erosi pada berbagai penggunaan lahan di das...

21
EROSI PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CITARUM SOIL LOSS AS AFFECTED BY DIFFERENT LAND USES IN CITARUM RIVER BASIN, WEST JAVA S. Sutono, S. H. Tala’ohu, O. Sopandi, dan F. Agus Balai Penelitian Tanah, Bogor ABSTRAK Lahan sawah mempunyai banyak fungsi, termasuk diantaranya fungsi produksi, dan lingkungan. Penelitian bertujuan untuk menduga besarnya erosi pada lahan pertanian di daerah aliran sungai Citarum serta menduga besarnya biaya pengganti (replacement cost method/RCM) pengamanan erosi jika luas lahan sawah berkurang. Pendugaan erosi menggunakan metode universal soil loss equation (USLE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa erosi pada lahan sawah lebih rendah dibandingkan dengan tegalan, kebun campuran, kebun teh, kebun karet, dan hampir sama dengan tingkat erosi hutan. Erosi paling tinggi terjadi pada lahan tegalan. Lahan sawah erosinya berkisar antara 0,33 t/ha/tahun dan 1,45 t/ha/tahun. Seluruh replacement cost untuk Citarum pada tahun 2000 sebesar Rp. 18,6 milyar. Jumlah ini adalah perkiraan investasi yang harus dikorbankan untuk penanganan sedimen apabila sawah yang ada sekarang di Citarum mengalami konversi. ABSTRACT Paddy field has many functions including production and environtmental functions. This research aimed to predict erosion various land uses in Citarum watershed and to valuate using replacement cost method erosion control function of paddy field. Amount of annual soil loss was predicted using the USLE. The result showed that paddy field erosion was lower than erosion from annual upland, mixed garden, tea and rubber plantation and comparable to that of forest area. The highest erosion was from upland planted to annual crops. Erosion from paddy field in Citarum catchment ranged from 0.33 t ha -1 year -1 to 1.45 t ha -1 year -1 . Total replacement cost of erosion mitigation function of paddy field in Citarum watershed in 2000 was Rp. 18.6 billion. This amount is an approximate of investment needed to secure sediment resulted from erosion if the current paddy fields are converted. 113 ISBN 979-9474-20-5 Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Penyunting: Undang Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto

Upload: vuongcong

Post on 08-May-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian

EROSI PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CITARUM

SOIL LOSS AS AFFECTED BY DIFFERENT LAND USES IN CITARUM RIVER BASIN, WEST JAVA

S. Sutono, S. H. Tala’ohu, O. Sopandi, dan F. Agus

Balai Penelitian Tanah, Bogor

ABSTRAK

Lahan sawah mempunyai banyak fungsi, termasuk diantaranya fungsi produksi, dan lingkungan. Penelitian bertujuan untuk menduga besarnya erosi pada lahan pertanian di daerah aliran sungai Citarum serta menduga besarnya biaya pengganti (replacement cost method/RCM) pengamanan erosi jika luas lahan sawah berkurang. Pendugaan erosi menggunakan metode universal soil loss equation (USLE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa erosi pada lahan sawah lebih rendah dibandingkan dengan tegalan, kebun campuran, kebun teh, kebun karet, dan hampir sama dengan tingkat erosi hutan. Erosi paling tinggi terjadi pada lahan tegalan. Lahan sawah erosinya berkisar antara 0,33 t/ha/tahun dan 1,45 t/ha/tahun. Seluruh replacement cost untuk Citarum pada tahun 2000 sebesar Rp. 18,6 milyar. Jumlah ini adalah perkiraan investasi yang harus dikorbankan untuk penanganan sedimen apabila sawah yang ada sekarang di Citarum mengalami konversi.

ABSTRACT

Paddy field has many functions including production and environtmental functions. This research aimed to predict erosion various land uses in Citarum watershed and to valuate using replacement cost method erosion control function of paddy field. Amount of annual soil loss was predicted using the USLE. The result showed that paddy field erosion was lower than erosion from annual upland, mixed garden, tea and rubber plantation and comparable to that of forest area. The highest erosion was from upland planted to annual crops. Erosion from paddy field in Citarum catchment ranged from 0.33 t ha-1 year-1 to 1.45 t ha-1 year-1. Total replacement cost of erosion mitigation function of paddy field in Citarum watershed in 2000 was Rp. 18.6 billion. This amount is an approximate of investment needed to secure sediment resulted from erosion if the current paddy fields are converted.

