau/situ;
Pengembangan infrastruktur pengendali banjir; Pembangunan Daerah Irigasi,
Leuwigoong di Kabupaten Garut; dan Peningkatan kondisi jaringan irigasi.
7. DAS Citarum
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar dan terpanjang
di Provinsi Jawa Barat, secara geografis berada pada 106°51’36” - 107°51’ BT dan
7°19’ - 6°24’ LS. Daerah Aliran Sungai Citarum memiliki luas 661.015 Ha dengan
panjang sungai utama 269 Km ini terdapat 12 Sub DAS yang terdiri dari Sub DAS
Citarum Hilir, Sub DAS Cibeet, Sub DAS Cikaso, Sub DAS Cikundul, Sub DAS
Cisokan, Sub DAS Cimeta, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS Ciminyak, Sub DAS
Ciwidei, Sub DAS Citarik/Cikeruh, Sub DAS Cisangkuy dan Sub DAS Citarum Hulu.
DAS Citarum berbatasan dengan Laut Jawa dibagian utara, DAS Bekasi dan
DAS Ciliwung dibagian barat, DAS Cibuni dan DAS Cimanuk di bagian selatan, DAS
III - 51
Cimalaya dan DAS Cikarokrok di bagian timur seperti terlihat pada Gambar 3.31. DAS
Citarum mencakup 10 Kabupaten dan 2 Kota dimana persentase luas kabupaten dan
Kota dalam DAS paling besar berada pada Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi yaitu
100% wilayahnya berada pada DAS Citarum, menyusul Kota Bandung pada 90,02%
dan kabupaten/kota lainnya seperti terlihat pada tabel persentase luas kabupaten dalam
DAS Ciatrum. Sedangkan kabupaten yang berpengaruh sangat besar dilihat dari luas
daerah dalam DAS terbesar adalah Kabupaten Bandung yaitu sebanyak 40,10%.
Gambar 3.31. Peta Batas DAS Citarum Gambar 3.32. Peta Administrasi DAS Citarum
Tabel 3.35. Presentase Luas Kabupaten/Kota dalam DAS Citarum
KABNAME LUAS (ha) (%)
Bandung 265.101 40,10%
Bekasi 46.752 7,07%
Bogor 43.828 6,63%
Cianjur 130.278 19,71%
Garut 1.718 0,26%
Karawang 76.041 11,50%
Kota Bandung 15.093 2,28%
Kota Cimahi 4.064 0,61%
Purwakarta 65.205 9,86%
Subang 77 0,01%
Sukabumi 168 0,03%
Sumedang 12.736 1,93%
III - 52
7.1. Karakteristik Lingkungan
a. Karakteristik Fisik
DAS Citarum terdiri dari 9 satuan ekoregion yaitu satuan Dataran Fluvial
Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi
– Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur
Gunung Karang - Merapi – Raung, Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng –
Rembang, Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur
Bogor - Kendeng – Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi
– Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Citarum dapat dilihat pada
Gambar peta ekoregion DAS Citarum.
Gambar 3.33. Peta Ekoregion DAS Citarum Gambar 3.34. Peta Jenis Tanah DAS Citarum
Ekoregion terluas terdapat pada Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang -
Merapi - Raung yaitu seluas 158.616 Ha (23.99%) menyusul Perbukitan Struktural
Jalur Bogor - Kendeng - Rembang yaitu seluas 154.358 Ha (23.34%). Masing-
masing luasan ekoregion dalam DAS Citarum dapat dilihat pada table ekoregion
DAS Citarum.
III - 53
Tabel 3.36. Satuan Ekoregion DAS Citarum
NAMA KODE LUAS (ha) (%)
17.758 2,69%
Dataran Fluvial Jawa F 71.762 10,85%
Dataran Pantai Utara Jawa M1 8.830 1,34%
Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 75.597 11,43%
Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 8.355 1,26%
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 94.807 14,34%
Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng - Rembang K2 4.503 0,68%
Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 66.620 10,08%
Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 154.358 23,34%
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 158.616 23,99%
Jenis tanah pada DAS Citarum sangat bervariasi yaitu terdiri dari 29 jenis
tanah dimana jenis tanah Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat menempati
luasan yang tertinggi yaitu 83.060Ha (12,57%) dan menyusul jenis tanah Asosiasi
Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat dengan luas 69.594 Ha (10,53%). Untuk
melihat sebaran jenis tanah pada DAS Citarum dapat dilihat pada Gambar 3.34.
Tabel 3.37. Luas Masing-Masing Jenis Tanah DAS Citarum
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Aluvial Coklat Kelabu 50.810 7,69%
Aluvial Hidromorf 3.771 0,57%
Aluvial Kelabu Tua 13.603 2,06%
Andosol Coklat 21.405 3,24%
Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat 69.594 10,53%
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 83.060 12,57%
Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 7.303 1,10%
Asosiasi Glei Humus dan Aluvial Kelabu 8.371 1,27%
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Cokl 17.355 2,63%
Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu 2.796 0,42%
Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan d 19.248 2,91%
Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu 8.969 1,36%
Grumusol Kelabu 648 0,10%
Grumusol Kelabu Tua 5.705 0,86%
Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediteran 35.574 5,38%
Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat 30.922 4,68%
Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, 12.271 1,86%
Kompleks Latosol Merah dan Latosol Coklat Kemeraha 36.973 5,59%
Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 3.247 0,49%
III - 54
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kunin 59.511 9,00%
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 11.622 1,76%
Kompleks Regosol dan Litosol 2.549 0,39%
Kompleks Resina, Litosol Batukapur dan Brown Fores 2.372 0,36%
Latosol Coklat 69.289 10,48%
Latosol Coklat Kekuningan 5.048 0,76%
Latosol Coklat Kemerahan 14.779 2,24%
Latosol Coklat Tua Kemerahan 52.174 7,89%
Podsolik Kuning 12.033 1,82%
Regosol Kelabu 14 0,00%
Penggunaan lahan pada DAS Citarum dibagi ke dalam 12 penggunaan lahan
yaitu Hutan Primer, Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman,
Rawa, Sawah, Semak/Belukar, Tambak/Empang, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang
dan Tubuh Air. Penggunaan lahan untuk sawah menempati luasan terbesar yaitu
226.537 Ha (34,26%) menyusul tegalan/ladang 107.863 Ha (16,31%). Sebaran
penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 3.35. sementara luasan tiap-tiap
penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.38.
Tabel 3.38. Penggunaan Lahan di DAS Citarum
LC_2011 LUAS (ha) (%)
Hutan Primer 5.430 0,82%
Hutan Sekunder 43.726 6,61%
Kebun Campuran 94.124 14,24%
Perkebunan 75.576 11,43%
Permukiman 60.372 9,13%
Rawa 428 0,06%
Sawah 226.537 34,26%
Semak/Belukar 11.837 1,79%
Tambak/Empang 11.530 1,74%
Tanah Terbuka 6.099 0,92%
Tegalan/Ladang 107.863 16,31%
Tubuh Air 17.684 2,67%
Gambar 3.35. Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum
III - 55
b. Karaktreistik Sosial
Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Citarum tahun 2012 kurang lebih adalah
11.508.480jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun
2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Barat. Dengan
luas DAS sebesar 719.406 Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Citarum adalah
16 Jiwa/Ha atau sekitar 1.600 Jiwa/Km2. Pertumbuhan penduduk dan jumlah
penduduk pada DAS Citarum dapat dilihat pada table perkiraan jumlah penduduk
DAS Citarum.
Tabel 3.38. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Citarum Tahun 2012
Provinsi Kabupaten % luas
dalam DAS
Jumlah
Penduduk
2010
Pertumbuhan
Penduduk (%)
Jumlah
Penduduk
DAS 2012
Jawa Barat Bandung 100,00% 3.178.543 2,57 3.344.020
Jawa Barat Bekasi 53,75% 2.630.401 4,7 1.549.998
Jawa Barat Bogor 12,84% 4.771.932 3,15 651.888
Jawa Barat Cianjur 34,23% 2.171.281 1,11 759.880
Jawa Barat Garut 1,32% 2.404.121 1,61 32.838
Jawa Barat Karawang 75,04% 2.127.791 1,17 1.634.374
Jawa Barat Kota Bandung 90,02% 2.394.873 1,16 2.206.135
Jawa Barat Kota Cimahi 100,00% 541.177 2,06 563.703
Jawa Barat Purwakarta 76,05% 852.521 2,01 674.646
Jawa Barat Subang 0,04% 1.465.157 0,98 625
Jawa Barat Sukabumi 0,10% 2.341.409 1,22 2.504
Jawa Barat Sumedang 7,84% 1.093.602 1,23 87.869
Total 11.508.480
7.2. Permasalahan Lingkungan
Permasalahan lingkungan DAS Citarum terbagi ke dalam 6 permasalahan
yaitu sosial ekonomi, perubahan tata guna lahan, lahan kritis, pencemaran, banjir,
kehati dan abrasi. Permasalahan yang terjadi di DAS Citarum pada dasarnya
diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali yang berakibat pada
meningkatnya eksploitasi ruang dan sumber daya alam. Penduduk di Cekungan
Bandung tumbuh pada kisaran 3% pertahun, sebagai pengaruh migrasi ke daerah
dengan pertumbuhan yang cepat. Berdasarkan Land-use change – Urbanization
(ADB-Package B) 2000 – 2025 in JanJaap Brinckman, Deltares 2010, diprediksi
pengembangan perkotaan tahun 2025 adalah 50% penduduk tinggal di urban.
III - 56
Tingginya tekanan kependudukan ini menyebabkan terjadinya peningkatan
lahan kritis akibat perubahan tata guna lahan sehingga Citarum termasuk DAS
utama di Jawa Barat yang memiliki luasan lahan kritis yang tinggi. Dimana tahun
2000-2009 telah terjadi laju penurunan luas hutan sebesar 86%, laju peningkatan
kawasan permukiman sebesar 115 (Sumber : BPDAS CC dan BBWS) dan masih
tersisa lahan kritis seluas 117.246,52 ha Sumber : BPLHD, 2012). Lahan kritis
DAS Citarum terdiri dari agak kritis dengan luas 23.200,3 Ha, potensial kritis
dengan luas 54.115,6 Ha, kritis dengan luas 36.505,07 Ha dan sangat kritis dengan
luas 3.429,7 Ha (Sumber : BPLHD, 2012). Dampak dari lahan kritis adalah
terjadinya sedimentasi dengan laju sedimentasi sebesar 112,3 juta ton/tahun dan
mengendap di bendungan Saguling 2,8 juta ton/tahun (BPDAS CC, 2010).
Untuk sumber pencemaran organik sungai Citarum adalah berasal dari
limbah domestic, industry, pertanian dan peternakan dimana limbah domestic dan
industry lebih mendominasi (Sumber : RIRW). Produksi sampah DAS Citarum
tahun 2013 adalah 500.000 m3 (BBWS Citarum,2013). Sementara hasil
pemantauan tahun 2012, nilai coli dan COD rata-rata berada di atas Baku Mutu.
Pencemaran limbah pertanian berasal dari petani yang cenderung menggunakan
pestisida untuk membasmi hama dimana 76% petani menggunakan pestisida secara
berlebihan dan 89,2% petani tidak membuang wadah pestisida secara benar
(BPLHD 2004). Pencemaran limbah peternakan diakibatkan dari sekitar 1.800 ton
kotoran hewan berpotensi masuk ke sungai setiap hari (KPBS, 2010).
