ii. tinjauan pustaka a. tanah - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/5754/8/09 bab ii tinjauan...
TRANSCRIPT
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah
Tanah adalah material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral
padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari
bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai
dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-
partikel padat tersebut (Das, 1988). Selain itu dalam arti lain tanah merupakan
akumulasi partikel mineral atau ikatan antar partikelnya, yang terbentuk
karena pelapukan dari batuan (Craig,1991).
Tanah juga merupakan kumpulan-kumpulan dari bagian-bagian yang padat
dan tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya mungkin material
organik) rongga-rongga diantara material tersebut berisi udara dan air
(Verhoef,1994). Sedangkan Tanah (soil) menurut teknik sipil dapat
didefinisikan sebagai sisa atau produk yang dibawa dari pelapukan batuan
dalam proses geologi yang dapat digali tanpa peledakan dan dapat ditembus
dengan peralatan pengambilan contoh (sampling) pada saat pemboran.
(Hendarsin, 2000)
Tanah juga didefinisikan sebagai akumulasi partikel mineral yang tidak
mempunyai atau lemah ikatan partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan
6
dari batuan. Diantara partikel-partikel tanah terdapat ruang kosong yang
disebut pori-pori yang berisi air dan udara. Ikatan yang lemah antara partikel-
partikel tanah disebabkan oleh pengaruh karbonat atau oksida yang
tersenyawa diantara partikel-partikel tersebut, atau dapat juga disebabkan
oleh adanya material organik bila hasil dari pelapukan tersebut di atas tetap
berada pada tempat semula maka bagian ini disebut tanah sisa (residu soil).
Hasil pelapukan terangkut ke tempat lain dan mengendap di beberapa tempat
yang berlainan disebut tanah bawaan (transportation soil). Media
pengangkutan tanah berupa gravitasi, angin, air dan gletsyer. Pada saat akan
berpindah tempat, ukuran dan bentuk partikel-partikel dapat berubah dan
terbagi dalam beberapa rentang ukuran.
Tanah menurut Bowles (1989) adalah campuran partikel-partikel yang terdiri
dari salah satu atau seluruh jenis berikut :
1. Berangkal (boulders), merupakan potongan batu yang besar, biasanya
lebih besar dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran antara 150 mm
sampai 250 mm, fragmen batuan ini disebut kerakal (cobbles).
2. Kerikil (gravel), partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm.
3. Pasir (sand), partikel batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm,
berkisar dari kasar (3-5 mm) sampai halus (kurang dari 1 mm).
4. Lanau (silt), partikel batuan berukuran dari 0,002 mm sampai 0,074 mm.
Lanau dan lempung dalam jumlah besar ditemukan dalam deposit yang
disedimentasikan ke dalam danau atau di dekat garis pantai pada muara
sungai.
7
5. Lempung (clay), partikel mineral berukuran lebih kecil dari 0,002 mm.
Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi pada tanah yang
kohesif.
6. Koloid (colloids), partikel mineral yang “diam” yang berukuran lebih kecil
dari 0,001 mm.
Istilah tanah dalam bidang mekanika tanah dapat digunakan mencakup semua
bahan seperti lempung, pasir, kerikil dan batu-batu besar. Metode yang
dipakai dalam teknik sipil untuk membedakan dan menyatakan berbagai
tanah, sebenarnya sangat berbeda dibandingkan dengan metode yang dipakai
dalam bidang geologi atau ilmu tanah. Sistem klasifikasi yang digunakan
dalam mekanika tanah dimaksudkan untuk memberikan keterangan mengenai
sifat-sifat teknis dari bahan-bahan itu dengan cara yang sama, seperti halnya
pernyatan-pernyataan secara geologis dimaksudkan untuk memberi
keterangan mengenai asal geologis dari tanah.
B. Klasifikasi Tanah
Maksud klasifikasi tanah secara umum adalah pengelompokkan berbagai
jenis tanah ke dalam kelompok yang sesuai dengan sifat teknik dan
karakteristiknya.
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem yang mengatur jenis-jenis tanah
yang berbeda-beda, tetapi mempunyai sifat-sifat yang serupa kedalam
kelompok - kelompok dan subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Dengan
adanya sistem klasifikasi ini akan menjelaskan secara singkat sifat-sifat
umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang rinci. Klasifikasi
8
ini pada umumnya di dasarkan sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti
distribusi ukuran butiran dan plastisitas. Namun semuanya tidak memberikan
penjelasan yang tegas tentang kemungkinan pemakaiannya.
