hukum islam dalam pembinaan hukum ... - universitas …

10
141 HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL _______ Oleh: Mohammad Daud Ali, S.H. _______ _ Pendahuluan Mempersoalkan kedudukan hukum Islam dalam pem binaan hukum nasio- nal suatu bangs a yang penduduknya mayoritas beragama Islam, "aneh" ra- sanya. Namun demildan, kenyataan- nya adalah dl dalam negara yang 88.09% penduduknya mengaku ber- agama Islam ini, kedudukan hukum agama atau hukum yang bersumber dari ajaran agama yang dianut oleh mayoritas penduduk itu, sering, masih dipersoalkan. Tigapuluh lima tahun yang lalu, da- lam pembukaan Perguruan Tinggi Is- lam (yang kemudian menjadi Univer- sitas Islam) Jakarta, Profesor Hazairin berkata sebagai berikut : "Soal besar yang kita hadapi sekarang ini ialah bahwa setelah lebih dari lima abad Is- lam masuk di tanah air kita, masih Uuga) Islam memperjuangkan tempat- nya dalam jiwa rakyat dan lebih berat lagi perjuangannya dalam rnasyarakat rakyat, yakni rakyat Islam itu sendiri. Perjuangan yang tertuju kepada jiwa rakyat, kata beliau,nampaknya lebih ringan, dan ini hanya bergantung ke- pada perkem bangan dan kelancaran pelajaran agama. Akan tetapi, demi- kian Prof. Hazairin lebih lanjut, per- juangan terhadap masyarakat ternyata sangat sulit dan berat. Kesulitan itu terletak di lapangan hukum, sebab hu- kum itu banyak sangkut-pautnya de- ngan bentuk dan susunan masyara- kat". Yang dimaksud dengan hukum dalam kalimat terakhir ini adalah se- perangkat kaidah yang mengatur hu- bungan antara manusia dengan manu- sia lain dalam masyarakat baik yang perdata maupuh yang publik sifatnya. Apa yang dikemukakan oleh almar- hum Profesor Hazairin tigapuluh lima tahun yang lalu, masih merupakan soal sampai sekarang, kendatipun kadar soal itu tidak setinggi pada waktu be- liau mengucapkannya dahulu (1950). Banyak faktor yang menimbulkan ada- nya masalah itu, di antaranya adalah politik hukum pemerintah Belanda da- hulu dan hal-hal lain yang melekat pada diri "hukum Islam" itu sendiri. Yang dimaksud dengan "hukum Is- lam" dalam kalimat terakhir ini ada- lah hukum fikih Islam. Oleh karena luasnya masalah yang menyangkut persoalan hukum Islam di tanah air kita, yang tidak , mungkin dibahas semua pada kesempatan ini, maka ruang lingkup uraian ini diba- tasi pada beberapa hal saja yang lang- sung berhubungan dengan judul maka- lah, berturut-turut adalah tentang (1) pem binaan hukum nasional, (2) kedu- dukan hukum Islam dalam sistem hu- kum Indonesia sekarang, (3) keduduk- an hukum Islam dalam proses pembi- naan hukum nasional dan (4) prospek hukum Islam-dalam tata hukum nasio- nal yang akan datang.

Upload: others

Post on 20-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

141

HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL •

_______ Oleh: Mohammad Daud Ali, S.H. _______ _

Pendahuluan

Mempersoalkan kedudukan hukum Islam dalam pem binaan hukum nasio­nal suatu bangs a yang penduduknya mayoritas beragama Islam, "aneh" ra­sanya. Namun demildan, kenyataan­nya adalah dl dalam negara yang 88.09% penduduknya mengaku ber­agama Islam ini, kedudukan hukum agama atau hukum yang bersumber dari ajaran agama yang dianut oleh mayoritas penduduk itu, sering, masih dipersoalkan.

Tigapuluh lima tahun yang lalu, da­lam pembukaan Perguruan Tinggi Is­lam (yang kemudian menjadi Univer­sitas Islam) Jakarta, Profesor Hazairin berkata sebagai berikut : "Soal besar yang kita hadapi sekarang ini ialah bahwa setelah lebih dari lima abad Is­lam masuk di tanah air kita, masih Uuga) Islam memperjuangkan tempat­nya dalam jiwa rakyat dan lebih berat lagi perjuangannya dalam rnasyarakat rakyat, yakni rakyat Islam itu sendiri. Perjuangan yang tertuju kepada jiwa rakyat, kata beliau,nampaknya lebih ringan, dan ini hanya bergantung ke­pada perkem bangan dan kelancaran pelajaran agama. Akan tetapi, demi­kian Prof. Hazairin lebih lanjut, per­juangan terhadap masyarakat ternyata sangat sulit dan berat. Kesulitan itu terletak di lapangan hukum, sebab hu­kum itu banyak sangkut-pautnya de­ngan bentuk dan susunan masyara-

kat". Yang dimaksud dengan hukum dalam kalimat terakhir ini adalah se­perangkat kaidah yang mengatur hu­bungan antara manusia dengan manu­sia lain dalam masyarakat baik yang perdata maupuh yang publik sifatnya.