Daerah banjir Citarum hulu berada pada daerah banjir Bandung Selatan yaitu
daerah Ciputat, Citepus, Cieunteung dan Parung halang. Sementara daerah banjir
Citarum hilir seperti terjadi pada banjir Karawang 2013 dimana 16.587 rumah
tergenang dan 50.813 jiwa terdampak. Sementara permasalahan kehati dan abrasi
berdampak kepada kerusakan mangrove, berkurangnya habitat burung, mamalia,
dan ikan serta abrasi garis pantai.Untuk memudahkan identifikasi terhadap semua
permasalahan yang ada di Daerah Aliran Sungai Citarum tersebut, maka DAS
Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu Zona Citarum Hulu (Hulu sungai di
Gunung Wayang – Ujung Saguling), Zona Citarum Tengah (Saguling – Cirata –
Jatiluhur) dan Zona Citarum Hilir (Citarum Hilir – Muara Citarum)
III - 57
Permasalahan di Zona Citarum Hulu
Permasalahan di daerah Citarum Hulu disebabkan oleh berkurangnya fungsi
kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa
perencanaan yang baik, dan budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah
konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin
tinggi yang mengakibatkan sedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk ke
jaringan prasarana air.
Zona Citarum Hulu memiliki potensi erosi lahan sebesar 112,35 juta
ton/tahun dimana wilayah yang sangat buruk berada pada Sub DAS Cirasea,
Ciwidey dan Cisangkuy sementara wilayah yang buruk adalah pada Sub DAS
Ciminyak, Cikapundung, Citarik, Cihaur dan Cikeruh (BPDAS CC).
Sungai tercemar limbah permukiman, industri dan pertanian karena perilaku
masyarakat. Baik industri ataupun rumah tangga yang menjadikan sungai sebagai
tempat pembuangan air limbah dikarenakan pengelolaan limbah belum tertata
dengan baik sehingga sungai Citarum dominan akan genangan banjir, sampah, dan
limbah industri dan domestik. Permasalahan utama lainnya di bagian hulu DAS
Citarum meliputi degradasi fungsi konservasi sumber daya air seperti luas lahan
kritis mencapai 26.022,47 ha, yang mengakibatkan run off aliran permukaan
sebesar 3.632,50 juta m3 /tahun serta sedimentasi sebesar 7.898,59 ton/ha.
III - 58
Permasalahan lainnya adalah tingkat pengambilan air tanah yang diluar
kendali dimana sebagian besar pengambilan air tanah tidak teregistrasi.
Diperkirakan pengambilan air tanah mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang
dilaporkan oleh pemerintah. Diperkirakan 90 % penduduk dan 98 % industri di
Cekungan Bandung menggantungkan kebutuhan air sehari - hari pada air tanah.
Pengambilan air tanah yang berlebih dan tidak terkendali dapat mengakibatkan
penurunan muka tanah dan kerusakan struktur pada bangunan gedung serta
memperbesar potensi daerah rawan banjir.Semua permasalahan di Citarum Hulu
tersebut berakibat hampir setiap tahun luapan Sungai Citarum menyebabkan banjir.
Banjir-banjir besar di Bandung dan sekitarnya tercatat pada tahun 1931, 1945,
1977, 1982, 1984, 1986, 1998, 2005, 2010 dan akan tetap terjadi pada tahun
berikutnya bila tidak segera dilakukan penanganan.
Permasalahan di Zona Citarum Tengah
Zona Citarum tengah juga masih terlihat potensi erosi lahan dimana terjadi
pada daerah tangkapan air waduk Cirata dengan erosi lahan sebesar 16,5 juta
ton/tahun. Erosi lahan sangat buruk banyak ditemukan di sekitar bantaran sungai
Cimeta, bagian hulu Sub DAS Cimeta dan Cikundul (BPDAS CC).
Tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung berdampak
terhadap bertambahnya pembuangan limbah domestik tanpa pengolahan,
pembuangan sampah dan limbah industri yang menambah beban pencemaran ke
Sungai Citarum. Berdasarkan PD Kebersihan Kota Bandung rata-rata produksi
sampah sebesar 6.500 m3/hari, dimana1.500 m3 diantaranya tidak dikumpulkan
dan dibuang secara benar.
Dengan demikian sampah yang tidak terkumpul dengan benar akan masuk ke
sistem drainase dan sungai sebesar 500.000 m3 pertahun. Berdasarkan kantor
pengelola Waduk Saguling diperkirakan jumlah sampah yang masuk ke Waduk
Saguling adalah sebesar 250.000 m3 per tahun.Kualitas air yang masuk ke Waduk
Saguling memiliki rata-rata kandungan BOD lebih dari 300 mg/liter. Pada tahun
2004 dilaporkan konsentrasi BOD sebanyak 55 mg/liter dan meningkat menjadi
130 mg/liter pada musim kemarau.
Pencemaran waduk akibat sampah rumah tangga, sampah padat, dan industri,
serta adanya penambangan pasir menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk
III - 59
akibat adanya sedimentasi. Selain itu, maraknya usaha keramba jaring apung
memperburuk pencemaran air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang
disebabkan oleh pemberian makanan ikan jarring apung yang tidak tepat dan
berlebihan sehingga menambah beban limbah yang menumpuk di dasar waduk
serta membahayakan kelangsungan instalasi PLTA akibat korosif.
Permasalahan di Zona Citarum Hilir
Zona Citarum hilir juga masih terlihat potensi erosi lahan sebesar 112,85 juta
ton/tahun. Potensi sangat jelek banyak ditemukan di bagian hulu Sub DAS Cikao
dan Cibeet. Di Sub DAS Citarum hilir banyak terdapat lahan terbangun dan
persawahan (Sumber : BPDAS CC).
Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan dari
lahan pertanian menjadi permukiman akibat berkembangnya permukiman tanpa
perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi prasarana pengendali banjir,
menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi, kurangnya prasarana pengendali
banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di muara. Semua hal tersebut
menyebabkan daerah Citarum Hilir pun merupakan daerah rawan banjir. Banjir
terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai Citarum disebabkan oleh curah hujan
tinggi yang berlangsung terus menerus, Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung
debit banjir sehingga limpas di pelimpah dengan tinggi maksimum 141 cm.
akibatnya aliran keluar dari waduk mengalir ke Sungai Citarum adalah sebesar 700
m3 /detik. Bersamaan dengan meluapnya Sungai Cikao di Purwakarta
mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawang yang mengalir ke Sungai
Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampu lagi
menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi banjir di Teluk jambe,
Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi.
7.3. Upaya yang Telah Dilakukan
Solusi penanganan DAS Citarum dilakukan melalui pendekatan struktural
dan non-struktural serta sosio-kultural simultan hulu-hilir dengan sinergi multi
sector bersama masyarakat secara terintegrasi dalam wadah koordinasi badan
strategis pengelolaan DAS Citarum. Pendekatan non-struktural meliputi
manajemen hulu DAS, penataan ruang, pengendalian erosi dan alih fungsi lahan,
III - 60
perijinan pemanfaatan lahan, pemberdayaan masyarakat kawasan hulu, manajemen
daerah rawan banjir, sistem peringatan dini ancaman dan evakuasi banjir,
peningkatan kapasitas kelembagaan dan partisipasi masyarakat untuk
penanggulangan banjir, pengendalian penggunaan air tanah, pengelolaan dan
perbaikan kualitas air sungai.
Pendekatan struktural meliputi normalisasi sungai, tanggul penahan banjir,
kolam penampungan banjir, sistem polder dan sumur-sumur resapan,pembangunan
waduk dan embung, penyediaan prasarana air baku, pengembangan sistim
penyediaan air minum dan air kotor, rehabilitasi jaringan irigasi, pengembangan
pembangkitan tenaga listrik.Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah instansi
pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat berpartisipasi dalam serangkaian
dialog yang menghasilkan Citarum Roadmap yaitu suatu rancangan strategis berisi
hasil identifikasi program-program utama untuk meningkatkan sistem pengelolaan
sumber daya air terpadu dan memperbaiki kondisi di sepanjang Daerah Aliran
Sungai Citarum.
8. DAS Progo
Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo merupakan kesatuan ekosistem yang
meliputi wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Luas DAS Progo mencapai 245.854 ha. DAS Progo terdiri dari
5 Sub DAS yaitu Sub DAS Krasak, Sub DAS Tingal, Sub DAS Tangsi, Sub DAS Elo
dan Sub DAS Bedog. Secara geografis Das Progo terletak pada 109o
59' BT - 110
o291
'
BT dan 07o12
' LS - 08
o04
' LS. Batas DAS Progo sebelah utara berbatasan dengan DAS
Bodri, sebelah timur berbatasan dengan DAS Tuntang, sebelah selatan berbatasan
dengan Samudera Hindia dan sebelah barat berbatasan dengan DAS Bogowonto dan
DAS Serang seperti terihat pada Gambar 3.36.
DAS Progo mencakup 11 Kabupaten/kota, diantaranya adalah Kab. Bantul,
Kab. Boyolali, Kota Magelang, Kab. Kota Yogyakarta, Kab. Kulon Progo, Kab.
Magelang, Kab. Purworejo, Kab. Semarang, Kab. Sleman, Kab. Temanggung dan Kab.
Wonosobo seperti terlihat pada Gambar 3.37. untuk lebih jelasnya, presentase luas
masing-masing kabupaten/kota terhadap luas DAS tersaji pada Tabel 3.39.
III - 61
Gambar 3.36. Peta Batas DAS Progo Gambar 3.37. Peta Administrasi DAS Progo
Tabel 3.39. Presentase Masing-Masing Kabupaten/Kota dalam DAS Progo
KABNAME LUAS (ha) (%)
Bantul 12.133 4,94%
Boyolali 3.135 1,28%
Kota Magelang 963 0,39%
Kota Yogyakarta 27 0,01%
Kulon Progo 35.013 14,25%
Magelang 109.353 44,49%
Purworejo 188 0,08%
Semarang 2.124 0,86%
Sleman 23.917 9,73%
Temanggung 58.282 23,71%
Wonosobo 647 0,26%
8.1. Karakteristik Lingkungan
a. Karakteristik Fisik
DAS Progo terdiri dari 10 satuan ekoregion yaituDataran Fluvial Jawa,
Dataran Pantai Selatan Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi –
Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur
Gunung Karang - Merapi – Raung, Perbukitan Denudasional Jawa, Perbukitan
Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu – Blambangan, Perbukitan
Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng –
III - 62
Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung. Sebaran
satuan ekoregion dalam DAS Progo dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3.38. Peta Ekoregion DAS Progo Gambar 3.39. Peta Jenis Tanah DAS Progo
Ekoregion terluas terdapat pada Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang -
Merapi - Raung yaitu seluas 124.924 Ha (50.81%) menyusul Dataran Vulkanik
Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung yaitu seluas 39.907 Ha (16.23%). Masing-
masing luasan ekoregion dalam DAS Progo dapat dilihat pada Tabel 3.40.