Sistem klasifikasi tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Klasifikasi berdasarkan tekstur dan ukuran
Sistem klasifikasi ini di dasarkan pada keadaan permukaan tanah yang
bersangkutan, sehingga dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah dalam
tanah. Klasifikasi ini sangat sederhana di dasarkan pada distribusi ukuran
tanah saja. Pada klasifikasi ini tanah dibagi menjadi kerikil (gevel), pasir
(sand), lanau (silt) dan lempung (clay) (Das,1993).
b. Klasifikasi berdasarkan pemakaian
Pada sistem klasifikasi ini memperhitungkan sifat plastisitas tanah dan
menunjukkan sifat-sifat tanah yang penting. Pada saat ini terdapat dua
sistem klasifikasi tanah yang sering dipakai dalam bidang teknik. Kedua
sistem klasifikasi itu memperhitungkan distribusi ukuran butir dan batas-
batas Atterberg.
Klasifikasi tanah diperlukan antara lain untuk hal-hal sebagai berikut :
a. Perkiraan hasil eksplorasi tanah (perkiraan log bor tanah, peta tanah, dan
lain-lain).
b. Perkiraan standar kemiringan lereng penggalian tanah dan tebing.
c. Perkiraan pemilihan bahan (penentuan tanah yang harus disingkirkan,
pemilihan tanah dasar, bahan tanah timbunan, dan lain-lain).
d. Perkiraan persentasi muai dan susut.
9
e. Pemilihan jenis konstruksi dan peralatan untuk konstruksi (pemilihan cara
penggalian dan rancangan penggalian).
f. Perkiraan kemampuan alat untuk konstruksi.
g. Rencana pekerjaan/pembuatan lereng dan tembok penahan tanah
(perhitungan tekanan tanah dan pemilihan jenis konstruksi).
Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah sebagai hasil pengembangan
dari sistem klasifikasi yang sudah ada. Tetapi yang paling umum digunakan
adalah:
1. Sistem klasifikasi AASHTO.
Sistem klasifikasi ini mengklasifikasikan tanah ke dalam delapan
kelompok, A1-A8. Tanah yang masuk dalam golongan A-1 , A-2, dan A-
3 masuk kedalam tanah berbutir dimana 35% atau kurang dari jumlah
butiran tanah yang lolos ayakan No.200, sedangkan tanah yang masuk
dalam golongan A-4, A-5, A-6 dan A-7 adalah tanah lanau atau lempung.
A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai
bahan lapisan struktur jalan raya, maka revisi terakhir oleh AASHTO
diabaikan (Sukirman, 1992). Percobaan yang dibutuhkan untuk
mendapatkan data yang diperlukan adalah analisis saringan, batas cair, dan
batas plastis.
10
Tabel 1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASHTO
Klasifikasi umum Tanah berbutir (35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200
Klasifikasi kelompok A-1 A-3 A-2 A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7
Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200
Maks 50 Maks 30 Maks 15
Maks 50 Maks 25
Min 51 Maks 10
Maks 35 Maks 35
Maks 35
Maks 35
Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)
Maks 6
NP
Maks 40 Maks 10
Min 41 Maks 10
Maks 40 Min 11
Min 41 Min 41
Tipe material yang paling dominan
Batu pecah, kerikil dan pasir
Pasir halus
Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung
Penilaian sebagai bahan tanah dasar Baik sekali sampai baik
Klasifikasi umum Tanah berbutir (Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200
Klasifikasi kelompok A-4 A-5 A-6 A-7
Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200
Min 36
Min 36
Min 36
Min 36
Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)
Maks 40 Maks 10
Maks 41 Maks 10
Maks 40 Maks 11
Min 41 Min 11
Tipe material yang paling dominan Tanah berlanau Tanah Berlempung
Penilaian sebagai bahan tanah dasar Biasa sampai jelek
2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Unified Soil Classification System/
USCS).
Sistem ini diusulkan oleh Prof. Arthur Cassagrande pada tahun 1942 untuk
mengelompokkan tanah berdasarkan sifat teksturnya. Menurut sistem ini
tanah dikelompokkan da lam tiga kelompok yang masing-masing
diuraikan lebih spesifik lagi dengan memberi simbol pada setiap jenis
(Hendarsin, 2000), yaitu :
11
a. Tanah berbutir kasar, yaitu tanah yang mempunyai prosentase lolos
ayakan No.200 < 50 %.
Klasifikasi tanah berbutir kasar terutama tergantung pada analisa
ukuran butiran dan distribusi ukuran partikel. Tanah berbutir kasar
dapat berupa salah satu dari hal di bawah ini :
1) Kerikil (G) apabila lebih dari setengah fraksi kasar tertahan pada
saringan No. 4
2) Pasir (S) apabila lebih dari setengah fraksi kasar berada diantara
ukuran saringan No. 4 dan No. 200
b. Tanah berbutir halus, adalah tanah dengan persentase lolos ayakan No.
200 > 50 %.