113ISBN 979-9474-20-5

Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan PertanianPenyunting: Undang Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto

Sutono et al.

PENDAHULUAN

Komponen penyusun suatu daerah aliran sungai (DAS) terdiri atas lahan basah (termasuk rawa dan sawah) dan lahan kering. Kondisi lahan sawah dengan sistem teras, berfungsi sebagai: 1) pengendali banjir, 2) pengendali erosi dan longsor, 3) memelihara sumber daya air tanah, dan 4) menjaga kestabilan temperatur udara agar tetap rendah (Nishio, 1999). Selain itu lahan sawah juga berfungsi untuk penyedia pangan nasional, pemelihara keseimbangan hidro-orologis, konservasi tanah dan air serta sebagai objek pariwisata.

Prediksi penelitian kehilangan tanah yang disebabkan oleh erosi pada lahan kering telah banyak dilakukan dan hasilnya telah banyak dipublikasikan, salah satunya adalah prediksi erosi menggunakan rumus universal soil loss equation/USLE (Wischmeier and Smith, 1960). USLE lebih banyak digunakan untuk memperkirakan erosi pada lahan kering karena lebih mudah dan operasional. Sebaliknya studi tentang prediksi besarnya erosi pada lahan sawah belum banyak dipelajari dan dipublikasikan.

Kehilangan tanah pada lahan sawah terhambat karena adanya bidang olah yang datar dan pematang, namun erosi tetap terjadi terutama pada saat pengolahan tanah. Partikel tanah terangkut ke luar petakan sawah bersamaan dengan mengalirnya air pada saat pekerjaan pelumpuran tanah dan penyiangan. Erosi yang terjadi pada lahan sawah sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang sedang dilaksanakan petani di lahan sawah. Pengolahan tanah kedua dengan kegiatan utama pelumpuran merupakan saat kritis untuk terjadinya erosi dibandingkan dengan kegiatan lainnya (Sutono et al., 2001), sedangkan pada pengolahan tanah pertama dengan kegiatan utama pembajakan atau pencangkulan tidak terjadi aliran air karena pekerjaan tersebut dilakukan dalam kondisi macak-macak. Kejadian ini menunjukkan bahwa erosi pada lahan sawah lebih disebabkan oleh kegiatan pengolahan tanah, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh hujan pada saat tanaman masih kecil dan permukaan tanah tidak digenangi air.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga besarnya kehilangan tanah akibat erosi pada lahan sawah dan lahan kering di daerah aliran sungai (DAS) Citarum, Jawa Barat, dan menduga besarnya biaya pengganti (replacement cost) apabila lahan sawah dialihfungsikan untuk penggunaan lain.

BAHAN DAN METODE Lokasi dan waktu

Penelitian dilakukan di DAS Citarum, Jawa Barat dari bulan Maret sampai Juli 2002. Lokasi pengamatan tersebar dari daerah hulu sampai hilir aliran sungai Citarum.

114

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

Daerah penelitian DAS Citarum dibagi menjadi daerah tangkapan air (DTA) bendungan Saguling, Cirata, Jatiluhur, dan daerah hilir yang berada di bagian hilir waduk Jatiluhur.

Bahan

Bahan yang dibutuhkan adalah peta penggunaan lahan untuk mengetahui penggunaan dan penutupan lahan, serta peta topografi untuk mengetahui kemiringan lahan dan membuat peta kelas lereng. Pengambilan contoh tanah utuh dilakukan pada berbagai tipe penggunaan lahan untuk keperluan analisis sifat fisik tanah, sedangkan sebagian sifat tanah diperoleh dari hasil survei DAS Citarum tahun 1976 - 1981.

Metode

Untuk keperluan prediksi erosi metode USLE dibutuhkan data indeks erosivitas hujan (R), faktor erodibilitas tanah (K), faktor panjang dan kemiringan lahan (LS), faktor penutupan vegetasi (C), dan faktor tindakan konservasi tanah (P).

