ii. tinjauan pustaka a. tanah - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/5754/8/09 bab ii tinjauan...

26
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Tanah adalah material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel- partikel padat tersebut (Das, 1988). Selain itu dalam arti lain tanah merupakan akumulasi partikel mineral atau ikatan antar partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan dari batuan (Craig,1991). Tanah juga merupakan kumpulan-kumpulan dari bagian-bagian yang padat dan tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya mungkin material organik) rongga-rongga diantara material tersebut berisi udara dan air (Verhoef,1994). Sedangkan Tanah (soil) menurut teknik sipil dapat didefinisikan sebagai sisa atau produk yang dibawa dari pelapukan batuan dalam proses geologi yang dapat digali tanpa peledakan dan dapat ditembus dengan peralatan pengambilan contoh (sampling) pada saat pemboran. (Hendarsin, 2000) Tanah juga didefinisikan sebagai akumulasi partikel mineral yang tidak mempunyai atau lemah ikatan partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan

Upload: others

Post on 21-Sep-2019

36 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanah

Tanah adalah material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral

padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari

bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai

dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-

partikel padat tersebut (Das, 1988). Selain itu dalam arti lain tanah merupakan

akumulasi partikel mineral atau ikatan antar partikelnya, yang terbentuk

karena pelapukan dari batuan (Craig,1991).

Tanah juga merupakan kumpulan-kumpulan dari bagian-bagian yang padat

dan tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya mungkin material

organik) rongga-rongga diantara material tersebut berisi udara dan air

(Verhoef,1994). Sedangkan Tanah (soil) menurut teknik sipil dapat

didefinisikan sebagai sisa atau produk yang dibawa dari pelapukan batuan

dalam proses geologi yang dapat digali tanpa peledakan dan dapat ditembus

dengan peralatan pengambilan contoh (sampling) pada saat pemboran.

(Hendarsin, 2000)

Tanah juga didefinisikan sebagai akumulasi partikel mineral yang tidak

mempunyai atau lemah ikatan partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan

6

dari batuan. Diantara partikel-partikel tanah terdapat ruang kosong yang

disebut pori-pori yang berisi air dan udara. Ikatan yang lemah antara partikel-

partikel tanah disebabkan oleh pengaruh karbonat atau oksida yang

tersenyawa diantara partikel-partikel tersebut, atau dapat juga disebabkan

oleh adanya material organik bila hasil dari pelapukan tersebut di atas tetap

berada pada tempat semula maka bagian ini disebut tanah sisa (residu soil).

Hasil pelapukan terangkut ke tempat lain dan mengendap di beberapa tempat

yang berlainan disebut tanah bawaan (transportation soil). Media

pengangkutan tanah berupa gravitasi, angin, air dan gletsyer. Pada saat akan

berpindah tempat, ukuran dan bentuk partikel-partikel dapat berubah dan

terbagi dalam beberapa rentang ukuran.

Tanah menurut Bowles (1989) adalah campuran partikel-partikel yang terdiri

dari salah satu atau seluruh jenis berikut :

1. Berangkal (boulders), merupakan potongan batu yang besar, biasanya

lebih besar dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran antara 150 mm

sampai 250 mm, fragmen batuan ini disebut kerakal (cobbles).

2. Kerikil (gravel), partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm.

3. Pasir (sand), partikel batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm,

berkisar dari kasar (3-5 mm) sampai halus (kurang dari 1 mm).

4. Lanau (silt), partikel batuan berukuran dari 0,002 mm sampai 0,074 mm.

Lanau dan lempung dalam jumlah besar ditemukan dalam deposit yang

disedimentasikan ke dalam danau atau di dekat garis pantai pada muara

sungai.

7

5. Lempung (clay), partikel mineral berukuran lebih kecil dari 0,002 mm.

Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi pada tanah yang

kohesif.

6. Koloid (colloids), partikel mineral yang “diam” yang berukuran lebih kecil

dari 0,001 mm.

Istilah tanah dalam bidang mekanika tanah dapat digunakan mencakup semua

bahan seperti lempung, pasir, kerikil dan batu-batu besar. Metode yang

dipakai dalam teknik sipil untuk membedakan dan menyatakan berbagai

tanah, sebenarnya sangat berbeda dibandingkan dengan metode yang dipakai

dalam bidang geologi atau ilmu tanah. Sistem klasifikasi yang digunakan

dalam mekanika tanah dimaksudkan untuk memberikan keterangan mengenai

sifat-sifat teknis dari bahan-bahan itu dengan cara yang sama, seperti halnya

pernyatan-pernyataan secara geologis dimaksudkan untuk memberi

keterangan mengenai asal geologis dari tanah.

B. Klasifikasi Tanah

Maksud klasifikasi tanah secara umum adalah pengelompokkan berbagai

jenis tanah ke dalam kelompok yang sesuai dengan sifat teknik dan

karakteristiknya.

Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem yang mengatur jenis-jenis tanah

yang berbeda-beda, tetapi mempunyai sifat-sifat yang serupa kedalam

kelompok - kelompok dan subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Dengan

adanya sistem klasifikasi ini akan menjelaskan secara singkat sifat-sifat

umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang rinci. Klasifikasi

8

ini pada umumnya di dasarkan sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti

distribusi ukuran butiran dan plastisitas. Namun semuanya tidak memberikan

penjelasan yang tegas tentang kemungkinan pemakaiannya.

Sistem klasifikasi tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Klasifikasi berdasarkan tekstur dan ukuran

Sistem klasifikasi ini di dasarkan pada keadaan permukaan tanah yang

bersangkutan, sehingga dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah dalam

tanah. Klasifikasi ini sangat sederhana di dasarkan pada distribusi ukuran

tanah saja. Pada klasifikasi ini tanah dibagi menjadi kerikil (gevel), pasir

(sand), lanau (silt) dan lempung (clay) (Das,1993).

b. Klasifikasi berdasarkan pemakaian

Pada sistem klasifikasi ini memperhitungkan sifat plastisitas tanah dan

menunjukkan sifat-sifat tanah yang penting. Pada saat ini terdapat dua

sistem klasifikasi tanah yang sering dipakai dalam bidang teknik. Kedua

sistem klasifikasi itu memperhitungkan distribusi ukuran butir dan batas-

batas Atterberg.

Klasifikasi tanah diperlukan antara lain untuk hal-hal sebagai berikut :

a. Perkiraan hasil eksplorasi tanah (perkiraan log bor tanah, peta tanah, dan

lain-lain).

b. Perkiraan standar kemiringan lereng penggalian tanah dan tebing.

c. Perkiraan pemilihan bahan (penentuan tanah yang harus disingkirkan,

pemilihan tanah dasar, bahan tanah timbunan, dan lain-lain).

d. Perkiraan persentasi muai dan susut.

9

e. Pemilihan jenis konstruksi dan peralatan untuk konstruksi (pemilihan cara

penggalian dan rancangan penggalian).

f. Perkiraan kemampuan alat untuk konstruksi.

g. Rencana pekerjaan/pembuatan lereng dan tembok penahan tanah

(perhitungan tekanan tanah dan pemilihan jenis konstruksi).

Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah sebagai hasil pengembangan

dari sistem klasifikasi yang sudah ada. Tetapi yang paling umum digunakan

adalah:

1. Sistem klasifikasi AASHTO.

Sistem klasifikasi ini mengklasifikasikan tanah ke dalam delapan

kelompok, A1-A8. Tanah yang masuk dalam golongan A-1 , A-2, dan A-

3 masuk kedalam tanah berbutir dimana 35% atau kurang dari jumlah

butiran tanah yang lolos ayakan No.200, sedangkan tanah yang masuk

dalam golongan A-4, A-5, A-6 dan A-7 adalah tanah lanau atau lempung.

A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai

bahan lapisan struktur jalan raya, maka revisi terakhir oleh AASHTO

diabaikan (Sukirman, 1992). Percobaan yang dibutuhkan untuk

mendapatkan data yang diperlukan adalah analisis saringan, batas cair, dan

batas plastis.

10

Tabel 1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASHTO

Klasifikasi umum Tanah berbutir (35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200

Klasifikasi kelompok A-1 A-3 A-2 A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7

Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200

Maks 50 Maks 30 Maks 15

Maks 50 Maks 25

Min 51 Maks 10

Maks 35 Maks 35

Maks 35

Maks 35

Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)

Maks 6

NP

Maks 40 Maks 10

Min 41 Maks 10

Maks 40 Min 11

Min 41 Min 41

Tipe material yang paling dominan

Batu pecah, kerikil dan pasir

Pasir halus

Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung

Penilaian sebagai bahan tanah dasar Baik sekali sampai baik

Klasifikasi umum Tanah berbutir (Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200

Klasifikasi kelompok A-4 A-5 A-6 A-7

Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200

Min 36

Min 36

Min 36

Min 36

Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)

Maks 40 Maks 10

Maks 41 Maks 10

Maks 40 Maks 11

Min 41 Min 11

Tipe material yang paling dominan Tanah berlanau Tanah Berlempung

Penilaian sebagai bahan tanah dasar Biasa sampai jelek

2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Unified Soil Classification System/

USCS).

Sistem ini diusulkan oleh Prof. Arthur Cassagrande pada tahun 1942 untuk

mengelompokkan tanah berdasarkan sifat teksturnya. Menurut sistem ini

tanah dikelompokkan da lam tiga kelompok yang masing-masing

diuraikan lebih spesifik lagi dengan memberi simbol pada setiap jenis

(Hendarsin, 2000), yaitu :

11

a. Tanah berbutir kasar, yaitu tanah yang mempunyai prosentase lolos

ayakan No.200 < 50 %.

