evolusi gerakan hti dan ancaman terhadap generasi muda islam
TRANSCRIPT
. ISSN: 2088-6241 [Halaman 1 – 21] .
Jurnal Review Politik Volume 05, Nomor 01, Juni 2015
EVOLUSI GERAKAN HTI DAN ANCAMAN TERHADAP GENERASI MUDA ISLAM
Libasut Taqwa
Universitas Indonesia
Abstract
After the fall of Soeharto‟s regime, Indonesia has experienced changes
in many aspects of such social life as politics, economy, and education.
Soon, transnational-religious party has emerged. Hizbut-Tahrir Indo-
nesia (HTI) has started its new agenda and mission, namely enforcing
the Islamic Caliphate and Shari'a and changing the Indonesia‟s Consti-
tution with the new constitution they propose. This article a conceptual
writing which deals with three objectives, are: analyzing the extent of
the movement, the evolution of transnational Islamic religion, and how
HTI has successfully gained sympathy and support from the Indone-
sian young Muslims who subsequently become it loyal followers with
strong militancy. The writer concludes that HTI along with its
propaganda has, in fact, threatened national concept of Indonesia‟s
constitution. Therefore, it is important to protect the young generation
from such ideological propaganda as discussion, organization, mass
media, and other means employed by HTI in order to influence them.
Key Words: Young generation, HTI, movement
Abstrak
Setelah jatuhnya rezim Soeharto, banyak perubahan di beberapa area
kehidupan. Seperti politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Setelah itu,
muncul partai agama yang bersifat transnasional. Hizbut Tahrir
memulai agenda baru atau misi untuk menegakkan Khilafah dan
syariat Islam, dan mengubah konstitusi negara. Tulisan ini menyang-
kut tiga tujuan khusus; menganalisis sejauh mana gerakan, serta
evolusi agama Islam transnasional, bagaimana HTI memenangkan
simpatisan dan pengikut terutama di kalangan generasi muda dengan
militansi yang kuat. Juga, bagaimana organisasi ini melancarkan
propaganda politik atas dasar gerakan sosial. Artikel ini menyim-
pulkan bahwa HTI dengan semua derivasi propaganda, telah meng-
ancam konsep nasional konstitusi Indonesia. Dengan demikian,
generasi muda harus dilindungi dari propaganda ideologi baik lewat
diskusi, organisasi, media massa, dan perangkat lainnya.
Kata Kunci: Generasi muda, HTI, gerakan
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
2
Pendahuluan
Setelah Soeharto lengser, pergeseran peta demokratisasi di
Indonesia terus berkembang ke arah tak menentu. Alih-alih
mencapai cita-cita reformasi, bangsa Indonesia kian terpuruk
dengan ragam permasalahan yang hingga kini belum
menemukan solusi bagi terselesainya konsolidasi demokrasi.
Meskipun usaha-usaha telah dilakukan oleh berbagai kalangan
demi perbaikan sektor-sektor penting yang ada di seluruh
pranata masyarakat dan negara. Permasalahan-permasalahan
seperti korupsi, penegakkan hukum, isu mayoritas-minoritas,
atau bahkan konflik politik-agama seakan tak menghasilkan
jalan temu.
Di tengah ketidakmenentuan itu, situasi perkembangan
negara bahkan tergerus dengan munculnya berbagai kelompok
keagamaan baru yang mengancam stabilitas negara. Sebagai
justifikasi gerakan demokratisasi, kelompok-kelompok keaga-
maan yang bermunculan sebenarnya tidak memberikan
dampak negatif terhadap keadaan negara, namun persoalan-
nya menjadi lain ketika yang menjadi basis propaganda
gerakan adalah perubahan total konstitusi yang bahkan sudah
selesai saat sebelum negara ini berwujud Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Salah satu gerakan keagamaan baru yang lahir adalah
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hizbut Tahrir yang secara
literal berarti Partai Pembebasan, mulai menampakkan secara
terang benderang wajahnya dalam kancah sosial-politik Indo-
nesia di tengah ketidakmenentuan demokratisasi pasca-
Soeharto. Sebagai gerakan revivalis (Hilmy, 2001: 39), HTI
menggalang simpati gerakan mereka dengan semboyan “wujud-
kan Khilafah Islam, dan implementasi Syariah”. Gerakan ini
terus meluas ke wilayah-wilayah Indonesia, hal ini diperparah
dengan kesejahteraan masyarakat yang tak kunjung mapan,
sehingga membuka jalan bagi setiap pendukung fanatik untuk
terus menggugat negara dalam hal-hal demikian.
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
3
Setelah sekian lama diresmikan, HTI melangsungkan
Konferensi Internasional pertamanya di Indonesia pada 28 Mei
2000 di lapangan Tenis Indoor Senayan Jakarta dengan
ratusan pendukung dan simpatisan. Tujuh tahun setelah itu,
Konferensi Internasional kedua terselenggara dengan kurang
lebih 100.000 peserta pendukung dan simpatisan HTI. Melihat
modus perjalanannya, Gerakan HTI bukan saja gerakan
revolusioner, akan tetapi gerakan evolutif yang terus bergerak
lamban tapi pasti mengembangkan doktrin kekhilafahan
transnasional yang mengancam keutuhan NKRI. Apabila
diperhatikan, ini menjadi sangat riskan terhadap pertumbuhan
generasi masa depan Indonesia karena akan mencipta generasi
yang meragukan konsensus yang dibuat bersama oleh para
pendiri bangsa. Bukannya melahirkan kesejahteraan nasional,
malah semakin memperkeruh persemaian ikatan kebhinekaan
di Indonesia.
Dalam hal ini, penulis secara khusus membatasi penulisan
dengan menganalisis sejauh mana perangkat gerakan, serta
evolusi transnasional keagamaan Islam seperti HTI meraih
simpatisan dan pengikut yang semakin banyak khususnya di
kalangan generasi muda dengan militansi yang kukuh.
Demikian pula, bagaimana organisasi ini melancarkan
propaganda politik dengan basis gerakan sosial.