Apa yang dikemukakan oleh almar­hum Profesor Hazairin tigapuluh lima tahun yang lalu, masih merupakan soal sampai sekarang, kendatipun kadar soal itu tidak setinggi pada waktu be­liau mengucapkannya dahulu (1950). Banyak faktor yang menimbulkan ada­nya masalah itu, di antaranya adalah politik hukum pemerintah Belanda da­hulu dan hal-hal lain yang melekat pada diri "hukum Islam" itu sendiri. Yang dimaksud dengan "hukum Is­lam" dalam kalimat terakhir ini ada­lah hukum fikih Islam.

Oleh karena luasnya masalah yang menyangkut persoalan hukum Islam di tanah air kita, yang tidak ,mungkin dibahas semua pada kesempatan ini, maka ruang lingkup uraian ini diba­tasi pada beberapa hal saja yang lang­sung berhubungan dengan judul maka­lah, berturut-turut adalah tentang (1) pem binaan hukum nasional, (2) kedu­dukan hukum Islam dalam sistem hu­kum Indonesia sekarang, (3) keduduk­an hukum Islam dalam proses pembi­naan hukum nasional dan (4) prospek hukum Islam-dalam tata hukum nasio­nal yang akan datang.

Page 2: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

142

Pembinaan hukum nasional

Untuk melaksanaka,n pokok-pokok pikiran serta pasal-pasa~ Undang-Un­dang Dasar Negara Republik Indonesia (1945,1949,1950) perlu diadakan ko­difikasi hukum nasional. Yang dimak­sud dengan kodifikasi adalah penyu­sunan kaidah-kaidah hukum sejenis da­lam kitab-kitab hukum yang ' disusun secara sistema tis. Yang diartikan de-, .

ngan hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi semua warga negara Republik Indonesia tanpa memandang golongan, keturunan, suku bangsa dan agama yang dianutnya.

Seruan untuk mengadakan kodifi­kasi hukum nasional itu. dimulai oleh Profesor Supomo pada tahun 1947 da­lam pidato dies Universitas Gajah Ma­da. Menurut Prof. Supomo peilu di­adakan pembaharuan hukum di Indo­nesia berupa kodifikasi mengenai bi­dang-bidang hukum yang netral, se­perti misalnya hukum bidang ekonomi dan perdagangan luar negeri. Kodifi­kasi mengenai hukum yang berhubung-

an erat dengan agama, seperti hukum keluarga. harus dilakukan secara hati­hati. Setelah itu, pada tahun 1950 da­lam konperensi kementerian kehakim­an di Salatiga, Protesor Hazairin ber-

. bicara juga tentang pembaharuan hu­kum di tanah air kita. Pada kesempat­an itu, Hazairin menyatakan bahwa dalam pembaharuan hukum di Indo­nesia hukum Islam harus sarna kedu­dukannya dengan hukum adat. Menu­rut beHau, hukum Islam adalah hukum yang berdiri sendiri, dan karen a itu tidak boleh lagi diselipkan dalam hu­kum adat.

Setelah pengakuan kedaulatan, se­makin terdengar suara yang mengingin­kan pembaharuan hukum nasional. Suara-suara itu akhirnya bermuara pa-

da pembentukan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pad a tahun 1958

Hukum dan Pembangunan

yang bertugas memoantu pemerintah mengadakan pembaharuan di bidang hukum. Lembaga ini, yang beranggo­:akan para sarjana hukum Indonesia terkemuka, setelah bekerja delapan ta­hun mengumpulkan bahan dan meru­muskan berbagai rancangan hukum na­sional, ditingkatkan kedudukannya dan diganti namanya menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (dulu di­singkat BPHN, sekarang Babinkum­nas), pada tahun 1974. Kini Badan Pembinaan Hukum Nasional itu men­jadi "pusat" pembangunan dan pem­baharuan hukum di tanah air kita, bertugas mengkoordinasikan semua ke­giatan perancangan dan penyusunan hukum yang akan berlaKu di Indone-

• Sla.