Klasifikasi tanah berbutir kasar terutama tergantung pada analisa

ukuran butiran dan distribusi ukuran partikel. Tanah berbutir kasar

dapat berupa salah satu dari hal di bawah ini :

1) Kerikil (G) apabila lebih dari setengah fraksi kasar tertahan pada

saringan No. 4

2) Pasir (S) apabila lebih dari setengah fraksi kasar berada diantara

ukuran saringan No. 4 dan No. 200

b. Tanah berbutir halus, adalah tanah dengan persentase lolos ayakan No.

200 > 50 %.

Tanah berbutir ini dibagi menjadi lanau (M). Lempung Anorganik (C)

dan Tanah Organik (O) tergantung bagaimana tanah itu terletak pada

grafik plastisitas.

c. Tanah organis

Tanah ini tidak dibagi lagi tetapi diklasifikasikan dalam satu kelompok

Pt. Biasanya jenis ini sangat mudah ditekan dan tidak mempunyai sifat

sebagai bahan bangunan yang diinginkan.

Tanah khusus dari kelompok ini adalah peat, humus, tanah lumpur

dengan tekstur organis yang tinggi. Komponen umum dari tanah ini

adalah partikel-partikel daun, rumput, dahan atau bahan-bahan yang

regas lainnya.

12

Tabel 2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Bowles, 1991)

Jenis Tanah Simbol Sub Kelompok Simbol

Kerikil Pasir Lanau Lempung Organik Gambut

G S M C O Pt

Gradasi Baik Gradasi Buruk Berlanau Berlempung WL<50% WL>50%

W P M C L H

Sumber : Bowles, 1989.

Dimana :

W = Well Graded (tanah dengan gradasi baik),

P = Poorly Graded (tanah dengan gradasi buruk),

L = Low Plasticity (plastisitas rendah, LL<50),

H = High Plasticity (plastisitas tinggi, LL> 50).

13

Tabel 3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Sistem Unified Divisi Utama Simbol Nama Umum Kriteria Klasifikasi

Tana

h be

rbut

ir ka

sar≥

50%

but

iran

terta

han

sarin

gan

No.

200

Ker

ikil

50%

≥ fr

aksi

kas

ar

terta

han

sarin

gan

No.

4

Ker

ikil

bers

ih

(han

ya k

erik

il)

GW

Kerikil bergradasi-baik dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

Kla

sifik

asi b

erda

sark

an p

rose

ntas

e bu

tiran

hal

us ;

Kur

ang

dari

5% lo

los s

arin

gan

no.2

00: G

M,

GP,

SW

, SP.

Leb

ih d

ari 1

2% lo

los s

arin

gan

no.2

00 :

GM

, GC

, SM

, SC

. 5%

- 12

% lo

los

sarin

gan

No.

200

: Bat

asan

kla

sifik

asi y

ang

mem

puny

ai si

mbo

l dob

el

Cu = D60 > 4 D10 Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60

GP

Kerikil bergradasi-buruk dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW

Ker

ikil

deng

an

But

iran

halu

s GM Kerikil berlanau, campuran kerikil-pasir-lanau

Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4

Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol

GC Kerikil berlempung, campuran kerikil-pasir-lempung

Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7

Pasi

r≥ 5

0% fr

aksi

kas

ar

lolo

s sar

inga

n N

o. 4

Pasi

r ber

sih

(han

ya p

asir)

SW

Pasir bergradasi-baik , pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

Cu = D60 > 6 D10 Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60

SP

Pasir bergradasi-buruk, pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

Tidak memenuhi kedua kriteria untuk SW

Pasi

r de

ngan

but

iran

halu

s

SM Pasir berlanau, campuran pasir-lanau

Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4

Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol

SC Pasir berlempung, campuran pasir-lempung

Batas-batas Atterberg di atas garis A atau PI > 7

Tana

h be

rbut

ir ha

lus

50%

ata

u le

bih

lolo

s aya

kan

No.

200

Lana

u da

n le

mpu

ng b

atas

cai

r ≤ 5

0%

ML Lanau anorganik, pasir halus sekali, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung

Diagram Plastisitas: Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar. Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan dua simbol. 60 50 CH 40 CL 30 Garis A CL-ML 20 4 ML ML atau OH 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Garis A : PI = 0.73 (LL-20)

CL

Lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai dengan sedang lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau, lempung “kurus” (lean clays)

OL Lanau-organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah

Lana

u da

n le

mpu

ng b

atas

cai

r ≥ 5

0%

MH Lanau anorganik atau pasir halus diatomae, atau lanau diatomae, lanau yang elastis

CH Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi, lempung “gemuk” (fat clays)

OH Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi

Tanah-tanah dengan kandungan organik sangat tinggi

PT Peat (gambut), muck, dan tanah-tanah lain dengan kandungan organik tinggi

Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488

Sumber : Hary Christady, 1996.