Embrio Awal Gerakan
Hizbut Tahrir didirikan pada tahun 1952 di al-Quds
berdasarkan aqidah Islam oleh Taqiyyuddin An Nabhani (1905-
1978). Dia seorang ulama, mujtahid, hakim pengadilan (qadi)
di Palestina dan lulusan Al Azhar, dan hafalal-Qur‟an sejak
usia 15 tahun. Sebagai seorang cucu dari ulama besar pada
masa Khilafah Utsmaniyah, Syeikh Yusuf An-Nabhani,
Taqiyuddin tumbuh sebagai seorang penggerak massa yang
pada saat itu kehilangan jati diri setelah kehancuran dinasti
Utsmani di Turki. Pasca pendeklarasian itulah Hizbut Tahrir
berkembang ke seluruh pelosok dunia, hingga Indonesia.
Hizbut Tahrir menjadi gerakan transnasional yang menurut
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
4
Masdar Hilmy, bertransformasi pada tiga unsur utama, yaitu:
pergerakan demografis, lembaga keagamaan transnasional,
serta perpindahan gagasan atau ide. Jika pada gerakan
pertama gerakan terfokus pada gerakan orang per orang, atau
kelompok tertentu dari suatu negara ke negara lainnya, maka
gerakan kedua lebih merupakan perangkat jejaring antar
negara atau tempat tertentu, sedang pada gerakan ketiga,
merupakan transformasi ide antar kelompok atau individu dan
negara tertentu dan sebaliknya. Pergerakan ini, lanjut Hilmy,
merupakan perangkat globalisasi yang tak terbendung, dengan
meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi era modern.
Gerakan ini menuai simpati masyarakat muslim, disebab-
kan pandangan bahwa kemunduran masyarakat muslim dalam
bernegara disebabkan mereka meninggalkan sistem kekha-
lifahan universal yang mampu mengatur ruang hidup masya-
rakat sehingga sejahtera dan makmur seperti masa lalu.
Konsep politik ini diklaim didasarkan pada al-Qur‟an, sunnah,
dan telah diwujudkan dalam sejarah kerajaan Islam yang
panjang, sejak Nabi Muhammad hingga kejatuhan imperium
Utsmani (Mujani, 2007: 78).
Di Indonesia sendiri, sebelum meraih momentum dengan
konferensi umat di tahun 2000, embrio gerakan HTI telah
mulai muncul sejak awal 80-an. Abdurrahman al-Baghdadi
yang membangun bibit gerakan sejak awal 1982. Al-Baghdadi,
seorang Lebanon yang berimigrasi ke Australia sejak muda,
diundang oleh Abdullah bin Nuh, salah seorang petinggi agama
di Bogor, Jawa Barat yang juga salah seorang dosen sastra di
Universitas Indonesia. Inilah cikal-bakal basis gerakan di
mana al-Baghdadi mendapat kesempatan merekrut mereka
yang mayoritas mahasiswa IPB (Institut Pertanian Bogor)
sebagai penyebar paham gerakannya (Fahlesa, 2010: 177).
Dari universitas inilah, gerakan itu terus meluas dan
bergerak ke universitas-universitas di Jawa dalam bentuk LDK
(Lembaga Dakwah Kampus) tempat HTI berjuang menye-
barkan dan mempertahankan idenya. Selama era Orde Baru,
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
5
lembaga dakwah ini bergerak secara klandestin dan memilih
untuk tidak menampakkan diri dalam ranah sirkulasi politik
nasional. momentum ini menjadikannya relatif aman dari
tindakan represif penguasa waktu itu, dibanding beberapa
ormas Islam lain yang secara vis a vis berhadapan dengan
pemerintah.
Dengan gencarnya demokratisasi pasca kejatuhan Soeharto,
HTI perlahan tapi pasti muncul meramaikan kebebasan
pembentukan partai politik dengan menyelenggarakan konfe-
rensi pertama sebagai introduksi awal di tahun 2000 kepada
seluruh masyarakat Indonesia. HTI menandaskan, solusi satu-
satunya dari krisis multidimensi di Indonesia adalah
mengembalikan kekhalifahan yang sempat ditinggalkan umat
Islam. Walaupun HTI hanya cabang dari Hizbut Tahrir pusat,
dan masih sangat baru jika dibandingkan misalnya dengan
Muhammadiyah dan NU, namun gerakannya cukup memikat
bagi para pengikutnya di Indonesia, mengingat Indonesia
adalah penduduk muslim terbesar di dunia dengan muslim
“KTP” yang signifikan. Ini membuat perangkat propaganda
HTI meraup banyak simpatisan hingga ke pelosok negeri.
Walaupun gerakan ini mencuat ke permukaan akibat
gelombang demokratisasi pasca Orde Baru, tidak hanya
menolak gagasan negara-bangsa seperti dianut Indonesia,
namun juga jelas-jelas menolak demokrasi. Bagi HTI, kata
khilafah dan negara digunakan secara bergantian. Bangsa
dalam konsep negara-bangsa adalah “Islam” yang wilayahnya
didefinisikan sebagai “wilayah Islam” (dar al-Islam), dan
“wilayah Kafir” (dar al-kufr). Dalam dar al-Islam, Syariah
diterapkan, sementara dalam dar al-kufr hukum orang kafir
diterapkan (www.hizb-ut-tahrir.info/en/constitusi.htm). Diba-
wah kekhalifahan Islam, syariah ditetapkan kepada semua
warga negara tanpa mempertimbangkan agama mereka,
kecuali dalam wilayah peribadatan di mana non-muslim dapat
dan dibolehkan menjalankan ibadah menurut keyakinan
mereka.
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
6
Dalam konstitusinya, Khilafah didirikan atas empat hal:
1)kekuasaan adalah milik hukum Allah dan bukan milik
rakyat; 2) otoritas dalah milik rakyat, yakni umat; 3) penun-
jukan khalifah sebagai pejabat adalah kewajiban bagi setiap
muslim; 4) hanya Khalifah yang mempunyai hak untuk meng-
adopsi hukum-hukum syariah dan dengan demikian menjalan-
kan undang-undang dasar dan berbagai hukum. Keempat hal
di atas, menjadi common goals bagi partisipan dan anggota HTI
dalam mewujudkan khilafah universal di dunia tanpa sekat
kebangsaan atau negara.
