fitoremediasi sebagai sebuah teknologi pemulihan pencemaran khususnya logam berat

Upload: kurniaunhy

Post on 18-Jul-2015

447 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Makalah

FITOREMEDIASI SEBAGAI SEBUAH TEKNOLOGI PEMULIHAN PENCEMARAN KHUSUSNYA LOGAM BERAT FITOREMEDIATION AS A RECOVERY TECHNOLOGY OF CONTAMINATION ESPECIALLY HEAVY METAL

Diajukan dan dipresentasikan untuk memenuhi persyaratan dalam menempuh mata kuliah seminar kimia

Di susun Oleh: HASBULLAH A. NOOR 05 1314042

JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2009

PHYTOREMEDIATOR AS A RECOVERY TECHNOLOGY OF CONTAMINATION ESPECIALLY HEAVY METAL*) OLEH: HASBULLAH A. NOOR**) ABSTRACK Aplication of heavy metal and organic compound by intensive in industry had caused contamination in soil and water. The methods of remediation concentrate on physics and chemical had developed and applicated for surpass the contamination. In two last decade of research, development and application of remediation method concentrate on plant have a wide attention in USA, Australia, and Europe. The remediation method that known as phytoremediator, rely on plant part to absorb, degradation, tranformation and mobilitation of contamination material, whether heavy metal or organic compound. To think of great wealth of plant Indonesian and the climate every year, certainly that plant have an important part for manage contamination, so it must be studied much more and finally can be applicated if the technology is advantage. Based on material that publicated, this article tried to explanation the basib of phytoremediator, plant work mecanism in absorb heavy metal, and application of phytoremediator. Keyword: phytoremediator, heavy metal, hiperakumulator, contamination.

FITOREMEDIASI SEBAGAI SEBUAH TEKNOLOGI PEMULIHAN PENCEMARAN KHUSUSNYA LOGAM BERAT*) OLEH: HASBULLAH A. NOOR**) ABSTRAK Penggunaan logam berat dan senyawa organik secara intensif di dalam industri telah menimbulkan kontaminasi di tanah dan air. Metode-metode remediasi berbasis fisika dan kimia telah dikembangkan dan diterapkan untuk mengatasi pencemaran. Dua dekade terakhir penelitian, pengembangan dan penerapan metode remediasi berbasis tumbuhan mendapat perhatian luas di Amerika, Australia dan Eropa. Metode remediasi yang dikenal sebagai fitoremediasi mengandalkan pada*)

Makalah ini diajukan pada mata kuliah Seminar Kimia Mahasiswi Kimia Angkatan 2005

**)

peranan tumbuhan untuk menyerap, mendegradasi, mentransformasi dan mengimobilisasi bahan pencemar, baik itu logam berat maupun senyawa organik. Mengingat akan kekayaan hayati tumbuhan Indonesia yang besar serta ditunjang

oleh iklim yang hangat sepanjang tahun, tentunya sumbangan tumbuhan untuk mengendalikan pencemaran perlu dikaji dan akhirnya diterapkan bila teknologi ternyata menguntungkan. Berdasarkan pada bahan-bahan yang dipublikasi, makalah ini mencoba menguraikan dasar-dasar fitoremediasi, mekanisme bekerjanya tumbuhan dalam menyerap logam berat, serta contoh penerapan fitoremediasi. Kata Kunci: fitoremediasi, logam berat, hiperakumulator, pencemaran