Bat

as P

last

is (%

)

Batas Cair (%)

14

C. Tanah Organik

1. Proses Terjadinya Tanah Organik

Tanah organik terbentuk karena pengaruh iklim dan curah hujan tinggi

yang sebenarnya cukup merata sepanjang tahun dengan topografi tidak

rata, sehingga memungkinkan terbentuknya depresi-depresi. Sebagai

akibat tipe iklim serupa itu, tidak terjadi perbedaan menyolok pada musim

hujan dan kemarau. Vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan

baik sehingga menghalangi insolasi dan kelembaban yang tinggi dapat

dipertahankan di lingkungan tersebut. Pada daerah cekungan dengan

genangan air terjadi akumulasi bahan organik. Hal ini disebabkan suasana

anaerob menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga

proses humifikasi akan terjadi lebih nyata dari proses mineralisasi.

Penguraian bahan organik hanya dilakukan oleh bakteri anaerob,

cendawan dan ganggang. Kecepatan dekomposisi ini dipengaruhi oleh

jenis dan jumlah bakteri anaerob, sifat vegetasi, iklim, topografi dan sifat

kimia airnya.

2. Sifat Tanah Organik

Sifat dan ciri tanah organik dapat ditentukan dengan berdasarkan sifat fisik

dan kimianya. Adapun sifat dan ciri tersebut antara lain:

a. Warna

Umumnya tanah organik berwarna coklat tua dan kehitaman ,

meskipun bahan asalnya berwarna kelabu, coklat atau kemerah-

15

merahan, tetapi setelah mengalami dekomposisi muncul senyawa-

senyawa humik berwarna gelap. Pada umumnya, perubahan yang

dialami bahan organik kelihatannya sama yang dialami oleh sisa

organik tanah mineral, walaupun pada tanah organik aerasi terbatas.

b. Berat isi

Dalam keadaan kering tanah organik sangat kering, berat isi tanah

organik bila dibandingkan dengan tanah mineral adalah rendah, yaitu

0,2 - 0,3 merupakan nilai umum bagi tanah organik yang telah

mengalami dekomposisi lanjut. Suatu lapisan tanah mineral yang telah

diolah berat isinya berkisar 1,25 - 1,45.

c. Kapasitas menahan air

Tanah Organik mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi. Mineral

kering dapat menahan air 1/5 – 2,5 dari bobotnya, sedangkan tanah

organik dapat 2 – 4 kali dari bobot keringnya. Gambut lumut yang

belum terkomposisi sedikit leih banyak dalam menahan air, sekitar 12

atau 15 bahkan 20 kali dari bobotnya sendiri.

d. Struktur

Ciri tanah organik yang lain adalah strukturnya yang mudah

dihancurkan apabila dalam keadaan kering. Bahan organik yang telah

terdekomposisi sebagian bersifat koloidal dan mempunyai kohesi dan

plastisitasnya rendah. Suatu tanah berbahan organik yang baik adalah

poroeus atau mudah dilewati air, terbuka dan mudah diolah. Ciri-ciri

ini sangat diinginkan oleh pertanian tetapi tidak baik untuk bahan

konstruksi sipil.

16

Sebagai akibat dari kemampuan yang besar untuk menahan air, maka

apabila terjadi perbaikan drainase dimana dengan adanya pengurangan

kadar air akan terjadi pemadatan struktur tanah organik, hal ini akan

menurunkan muka tanah dan kalau ada tumbuhan akarnya akan

muncul di atas permukaan tanah.

e. Reaksi masam

Pada tanah organik, dekomposisi bahan organik akan menghasilkan

asam-asam organik yang terakumulasi pada tubuh tanah, sehingga

akan meningkatkan keasaman tanah organik. Dengan demikian tanah

organik akan cenderung lebih masam dari tanah mineral pada

kejenuhan basah yang sama.

f. Sifat koloidal

Sifat ini mempunyai kapasitas tukar kationnya lebih besar, serta sifat

ini lebih jelas diperlihatkan oleh tanah organik daripada tanah mineral.

Luas permukaan dua hingga empat kali daripada tanah mineral.

g. Sifat penyangga

Pada tanah organik lebih banyak diperlukan belerang atau kapur yang

digunakan untuk perubahan pH pada tingkat nilai yang sama dengan

tanah mineral. Hal ini disebabkan karena sifat penyangga tanah

ditentukan oleh besar kapasitas tukar kation, dengan demikian tanah

organik umumnya memperlihatkan gaya resistensi yang nyata terhadap

perubahan pH bila diandingkan dengan tanah mineral.

17

3. Identifikasi Organik

Terdapat dua sistem penggolongan utama yang dilakukan, yakni sistem

penanggulangan AASHTO (metode AASHTO M 145 atau penandaan

ASTM D-3282) dan sistem penggolongan tanah bersatu (penandaan

ASTM D-2487). Dalam metode AASHTO, tidak tercantum untuk gambut

dan tanah yang organik, sehingga ASTM D-2487 harus digunakan sebagai

langkah pertama pada pengidentifikasian gambut.