Dalam . rancangan Repelita IV (1984 - 1989) dinyatakan bahwa "ke­bijaksanaan pokok yang akan dilaksa­nakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam pembinaan hukum di tanah air kita adalah peningkatan ke­giatan pembaharuan dan pembentukan perangkat hukum nasional yang meng­ayomi masyarakat, menjamin kelesta­rian dan integritas bangsa serta mem­beri patokan, pengarahan dan dorong­an dalam perubahan sosial". Dinyata­kan lebih lanjut dalam rancangan itu bahwa "dalam pembangunan dan pem­binaan hukum di masa-masa yang ~an datang Badan Pembinaan Hukum Na­sional antara lain akan mengadakan kodifikasi serta unifikasi hukum di bi­dang-bidang tertentu dengan memper­hatikan kesadaran hukum yang ber-kern bang dalam masyarakat". .

Dalam hubungan dengan pembaha­ruan dan pem bangunan hukum nasio­nal ini perlu dicatat bahwa faham yang dianut adalah wawasan nusantara. Wa­wasan Nusantara adalah pandangan yang melihat seluruh wilayah kepulau­an nusantara ini sebagai satu kesatuan hukum dalam arti, bahwa di kemudian

Page 3: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

Hukum Islam

hari, hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Yang dimaksud dengan ke-,

pentingan nasional adalah kepentingan semua warga negara Republik Indone­sia. Pandangan ini mempunyai akibat bahwa suasana hukum dan kehidupan masyarakat yang terbagi-bagi dalam berbagai golongan etnis, lingkungan hukum yayg ada selama ini akan ber­akhir dengan terbentuknya hukum na­sional itu. Dengan demikian, dengan ,

terwujudnya kodifikasi dan unifikasi hukum nasional itu, akan lenyap ' pu- ' lalah keanekaragaman hukum di tanah air kita.

Mem baca kalimat-kalimat terse but ,

di atas, tim bUl, pertanyaan tentang 'nasib' hukum adat, hukum Islam dan hukum barat , tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia selama ini. Secara khusus tentu saja kita tanyakan 'na­sib' hukum Islam yang menjadi pusat perhatian kita dalam makalah ini.

Kedudukan Hukum Islam dalam sis­tern hukum Illdonesia

, Mengenai kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia , dalam garis-garis besarnya, adalah sebagai be­rikut:

Sebelum Belanda mengukuhkan ke­kuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah merupakan satu kenyataan dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di kepulauan nu­santara ini di dalam wilayah kekuasa­annya masing-masing, melaksanakan hukum Islam. Keadaan ini diakui oleh ' VOC, bahkan untuk kepentingan orang bumiputera dalam wilayah yang telah mereka kuasai, VOC membuku­kan hukum Islam ke dalam berbagai kumpulan hukum, di antaranya adalah,

, Compendium Preijer dan Pepakem Ci­rebon. Suasana hukum Islam seperti ini berlangsung terus sampai kekuasaan

143

VOC diam bil-alih oleh pemerintah He­landa pada permulaan abad ke-XIX.

Tatkala pemerintah kolonial Be­landa hendak melaksanakan di tanah air kita kodifikasi hukum yang dibuat di negeri Belanda pada tahun 1838, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi Perancang Per­aturan Pelaksanaan Kodifikasi itu me­nyarankan kepada pemerintahnya su­paya "diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar orang bumiputera dapat tinggal tetap dalam lingkungan hukum agama dan kebiasaan mereka".

Mungkin, saran Mr. Scholten inilah yang menyebabkan maka dalam pasal 78 ayat 2 RR (1855) ditegaskan bah~ wa jika terjadi perkara perdata an tara sesama orang bumiputera, atau dengan mereka yang disamakan, mereka itu tunduk kepada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang agama atau kebiasaan­kebiasaan lama mereka.Yang menyele­saikan perkara perdata antara sesama 0rang bumiputera itu adalah hakim agama pada suatu lembaga hukum yang disebut godsdienstigge recht­spraak. Godsdienstige rechtspraak atau peradilan agama ini pada tahun 1882 dikukuhkan oleh pemerintah Belanda menjadi Priesterraad atau 'Dewan Pen­deta' (suatu nama yang salah, karena Islam tidak mengenal lembaga kepen­detaan), yang berwenang mengadili perkara-perkara yang berhubungan de­ngan perkawinan, kewarisan dan wa­qaf. ,

Di 'sam ping kenyataan di atas, pada abad ke-XIX itu juga di kalangan para ahli terdapat pendapat yang menyata­kan bahwa ,di Indonesia berlaku hu­.kum Islam: Yang mengemukakan pen· dapat demikian antara lain adalah Sa­lomon Keyzer (1823-1868). Pendapat ini diperl,cuat oleh Lodewijk Willem Christian van Berg (1845 -1927) yang

AIJril1985

Page 4: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

144 •

mengatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Kalau dia beragama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya. Orang Islam In­donesia, kat.a van den Berg, .telah me­lakukan resepsi hukum Islam seeara keseluruhan dalam satu kesatuan: re­ceptio in complexu. Karena itu penda­pat van den Berg ini, dalam kepusta­kaan, disebut teori receptio in com­p/exu.