Indeks erosivitas hujan (R)

Indeks erosivitas hujan (R) yang digunakan adalah EI30 karena berkorelasi positif dengan erosi pada beberapa tempat di Jawa. EI30 merupakan perkalian antara energi kinetik hujan (E) dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit (Wischmeier et al., 1958). EI30 dapat diduga diantaranya menggunakan rumus Bols (1978) untuk memperoleh erosivitas hujan tahunan dalam hubungannya dengan erosi alur dalam jangka lama dari lahan berlereng antara 3-20%. Rumus pendugaan EI30 menurut Bols (1978) yang digunakan adalah:

EI30 = 6,119 (R)1,21(H)-0,47(RM)0,53

Dimana :

EI30 = indeks erosivitas hujan bulanan rata-rata

R = curah hujan rata-rata bulanan (cm)

H = jumlah hari hujan rata-rata bulanan (hari)

RM = curah hujan maksimum 24 jam bulanan (cm)

Agar EI30 dapat dihitung sesuai dengan rumus di atas, diperlukan curah hujan harian dari stasiun-stasiun yang berada dalam wilayah DAS Citarum.

115

Sutono et al.

Faktor erodibilitas tanah (K)

Erodibilitas tanah (K) adalah kepekaan tanah terhadap erosi. Erodibilitas tanah dapat diduga dengan menggunakan nomograf (Gambar 1) (Wischmeier et al., 1971). Sifat-sifat tanah yang menentukan besarnya nilai K berdasarkan nomograf tersebut adalah: (1) persen kandungan debu dan pasir halus, (2) persen kandungan pasir, (3) persen kandungan bahan organik, (4) struktur tanah, dan (5) permeabilitas tanah. Untuk itu diperlukan angka hasil penetapan sifat-sifat tanah seperti tekstur dengan 4 fraksi (pasir kasar, pasir halus, debu, dan liat) dan bahan organik tanah, sedangkan struktur dan permeabilitas ditetapkan berdasarkan hasil pengamatan pada profil tanah.

Gambar 1. Nomograf untuk menentukan besarnya faktor K (Wischmeier et al., 1971)

Faktor panjang dan kemiringan lahan (LS)

Faktor panjang dan kemiringan lahan (LS) dihitung dengan menggunakan rumus Morgan (1979), berikut:

LS = √L (1,38 + 0,965 S + 0,138 S2)

100 Dimana:

LS = faktor panjang dan kemiringan lahan L = panjang lereng (m) S = persen kemiringan lahan

116

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

Panjang lereng yang diambil untuk menilai faktor L adalah 22,1 m dengan nilai L= 1 (Wischmeier and Smith, 1978). Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran panjang lereng, oleh karena itu faktor panjang lereng dianggap sama dengan nilai L = 1. Persen kemiringan lereng (S) diambil dari kelas kemiringan lereng.

Faktor penutupan vegetasi dan pengelolaan tanaman (C)

Faktor penutupan vegetasi dan pengelolaan tanaman (C) untuk pertanaman tunggal dan berbagai pola tanam tanaman pangan disajikan pada Tabel Lampiran 1 (Abdurachman et al., 1984; NWMCP, 1998). Menurut Kurnia et al. (1988), faktor C untuk alang-alang dan perkebunan adalah 0,04, sawah dan hutan sejenis/belukar 0,01, dan hutan lebat 0,001. Nilai C untuk kebun karet berumur lima tahun atau lebih dengan penutupan tanah (cover crop) yang rapat dan tebal, ditetapkan sebesar 0,15, dan untuk teh sebesar 0,35.

Peta penggunaan lahan diperlukan untuk mengetahui penyebaran berbagai tipe penggunaan lahan dan sebagai peta bantu untuk memprediksi nilai faktor pertanaman (C).