Tanah berbutir ini dibagi menjadi lanau (M). Lempung Anorganik (C)
dan Tanah Organik (O) tergantung bagaimana tanah itu terletak pada
grafik plastisitas.
c. Tanah organis
Tanah ini tidak dibagi lagi tetapi diklasifikasikan dalam satu kelompok
Pt. Biasanya jenis ini sangat mudah ditekan dan tidak mempunyai sifat
sebagai bahan bangunan yang diinginkan.
Tanah khusus dari kelompok ini adalah peat, humus, tanah lumpur
dengan tekstur organis yang tinggi. Komponen umum dari tanah ini
adalah partikel-partikel daun, rumput, dahan atau bahan-bahan yang
regas lainnya.
12
Tabel 2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Bowles, 1991)
Jenis Tanah Simbol Sub Kelompok Simbol
Kerikil Pasir Lanau Lempung Organik Gambut
G S M C O Pt
Gradasi Baik Gradasi Buruk Berlanau Berlempung WL<50% WL>50%
W P M C L H
Sumber : Bowles, 1989.
Dimana :
W = Well Graded (tanah dengan gradasi baik),
P = Poorly Graded (tanah dengan gradasi buruk),
L = Low Plasticity (plastisitas rendah, LL<50),
H = High Plasticity (plastisitas tinggi, LL> 50).
13
Tabel 3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Sistem Unified Divisi Utama Simbol Nama Umum Kriteria Klasifikasi
Tana
h be
rbut
ir ka
sar≥
50%
but
iran
terta
han
sarin
gan
No.
200
Ker
ikil
50%
≥ fr
aksi
kas
ar
terta
han
sarin
gan
No.
4
Ker
ikil
bers
ih
(han
ya k
erik
il)
GW
Kerikil bergradasi-baik dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Kla
sifik
asi b
erda
sark
an p
rose
ntas
e bu
tiran
hal
us ;
Kur
ang
dari
5% lo
los s
arin
gan
no.2
00: G
M,
GP,
SW
, SP.
Leb
ih d
ari 1
2% lo
los s
arin
gan
no.2
00 :
GM
, GC
, SM
, SC
. 5%
- 12
% lo
los
sarin
gan
No.
200
: Bat
asan
kla
sifik
asi y
ang
mem
puny
ai si
mbo
l dob
el
Cu = D60 > 4 D10 Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60
GP
Kerikil bergradasi-buruk dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW
Ker
ikil
deng
an
But
iran
halu
s GM Kerikil berlanau, campuran kerikil-pasir-lanau
Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4
Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol
GC Kerikil berlempung, campuran kerikil-pasir-lempung
Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7
Pasi
r≥ 5
0% fr
aksi
kas
ar
lolo
s sar
inga
n N
o. 4
Pasi
r ber
sih
(han
ya p
asir)
SW
Pasir bergradasi-baik , pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Cu = D60 > 6 D10 Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60
SP
Pasir bergradasi-buruk, pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk SW
Pasi
r de
ngan
but
iran
halu
s
SM Pasir berlanau, campuran pasir-lanau
Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4
Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol
SC Pasir berlempung, campuran pasir-lempung
Batas-batas Atterberg di atas garis A atau PI > 7
Tana
h be
rbut
ir ha
lus
50%
ata
u le
bih
lolo
s aya
kan
No.
200
Lana
u da
n le
mpu
ng b
atas
cai
r ≤ 5
0%
ML Lanau anorganik, pasir halus sekali, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung
Diagram Plastisitas: Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar. Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan dua simbol. 60 50 CH 40 CL 30 Garis A CL-ML 20 4 ML ML atau OH 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Garis A : PI = 0.73 (LL-20)
CL
Lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai dengan sedang lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau, lempung “kurus” (lean clays)
OL Lanau-organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah
Lana
u da
n le
mpu
ng b
atas
cai
r ≥ 5
0%
MH Lanau anorganik atau pasir halus diatomae, atau lanau diatomae, lanau yang elastis
CH Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi, lempung “gemuk” (fat clays)
OH Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi
Tanah-tanah dengan kandungan organik sangat tinggi
PT Peat (gambut), muck, dan tanah-tanah lain dengan kandungan organik tinggi
Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488
Sumber : Hary Christady, 1996.
Bat
as P
last
is (%
)
Batas Cair (%)
14
C. Tanah Organik
1. Proses Terjadinya Tanah Organik
Tanah organik terbentuk karena pengaruh iklim dan curah hujan tinggi
yang sebenarnya cukup merata sepanjang tahun dengan topografi tidak
rata, sehingga memungkinkan terbentuknya depresi-depresi. Sebagai
akibat tipe iklim serupa itu, tidak terjadi perbedaan menyolok pada musim
hujan dan kemarau. Vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan
baik sehingga menghalangi insolasi dan kelembaban yang tinggi dapat
dipertahankan di lingkungan tersebut. Pada daerah cekungan dengan
genangan air terjadi akumulasi bahan organik. Hal ini disebabkan suasana
anaerob menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga
proses humifikasi akan terjadi lebih nyata dari proses mineralisasi.