Pendapat berlawanan datang dari Syafi‟i Ma‟arif yang
meyakini, bahwa gagasan Islam sebagai din wa dawlah (agama
dan negara) mengaburkan esensi kenabian Muhammad
(Abdillah, 1999: 65). Gagasan tentang negara Islam sebenarnya
didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan hanya di tangan
Allah, dan kekuasaan ini (Allah) dibandingkan dengan kekua-
saan rakyat. Menurut Ma‟arif, penafsiran ini meredusir
kekuasaan Allah, karena kedua kekuasaan tersebut tidak
dapat dibandingkan. Politik di dunia ini, lanjut Ma‟arif, adalah
urusan manusia karena Allah telah memberi mereka tanggung
jawab politik dengan memilih atau dipilih untuk jabatan politik
(Ma‟arif, 1985: 169).
Perdebatan sejak kemunculan HTI sampai menjadi salah
satu organisasi besar di Indonesia kian memperbaharui
perdebatan dasar dan bentuk negara yang dianggap final di
Indonesia. Ini juga antara lain disebabkan tidak mampunya
unsur-unsur kenegaraan dalam hal ini pemerintah
mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya karena
banyak sekali kasus sebagai penyakit demokrasi mencuat ke
permukaan seakan tak menemukan solusi.
Gerakan Politik HTI
HTI tidak sama dengan partai-partai politik lain di
Indonesia, karena keengganan organisasi ini mengikuti sistem
pemerintahan yang dianggap telah kafir dan tidak sesuai
dengan syariat Islam. Gerakannya juga memungkinkan untuk
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
7
tidak mengikuti kontestasi politik nasional dengan ikut andil
dalam pemilihan umum. Model gerakan semacam ini, menurut
Tony Fitzpatrick sebagai kegiatan ekstra-parlementer, yang
menekankan politik sebagai medan perjuangan estetika, yakni
kultur tandingan parlementer karena mengarah penuh pada
masyarakat (centrifugal process) (Fitzpatrick, 1995).1
Gerakan seperti ini tidak akan terjun dalam pemilihan
umum, karena menganggap sistem sekarang telah melakukan
deviasi dari yang benar. Selaras dengan pengertian Fitzpatrick,
gerakan HTI secara nyata telah mengakomodir isu-isu tunggal
serta memobilisasi massa untuk mendirikan negara khilafah.
Di sini terlihat bahwa aktivis HTI memandang terjun dalam
ranah politik sepenuhnya mulia dan wajib, sebagai lawan dari
muslim kontemporer yang cenderung menganggap politik
sebagai kotor, dan karenanya perlu dihindari.
Sikap ini juga sama halnya terhadap partai politik
kebanyakan, HTI keluar menentang aktifitas politik
mainstream dengan menjalankan aktifitas politik nonrutin,
yaitu aktifitas politik yang mengekspresikan keyakinan bahwa
ada sesuatu yang salah dalam struktur politik dan kondisi
sosial-ekonomi yang ada, dan/atau dalam kebijakan, dan/atau
dalam diri para pejabat dan perilaku mereka. Aktifitas politik
ini, sebagai rival dari aktifitas politik rutin -sebagaimana
umum di Indonesia- bertujuan melakukan perubahan dengan
mengecilkan arti penting aktifitas politik rutin karena
anggapan tidak banyak merubah keadaan dan situasi politik
dalam suatu masyarakat secara signifikan (Wasburn, 1982:
195-204).
1 Tony Fitzpatrick membagi kehidupan dunia politik menjadi dua proses yang saling bertentangan satu sama lain namun juga saling memperkuat, yaitu proses yang mengarah ke pusat (centripetal process); dan proses yang mengarah ke pinggir (centrifugal process). Dalam konteks oposisi, proses pertama merupakan oposisi yang mengarah pada kekuasaan pemerintah dalam hubungannya terkait tuntutan dan kepentingan rakyat, sedangkan yang kedua, merupakan oposisi baru yang diarahkan individu atau kelompok tertentu untuk memobilisasi massa di seputar isu tunggal.
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
8
Secara umum, keberadaan HTI sebagai sebuah partai dapat
diuraikan sebagai berikut (Abdullah, 2005: 134-136): Pertama,
tidak seperti lazimnya partai politik yang ada, kepemimpinan
dan struktur partai dalam HTI bersifat tertutup untuk publik
karena hanya bisa diketahui dan diakses oleh anggota.
Ketertutupan ini dinyatakan secara tegas dengan fakta bahwa
seluruh pengurus HTI baik tingkat pusat, wilayah, maupun
daerah-tidak memilik kantor atau sekretariat (namun,
sekarang telah mengalami banyak perubahan).
Kedua, HTI tidak menjalankan fungsi penyediaan calon-
calon pemimpin atau wakil rakyat karena ia menolak
berpartisipasi dalam pemilu. HTI juga tidak melakukan koalisi
dengan kekuatan politik manapun, melainkan hanya mela-
kukan pendekatan dan komunikasi dakwah agar kekuatan-
kekuatan politik tersebut menerima dan memasukkan gaga-
san-gagasannya dalam program politik mereka. Selain itu, HTI
juga mengeluarkan pernyataan sikap, terkait isu-isu lokal,
nasional, bahkan internasional terutama apabila terkait
dengan kepentingan Islam dan kaum muslim.
Ketiga, meski pada awalnya didominasi kaum muda dan
mahasiswa dari kampus sekuler, tetapi basis HTI kini semakin
beragam, baik dari sisi usia, profesi, maupun latar-belakang
sosial ekonomi. Upaya untuk memperluas basis dukungan dari
beragam lingkungan kesibukan kini terus dilakukan HTI.
Walaupun ada beberapa hal yang masih tidak jelas, seperti
bagaimana menentukan taraf keislaman seorang pengikut,
lingkungan profesi yang tidak sesuai dengan syariat Islam,
serta lainnya.
