haze polution
DESCRIPTION
asean agreementTRANSCRIPT
Kajian Hukum Lingkungan Internasional Terhadap Kebakaran
Hutan di Indonesia yang Mengakibatkan Pencemaran Udara di
Malaysia
ABSTRAKSI
Muhammad Muzaqir, 06.58611.01003.11 Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Lingkungan, ”Kajian Hukum Lingkungan Internasional Terhadap Kebakaran Hutan di Indonesia” Di bawah bimbingan Bapak La Sina dan Ibu Siti Khotijah. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia semakin mendapatkan perhatian internasional dan harus segera ditindaklanjuti. Kebakaran hutan dan lahan tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara asal tempat terjadinya kebakaran, namun juga kerugian pada negara lain berupa pencemaran asap lintas batas Negara di Malaysia. Hal tersebut menimbulkan pertangungjawaban negara (Indonesia) karena kejadian pencemaran asap lintas batas yang menyebabkan terganggunya lingkungan negara lain merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip – prinsip hukum internasional. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yaitu yang mengkaji ketentuan hukum positif maupun asa-asas hukum, dalam pencemaran lintas batas negara akibat dari kebakaran hutan ini dapat kita lihat bahwa lahirnya suatu pertanggung jawaban adalah suatu kewajiban bagi Indonesia, karena Indonesia telah melakukan kelalaian dalam rangka pengelolaan hutan dan ini merupakan kegagalan dalam menerapkan standar langkah – langkah pengelolaan hutan dan pencegahan terhadap kebakaran hutan hingga menimbulkan pencemaran udara hingga keluar batas yurisdiksinya. Pemerintah Indonesia seharusnya memberikan penyuluhan tentang betapa pentingnya memeliharan hutan bagi kelangsungan kehidupan kepada seluruh lapisan masyarakat agar bersama – sama dalam menjaga kelestarian hutan dan memperkuat penerapan tentang pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan guna menghindari kerusakan lingkungan dan pencemaran asap. Pemerintah harus lebih selektif dalam penerbitan izin ekplorasi dan ekspoitasi hutan, serta melakukan pengawasan dan kontrol secara berkelanjutan terhadap perusahan – perusahan yang memiliki izin. Pemerintah harus segera meratifikasi The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) 2002, karena tujuan dari Agreement tersebut adalah untuk mencegah dan memonitor transboundary haze pollution yang diakibatkan oleh kebakaran hutan yang sebaiknya dilakukan dengan upaya-upaya nasional dan dengan kerjasama regional dan internasional. Ini merupakan peluang yang sangat baik untuk mencari jalan keluar dalam peristiwa kebakaran hutan.
Kata Kunci : Kajian Hukum Lingkungan Internasional, Kebakaran Hutan, Pencemaran
Lintas Batas Negara
A. Latar Belakang
Selain hilangnya fungsi hutan, hasil
hutan, dan erosi tanah, polusi udara
adalah akibat langsung dari kebakaran
hutan tersebut. Dampak dari kebakaran
tersebut tidak hanya dirasakan oleh
masyarakat Indonesia saja, namun hingga
negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Brunei dan Singapore.1
Permasalahan kabut asap ini
menjadi masalah internasional karena
kasus ini menimbulkan pencemaran di
negara-negara tetangga (transboundary
pollution), sehingga mereka mengajukan
protes terhadap Indonesia atas terjadinya
masalah ini. Kerugian sosial ekonomi dan
ekologis yang timbul oleh kebakaran hutan
cukup besar, bahkan dalam beberapa hal
sulit untuk diukur dengan nilai rupiah.
Kerugian yang harus ditanggung oleh
Indonesia akibat kebakaran hutan tahun
1997 dulu diperkirakan mencapai Rp.5,96
trilyun atau 70,1% dari sektor kehutanan
pada tahun 1997. Pada pertemuan
Kementerian lingkungan hidup ASEAN
dalam masalah polusi kabut asap lintas
batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia
mendesak Indonesia untuk menyelesaikan
masalah ini.
Protes Malaysia ini didasarkan pada
alasan bahwa kabut asap tersebut telah
menimbulkan gangguan terhadap
kesehatan masyarakat kabut asap ini
menyebabkan Infeksi Saluran Penafasan
Atas (ISPA), batuk, radang dan gangguan
paru-paru. Pada sektor ekonomi dan
pariwisata kerugian US$ 300 juta.
1 Ida Aju Pradana Resosudarmo, Carol J. Pierce
Colfer, 2003, Ke Mana harus Melangkah, Yayasan Obor,
Jakarta, halaman 359.
Kemudian dalam bidang transportasi jalur
darat, laut, dan udara mengalami
gangguan yang besar. Pada jalur udara
beberapa pernerbangan dibatalkan, dijalur
darat jarak pandang hanya mencapai
800m yang mengakibatkan rentan dengan
kecelakan, kemudian di jalur laut jarak
pandang yang biasanya mencapai 19 km
menjadi hanya 2 km. sedangkan Singapura
mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di
sektor pariwisata.2 Hingga pada akhirnya
pemerintah Malaysia melalui Duta
besarnya menyampaikan kepada
pemerintah Indonesia bahwa Malaysia
memberikan peringatan keras agar tidak
ada lagi kiriman asap dari Indonesia di
tahun berikutnya.
Pencemaran udara akibat
kebakaran hutan bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum lingkungan
internasional. Salah satu prinsip adalah
“Sic utere tuo ut alienum non laedes” yang
menentukan bahwa suatu Negara dilarang
melakukan atau mengijinkan dilakukannya
kegiatan yang dapat merugikan Negara
lain,3 dan prinsip good neighbourliness.4
Pada intinya prinsip itu mengatakan bahwa
kedaulatan wilayah suatu negara tidak
boleh diganggu oleh negara lain. Prinsip-
prinsip hukum internasional untuk
perlindungan lingkungan lainnya adalah
“States have, in accordance with the
charter of the united nations and the
principles of international law, the
sovereign right to exploit their own
2 Program Studi Pasca Sarjana Universitas
Indonesia (2010), Transboundary Haze Pollution dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional, halaman 1.
3 J.G, Starke, Pengantar Hukum Internasional , Sinar Grafika Offset, Jakarta, halaman 546.
4 Sucipto, 1985 Sistem Tanggung Jawab Dalam Pencemaran Udara, Malang halaman 82.
resources pursuant to their own
environmental policies” 5 (Negara sesuai
dengan piagam bangsa-bangsa bersatu
dan prinsip-prinsip hukum internasional,
hak berdaulat untuk jelajahi
sumber dayanya sesuai dengan kebijakan
pembangunan lingkungannya sendiri),
prinsip tersebut membenarkan
penempatan lingkungan hidup sebagai
objek kekuasaan dan hukum suatu negara,
dan karenanya lingkungan hidup dalam
status demikian tunduk kepada hukum
nasional negara tertentu, terutama dengan
ketentuan, bahwa hak demikian diimbangi
kewajiban bagi setiap negara untuk
memanfaatkan lingkungan hidup yang
menjadi bagian wilayahnya secara tidak
menimbulkan kerugian terhadap negara
atau pihak lain.
Dalam Prinsip 21 Deklarasi
Stockholm 1972 menyatakan,
“Responsibility to ensure that activities
within their jurisdiction or control do not
cause damage to the environment of other
states or areas beyond the limits of
national jurisdiction” (Tanggung jawab
untuk memastikan bahwa kegiatan di
dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak
akan menimbulkan kerusakan terhadap
lingkungan negara lain atau kawasan di
luar batas yurisdiksi nasional).
Prinsip-prinsip tersebut dapat
menjadi dasar untuk meminta pertanggung
jawaban negara terhadap negara yang
telah melakukan tindakan yang merugikan
negara lain. Menurut hukum internasional
pertanggung jawaban negara timbul ketika
Negara yang bersangkutan merugikan
negara lain. Pada kasus ini, kebakaran
5 Ida Bagus Wyasa Putra, 2002, Hukum
Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, halaman 7.
hutan di Indonesia telah menimbulkan
dampak negatif terhadap Malaysia dan ini
terjadi hampir setiap tahun tanpa ada
tindak lanjut yang serius dari pemerintah
Indonesia.