Penguraian bahan organik hanya dilakukan oleh bakteri anaerob,
cendawan dan ganggang. Kecepatan dekomposisi ini dipengaruhi oleh
jenis dan jumlah bakteri anaerob, sifat vegetasi, iklim, topografi dan sifat
kimia airnya.
2. Sifat Tanah Organik
Sifat dan ciri tanah organik dapat ditentukan dengan berdasarkan sifat fisik
dan kimianya. Adapun sifat dan ciri tersebut antara lain:
a. Warna
Umumnya tanah organik berwarna coklat tua dan kehitaman ,
meskipun bahan asalnya berwarna kelabu, coklat atau kemerah-
15
merahan, tetapi setelah mengalami dekomposisi muncul senyawa-
senyawa humik berwarna gelap. Pada umumnya, perubahan yang
dialami bahan organik kelihatannya sama yang dialami oleh sisa
organik tanah mineral, walaupun pada tanah organik aerasi terbatas.
b. Berat isi
Dalam keadaan kering tanah organik sangat kering, berat isi tanah
organik bila dibandingkan dengan tanah mineral adalah rendah, yaitu
0,2 - 0,3 merupakan nilai umum bagi tanah organik yang telah
mengalami dekomposisi lanjut. Suatu lapisan tanah mineral yang telah
diolah berat isinya berkisar 1,25 - 1,45.
c. Kapasitas menahan air
Tanah Organik mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi. Mineral
kering dapat menahan air 1/5 – 2,5 dari bobotnya, sedangkan tanah
organik dapat 2 – 4 kali dari bobot keringnya. Gambut lumut yang
belum terkomposisi sedikit leih banyak dalam menahan air, sekitar 12
atau 15 bahkan 20 kali dari bobotnya sendiri.
d. Struktur
Ciri tanah organik yang lain adalah strukturnya yang mudah
dihancurkan apabila dalam keadaan kering. Bahan organik yang telah
terdekomposisi sebagian bersifat koloidal dan mempunyai kohesi dan
plastisitasnya rendah. Suatu tanah berbahan organik yang baik adalah
poroeus atau mudah dilewati air, terbuka dan mudah diolah. Ciri-ciri
ini sangat diinginkan oleh pertanian tetapi tidak baik untuk bahan
konstruksi sipil.
16
Sebagai akibat dari kemampuan yang besar untuk menahan air, maka
apabila terjadi perbaikan drainase dimana dengan adanya pengurangan
kadar air akan terjadi pemadatan struktur tanah organik, hal ini akan
menurunkan muka tanah dan kalau ada tumbuhan akarnya akan
muncul di atas permukaan tanah.
e. Reaksi masam
Pada tanah organik, dekomposisi bahan organik akan menghasilkan
asam-asam organik yang terakumulasi pada tubuh tanah, sehingga
akan meningkatkan keasaman tanah organik. Dengan demikian tanah
organik akan cenderung lebih masam dari tanah mineral pada
kejenuhan basah yang sama.
f. Sifat koloidal
Sifat ini mempunyai kapasitas tukar kationnya lebih besar, serta sifat
ini lebih jelas diperlihatkan oleh tanah organik daripada tanah mineral.
Luas permukaan dua hingga empat kali daripada tanah mineral.
g. Sifat penyangga
Pada tanah organik lebih banyak diperlukan belerang atau kapur yang
digunakan untuk perubahan pH pada tingkat nilai yang sama dengan
tanah mineral. Hal ini disebabkan karena sifat penyangga tanah
ditentukan oleh besar kapasitas tukar kation, dengan demikian tanah
organik umumnya memperlihatkan gaya resistensi yang nyata terhadap
perubahan pH bila diandingkan dengan tanah mineral.
17
3. Identifikasi Organik
Terdapat dua sistem penggolongan utama yang dilakukan, yakni sistem
penanggulangan AASHTO (metode AASHTO M 145 atau penandaan
ASTM D-3282) dan sistem penggolongan tanah bersatu (penandaan
ASTM D-2487). Dalam metode AASHTO, tidak tercantum untuk gambut
dan tanah yang organik, sehingga ASTM D-2487 harus digunakan sebagai
langkah pertama pada pengidentifikasian gambut.
Tabel 4. Penggolongan tanah berdasarkan kandungan organik
KANDUNGAN ORGANIK KELOMPOK TANAH
> 75 % GAMBUT
25 % - 75 % TANAH ORGANIK
< 25 % TANAH DENGAN KANDUNGAN
ORGANIK RENDAH
(SUMBER : PEDOMAN KONSTRUKSI JALAN DI ATAS TANAH GAMBUT DAN ORGANIK, 1996)
D. Abu Ampas Tebu
Abu ampas tebu merupakan limbah hasil pembakaran ampas tebu. Ampas
tebu merupakan suatu residu dari proses penggilingan tanaman tebu setelah
diekstrak atau dikeluarkan niranya pada industri pemurnian gula sehingga
hasil samping sejumlah limbah berserat yang dikenal sebagai ampas tebu
(baggasse).