Keempat, setiap anggota HTI adalah kader yang sangat
ideologis. Dalam berinteraksi dengan kelompok lain, mereka
selalu memegang teguh pandangan-pandangan normatif
kelompok dan menghendaki agar gagasan dan solusi-solusi HTI
diterima sebagai kata-pemutus untuk berbagai persoalan yang
ada.
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
9
Melihat keempat ciri HTI di atas, dapat disampaikan
bahwa posisi HTI mengalami ambiguitas.Di satu sisi mengaku
sebagai partai politik, namun di sisi lain menafikan segala
bentuk sistem partai politik modern. Padahal, dengan segala
perangkatnya, HTI merupakan entitas modern yang juga turut
memberdayakan beragam bentuk dan upaya yang muncul
dalam realitas hidup modern seperti media massa, media
elektronik, dan sebagainya. Tampaklah bahwa HTI lebih
merupakan sesuatu gerakan dan organisasi sosial, dan bukan
merupakan sebuah partai politik.2
Perangkat Propaganda Gerakan
Lazim diketahui, HTI merupakan organisasi massa Islam
yang sangat memahami manfaat dan fungsi berbagai
perangkat komunikasi dan teknologi modern dalam menjaring
dan menyebarkan dakwahnya ke seluruh Indonesia. Sejak
merambah ke berbagai kalangan di Indonesia, media pertama
yang digunakan HTI untuk menyosialisasikan pemikiran dan
gerakannya adalah buletin Jumat al-Islam, buletin ini
diterbitkan sejak 1994 dan disebarkan setiap Jumat di berbagai
kota besar di Indonesia. Hingga Desember 2004, memasuki
edisi ke-231 (Tahun XI) al-Islam telah meraih oplah sebesar
200.000 eksemplar. Selain dalam bentuk cetak, buletin ini juga
ditampilkan pada situs www.al-islam.or.id.
Selain buletin, HTI juga mengeluarkan majalah bulanan al-
Wa’ie yang hingga tahun 2004 meraup oplah 15.000 eksemplar.
Peluang mengkampanyekan gagasan mendapat respon bak
gayung bersambut bagi sebagian masyarakat menengah
perkotaan. Sejak November 2008, HTI kembali mengeluarkan
media tabloid dwi-mingguan dengan nama “Media Umat” yang
merupakan media lanjutan dari buletin al-Misykah di Jawa
2 Menurut Heberle, perbedaan paling tegas dari partai politik dan gerakan sosial adalah bahwa partai politik hanya berada dalam suatu negara atau sistem politik, sementara gerakan sosial tidak terbatas dalam suatu negara tertentu atau masyarakat nasional tertentu. Partai terlembaga dalam sistem politik, sementara gerakan sosial merupakan alat partisipasi non-elit yang terlembaga di luar sistem (Arnold K. Sherman, Aliza Kolker, 1987: 239).
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
10
Tengah, juga al-Miqyas di Yogyakarta. Ketiga media ini tidak
hanya menjadi corong utama penyebaran isu khilafah dan
syariat Islam, akan tetapi juga getol mengampanyekan
berbagai macam isu-isu yang sedang hangat terjadi dalam
negara.
Perkembangan beberapa media ini semakin mengemuka
seperti diutarakan juru bicara HTI bahwa HTI memiliki sarana
membina umat dengan buletin mingguan Al Islam dengan tiras
1,3 juta exemplar dan Media Umat dengan oplah 30 ribu
exemplar, juga dengan media online yang link up ke Hizbut
Tahrir di seluruh dunia. Tentu dengan cabang yang tersebar di
30 propinsi dan proses pembinaan umat yang dilakukan tiap
minggu dan tiap bulan sekali yang jumlahnya ribuan oleh
kader-kader Hizbut Tahrir (khabarislam.wordpress.com, 2009).
Di luar dua media rutin tersebut, sejauh ini HTI telah
mengeluarkan kurang lebih 23 jenis buku yang harus menjadi
pegangan setiap anggota dengan tiga buku pokok yang harus
mereka kaji serius, yaitu Nidzam al-Islam (peraturan hidup
dalam Islam), Mafahim Hizb al-Tahrir (Pokok-pokok Pikiran
Hizbut Tahrir), dan al-Takatul Hizbi (Pembentukan Partai
Politik) dan lain-lain (http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_
Tahrir.or.id).
Di samping beragam media cetak yang dihasilkan, HTI juga
secara rutin meng-update berita di website al-Islam.or.id yang
merupakan situs pertama sejak 2002. Fungsinya menampilkan
tulisan-tulisan yang termuat dalam buletin al-Islam yang
disebar setiap hari Jumat. Seiring dengan berkembang
pesatnya akses internet pasca 2000-an, pada maret 2004, HTI
kembali meluncurkan situs keduanya dan yang paling terkenal,
hizbut-tahrir.or.id. Selain sebagai masterpiece media, situs
kedua ini juga menampilkan ragam tulisan dan laporan
internasional tentang pelbagai usaha-usaha Hizbut Tahrir
Internasional lainnya.
Tidak berhenti di situ, HTI melancarkan berbagai macam
pelatihan yang memompa semangat mulai dari siswa sekolah
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
11
sampai dengan perguruan tinggi untuk mengikuti kegiatan
kerohanian baik tingkat lokal hingga Internasional. Dari hasil
pelatihan yang diadakan, jaringan radio juga berkembang di
beberapa pusat Islam di Indonesia, seperti Oz FM, Real FM,
dan Indralaya FM di Sumatera Selatan, yang memberikan slot
khusus kepada HTI Sumatera Selatan untuk mengisi kajian
keagamaan. Di Yogyakarta, Unisi FM memberikan kesempatan
setiap Sabtu sore kepada HTI untuk mengisi program “Tanya
Ustadz” yang dikhususkan bagi masyarakat guna konsultasi
keislaman. Walaupun berakhir di tahun 2005, tetapi jejak HTI
di Jogja sudah tidak bisa dianggap sebelah mata karena juga
kembali lagi dengan radio Stasiun Arma 11 sebagaimana
diungkap Tindiyo, Jubir HTI untuk Yogyakarta (Fahlesa, 2010:
190).