Kebakaran hutan merupakan
masalah serius yang tidak tangani secara
serius oleh pemerintah Indonesia karena
terjadi hampir setiap tahun, oleh karena
hal-hal yang telah penulis uraikan tersebut
diatas adalah merupakan alasan yang
mendasari penulis dalam pemilihan
permasalahan penelitian hukum normatif
ini sehingga penulis mengangkat penelitian
hukum Kajian Hukum Lingkungan
Internasional Terhadap Kebakaran Hutan
di Indonesia yang Mengakibatkan
Pencemaran Udara di Malaysia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas,
maka masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut, Pertama, Apakah perlindungan
Hukum terkait masalah pencemaran lintas
batas di Malaysia akibat kebakaran hutan di
Indonesia? kedua, Bagaimana tanggung
jawab Indonesia menurut hukum lingkungan
internasional terkait dengan terjadinya
kebakaran hutan yang mengakibatakan
pencemaran udara di Malaysia?
C. Metode Penelitian
Berdasarkan substansi permasalahan
yang akan dikaji dalam penelitian ini
dirancang sebagai penelitian hukum yuridis
normatif, yang mengkaji ketentuan-
ketentuan hukum positif maupun asa-asas
hukum.6 Bedasarkan pandangan dan
pengertian diatas dapat dikemukakan
penelitian hukum adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori, atau
konsep baru sebagai preskripsi7 dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan
jawaban yang diharapkan dalam penelitian
hukum adalah right, appropriate,
inappropriate, atau wrong. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hasil yang
diperoleh di dalam penelitian hukum sudah
mengandung nilai.8
Berkaitan dengan peristiwa
kebakaran hutan di Indonesia yang
mengakibatkan pencemaran lintas batas di
Malaysia maka penulis menggunakan
6 Siti Kotijah, 2009, Implementasi Prinsip-Prinsip
Kehutanan Dalam Rangka Konservasi Sumber Daya Hutan (Studi di Jatim), Program Pasca Sarjana Unversitas Airlangga, Surabaya, halaman 23.
7 Preskripsi adalah, apa yg diharuskan; ketentuan
(petunjuk) peraturan; (nomina).
8 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, halaman 29-35.
metode penelitian hukum yuridis normatif
dengan menelusuri asas – asas hukum
internasional, prinsip – prinsip hukum
internasional serta konvensi dan perjanjian
internasional yang relevan dengan masalah
yang akan di kaji. Penelitian hukum pada
umumnya menggunakan bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.
Bahan hukum primer (primary law
material) merupakan bahan hukum yang
mempunyai kekuatan mengikat secara
umum (perundang-undangan) atau memiliki
kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan (kontrak, konvensi dan
putusan pengadilan), Yaitu: Deklarasi
Stockholm 1972, The Geneva Convention on
The Long-Range Transboundary Air
Pollutan, 1979 (Konvensi Geneva 1979),
Vienna Convention for the Protection of the
Ozone Layer (Konvensi Wina 1985),
Deklarasi Rio de Jenero 1992, Konvensi
Perubahan Iklim 1992, Draft Articles
Responsibility of States for Internationally
Wrongful Acts, International Law
Commission, 2001, Draft Articles on State
Responsibility, The 1997 ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution (AATHP)
2002. Bahan hukum sekunder (secondary
law material) merupakan bahan hukum
yang member penjelasan terhadap bahan
hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal
hukum, laporan hukum, dan media cetak
atau eleltronik). Yaitu, kasus-kasus, hasil-
hasil penelitian kalangan hukum, literatur
dan tulisan-tulisan hukum yang berkaitan
dengan peristiwa kebakaran hutan di
Indonesia yang mengakibatkan pencemaran
udara di malaysia, kamus hukum. Bahan
hukum tersier (tertiary law material) yaitu
bahan hukum yang memberikan penjelasan
kepada bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang berupa rancangan
undang-undang, kamus hukum,
ensiklopedia, dan bahan-bahan non hukum
yang bisa membantu dalam penelitian
peristiwa kebakaran hutan di Indonesia
yang mengakibatkan pencemaran udara di
Malaysia. Dalam penelitian Hukum data
yang dikumpulkan adalah data sekunder.
Langkah – langkah dalam analisa
bahan hukum dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: Melakukan telaah atas
fakta hukum yang terjadi didalam peristiwa
kebakaran hutan di Indonesia yang
mengakibatkan pencemaran udara di
malaysia yang diajukan berdasarkan bahan-
bahan yang dikumpulkan, Menarik
kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang
menjawab rumusan masalah; dan
Memberikan preskripsi berdasarkan
argumentasi yang telah dibangun di dalam
kesimpulan.9 Bahan hukum hasil
pengolahan tersebut dianalisis dengan
langkah – langkah yang telah ditentukan
diatas, yang kemudian berdasarkan hasil
pembahasan akan diambil kesimpulan
sebagai jawaban terhadap permasalahan
yang di teliti.
9 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian
Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, halaman 141.
D. Pembahasan
1. Perlindungan hukum terkait
masalah pencemaran lintas batas
di Malaysia akibat kebakaran hutan
di Indonesia.
a. Deklarasi Stockhom 1972
Setiap peraturan hukum dapat
dikatakan terlaksana dengan baik
ditentukan oleh tingkat kepatuhan pada
masyarakat terhadap hukum. Walaupun
Deklarasi Stockholm 1972 tidak
mengatur secara khusus tentang
pencemaran udara lintas batas negara,
namun Deklarasi tersebut mengatur
tentang masalah perlindungan
lingkungan hidup.
Sebagai tiang utama hukum
lingkungan internasional Deklarasi
Stockholm 1972 menyatakan bahwa:
Prinsip 1, Man has the
fundamental right to freedom, equality
and adequate conditions of life, in an
environment of a quality that permits a
life of dignity and well-being, and he
bears a solemn responsibility to
protectand improve the environment for
present and future generations. In this
respect, policies promoting or
perpetuating apartheid, racial segregation,
discrimination, colonial and other forms of
oppression and foreign domination stand
condemned and must be eliminated.
Diterjemahkan: (Manusia memiliki
hak mendasar untuk kebebasan,
kesetaraan dan kondisi kehidupan yang
memadai, dalam suatu lingkungan
berkualitas yang memungkinkan
kehidupan yang bermartabat dan
kesejahteraan, dan dia memegang
tanggung jawab suci untuk melindungi
dan memperbaiki lingkungan untuk hadir
dan generasi mendatang)10
Prinsip diatas menunjukan bahwa
secara global setiap manusia memiliki hak
yang sama untuk kehidupan yang sehat
dengan lingkungan yang berkualitas dan
manusia mempunyai tanggung jawab
untuk menjaga lingkungannya untuk masa
sekarang maupun untuk generasi pewaris
bumi yang akan datang.
Namun akibat dari kesalahan
dalam pengelolaan hutan di Indonesia
yang berujung dengan kebakaran hutan,
rakyat Malaysia harus merasakan dampak
serius dari kebakaran tersebut berupa
kabut asap tebal yang disertai ratusan
juta metrik ton karbon dioksida dalam
waktu yang cukup lama, akibatnya
penduduk Malaysia mengalami gangguan
kesehatan seperti Infeksi Saluran
Pernafasan Atas, radang paru – paru dan
gangguan dalam aktifitas sehari – hari
karena asap tebal tersebut serta kualitas
udara yang buruk. Ini jelas dengan
bertentangan dengan Prinsip 1 Deklarasi
Stockholm 1972 yang menyatakan bahwa
bahwa setiap manusia memiliki hak yang
sama untuk kehidupan yang sehat dengan
lingkungan yang berkualitas.
Berdasarkan Prinsip 21 yang
menyatakan, States have, in accordance
with the Charter of the United Nations and
the principles of international law, the
sovereign right to exploit their own
resources pursuant to their own
environmental policies, and the
responsibility to ensure that activities
within their jurisdiction or control do not
10 Terjemahan bebas penulis.
cause damage to the environment of
other States or of areas beyond the limits
of national jurisdiction.