Pada proses penggilingan tebu, terdapat lima kali proses penggilingan dari
batang tebu sampai dihasilkan ampas tebu. Pada penggilingan pertama dan
18
kedua dihasilkan nira mentah yang berwarna kuning kecoklatan. Kemudian
pada proses penggilingan ketiga, keempat dan kelima dihasilkan nira dengan
volume yang tidak sama. Setelah proses penggilingan awal, yaitu
penggilingan pertama dan kedua dihasilkan ampas tebu basah. Untuk
mendapatkan nira yang optimal, pada penggilingan ampas hasil gilingan
kedua harus ditambahkan susu kapur 3Be yang berfungsi sebagai senyawa
yang mampu menyerap nira dari serat ampas tebu sehingga pada
penggilingan ketiga nira masih dapat diserap meskipun volumenya lebih
sedikit dari hasil gilingan kedua. Pada penggilingan seterusnya hingga
penggilingan kelima ditambahkan susu kapur 3Be dengan volume yang
berbeda-beda tergantung sedikit banyaknya nira yang masih dapat dihasilkan.
Penggilingan I Penggilingan III Penggilingan V
Penggilingan II Penggilingan IV
Ampas Ampas Ampas Ampas Ampas
Gilingan I Gilingan II Gilingan III Gilingan IV Gilingan V
Tebu
Susu Kapur Susu Kapur Susu Kapur 3Be 3Be 3Be
Gambar 1. Proses Penggilingan Tebu
Tiap berproduksi, pabrik gula selalu menghasilkan limbah yang terdiri dari
limbah padat, cair dan gas. Limbah padat, yaitu ampas tebu (bagasse), abu
19
boiler dan blotong (filter cake). Ampas tebu merupakan limbah padat yang
berasal dari perasan batang tebu ini banyak mengandung serat dan gabus.
Pembuangan ampas tebu dapat membawa masalah sebab ampas bersifat
meruah sehingga menyimpannya perlu area yang luas. Ampas mudah
terbakar sebab didalamnya banyak mengandung air, gula, serat, dan mikroba
sehingga bila tertumpuk akan termentasi dan melepaskan panas. Untuk
mengatasi kelebihan ampas tebu adalah dengan membakarnya untuk
mengurangi jumlah ampas tebu. Pembakaran ampas tebu inilah yang
menghasilkan abu ampas tebu.
Abu ampas tebu (baggase ash) merupakan hasil perubahan kimiawi dari
pembakaran ampas tebu murni yang terdiri dari garam-garam anorganik.
Hasil pengujian yang dilakukakan di laboratorium Instrumen Jurusan Kimia
fakultas MIPA Unila,diantaranya adalah silika (SiO2) yang terkandung di
dalam abu ampas tebu mencapai 44,87% dan alumunia (Al2O3) sebesar
21,94%.
E. Stabilisasi Tanah
Stabilisasi tanah adalah suatu proses untuk memperbaiki sifat-sifat tanah
dengan menambahkan sesuatu pada tanah tersebut, agar dapat menaikkan
kekuatan tanah dan mempertahankan kekuatan geser. Stabilisasi berhubungan
dengan pencampuran atau penambahan campuran bahan tertentu. Tujuan
stabilisasi tanah adalah untuk mendapatkan kondisi tanah yang memenuhi
spesifikasi yang disyaratkan, serta untuk mengikat dan menyatukan agregat
20
material yang ada sehingga membentuk struktur jalan atau pondasi jalan yang
padat. Menurut Ingels dan Metcalf (1972), sifat-sifat tanah yang diperbaiki
dengan stabilisasi dapat meliputi : kestabilan volume, kekuatan/daya dukung,
permeabilitas, dan kekekalan atau keawetan.
Menurut Bowless (1989), dalam bukunya Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis
(Mekanika Tanah) stabilisasi tanah dalam realisasinya tediri dari salah satu
atau gabungan pekerjaan-pekerjaan berikut:
1. Mekanis, yaitu pemadatan dengan berbagai jenis pemadatan mekanis,
seperti mesin gilas, benda berat yang dijatuhkan (pounder), pemanasan,
peledakan dengan alat peledak, tekanan statis, pembekuan, dan lain-lain.
