[hukum]arbitrasi internasional-pertamina vs kbc

Upload: wahyu-

Post on 14-Jul-2015

185 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Arbitrasi internasional, Pertamina vs KBCRangkuman Diskusi Hukum Mailing List Migas Indonesia bulan Oktober 2006 membahas tentang dispute yang melibatkan Pertamina dan KBC. Dalam diskusi ini dibahas juga mengenai bagaimana sidang arbitrase internasional mengambil keputusan. Diskusi selengkapnya dapat disimak dalam file berikut.

Pernyataan : kristiawanRekan Migas, Menyambung diskusi tentang kasus dispute Pertamina vs KBC, saya ingin mengalihkan topik pembicaraan ke arah proses arbitrasi internasional. Mudahmudahan bisa memberi gambaran bagaimana sidang arbitrasi internasional mengambil keputusannya. Dispute dibawa ke arbitrasi jika kedua pihak tidak berhasil menyelesaikan masalah secara baik-baik. Ada beberapa badan yang menyelenggarakan arbitrasi international, antara lain UNCITRAL ( United Nation Commission on International Trade Law ), ICC ( International Chamber of Commerce ), LCIA ( London Court on International Arbitration ), dst. Klausul arbitrasi dalam kontrak biasanya sudah menyebutkan badan arbitrasi apa yang akan digunakan jika terjadi dispute. Penyelesaian melalui arbitrasi dipilih karena : - Keputusannya final dan mengikat ( tidak mengenal appeal ) - Keputusannya diakui secara internasional berdasarkan konvensi New York 1958, keputusan sidang arbitrasi diakui oleh 134 negara ( bandingkan dengan keputusan pengadilan yang hanya berlaku di negara tersebut ). - Netral pihak yang bersengketa bisa memilih lokasi sidang, bahasa yang digunakan, prosedur / dasar hukum yang digunakan ( biasanya sudah disebut dalam perjanjian kontrak ) & arbitrator dari berbagai nationality. - Memilih Arbitrator yang sesuai & ahli di bidang tersebut pihak yang bersengketa bisa memilih arbitrator independent untuk duduk dalam sidang ( untuk tribunal dengan 3 arbitrator : 2 dipilih oleh pihak yang bersengketa, 1 ditentukan oleh badan arbitrasi ) - Prosesnya lebih cepat dan lebih murah dibanding pengadilan Dalam proses sidang arbitrasi, kedua pihak diberi kesempatan untuk mempresentasikan kasusnya / memberi sanggahan, menyajikan bukti-bukti, memilih arbitrator yang sesuai untuk duduk di arbitral tribunal, dst sehingga akhirnya didapat keputusan sidang. ( arbitration process berdasarkan ICC rules bisa di download dari www.iccwbo.org )