Diterjemahkan: (Negara, sesuai
dengan Piagam PBB dan prinsip - prinsip
hukum internasional, hak berdaulat untuk
mengeksploitasi sumber daya mereka
sendiri sesuai dengan kebijakan
pembangunan lingkungannya sendiri, dan
tanggung jawab untuk memastikan bahwa
kegiatan di dalam yurisdiksinya atau
kendalinya tidak akan menimbulkan
kerusakan lingkungan lainnya Negara atau
kawasan di luar batas yurisdiksi
nasional)11
Prinsip 21 Deklarasi Stockholm
1972 tersebut membenarkan bahwa,
setiap Negara berhak untuk
mengeksploitasi sumber daya alam di
wilayahnya, namun Negara tersebut
juga harus memastikan kegiatan
eksploitasi yang berlangsung di
wilayahnya atau kendalinya tidak
menimbulkan kerusakan lingkungan di
Negara lain. Dengan demikan
berdasarkan prinsip diatas apabila kita
mengaitkan pada peristiwa kebakaran
hutan di Indonesia yang menyebabkan
pencemaran udara di Malaysia, jelas
sangat bertentangan dengan prinsip
tersebut karena, Indonesia
memanfaatkan sumber daya alamnya
secara serakah, dengan
menghamburkan izin tanpa pengawasan
yang berarti pada industri kayu dan
perkebunan yang mana itulah yang
menjadi penyebab utama dari
kebakaran hutan.
Dengan pembukaan lahan untuk
perkebunan yang menggunakan cara
11 Terjemahan bebas penulis.
pembakaran dan pembuangan limbah
hasil pembalakan kayu yang menjadi
bahan bakar utama, mengakibatkan
terjadinya kebakaran besar dan berujung
pada pencemaran lintas batas negara di
Malaysia. Ini menunjukan bahwa
Indonesia telah melanggar prinsip
tersebut, karena peristiwa tersebut terjadi
di wilayah yurisdiksi dan kontrol
Indonesia.
b. Deklarasi Rio 1992
Prinsip 1, Human beings are at the
centre of concerns for sustainable
development. They are entitled to a
healthy and productive life in harmony
with nature;
Diterjemahkan: (Manusia sasaran
utama pembangunan berkelanjutan.
Mereka berhak untuk hidup sehat dan
produktif dalam keserasian dengan
alam)12
Prinsip 1 Deklarasi Rio 1992 Ini
menegaskan bahwa lingkungan hidup
harus terus dijaga dan dilestarikan secara
berkelanjutan, dalam hal ini manusia
sebagai mahkluk paling sempurna
dimuka bumi yang dianugerahi akal dan
pikiran harus berperan aktif dalam
menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup guna terpenuhinya kebutuhan
untuk terus hidup sehat dan produktif
untuk generasi saat ini dan masa
mendatang. Namun apa yang terjadi di
Malaysia menunjukan bahwa hak - hak
penduduk Malaysia telah dilanggar oleh
Indonesia karena hampir setiap tahun
rutin mengekspor asap tebal kesana,
12 Ida Bagus Wyasa Putra, 2002, Hukum
Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, halaman 40.
yang berdampak pada memburuknya
kualitas udara yang banyak menimbulkan
kerugian, mulai dari banyak sekolah,
bisnis dan lapangan terbang ditutup,
para turis tidak dapat berkunjung, pada
sektor ekonomi dan pariwisata kerugian
jutaan dollar, kesehatan masyarakat
kabut asap ini menyebabkan Infeksi
Saluran Penafasan Atas (ISPA), batuk,
radang dan gangguan paru-paru dan
lingkungan serta ganggungan jalur
transportasi udara, darat dan laut yang
sampai menimbulkan jatuhnya korban 29
korban tabrakan kapal di selat Melaka
akibat jarak pandang yang tertutup kabut
asap dari kebakaran hutan di Indonesia.
dengan demikian sangat jelas bahwa
Indonesia telah melanggar hak untuk
hidup sehat dan produktif penduduk
Malaysia maupun penduduk Indonesia
sendiri akibat dari kebakaran hutan dan
lahan.
Kemudian dalam Prinsip 14
Deklarasi Rio menyatakan, States should
effectively cooperate to discourage or
prevent the relocation and transfer to
other States of any activities and
substances that cause severe
environmental degradation or are found
to be harmful to human health.
Diterjemahkan: (Pencegahan
peralihan bahan perusak lingkungan dari
satu negara ke negara lainnya oleh setiap
pemerintah)13
Prinsip 14 Deklarasi Rio 1992
menunjukan bahwa pencegahan
pencemaran lingkungan lintas batas
negara adalah tanggung jawab
13 Ida Bagus Wyasa Putra, 2002, Hukum
Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, halaman 42.
pemerintah untuk melaksanakannya,
namun apabila kita melihat peristiwa
kebakaran hutan di Indonesia yang
mengakibatkan pencemaran udara di
Malaysia ini menunjukan bahwa
pemerintah Indonesia tidak melaksanakan
amanat prinsip tersebut dengan baik. Ini
terbukti dengan pencemaran udara di
Malaysia yang hampir setiap tahun terjadi,
sejak tahun 80-an hingga 2006 Indonesia
terus menerus menjadi pengirim asap
kenegara – negara tetangga. Sebenarnya
instrumen hukum nasional Indonesia
sudah sangat ketat memuat tentang
pencegahan kerusakan lingkungan,
perlindungan lingkungan dan hutan,
namun apalah artinya sebuah hukum jika
tidak terapkan.
c. The Geneva Convention on The Long-
Range Transboundary Air Pollutan, 1979
(Konvensi Geneva 1979)
Pasal 2 menyatakan “The
Contracting Parties, taking due account of
the facts and problems involved, are
determined to protect man and his
environment against air pollution and shall
endeavour to limit and, as far as possible,
gradually reduce and prevent air pollution
including long-range transboundary
pollution”
Diterjemahkan: (Para Pihak, dengan
mempertimbangkan fakta - fakta dan
masalah yang terlibat, bertekad untuk
melindungi manusia dan lingkungan
melawan polusi udara dan akan berusaha
untuk membatasi dan, sejauh mungkin,
secara bertahap mengurangi dan mencegah
pencemaran udara termasuk jangka
panjang polusi lintas batas)14
Berdasarkan Pasal 2 Konvensi
Geneva 1979 yang menunjukan bahwa,
negara bertekad untuk melindungi manusia
dan lingkungan serta mencegah dari
pencemaran udara termasuk pencemaran
udara lintas batas negara. Namun tekad
tersebut tidak ditunjukan oleh pemerintah
Indonesia, dalam prakteknya pemerintah
Indonesia malah mengamburkan izin
ekplorasi dan eksploitasi hutan secara besar
- besaran untuk industri kayu dan
perkebunan sawit yang mana kedua industri
tersebut-lah yang menjadi penyebab utama
dalam kebakaran hutan yang terjadi di
Indonesia, kemudian mengakibatkan
pencemaran udara besar – besaran di
wilayah Indonesia dan Malaysia, dan
mengakibatkan manusia dan lingkungan
tidak terlindungi dengan baik.
Kebakaran tersebut mengakibatkan
kerugian, mulai dari banyak sekolah, bisnis
dan lapangan terbang ditutup, para turis
tidak dapat berkunjung, pada sektor
ekonomi dan pariwisata kerugian jutaan
dollar, kesehatan masyarakat kabut asap ini
menyebabkan ISPA (Infeksi Saluran
Penafasan Atas), batuk, radang dan
gangguan paru-paru dan lingkungan serta
ganggungan jalur tranportasi udara, darat
dan laut yang sampai menimbulkan
jatuhnya korban 29 korban tabrakan kapal
di selat Melaka akibat jarak pandang yang
tertutup kabut asap dari kebakaran hutan di
Indonesia, peristiwa ini jelas sangat
bertolak belakang dengan tekad yang
tersirat dalam Pasal 2 Konvensi Geneva
1979.
14 The Geneva Convention on The Long-Range
Transboundary Air Pollutan, 1979 (Konvensi Geneva 1979)
d. Konvensi Tentang Perubahan Iklim 1992
(Ratifikasi melalui Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1994 tentang pengesahan United
Nations Framework Convention On
Climate Change, Konvensi Kerangka
Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim).
Pasal 3 paragraf 1, “In their actions
to achieve the objective of the Convention
and to implement itsprovisions, the Parties
shall be guided, inter alia, by the following:
The Parties should protect the climate
system for the benefit of present and future
generations of humankind, on the basis of
equity and in accordance with their common
but differentiated responsibilities and
respective capabilities. Accordingly, the
developed countryParties should take the
lead in combating climate change and the
adverse effects thereof”.