Tabel 4. Penggolongan tanah berdasarkan kandungan organik

KANDUNGAN ORGANIK KELOMPOK TANAH

> 75 % GAMBUT

25 % - 75 % TANAH ORGANIK

< 25 % TANAH DENGAN KANDUNGAN

ORGANIK RENDAH

(SUMBER : PEDOMAN KONSTRUKSI JALAN DI ATAS TANAH GAMBUT DAN ORGANIK, 1996)

D. Abu Ampas Tebu

Abu ampas tebu merupakan limbah hasil pembakaran ampas tebu. Ampas

tebu merupakan suatu residu dari proses penggilingan tanaman tebu setelah

diekstrak atau dikeluarkan niranya pada industri pemurnian gula sehingga

hasil samping sejumlah limbah berserat yang dikenal sebagai ampas tebu

(baggasse).

Pada proses penggilingan tebu, terdapat lima kali proses penggilingan dari

batang tebu sampai dihasilkan ampas tebu. Pada penggilingan pertama dan

18

kedua dihasilkan nira mentah yang berwarna kuning kecoklatan. Kemudian

pada proses penggilingan ketiga, keempat dan kelima dihasilkan nira dengan

volume yang tidak sama. Setelah proses penggilingan awal, yaitu

penggilingan pertama dan kedua dihasilkan ampas tebu basah. Untuk

mendapatkan nira yang optimal, pada penggilingan ampas hasil gilingan

kedua harus ditambahkan susu kapur 3Be yang berfungsi sebagai senyawa

yang mampu menyerap nira dari serat ampas tebu sehingga pada

penggilingan ketiga nira masih dapat diserap meskipun volumenya lebih

sedikit dari hasil gilingan kedua. Pada penggilingan seterusnya hingga

penggilingan kelima ditambahkan susu kapur 3Be dengan volume yang

berbeda-beda tergantung sedikit banyaknya nira yang masih dapat dihasilkan.

Penggilingan I Penggilingan III Penggilingan V

Penggilingan II Penggilingan IV

Ampas Ampas Ampas Ampas Ampas

Gilingan I Gilingan II Gilingan III Gilingan IV Gilingan V

Tebu

Susu Kapur Susu Kapur Susu Kapur 3Be 3Be 3Be

Gambar 1. Proses Penggilingan Tebu

Tiap berproduksi, pabrik gula selalu menghasilkan limbah yang terdiri dari

limbah padat, cair dan gas. Limbah padat, yaitu ampas tebu (bagasse), abu

19

boiler dan blotong (filter cake). Ampas tebu merupakan limbah padat yang

berasal dari perasan batang tebu ini banyak mengandung serat dan gabus.

Pembuangan ampas tebu dapat membawa masalah sebab ampas bersifat

meruah sehingga menyimpannya perlu area yang luas. Ampas mudah

terbakar sebab didalamnya banyak mengandung air, gula, serat, dan mikroba

sehingga bila tertumpuk akan termentasi dan melepaskan panas. Untuk

mengatasi kelebihan ampas tebu adalah dengan membakarnya untuk

mengurangi jumlah ampas tebu. Pembakaran ampas tebu inilah yang

menghasilkan abu ampas tebu.

Abu ampas tebu (baggase ash) merupakan hasil perubahan kimiawi dari

pembakaran ampas tebu murni yang terdiri dari garam-garam anorganik.

Hasil pengujian yang dilakukakan di laboratorium Instrumen Jurusan Kimia

fakultas MIPA Unila,diantaranya adalah silika (SiO2) yang terkandung di

dalam abu ampas tebu mencapai 44,87% dan alumunia (Al2O3) sebesar

21,94%.

E. Stabilisasi Tanah

Stabilisasi tanah adalah suatu proses untuk memperbaiki sifat-sifat tanah

dengan menambahkan sesuatu pada tanah tersebut, agar dapat menaikkan

kekuatan tanah dan mempertahankan kekuatan geser. Stabilisasi berhubungan

dengan pencampuran atau penambahan campuran bahan tertentu. Tujuan

stabilisasi tanah adalah untuk mendapatkan kondisi tanah yang memenuhi

spesifikasi yang disyaratkan, serta untuk mengikat dan menyatukan agregat

20

material yang ada sehingga membentuk struktur jalan atau pondasi jalan yang

padat. Menurut Ingels dan Metcalf (1972), sifat-sifat tanah yang diperbaiki

dengan stabilisasi dapat meliputi : kestabilan volume, kekuatan/daya dukung,

permeabilitas, dan kekekalan atau keawetan.

Menurut Bowless (1989), dalam bukunya Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis

(Mekanika Tanah) stabilisasi tanah dalam realisasinya tediri dari salah satu

atau gabungan pekerjaan-pekerjaan berikut:

1. Mekanis, yaitu pemadatan dengan berbagai jenis pemadatan mekanis,

seperti mesin gilas, benda berat yang dijatuhkan (pounder), pemanasan,

peledakan dengan alat peledak, tekanan statis, pembekuan, dan lain-lain.