Yang perlu diperhatikan, dalam menyelesaikan sengketa, yang menjadi acuan adalah perjanjian kontrak yang ditandatangani oleh kedua pihak. Arbitrasi ( dan juga pengadilan ) tidak dalam posisi untuk merubah kondisi kontrak. Jika sengketa diakibatkan oleh perbedaan interpretasi dari kedua pihak / bahasa kontrak yang ambiguous, maka arbitrator akan meneliti kondisi kontrak, mengkaji true intention dari kontrak tersebut, apa saja implied terms dari kontrak tersebut, dst sebelum sampai pada keputusan akhir. Dalam kasus Pertamina vs KBC, sidang arbitrasi di Jenewa memenangkan gugatan KBC berupa ganti biaya investasi USD 111 juta + potensi keuntungan selama 30 th sebesar USD 150 juta + bunga karena keterlambatan pembayaran. ( katanya koran, detail selengkapnya saya nggak tahu ) Apakah keputusan sidang ini fair ? Sebagai orang yang berada diluar gelanggang, saya merasa keputusan ini tidak fair. Terutama tentang claim potensi keuntungan 30 tahun operasi ( belum kerja kok minta untung ? ). Tapi, sekali lagi, saya nggak tahu kondisi kontraknya & bukti-bukti apa saja saja yang disajikan oleh pihak KBC sehingga mereka bisa menang. Untuk kontrak proyek konstruksi ( maklum saya anggota milis dari fraksi kontraktor ), biasanya ada klausul - suspension & termination disini diatur kewajiban kedua pihak jika proyek di-suspend, atau jika proyek diterminate sebelum waktunya. - force majeure apa saja yang tergolong force majeure, notice, lama periode darurat, dst. ( di proyek EPC dimana saya sekarang bekerja, klausul kontrak secara explisit menyebutkan bahwa financial distress of either party tidak termasuk kondisi force majeure. Mungkin sidang arbitrasi menganggap bahwa contract termination karena krisis moneter adalah kondisi financial distress, berbeda dengan opini lawyer Pertamina bahwa ini adalah kondisi force majeure ) Saya kira klausul serupa ( force majeure & termination ) juga ada di kontrak Karaha Bodas. Entah bagaimana akhir dari kasus dispute ini. Tapi memahami cara kerja sidang arbitrasi akan memudahkan pihak yang bersengketa untuk menyusun strateginya. Yang umum, pihak yang bersengketa akan ukur kekuatan sebelum bawa kasus ke sidang arbitrasi. Bila kira - kira akan kalah, atau menang setelah bertarung lama & keluar biaya banyak, mungkin lebih baik menawarkan win-win solution ; problem solved amicably. Ini pola pikir "dalam kotak". Pola pikir "diluar kotak" akan bilang go to hell with the contract ( kalau klausulnya nggak adil ). Evo Morales dan juga pak Widya Purnama termasuk golongan ini.

Tanggapan 1 : Gusti SidemenPak Kristiawan dan Pak Adnan Yth., Terimakasih atas penjelasannya mengenai penyelesaian sengketa alternatif, khususnya arbitrase. Saya pernah dengar salah satu prinsip dalam penyelesaian sengketa adalah kalau terjadi penyimpangan terhadap kesepakatan dalam kontrak yang disebabkan oleh kebijakan publik, maka pihak yang tidak bisa memenuhi kesepakatan tidak dapat dituntut tanggung jawabnya. Dalam kasus Pertamina-

Karaha Bodas, yang menunda proyek adalah pemerintah, yang nota bene adalah kebijakan pemerintah dalam menghadapi situasi sulit. Berdasarkan prinsip ini sebenarnya tidak ada alasan Arbitrator memenangkan tuntutan KBC. Mungkin Pak Kristiawan dan Pak Adnan bisa memberikan komentar tentang hal ini? Dari sekitar 27 proyek yang ditunda, selain KBC semua kelihatannya dapat dinegosiasikan dengan baik.

Tanggapan 2 : kristiawanPak Sidemen & Rekan Migas Yth, Saya melihat kasus ini sebagai penghentian kontrak sebelum waktunya. Karena belum pernah terlibat kontrak PSC, saya bikin analogi ke kontrak konstruksi. Ada beberapa hal yang menyebabkan kontrak dihentikan ditengah jalan, berikut pola penyelesaiannya secara umum : 1. Default by Contractor Kontrak dihentikan oleh Client. Sisa pekerjaan akan diambil alih oleh Client dan biaya penyelesaian akan dipotong dari total nilai kontrak. ( ada kemungkinan Kontraktor akan nombok ) 2. Default by Client Kontrak dihentikan oleh Kontraktor. Mereka tidak lagi bertanggung jawab terhadap sisa pekerjaan dan berhak menerima pembayaran terhadap pekerjaan yang sudah terlaksana. 3. Termination by Client Client bisa menghentikan kontrak kapan saja & tidak perlu menyebutkan alasannya, dengan pemberitahuan tertulis sekian hari sebelumnya. ( 3a ) Biasanya klausul ini diikuti dengan klausul tentang hak kontraktor untuk mendapatkan pembayaran terhadap pekerjaan yang sudah terlaksana + biaya tambahan yang aktual / wajar sebagai akibat langsung dari penghentian kontrak ini. 4. Termination karena force majeure Dalam force majeure, kedua pihak tidak disalahkan bila terjadi kelambatan / gagal menyelesaikan proyek. Biasanya kontrak memberi batas waktu tertentu untuk force majeure ( 60 / 90 / 120 / xxx hari ). Lebih dari batas waktu tersebut, kedua pihak punya hak untuk menghentikan kontrak. Biasanya kompensasi untuk kontraktor akan dijelaskan dengan mengacu pada klausul di item ( 3a ) di atas. Saya kira skenario umum diatas cukup fair & reasonable bagi kedua pihak. Bagaimana hak Kontraktor jika proyek dihentikan oleh Pemerintah, bukan oleh Client ? Dari segi resiko pekerjaan, rasanya terlalu berat bila Kontraktor yang harus menanggung resiko ini ( pekerjaan dihentikan oleh Pemerintah & biaya yang sudah keluar tidak mendapat kompensasi dari Client ). Bila hal ini sudah diantisipasi sejak awal, dalam project risk allocation, umumnya Client yang akan mengambil alih resiko besar semacam ini ( mungkin lewat mekanisme asuransi ).