Diterjemahkan: (Dalam tindakan
mereka untuk mencapai tujuan Konvensi
dan untuk melaksanakan ketentuan
tersebut, Para Pihak akan dibimbing, antara
lain, oleh berikut: Para Pihak harus
melindungi sistem iklim untuk kepentingan
sekarang dan masa depan generasi umat
manusia, atas dasar kesetaraan dan sesuai
dengan tanggung jawab bersama tetapi
berbeda dan kemampuan masing-masing.
Dengan demikian, Pihak negara maju harus
memimpin dalam memerangi perubahan
iklim dan efek samping tersebut).15
Bedasarkan Pasal 2 Konvensi
Perubahan Iklim 1992 yang Ratifikasi
Indonesia melalui Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1994
tentang pengesahan United Nations
15 Terjemahan bebas penulis.
Framework Convention On Climate Change,
Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai
Perubahan Iklim menyebutkan, bahwa
Negara harus melindungi, sistem iklim,
memerangi perubahan iklim dan dampak
dari perubahan iklim, namun kenyataannya
Indonesia yang seharusnya menjadi tameng
dalam perlindungan iklim malah menjadi
Negara perubah iklim terbesar akibat dari
kebakaran hutan di wilayah nasionalnya.
Kebakaran priode 1997 - 1998
merupakan kebakaran terparah didunia,
kebakaran tersebut terjadi hampir diseluruh
wiliyah di Indonesia, seperti Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua
Barat yang membuat Indonesia menjadi
negara pencemar terbesar didunia dan
kebakaan ini menghasilkan sekitar 22%
karbon dioksia dunia atau 700 juta metrik
ton karbon dioksida yang dilepaskan ke
atmosfer, 75% berasal dari kebakaran
gambut di Indonesia.16
Tahun 1997 – 1998 penyumbang
utama kabut asap yang menyebar ke
Malaysia adalah kebakaran hutan gambut di
provinsi jambi, riau dan sumatera selatan.
Kebakaran terjadi akibat kegiatan –
kegiatan mata pencaharian masyarakat
seperti persawahan, pembalakan,
pembukaan lahan sawit dan HTI (Hutan
Tanaman Industri). Selama beberapa tahun
pembukaan lahan gambut untuk
perkebunan menjadi sumber utama
pencemaran kabut asap. Kabut asap dari
kebakaran hutan yang menyelimuti Malaysia
tersebut adalah penyebab dari perubahan
iklim di Malaysia dan negara – negara
tetangga lainnya. Peristiwa pencemaran
16 Ida Aju Pradana Resosudarmo, Carol J. Pierce
Colfer, 2003, Ke Mana harus Melangkah, Yayasan Obor,
Jakarta, halaman 360.
lintas batas yang mengakibatkan kualitas
udara memburuk dan perubahan iklim di
Malaysia ini, sangat bertolak belakang
dengan semangat Pasal 2 Konvensi
Perubahan Iklim yang telah diratikasi
Indonesia. dengan demikian Indonesia jelas
harus bertanggung jawab atas peristiwa ini.
Kebakaran hutan di wilayah
yurisdiksi Indonesia sangat bertolak
belakang dengan semangat yang
dinyatakan dalam pasal 2 paragraf 2 (b)
Konvensi Wina 1985 yang menyebutkan,
Konvensi ini mewajibkan setiap negara
anggota Konvensi mengambil tindakan yang
tepat untuk melindungi kesehatan manusia
dan lingkungan hidupnya dari dampak yang
merugikan atau yang mungkin merusak
lapisan ozon dengan cara membentuk
peraturan perundangan dan koordinasi
kebijakan untuk mengendalikan,
membatasi, mengurangi atau mencegah
kegiatan didalam wilayahnya yang dapat
menyajikan dampak merugikan terhadap
lapisan ozon.
Walaupun pasal tersebut tidak
mengatur secara langsung tentang
pencemaran udara lintas batas negara,
tetapi pasal tersebut dapat dikaitkan
dengan peristiwa kebakaran hutan di
Indonesia yang mengakibatkan pencemaran
udara di Malaysia, Karena pasal tersebut
mengatur tentang pencegahan kegiatan
disuatu negara yang berdampak pada
rusaknya lapisan ozon. Dan pencemaran
udara yang di akibatkan dari kebakaran
hutan di Indonesia sangat berpotensi
merusak lapisan ozon.
e. The 1997 ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP)
2002
Pasal 3 Ayat 3, The Parties should
take precautionary measures to anticipate,
prevent and monitor tranboundary haze
pollution as a result of land and/or forest
fires which should be mitigated, to minimise
its adverse effects. Where there are threats
of serious or irreversible damage from
transboundary haze pollution, even without
full scientific certainty, precautionary
measures shall be taken by Parties
concerned.
Diterjemahkan: (Para Pihak harus
mengambil tindakan pencegahan untuk
mengantisipasi, mencegah dan mengawasi
polusi asap sebagai hasil dari tanah dan/
atau kebakaran hutan yang harus dikurangi,
untuk meminimalkan nya efek samping.
Dimana ada ancaman serius atau tidak
dapat diperbaiki kerusakan dari polusi asap
lintas batas, bahkan tanpa penuh kepastian
ilmiah, tindakan pencegahan harus diambil
oleh Pihak yang bersangkutan)17
Berdasarkan Pasal 3 Ayat 3 diatas,
Pemerintah sebagai penyelenggara Negara
di haruskan mengambil langkah
pencegahan kebakaran hutan agar tidak
terjadi kerusakan lingkungan dan
pecemaran lintas batas negara serta
melaksanakan amanat dari Pasal 3 Ayat 1
untuk tidak membahayakan kesehatan
manusia atau meminimalisir dampak dari
kebakaran hutan di Indonesia yang berupa
kabut asap yang mana kabut asap tersebut
sangat mengganggu aktifitas dan kesehatan
manusia yang dirasakan rakyat Indonesia
sendiri maupun oleh rakyat Malaysia.
Kemudian dalam Pasal 3 Ayat 4
menyebutkan, The Parties should manage
and use their natural resources, including
17 Terjemahan bebas penulis.
forest and land resources, in an ecologically
sound and sustainable manner.
Diterjemahkan: (Para Pihak harus
mengelola dan menggunakan sumber daya
alam mereka, termasuk sumber daya hutan,
dalam ramah lingkungan dan
berkelanjutan)18
Pasal 3 Ayat 4 menegaskan bahwa,
Negara diharuskan mengelola dan
menggunakan sumber daya hutan dengan
ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Namun yang terjadi adalah Indonesia
merambah hutan dengan menerbitkan izin
eksploitasi dan eksplorasi hutan untuk
lahan perkebuanan tanpa melakukan
pengawasan yang ketat terhadap kegiatan
tersebut sehingga menimbulkan kebakaran
hutan yang mengakibatkan pencemaran
udara lintas batas negara ke Malaysia.
Lalu Dalam Pasal 9 huruf a, b, c, e,
f, g, yang mengatur tentang langkah –
langkah pencegahan dan mengendalikan
kegiatan – kegiatan yang dapat merusak
lingkungan dan berpontesi pencemaran
lintas batas negara, serta untuk
meminimalisir dampak dari kebakaran
hutan, yang menyebutkan, Each Party shall
undertake measures to prevent and control
activities related to land and/or forest fires
that may lead to transboundary haze
pollution, which include:
Diterjemahkan: (Setiap Pihak wajib
melakukan tindakan untuk mencegah dan
mengendalikan kegiatan yang berkaitan
dengan tanah dan / atau kebakaran hutan
yang dapat menyebabkan polusi asap lintas
batas, yang meliputi)19
1) Huruf a, Developing and implementing
legislative and other regulatory
measures, as well as programmes and
18 Terjemahan bebas penulis. 19 Terjemahan bebas penulis.
strategies to promote zero burning
policy to deal with land and/or forest
fires resulting in transboundary haze
pollution;
Diterjemahkan: (Mengembangkan dan
menerapkan langkah-langkah peraturan
legislatif dan lainnya, serta program dan
strategi untuk mempromosikan
kebijakan zero burning untuk
menangani kebakaran lahan dan / atau
hutan yang mengakibatkan polusi asap
lintas batas)20
2) Huruf b, Developing other appropriate
policies to curb activities that may lead
to land and/or forest fires;
Diterjemahkan: (Mengembangkan
kebijakan lain yang sesuai untuk
mengekang kegiatan yang dapat
menyebabkan tanah dan / atau
kebakaran hutan)21
3) Huruf c, Identifying and monitoring
areas prone to occurrence of land
and/or forest fires;
Diterjemahkan: (Mengidentifikasi dan
memonitor daerah rawan terjadinya
kebakaran lahan dan / atau hutan)22
4) Huruf e, Promoting public education and
awareness-building campaigns and
strengthening community participation
in fire management to prevent land
and/or forest fires and haze pollution
arising from such fires;
Diterjemahkan: (Mempromosikan
pendidikan dan kesadaran masyarakat-
gedung kampanye dan memperkuat
partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan kebakaran untuk mencegah
tanah dan / atau kebakaran hutan dan
20 Terjemahan bebas penulis. 21 Terjemahan bebas penulis. 22 Terjemahan bebas penulis.
polusi asap yang timbul dari kebakaran
tersebut)23
5) Huruf f, Promoting and utilising
indigenous knowledge and practices in
fire prevention and management; and
Diterjemahkan: (Mempromosikan dan
memanfaatkan pengetahuan lokal dan
praktek dalam pencegahan kebakaran
dan manajemen; dan)24
6) Huruf g, Ensuring that legislative,
administrative and/or other relevant
measures are taken to control open
burning and to prevent land clearing
using fire.