PENDAHULUAN Secara alami berbagai logam berat terkandung di dalam tanah, terutama tanah yang berasal dari batuan induk tertentu seperti tanah ultrafamik (sepertin), namun kegiatan manusia dapat meningkatkan level logam berat di dalam tanah dan perairan secara luar biasa. Pencemaran logam berat di lahan sekitar penambangan dan peleburan logam tercatat sangat tinggi. Hasil kajian di kawasan bekas peleburan seng di Palmerton, Pennsylvania (AS) yang telah beroperasi selama 82 tahun (Storm, et al, 1994) dan daerah pertambangan logam timbal dan seng di Kansas (AS) yang telah beroperasi selama 150 tahun (Pierzynki dn Schwab, 1993) menunjukkan bahwa tingkat pencemaran logam berat di tanah dan air masih tinggi walaupun kegiatan industri disitu telah dihentikan beberapa tahun sebelumnya. Storm, et al, (1994) yang mengamati kandungan logam berat di lahan serasah dan tanah di kawasan bekas pabrik peleburan seng di Palmerton, dan enam tahun setelah pabrik di tutup, ditemukan kadar logam Cadmium sebesar 1.292 mg/kg, timbal sebesar 3.656 mg/kg, seng sebesar 28.160 mg/kg, dan tembaga sebesar 742 mg/kg. Pada bekas tambang yang telah ditutup selama 40 tahun sebelum pengamatan dilakukan, Pierzynki dn Schwab (1993) menemukan bahwa timbunan batuan sisa penambangan, tailing dan slag ternyata meninggalkan pencemaran yang tinggi, yaitu 1.165 mg Zn/kg, 11 mg cd/kg, dan 110 mg Pb/kg, serta tingkat pencemaran merkuri di wilayah sekitar bekas pabrik Khlor alkali yang menggunakan merkuri sebagai katalis tercatat sebesar 2.060 mg/kg atau kurang lebih 17 kali lebih tinggi daripada kadar merkuri di tanah tidak tercemat (Rule dan Iwashchenko, 1998)

Tingkat pencemaran logam berat sebagai akibat kegiatan manusia yang tidak terkendali tampak pula dari data kandungan 4 logam berat di Jakarta dan sekitarnya (Priyanto dan Suryati, 2000). Daerah yang kegiatan industrinya menonjol dan telah berlangsung dalam jangka lama, tingkat pencemaran timbal dan kromium di tanah masing-masing mencapai 206-449 mg/kg dan 56-266 mg/kg, sebaliknya di wilayah sub-urban yang jauh dari kegiatan industri kadar timbal dan kromium di tanah hanya 24 dan 1 mg/kg. Konsentrasi logam berat yang tinggi di dalam tanah dapat masuk ke dalam rantai makanan dan berpengaruh pada organisme. Daerah sekitar Palmerton, kadar Cd setinggi 10 mg/kg ditemukan di dalam ginjal tikus, sedangkan kadar Cd di dalam ginjal dan hati rusa adalah 5 kali lebih tinggi daripada yang ditemukan di tubuh rusa yang hidup di daerah 180 km dari daerah ini (Storm, et al, 1994). Ditemukan pula kadar seng yang tinggi di tanah bekas penambangan logam mengakibatkan reduksi produksi kedelai hingga 40% (Pierzynki dn Schwab, 1993). Tindakan pemulihan (remediasi) perlu dilakukan agar lahan yang tercemar dapat digunakan kembali untuk berbagai kegiatan secara aman. Metode lain yang digunakan selain remediasi yang berbasis pada rekayasa fisik dan kimia, pada satu atau dua dasawarsa terakhir ini menjadi perhatian para peneliti terhadap penggunaan tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan tercemar telah meningkat. Makalah ini mencoba memberikan uraian mengenai peranan tumbuhan dalam pengendalian dan pemulihan pencemaran dengan menitikberatkan perhatian pada logam berat..

PEMBAHASAN A. Prinsip-prinsip Fitoremediasi

1. Definisi Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediator, kata ini sendiri tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton (tumbuhan) dan remediation yang berasal dari kata latin rernedium (menyembuhkan dalam hal ini berarti juga menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan) (Anonimous, 1999). Fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan atau menghansurkan bahan pencemar baik senyawa organik maupun senyawa anorganik. Fitoremediasi dapat dibagi menjadi fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, fitovolatilisasi. Fitoekstraksi mencakup penyerapan kontaminan oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian tumbuhan untuk menyerap, mengendapkan dan mengakumulasi logam dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme kontaminan di dalam jaringan tumbuhan, misalnya oleh enzim dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilisasi adalah suatu fenomena diproduksinya senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer. Fitovolatilisasi terjadi ketika tumbuhan menyerap kontaminan dan melepasnya ke udara lewat daun, dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun. 2. Penyerapan Logam Berat Oleh Tumbuhan a. Tumbuhan Hiperakumulator Logam Tumbuhan hiperakumulator adalah tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan logam di dalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi. Kebanyakan tumbuhan mengakumulasi logam, misalnya nikel sebesar 10 mg/kg berat kering (BK) (setara dengan 0,001%), tetapi tumbuhan hiperakumulator logam mampu mengakumulasi hingga 11% BK. Batas kadar logam yang terdapat di dalam biomassa agar suatu tumbuhan dapat disebut hiperakumulator berbeda-beda bergantung pada jenis logamnya (Baker, 1999). Untuk Cadmium, kadar setinggi 0,01% (100 mg/kg BK) dianggap sebagai batas hiperakumulator, sedangkan batas