2. Bahan pencampur (addtive) adalah penambahan bahan lain pada tanah.

Bahan additive yang digunakan dapat berupa bahan kimiawi, seperti

semen, abu batubara, aspal, sodium, kalsium klorida, atau limbah parbrik

kertas dan lain-lain sedangkan bahan nonkimia yang biasa digunakan

antara lain gamping atau kerikil. Metode ini sangat bergantung pada lama

waktu pemeraman, hal ini disebabkan karena proses perbaikan sifat-sifat

tanah terjadi proses kimia yang memerlukan waktu untuk zat kimia yang

ada didalam additive tersebut untuk bereaksi.

F. California Bearing Ratio (CBR)

Metode perencanaan perkerasan jalan yang umum digunakan yaitu dengan

cara-cara empiris, yang biasa dikenal adalah cara CBR (California Bearing

Ratio). Metode ini dikembangkan oleh California State Highway

21

Departement sebagai cara untuk menilai kekuatan tanah dasar jalan

(subgrade). Istilah CBR menunjukkan suatu perbandingan (ratio) antara

beban yang diperlukan untuk menekan piston logam (luas penampang 3

sqinch) ke dalam tanah untuk mencapai penurunan (penetrasi) tertentu dengan

beban yang diperlukan pada penekanan piston terhadap material batu pecah di

California pada penetrasi yang sama (Canonica, 1991).

Menurut AASHTO T-193-74 dan ASTM D-1883-73, California Bearing

Ratio adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu beban terhadap beban

standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama.

Nilai CBR akan digunakan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan. Harga

CBR itu sendiri adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar

dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai

CBR sebesar 100% dalam memikul beban. Untuk menentukan tebal lapis

perkerasan dari nilai CBR digunakan grafik-grafik yang dikembangkan untuk

berbagai muatan roda kendaraan dengan intensitas lalu lintas.

Menurut Soedarmo dan Purnomo (1997), berdasarkan cara mendapatkan

contoh tanah, CBR dapat dibagi atas :

1. CBR lapangan (CBR inplace atau field CBR).

CBR lapangan memiliki kegunaan sebagai berikut:

a. Untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan sesuai dengan kondisi

tanah pada saat itu. Umumnya digunakan untuk perencanaan tebal

lapis perkerasan yang lapisan tanah dasarnya sudah tidak akan

dipadatkan lagi.

22

b. Untuk mengontrol kepadatan yang diperoleh sehingga sesuai dengan

yang diinginkan. Pemeriksaan ini tidak umum digunakan.

Metode pemeriksaan CBR lapangan dilakukan dengan meletakkan piston

pada kedalaman dimana nilai CBR akan ditentukan lalu dipenetrasi

dengan menggunakan beban yang dilimpahkan melalui gardan truk.

2. CBR lapangan rendaman (undisturbed soaked CBR).

CBR lapangan rendaman ini berguna untuk mendapatkan nilai CBR asli

di lapangan pada keadaan tanah jenuh air, dan tanah mengalami

pengembangan (swelling) maksimum. Pemeriksaan ini dilaksanakan pada

musim kemarau dan kondisi tanah dasar tidak dalam keadaan jenuh air.

Dan digunakan pada badan jalan yang sering terendam air pada musim

hujan.

Pemeriksaan CBR lapangan rendaman dilakukan dengan mengambil

contoh tanah dalam tabung (mold) yang ditekan masuk ke dalam tanah

mencapai kedalaman tanah yang diinginkan. Mold yang berisi contoh

tanah yang dikeluarkan dan direndam dalam air selama 4 hari sambil

diukur pengembangannya (swelling). Setelah pengembangan tidak terjadi

lagi maka dilaksanakan pemeriksaan CBR.

3. CBR laboratorium (laboratory CBR).

CBR laboratorium dapat disebut juga CBR rencana titik. Tanah dasar

yang diperiksa merupakan jalan baru yang berasal dari tanah asli, tanah

timbunan atau tanah galian yang dipadatkan sampai mencapai 95%

kepadatan maksimum. Dengan demikian daya dukung tanah dasar

23

merupakan kemampuan lapisan tanah yang memikul beban setelah tanah

itu dipadatkan. Oleh karena itu, nilai CBR laboratorium adalah nilai CBR

yang diperoleh dari contoh tanah yang dibuat dan mewakili keadaan

tanah tersebut setelah dipadatkan.

Pemeriksaan CBR laboratorium dilaksanakan dengan dua macam metode

yaitu CBR laboratorium rendaman (soaked design CBR) dan CBR

laboratorium tanpa rendaman (unsoaked design CBR) (Sukirman, 1992).

Hal yang membedakan pada dua macam metode tersebut adalah contoh

tanah atau benda uji sebelum dilakukan pemeriksaan CBR.