. Christian Snouek Hurgronje (1857-1936) ahli agama Islam yang menjadi arsitek kebijaksanaan pemerintah kolo­nial Belanda mengenai "masalah" Is­lam di Indonesia, menentang teori re­ceptio in eomplexu yang dikemukakan oleh van den Berg itu.

Menurut Snouek, yang berlaku bagi orang Islam di Indonesia bukanlah hu­kum Islam tetapi hukum adat. Me­mang, katanya, ke dalam hukum ad at itu telah masuk pengaruh hukum Is­lam, tetapi pengaruh itu baru mempu­nyai kekuatan hukum kalau sudah di-

terima oleh hukum adat. Hukum adat-lah yang menentukan ada tidaknya hu­kum Islam itu dalam masyarakat.

Pendapat Christian Snouek Hur­gronje ini dikem bangkan oleh van Vollenhoven dan Betrand ter Haar (: kedua-duanya ahli dan tokoh hu­kum adat) yang kemudian terkenal de­ngan teori resepsi. Menurut teori re­sepsi, hukum Islam bukanlah hukum. Hukum Islam baru dianggap sebagai hukum kalau diterima dan telah men­jadi hukum adat. Menurut Prof. Ha-

zairin (1905-1975) teori resepsi yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Be­landa itu adalah teori iblis karena mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi AI-Qur'an dan Sunnah Nabi. leoTi itu, kata beliau, memang se­ngaja diciptakan oleh alat kekuasaan kolonial untuk merintangi kemajuan 1!Olam di Indonesia. Profesor Hazairin

Hukum dan Pembangunan

menunjuk pendapat penganut teori re­sepsi itu mengenai masalah kewarisan orang Islam di J awa dan Madura. Me­nurut penganut teori resepsi, orang Jawa tidak mengenal hukum Islam, ka­rena kalau mereka mem bagi warisan di desanya, biasanya menggunakan hu­kum ' ad at. Oleh karena itu, menurut mereka, hukum kewarisan Islam tidak berlaku bagi orang Islam di 1 awa, ka­rena hukum kewarisan Islam itu belum diterirna oleh hukum adatnya .

Atas dasar pandangan ini, pada ta­hun 1922 dibentuklah sebuah Komisi oleh pemerintah Hindia Belanda yang diketuai oleh Betrand ter Haar Bzn (1902-1941) tersebut di atas untuk

-mempelajari kern bali wewenang Raad Agama di lawa dan Madura. Sebagai penganjur teori resepsi, ter Haar yang

telah lama tidak menyukai hukum Is-lam dan peradilan Agama (Raad Aga­rna) mempergunakan kesempatan ini dan menganjurkan kepada Gubernur lenderal Hindia Belanda untuk mem­persempit ruang gerak hukum Islam dan meninjau kembali wewenang Raad Agama. Supaya tindakan-tindakan un­tuk menghambat perkembangan hu­kum Islam itu konstitusional sifatnya maka dalam I.S . (Indisehe Staatsre­geling) 1929, dieantumkan rumusan yang menyatakan bahwa " ..... da­lam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila hu­kum adat mereka menghendakinya dan sepanjang tidak ditentukan lain oleh ordonansi" (pasal 134 ayat 2) .

Setelah rumusan ini dieantumkan dalam I.S. 1929, maka pada tahun seribu sem bilan ratus tiga puluhan sa­ran ter Haar itu diterima oleh peme­rintah Belanda dan dikeluarkan ordo­nansi yang tereantum dalam S. 1937 : 16, yang meneabut wewenang Peng­adilan Agama di J awa dan Madura un­tuk mengadili perkara-perkara kewaris-

Page 5: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

Hukum Islam

an dan wakaf. Alasannya adalah, me­nurut komisi yang dipimpin oleh ter Haar itu, hukum kewarisan Islam be­lum diterima oleh hukum adat. De­ngan demikian, kata Prof. Hazairin, usaha giat raja-raja Islam di J awa me­nyebarkan hukum Islam di kalangan rakyatnya, di stop (dihentikan) oleh pemerintah kolonial mulai I April

1937.

Tindakan pemerintah kolonial me­ngeluarkan soal kewarisan dari wewe­nang Raad Agama itu mendapat tan­tangan keras dari kalangan masyarakat dan ummat Islam. Kalangan Penghulu dan Pegawainya (PPDP) menyatakan protes atas tindakan pemerintah kolo­nial itu. Muktamar Majlis Islam A'la Indonesia, dalam kongresnya tahun 1938 di Surabaya mengeluarkan reso­lusi yang antara lain menyatakan bah­wa karen a perkara waris ialah hal yang diaturdalam AI-Qur'an, maka kalau perkara warisan itu tidak dipu­tus menurut (ketentuan) agama Is­lam kaum Muslimin merasakan hal itu , sebagai perkosaan terhadap agama Is­lam dan mempersempit jalan me­reka dalam melaksanakan ajaran aga-manya. .