Tabel 3.40. Satuan Ekoregion DAS Progo
NAMA KODE LUAS (ha)
(%)
Dataran Fluvial Jawa F 7.630 3,10%
Dataran Pantai Selatan Jawa M2 1.370 0,56%
Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 39.907 16,23%
Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 11.644 4,74%
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 33.422 13,59%
Perbukitan Denudasional Jawa D2 17.796 7,24%
Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu - Blambangan
K1 362 0,15%
Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 3.132 1,27%
Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 5.668 2,31%
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 124.924 50,81%
III - 63
Jenis tanah pada DAS Progo sangat bervariasi yaitu terdiri dari 18 jenis tanah
dimana jenis tanah Asosiasi Mediteran Coklat Litosol menempati luasan yang
tertinggi yaitu 71.946 Ha (29,33%) dan menyusul jenis tanah Regosol Coklat
Kekelabuan dengan luas 36.359 Ha (14,82%). Untuk melihat sebaran jenis tanah
pada DAS Progo dapat dilihat pada gambar peta jenis tanah DAS Progo.
Tabel 3.41. Luas Jenis Tanah di DAS Progo
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Mediteran Coklat Kemerahan dan Grumusol Kelabu 1.277 0,52%
Aluvial Coklat Kekelabuan 14.057 5,73%
Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan 10.357 4,22%
Andosol Coklat 10.649 4,34%
Andosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan 2.469 1,01%
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 20 0,01%
Asosiasi Mediteran Coklat Litosol 71.946 29,33%
Grumusol Kelabu 6.220 2,54%
Kompleks Andosol Kelabu Tua dan Litosol 1.371 0,56%
Kompleks Grumusol Hitam dan Litosol 3.710 1,51%
Kompleks Litosol, Mediteran dan Renzina 10.089 4,11%
Kompleks Regosol Kelabu dan Grumusol Kelabu Tua 6.140 2,50%
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 19.451 7,93%
Kompleks Regosol dan Litosol 6.273 2,56%
Latosol Coklat 33.837 13,79%
Mediteran Merah Tua dan Regosol 10.092 4,11%
Regosol Coklat Kekelabuan 36.359 14,82%
Regosol Kelabu 975 0,40%
Penggunaan lahan pada DAS Progo dibagi ke dalam 9 penggunaan lahan
yaitu Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Sawah,
Semak/Belukar, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang. Penggunaan lahan untuk
tegalan/ladang menempati luasan terbesar yaitu 83.509 Ha (33,97%) menyusul
penggunan lahan untuk sawah yaitu 71.254 Ha (28,98%). Sebaran penggunaan
lahan dapat dilihat pada gambar peta penggunaan lahan, sementara luasan tiap-tiap
penggunaan lahan dapat dilihat pada table penggunaan lahan DAS Progo.
III - 64
Tabel 3.42. Luas Penggunaan Lahan DAS Progo
LC_2011 LUAS (ha) (%)
Hutan Sekunder 17.327 7,05%
Kebun Campuran 17.365 7,06%
Perkebunan 4.295 1,75%
Permukiman 47.537 19,34%
Sawah 71.254 28,98%
Semak/Belukar 2.138 0,87%
Tanah Terbuka 1.490 0,61%
Tegalan/Ladang 83.509 33,97%
Tubuh Air 940 0,38%
Gambar 3.40. Peta Penggunaan Lahan DAS Progo
b. Karakteristik Sosial
Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Progo tahun 2012 kurang lebih adalah
3.336.814jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun
2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan luas DAS sebesar 245.854 Ha, maka
kepadatan penduduk di DAS Progo adalah 14 Jiwa/Ha. Pertumbuhan penduduk
dan jumlah penduduk pada DAS Progo dapat dilihat pada table perkiraan jumlah
penduduk DAS Progo.
Tabel 3.43. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Progo Tahun 2012
Provinsi Kabupaten % luas
dalam DAS
Jumlah
Penduduk
2010
Pertumbuhan
Penduduk (%)
Jumlah
Penduduk
DAS Tahun
2012
DIY Bantul 48,19% 911.503 1,55 452.997
DIY Kota Yogyakarta 66,64% 388.627 -0,22 257.856
DIY Kulon Progo 64,96% 388.869 0,47 254.997
DIY Sleman 52,19% 1.093.110 1,92 592.581
Jawa Tengah Boyolali 1,29% 930531 0,27 12.058
Jawa Tengah Kota Magelang 59,96% 118227 -0,05 70.824
III - 65
Provinsi Kabupaten % luas
dalam DAS
Jumlah
Penduduk
2010
Pertumbuhan
Penduduk (%)
Jumlah
Penduduk
DAS Tahun
2012
Jawa Tengah Magelang 98,00% 1181723 0,62 1.172.439
Jawa Tengah Purworejo 0,65% 695427 -0,24 4.476
Jawa Tengah Semarang 1,21% 930727 1,02 11.474
Jawa Tengah Temanggung 69,21% 708546 0,59 496.166
Jawa Tengah Wonosobo 1,45% 754883 0,15 10.947
Total 3.336.814
8.2. Permasalahan Lingkungan
Permasalahan lingkungan di DAS Progo meliputi:
Permasalahan erosi : Tingkat erosi di DAS Progo terdiri dari tingkatan sedang,
agak tingi, tinggi dan sangat tinggi. Tingkat erosi dengan kriteria agak tinggi
menempati luasan tertinggi yaitu 372,66 km2 (15,30%) menyusul kriteria
tingkat erosi sedang dengan luas 116,35 km2 (4,78%) (BPDAS).
Permasalahan banjir : Banjir terjadi di 12 kecamatan, 23 Desa. Terutama di
wilayah kab. Kulonprogo & kab. Bantul. Total genangan 12.437 Ha (Dinas PU).
Permasalahan kekeringan : Kekeringan terjadi di 14 Kecamatan, 47 Desa.
Terutama di wilayah Kabupaten Gunungkidul, Sleman, dan Kulon Progo
(Sumber : Dinas PU).
Permasalahan lahan kritis : Lahan kritis di DAS Progo terdiri dari agak kritis,
kritis dan sangat kritis. Untuk lahan sangat kritis terdapat di Kabupaten Boyolali
dengan luas 88,33 Ha, Kabupaten Magelang dengan luas 335,77 Ha dan
Kabupaten Sleman dengan luas 38,18 Ha. Sementara dari total luas lahan kritis,
Kabupaten Magelang adalah yang menempati luasan lahan kritis yang terluas
yaitu 33.103,24 Ha, menyusul Kabupaten Temanggung yaitu 20.948,10 Ha dan
kabupaten Kulonprogo yaitu 10.303,07 Ha (BPDAS).
Pelanggaran terhadap sempadan sungai dan irigasi, Penambangan bahan
mineral, Kemiskinan dan kerawanan pangan pada wilayah hulu, Pertumbuhan
penduduk tinggi, Kontaminasi bahan organik dari pasar kota dan permukiman
sepanjang sungai.Limbah industri dari jenis industri pabrik gula, tepung tapioka,
pabrik tekstil, pabrik susu, pabrik tahu dan kecap. Lahan pertanian yang
menghasilkan sisa pupuk dan pestisida hanyut terbawa air ke sungai.
III - 66
8.3. Upaya yang Telah Dilakukan
Dalam pengendalian tata air DAS, upaya yang dilakukan dengan :
Meningkatkan fungsi sarana dan prasarana konservasi sumber daya air untuk
kelestarian air dan sumber air;
Pengelolaan lahan kritis secara sipil teknis sederhana, gully plug, rorak, secara
vegetatif serta sistem agronomi dan managemen lahan;
Rehabilitasi Hutan dan Lahan;
Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam.
Dalam pengembangan kondisi lahan yang produktif sesuai daya dukung dan
daya tampung secara berkelanjutan, upaya yang dilakukan dengan :
Koordinasi dan fasilitasi dalam rangka sinkronisasi dan sinergitas antara
RTRWN, RTRW Provinsi Jawa Tengah dan RTRW Kab/Kota (Jateng dan
DIY)
Pendekatan pengembangan dan pengelolaan wilayah sungai berbasis
penataan ruang, yang sinergis antar sektor, antar daerah dan antar pemangku
kepentingan (pemerintah, masyarakat dan swasta)
Optimalisasi peningkatan kesadaran para pihak atas rencana tata ruang
melalui pendekatan normatif dan partisipatif
Meningkatkan kerjasama dan sinergitas perencanaan pembangunan antar daerah
Kabupaten/Kota dan Provinsi
Mengembangkan perencanaan wilayah strategis dan cepat tumbuh
Pengembangan komoditas pertanian dalam arti luas, penataan fisik lahan dan
lingkungan sosial masyarakat
Dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, upaya yang dilakukan dengan :
Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan
Peningkatan produksi hasil hutan non kayu untuk kesejahteraan masyarakat
sekitar hutan
Fasilitasi dan sosialisasi pengembangan Penyuluhan dalam paket teknologi
pembangunan kehutanan
III - 67
Mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia, membangun kesadaran
dan kepedulian masyarakat untuk berperan aktif dalam penanganan dan
melakukan kontrol sosial terhadap pengelolaan lingkungan
Peningkatan dukungan swadaya masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup
Peningkatan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat
Dalam pengembangan kelembagaan masyarakat, upaya yang dilakukan dengan
Koordinasi lintas sektor dan dengan lembaga non formal lainnya
Penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pedesaan, perkotaan dalam
basis sistem agrobisnis Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Mengendalikan kerusakan lingkungan melalui upaya pengawasan dan
penegakan hukum lingkungan serta fasilitasi penanganan pemulihan kerusakan
lingkungan
Membangun kerjasama keterpaduan dengan stakeholders untuk menangani
sumber penyebab permasalahan lingkungan
9. DAS Serayu
DAS Serayu terletak dibagian selatan Jawa Tengah dengan luas sebesar 373.800ha.
Secara geografis berada pada koordinat 07o05’ - 07
o4’ LS dan 108
o56
’ - 110
o05
’ BT.
DAS Serayu berbatasan dengan Rangkaian Gunung api Sumbing dan Gunung api
Sindorodi sebelah timur, sebelah utara berbatasan dengan Pegunungan Besar,
pegunungan Rogojembangan, Gunungapi Slamet, sebelah selatan berbatasan dengan
Pegunungan Serayu Selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Perbukitan yang
melintang sepanjang perbatasan Banyumas dan Cilacap.
DAS Serayu mencakup 13 kabupaten yang terdiri dari 5 kabupaten dengan
persentase besar dan 8 kabupaten lain dengan persentasi luas yang lebih kecil. Secara
lebih rinci, besarnya persentase luas kabupaten yang masuk dalam DAS Serayu terlihat
pada Tabel berikut:
III - 68
Tabel 3.42. Persentase Luas Kabupaten dalam DAS Serayu
No Provinsi Kabupaten
Luas
Kabupaten
(Ha)
Luas Kab.
dalam DAS
(Ha)
% luas
dalam DAS
1 Jawa tengah Banjarnegara 102.373 102.373 100,00%
2 Jawa tengah Purbalingga 67.755 67.755 100,00%
3 Jawa tengah Banyumas 133.530 115.962 86,84%
4 Jawa tengah Wonosobo 98.141 52.587 53,58%
5 Jawa tengah Cilacap 212.447 17.950 8,45%
6 Jawa tengah Pemalang 111.803 863 0,77%
7 Jawa tengah Brebes 190.237 1.043 0,55%
8 Jawa tengah Kebumen 121.174 414 0,34%
9 Jawa tengah Pekalongan 83.700 211 0,25%
10 Jawa tengah Batang 78.865 72 0,09%
11 Jawa tengah Temanggung 83.771 23 0,03%
12 Jawa tengah Tegal 87.610 6 0,01%
13 Jawa tengah Kendal 111.813 8 0,01%
Sumber : Analisis data PPE Jawa, 2013
Gambar 3.40. Peta Admisnitrasi DAS Serayu
III - 69
Gambar 3.41. Peta Administrasi DAS Serayu
9.1. Karakteristik Lingkungan
a. Karakteristik Fisik
DAS Serayu terdiri dari 7 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa,
Dataran Pantai Selatan Jawa, Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng –
Rembang, Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng – Rembang, Pegunungan
Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi – Raung, Perbukitan Struktural Jalur
Bogor - Kendeng – Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi
– Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Serayu dapat dilihat pada Gambar
peta ekoregion DAS Serayu.