Dalam kasus Pertamina vs KBC, saya pribadi berpendapat bahwa KBC berhak mendapat kompensasi dari penghentian proyek ini. Masalahnya adalah apakah nilai yang diajukan oleh KBC tsb benar dan sesuai dengan mekanisme yang di atur dalam kontrak ? Maaf kalau opini saya against Pertamina. Mungkin rekan-rekan di milis bisa kasih pandangan dari sudut yang lain ?

Tanggapan 3 : roeddy setiawandear millis, Kalau saya ingin melihat nya dari segi accountability dari proses pengambilan tersebut. tentunya yang memberikan proposal untuk menghentikan pekerjaan harus di buat accountable. ini adalah contoh petinggi negara dan corporate executive yang tidak competent. mengiterpretasikan & menterjemahkan suatu kontrak semau mau nya sehingga merugikan negri yang gdp nya masih diurutan catagory bontot. dengan 320 juta dollar, yang didapat hanya 30 mw power plant, kalau dihubungkan dengan kasus lain. PLTG borang yang hampir sama megawat nya dengan harga diatas IDR 100 milyar / US $11 mm membuat dirut PLN menjadi tersangka melakukan korupsi. kalau kita bandingkan dg power plant GE LM 27 yang deket dg 30 MW karaha bodas. GE LM 27 tidak sampai 20 juta. Kalau kita bandingkan dg tulisan nya pak sudardjo dari batan yang cost PLTN nya US $ 1680/kwh. karaha bodas jadi ongkos nya mahal banget US $ 10,666.2 /kwh. jadi yang mana yang salah yah. mungkin juga ada hubungan nya dengan budaya bangsa makin mahal barang yang dibeli makin naik gengsi bangsa ini. saya kira yang paling baik adalah bagi petinggi negara maupun corporate executive yang mengusulkan ini berani dong menunjukan accountability nya dalam proses pengambilan keputusan, jangan cuman siap mundur (wong sudah sugih) doang.

Tanggapan 4 : [email protected] kalau yang bersengketa adalah Negara Indonesia dengan Perusahaan Asing ?Misal BP Migas dg KKKS, dimana BP Migas dalam hal ini mewakili Pemerintah RI.......Sulis Sebagai orang kontrak ( ngontrak sana - ngontrak sini ... ), saya melihat perjanjian kerja adalah kesepakatan yang dibuat oleh pihak I ( pemberi kerja ) dengan pihak II ( pelaksana kerja ). Bila ada sengketa, pihak II akan menuntut pihak I atau sebaliknya. Tidak lebih dari itu. Untuk proyek-proyek besar di Indonesia, pihak I biasanya memang badan usaha milik pemerintah seperti Pertamina / BP Migas, PLN, Aneka Tambang atau yang lain.

Apakah sengketa dengan badan usaha milik pemerintah tertentu bisa dianggap sengketa dengan Negara Indonesia ? Wah maaf nih Pak Sulis, saya tidak kompeten untuk menjawab. Mungkin para ahli hukum di milis bisa menjelaskan.