Faktor tindakan konservasi tanah (P)

Faktor tindakan konservasi tanah (P) adalah jumlah erosi yang terjadi pada lahan yang telah dilakukan tindakan konservasi tanah dibandingkan dengan erosi yang terjadi pada lahan tanpa tanaman tanpa tindakan konservasi tanah. Tindakan konservasi tanah yang biasa dilakukan petani adalah teras bangku (Tabel Lampiran 2), baik yang telah diperkuat rumput ataupun yang belum. Dalam hal tindakan konservasi tanah tidak bisa dipisahkan dengan faktor pertanaman, maka digunakan nilai CP (Tabel Lampiran 3). Dalam penelitian ini faktor P dan CP sukar dibatasi dalam peta karena terlalu kecil, sehingga kedua faktor ini belum digunakan dalam perhitungan pendugaan erosi.

Erosi

Untuk menghitung besarnya erosi digunakan rumus USLE (Wischmeier dan Smith, 1960), sebagai berikut:

A = R*K*L*S*C*P Dimana:

A = estimasi jumlah erosi (t/ha/tahun) R = indeks erosivitas hujan K = faktor erodibilitas tanah L = faktor panjang lereng S = faktor kemiringan lahan C = faktor penutupan tanah P = faktor pengelolaan tanah

117

Sutono et al.

Fungsi sawah dalam pencegahan erosi

Jumlah erosi yang terjadi pada lahan sawah diduga tidak lebih besar dari lahan hutan, sebab erosi pada lahan sawah lebih disebabkan oleh adanya aktivitas pengolahan tanah ketika akan menanam dan tidak selalu bergantung kepada kejadian hujan. Erosi dapat terjadi kapan saja yang berhubungan dengan aktivitas di sawah sehingga menyebabkan terbongkarnya lumpur menjadi koloid yang mudah terbawa aliran air irigasi. Namun untuk memperoleh estimasi erosi yang terjadi pada lahan sawah masih digunakan rumus USLE dengan menganggap permukaan air irigasi sebagai penutup tanah. Jika telah banyak diperoleh hasil pengamatan erosi pada lahan sawah, rumus USLE hendaknya tidak digunakan lagi. Estimasi erosi pada lahan sawah dihitung berdasarkan rumus:

Epf = (Eps1 + Eps2 + ….Epsn)/n

Dimana:

Epf = estimasi erosi pada lahan sawah (m3/ha/tahun) Eps1 = hasil prediksi erosi lahan sawah lokasi pertama (m3/ha/tahun) Eps2-n = hasil prediksi erosi lahan sawah lokasi ke dua sampai ke n (m3/ha/tahun) n = jumlah pengamatan

Rata-rata tertimbang erosi (Eu) yang terjadi pada lahan nonsawah adalah hasil prediksi erosi pada lahan kering bukan hutan yang dihitung dengan cara:

Eu = {(Etg*Atg)+(Ekc*Akc)+(Esb*Asb)+(Epi*Api)+(Epk*Apk}/{Atg+Akc+Asb+Api+Apk}

Dimana:

Eu = erosi (m3/ha) A = luas lahan (ha) tg = lahan tegalan kc = lahan kebun campuran dan permukiman sb = lahan semak belukar pi = daerah permukiman dan industri pk = perkebunan

Luas lahan sawah (A) diperoleh dari data luas lahan berdasarkan peta penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan dalam penelitian ini merupakan hasil interpretasi citra landsat yang hasilnya disajikan oleh Wahyunto et al. (2003) dalam prosiding ini.

118

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

Biaya pengganti (replacement cost)

Biaya pembuatan dam atau bangunan lain yang mempunyai fungsi sebagai penerima tanah tererosi adalah faktor c (cost). Untuk DAS Citarum terdapat tiga buah bendungan yaitu Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Biaya pembangunan bendungan tersebut adalah faktor c untuk masing-masing daerah tangkapan air waduk, sedangkan untuk erosi yang terjadi di Citarum hilir faktor c -nya merupakan rata-rata dari ketiga biaya pembangunan dam tersebut.

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka untuk mengetahui fungsi lahan sawah dalam mencegah terjadinya erosi dilakukan perhitungan biaya pengganti jika lahan sawah berubah fungsi menjadi penggunaan nonsawah selain hutan. Hasil perhitungan tersebut diperoleh dari rumus Agus et al. (2002):

RcE = (Eu – Ept) * A * SDR * c

Dimana: RcE = replacement cost fungsi sawah dalam mencegah erosi Eu = rata-rata tertimbang erosi dari lahan kering/nonsawah (m3/ha/tahun) Ept = estimasi erosi pada lahan sawah (m3/ha/tahun) A = luas areal sawah (ha) SDR = sediment delivery ratio, dengan asumsi setara 0,1 c = biaya pembuatan dam setiap unit timbunan sedimen (Rp/m3).