Diterjemahkan: (Memastikan bahwa
langkah-langkah yang relevan legislatif,
administratif dan / atau lainnya yang
diambil untuk mengontrol pembakaran
terbuka dan untuk mencegah
pembukaan lahan menggunakan api)25
Oleh karena kebakaran hutan di
Indonesia terjadi hampir disetiap tahun
dan agar menghindari kerusakan
lingkungan yang semakin parah serta
pencemaran lintas batas negara, untuk
itu berdasarkan Pasal 9 huruf a, b, c, e,
f, g, yang mengatur tentang langkah –
langkah pencegahan dan
mengendalikan kegiatan – kegiatan
yang dapat merusak lingkungan dan
berpontesi pencemaran lintas batas
negara, serta untuk meminimalisir
dampak dari kebakaran hutan tersebut
Pemerintah harus menerapkan langkah
– langkah tersebut dalam peraturan
wujud peraturan perundang – undangan
khusus guna mencegah, mengatasi,
mengendalikan kebakaran hutan yang
23 Terjemahan bebas penulis. 24 Terjemahan bebas penulis. 25 Terjemahan bebas penulis.
menjadi masalah hampir disetiap
tahunnya.
Berdasarkan pada prinsip –
prinsip dan konvensi – konvensi
tersebut seharusnya pemerintah lebih
selektif dalam penerbitan izin dan
meningkatkan pengawasan terhadap
eksploitasi hutan guna mecegah dan
melindungi manusia serta lingkungan
dari polusi udara. Namun yang terjadi
justru bertolak belakang dengan aturan
tersebut, pemerintah memfokuskan
industri perkayuan dan perkebunan di
beberapa wilayah Indonesia yang
akhirnya kegiatan tersebut menimbulkan
pencemaran udara hingga keluar batas
yurisdiksinya.
2. Tanggung jawab Indonesia menurut
hukum lingkungan internasional
terkait terjadinya kebakaran hutan
yang mengakibatkan pencemaran
udara di Malaysia.
Dalam lingkungan internasional
masalah asap dari kebakaran hutan
sebenarnya bukan hal baru, di Indonesia
masalah ini terjadi hampir setiap tahun,
namun hingga saat ini masih belum ada
perhatian serius dari pemerintah terhadap
kasus ini, terutama mengenai pencegahan
terjadinya kebakaran dan pengelolaan
hutan secara baik.
Pada dasarnya hukum lingkungan
internasional menyatakan tentang
perlindungan hukum terkait pencemaran
udara lintas batas negara, pencemaran
udara akibat kebakaran hutan
bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum lingkungan internasional, antara
lain prinsip adalah “Sic utere tuo ut
alienum non laedes” yang menentukan
bahwa suatu Negara dilarang melakukan
atau mengijinkan dilakukannya kegiatan
yang dapat merugikan Negara lain,26 dan
prinsip good neighbourliness.27 Prinsip itu
26 J.G, Starke, 1999, Pengantar Hukum
Internasional , Sinar Grafika Offset, Jakarta, halaman 546. 27 Sucipto, 1985 Sistem Tanggung Jawab Dalam
Pencemaran Udara, Malang 82.
mengatakan bahwa kedaulatan wilayah
suatu negara tidak boleh diganggu oleh
negara lain.
Prinsip tersebut membenarkan
penempatan lingkungan hidup sebagai
objek kekuasaan dan hukum suatu
negara, dan karenanya lingkungan hidup
dalam status demikian tunduk kepada
hukum nasional negara tertentu, terutama
dengan ketentuan bahwa hak demikian
diimbangi kewajiban bagi setiap negara
untuk memanfaatkan lingkungan hidup
yang menjadi bagian wilayahnya secara
tidak menimbulkan kerugian terhadap
negara atau pihak lain.
Untuk menyelesaikan pencemaran
lintas batas ini sebaiknya diperhatikan
ketentuan hukum internasional,
khususnya hukum kebiasaan
internasional, Prinsip yang berkenaan
adalah
“Enjoying every State not to allow
its territory to be used in such a way as to
damage the environment of other States
or of areas beyond the limits of national
jurisdiction”
Diterjemahkan: (Setiap Negara
tidak membiarkan wilayahnya digunakan
sedemikian rupa untuk merusak
lingkungan negara lain atau kawasan di
luar batas nasional yurisdiksi Negara-
nya)28
Prinsip hukum internasional
tersebut menunjuk bahwa pengawasan
yang dilakukan oleh Negara terhadap
wilayah nasionalnya atau kegiataan yang
berada di Negaranya sangat penting agar
tidak menimbulkan kerusakan lingkungan
di Negara lain yang dapat berujung
konflik. Dalam peristiwa kebakaran hutan
di Indonesia yang mengakibatkan
pencemaran udara di negara Malaysia
adalah salah satu kelalaian oleh
pemerintah Indonesia karena lemahnya
pengawasan atau pembiaran terhadap
kegiatan di negaranya yang berdampak
pada pencemaran udara di negara
tetangga. dengan demikian Indonesia
harus bertanggung jawab atas
pencemaran udara yang menyebabkan
kerugian, mulai dari banyak sekolah,
bisnis dan lapangan terbang ditutup, para
turis tidak dapat berkunjung, kesehatan
masyarakat kabut asap ini menyebabkan
Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA),
batuk, radang dan gangguan paru-paru
dan lingkungan serta ganggungan jalur
tranportasi udara, darat dan laut yang
sampai menimbulkan jatuhnya korban 29
korban tabrakan kapal di selat Melaka
akibat jarak pandang yang tertutup kabut
asap dari kebakaran hutan di Indonesia.
Dengan demikian prinsip ini dapat
menjadi acuan untuk meminta
pertanggung jawaban Indonesia.
Prinsip ini pertama kalinya di atur
oleh pengadilan arbitrse di dalam kasus
Trail Smelter,29 berdasarkan prinsip ini
28 Terjemahan bebas penulis. 29 Kasus Trail Smalter bermula dari kasus
pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah
perusahaan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah negara Kanada, dekat
setiap negara memiliki kedaulatan untuk
mengeksploitasi sumber daya alamnya
tanpa merugikan negara lain. Prinsip -
prinsip internasional ini juga telah diakui
dalam Mahkamah Internasional dan
tersirat dalam dokumen-dokumen hukum
lingkungan internasional seperti Deklarasi
Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992.
a. Deklarasi Stockholm 1972
Berdasarkan Prinsip 21 yang
menyatakan, States have, in accordance
with the Charter of the United Nations and
the principles of international law, the
sovereign right to exploit their own
resources pursuant to their own
environmental policies, and the
responsibility to ensure that activities
within their jurisdiction or control do not
cause damage to the environment of
other States or of areas beyond the limits
of national jurisdiction.