Tabel 3.43. Satuan Ekoregion DAS Serayu
NAMA KODE LUAS (ha) (%)
Dataran Fluvial Jawa F 81.612 21,83%
Dataran Pantai Selatan Jawa M2 3.301 0,88%
Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S32 1.080 0,29%
Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S12 50.780 13,58%
Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 46.764 12,51%
Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 120.230 32,16%
Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 70.034 18,74%
III - 70
Gambar 3.42. Peta Ekoregion DAS Serayu
Satuan-satuan tanah yang ada di DAS Serayu menurut Mangunsukardjo
(1984) adalah sebagai berikut :
a. Aluvialberasal dari proses pengendapan dengan periode yang berbeda. Macam-
macam tanah aluvial di DAS Serayu adalah Aluvial Hidromorf, Aluvial Kelabu
Kekuningan dan Aluvial Coklat Kelabu Gelap.
b. Regosol berasal dari bahan induk yang baru diendapkan atau karena ada proses-
proses geomorfologi yang bekerja intensif sehingga proses pembentukan tanah
tidak berlangsung. Regosol di DAS Serayu berkembang di tepian pantai dan di
kerucut Gunung api Slamet, Sumbing, dan Sindoro.
c. Litosol merupakan tanah yang tipis dengan solum < 50 cm dan mengalami
kontak langsung dengan batuan induk yang keras yang ada di bawahnya.
d. Andosols merupakan tanah yang terbentuk dari bahan induk abu gunung api.
Tanah ini berwarna hitam kelam seperti arang sebagai akibat dari pelapukan
dari material abu gunungapi yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan tingkat
pelapukan ini adalah sebagai akibat dari suhu yang cenderung sejuk-dingin
dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun.
III - 71
e. Latosolmerupakan tanah yang telah berkembang dibawah pengaruh iklim yang
basah dengan membetuk profil tanah yang dalam. Latosol terbentuk pada bahan
induk volkanik yang terletak pada kondisi relief yang memungkinkan
terbentuknya drainase baik. Latosol merupakan tanah yang potensial untuk
pengembangan pertanian, namun juga menyimpan potensi erosi yang besar
sebagai akibat dari posisinya pada lereng-lereng perbukitan dan pegunungan.
f. Grumusol merupakan tanah lempungan yang mempunyai daya kembang kerut
tinggi sebagai akibat dari adanya tipe lempung smectite. Lempung tipe ini
adalah spesifik terbentuk di bawah iklim tropik. Persebaran Grumusol di daerah
kajian terdapat di bagian hilir dari Sungai Klawing, Pekacangan dan Merawu.
g. Podsolik Merah Kuning (PMK) merupakan tanah yang telah berkembang sangat
lanjut dengan hanya menyisakan unsur-unsur resisten dan sedikit unsur besi
yang memberikan warna merah kekuningan PMK merupakan tanah yang
kurang produktif sebagai akibat dari miskinnya kandungan unsur hara dan
tingkat kelolosan air yang tinggi.
Sebaran jenis tanah berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Puslitbangtanak
terlihat pada Gambar 3.43. sedangkan luasan masing-masing jenis tanah disajikan
pada tabel 3.45.
Gambar 3.43. Peta Jenis Tanah DAS Serayu
III - 72
Tabel 3.45. Luas Masing-Masing Jenis Tanah DAS Serayu
MACAM_TANA LUAS (ha) (%)
Aluvial Coklat Kekelabuan 17.313 4,63%
Aluvial Hidromorf 2.389 0,64%
Aluvial Kelabu Kekuningan 18.673 5,00%
Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan 14.810 3,96%
Andosol Coklat Kekuningan 7.745 2,07%
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 36.707 9,83%
Asosiasi Mediteran Coklat Litosol 47.255 12,65%
Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 77 0,05%
Glei Humus dan Aluvial Kelabu 7.593 2,03%
Grumusol Hitam 44.211 11,83%
Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 33.218 8,89%
Kompleks Mediteran Merah dan Litosol 14.228 3,81%
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 18.306 4,90%
Kompleks Regosol dan Litosol 837 0,22%
Latosol Coklat 41.363 11,07%
Latosol Coklat Kemerahan 34.318 9,19%
Litosol 2.728 0,73%
Mediteran Merah Tua dan Regosol 26.163 7,00%
Organosol Eutrop 2.732 0,73%
Regosol Coklat 1.308 0,35%
Regosol Kelabu 1.498 0,40%
Penggunaan lahanberdasarkan data Menuju Indonesia Hijau (MIH) 2011, DAS
Serayu dibedakan menjadi10 kelas penggunaan lahan yaitu hutan primer, hutan
sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, sawah, semak/belukar,
tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Penggunaan lahan DAS Serayu
sebagian besar merupakan tegalan/ladang yang mencakup kawasan seluas
141.223 Ha atau meliputi 37.78%. Tutupan lahan terbesar kedua adalah sawah
seluas 78.191 Ha atau 20,92 %. Berikut ini disajikan Tabel penggunaan lahan di
DAS Serayu serta Gambar sebaran penggunaan lahan DAS Serayu.
Tabel 3.45. Penggunaan Lahan DAS Serayu
LC_2011 LUAS (ha)
(%)
Hutan Primer 11.456 3,06%
Hutan Sekunder 32.096 8,59%
Kebun Campuran 45.692 12,22%
Perkebunan 20.572 5,50%
Permukiman 40.473 10,83%
LC_2011 LUAS (ha)
(%)
Sawah 78.191 20,92%
Semak/Belukar 1.221 0,33%
Tanah Terbuka 162 0,04%
Tegalan/Ladang 141.223 37,78%
Tubuh Air 2.713 0,73%
III - 73
Gambar 3.44. Peta Penggunaan Lahan DAS Serayu
b. Karakteristik Sosial
Jumlah penduduk DAS Serayu pada tahun 2012 diperkirakan sebanyak
3.637.429 jiwa. Jumlah tersebut dihitung dengan menggunakan data jumlah
penduduk kabupaten/kota tahun 2010 yang diproyeksikan pada masing-masing
kabupaten yang terdapat dalam DAS dengan mempertimbangkan luas
kabupaten/kota dalam DAS tersebut. Banyaknya jumlah penduduk DAS di
masing-masing kabupaten terdapat pada Tabel di bawah ini. Berdasarkan
klasifikasi kepadatan penduduk dalam undang-undang nomor 56/PRP/1960
kepadatan penduduk DAS Serayu termasuk dalam kategori sangat padat yaitu
sebesar 973 jiwa/km2.
Tabel 3.46. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Serayu Tahun 2012
Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS
Jumlah Penduduk
2010
Pertumbuhan Penduduk
(%)
jumlah penduduk DAS 2012
JAWA TENGAH BANJARNEGARA 100,00% 868.913 0,31 868.913
JAWA TENGAH BANYUMAS 86,84% 1.554.527 0,59 1.350.006
JAWA TENGAH BATANG 0,09% 706.764 0,57 649
JAWA TENGAH BREBES 0,55% 1.733.869 0,11 9.507
III - 74
Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS
Jumlah Penduduk
2010
Pertumbuhan Penduduk
(%)
jumlah penduduk DAS 2012
Jawa Tengah Cilacap 8,45% 1.642.107 0,2 138.743
Jawa Tengah Kebumen 0,34% 1.159.926 -0,15 3.964
Jawa Tengah Kendal 0,01% 900.313 0,48 62
Jawa Tengah Pekalongan 0,25% 838.621 0,39 2.116
Jawa Tengah Pemalang 0,77% 1.261.353 -0,11 9.737
Jawa Tengah Purbalingga 100,00% 848.952 0,7 848.952
Jawa Tengah Tegal 0,01% 1.394.839 -0,02 93
Jawa Tengah Temanggung 0,03% 708.546 0,59 193
Jawa Tengah Wonosobo 53,58% 754.883 0,15 404.494
Jumlah Penduduk
3.637.429 Sumber : Analisis Data PPE Jawa, 2013
9.2. Permasalahan Lingkungan
a. Pencemaran lingkungan
Sumber Pencemar Domestik
Limbah domestik terutama dihasilkan oleh masyarakat yang berasal dari
tempat tinggal masyarakat. Limbah domestik terdiri dari Buangan manusia (tinja
dan urin) dan limbah cair meliputi tinja dan disebut sebagai "black water". Limbah
cair yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga seperti mencuci, mandi, memasak,
membersihkan dan sejenisnya dimasukan ke dalam kelompok "gray water".
Kuantitas limbah domestik ditentukan oleh kenaikan jumlah penduduk sepanjang
pengaliran sungai, dimana diasumsikan pembuangannya tidak menggunakan
treatment terlebih dahulu.
Sumber Point Source
Sumber pencemar berupa point source menunjukkan buangan polutan yang
ditimbulkan oleh sumber spesifik atau lokasi tertentu. Pada Sungai Serayu, sumber
point source berasal dari pabrik atau industri. Untuk studi ini estimasi beban
limbah industri besar menggunakan data primer yang diperoleh dari hasil sampling
beberapa industri di wilayah DAS Serayu dan data sekunder yang diperoleh dari
pengukuran efluent limbah (after treatment) yang dilakukan BLH Provinsi Jawa
Tengah. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan yaitu perhitungan
untuk aktivitas domestik, pertanian dan industri, kondisi beban cemaran terbesar
berasal dari aktivitas domestik yang memberikan masukkan terbesar ke dalam
badan Sungai Serayu.
III - 75
Kondisi tersebut didukung dengan adanya peningkatan jumlah penduduk
dari tahun ke tahun pada setiap Kabupaten, antara lain Kabupaten Wonosobo,
Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, dan
Kabupaten Cilacap. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan
jumlah penduduk maka beban cemaran baik debit limbah maupun konsentrasi
limbah juga akan mengalami peningkatan sehingga masukkan beban cemaran
BOD ke dalam badan sungai akan meningkat pula.
9.3. Upaya yang Telah Dilakukan
Upaya yang dilakukanoleh BBWS Serayu Opak dalam mengatasi permasalahan
banjir yaitu dengan:
Bangunan Pengendalian Banjir (tanggul, klep, Krib,dll);
Bangunan Pengendali Erosi dan Sedimentasi;
Bangunan Pelindung Tebing;
Normalisasi Sungai;
Penyusunan RPSDA (masterplan pengendali banjir);
Early Warning System;
Penataan daerah lingkungan sungai seperti: penerapan garis sempadan sungai,
peruntukan lahan di kanan kiri sungai dan penrtiban bangunan di sepanjang
sungai.