Untuk uji CBR metode rendaman adalah untuk mengasumsikan

keadaan hujan atau saat kondisi terjelek di lapangan yang akan

memberikan pengaruh penambahan air pada tanah yang telah

berkurang airnya, sehingga akan mengakibatkan pengembangan

(swelling) dan penurunan kuat dukung tanah.

Untuk metode CBR rendaman, contoh tanah di dalam cetakan direndam

dalam air sehingga air dapat meresap dari atas maupun dari bawah dan

permukaan air selama perendaman harus tetap kemudian benda uji yang

direndam telah siap untuk diperiksa. Dan untuk metode CBR tanpa

rendaman, contoh tanah dapat langsung diperiksa tanpa dilakukan

perendaman (ASTM D-1883-87).

Pengujian kekuatan CBR dilakukan dengan alat yang mempunyai piston

dengan luas 3 sqinch dengan kecepatan gerak vertikal ke bawah 0,05

inch/menit, proving ring digunakan untuk mengukur beban yang dibutuhkan

24

pada penetrasi tertentu yang diukur dengan arloji pengukur (dial). Penentuan

nilai CBR yang biasa digunakan untuk menghitung kekuatan pondasi jalan

adalah penetrasi 0,1” dan penetrasi 0,2” dengan rumus sebagai berikut:

Nilai CBR pada penetrsai 0,1” =

Nilai CBR pada penetrsai 0,2” =

Dimana :

A = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,1”

B = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,2”

Nilai CBR yang didapat adalah nilai yang terkecil diantara hasil perhitungan

kedua nilai CBR.

Berikut ini adalah tabel beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi

bahan standar.

Tabel 5. Beban penetrasi bahan standar

Penetrasi (inch) Beban Standar (lbs) Beban Standar (lbs/inch)

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

3000

4500

5700

6900

7800

1000

1500

1900

2300

6000

100% x 3000

A

100% x 4500

B

25

G. Batas-batas Konsistensi

Batas-batas konsistensi atau disebut juga batas-batas Atterberg (yang diambil

dari nama peneliti pertamanya yaitu Atterberg pada tahun 1911) adalah batas

kadar air yang mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah.

Kadar air yang terkandung dalam tanah berbeda-beda pada setiap kondisi.

Kadar air tersebut bergantung pada interaksi antara partikel mineral lempung,

bila kandungan air berkurang maka ketebalan lapisan kation akan berkurang

pula yang mengakibatkan bertambahnya gaya-gaya tarik antara partikel-

partikel. Sedangkan jika kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air

akan menjadi sangat lembek seperti cairan. Oleh karena itu, berdasarkan

kadar air yang dikandung tanah, tanah dapat dibedakan ke dalam empat (4)

keadaan dasar, yaitu : padat (solid), semi padat (semi solid), plastis (plastic),

dan cair (liquid), seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Batas Konsistensi Tanah

Padat Padat Semi Plastis Cair

Limit) (ShrinkageSusut Batas

Limit) (PlasticPlastis Batas

Limit) (LiquidCair Batas

Kering Makin Basah

BertambahAir Kadar

PL - LL PI(PI)Index Plasticity

Cakupan

26

Adapun yang termasuk ke dalam batas-batas Atterberg antara lain:

1. Batas cair (Liquid Limit).

Batas cair (LL) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan

keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis.

2. Batas plastis (Plastic Limit).

Batas plastis (PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis

dan semi plastis, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan

diameter silinder 3 mm mulai retak-ratak ketika digulung.

3. Batas susut (Shrinkage Limit).

Batas susut (SL) adalah kadar air yang didefinisikan pada derajat

kejenuhan 100%, dimana untuk nilai-nilai dibawahnya tidak akan

terdapat perubahan volume tanah apabila dikeringkan terus. Harus

diketahui bahwa batas susut makin kecil maka tanah akan lebih mudah

mengalami perubahan volume.

4. Indeks plastisitas (Plasticity Index).

Indeks plastisitas (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis.

Indeks plastisitas merupakan interval kadar air tanah yang masih bersifat

plastis.

5. Berat spesifik (Specific Gravity).

Berat jenis tanah (Gs) adalah perbandingan antara berat volume butiran

padat (γs) dengan berat volume air (γw) pada temperature tº C.

27

H. Pemadatan Tanah

Pemadatan tanah adalah suatu proses memadatnya partikel tanah sehingga

terjadi pengurangan volume udara dan volume air dengan memakai cara

mekanis. Kepadatan tanah tergantung pada nilai kadar air, jika kadar air tanah

sedikit maka tanah akan keras begitu pula sebaliknya, bila kadar air banyak

maka tanah akan menjadi lunak atau cair. Pemadatan yang dilakukan pada

saat kadar air lebih tinggi daripada kadar air optimumnya akan memberikan

pengaruh terhadap sifat tanah.

Manfaat dari pemadatan tanah adalah memperbaiki beberapa sifat teknik

tanah, antara lain:

1. Memperbaiki kuat geser tanah yaitu menaikkan nilai θ dan C (memperkuat

tanah).