Selain itu banyak lagi protes yang dikemukakan oleh kalangan Islam, na­mun Pemerintah Hindia Belanda tetap tidak memperhatikannya sampai saat pemerintah kolonial itu menyerah pada ten tara Jepang tahun 1942.

Masalah kedudukan hukum kewa­risan Islam dalam tatahukum Indone­sia, tetap menjadi perhatian pemim­pin-pemimpin Islam. Dan usaha untuk mengembalikan hukum (kewarisan) Is­lam pada kedudukannya semula (erus mereka lakukan dalam berbagai kesem­patan yang terbuka.

Demikianlah, ketika Badan Pcnyeli­dik Usaha Persiapan Kemerdekaan ter­bentuk dan bersidang di zaman peme-

145

rintahan J epang . untuk merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar negara Indonesia merdeka di ke­mudian hari, para pemirnpin Islam yang menjadi anggota badan tersebut berusaha memulihkan dan 'menduduk­kan' hukum Islam dalam negara In­donesia Merdeka itu kelak. Usaha itu tidak sia-sia, karena setelah bertukar pikiran melalui musyawarah an tara pe­mimpin Islam dengan kalangan Ke­bangsaan . dan Nasrani, para pemim­pin Indonesia yang menjadi perancang dan perumus UUD Republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 , menuangkan persetujuan me­reka itu ke dalam suatu piagam yang kelak terkenal dengan nama Piagam Jakarta (22-6-1945). Di dalam Piagam Jakarta yang akan dijadikan Mukad­dimah atau Pembukaan UUD 1945 itu dinyatakan (an tara lain) bahwa negara berdasarkan kepada ke Tuhanan de~

ngan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tu­juh kata terakhir ini, dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pa­da tanggal 18-8-1945. Pengeluaran tu­juh kata itu diganti dengan tambahan kata Yang Maha Esa pada kata Ketu­hanan, sehingga bunnyi kalimat yang diperbaiki itu menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, tercantum dalam pem­bukaan dan batang tubuh UUD 1945 yang mengandung norma dan garis hu­kum Menurut Hazairin istilah Ketu-

• •

hanan Yahg Maha Esa itu adalah terje-mahan dari kata-kata Allahu ai-wah i­du al-ahad yang disalurkan dari Al­Qur'an s. 2:163 dan s. 112:2. Al-wa­hidu al-ahad itulah, kata beliau, yang diterjemahkan dengan Yang Maha Esa; perkataan yang belum ada dalam ba­hasa Indonesia sebelum tahun 1945, dan karena itu masih terasa sebagai sesuatu yang aneh sampai sekarang, di: tinjau dari segi bahasa.

April 1985

Page 6: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

146

Menurut Prof. Hazairin pula, de­ngan Dekrit Presiden tanggal 7 Juni 1957, isiPiagam Jakarta 22 Juni 1945, dipulihkan kern bali. Dengan Dekrit itu Sukarno yang ikut menanda tangani Piagam Jakarta itu menyatakan keya­kinannya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia bahwa Piagam Jakarta (: yang memuat tujuh kat a yang dike­luarkan dari Pem bukaan UUD 1945 tanggal 18-8-1945) menjiwai UUD itu dan merupakan kesatuan dengan kon­stitusi tersebut. Ini berarti bahwa apa yang dikeluarkan oleh Panitia Per­siapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 secara tidak langsung, "dimasukkan kern bali" oleh Presiden Sukarno ke dalam UUD 1945 dengan Dekritnya tanggal 5 Juli 1959 itu .

. Sejalan dengan pandangan ini, de­ngan merujuk kepada Dekrit Presiden itu juga, Profesor Notonagoro, Guru Besar Filsafat dan Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada, berpendapat bahwa kata-kata Ketuhanan Yang Ma­ha Esa dalam Pembukaan UUD 1945, , setelah tanggal 5 Juli 1959, isi (dan) artinya mendapat tambahan, lengkap­nya (dengan tambahan itu) adalah: kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi peme­luk-pemeluknya menutut dasar kema­nusiaan yang adil dan beradab.

Pengakuan adanya l'iagam Jakarta se bagai dokumen historis, kata Per­dana Menteri Juanda pada tahun 1957, berarti pula pengakuan akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pengaruh itu, kata beliau tidak hanya mengenai Pembukaannya saja, tetapi juga mengenai pasal 29 Un­dang-Undang Dasar 1945 yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.