Diterjemahkan: (Negara, sesuai
dengan Piagam PBB dan prinsip-prinsip
hukum internasional, hak berdaulat untuk
mengeksploitasi sumber daya mereka
sendiri sesuai dengan kebijakan
pembangunan lingkungannya sendiri, dan
tanggung jawab untuk memastikan bahwa
kegiatan di dalam yurisdiksinya atau
kendalinya tidak akan menimbulkan
kerusakan lingkungan lainnya Negara atau
kawasan di luar batas yurisdiksi
nasional)30
sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang
perbatasan Kanada-AS. Produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat hingga akhirnya sekitar 300 ton
sulfur dioksida terbawa angin bergerak ke wilayah AS melalui lembah sungai Columbia dan menimbulkan
berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air, udara, kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk
Washington lainnya. 30 Terjemahan bebas penulis.
Prinsip 21 Deklarasi Stockholm
1972 tersebut membenarkan bahwa,
setiap Negara berhak untuk
mengekspolitasi sumber daya alam di
wilayahnya, namun Negara tersebut juga
harus memastikan kegiatan ekspolitasi
yang berlangsung di wilayahnya atau
kendalinya tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan di Negara lain. Dengan
demikan berdasarkan prinsip diatas
apabila kita mengaitkan pada peristiwa
kebakaran hutan di Indonesia yang
menyebabkan pencemaran udara di
Malaysia, jelas sangat bertentangan
dengan prinsip tersebut karena, Indonesia
memanfaatkan sumber daya alamnya
secara serakah, dengan menghamburkan
izin tanpa pengawasan berarti yang
dilakukan pada industri kayu dan
perkebunan dimana kegiatan tersebut
yang menjadi penyebab utama dari
kebakaran hutan.
Dengan pembukaan lahan untuk
perkebunan yang menggunakan cara
pembakaran dan pembuangan limbah
hasil pembalakan kayu yang membentuk
suatu vegetasi padat hingga jika saat
musim kemarau tiba limbah tersebut
menjadi bahan bakar utama dalam
kebakaran hutan di Indonesia, dan
berujung pada pencemaran lintas batas
negara di Malaysia, yang mengganggu
aktifitas penduduk dan pemerintahan
negara tersebut, tidak cukup sampai disitu
saja, kebakaran ini membul kerugian di
berbagai macam, seperti kesehatan
lingkungan yang terganggu, kualitas
udara memburuk serta kesehatan
masyarakat dimana penyakit ISPA
menyebar dengan cepat, iritasi mata,
radang paru – paru hingga sampai
berpotensi kanker. Dengan demikian Ini
menunjukan bahwa Indonesia telah
melanggar prinsip tersebut, karena
peristiwa tersebut terjadi di wilayah
yurisdiksi dan kontrol Indonesia, yang
dimana seharusnya pemerintah Indonesia
memperketat penerbitan izin eksplorasi
dan eksploitasi hutan dan tentunya
dengan pengawasan serta penegakan
hukum yang ketat.
b. Deklarasi Rio 1992
Prinsip 16, Environmental impact
assessment, as a national instrument, shall
be undertaken for proposed activities that
are likely to have a significant adverse
impact on the environment and are subject
to a decision of a competent national
authority.
Diterjemahkan: (Penerapan prinsip
pencemar harus menanggung kerugian
yang timbul akibat pencemaran yang di
buatnya untuk meningkatkan swadaya
biaya – biaya lingkungan)31
Berdasarkan Prinsip 16 Deklarasi Rio
ini menunjukan dengan tegas bahwa
pencemar harus menanggung kerugian
yang timbul akibat pencemaran yang
dibuatnya, ini menerangkan dengan jelas
siapa harus bertanggungjawab dalam
peristiwa kebakaran hutan di Indonesia,
namun ini juga menerangkan bahwa tidak
hanya negara yang harus
bertanggungjawab penuh, namun siapa-pun
yang terlibat. Dalam peristiwa kebakaran
hutan di Indonesia ada peran perusahaan –
perusahaan dalam kebakaran tersebut.
Perusahaan – perusahan tersebut ikut andil
besar sebagai pelaku utama dalam peristiwa
kebakaran tersebut karena dalam
31 Ida Bagus Wyasa Putra, 2002, Hukum
Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, halaman 42.
pembukaan lahan perkebunan mereka
menggunakan metode pembakaran, dan
dalam kegiatan industri kayu kebakaran
terjadi akibat tumpukan pembuang limbah
sisa pembalakan yang membentuk suatu
vegetasi padat sehingga mudah terbakar
jika disulut atau jika musim kering tiba.
Tetapi itu tidak memutus mata rantai
pertanggung jawaban Negara, Pemerintah
Indonesia berwenang atas penerbitan izin
eksplorasi dan eksploitasi hutan dan
Pengawasan terhadap kegiatan yang berada
di bawah kontrol dan yurisdiksi nasional.
Dengan demikian Indonesia dapat dimintai
pertanggung jawaban atas pencemaran
udara lintas batas negara yang
mengakibatkan pencemaran udara di
Malaysia.
c. Draft Articles Responsibility of States for
Internationally Wrongful Acts,
International Law Commission, 2001
Pasal 1 bahwa Every internationally
wrongful act of a State entails the
international responsibility of that State.
Diterjemahkan: (Setiap tindakan atau
kelalaian yang salah oleh hukum
internasional membawakan
pertanggungjawaban internasional bagi
negara itu)
Berdasarkan Pasal tersebut yang
menyatakan melarang suatu tindakan atau
kelalaian yang salah secara hukum
internasional akan melahirkan suatu
pertanggungjawaban. Indonesia telah
melakukan kelalaian terhadap pengawasan
wilayah nasionalnya, hingga menimbulkan
pencemaran udara di Malaysia yang
menimbulkan kerugian, mulai dari banyak
sekolah, bisnis dan lapangan terbang
ditutup, para turis tidak dapat berkunjung,
pada sektor ekonomi dan pariwisata
kerugian jutaan dollar, kesehatan
masyarakat kabut asap ini menyebabkan
ISPA (Infeksi Saluran Penafasan Atas),
batuk, radang dan gangguan paru-paru dan
lingkungan serta ganggungan jalur
tranportasi udara, darat dan laut yang
sampai menimbulkan jatuhnya korban 29
korban tabrakan kapal di selat Melaka
akibat jarak pandang yang tertutup kabut
asap dari kebakaran hutan yang disebabkan
oleh pembukaan lahan perkebunan dan
pembalakan liar di negara Indonesia.
dengan demikian Pasal 1 Draft Articles
Responsibility of States for Internationally
Wrongful Acts, International Law
Commissions 2001 tersebut diatas dapat
dijadikan sebagai acuan untuk meminta
pertanggung jawaban Indonesia dalam
peristiwa kebakaran hutan di Indonesia
yang mengakibatkan pencemaran udara di
Malaysia.
Adapun bentuk – bentuk
pertanggungjawaban menurut Draft Articles
Responsibility of States for Internationally
Wrongful Acts, International Law
Commissions 2001 sebagai berikut:
1) Pasal 35, A State responsible for an
internationally wrongful act is under an
obligation to make restitution, that is, to
re-establish the situation which existed
before the wrongful act was committed,
provided and to the extent that
restitution;
Diterjemahkan: (Suatu Negara yang
bertanggung jawab untuk tindakan
salah secara internasional berada di
bawah kewajiban untuk membayar ganti
kerugian, yaitu, untuk membangun
kembali situasi yang ada sebelum
perbuatan salah dilakukan, diberikan
dan sejauh bahwa restitusi)
2) Pasal 36 Compensation,
(a) Ayat 1, The State responsible for an
internationally wrongful act is under an
obligation to compensate for the
damage caused thereby, insofar as such
damage is not made good by restitution.
Diterjemahkan: (Negara bertanggung
jawab untuk tindakan yang salah secara
internasional berada di bawah
kewajiban untuk mengkompensasi
kerusakan yang demikian ditimbulkan,
sejauh kerusakan tersebut tidak dibuat
baik dengan pemulihan)
(b) Ayat 2, The compensation shall cover
any financially assessable damage
including loss of profits insofar as it is
established.
Diterjemahkan: (Kompensasi tersebut
harus mencakup kerusakan dapat dinilai
secara finansial termasuk kehilangan
keuntungan sejauh itu tidak bisa
dipungkiri)
3) Pasal 37 Satisfaction,
(a) Ayat 1, The State responsible for an
internationally wrongful act is under an
obligation to give satisfaction for the
injury caused by that act insofar as it
cannot be made good by restitution or
compensation.