2. Bahan pencampur (addtive) adalah penambahan bahan lain pada tanah.
Bahan additive yang digunakan dapat berupa bahan kimiawi, seperti
semen, abu batubara, aspal, sodium, kalsium klorida, atau limbah parbrik
kertas dan lain-lain sedangkan bahan nonkimia yang biasa digunakan
antara lain gamping atau kerikil. Metode ini sangat bergantung pada lama
waktu pemeraman, hal ini disebabkan karena proses perbaikan sifat-sifat
tanah terjadi proses kimia yang memerlukan waktu untuk zat kimia yang
ada didalam additive tersebut untuk bereaksi.
F. California Bearing Ratio (CBR)
Metode perencanaan perkerasan jalan yang umum digunakan yaitu dengan
cara-cara empiris, yang biasa dikenal adalah cara CBR (California Bearing
Ratio). Metode ini dikembangkan oleh California State Highway
21
Departement sebagai cara untuk menilai kekuatan tanah dasar jalan
(subgrade). Istilah CBR menunjukkan suatu perbandingan (ratio) antara
beban yang diperlukan untuk menekan piston logam (luas penampang 3
sqinch) ke dalam tanah untuk mencapai penurunan (penetrasi) tertentu dengan
beban yang diperlukan pada penekanan piston terhadap material batu pecah di
California pada penetrasi yang sama (Canonica, 1991).
Menurut AASHTO T-193-74 dan ASTM D-1883-73, California Bearing
Ratio adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu beban terhadap beban
standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama.
Nilai CBR akan digunakan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan. Harga
CBR itu sendiri adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar
dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai
CBR sebesar 100% dalam memikul beban. Untuk menentukan tebal lapis
perkerasan dari nilai CBR digunakan grafik-grafik yang dikembangkan untuk
berbagai muatan roda kendaraan dengan intensitas lalu lintas.
Menurut Soedarmo dan Purnomo (1997), berdasarkan cara mendapatkan
contoh tanah, CBR dapat dibagi atas :
1. CBR lapangan (CBR inplace atau field CBR).
CBR lapangan memiliki kegunaan sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan sesuai dengan kondisi
tanah pada saat itu. Umumnya digunakan untuk perencanaan tebal
lapis perkerasan yang lapisan tanah dasarnya sudah tidak akan
dipadatkan lagi.
22
b. Untuk mengontrol kepadatan yang diperoleh sehingga sesuai dengan
yang diinginkan. Pemeriksaan ini tidak umum digunakan.
Metode pemeriksaan CBR lapangan dilakukan dengan meletakkan piston
pada kedalaman dimana nilai CBR akan ditentukan lalu dipenetrasi
dengan menggunakan beban yang dilimpahkan melalui gardan truk.
2. CBR lapangan rendaman (undisturbed soaked CBR).
CBR lapangan rendaman ini berguna untuk mendapatkan nilai CBR asli
di lapangan pada keadaan tanah jenuh air, dan tanah mengalami
pengembangan (swelling) maksimum. Pemeriksaan ini dilaksanakan pada
musim kemarau dan kondisi tanah dasar tidak dalam keadaan jenuh air.
Dan digunakan pada badan jalan yang sering terendam air pada musim
hujan.
Pemeriksaan CBR lapangan rendaman dilakukan dengan mengambil
contoh tanah dalam tabung (mold) yang ditekan masuk ke dalam tanah
mencapai kedalaman tanah yang diinginkan. Mold yang berisi contoh
tanah yang dikeluarkan dan direndam dalam air selama 4 hari sambil
diukur pengembangannya (swelling). Setelah pengembangan tidak terjadi
lagi maka dilaksanakan pemeriksaan CBR.
3. CBR laboratorium (laboratory CBR).
CBR laboratorium dapat disebut juga CBR rencana titik. Tanah dasar
yang diperiksa merupakan jalan baru yang berasal dari tanah asli, tanah
timbunan atau tanah galian yang dipadatkan sampai mencapai 95%
kepadatan maksimum. Dengan demikian daya dukung tanah dasar
23
merupakan kemampuan lapisan tanah yang memikul beban setelah tanah
itu dipadatkan. Oleh karena itu, nilai CBR laboratorium adalah nilai CBR
yang diperoleh dari contoh tanah yang dibuat dan mewakili keadaan
tanah tersebut setelah dipadatkan.
Pemeriksaan CBR laboratorium dilaksanakan dengan dua macam metode
yaitu CBR laboratorium rendaman (soaked design CBR) dan CBR
laboratorium tanpa rendaman (unsoaked design CBR) (Sukirman, 1992).
Hal yang membedakan pada dua macam metode tersebut adalah contoh
tanah atau benda uji sebelum dilakukan pemeriksaan CBR.
Untuk uji CBR metode rendaman adalah untuk mengasumsikan
keadaan hujan atau saat kondisi terjelek di lapangan yang akan
memberikan pengaruh penambahan air pada tanah yang telah
berkurang airnya, sehingga akan mengakibatkan pengembangan
(swelling) dan penurunan kuat dukung tanah.