bagi kobalt, tembaga dan timbal adalah 0,1% (1000 mg/kg BK) dan untuk seng dan mangan adalah 1% (10.000 mg/kg BK). Laporan pertama mengenai adanya tumbuhan hiperakumulator muncul pada tahun 1984 oleh Minguzzi dan Vergnano, yang menemukan kadar nikel setinggi 1,2% dalam daun Alyssum bertolonii. Sejak itu, terutama dengan mengandalkan analisis mikro terhasap spesimen herbarium, diketahui ada 435 taxa tumbuhan hiperakumulator logam yang tumbuh tersebar di lima benua dan semua wilayah iklim (Baker, 1999) b. Mekanisme Penyerapan Logam oleh Tumbuhan Penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tumbuhan dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, yaitu penyerapan logam oleh akar, translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain, dan lokasi logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme tumbuhan tersebut. 1). Penyerapan Oleh Akar Telah diketahui, bahwa agar tumbuhan dapat menyerap logam maka harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara tergantung pada spesies tumbuhannya; perubahan pH. Pada Thalspi cearulescens, mobilisasi seng dipacu dengan penurunan pH pada daerah perakaran sebesar 0,2 0,4 unit (Mc Grath, 1997) Ekstraksi zat khelat. Mekanisme penyerapan besi lewat pembentukan suatu zat khelat yang disebut fitosoredofor telah diketahui secara mendalam pada jenis rumput-rumputan (Marschner dan Romheld, 1994). Molekul fitosoredofor ini akan mengikat (mengkhelat) besi dan membawabya ke dalam sel akar melalui peristiwa transpor aktif. Fitoredosfor juga dapat mengikat logam lain selain besi, yaitu seng, tembaga, dan mangan. Saat ini diketahui, bahwa berbagai Alyssum sp (Kramer, et al, 1996) dan suatu senyawa peptid khusus, fitokhelatin, yang mengikat selenium pada

Brassica juncea (Spesier, et al, 1992) dan logam lain seperti timbal, cadmium dan tembaga (Gwordz et al, 1997) Pembentukan reduktase positif logam. Di dalam meningkatkan penyerapan besi, tumbuhan membentuk suatu molekul reduktase di membran akarnya (Marschner dan Romheld, 1994). Reduktase ini berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus di dalam membran akar. 2). Translokasi di dalam Tumbuhan Setelah logam dibawa masuk ke dalam sel akar, selanjutnya logam harus diangkat mealui jaringan pengangkut, yaitu xylem dan floem, ke bagian tumbuhan lain. Untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan, logam diikat oleh molekul khelat. Molekul khelat yang berfungsi mengikat logam dihasilkan oleh tumbuhan, misalnya histidin yang terikat pada Ni (Kramet et al, 1996) dan fitokhelatin-glutation yang terikat pada Cd (Zhu et al, 1999) 3). Lokalisasi Logam Pada Jaringan Untuk mencegah perasunan logam pada sel, tumbuhan mempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti akar (untuk Cd dapa Silence dioica [Grant et al, 1998]), trikhoma (untuk Cd [Salt et al, 1995), dan lateks (untuk Ni pada Serbetia acuminate [Collins, 1999]) B. Penerapan Fitoremediasi Sesungguhnya ide mengenai penggunaan tumbuhan sebagai agensia pembersih bukan hal yang baru. Kita telah mengenal manfaat tumbuhan sejak lama sebagai pengusir zat beracun dari udara sehingga adanya tumbuhan dianggap penyegar udara di sekitarnya. Dengan makin dipahaminya fisiologi dan genetika tumbuhan, maka pemanfaatan tumbuhan sebgai agensia pembersih lingkungan dapat makin diperluas cakupannya dan diperhitungkan manfaatnya dari segi rekayasa serta nilai ekonominya.