Hukum dan Pembangunan

Demikianlah sepintas lalu gambaran ten tang masalah kedudukan hukum Is­lam dalam sistem hukum Indonesia dan usaha yang berlangsung terus-me­nerus untuk memulihkan kedudukan­nya dalam tat a hukum di tanah air kita.

Pendapat Hazairin mengenai teori resepsi yang mula-mula dikemukakan dalam konperensi kementerian keha­kiman di Salatiga (1950) tersebut di atas dikembangkan terus melalui tulis-,

an, ceramah dan kuliah-kuliah beliau di Fakultas Hukum Universitas Indo­nesia. Dan tampaknya, pendapat Ha­zairin ini, mempengaruhi pula kalang­an sarjana hukum Indonesia.

Penelitian terhadap undang-undang •

yang mengatur hukum perkawinan di

Indonesia, demikian Profesor Mahadi, membawa kami kepada pendapat bah­wa sejak berlakunya undang-undang perkawinan itu sampailah ajal teori resepsi seperti yang diajarkan di za­man Hindia Belanda dahulu. Dengan misalnya, pasal 2 ayat 1 yang menga- . takan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum aga­rna, jelas bahwa Hukum (Agama) Is­lam telah lang sung menjadi sumber hukum. Penjelasan pasal 3 undang-un­dang terse but menunjuk kepada hu­kum yang berlaku kalau suami terse­but pemeluk agama Islam. Dengan de­mikian hukum agama Islam menjadi sumber hukum yang langsung tanpa harus melalui hukum adat dalam me-~

nilai apakah sesuatu perjanjian per-kawinan boleh disahkan ataupun ti­dak, seperti yang dikatakan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan itu.

Dari uraian terse but di atas dapat­lah disimpulkan bahwa (1) sejak tahun 1974, secara formal hukum Islam da­pat berlaku langsung tanpa harus me­lalui hukum adat, (2~ :.edudukan hu-

Page 7: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

Hukum Islam .

kum Islam sarna dengan hukum adat dan hukum barat, dan (3) Republik Indonesia dapat mengatur sesuatu mas­alah sesuai dengan hukum Islam, se­panjang pengaturan itu berlaku hanya bagi orang Islam.

Kedudukan hukum Islam dalam proses pembinaan hukum Nasional

Mengenai kedudukan hukum Islam dalam proses pembinaan hukum nasio-' nal, baru jelas perumusannya dalam pidato pengarahan Menteri Kehakiman Ali Said pada upacara pembukaan Simposium Pembaharuan Hukum Per­data N asional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981. Menurut beliau , di sam ping hukum adat dan hukum

perdata ex Barat, hukum Islam yang merupakan salah satu komponen tata­hukum Indonesia, menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentuk­an hukum nasional. Penegasan Menteri Kehakiman ini merupakan pengukuh­an kesimpulan Team Pengkajian Hu­kum Badan Pembinaan Hukum Nasio-

nal yang dibentuk dua tahun sebelum-nya, yang menyatakan bahwa hukum Islam menjadi salah satu sumber pe­nyusunan dan pembentukan hukum serta peraturan perundang-undangan yang sedang dilakukan di Indonesia.

Sesuai dengan kedudukannya seba­gai salah satu sumber bahan baku da­lam pembentukan hukum nasional, hukum Islam dapat berperan aktif dalam proses pembinaan hukum nasio­nal sesuai dengan kemampuan dan kemauan yang ada padanya. Kemauan dan kemampuan hukum Islam itu ha- . rus ditunjukkan oleh setiap orang Is­lam, baik pribadi maupun kelompok, yang mempunyai komitmen terhadap Islam dan ingin hukum Islam berlaku di kalangan ummat Islam dalam Ne­gara Republik Indonesia ini.

Dalam tahap perkembangan pembi- -naan hukum nasional sekarang yang

147

diperlukan oleh badan yang berwe­nang merancang dan menyusun hukum nasional yang akan datang itu adalah asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Is­lam dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Yang bersifat umum adalah misalnya ketentuan-ketentuan umum mengenai peraturan perundang-un­dangan yang akan berlaku di tanah air kita, sedang. yang bersifat khusus , misalnya untuk menyebut . sekedar contoh, adalah asas-asas hukum per­data Islam terutama mengenai hukum kewarisan, asas-asas hukum ekonomi terutama mengenai hak milik, perjan­jian dan hutang-piutang, asas-asas hu­kum pidana Islam, asas-asas hukum tatanegara dan administrasi pemerin­tahan, asas-asas hukum acara dalam Islam , asas-asas hukum internasional dan hubungan an tar bangsa dalam Is­lam. Yang dimaksud dengan asas da­lam pembicaraan ini adalah kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berfikir .