Diterjemahkan: (Negara bertanggung
jawab untuk tindakan salah secara
internasional berada di bawah
kewajiban untuk memberikan kepuasan
untuk kecelakaan yang disebabkan oleh
yang bertindak sejauh yang tidak dapat
dibuat baik dengan pemulihan atau
kompensasi)
(b) Ayat 2, Satisfaction may consist in an
acknowledgement of the breach, an
expression of regret, a formal apology
or another appropriate modality.
Diterjemahkan: (Kepuasan dapat terdiri
dalam pengakuan atas pelanggaran,
ungkapan penyesalan, permintaan maaf
resmi atau modalitas lain yang sesuai)
d. The 1997 ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution
(AATHP) 2002
Pasal 3 ayat 1, The Parties have,
in accordance with the Charter of the
United Nations and the principles of
international law, the sovereign right to
exploit their own resources pursuant to
their own environmental and
developmental policies, and the
responsibility to ensure that activities
within their jurisdiction or control do not
cause damage to the environment and
harm to human health of other States or
of areas beyond the limits of national
jurisdiction.32
Diterjemahkan: (Para Pihak harus,
sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip-
prinsip hukum internasional, hak
berdaulat untuk mengeksploitasi sumber
daya mereka sendiri sesuai dengan
kebijakan pembangunan lingkungannya
sendiri dan perkembangan, dan
tanggung jawab untuk memastikan
bahwa kegiatan di dalam yurisdiksinya
atau melakukan kontrol tidak
menyebabkan kerusakan lingkungan
dan membahayakan kesehatan manusia
dari negara lain atau kawasan di luar
batas yurisdiksi nasional)33
Berdasarkan Pasal 3 Ayat 1 Prinsip
Tanggung Jawab Negara, menegaskan
bahwa setiap negara mempunyai tanggung
jawab mutlak atas kegiatan yang
32 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, (2002).
33 Terjemahan bebas penulis.
berlangsung diwilayahnya untuk tidak
mengganggu kesehatan manusia dan
Negara lain. Namun pada kebakaran priode
2005 – 2006 kebakaran terjadi di Sumatera
dan Kalimantan asap semakin tebal karena
yang terbakar adalah lahan gambut.
Kebakaran ini terjadi baik diwiliyah milik
perusahaan, konsensi hutan maupun milik
masyarakat.34 Akibat kebakaran tersebut
Malaysia mendesak Indonesia untuk
menyelesaikan masalah ini. Protes Malaysia
ini didasarkan pada alasan bahwa kabut
asap tersebut telah menimbulkan gangguan
terhadap kesehatan masyarakat kabut asap
ini menyebabkan Infeksi Saluran Penafasan
Atas (ISPA), batuk, radang dan gangguan
paru-paru. Pada sektor ekonomi, pariwisata,
Kemudian dalam bidang transportasi jalur
darat, laut, dan udara mengalami gangguan
yang besar. Dalam peristiwa tersebut
membuktikan bahwa Indonesia telah gagal
dalam rangka pengelolaan dan
pemanfaatan hutan di wilayah yurisdiksi
Indonesia, yang mengakibatkan kebakaran
hutan dan berujung pada pencemaran
udara lintas batas negara di Malaysia, yang
mana kebakaran hutan tersebut sangat
mengganggu aktifitas dan kesehatan
masyarakat Indonesia maupun Malaysia.
Kebakaran hutan sudah menjadi rutinitas di
setiap tahunnya yang seharusnya Indonesia
dapat belajar dari pengalaman untuk
mencegah terjadinya kebakaran hutan
dengan dilakukannya penerbitan izin dan
pengawasan terhadap kegiatan yang
berlangsung di wilayah yurisdiksinya.
Pencemaran udara lintas batas tersebut
jelas merupakan tanggungjawab Indonesia,
34 Eka Puspitasari, Agustina Merdekawati, 2007,
Pertanggung Jawaban Indonesia Dalam Penyelesaian Kasus Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan Berdasarkan Konsep State Responsibility, Jurnal, halaman 7-10.
karena negara-lah yang bertanggung jawab
untuk memastikan kegiatan yang terjadi di
wilayah yurisdiksi atau kontrolnya tidak
akan mengganggu dan atau mencemari
Negara lain.
e. Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
Pasal 2 yang menyatakan,
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan
manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan, dan
keterpaduan. Tetapi yang terjadi justru
bertolak belakang kebakaran hutan di
Indonesia sejak priode 1982 – 1982, 1997 –
1998, 2002 dan priode 2005 – 2006
membuat Indonesia kehilangan fungsi
hutan, dan kerusakan jutaan ha hutan dan
lahan, yang memngakibatkan pemanasan
global meningkat, banjir dan longsor.
Kemudian larangan membakar hutah
juga di atur dalam Undang – Undang nomor
41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada
Pasal 50 ayat 3 huruf d yang menyatakan
bahwa, setiap orang dilarang membakar
hutan, namun apa yang terjadi kebakaran
besar dan terparah didunia terjadi di
Indonesia ini menunjukan adanya kelalaian
dan betapa lemahnya pengawasan yang
dilakukan pemerintah Indonesia, dan untuk
lebih menegaskan tentang penguasaan
hutan adalah Negara terdapat pada bagian
Ketiga Penguasaan Hutan Pasal 4 ayat 1
dan 2 Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
yang menyatakan bahwa,
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik
Indonesia termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat; Dan
(2) Penguasaan hutan oleh Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberi wewenang kepada pemerintah
untuk:
a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu
yang berkaitan dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;
b. Menetapkan status wilayah tertentu
sebagai kawasan hutan atau kawasan
hutan sebagai bukan kawasan hutan;
dan
c. Mengatur dan menetapkan hubungan-
hubungan hukum antara orang dengan
hutan, serta mengatur perbuatan-
perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Namun pada prakteknya dengan
berpegangan pada fakta – fakta yang
terjadi dilapangan dengan terjadinya alih
fungsi hutan besar besaran yang untuk
industri perkebunan dan kayu yang
kemudian mengakibatkan kebakaran hutan
dan lahan akibat dari proses pembukaan
lahan dan limbah industri kayu yang
membentuk suatu vegetasi padat yang
kemudian sengaja di bakar yang
menimbulkan pencemaran hingga ke
negara – negara tetangga.
f. Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Hukum jelas tidak diterapkan seperti
seharusnya oleh penyelenggara negara, izin
diterbitkan oleh Menteri selaku wakil dari
penyelenggara yang berwenang dalam
menerbitkan izin, dengan demikian jelas
penyelenggara negara ikut andil besar
dalam kerusakan hutan dan lahan serta
pencemaran lintas batas negara sesuai
Pasal 20 ayat 1 dan 2 Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dimana sebelum terbitnya izin usaha para
pelaku usaha yang kegiatan usahanya
berpontensi pencemaran lingkungan yang
besar wajib memiliki AMDAL sesuai Pasal 18
ayat 1 Undang – undang Republik Indonesia
nomor 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Tapi kerusakan
lingkungan tetap terjadi secara berulang –
ulang karena lemahnya pengawasan dan
pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia.
Serta dalam BAB IV Pasal 9 ayat 3
Undang – undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, disini dengan tegas
menyatakan bahwa, Pengelolaan
lingkungan hidup wajib dilakukan secara
terpadu dengan penataan ruang,
perlindungan sumber daya alam nonhayati,
perlindungan sumber daya buatan,
konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, cagar budaya,
keanekaragaman hayati dan perubahan
iklim.
Berdasarkan prinsip – prinsip dan
aturan hukum tersebut negara adalah
subjek hukum lingkungan internasional,
yang mempunyai kewajiban untuk
mengatur segala kegiatan atau membentuk
ketentuan hukum, yang dapa dipergunakan
untuk mengendalikan, mengawasi, serta
mengatur segala kegiatan yang terjadi
diwilayahnya agar tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan baik di dalam
wilayahnya maupun diluar dari wilayahnya.
Dan negaralah yang dianggap dan/ atau
diwajibkan bertanggungjawab secara
internasional terhadap segala kerugian yang
ditimbulkan dari akibat kegiatan di
negaranya, termasuk juga kegiatan yang
dibawah pengawasannya. Karena seluruh
kegiatan yang berada di wilayah suatu
negara berada dibawah pengawasan dan/
atau kendali negara.