1. Tumbuhan Darat untuk Remediasi Lahan Terkontaminasi Pemanfaatan tumbuhan untuk remediasi lingkungan sangat ditentukan oleh pemahaman tentang penyerapan logam serta penyerapan dan atau degradasi senyawa organik dari tumbuhan. Dasawarsa terakhir terjadi akumulasi yang cepat tentang pengetahuan yang mengenai aspek-aspek fisiologi tersebut. Chaney dan koleganya dari USDA-ARS yang aktif meneliti dan mengembangkan manfaat tumbuhan untuk remediasi logam telah mengidentifikasi karakteristik penting, sebagai berikut (Chaney et al, 1997), tumbuhan harus bersifat hipertoleran agar dapat mengakumulasi sejumlah besar logam berat di dalam batang serta daun. Tumbuhan harus mampu menyerap logam berat dari dalam larutanm tanah dengan laju penyerapan yang tinggi. Tumbuhan harus mempunyai kemampuan untuk mentranslokasi logam berat yang diserap akar ke bagian batang serta daun. 2. Sistem Lahan Basah untuk Perbaikan Kwalitas Air Banyak desain awal pengolah limbah menggunakan tumbuhan timbul untuk mengelola limbah. Hasil analisis pengolah limbah tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan berperan sebagai tempat penyimpanan sementara, melalui proses transformasi dan pemisahan polutan yang terjadi dalam substrat (Nichols, 1983). Tumbuhan timbul sering dipasang pada media kerikil untuk merangsang serapan hara dan menciptakan kondisi yang cocok untuk oksidasi, sehingga kemampuan sistem untuk mengolah limbah menjadi meningkat. Kriteria umum untuk menentukan spesies tumbuhan lahan basah yang cocok untuk pengolahan limbah belum ada, karena sistem yang berbeda memiliki tujuan dan standar yang berbeda. Hal yang patut dipertimbangkan dalam pemilihan tanaman adalah toleran terhadap limbah, mampu mengolah limbah dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Untuk mengetahui tingkat toleransi tanaman terhadap limbah maka perlu diketahui konsentrasi nutrisi dalam limbah. Kemampuan dalam mengolah limbah meliputi kapasitas filtrasi dan efisiensi serapan nutrisi (Shutes et al, 1993). Tumbuhan timbul dan tumbuhan mengapung lebih banyak dipilih untuk digunakan dalam studi lahan basah buatan skala pilot. Jenis tumbuhan timbul Scirpus

californicus, Zizaniopsis miliaceae, Panicum helitonom, Poteredia cortada, Sigittaria lancifolia, dan Thypa latifolia adalah yang terbaik digunakan pada sistem lahan basah buatan untuk mengolah limbah peternakan (Surerency, 1993). Phalaris, Spartina, carex dan Juncus memiliki potensi produksi dan daya serap hara yang tinggi, penyebarannya luas dan toleran terhadap berbagai macam kondisi lingkungan. Spesies tumbuhan mengapung digunakan karena tingkat pertumbuhannya yang tinggi dan kemampuannya untuk langsung menyerap hara langsung dari kolom air (Reddy dan de Busk, 1985). Akarnya menjadi tempat filtrasi dan adsorbsi padatan tersuspensi dan pertumbuhan mikroba yang menghilangkan unsur-unsur hara dari kolom air. Tanaman tenggelam tidak direkomendasi pada pengelola limbah, karena produksinya rendah, banyak spesies yang tidak tahan terhadap kondisi eutrofik dan memiliki efek yang merugikan bagi alga dalam kolom air (Hammer dan Bastian, 1989), namun tumbuhan tenggelam mungkin peran yang penting bila kombinasikan dengan jenis tanaman lain dalam sistem pengolahan limbah. KESIMPULAN Fitoremediasi merupakan suatu sistem remediasi yang menarik namun masih merupakan teknologi yang sedang dalam tahap awal perkembangannya. Kemajuan dalam pemahaman berbagai disiplin ilmu, terutama dalam fisiologi tumbuhan dan genetika akan mendorong perkembangan teknologi secara cepat. Sebagai suatu teknologi yang sedang berkembang, fitoremediasi telah menarik banyak pihak termasuk peneliti dan pengusaha. Di Indonesia masalah pemcemaran terus dihadapi sesuai dengan kemajuan industri sehingga usaha remediasi serta pencegahan pencemaran perlu perhatikan. Fitoremediasi diharapkan dapat memberikan sumbangan yang nyata dan praktis bagi usaha mempertahankan kwalitas lingkungan di Indonesia.