Tanggapan 5 : kristiawanSebagai orang kontrak ( ngontrak sana - ngontrak sini ... ), saya melihat perjanjian kerja adalah kesepakatan yang dibuat oleh pihak I ( pemberi kerja ) dengan pihak II ( pelaksana kerja ). Bila ada sengketa, pihak II akan menuntut pihak I atau sebaliknya. Tidak lebih dari itu. Untuk proyek-proyek besar di Indonesia, pihak I biasanya memang badan usaha milik pemerintah seperti Pertamina / BP Migas, PLN, Aneka Tambang atau yang lain. Apakah sengketa dengan badan usaha milik pemerintah tertentu bisa dianggap sengketa dengan Negara Indonesia ? Wah maaf nih Pak Sulis, saya tidak kompeten untuk menjawab. Mungkin para ahli hukum di milis bisa menjelaskan.

Tanggapan 6 : AW AdnanTechnically /Legally, sengketa dengan BUMN tidak berarti sengketa dengan Pemerintah RI. Tetapi yg dilakukan oleh KBC adalah demikian sehingga semua account pemerintah diupayakan untuk di blokir.

Tanggapan 7 : Gusti SidemenSedikit tambahan: Terkaitnya pemerintah karena biasanya pemerintah memberikan jaminan dalam kontrak-kontak infrastruktur untuk menarik investor. Seperti dalam kontrak 10,000 MW PLTU batubara saat ini dikabarkan pemerintah akan mengeluarkan jaminan. Terkait jaminan tersebut maka pemerintah akan terikut kalau ada perselisihan. Ini sebenarnya masalah manejemen risiko juga. Pas apes ya hasilnya Karaha Bodas. Pas untung ya mungkin semacam Arun Bontang.

Tanggapan 8 : [email protected] memang mainnya orang luar negeri seperti itu, tentu seyogyanya para pejabat apakah Menteri atau pejabat tinggi lainnya yang berkaitan dengan hubungan kontrak dengan perusahaan asing,memberikan komentarnya dengan sangat hati2, check and recheck dengan data yang akurat, agar tidak memberikan dampak yang merugikan bagi Indoesia. Kasihan Indonesia, kasihan kami2 ini, kasihan rakyat, jangan saampai karena kesembronoan keputusan pejabat/Menteri dll , negara kita harus membuang uang. Khabarnya KBC bukanlah perusahaan besar seperti perusahaan2 minyak multi nasional.Kok kita keok ya........Sulis

Khusus Tentang Force Majeure (was : Arbitrasi internasional, Pertamina vs KBCTanggapan 9 : AW Adnan (Moderator KBK Hukum Milis Migas Indonesia)Pak Kristiawan dan Pak Gusti, Kunci persoalannya adalah pada istilah "Force Majeure". So, saya akan menyampaikan ulasan saya berdasarkan fakta yang saya ketahui, sehingga ......you can be the judge; Begini; 1. Didalam kontrak jelas disebutkan adanya klausula "Force Majeure". 2.Bunyi kontrak KBC-Pertamina tentang Force Majeure mengatakan ; bahwa termasuk dalam pengertian "force majeure" adalah kebijaksanaan pemerintah yang mempengaruhi pelaksanaan kontrak. 3.Keputusan arbitrasi di Jenewa menyatakan bahwa "klausula" force majeure sepanjang menyangkut kebijaksanaan Pemerintah hanya berlaku untuk Pertamina, namun tidak berlaku untuk KBC. 4.Pak Kristiawan mengatakan bahwa dalam proyek EPC, financial distress tidak termasuk "force Majeure", kemudian Pak Kristiawan juga memperkirakan bahwa majelis arbitrasi di Jenewa menganggap bahwa "krisis moniter" adalah sama dengan "financial distress" yang dikecualikan dari pengertian Force Majeure. 5.Yang disampaikan oleh lawyernya Pertamina bukan karena krisis moneter kemudian Kontrak dihentikan, namun karena keputusan pemerintah yang memerintahkan untuk menghentikan proyek PLTP itulah maka Pertamina harus menghentikan proyeknya. Dengan kata lain ada kebijaksanaan pemerintah tentang adanya krisis moneter. 6.Pertamina sendiri tidak pernah menyatakan sedang krisis moneter. Tetapi terpaksa menghentikan kontrak untuk sementara karena diharuskan oleh pemerintah. 7. Didalam kontrak KBC-Pertamina; dengan tegas dikatakan bahwa hokum yang berlaku adalah hukum Indonesia. 8. Lawyernya Pertamina mengatakan bahwa karena hukum yang berlaku adalah hukumnya Indonesia, dan KBC sudah menyetujui hal tersebut, maka dalam menafsirkan pengertian "Force Majeure" juga harus menggunakan Hukum Indonesia. 9. Menurut hukum Indonesia, maka kebijaksanaan pemerintah bisa termasuk "Force Majeure", jika karenanya Kontrak tidak bisa diteruskan. 10. Tentang permohonan eksekusi pembayaran oleh KBC di Pengadilan Amerika, maka menurut Konvensi New York, pihak Pertamina juga harus diberitahukan adanya permohonan ini. Namun Pengadilan di Amerika lalai memberi tahukan kewajiban ini sehingga Pertamina tidak pernah mempunyai kesempatan untuk membela diri.