2. Mengurangi kompresibilitas yaitu mengurangi penurunan oleh beban.

3. Mengurangi permeabilitas yaitu mengurangi nilai k.

4. Mengurangi sifat kembang susut tanah (lempung).

Pemadatan tanah dapat dilakukan di lapangan maupun di laboratorium. Di

lapangan biasanya tanah akan digilas dengan mesin penggilas yang

didalamnya terdapat alat penggetar, getaran tersebut akan menggetarkan

tanah sehingga terjadi pemadatan. Sedangkan di laboratorium menggunakan

pengujian standar yang disebut dengan uji proctor, dengan cara suatu palu

dijatuhkan dari ketinggian tertentu beberapa lapisan tanah di dalam sebuah

mold. Dengan dilakukannya pengujian pemadatan tanah ini, maka akan

28

terdapat hubungan antara kadar air dengan berat volume. Berdasarkan tenaga

pemadatan yang diberikan, pengujian proctor dibedakan menjadi 2 macam:

1. Proktor Standar.

2. Proktor Modifikasi.

Rincian mengenai persamaan ataupun perbedaan dari kedua proctor tersebut,

diperlihatkan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Elemen-elemen uji pemadatan di laboratorium (Das, 1988)

Proctor Standar (ASTM D-698)

Proctor Modifikasi (ASTM D-1557)

Berat palu 24,5 N (5,5 lb) 44,5 N (10 lb)

Tinggi jatuh palu 305 mm (12 in) 457 mm (18 in)

Jumlah lapisan 3 5

Jumlah tumbukan/lapisan 25 25

Volume cetakan 1/30 ft3

Tanah saringan (-) No. 4

Energi pemadatan 595 kJ/m3 2698 kJ/m3

I. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian laboratorium yang menjadi bahan pertimbangan dan

acuan penelitian ini dikarenakan adanya kesamaan metode dan sampel tanah

yang digunakan, akan tetapi untuk bahan aditif dan variasi campuran serta

waktu pemeraman yang berbeda, antara lain :

29

1. Stabilisasi pada tanah lempung lunak menggunakan Abu Ampas Tebu

Penelitian yang dilakukan oleh Zulya Safitri pada tahun 2012 adalah

mengenai “Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu (Bagasse Ash)

Sebagai Bahan Stabilisator Pada Tanah Lempung Lunak” mengatakan

bahwa penggunaan bahan campuran Abu Ampas Tebu sebagai bahan

stabilisasi pada tanah lempung lunak Rawa Sragi dengan perlakuan

pemeraman selama 7 hari serta rendaman selama 4 hari mampu

meningkatkan kekuatan daya dukungnya.

Tabel 7. Hasil pengujian CBR tiap kadar campuran (Zulya Safitri, 2012)

Kadar abu ampas tebu CBR

(Tanpa Rendaman)

CBR

(Rendaman)

5% 9,2% 5,4%

10% 10,7% 6,7%

15% 12,6% 8%

2. Stabilisasi tanah Organik dengan semen dan sekam padi

Penelitian stabilisasi tanah dengan semen dan sekam padi oleh Andri

Frandustie pada tahun 2010 dengan judul “Pemanfaatan Sekam Padi

Pada Stabilisasi Tanah Organik Dengan Menggunakan Semen”. Hasil

pengujian nilai CBR sampel tanah asli dengan penambahan campuran

sekam padi + semen masing-masing 6 %, 9 % dan 12 % dengan

prosentase perbandingan sekam padi : semen untuk masing-masing

sampel yaitu 1: 2 dapat dilihat pada Tabel 8.

30

Tabel 8. Hasil uji CBR campuran sekam padi + semen (Andri Frandustie, 2010)

Kadar Semen

(%)

Kadar Sekam Padi (%)

Nilai CBR Prosentase Penurunan Nilai CBR

Tanpa Rendaman

(%)

Prosentase Peningkatan

(%)

Rendaman (%)

Prosentase Peningkatan

(%)

4 2 4,4 0,9

2,75 0,85

1,65

6 3 5,5 3,6 1,9

0,9 1,0 8 4 6,4 4,7 1,7

Dari Tabel 8 dapat dijelaskan bahwa penambahan kadar semen dan

sekam padi berpengaruh terhadap kekuatan campuran tersebut, hal ini

dapat dilihat dari nilai CBR yang dihasilkan. Semakin besar kadar semen

dan sekam padi yang ditambahkan dalam setiap campuran, maka nilai

CBR tanah campuran tersebut juga semakin meningkat. Dari Tabel 8

juga dapat dilihat bahwa nilai dari CBR rendaman lebih kecil

dibandingkan dengan nilai CBR tanpa rendaman. Hal ini disebabkan oleh

pengaruh dari perendaman yang mampu menurunkan nilai CBR, mula-

mula air hanya mengisi rongga pori, tetapi lama kelamaan ukuran butiran

tanah menjadi maksimum pada saat jenuh air.