Evolusi Dukungan Generasi Muda
Melihat bonus demografi Indonesia pada tahun 2020-an
nanti, diakui bahwa Indonesia akan menjelma menjadi negara
dengan tingkat produktifitas luar biasa, khususnya di Asia
Tenggara. Ini tidak hanya karena membludaknya angkatan
muda produktif, tetapi juga sebagai konsekuensi logis tingkat
melek pendidikan yang terus berkembang.
Tentu saja melihat perkembangan tersebut, sebagai bangsa
akan merasa bangga melihat masa depan generasi muda
mendatang karena mampu mengemban misi kemajuan bangsa
yang hingga sekarang belum dirasakan. Namun, melihat
perkembangan pasca reformasi, pemuda seakan dihinggapi
disorientasi kebangsaan dengan berbagai derivasinya yang
dikhawatirkan, dan malah bisa menimbulkan disintegrasi
bangsa di masa depan. Disorientasi ini terlihat seperti tidak
ada keseimbangan antara pengetahuan keislaman dan
keindonesiaan. Bagi yang memperdalam Islam secara rigid,
mengetahui Indonesia sebagai realitas kebangsaan, harus
diakui menjadi sangat longgar untuk ditekuni.
Di satu sisi, mahasiswa yang cenderung tidak memiliki
akar keislaman kuat, menerima pelajaran Islam secara inheren
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
12
di perguruan tinggi yang notabene “sekuler” menjadi terkupas
nilai-nilai keindonesiaannya, ketika dibenturkan dengan gaga-
san serba “ideal”. Hal ini menjadi momok menakutkan apabila
ditambah dengan beberapa fakta terkait bangsa yang belum
mampu keluar dari keterpurukan ekonomi dan politik.
Jaringan kampus yang dikenal sebagai LDK (Lembaga Dakwah
Kampus) di beberapa Universitas “sekuler” seperti UNPAD
Bandung, UI Jakarta, UGM Yogyakarta, UNAIR Surabaya,
atau UNHAS Makassar (Elizabeth Fuller Collins, dalam Hilmy,
2014: 38) dengan cepat dicapai oleh HTI. Mengenai pengaruh
dari masuknya HTI ini misalnya, terlihat dari pandangan salah
satu mahasiswa universitas terkenal di Yogyakarta yang
meragukan Pancasila dengan mengatakan bahwa kalau ada
orang Islam yang tidak sepakat dengan Khilafah, maka
Islamnya harus dipertanyakan (Wahid, 2009: 161).
Memang belum terdapat penelitian secara pasti mengenai
sejauhmana tergerusnya semangat kepemudaan dalam meng-
ejawantahkan Pancasila dalam kehidupannya. Namun fakta di
lapangan menunjukkan bahwa semakin banyak saja aktifis
pemuda yang kian meragukan eksistensi Pancasila sebagai
konsensus terbaik dalam negara Indonesia. Kristalisasi dari
pandangan tersebut terwakilkan oleh organisasi kemahasis-
waan Gerakan Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan).
Didirikan 28 Pebruari 2004 di Auditorium Pusat Studi Jepang
Universitas Indonesia, Gema Pembebasan menjelma sebagai
basis kampus sayap politik HTI yang cukup menjanjikan untuk
memobilisasi massa mahasiswa atau mahasiswi. Walaupun ini
kemudian dibantah, seperti ditulis dalam sejarah singkatnya.
“Mahasiswa dengan idealismenya memiliki potensi yang cukup
besar dalam proses perubahan sosial dan politik. Akan tetapi
selama ini mahasiswa banyak diwarnai oleh berbagai gerakan
yang tidak atau kurang berani dalam mengedepankan ideologi
Islam. Oleh karena itu diperlukan sebuah jaringan dakwah
kampus se-Indonesia untuk mengkampanyekan pemikiran-
pemikiran Islam dan solusi-solusi Islam atas segala permasalahan
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
13
serta untuk melahirkan kader-kader dakwah mahasiswa yang
suatu saat akan terjun ke masyarakat.”(gemapembebasan.or.id)
Selain menjalankan beberapa kegiatan dan diskusi, Gema
Pembebasan telah meluas di Indonesia hingga ke tingkat
komisariat kampus dengan format pendaftaran sangat mudah,
yang menjadi salah satu poin penting menyebarnya organisasi
ini. Disebutkan dalam websitenya, bahwa pendaftaran cukup
dengan mengisi formulir secara online dan pihak Gema
Pembebasan akan menghubungi secara langsung pihak
pendaftar. Ini berbeda misalnya dengan organisasi Mahasiswa
seperti HMI atau PMII sebagai Organisasi Mahasiswa Islam
terbesar yang cenderung memilih perekrutan internal lokal,
dibanding pendaftaran anggota secara nasional seperti di atas.
Dalam perjalanannya, sebagai organisasi kemahasiswaan
baru yang menentang Ideologi Pancasila dan menggantinya
dengan khilafah internasional, Gema Pembebasan tak ayal
mengalami resistensi di beberapa kampus Islam yang
berhadapan dengan organisasi kemahasiswaan yang lebih dulu
eksis seperti HMI atau PMII. Seringkali diskusi-diskusi yang
diadakan dibubarkan paksa oleh aktivis nasionalis-religius di
atas, keadaan yang kemudian jarang ditemukan dikampus-
kampus sekuler.
Namun, dengan berbagai resistensi tersebut, Gema
pembebasan seolah tidak jera karena terus menggelar diskusi
rutin dalam tubuh anggota. Diskusi-diskusi ini disebut dengan
istilah halaqah dan menjadi ajang diskusi dan pembacaan
buku-buku utama HTI. Dalam diskusi-diskusi yang digelar,
demi pendalaman indoktrinasi kekhalifahan, setiap anggota
yang memiliki kecenderungan vokal dalam diskusi, akan
diundang ke dalam diskusi kecil yang lebih intens di sebuah
lokasi pelatihan privat dengan bimbingan langsung seorang
musyrif, mentor yang mendoktrin prinsip-prinsip utama HTI.