Disamping itu, menurut ketentuan UNCITRAL, pihak Pertamina juga berhak menentukan arbiter, namun dalam kasus ini pihak Pertamina tidak diberikan haknya untuk menentukan arbiter. 11.Di Kompas pernah saya baca, pendapat dari seorang anggota API (Asosiasi Panas Bumi Indonesia), Pertamina pernah menawarkan untuk melanjutkan Proyek, tetapi KBC memilih untuk menggugat. Karena baginya lebih untung mendapatkan US$ 261 juta ketimbang meneruskan proyek. 12.Catatan saya, 8 sumur eksplorasi yang telah dikerjakan KBC, telah menghabiskan biaya US$70 juta. Dari 8 sumur tersebut hanya satu sumur yang menghasilkan steam (laju alir air panas). Padahal dalam suatu feasibility study yg dilakukan oleh API untuk 8 sumur, maksimum biaya adalah US$40 juta. Berarti KBC sudah mengeluarkan biaya 2 kali lipat dari biaya normal, namun dengan keberhasilan yg sangat minimal. Jika proyek diteruskan maka KBC bakalan makin merugi maka lebih enak untuk ribut di Jenewa. 13. Proyek PLTP yg sedang dijalankan oleh KBC masih dalam taraf eksplorasi, belum ada power plant, belum ada produksi tetapi Arbitrasi di Jenewa telah memberi kemenangan bagi KBC, berupa Lost of Profit $150 juta dan Actual Cost $111. 14. Pertimbangan Jenewa terlalu spekulatif. Lost of Profit? Padahal yang terbukti pengelolaannya boros, 8 sumur menghabiskan $70 juta, dengan hanya berhasil pd satu sumur. Dengan operasi seperti ini akan sangat sulit memperoleh keuntungan. Actual Cost US$ 111 juta? ....Ingat , operasi di Garut ini masih tahap eksplorasi, apa iya biayanya bisa diganti jika belum produksi. Demikianlah komentar saya