IV - 1
BAB IV
Hasil Analisis dan Pembahasan
1. Aspek Sumberdaya Air
Setelah dilakukan analisis data dan normalisasi terhadap nilai-nilai kualitas air
dengan skala 0 – 100 (terburuk s.d. terbaik), maka diperoleh nilai masing-masing indeks
kualitas air sebagaimana Tabel 4.1. berikut ini. Berdasarkan tabel tersebut diperoleh
bahwa nilai indeks kualitas air yang terbaik adalah Sungai Progo dengan nilai 50,33
sedangkan yang terburuk ada di Sungai Ciliwung dengan nilai 12,28. Secara nilai,
Sungai Progo dan Sungai Serayu memiliki nilai yang hampir sama, berarti kedua sungai
ini secara relatif sama baiknya, walaupun berdasarkan skala seratus masih berada di
kategori pertengahan (sedang). Demikian pula untuk Sungai Ciliwung dan Sungai
Bengawan Solo, keduanya memiliki nilai yang relatif sama, sama buruknya masing-
masing dengan nilai 12.28 dan 12.68. Sungai Ciliwung dan Bengawan Solo nampaknya
telah mengalami tekanan yang cukup berat, beban pencemaran air di kedua sungai ini
sudah cukup tinggi.
Tabel 4.1. Nilai Indeks Kualitas Air Sungai
No. Para-meter
B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 DO 18.92 14.18 12.12 91.50 23.84 22.06 20.56 26.38 23.35
2 BOD 11.02 29.95 13.60 6.99 50.94 42.72 41.56 79.69 27.76
3 COD 18.77 31.56 12.65 13.58 17.08 18.94 32.11 86.97 64.02
4 TSS 2.00 6.57 10.75 24.80 1.71 8.63 3.98 8.28 85.83
Rerata 12.68 20.56 12.28 34.22 23.39 23.09 24.55 50.33 50.24
Selanjutnya nilai indeks kualitas air yang relatif sama juga dialami oleh Cimanuk
(23.39) dan Citanduy (23.09). Kedua DAS atau sungai ini saling berdekatan, hanya saja
Cimanuk alirannya ke arah pantai utara sedangkan Citanduy mengarah ke pantai
selatan. Berdasarkan data visual peta penggunaan lahan, kedua DAS ini didomnasi oleh
lahan-lahan pertanian, sehingga diprediksi kualitas air sungainya banyak dipengaruhi
oleh limbah-limbah pertanian. Nilai yang hampir sama juga dialami oleh DAS Citarum
dengan nilai 24.55.
IV - 2
Penetapan nilai komponen selanjutnya adalah Indeks Kekritisan Air, yaitu
mengukur/membandingkan ketersediaan air (water supply) dan permintaan (water
demand). Hasil perhitungan diperoleh bahwa DAS Serayu mengalami surplus air yang
paling besar, dan mendapatkan nilai indeks kekritisan sebesar 56.80, namun demikian
ia berada pada kondisi mendekati kritis. Sementara DAS Ciliwung mengalami defisit
paling besar, mendapatkan nilai indeks sebesar 4.77 dan menempatkannya pada posisi
telah kritis. Menarik untuk dicermati adalah DAS Serayu dan DAS Progo, di satu sisi,
DAS Serayu memiliki potensi air yang berlimpah, sedangakn DAS Progo yang
bersebelahan mengalami defisit, dengan nilai indeks sebesar 24.42, dengan demikian
ada potensi pengaliran sumberdaya air dari DAS Serayu ke DAS Progo.
Sementara itu, DAS Ciliwung yang mengalami defisit sangat besar akan kesulitan
jika mengharap tambahan suplai dari Citarum dan Cisadane yang juga mengalami
defisit. Cisadane mendapatkan nilai indeks kekritisan air hanya sebesar 8.09 dan
menempatkannya pada status telah kritis, dan Citarum hanya mendapatkan nilai indeks
sebesar 17.34 juga menjadikannya berada pada pasisi telah kritis. Walaupun ada masa
dimana air mengalami kelebihan, terutama di saat musim hujan, namun kondisi
lingkungan (terutama tutupan vegetasi) dan sistem penyimpanan air yang kurang
maksimal, akan membuat ketiga DAS vital ini (Cisadane, Ciliwung, Citarum) selalu
menghadapi masalah. Secara lengkap, besarnya nilai indeks kekritisan air dari 9
(sembilan) DAS besar Jawa dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Nilai Indeks Kekritisan Air
Indikator B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
1 2 4 5 6 7 8 10 11
Suplay (x 1.000.000 M3) 11364.26 8398.14 580.87 1103.21 2773.51 2436.32 6212.78 2536.55 4330.01
Demand (x 1.000.000 M3) 9802.81 11691.67 3047.19 3409.07 2539.95 2346.64 8957.63 2597.21 2858.50
Demand/suplai 86.26 139.22 524.59 309.01 91.58 96.32 144.18 102.39 66.02
Status keadaan kritis
telah kritis
telah kritis
telah kritis
keadaan kritis
keadaan kritis
telah kritis
telah kritis
mendekati kritis
ITA 28.98 17.96 4.77 8.09 27.30 25.96 17.34 24.42 56.80
Berdasarkan nilai indeks dua komponen (kualitas air sungai dan kekritisan air)
dapat ditetapkan nilai indeks kualitas lingkungan pada komponen sumberdaya air.
Kedua komponen ini diberikan bobot yang berbeda, komponen kualitas air lebih
IV - 3
dipentingkan dengan nilai bobot sebesar 60%, sedangkan komponen kekritisan air
diberi bobot 40%. Setelah dilakukan pembobotan tersebut diperoleh indeks kualitas
aspek sumberdaya air adalah sebagaimana tabel berikut ini.
Tabel 4.3. Indeks Kualitas Sumberdaya Air
Indikator DAS
B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
a. Indeks Kualitas Air (IKA) 6.34 10.28 6.14 17.11 11.69 11.54 12.28 25.16 25.12
b. Indeks Kekritisan Air (ITA) 14.49 8.98 2.38 4.05 13.65 12.98 8.67 12.21 28.40
Indeks kualitas SD-Air 20.83 19.26 8.52 21.15 25.34 24.52 20.94 37.37 53.52
Berdasarkan tabel 4.3. terlihat bahwa DAS Ciliwung memiliki nilai kualitas
sumberdaya air yang paling rendah, hanya sebesar 8.52. Artinya DAS ciliwung di satu
sisi tengah mengalami kualitas air sungai yang buruk, di sisi lain juga tengah
mengalami masalah kekritisan (ketersediaan) airnya. Kondisi yang demikian sangat
tidak menguntungkan, mengingat DAS Ciliwung merupakan kawasan yang terpadat
penduduknya. Sedangkan nilai indeks kualitas sumberdaya air tertinggi berada di DAS
Serayu dengan nilai 53.52. Artinya, sementara ini DAS Serayu masih dalam kondisi
lebih baik dari sisi kualitas dan kuantitas airnya, walaupun masih berada dalam nilai
sedang (pertengahan). Menarik untuk diperhatikan adalah dua pasang DAS yang saling
berdekatan, Bengawan Solo dengan Brantas dan Cimanuk dengan Citanduy, dua pasang
DAS ini memiliki nilai yang relatif sama. Bengawan Solo mendapat nilai 20.83 dan
Brantas mendapat nilai 19.26, sementara Cimanuk mendapat nilai 25.34 dan Citanduy
mendapat nilai 24.52. Kesamaan ini diprediksi sebagai akibat dari kesamaan pola
tekanan penduduk terhadap DAS.
2. Aspek Udara
Pada penilaian indeks kualitas udara, ada 2 (dua) komponen yang digunakan yaitu
kualitas udara ambien dan pengatur kualitas udara sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam bab metode. Berdasarkan ketersediaan data hanya dua parameter kualitas udara
ambien yang digunakan yaitu SO2 dan NO2. Dari hasil perhitungan nilai kualitas udara
(berdasarkan dua parameter) diperoleh nilai yang sangat tinggi di seluruh wilayah dari
IV - 4
sembilan DAS yang dikaji, dengan nilai di atas 95, berarti kondisi kualitas udara masih
sangat baik.
Tabel. 4.4. Indeks Kualitas Udara Ambien
No. Parameter B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 SO2 99.04 100.00 97.12 97.48 95.95 97.76 94.25 94.25 97.95
2 NO2 99.50 100.00 98.72 99.61 98.52 99.06 97.95 97.95 96.56
Rerata 99.27 100.00 97.92 98.54 97.24 98.41 96.10 96.10 97.25
Sebenarnya dengan hanya menggunakan parameter SO2 dan NO2 sebagai penentu
kualitas udara, masih kurang baik. Masih banyak parameter udara penting yang
mestinya dapat dipertimbangkan sebagai penentu kualitas udara. Akan tetapi, mengingat
sangat menimnya data sekunder yang tersedia beserta kelengkapannya, maka untuk
sementara kedua parameter tersebut yang digunakan. Dengan demikian, indeks kualitas
udara ini dianggap masih lemah, terlalu besar biasnya (kurang menggambarkan kondisi
sesungguhnya). Untuk mengatasi bias tersebut kemudian dipertimbangkan faktor
penentu kualitas udara, dalam hal ini jumlah penduduk dan tutupan vegetasi. Hasil
perhitungan pengukuran komponen pengatur kualitas udara didapatkan bahwa DAS
Ciliwung memiliki nilai indeks yang terendah (5,50) sedangkan nilai tertinggi ditempati
oleh DAS Citanduy (86,78). Artinya bahwa DAS Ciliwung memiliki luas vegetasi yang
sangat kecil untuk mencukupi kebutuhan suplai udara bersih (oksigen) kepada
penduduk yang jumlahnya begitu besar, sedangkan DAS Citanduy justru sebaliknya.
Hasil perhitungan selengkapnya tertera pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Indeks Pengatur Kualitas Udara
Parameter B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
1 2 3 4 5 6 7 8 9
TV/Jml Pdd. 0.28 0.18 0.03 0.11 0.29 0.43 0.14 0.15 0.24
Nilai indeks 56.02 36.56 5.50 21.02 58.20 86.78 27.44 29.37 47.84
Selanjutnya, berdasarkan nilai indeks komponen kualitas udara ambien (IKU
ambien) dan nilai indeks pengatur kualitas udara (IAU), dengan dilakukan pembedaan
pembobotan, didapatlah hasil perhitungan indeks kualitas udara (IKU) sebagaimana
tertera pada Tabel 4.6.
IV - 5
Tabel 4.6. Indeks Kualitas Udara
Indikator DAS
B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
a. IKUA 59.56 60.00 58.75 59.13 58.34 59.05 57.66 57.66 58.35
b. IAU 22.41 14.63 2.20 8.41 23.28 34.71 10.98 11.75 19.13
IKU 81.97 74.62 60.95 67.53 81.62 93.76 68.63 69.41 77.49
Berdasarkan tabel 4.6. diperoleh gambaran bahwa kualitas udara paling buruk ada
di DAS Ciliwung, dengan nilai indeks sebesar 60.95. Sedangkan kualitas udara yang
masih terbaik berada di DAS Citanduy, dengan nilai indeks sebesar 93.76. Baiknya
kondisi udara di wilayah DAS Citanduy tidak lain karena kawasan ini masih cukup luas
daerah yang bervegetasi. DAS Cisadane dan DAS Citarum, nampaknya juga memiliki
indeks kualitas udara yang tidak jauh berbeda dengan DAS Ciliwung, hal ini mengingat
kedua kawasan ini tengah menghadapi masalah pembukaan lahan yang sangat intensif.