Untuk metode CBR rendaman, contoh tanah di dalam cetakan direndam
dalam air sehingga air dapat meresap dari atas maupun dari bawah dan
permukaan air selama perendaman harus tetap kemudian benda uji yang
direndam telah siap untuk diperiksa. Dan untuk metode CBR tanpa
rendaman, contoh tanah dapat langsung diperiksa tanpa dilakukan
perendaman (ASTM D-1883-87).
Pengujian kekuatan CBR dilakukan dengan alat yang mempunyai piston
dengan luas 3 sqinch dengan kecepatan gerak vertikal ke bawah 0,05
inch/menit, proving ring digunakan untuk mengukur beban yang dibutuhkan
24
pada penetrasi tertentu yang diukur dengan arloji pengukur (dial). Penentuan
nilai CBR yang biasa digunakan untuk menghitung kekuatan pondasi jalan
adalah penetrasi 0,1” dan penetrasi 0,2” dengan rumus sebagai berikut:
Nilai CBR pada penetrsai 0,1” =
Nilai CBR pada penetrsai 0,2” =
Dimana :
A = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,1”
B = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,2”
Nilai CBR yang didapat adalah nilai yang terkecil diantara hasil perhitungan
kedua nilai CBR.
Berikut ini adalah tabel beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi
bahan standar.
Tabel 5. Beban penetrasi bahan standar
Penetrasi (inch) Beban Standar (lbs) Beban Standar (lbs/inch)
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
3000
4500
5700
6900
7800
1000
1500
1900
2300
6000
100% x 3000
A
100% x 4500
B
25
G. Batas-batas Konsistensi
Batas-batas konsistensi atau disebut juga batas-batas Atterberg (yang diambil
dari nama peneliti pertamanya yaitu Atterberg pada tahun 1911) adalah batas
kadar air yang mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah.
Kadar air yang terkandung dalam tanah berbeda-beda pada setiap kondisi.
Kadar air tersebut bergantung pada interaksi antara partikel mineral lempung,
bila kandungan air berkurang maka ketebalan lapisan kation akan berkurang
pula yang mengakibatkan bertambahnya gaya-gaya tarik antara partikel-
partikel. Sedangkan jika kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air
akan menjadi sangat lembek seperti cairan. Oleh karena itu, berdasarkan
kadar air yang dikandung tanah, tanah dapat dibedakan ke dalam empat (4)
keadaan dasar, yaitu : padat (solid), semi padat (semi solid), plastis (plastic),
dan cair (liquid), seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Batas Konsistensi Tanah
Padat Padat Semi Plastis Cair
Limit) (ShrinkageSusut Batas
Limit) (PlasticPlastis Batas
Limit) (LiquidCair Batas
Kering Makin Basah
BertambahAir Kadar
PL - LL PI(PI)Index Plasticity
Cakupan
26
Adapun yang termasuk ke dalam batas-batas Atterberg antara lain:
1. Batas cair (Liquid Limit).
Batas cair (LL) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan
keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis.
2. Batas plastis (Plastic Limit).
Batas plastis (PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis
dan semi plastis, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan
diameter silinder 3 mm mulai retak-ratak ketika digulung.
3. Batas susut (Shrinkage Limit).
Batas susut (SL) adalah kadar air yang didefinisikan pada derajat
kejenuhan 100%, dimana untuk nilai-nilai dibawahnya tidak akan
terdapat perubahan volume tanah apabila dikeringkan terus. Harus
diketahui bahwa batas susut makin kecil maka tanah akan lebih mudah
mengalami perubahan volume.
4. Indeks plastisitas (Plasticity Index).
Indeks plastisitas (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis.
Indeks plastisitas merupakan interval kadar air tanah yang masih bersifat
plastis.
5. Berat spesifik (Specific Gravity).
Berat jenis tanah (Gs) adalah perbandingan antara berat volume butiran
padat (γs) dengan berat volume air (γw) pada temperature tº C.
27
H. Pemadatan Tanah
Pemadatan tanah adalah suatu proses memadatnya partikel tanah sehingga
terjadi pengurangan volume udara dan volume air dengan memakai cara
mekanis. Kepadatan tanah tergantung pada nilai kadar air, jika kadar air tanah
sedikit maka tanah akan keras begitu pula sebaliknya, bila kadar air banyak
maka tanah akan menjadi lunak atau cair. Pemadatan yang dilakukan pada
saat kadar air lebih tinggi daripada kadar air optimumnya akan memberikan
pengaruh terhadap sifat tanah.
Manfaat dari pemadatan tanah adalah memperbaiki beberapa sifat teknik
tanah, antara lain:
1. Memperbaiki kuat geser tanah yaitu menaikkan nilai θ dan C (memperkuat
tanah).