Dalam pencemaran lintas batas
negara akibat dari kebakaran hutan ini
dapat kita lihat bahwa lahirnya suatu
pertanggung jawaban adalah suatu
kewajiban bagi Indonesia, karena Indonesia
telah melakukan pembiaran, kelalaian
dalam rangka pengelolaan hutan dan ini
merupakan kegagalan dalam menerapkan
standar langkah – langkah pengelolaan
hutan dan pencegahan terhadap kerusakan
hutan yang seharusnya mampu diterapkan
oleh Pemerintah Indonesia.
Menurut hukum internasional
pertanggung jawaban negara timbul ketika
Negara yang bersangkutan merugikan
negara lain. Dengan demikian prinsip -
prinsip tersebut dapat menjadi dasar untuk
meminta pertanggung jawaban negara
terhadap negara yang telah melakukan
tindakan yang merugikan negara lain.
E. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan beberapa hal mengenai
pencemaran lintas batas negara sebagai
berikut:
1. Kebakaran hutan di Indonesia
adalah suatu rutinitas, karena
hampir terjadi disetiap tahun. Sejak
tahun 80-an hingga saat ini
kebakaran hutan dan lahan masih
terus terjadi, karena tidak pernah
ada tindak yang serius dalam hal
pencegahan, pengelolaan,
penerbitan izin eksporasi eksploitasi
dan pengawasan masalah
kehutanan secara baik,
berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Pencemaran udara
tersebut bukan hanya menjadi
masalah Indonesia sendiri namun
telah menjadi masalah internasional,
karena asap akibat dari kebakaran
hutan tersebut telah mengganggu
kedaulatan Negara – Negara
tetangga hingga menimbulkan
kerugian yang sangat luar biasa.
Dalam hal pencemaran udara lintas
batas negara tersebut sangat
bertentangan dengan prinsip –
prinsip hukum internasional dan
beberapa konvensi – konvensi
internasional yang memuat
pengaturan tentang lingkungan
hidup.
2. Dalam pencemaran lintas batas
negara akibat dari kebakaran hutan
ini dapat kita lihat bahwa lahirnya
suatu pertanggung jawaban adalah
suatu kewajiban bagi Indonesia,
karena Indonesia telah melakukan
pembiaran, kelalaian dalam rangka
pengelolaan hutan dan ini
merupakan kegagalan dalam
menerapkan standar langkah –
langkah pengelolaan hutan dan
pencegahan terhadap kerusakan
hutan yang seharusnya mampu
diterapkan oleh Pemerintah
Indonesia. Menurut hukum
internasional pertanggung jawaban
negara timbul ketika Negara yang
bersangkutan merugikan negara
lain. Dengan demikian prinsip -
prinsip tersebut dapat menjadi dasar
untuk meminta pertanggung
jawaban negara terhadap negara
yang telah melakukan tindakan yang
merugikan negara lain. Walaupun
aturan tersebut hanya bersifat (soft
law) namun prinsip – prinsip
tersebut dapat dijadikan acuan
dalam penyelesaian permasalahan
pencemaran lintas batas negara.
F. Saran
1. Berdasarkan dari uraian diatas
maka, seharusnya Pemerintah
Indonesia memberikan penyuluhan
tentang betapa pentingnya
memeliharan hutan bagi
kelangsungan kehidupan kepada
seluruh lapisan masyarakat agar
bersama – sama dalam menjaga
kelestarian hutan.
2. Sejauh ini upaya – upaya
penanggulangan masalah asap
hanya ada jika peristiwa kebakaran
hutan sudah terjadi, dimana yang
seharusnya dilakukan oleh
pemerintah adalah memperkuat
penerapan tentang pencegahan
terjadinya kebakaran hutan dan
lahan guna menghindari kerusakan
lingkungan dan pencemaran asap
yang parah.
3. Pemerintah harus lebih selektif
dalam penerbitan izin ekplorasi dan
ekspoitasi hutan, serta melakukan
pengawasan dan kontrol secara
berkelanjutan terhadap perusahan –
perusahan yang memiliki izin.
4. Pemerintah harus benar – benar
serius dalam menerapkan peraturan
perundang – undangan yang
berlaku. Apabila ada pelanggaran
tidak segan untuk menindak.
5. Pemerintah harus menjalin kerja
sama dengan Negara – Negara
tentang guna penanganan masalah
asap, untuk itu hendaknya
pemerintah segera meratifikasi The
1997 ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution
(AATHP) 2002, karena tujuan dari
Agreement tersebut adalah untuk
mencegah dan memonitor
transboundary haze pollution yang
diakibatkan oleh kebakaran hutan
yang sebaiknya dilakukan dengan
upaya-upaya nasional dan dengan
kerjasama regional dan
internasional. Ini merupakan
peluang yang sangat baik untuk
mencari jalan keluar dalam peristiwa
kebakaran hutan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bambang, Purbowaseso, 2004,
Pengendalian Kebakaran Hutan, PT.
Rineka Cipta, Jakarta.
Faridaz, Srikandi, 1992, Polusi Air dan Polusi
Udara, Kanisius, Yogyakarta.
Husin, Sukanda, 2009, Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
Starke, J.G, 1999, Pengantar Hukum
Internasional , Jakarta : Sinar
Grafika Offset, edisi kesepuluh.
Marzuki, Mahmud Peter, 2009, Penelitian
Hukum, Prenada Media Group,
Jakarta.
Mauna Boer, 2005, Hukum Internasional,
PT. Alumni, Bandung.
Putra ,Wyasa, Bagus, Ida, (2002), Hukum
Lingkungan Internasional Perspektif
Bisnis Internasional, PT. Refika
Aditama, Bandung.
Ryad,i Slamet AL, 1982, Pencemaran Udara,
Usaha Nasional, Surabaya.
Resosudarmo, Pradana, Aju, Ida, Colfer
Pierce J Carol, 2003, Ke Mana harus
Melangkah, Buku Obor, Jakarta.
Samekto Adji, 2009, Negara Dalam Dimensi
Hukum Internasional, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Sucipto, 1985, Sistem Tanggung Jawab
Dalam Pencemaran Udara, Malang.
Suratmo, Gunarwan F, 1995, Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan,
Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Tacconi Luca, 2003, Kebakaran Hutan di
Indonesia: Penyebab, Biaya, dan
Implikasi Kebijakan, Center For
International Forestry Research
(CIFOR), Bogor, Indonesia.
Wijoyo, Suparto, 2004, Hukum Lingkungan
: Mengenal Instrumen Hukum
Pengendalian Pencemaran Udara di
Indonesia, Surabaya.
B. Perjanjian Internasional dan
Perundang-undangan
ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution, (2002).
Draft Articles Responsibility of States for
Internationally Wrongful Acts,
International Law Commission,
2001.
Deklarasi Stockholm 1972.
Deklarasi Rio 1992.
Konvensi Perubahan Iklim 1992.
The Geneva Convention on The Long-
Range Transboundary Air Pollutan,
1979 (Konvensi Geneva 1979).
Republik Indonesia, Undang-undang
Dasar Tahun 1945.
Republik Indonesia, Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Republik Indonesia, Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Republik Indonesia, Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
C. Dukumen Hukum, Skripsi dan Tesis
Arif, 2000, Pencemaran Transnasional
Akibat Kebakaran Hutan di
Indonesia dalam Hubungannya
Penerapan Prinsip Tanggung Jawab
Negara (studi terhadap kebakaran
hutan di Sumatera dan Kalimantan),
Tesis, Program Pascasarjana
Universitas Padjajaran Bandung.
Kotijah, Siti, 2009, Implementasi Prinsip-
Prinsip Kehutanan Dalam Rangka
Konservasi Sumber Daya Hutan
(Studi di Jatim), Tesis, Program
Pasca Sarjana Unversitas Airlangga,
Surabaya.
Nurita Efri Diana, 2011, Ketidakefektivan
Implementasi Protokol Kyoto di
Indonesia (Tinjauan Dari Sektor
Kehutanan), Skripsi, Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional Fakultas
Ilmu Ssosial.
D. Artikel Jurnal Ilmiah, Arttikel
Koran, Artikel Internet, dan
Makalah Seminar
Dosa Turunan dari Kegagalan Fungsi
Pemerintah Menjamin Hak Rakyat
Terhadap Lingkungan.
Puspitasari Eka, Merdekawati Agustina,
2007, Pertanggung Jawaban
Indonesia Dalam Penyelesaian Kasus
Transboundary Haze Pollution Akibat
Kebakaran Hutan Berdasarkan
Konsep State Responsibility.