Tanggapan 10 : Anshori BudionoPerubahan Kebijaksanaan pemerintah termasuk force majeure...??? Wah... wah..... saya baru denger nih.... Selama ini.... pemahaman saya mengenai perubahan kebijaksaan Pemerintah adalah bukan termasuk force majeure ... tetapi merupakan salah satu faktor resiko yang harus diperhitungkan oleh kedua belah pihak dalam mengeksekusi dan membuat project costing. Tapi barangkali saya salah.... Barangkali ada bapak-bapak yang tahu ...... hukum Indonesia yang manakah yang menyatakan bahwa kebijaksanaan pemerintah bisa termasuk "Force Majeure"......? Kalau kemudian .... secara konvensi di dunia tidak mengenal istilah kebijaksanaan pemerintah sebagai salah satu force majeure...., maka .... meski Bunyi kontrak KBCPertamina tentang Force Majeure mengatakan; bahwa termasuk dalam pengertian "force majeure" adalah kebijaksanaan pemerintah yang mempengaruhi pelaksanaan kontrak, maka... klausal mengenai kebijaksaan pemerintah sebagai force majeure bisa tidak berlaku di arbitrasi international. Jadi... kalau merujuk ke informasi bahwa KBC telah mengeluarkan US $ 80 juta untuk 8 sumur dengan hanya satu sumur berhasil dan diperkirakan operasinya menjadi sulit memperoleh keuntungan, maka...... MENURUT TEORI KONSPIRAsi..... KIRA-KIRA SEBAGAI BERIKUT:

1. KBC MENDEKATI AKTOR KELAS KAKAP MERAH PUTIH, BILANG BAHWA MEREKA AKAN RUGI KALAU MENERUSKAN KONTRAK. 2. KBC DAN AKTOR MERAH PUTIH MEMBENTUK TIM SUKSES. 3. TERJADI PEMBAHASAN OLEH TIM SUKSES TENTANG BAGAIMANA CARANYA AGAR KBC TIDAK RUGI 3. TIM SUKSES MENYIMPULKAN BAHWA CARANYA ADALAH PERTAMINA MEMUTUS KONTRAK SEPIHAK DENGAN ALASAN PERUBAHAN KEBIJAKSAAN PEMERINTAH 4. NEXT STEP.... KBC AKAN MAJU KE ARBITRASI INTERNASIOMNAL UNTUK CLAIM LOSS KARENA PEMUTUSAN KONTRAK. 5. KBC MENAWARKAN BAGI HASIL MENARIK KE AKTOR MERAH PUTIH ATAS CLAIM YANG DISETUJUI OLEH ARBITARSI INTERNASIONAL 6. KEMUDIAN TERJADI DEAL.... PROFIT SHARING DAN... SKRENARIO PUN DIJALANKAN. Demikian .... menurut toeri Konspirasi yang kira-kira hasilnya sbb: TANTE KBC SENANG, OM AKTOR MERAH PUTIH GIRANG DAN... PERTAMINA MERADANG. Mudah2an.... ya Tuhan kami.... ini semata-mata karena kebodohan dan kelalaian bukan sebuah konspirasi. Semoga ya Tuhan kami.....

Tanggapan 11 : roeddy setiawandear millis, Saya rasa make sense sekali theory conspirasi itu, dilihat dr proof bahwa reserve yang di dapat hanya 30 mwe, dikalikan 30 tahun dikalikan $0.45/kwh. hasil nya cuman $ 147.8 million. Belum ongkos drilling untuk sumur produksi, belum ongkos steam turbine + Genset + transmision line + campsite + Overhead + 80 million yang sudah di spent. jelas ngak profitable. Yang paling greng yah team sukses scenario nya pak abe. instead of loosing malah dapat $ 320 million.

Tanggapan 12 : Sadikin, Inderapak roeddy, mungkin teori konspirasi udah dimulai jauh sebelumnya saat markup harga project jadi 2 kali lipat harga pasar. juga mungkin masih berlanjut sampai saat ini yang bikin file2 penting hangus terbakar di kantor pertamina hehehe.

Tanggapan 13 : roeddy setiawanpak sadikin, yah namanya juga dugaan, yang saya kurang tahu "burden of prove" nya ada di siapa yah. wong jauh jauh hari sebelum sengketa. begitu tahu reserve nya cuman 30

mwe kan perusahaan kbc sudah dut, seperti teori konspirasi nya pak abe, perlu different approach. untuk menemukan 30 mwe reserve perlu 8 sumur at 80 million. untuk bikin sumur produksi at 5 mwe/well perlu 30mwe dibagi 5 mwe/well = 6 well dilihat diatas cost perwell 10 million/well , jadi total 60 million steam generator say gratis, ongkos bangun gratis transmisi gratis overhead gratis camp site gratis jalan inspeksi gratis. work over sumur gratis. environment remediation gratis cash flow yang keluar 80 + 60 = 140 million, ini present value, kalau di future kan dengan interest 5%/year = 605.07 million future value earning dr 30 mwe @ $ 0.45/kwh = 147.8 million. jadi net nya = 147.8 - 605.07 = negative 457.3 million. tidak heran yang ditempuh jalan yang ini, ya kan pak abe