3. Aspek Vegetasi-Lahan
Untuk menilai indeks kualitas aspek vegetasi dan kaitannya dengan perlindungan
lahan dibawahnya, digunakan dua komponen penting yaitu tutupan vegetasi dan lahan
kritis. Hasil perhitungan yang didasari pada peta penggunaan lahan tahun 2011, dari
sembilan DAS besar yang ada di Jawa, DAS Citanduy merupakan DAS yang masih
memiliki tutupan vegetasi (tumbuhan berkayu) yang paling besar (78,77%). Sedangkan
DAS yang tutupan vegetasinya paling sedikit/kecil adalah DAS Progo (14,73%). Secara
lengkap, besarnya prosentase masing-masing DAS dapat dilihat pada Tabel 4.7. Dari
sejumlah/besarnya tutupan vegetasi tersebut, yang masih dikategorikan sebagai hutan
(hutan primer dan hutan sekunder), DAS Cisadane menempati urutan pertama yang
terbesar (13,22%), sedangkan DAS Bengawan Solo menempati urutan terakhir/terkecil
(3,58%). Jika dipersyaratkan berdasarkan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal
18) bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh
persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional,
maka seluruh DAS yang dikaji, hanya memiliki hutan yang jauh dari kata cukup.
Masing-masing memiliki kecukupan yang kurang dari 50% (0,50), bahkan DAS
Bengawan Solo hanya memiliki kecukupan hutan sebesar 12% saja, jadi masih kurang
88% lagi.
IV - 6
Tabel 4.7. Indeks Tutupan Vegetasi 9 DAS Prioritas
Indikator B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tutupan Vegetasi 30.35 29.11 35.73 68.24 28.53 78.77 30.16 14.73 30.16
Tutupan Hutan 3.58 12.34 6.76 13.22 8.82 10.43 7.05 6.62 11.84
Kecukupan hutan 0.12 0.41 0.23 0.44 0.29 0.35 0.23 0.22 0.39
Konservasi 0.65 0.72 0.80 0.97 0.43 1.08 0.67 0.60 0.41
ITV 11.69 16.41 18.26 48.25 10.32 56.38 13.69 6.01 12.12
Selain faktor kecukupan hutan, besarnya tutupan vegetasi yang ada di masing-
masing DAS juga perlu dipertimbangkan kemanfaatannya bagi kepentingan konservasi
lahan, terutama lahan-lahan yang memiliki kemiringan lereng tinggi. Dalam konsep
ekoregion, kawasan yang sangat penting untuk dikonservasi terutama adalah satuan
ekoregion Perbukitan dan Pegunungan (Vulkanik, Struktural dan Denudasional).
Keberadaan vegetasi di masing-masing DAS tersebut ternyata tidak sepenuhnya
menutupi (melindungi) satuan ekoregion ini. Hanya DAS Citanduy dan DAS Cisadane
yang tutupan vegetasinya sangat baik melindungi kawasan yang harus dikonservasi ini,
masing-masing dengan nilai sebesar 0.97 dan 1.08.
Berdasarkan pertimbangan faktor kecukupan hutan dan faktor perlindungan
terhadap lahan (konservasi lahan), maka masing-masing DAS mendapatkan nilai
Indeks Tutupan Vegetasi (ITV) yang berbeda-beda, dimana DAS Citanduy menempati
urutan pertama dengan nilai 56.38, sedangkan DAS Progo menempati urutan terakhir
dengan nilai 6.01 dalam skala 0 – 100 (terburuk s.d. terbaik).
Komponen berikutnya yang dinilai adalah kekritisan lahan. Pengukuran kekritisan
lahan digunakan data lahan kritis yang dikeluarkan oleh BP-DAS. Dalam menilai
kekritisan lahan, kategori lahan kritis yang digunakan adalah lahan kategori kritis dan
sangat kritis. Asumsi dasarnya adalah DAS yang memiliki nilai/prosentase luas lahan
kritis paling tinggi akan diberikan nilai indeks paling rendah, demikian juga sebaliknya.
Dari hasil perhitungan, diperoleh bahwa nilai indeks kekritisan lahan yang tertinggi
adalah DAS Progo (97.84), dengan demikian berarti secara prosentase terhadap luas
DAS, lahan kritis di DAS Progo jumlahnya paling kecil. Sedangkan nilai kekritisan
lahan paling kecil dipegang oleh DAS Citarum dengan nilai 75.04, hal ini berarti DAS
IV - 7
Citarum memiliki jumlah (prosentase) lahan kritis paling besar. Data selengkapnya
mengenai nilai indeks kekritisan lahan (IKL) dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Indeks Kekritisan Lahan
B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lahan kritis (%) 4.80 7.83 2.14 8.35 4.34 9.59 17.47 1.51 2.61
IKL 93.14 88.81 96.95 88.08 93.80 86.30 75.04 97.84 96.27
Setelah mendapatkan masing-masing nilai indeks (atau sub indeks) dari
komponen tutupan vegetasi dan kekritisan lahan, maka diperolehlah nilai indeks
kualitas vegetasi-lahan. Masing-masing komponen diberikan bobot penilaian yang
berbeda, dimana komponen tutupan vegetasi mendapat bobot 60%, dan komponen
kekritisan lahan 40%. Hasil perhitungan diperoleh nilai indeks kualitas vegetasi-lahan
tertinggi ada pada DAS Citanduy dengan nilai 68.34. Artinya secara kualitas tutupan
vegetasi dan besarnya lahan kritis, untuk saat ini Citanduy masih yang terbaik.
Sedangkan nilai indeks vegetasi-lahan yang terkecil ada pada DAS Citarum dengan
nilai 38.23. Artinya dari segi vegetasi dan lahan kritis, secara umum DAS Citarum
masih paling buruk. Secara lebih lengkap, nilai-nilai indeks kualitas vegetasi-lahan
masing-masing DAS dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Indeks Kualitas Vegetasi-Lahan
No Indikator DAS
B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
a. Indeks Tutupan Vegetasi (ITV) 7.01 9.84 10.96 28.95 6.19 33.83 8.21 3.61 7.27
b. Indeks Kekritisan Lahan (IKL) 37.26 35.52 38.78 35.23 37.52 34.52 30.02 39.13 38.51
Indeks kualitas vegetasi - lahan 44.27 45.37 49.74 64.18 43.71 68.34 38.23 42.74 45.78
4. Aspek Keamanan Keanekaragaman Hayati
Komponen penentu nilai IKLH yang terakhir adalah keamanan keanekaragaman
hayati. Dalam hal ini, yang dilakukan adalah penilaian terhadap sejauh mana
keanekaragaman hayati yang ada di masing-masing DAS akan terpelihara/teramankan.
Keanekaragaman hayati yang paling diharapkan adalah terpeliharanya kawasan hutan
negara yang dikelompokkan dalam hutan/kawasan konservasi dan hutan lindung.
IV - 8
Dengan mengiriskan peta DAS dan peta TGHK, dapat diperoleh luasan masing-masing
kawasan konservasi.
Pada kenyataannya walaupun sebuah lahan berstatus sebagai kawasan konservasi,
bukan berarti ia dalam kondisi berhutan rapat, bahkan banyak diantaranya bisa berupa
lahan pertanian, ladang, bahkan permukiman. Keberadaan lahan budidaya ini akan
sangat mengancam terhadap pengawetan keanekaragaman hayati. Sejauh mana
keberadaan lahan-lahan budidaya yang berada di dalam kawasan konservasi ini akan
adapat dilihat dari hasil kajian ini (Tabel 4.10.).
Tabel 4.10. Indeks Keamanan Kehati
(berdasar Tutupan Hutan pada Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung)
Luas Kawasan (Ha)
DAS
B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
Kws konservasi + Ht Lindung 48028.06 112510.30 2529.52 27326.10 53676.45 11174.20 88188.89 9551.94 24114.07
Tutupan hutan 20381.72 90289.15 2003.50 16404.30 26156.69 10038.34 38157.80 5018.90 19627.99
Prosentase (= IKH) 42.44 80.25 79.20 60.03 48.73 89.83 43.27 52.54 81.40
Pada tabel 4.10. dapat dilihat bahwa DAS Bengawan Solo mendapat nilai paling
rendah dari aspek keamanan Keanekaragaman Hayati yaitu 42.44. Walaupun DAS Solo
memiliki kawasan konservasi dan hutan lindung yang cukup luas (48.026,06 Ha) akan
tetapi hanya seluas 20.381,72 Ha (42,44%) yang dalam kondisi berhutan (hutan primer
dan hutan sekunder). Demikian pula DAS Citarum yang memiliki kawasan koservasi
dan hutan lindung seluas 88.188,941 Ha, ternyata hanya sebesar 43,27% saja yang
masih terlihat sebagai kawasan berhutan. Berarti keduanya hanya memiliki kurang dari
50% yang diharapkan sementara ini sebagai tempat pengawetan keanekaragaman
hayati, dan selebihnya terancam karena penggunaan lahannya dalam bentuk lain (seperti
kebun campuran, permukiman, semak belukar, tanah terbuka bahkan permukiman).
Sedangkan DAS yang memiliki nilai tertinggi adalah DAS Citanduy, sebesar 89.83.
Artinya, untuk saat ini (Tahun 2012) DAS Citanduy merupakan DAS yang dianggap
masih memiliki tingkat keamanan kehati yang baik, masih banyak kawasan konservasi
dan hutan lindung dalam bentuk hutan.
Penting untuk diperhatikan adalah DAS Ciliwung, walaupun secara luasan ia
memiliki kawasan perlindungan Kehati yang kecil (2.529,52 Ha), akan tetapi lahan yang
kecil itu hampir seluruhnya tertutup hutan (79,20%), sehingga membuat posisi nilainya
IV - 9
cukup tinggi, bahkan jauh lebih tinggi jika dibandingkan DAS Citarum, Cimanuk dan
Bengawan Solo. Ini artinya masalah penggunaan kawasan koservasi untuk penggunaan
fungsi budidaya (mal fungsi) di Ciliwung jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan
Citarum, Cimanuk dan Bengawan Solo. Demikian pula yang terjadi di DAS Serayu,
walaupun secara luasan ia memiliki kawasan konservasi yang kecil (24.114,07 Ha),
namun demikian kondisinya cukup baik, 81,40% tertutup sebagai kawasan berhutan.
Yang sangat menggembirakan adalah DAS Brantas, secara luasan ia memiliki kawasan
koservasi dan hutan lindung yang terbesar (112.510,30 Ha), demikian pula kondisi
tutupan hutannya juga masih tinggi (80,25%).
5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) 9 DAS
Setelah dilakukan pengukuran indeks atas masing-masing komponen, maka
dengan melalui pembobotan yang berbeda diperoleh nilai total indeks yang disebutnya
sebagai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) sembilan DAS Besar Jawa. Dalam
penilaian IKLH ini, aspek vegetasi-lahan dan aspek sumberdaya air mendapat bobot
sama, yakni masing-masing sebesar 40%, sedangkan aspek udara hanya mendapat
proporsi bobot penilaian sebanyak 20%.