Terkhusus buku-buku seperti nidzam al-Islam, mafahim, atau
at-takatul hizbi.
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
14
Proses doktrinasi memakan waktu sekitar lima tahun,
hingga seseorang yang telah terdidik secara khusus menjadi
musyrif yang menguasai betul prinsip-prinsip utama HTI.
Propaganda ini, tidak hanya berhenti di kampus sebagai pusat
berkembangnya intelektualisme kritis, tetapi juga merambah,
para siswa-siswi sekolah dengan mengadakan berbagai
kegiatan. Salah satu contohnya adalah muslim youth movement
dengan kedok memberdayakan siswa-siswi Islam. Mereka terus
merasuki pikiran para siswa dengan doktrinasi Khilafah Islam.
Kegiatan ini dilaksanakan secara kontinu di hampir 43 kota
seluruh Indonesia (http://hizbut-tahrir.or.id).3
Kader yang kemudian dibekali, dididik dalam suatu
suasana yang intensif, karena menerapkan sistem sel dalam
pembinaanya. Selain itu, pengkaderan menggunakan sistem
hierarki di mana posisi anggota dan calon anggota memiliki
rasio antara 1: 10. Hierarki ini kemudian terbagi menjadi
beberapa aktifitas penting; seorang calon anggota (daris) yang
telah diangkat menjadi anggota (hizbiyyun) akan memainkan
peranan internal sebagai musyrif pembimbing calon anggota,
dan peranan eksternal sebagai propagandis dalam masyarakat,
karib-kerabat, teman, atau publik melalui media dakwah HTI.
Proses panjang ini menjadi penting dalam pengkaderan
HTI karena menjadi tumpuan dakwah khilafah wa syari’ah
masyarakat khususnya generasi muda. Walaupun sekarang
sistem ini lebih terbuka bagi publik dan jarang dirahasiakan
karena kebebasan demokrasi, ternyata dalam perjalanannya,
3Pertama, menjadi muslim sejati yang giat menuntut ilmu, belajar sepanjang hayat. Kedua, menjadi muslim sejati yang berbakti kepada kedua orang tua, membahagian mereka dan membuat mereka bangga. Ketiga, menjadi muslim sejati yang selalu semangat untuk terus mengkaji Islam, mengamalkan dan memperjuangkannya dalam kehidupan. Keempat, menjadi muslim sejati yang bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah. Penekanan pada poin keempat harus diakui menjadi hal signifikan yang patut diperhatikan, bahwa seolah tidak ada syariah Islam tanpa khilafah, seperti yang diusung oleh HTI, lihat http://hizbut-tahrir.or.id/2015/02/23/sekitar-600-siswa-siswi-tegal-bertekad-jadi-muslim-sejati/, diakses pada 25/02/15, pukul 20:18.
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
15
ini pernah berhasil di zaman Orde Baru sebagai taktik agar
terbebas dari represi berlebihan oleh pemerintah.
Dari ulasan di atas, jelas bahwa HTI memiliki sistem
perekrutan dan pengkaderan sistematis yang membuat
organisasi ini sulit dilacak dan diberantas. Di sinilah
diperlukannya peran pemuda-pemudi nasionalis guna meng-
counter segala bentuk gerakan yang mengancam keutuhan
kebangsaan di masa depan.
Ancamannya terhadap Masa Depan NKRI
Ada beberapa alasan mengapa gerakan transnasional
seperti HT semakin diminati (highly interested) dan mampu
menjaring jumlah partisipan yang tidak sedikit. Pertama, sejak
awal kemunculannya, HTI dengan mantap mengaktifkan
demonstrasi massa damai dengan concern utama problem
kenegaraan seperti kesenjangan ekonomi, kenaikan harga
bahan bakar minyak dan komoditas ekonomi yang melambung
tinggi, atau privatisasi aset-aset nasional yang dikuasai asing.
Jadi, pada tahapan ini, selain gerakan politik keagamaan,
kemampuan meraih simpati rakyat dengan isu-isu nasional
juga menjadi agenda utama.
Kedua, HTI mengklaim bahwa gerakan keagamaannya
terikat antara satu sama lain dengan gerakan serupa di
berbagai belahan dunia. Konsekuensinya, bagi partisipan,
gerakan yang dibangun tidak monoton dan berjalan sendiri,
tapi dibumbui klaim mendapatkan dukungan umat Islam
internasional yang kuat dengan total 27 negara di dunia.
Ketiga, HTI tidak menggunakan kekerasan sebagai
perangkat setiap demonstrasi yang diadakannya, ini yang
membedakan secara diametral dengan beberapa gerakan
fundamentalis Islam di Indonesia. Dengan rutin HTI
berkunjung ke setiap organisasi massa Islam dengan
menyebarkan pahamnya. Tak sedikit pula dengan basis
gerakan terpusat pada kampus modern-sekuler di pusat
pendidikan seperti di Jakarta, Yogyakarta, atau Malang.
Sebagai gerakan sosial yang memperjuangkan aspirasi politik
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
16
sejak era reformasi, gerakan HTI memang dirasa unik, karena
tidak seperti organisasi sosial lain seperti Nasdem, atau
Perindo yang pada akhirnya bertransformasi menjadi partai
politik, HTI cenderung konsisten, dengan menggaet dukungan
unsur-unsur kelompok masyarakat dari berbagai segi demi
mendukung gagasan politiknya dan telah menjadi ciri khas
utama dari gerakan Hizbut Tahrir hampir di seluruh dunia.
Perbedaan ini juga menjadi platform HTI karena lebih
mengedepankan gerakan radikal baru yang terbatas pada
tuntutan dipenuhinya aspirasi Islam, seperti pemberlakuan
syariat Islam, dan belum sampai pada tataran menumbangkan
rezim penguasa (Zada: 2002).