Tanggapan 14 : Gusti SidemenDear Pak Adnan, Pak Abe, Pak Kristiono, Pak Rudy dan kawan kawan anggota milis Rasa-rasanya teori konfirasi Pak Abe memang masuk akal.He...he.....kita dikadalin.unsur merah outih juga dong..kalau begitu..Terlepas dari teori konfirasi, aspek kebijakan publik yang saya maksud adalah seperti article V.2 New York Convention, Article 36 dari UNCITRAL Model Law,Geneva Convention 1927, yang kurang lebihnya menyatakan bahwa putusan arbitrase hanya dapat dieksekusi kalau tidak bertentangan dengan kebijakan publik. Cuma saya kurang jelas apa yang bisa dimaksud dengan kebijakan publik disini. Kalau kebijakan pemerintah RI untuk menunda proyek dapat dikatagorikan sebagai kebijakan publik, maka putusan arbitrase geneva tidak bisa dieksekusi. Jadi Pertamina tidak perlu bayar. Mungkin ada yang bisa menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dalam konvensi tersebut di atas?

Tanggapan 15 : "AW Adnan" - Moderator KBK Hukum Milis Migas IndonesiaPak Gusti dan Pak Anshori, Ini sehubungan dengan tanggapannnya Pak Gusti perihal kebijaksanaan public dan keheranannya Pak Anshori tentang kebijaksanaan pemerintah sama dengan force majeure. Tetapi maaf tanggapan saya berikut hanya hipotesa, tanpa pasal konkrit maupun contoh konkrit. Maklum saya sedang mudik sehingga tidak bisa menyajikan data konkrit , sebab semuanya ada di kantor. Yang dimaksud kebijaksanaan publik, mungkin terjemahan dari "public order", atau dalam bahasa Indonesia adalah kepentingan umum. Ini konteknya adalah limitasi

terhadap kebebasan berkontrak. Para pihak berhak melakukan perjanjian apa saja asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Misalnya jual beli beras Import. Perjanjiannya sah-sah saja. Tetapi ternyata kalau Indonesia terus mengimport beras maka kepentingan nasional terutama kepentingan petani nasional (umum) akan terganggu. Maka Importir di Indonesia menghentikan kontrak pembeliannya dengan eksportir di luar negeri. Dalam kasus tersebut maka dikatakan perjanjian seperti ini akan mengganggu kepentingan umum jika terus dilanjutkan. Adapun mengenai kebijaksanaan pemerintah yang dikategorikan sebagai force majeure, adalah sudah merupakan kebiasaan berkontrak di Indonesia dan bahkan juga di Amerika. Pedoman pemahamannya adalah; jika keadaan tersebut terjadinya diluar kemampuan kedua belah pihak untuk bisa mencegahnya. Contoh yang realistis adalah jika antara PT. X dan perusahaan di Singapore (PT. Y) mengadakan perjanjian jual beli pasir. Pemerintah kemudian menerbitkan peraturan yang melarang pengerukan (eksploitasi) pasir dan eksportasi pasir. Sebagai kelanjutan dari peraturan pemerintah tersebut PT. X menyatakan bahwa peraturan pemerintah tersebut sebagai force majeure. Akibatnya PT. Y tidak bisa menuntut PT. X untuk terus mensuply pasir, karena keadaan "dilarangnya export dan eksploitasi pasir" tersebut berada diluar kemampuannya PT. X untuk bisa mencegahnya. Mudah-mudahan untuk sementara cukup bisa diterima "poin" nya dulu.