Kita yakin, bahwa asas yang diper­lukan itu ada dalam hukum syari'at Islam. Namun, yang menjadi masalah utama adalah merumuskan asas-asas terse but dalam kata-kata yang dapat diterima, baik oleh golongan yang bukan Islam maupun oleh golongan yang beragama Islam sendiri. Meru­muskan asas-asas terse but ke dalam bahasa atau kata-kata yang dapat di­pahami, merupakah suatu masalah.

Team Pengkajian Hukum Islam Ba­dan Pembinaan Hukum Nasional ter­sebut di at as telah berusaha menemu­kan asas-asas dimaksud dan merumus­kannya ke dalam kaidah-kaidah untuk dijadikan bahan pembinaan hukum nasional. Caranya adalah dengan meng­undang tokoh-tokoh yang ahli dalam hukum Islam semua aliran, baik dari kalangan ulama maupun dari kalangan sarjana untuk mengemukakan penda-

April 1985

Page 8: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

148

patnya mengenai suatu masalah ter­tentu 'dalam suatu forum ilmiah yang sengaja diadakan untuk itu. Di sam­ping pertemuan-pertemuan ilmiyah ini, diadakan juga penelitian serta penu­lisan makalah yang dilakukan oleh sarjana atau ulama yang dianggap da­pat menyumbangkan sesuatu menge­nai hukum Islam yang menjadi bidang keahliannya.

Karena bangsa Indonesia ini mayo­ritas ber.agama Islam, maka ada penda­pat yang mengatakan seyogianya kai­dah-kaidah hukum Islamlah yang men­jadi norma-norma hukum nasional. Di­lihat dari segi normatif, sebagai kon­sekuensi pengucapan dua kalimah sya­hadat, demikianlah hendaknya. Na­mun dipandang dari sudut kenyata­an, tidaklah begitu. Menurut politik hukum yang dilaksanakan oleh peme­rintah di Indonesia, tidaklah karena mayoritas rakyat Indob.esia beragama Islam, norma-norma hukum Islam se­cara otomatis menjadi norma-norma hukum nasional. Norma-norma hukum

Islam baru dapat dijadikan norma hu­kum nasional, menurut politik hukum itu, apabila norma-norma hukum Islam itu sesuai dan dapat menampung ke­butuhan seluruh lapisan rakyat Indo­nesia. Ketetapan terse but .dalam kali­mat terakhir ini berlaku juga bagi hu­kum adat dan hukum barat yang juga menjadi bahan baku dalam proses pembinaan hukum nasional.

Disamping apa yang telah dikemu­kakan di atas, dalam mengolah as as­asas dan kaidah-kaidah hukum Islam menjadi asas-asas dan norma-norma hukum nasional, ada masalah lain yakni masalah yang melekat pada "hu-

kum Islam" itu sendiri dan pada sikap terhadap hukum fikih Islam yang ada sekarang. Ada yang berpendapat bah­wa kaidah-kaidah hukum Islam itu ha-

,

rus diikuti semua dari A sampai Z, ada

Hukum dan Pembangunan

pula yang beranggapan bahwa dalam mengkaji dan mengolah asas-asas serta kaidah-kaidah hukum Islam, harus di­bedakan antara asas-asas dan kaidah­kaidah hukum Islam yang abadi sifat­nya yakni asas-asas dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum syari'at

,

Islam dan asas-asas serta kaidah-kaidah ,

hukum Islam yang tidak abadi sifat­nya yang terdapat dalam hukum fikih Islam. Yang pertama harus diikuti dari A sampai Z, sedang yang kedua , menu­rut A. Zaki Yamani (1978) tidak wajib diikuti dari A sampai Z, karena mung­kin ada di antara asas-asas dan kaidah­kaidah itu sangat sesuai untuk keada­an masa lampau , tetilpi tidak cocok lagi untuk masa sekarang atau khusus misalnya untuk keadaan dan tempat tertentu seperti Indonesia ini.

Prospek hukum Islam dalam tatahil­kum nasional yang akan datang.

Prospek hukum Islam dalam tata­hukum nasional yang akan datang,

. .

pada pendapat saya, sudah jelas dari uraian terse but di atas. Karena ia telah diterirna sebagai salah satu sumber ba­han baku dalam pembinaan hukum na­sional, maka hukum Islam jelas mem­punyai peranan dalam proses pembi­naan aukum nasional , maka hukum 'Islam jelas mempunyai peranan dalam proses pembinaan hukum nasional ter­sebut. Hanya, yang menjadi masalah adalah sampai seberapa jauh peranan itu dapat dilakukannya. Dengan kata lain adalah sampai seberapa jauh nor­ma-norma hukum Islam itu dapat di­olah (oleh mereka yang mempunyai komitmen terhadap Islam dan hukum Islam) menjadi norma-norma hukum nasional. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab , karena tergantung kepada ba­nyak faktor, di antaranya adalah fak­tor kemampuan sarjana atau ularra

. hukum Islam sendiri untuk mengolah kaidah-kaidah hukum Islam itu seperti

Page 9: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

Hullum Islam

telah dikemukakan di atas, menjadi norma-norma hukum nasional.