Hasil perhitungan menyeluruh, diperoleh nilai IKLH terendah ada pada DAS
Ciliwung, dengan IKLH sebesar 42,13. Sedangkan nilai IKLH tertinggi ada pada DAS
Citanduy dengan nilai sebesar 68,85. Nilai IKLH secara keseluruhan dapat dilihat pada
Tabel 4.11. Cukup menarik untuk diperhatikan adalah dua DAS penting yang saling
berdekatan yakni DAS Ciliwung dan DAS Citarum. Dua DAS yang keberadaanya
sangat vital untuk menopang kota metropolitan Jakarta dan Bekasi ini tengah
mengalami kualitas lingkungan hidup yang buruk. Secara kualitas air, DAS Ciliwung
lebih buruk dari DAS Citarum, akan tetapi dari segi vegetasi-lahan DAS Ciliwung lebih
baik dari DAS Citarum. Hal ini karena DAS Ciliwung mendapat nilai lebih baik dari
komponen kekritisan lahan dan komponen keamanan kehati. DAS Ciliwung memiliki
lahan kritis dengan prosentase yang lebih kecil dari DAS Citarum. Di sisi lain DAS
Ciliwung memiliki nilai keamanan kehati yang lebih besar, artinya bahwa kawasan
konservasi dan hutan lindung yang dimiliki DAS Ciliwung kondisinya lebih baik
(prosentase tutupan hutannya lebih besar) ketimbang DAS Citarum.
IV - 10
Tabel 4.11. IKLH 9 DAS Besar di Jawa
No Indikator DAS
B Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
1 Aspek SD Air
a. IKA 6.34 10.28 6.14 17.11 11.69 11.54 12.28 25.16 25.12
b. ITA 14.49 8.98 2.38 4.05 13.65 12.98 8.67 12.21 28.40
Indeks kualitas
SD-Air 20.83 19.26 8.52 21.15 25.34 24.52 20.94 37.37 53.52
2 Aspek Udara
a. IKU 59.56 60.00 58.75 59.13 58.34 59.05 57.66 57.66 58.35
b. IAU 22.41 14.63 2.20 8.41 23.28 34.71 10.98 11.75 19.13
Indeks kualitas
Udara 81.97 74.62 60.95 67.53 81.62 93.76 68.63 69.41 77.49
3 Aspek Lahan & Vegetasi
a. ITV 7.01 9.84 9.88 28.95 6.19 33.83 8.21 3.61 7.27
b. IKL 37.26 35.52 38.78 35.23 37.52 34.52 30.02 39.13 38.51
Indeks kualitas
lahan - vegetasi 44.27 45.37 48.66 64.18 43.71 68.34 38.23 42.74 45.78
4 Aspek KEHATI
a. IKH 42.44 80.25 82.35 60.03 48.73 89.83 43.27 52.54 81.40
Indeks Keama-
nan Kehati 42.44 80.25 82.35 60.03 48.73 89.83 43.27 52.54 81.40
Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup (IKLH)
44.59 46.88 42.13 51.53 46.28 62.43 39.63 47.44 58.01
Jika dilakukan perengkingan terhadap nilai IKLH dengan pembagian kedalam
lima kelompok mulai dari; sangat buruk (0 – 20), buruk (20 – 40), sedang (40 – 60),
baik (60 – 80) dan sangat baik (80 – 100), maka terdapat satu DAS pada kategori buruk
yaitu DAS Citarum, dan terdapat satu DAS yang berada pada kategori baik yaitu DAS
Citanduy. Semenetara itu sejumlah tujuh DAS berada pada kategori sedang yaitu DAS
Bengawan Solo, Brantas, Ciliwung, Cisadane, Cimanuk, Progo dan Serayu.
6. IKLH dan Kependudukan
Analisis lebih lanjut dari nilai IKLH 9 DAS adalah melihat keterkaitannya dengan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan kepadatan penduduk. Hasil pengolahan data
IPM tahun 2004 - 2011 seluruh kabupaten/kota yang ada di masing-masing DAS,
diperoleh IPM rata-rata pada setiap DAS, sebagaimana tertera pada Tabel 4.12.
IV - 11
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa IPM di DAS Ciliwung paling tinggi yakni
sebesar 76,69, sedangkan IPM terendah berada di DAS Serayu sebesar 69,66.
Hubungan antara IPM dan IKLH ternyata tidak berbanding lurus ataupun berbanding
terbalik, artinya tidak terkait. Sementara itu, jika dilihat dari kepadatan penduduk, DAS
Ciliwung menempati posisi pertama sebagai DAS dengan kepadatan penduduk paling
tinggi, sebesar 76,69 jiwa/ha. Sedangkan DAS Bengawan Solo merupakan DAS dengan
kepadatan penduduk yang paling rendah, yakni sebesar 7,70 jiwa/ha. Ada sedikit
korelasi bahwa dengan kepadatan penduduk tinggi, cenderung IKLH menjadi rendah,
sebaliknya jika kepadatan penduduk rendah cenderung IKLH menjadi tinggi.
Contohnya jika kita membandingkan antara DAS Ciliwung dan DAS Progo atau DAS
Serayu. Tetapi korelasi ini tidak terlalu signifikan, ada juga kepadatan penduduk rendah
tetapi IKLH juga rendah seperti yang terjadi di DAS Solo jika membandingkannya
dengan DAS Cisadane. Korelasi positif akan semakin nampak jika kedua hal (IPM dan
kepadatan penduduk) dipadukan. Dengan memadukan keduanya, nampak bahwa DAS
dengan IPM tinggi berkepadatan penduduk rendah memiliki IKLH yang tinggi,
sedangkan DAS dengan IPM rendah berkepadatan penduduk tinggi menunjukkan
kecenderungan IKLH-nya rendah. Kesimpulan ini nampaknya akan jauh lebih baik jika
diberikan faktor lain sebagai tambahan untuk melihat korelasinya dengan IKLH. Hal-
hal lain yang mungkin bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi
misalnya; kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat, budaya masyarakat dan lain-
lain.
Tabel 4.12. IKLH, IPM dan Kepadatan Penduduk
No. Perihal DAS
Solo Brantas Ciliwung Cisadane Cimanuk Citanduy Citarum Progo Serayu
1 Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)
44.59 46.88 42.13 51.53 46.28 62.43 39.63 47.44 58.01
2 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 70.40 70.51 76.14 73.25 70.03 70.21 70.96 73.14 69.66
3 Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) 7.70 12.07 76.69 28.71 8.42 8.35 16.00 12.53 9.83
V - 1
BAB V
Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Berdasarkan nilai IKLH masing-masing dari Sembilan DAS yang dikaji, dapat
disimpulkan bahwa;
Kualitas air sungai dari 9 DAS yang dikaji, nilai terendah adalah Sungai Ciliwung,
dan yang tertinggi adalah Sungai Progo.
Kekritisan air permukaan, berdasarkan skala nilai, DAS Serayu yang trtinggi dan
DAS Ciliwung yang terrendah.
Secara keseluruhan, berdasarkan nilai indeks aspek sumberdaya air, DAS Ciliwung
yang mendapat nilai terrendah, dan DAS Serayu yang tertinggi.
Kualitas udara ambien, secara umum baik, namun untuk komponen pengatur
kualitas udara, DAS Ciliwung yang mendapat nilai terrendah sedangkan yang
tertinggi adalah DAS Citanduy. Sehingga dengan demikian, indeks kualitas udara
terrendah ada di DAS Ciliwung, sedangkan yang tertinggi ada di DAS Citanduy.
Selanjutnya, untuk komponen tutupan vegetasi, nilai indeks yang tertinggi ada di
DAS Citanduy, dan yang terrendah berada di DAS Progo.
Untuk komponen kekritisan lahan, nilai tertinggi ada di DAS Progo sedangkan nilai
terrendah ada di DAS Citarum.
Berdasar kedua komponen diatas, maka nilai kualitas aspek lahan, nilai tertinggi ada
di DAS Citanduy, dan yang terrendah ada di DAS Citarum.
Komponen keanekaragam hayati, nilai tertinggi berada di DAS Citanduy dan yang
terrendah berada di DAS Bengawan Solo.
Akhirnya, secara keseluruhan, berdasarkan nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
(IKLH) tahun 2012 dari sembilan DAS besar yang ada di Pulau Jawa ini, DAS
Citarum merupakan DAS yang mendapat nilai paling rendah, dengan nilai 39,63.
Sementara itu DAS Citanduy merupakan DAS yang mendapat nilai paling tinggi
dengan nilai IKLH sebesar 68,85.
V - 2
Pada aspek sumberdaya air, delapan DAS mengalami masalah kualitas dan kuantitas
kecuali DAS Serayu yang dinilai masih cukup baik.
Pada aspek kualitas udara, kawasan DAS Ciliwung, Cisadane dan Citarum yang
dinilai masih pada nilai di bawah rata-rata.
Pada aspek tutupan vegetasi, hanya DAS Citanduy dan Cisadane yang dinilai masih
cukup baik, sedangkan enam DAS lainnya dalam kondisi yang kurang baik.
Pada aspek pengamanan keanekaragaman hayati, kawasan yang dinilai buruk adalah
DAS Bengawan Solo, Citarum, Cimanuk dan Progo.
Jika diberikan rentang nilai dan kategorinya sebagaimana berikut ini, maka rengking
secara keseluruhan, dari yang nilai IKLH terkecil hingga terbesar tergambar di tabel
rengking berikut ini.
DAS Citarum Ciliwung B Solo Cimanuk Brantas Progo Cisadane Serayu Citanduy
1 2 3 4 5 6 7 8 9
IKLH 39.63 42.56 44.59 46.28 46.88 47.44 51.53 58.01 62.43
Kategori Buruk Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Baik
Kategori Rentang Nilai Gradasi Warna dan
Rentang Nilai
Sangat baik 80 - 100
93.33 - 100
86.67 - 93.33
80 - 86.67
Baik 60 - 80
73.33 - 80
66.67 - 73.33
60 - 66.67
Sedang 40 - 60
53.33 - 60
46.67 - 53.33
40 - 46.67
Buruk 20 - 40
33.33 - 40
26.67 - 33.33
20 - 26.67
Sangat buruk 0 - 20
13.33 - 20
6.67 - 13.33
0 - 6.67
V - 3
2. Rekomendasi
IKLH sembilan DAS besar Jawa ini adalah hasil pengukuran/analisis sebagai
baseline Tahun 2012. Di masa yang akan datang perlu dilakukan pengukuran kembali
untuk melihat sejauh mana perubahan nilai IKLH tersebut. Mengingat bahwa
sensitifitas nilai ini sangat kecil, dalam waktu satu tahun kondisi lingkungan tidak
terlalu signifikan berubah, maka pengukuran kembali IKLH sebaiknya paling cepat lima
tahun. Sebelum dilakukan pengukuran kembali IKLH, berbagai kebijakan, program dan
kegiatan harus dilakukan dengan fokus dan sinergitas yang tepat, supaya benar-benar
dapat mempengaruhi nilai IKLH. Berdasarkan nilai-nilai penentu IKLH focus utama
kegiatan pada masing-masing DAS adalah sebagai berikut:
1. DAS Bengawan Solo
Perlu ditingkatkan pengendalian pencemaran air untuk menurunkan beban
pencemarannya. Untuk hal ini diperlukan pendataan dan pemetaan sumber-
sumber pencemaran air.
Tutupan vegetasi, terutama di kawasan-kawasan resapan air (daerah
perbukitan dan pegunungan) perlu dijaga dan ditingkatkan. Wilayah-wilayah
yang termasuk dalam wilayah hutan Negara harus dijaga dari penebangan
liar, juga dikembalikan fungsinya sebagai hutan bagi daerah yang berfungsi
lindung.
Lahan-lahan yang telah dimanfaatkan untuk fungsi budidaya yang tidak
sesuai dengan karakter lahannya atau tidak sesuai dengan arahan tataruang
supaya dikembalikan sesuai dengan fungsinya.
Kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang pemanfaatannya tidak
sesuai, yang difungsikan sebagai lahan budidaya, agar dikembalikan sesuai
peruntukannya.
2. DAS Brantas
Peningkatan upaya pengendalian pencemaran air baik dari sumber-sumber
industri, limbah pertanian maupun limbah domestik, untuk meningkatkan
kualitas air sungainya.
Penambahan tutupan vegetasi terutama pada kawasan yang berfungsi sebagai
resapan air. Mengupayakan untuk merubah atau memperkaya dengan
V - 4
tanaman tahunan pada lahan-lahan pertanian semusim yang berada di
kawasan berfungsi lindung atau resapan air.
Peningkatan upaya pemanenan air, dengan memperbaiki kualitas lahan
dengan tutupan vegetasi, juga dengan membangun sarana penyimpan air
seperti sumur resapan, embung, kolam, danau, dll.
3. DAS Ciliwung
Sangat mendesak untuk terus dilakukan upaya peningkatan kualitas air
melalui berbagai bentuk kegiatan pengendalian pencemaran air. Penanganan
limbah domestik menjadi prioritas untuk ditingkatkan.
Perlu ditingkatkan upaya pemanenan air dengan menambah kawasan resapan
air bervegetasi, membangun embung atau danau, membangun sumur-sumur
resapan atau biopori.
Perlu ditingkatkan pengamanan kawasan hutan untuk mempertahankan
keberadaanya, mengingat kawasan ini sangat besar jumlah penduduknya.
Untuk menambah tutupan vegetasi, perlu ditingkatkan kawasan hutan kota,
mendayagunakan lahan-lahan nganggur, dan memperbaiki pemanfaatan
lahan-lahan di sempadan sungai.
4. DAS Cisadane
Perlu ditingkatkan kemampuan system penyerapan dan penyimpanan air
pada kawasan ini, mengingat kondisinya yang sudah defisit. Peningkatan
kemampuan tersebut bisa melalui vegetative maupun sipil teknis dengan
membangun embung, danau, situ, sumur-sumur resapan dan lain-lain.
5. DAS Cimanuk
Prioritas pada upaya peningkatan tutupan vegetasi dan menyelesaikan
masalah pemanfaatan lahan pada kawasan konservasi dan hutan lindung
yang banyak digunakan sebagai lahan budidaya.
6. DAS Citanduy
Pentingnya menjaga kelestarian kawasan konservasi dan hutan lindung di
kawasan ini dengan mempertahankan tutupan hutan pada wilayah hutan
Negara.
V - 5
Mengingat wilayah ini didominasi oleh kegiatan olah lahan (pertanian) maka
perlunya upaya pengendalian pencemaran air dari sektor pertanian dan
penerapan teknologi untuk mengurangi sedimentasi.
7. DAS Citarum
Prioritas utama pada DAS ini adalah penanganan masalah kualitas air,
dengan meningkatkan kegiatan pengendalian pencemaran air, baik dari
sumber domestik maupun industri.
Mengingat status kekritisan airnya telah kritis, maka juga sangat penting
dilakukan berbagai kegiatan dalam rangka pemanenan dan penyimpanan air,
dengan mengutamakan perluasan kawasan-kawasan berhutan. Memperkecil
lahan-lahan pertanian semusim pada kawasan resapan air.
8. DAS Progo
Perlu dilakukan upaya peningkatan luas tutupan hutan dan mempertahankan
atau menghentikan laju pembukaan wilayah-wilayah bervegetasi rapat untuk
meningkatkan sistem penyimpanan air.
Tingkatkan kegiatan reboisasi untuk menurunkan jumlah lahan-lahan kritis.
Diperlukan juga kegiatan-kegiatan pengendalian pencemaran air, terutama
yang bersumber dari limbah domestik dan pertanian.
9. DAS Serayu
Di wilayah ini yang penting untuk dilakukan adalah mempertahankan
kawasan-kawasan hutan dan meningkatkan luas daerah-daerah bervegetasi
rapat dengan tanaman tahunan.
Secara spesifik penanganan permasalahan lingkungan di masing-masing DAS telah
diungkapkan di atas. Berikut ini dijelaskan secara lebih umum teknologi atau cara
bagaimana melakukan usaha-usaha peningkatan kualitas lingkungan yang terkait
dengan masalah DAS di atas.
Mengatasi masalah Sedimentasi:
Penanggulangan sedimen dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu:
1. Menanggulangi terjadinya erosi permukaan.
V - 6
Usaha untuk menanggulangi terjadinya erosi permukaan dapat dilakukan
dengan cara vegetasi dan cara sipil teknis. Cara vegetasi atau bioteknik
adalah mencegah kerusakan dan memperbaiki vegetasi penutup permukaan
lahan, sehingga dapat mengurangi terjdinya erosi. Usaha yang dilakukan dalam
penanggulangan erosi dengan cara vegetasi adalah sebagai berikut :
Penghijauan lahan atau penghutanan kembali (reboisasi), terutama di
kawasan perbukitan dan pegunungan, yang memiliki kelerengan tinggi,
dan pada lahan-lahan yang kritis dan sangat kritis.
Pembuatan penghalang sedimen dari vegetasi, pembuatan pagar hidup
terutama di kawasan lahan pertanian intensif.
Melindungi kawasan hutan dari kegiatan peladangan berpindah, dan
kebakaran hutan yang dapat merusak hutan.
Mengatur sistem penebangan pohon terutama di daerah-daerah yang perlu
dikonservasi, tidak diperbolehkan sistem tebang habis, yang dapat
menyebabkan kerusakan hutan, hilangnya humus dan kestabilan tanah.
Cara yang berikutnya adalah sipil teknis (konstruksi), yaitu penanggulangan
erosi dan sedimentasi guna memperlambat aliran permukaan dengan
memperkecil kemiringan/lereng melalui pembuatan terasering. Pembuatan
saluran dan pematang sejajar garis kontur.
2. Pengendalian angkutan sedimen.
Pada prinsipnya pengendalian angkutan sedimen adalah mengusahakan agar
sedimen dapat terbawa aliran air sungai sampai ke tempat tertentu yang tidak
merugikan. Beberapa cara mengendalikan angkutan sedimen antara lain :
Bottom control structure untuk mengatur kemiringan dasar sungai
sedemikian rupa sehingga aliran masih mampu membawa sedimen tanpa
mengikis alur sungai.
Pembuatan bangunan-bangunan sipil teknis seperti; dam penahan sedimen,
ground sill, sabo dam dan pembuatan kantong-kantong lumpur.
V - 7
3. Pengendalian sedimentasi.
Pengendalian sedimentasi pada alur sungai dimaksudkan untuk mengusahakan
terjadinya pengendapan pada tempat-tempat yang dikehendaki juga
mengurangi besarnya sedimentasi. Usaha yang dilakukan berada di alur sungai
seperti :
Pembuatan dam pengendali sedimen di alur anak sungai di daerah hulu.
Pembuatan kantong lumpur di waduk (reservoir).
Penyediaan tempat-tempat khusus di tepi sungai untuk pengendapan
sedimen pada saat aliran sungai membawa muatan sedimen banyak.
Penambangan bahan galian golongan C untuk mengurangi pendangkalan
sungai, dengan pengaturan.
Pengerukan sedimen pada muara sungai
Mengatasi masalah kuantitas air sungai
Penyimpanan air yang efektif adalah dengan sistem vegetasi, dengan prinsip dasar
bahwa semakin luas daerah bervegetasi rapat, semakin baik sebuah kawasan atau
DAS menyimpan air. Perlu difikirkan sistem atau aturan penggunaan tanah milik.
Sistem itu bisa berupa aturan bahwa setiap pemilik lahan di kawasan/zona tertentu
hanya boleh 2/3 nya sebagai lahan pertanian intensif dan sisanya (1/3) sebagai
lahan berhutan/tanaman keras tahunan. Selain vegetasi, pemanenan dan
penyimpanan air dapat dilakukan melalui pembangunan waduk, dam, bendungan,
embung, sumur resapan dan lain-lain.
Mengatasi masalah kualitas air sungai:
Buruknya kualitas air sungai, pada umumnya akibat buangan limbah rumah tangga.
Berdasarkan laporan instansi lingkungan setempat, diperkirakan 80% pencemaran
air sungai akibat limbah rumah tangga, khususnya di Sungai Ciliwung, Cisadane
dan Citarum. Selain limbah rumah tangga, masih banyak pula kasus-kasus
pencemaran air sungai akibat buangan limbah pabrik/industri skala besar maupun
skala rumah tangga. Buruknya kualitas air sungai juga akibat limbah pertanian dan
sampah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas air sungai, harus dilakukan
langkah-langkah pengendalian, seperti:
V - 8
1. Setiap industri penghasil limbah cair, harus memiliki IPAL. Bagi sentra-sentra
industri rumah tangga, pemerintah daerah harusnya bisa membangun IPAL
Komunal.
2. Sementara itu, limbah domestik atau buangan rumah tangga dikelola dengan
membangun IPAL Komunal, dalam hal ini selama masyarakat tidak mampu,
dapat dibangunkan oleh pemerintah. Pembangunan perumahan baru, sebaiknya
diatur masalah pengelolaan limbahnya, bisa saja diwajibkan untuk membangun
sarana pengolah limbah.
3. Limbah pertanian juga penting untuk dikurangi. Penggunaan pupuk kimia dan
obat pembasmi hama harus dibatasi, dan lebih digalakan penggunaan pupuk
organik.
Untuk mempermudah perencanaan pembangunan sarana pengolah limbah, terlebih
dahulu harus dipetakan tempat-tempat penghasil/sumber limbah, dan dihitung
besarnya limbah yang tertumpah ke lingkungan, supaya dapat disusun perencanaan
yang tepat.
• Mengatasi masalah sampah:
Sampah yang dominan terhanyut bersama aliran air sungai dan akhirnya
menyumbat di badan-badan air, adalah sampah plastik. Oleh karena itu yang harus
dilakukan oleh pemerintah bersama masayarakat adalah:
1. Sampah diupayakan dikeloloa sejak dari sumbernya.
2. Giatkan 3R dan perbanyak Bank Sampah.
3. Pembangunan TPA dengan sistem sanitary landfill modern.
4. Kebijakan pengurangan penggunaan kantong-kantong plastik harus dilakukan
oleh pemerintah pusat maupun daerah.
• Mengatasi masalah keterancaman keanekaragaman hayati.
Bagaimana mungkin keanekaragaman hayati akan aman, jika kawasan hutan milik
negara yang berstatus sebagai Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi (Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, Kebun Raya, Swaka Margasatwa, Cagar Alam) saja
banyak diganggu oleh masyarakat. Disatu sisi, luas kawasan hutan negara dalam
tiap-tiap DAS kurang dari 30% dari luas wilayah DAS tersebut, di lain pihak
kawasan hutan itu sendiri juga tidak sepenuhnya merupakan kawasan yang
V - 9
berhutan. Padahal harapan satu-satunya keamanan kehati ada di dalam hutan
lindung dan kawasan konservasi. Oleh karena itu upaya pengamanan hutan harus
terus ditingkatkan, hukum harus ditegakkan bagi masyarakat yang merusak hutan.
Juga perlu penambahan luas wilayah koservasi, misalnya dengan mengembangkan
huta-hutan kota, Taman Kehati, Taman Wisata Alam, dll.