2. Mengurangi kompresibilitas yaitu mengurangi penurunan oleh beban.
3. Mengurangi permeabilitas yaitu mengurangi nilai k.
4. Mengurangi sifat kembang susut tanah (lempung).
Pemadatan tanah dapat dilakukan di lapangan maupun di laboratorium. Di
lapangan biasanya tanah akan digilas dengan mesin penggilas yang
didalamnya terdapat alat penggetar, getaran tersebut akan menggetarkan
tanah sehingga terjadi pemadatan. Sedangkan di laboratorium menggunakan
pengujian standar yang disebut dengan uji proctor, dengan cara suatu palu
dijatuhkan dari ketinggian tertentu beberapa lapisan tanah di dalam sebuah
mold. Dengan dilakukannya pengujian pemadatan tanah ini, maka akan
28
terdapat hubungan antara kadar air dengan berat volume. Berdasarkan tenaga
pemadatan yang diberikan, pengujian proctor dibedakan menjadi 2 macam:
1. Proktor Standar.
2. Proktor Modifikasi.
Rincian mengenai persamaan ataupun perbedaan dari kedua proctor tersebut,
diperlihatkan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Elemen-elemen uji pemadatan di laboratorium (Das, 1988)
Proctor Standar (ASTM D-698)
Proctor Modifikasi (ASTM D-1557)
Berat palu 24,5 N (5,5 lb) 44,5 N (10 lb)
Tinggi jatuh palu 305 mm (12 in) 457 mm (18 in)
Jumlah lapisan 3 5
Jumlah tumbukan/lapisan 25 25
Volume cetakan 1/30 ft3
Tanah saringan (-) No. 4
Energi pemadatan 595 kJ/m3 2698 kJ/m3
I. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian laboratorium yang menjadi bahan pertimbangan dan
acuan penelitian ini dikarenakan adanya kesamaan metode dan sampel tanah
yang digunakan, akan tetapi untuk bahan aditif dan variasi campuran serta
waktu pemeraman yang berbeda, antara lain :
29
1. Stabilisasi pada tanah lempung lunak menggunakan Abu Ampas Tebu
Penelitian yang dilakukan oleh Zulya Safitri pada tahun 2012 adalah
mengenai “Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu (Bagasse Ash)
Sebagai Bahan Stabilisator Pada Tanah Lempung Lunak” mengatakan
bahwa penggunaan bahan campuran Abu Ampas Tebu sebagai bahan
stabilisasi pada tanah lempung lunak Rawa Sragi dengan perlakuan
pemeraman selama 7 hari serta rendaman selama 4 hari mampu
meningkatkan kekuatan daya dukungnya.
Tabel 7. Hasil pengujian CBR tiap kadar campuran (Zulya Safitri, 2012)
Kadar abu ampas tebu CBR
(Tanpa Rendaman)
CBR
(Rendaman)
5% 9,2% 5,4%
10% 10,7% 6,7%
15% 12,6% 8%
2. Stabilisasi tanah Organik dengan semen dan sekam padi
Penelitian stabilisasi tanah dengan semen dan sekam padi oleh Andri
Frandustie pada tahun 2010 dengan judul “Pemanfaatan Sekam Padi
Pada Stabilisasi Tanah Organik Dengan Menggunakan Semen”. Hasil
pengujian nilai CBR sampel tanah asli dengan penambahan campuran
sekam padi + semen masing-masing 6 %, 9 % dan 12 % dengan
prosentase perbandingan sekam padi : semen untuk masing-masing
sampel yaitu 1: 2 dapat dilihat pada Tabel 8.
30
Tabel 8. Hasil uji CBR campuran sekam padi + semen (Andri Frandustie, 2010)
Kadar Semen
(%)
Kadar Sekam Padi (%)
Nilai CBR Prosentase Penurunan Nilai CBR
Tanpa Rendaman
(%)
Prosentase Peningkatan
(%)
Rendaman (%)
Prosentase Peningkatan
(%)
4 2 4,4 0,9
2,75 0,85
1,65
6 3 5,5 3,6 1,9
0,9 1,0 8 4 6,4 4,7 1,7
Dari Tabel 8 dapat dijelaskan bahwa penambahan kadar semen dan
sekam padi berpengaruh terhadap kekuatan campuran tersebut, hal ini
dapat dilihat dari nilai CBR yang dihasilkan. Semakin besar kadar semen
dan sekam padi yang ditambahkan dalam setiap campuran, maka nilai
CBR tanah campuran tersebut juga semakin meningkat. Dari Tabel 8
juga dapat dilihat bahwa nilai dari CBR rendaman lebih kecil
dibandingkan dengan nilai CBR tanpa rendaman. Hal ini disebabkan oleh
pengaruh dari perendaman yang mampu menurunkan nilai CBR, mula-
mula air hanya mengisi rongga pori, tetapi lama kelamaan ukuran butiran
tanah menjadi maksimum pada saat jenuh air.