Perkembangan dari hukum golong­an (agama) menjadi hukum nasional terjadi juga di be,berapa negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq, Jordan dan

Libia. Yang berbeda adalah kadar un­sur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional negara-negara yang bersang­kutan. Oi negara-negara tersebut, me­nurut Majid Khadduri (1966), hukum nasional mereka merupakan perpaduan antara asas-asas hukum barat dengan asas-asas hukum Islam. Oi tanah air kita , hukum nasional di masa yang

akan datang akan merupakan perpa-duan antara hukum adat hukum Is­lam dan hukum barat.

Perkem bangan hukum Islam di ne­gara-negara Islam dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beraga­rna Islam di masa yang akan datpng; 'Penurut penglihatan saya, akan me­nunjukkan keragaman dan kesatuan. Keragaman itu akan terlihat pada bi­dang-bidang hukum ekonomi, perda­gangan internasional, asuransi, perhu­bungan (laut, darat dan udara) perbu­mhan, acara, susunan dan kekuasaan peradilan, administrasi dan lain-lain hi­d.ang hukum yang menurut istilah Pro-

DAFTAR

149

fesor Supomo merupakan bidang hu­kum yang kurang lebih bersifat netral. Namun, mengenai hukum keluarga yakni hukum perkawinan dan hukum kewarisan, kendatipun di sana sini akan terdapat atau kelihatan nuansa­nuansa, namun secara keseluruhan bi­dang hukum ini akan menunjukkan ciri kesatuan. Oi bidang hukum ini bagaimanapun besarnya pengaruh se­kularisasi akibat penetrasi hukum ba­rat selama berabad-abad di negara-ne­gara yang penduduknya beragama Is­lam, namun, hukum Islam mengenai keluarga akan keJihatan in toto (dalam keseluruhan) .

Penutup

Oemikianlah beberapa hal mengenai kedudukan hukum Islam dalam pembi­naan hukum nasional. Oilihat dari per­nyataan Menteri Kehakiman yang te­lah dikemukakan di atas, jelas bahwa jalan telah dibuka dan kesempatan sudah diberikan pula . Tinggal lagi ke­mauan dan kemampuan untuk berpar­tisipasi dan berperan aktif dalam pe­nyusunan hukum nasional yang sesuai dengan ajaran Islam dan memenuhi ke­butuhan hukum seluruh lapisan masya­rakat Indonesia.

AKAAN

1. Ali, Mohammad Daud : Kedudukan Hukum I Dalam Sistem Hukum Indone-

2.

3.

4.

5.

6.

Hazairin

-------- ------------Khadduri, Majid

Mahadi

-

• •

• •

• •

• •

• •

sia, dalam Hukum dan Pembangunan. Mmor 2 tahun XII! 1982.

Hukum Kl'keluargaan Nasional. Jakarta. 1974.

Tujuh Serangkai Tentang Hultum. Jakarta, 1974.

Demokrasi Pancasila, Jakarta. 1981.

From Religious to National Law dalam Modernizatiolt of the Arab World. New York. 1966.

Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia setclalt pe­rang dunia II. BPHN, Jakarta, 1978.

April 1985

Page 10: HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM ... - Universitas …

150

7.

8.

Radhie, T .M.

----------

• •

• •

Hu/wm dan Pembangunan

PeIlllasalahan Hukum J~lam Dalam Prospektif Pemba­ngunan Hukum Nasional, daJam Hukum dan Pcmbangun­an, Nomor 2 tahun XII(l982.

Hukum dan Perubahan So sial serta Peranan Hukum Islam , -

di Dalamnya, dalam Studia [s/ami/w. nom or 18 tahun V[[J(l983.

9. Rancangan Repelita IV (1984 - 198), Bappcnas,.1 akarta, 1984.

10.

11.

1 2.

Supomo

Suwandi

Yamani, Z. Ahmad

- • ··0

; j_e:

• •

• •

Ball-Bah lelliang JlUkU111 Adal. Jakarta, 1963.

S{'kilar A'odlji/wsi [[u/wm Na.liullul di Indonesia. Jakarta, 1963.

Syari ill [llllm ")Illllg ""kal dUll rawulan masa kini, J a­karta. 1978.

· · r ! , • i • • ,

! , ,

I • •

• j

I · · f' I. !u

, ill •

, ,

I

I

\

j,:1t. li~ I If i 1 t IH H

i i

...... ... ..

, GI'o-

• 1