Apabila dicermati, tuntutan HTI selalu terfokus pada
pelaksanaan khilafah dan pemberlakuan syariah Islam secara
kaffah di Indonesia dengan menafikan segala demokrasi dan
derivasinya. Pancasila, konstitusi, bahkan segala hal yang
terkait dengan sistem Indonesia. Menurut HTI, negara
haruslah dipimpin seorang khalifah yang memberlakukan
hukum dan perundangan Islam. Negara Islam tidak
menoleransi konsep demokrasi, misalnya untuk diadopsi dalam
pemerintahannya. Karena konsep demokrasi tidak berasal dari
Islam dan, bahkan bertentangan dengan akidah Islam. Negara
Islam harus memenuhi empat kriteria: 1) kedaulatan ada di
tangan Tuhan sebagai pemberi hukum; 2) kekuasaan adalah
milik umat; 3) hanya ada satu khalifah yang memimpin kaum
muslim di seluruh dunia; 4) hanya Khalifah yang berhak
memberlakukan hukum dan menyusun perundang-undangan
berdasarkan syariat yang telah diturunkan Tuhan (Abdullah,
2005: 127).
Di samping itu, hukum juga hanya ditetapkan Tuhan
dan manusia tidak memiliki wewenang untuk menetapkan
hukum. Hukum Islam merupakan hukum yang mencakup
segala hal sehingga agama lain pun harus menaati peraturan
dan hukum Islam walaupun tidak harus mengikuti agama
Islam. Keharusan ini dimaksudkan agar tidak ada hukum yang
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
17
dipatuhi selain dari yang telah digariskan Tuhan. Hukum yang
ditetapkan Tuhan inilah yang menjadi metode untuk
menerapkan Islam secara keseluruhan, untuk itu, sebagai
misal, kaum muslim tidak boleh merubah hukum potong
tangan menjadi hukum penjara atau yang lainnya (Hasan,
2003: 12-16).
Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah terbentuknya
negara sebagai sebuah konsensus manusia yang hidup secara
bersama, dan berkelompok dalam suatu wilayah. Ini menjadi
hal yang alamiah agar setiap kepentingan individu maupun
kelompok dapat terjamin dalam kehidupan bersama tersebut.
Ibnu Khaldun misalnya, membagi tipologi negara menjadi dua
jenis, yang salah satunya adalah negara nomokrasi Islam, yang
selain menggunakan hukum-hukum Tuhan juga menerapkan
hukum yang bersumber dari kaidah-kaidah hukum yang
ditetapkan manusia (Nafis, 2015, 138). Jadi, akan sangat sulit
menetapkan hukum Tuhan secara mutlak dari Tuhan sendiri
tanpa kemampuan manusia untuk mengejawantahkan hukum
tersebut ke dalam sisi kemanusiaan. Dalam sebuah negara dan
kehidupan modern, segala hukum yang bersumber dari Tuhan
memerlukan penafsiran bagi manusia, dengan penafsiran
bermacam ragamnya, karena harus pula disadari tidak ada
penafsiran tunggal lagi semenjak Rasulullah meninggal dunia,
sehingga sulit, untuk tidak mengatakan mustahil,
menyimpulkan satu macam penafsiran dalam hukum itu
sendiri apatah lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
paling majemuk di dunia seperti Indonesia.
Dapat diperhatikan, bahwa keinginan HTI untuk
membentuk satu kekhilafahan universal sungguh jauh
panggang daripada api, karena akan menimbulkan kejangga-
lan, bagaimana menunggalkan penafsiran setiap manusia di
dunia Islam, yang tidak bisa terlepas dari sisi sosiologis,
geografis, maupun antropologis dari sebuah kehidupan berbeda
dalam masyarakat tertentu. Menetapkan satu persepsi dari
keseluruhan dunia Islam sama saja dengan menafikan
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
18
penafsiran perbedaan yang dianjurkan sebagai rahmat. Islam
masuk ke Indonesia sebagai akulturasi antara keislaman dan
keindonesiaan yang harus diakui berlaku bagi setiap tata
kehidupan keagamaan dan kebangsaan Indonesia.
Pancasila sebagai konsensus terbaik yang pernah
dihasilkan bangsa ini merupakan hal yang harus diakui ikut
mempersatukan beragam suku, budaya, dan agama di
Indonesia.Tanpa itu semua, dirasakan sangat sulit membangun
sebuah negara besar yang makmur dan bertahan hingga
sekarang. Indonesia juga sama sekali tidak sama dengan Arab,
atau negara-negara Timur Tengah lainnya, apalagi Eropa atau
Amerika. Indonesia dibentuk dengan memperhatikan per-
bedaan agama, suku, kebudayaan yang terpisah dari beragam
pulau dari Sabang sampai Merauke. Untuk itulah sebenarnya
gagasan HTI sangat bertentangan dengan semangat Pancasila
dan nilai luhur keindonesiaan, karena menjadi Indonesia
sejalan dengan menjadi seorang muslim. Umat muslim
seharusnya mencari titik temu dan bukan kesenjangan antara
keindonesiaan dan keislaman. Karena sebagai pendukung
nilai-keindonesiaan, umat Islam semakin diharapkan tampil
dengan tawaran kultural yang produktif dan konstruktif,
terkhusus dalam mengisi nilai-nilai keindonesiaan dalam
kerangka Pancasila dan UUD 1945 (Mas‟udi, 2010: VII).
Menurut Masdar Farid Mas‟udi, bagi setiap muslim,
kesetiaan terhadap konstitusi memerlukan usaha untuk
mengakhiri mentalitas „luar pagar‟, dengan cara menemukan
kesesuaian antara nilai-nilai substantif keislaman, dan nilai-
nilai dasar konstitusi. Bahwa nilai dan aturan dasar konstitusi
tidaklah bertentangan, sebaliknya justru sejalan dengan
substansi nilai keislaman, oleh sebab itu, tantangannya
bukanlah bagaimana memperjuangkan formalisasi negara
Islam, melainkan bagaimana merealisasikan nilai dan aturan
konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara
jujur, adil, dan konsekuen (Mas‟udi, 2010: VII-VIII).
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
19
Penutup
Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di
dunia memang menjadi salah satu destinasi berbagai aliran
dan paham keislaman mulai dari asal muasal Islam di Timur
Tengah, sampai negeri-negeri Barat seperti Amerika atau
Eropa. Tak ayal, dinamika perkembangan pemikiran di
Indonesia menjadi sangat unik dan beranekaragam apabila
dibandingkan dengan beberapa negara dengan penduduk
mayoritas muslim lainnya. Ini menjadi salah satu ciri khas
tersendiri bagi Islam Indonesia. Akan tetapi menjadi hal lain
apabila semua aliran-paham kepercayaan dalam Islam tersebut
masuk ke Indonesia dengan memaksakan kehendak dan
menunggalkan tafsir kebenaran bernegara yang seharusnya
dapat diklaim oleh yang lain, termasuk HTI sebagaimana
konsep kekhilafahan universalnya.
Dengan semakin majunya masyarakat modern, sehingga
bermacam aliran dan paham kebangsaan tumbuh tak
terbendung, harus diakui bahwa gerakan HTI telah merambah
jauh ke ulu hati kepemudaan generasi Indonesia, sehingga
berakibat pada melunturnya nilai-nilai kebangsaan dalam diri
dan pribadi pemuda. Bagi mayoritas masyarakat, memang ini
tidak berdampak singkat pada proses pengungkapan diri
maupun pikiran pemuda, karena proses ini memakan waktu
yang cukup lama, arah kepastian sistem yang terstruktur dan
teragendakan menjadi hal yang tidak bisa dielakkan oleh
siapapun di Indonesia. Perlahan namun pasti, HT akan terus
berusaha mengikis jiwa nasionalisme Islam bangsa Indonesia
yang majemuk. Untuk itulah kita harus mewaspadai evolusi
gerakan HTI yang semakin hari -dengan memanfaatkan segala
perangkat modern- semakin membahayakan cita-cita nasional-
isme Indonesia.
HTI, lebih jauh telah menafikan akulturasi antara
keislaman dan kebangsaan yang seharusnya terjadi di
Indonesia dengan mengimpor pemikiran dan budaya luar
Indonesia yang belum tentu mampu dan sesuai untuk diadopsi
Libasut Taqwa
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
20
dalam kehidupan majemuk kebangsaan. Lebih dari itu semua,
gerakan HTI patut selalu diwaspadai oleh para aktivis Islam,
khususnya oleh para aktivis ormas keagamaan yang “murni”
Indonesia, karena berkehendak mengganggu dan merubah
nilai-nilai kebangsaan Indonesia menjadi hal yang sama sekali
lain. Usaha-usaha ke arah demikian, semestinya menjadi
perhatian yang sangat jeli bagi para pemangku kekuasaan
maupun warga masyarakat di Indonesia, khususnya para
pemuda generasi bangsa agar tidak mudah terpengaruh oleh
gerakan-gerakan impor dari luar Indonesia, baik dari Timur
maupun Barat yang dapat mengancam eksistensi keindonesia-
an dan keislaman, karena telah lama tersemai damai di bumi
Indonesia.
Adapun ketika terjadi beragam hal dan belum sesuai
dengan cita-cita nasional kebangsaan seperti korupsi, kolusi,
nepotisme, kekerasan, diskriminasi, kejahatan, dan lain seba-
gainya di negara ini, bukanlah cara yang arif dengan
mengganti dasar dan konstitusi negara, tetapi dengan mena-
namkan sublimasi nilai-nilai keislaman sebagai prinsip-prinsip
dasar bernegara karena para founding fathers, telah menguras
keringat memperdebatkan masalah-masalah keislaman dan
kebangsaan sebagai puncak dari konsensus yang melahirkan
Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan lainnya yang memang sesuai
dan patut untuk diperjuangkan dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk.
Daftar Rujukan Abdullah, Kurniawan. 2005. Hizbut Tahrir Indonesia (Gerakan Politik Islam
EkstraParlementer)”. Dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam. Ed. Tholkhah, Imam. Et al. Jakarta:Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI
Abdillah, Masykuri. 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana
Arnold K. Sherman, Aliza Kolker. 1987. The Social Bases of Politics. California: Wadsworth Publishing Company
Evolusi Gerakan HTI dan Ancaman Generasi Muda Islam
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
21
Hasan, Mahmud Abdul Karim. 1993. Metode Perubahan Sosial Politik dengan Pertarungan Pemikiran dan Perjuangan Politik Menurut Sunnah Rasulullah SAW. Jakarta: PSKII
Hilmy, Masdar. 2014. Islam, Politik, & Demokrasi; Pergulatan antara Agama, Negara, dan Kekuasaan. Surabaya: Imtiyaz
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES
Mas’udi, Masdar Farid. 2010. Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet
Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustak Utama
Munabari, Fahlesa. 2010. “Hizbut Tahrir Indonesia: The Rhetorical Struggle for Survival”. Dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and State In Indonesia. Ed. Atsushi, Ota. Et al. First Edition. Jakarta-Kyoto-Taiwan: Wahid Institute-CSEAS-CAPAS
Nafis, Cholil M. Fikih Kebangsaan; Studi Historis dan Konseptual Perlindungan Kehidupan Beragama dalam Negara Bangsa. Jakarta: Mitra Abadi Press
Wahid, Abdurrahman, Ed. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Desantara Utama Media
Wasburn, Philo C. 1982. Political Sociology: Approaches, Concepts and Hypotheses. New Jersey: Prentice-Hall
Zada, Khamami, 2002. Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju
https://khabarislam.wordpress.com/2009/05/29/29-05-09-video-manifes-to-hizbut-tahrir-untuk-indonesia-tyasno-sudarto-manifesto-hti-layak-untuk-indonesia/, diakses pada 25/02/15, pukul 08:56
http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir.or.id)., diakses pada 23/02/15, pukul 09:45
http://hizbut-tahrir.or.id/2015/02/23/sekitar-600-siswa-siswi-tegal-ber-tekad-jadi-muslim-sejati/, diakses pada 25/02/15, pukul 20:18
http://www.gemapembebasan.or.id/, diakses pada 22/02/15, Pukul 09.35
Fitzpatrick, Tony. “Seeming Contradiction: Pariamentary and Extra-Parliamentary Politics of Opposition”, http://www.psa.ac.uk-/cps/1995, diakses pada 25/02/15, pukul 22:29