Asumsi rasio perubahan penggunaan lahan

Perubahan penggunaan lahan akan menyebabkan perubahan jumlah tanah tererosi, oleh karena itu perlu ditentukan asumsi setiap perubahan lahan. Berdasarkan penelitian di DAS Citarik hulu, sejak tahun 1969 sampai 2000 telah terjadi perubahan penggunaan lahan. Lahan sawah berubah menjadi tegalan seluas 705 ha, sehingga luas lahan tegalan bertambah. Penyusutan lahan sawah sejak tahun 1991 sampai 2000 mencapai 787 hektar (3%), atau penyusutannya mencapai 87,4 ha/tahun (0,3%/tahun) (Wahyunto et al., 2001).

Berdasarkan penggunaan lahan pada tahun 1969 dan tahun 2000 di DAS Citarik Hulu dihitung asumsi rasio untuk setiap daerah tangkapan air, dengan cara:

APL = [(L1969 – L2000)/LCH*100]/31 Dimana: APL = asumsi perubahan lahan L1969 = luas penggunaan lahan pada tahun 1969 L2000 = luas penggunaan lahan pada tahun 2000 LCH = luas seluruh Sub DAS Citarik Hulu

119

Sutono et al.

Asumsi perubahan lahan lebih ditujukan pada perubahan luasan penggunaan lahan (Tabel 1).

Tabel 1. Asumsi rasio perubahan penggunaan lahan di DAS Citarum per tahun DTA Penggunaan lahan Saguling Cirata Jatiluhur Cit. Hilir

Rata-rata Citarum

Tambak/mangrove 0 0 0 -0,02 -0,02 Waduk 0 0 0 0 0 Hutan lindung 0 0 0 0 0 Hutan -0,24 -0,30 -0,20 -0,24 -0,25 Sawah -0,05 -0,07 -0,04 -0,06 -0,06 Perkebunan the 0 -0,02 0 0 -0,02 Perkebunan karet 0 -0,05 -0,02 -0,08 -0,04 Tegalan +0,20 +0,20 +0,20 +0,08 +0,17 Kebun campuran/permukiman

+0,15 +0,12 +0,20 +0,17 +0,16

Permukiman/industri +0,14 +0,14 +0,15 +0,14 +0,14 Semak, belukar, tegalan -0,42 -0,46 -0,30 -0,65 -0,46

Keterangan: + menunjukkan ada penambahan dan – menunjukkan adanya pengurangan luas penggunaan lahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor erosi USLE

Erosivitas hujan

Hasil perhitungan besarnya EI30 menggunakan rumus Bols (1978) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1984 – 1995 berkisar antara 690 –1.429 unit di daerah tangkapan air (DTA) Saguling, lebih rendah dibandingkan dengan DTA Cirata 1.388 – 1.912 unit, dan DTA Jatilihur dan sekitarnya 1577 – 2423 unit.

Tabel 2. Besarnya erosivitas (EI30) di DAS Citarum

DTA Saguling DTA Cirata DTA Jatiluhur Stasiun EI30 Stasiun EI30 Stasiun EI30

Cicalengka 820 Cikundul 1864 Purwakarta 2023 Paseh 1421 Cimeta 1684 Sadang 1969 Cililin 839 Cibalagung 1860 Cisomang 1886 Chinchona 985 Cisokan 1912 Cikaobandung 1649 Montaya 1429 Cirata 1655 Darangdan 2423 Cisondari 1240 Janggari 1388 Cibukamanah 1731 Ciparay 1137 Cipicung 1476 Wanayasa 1693 Bandung 1304 Cinangka 1643 Ujungberung 885 Dawuan 1685 Sukawana 690 Ciracas 1577 Saguling 690

120

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

Stasiun Montaya yang berada di DTA Saguling mempunyai nilai EI30 terbesar yakni 1.429 unit, stasiun Cisokan di DTA Cirata sebesar 1912 unit, dan stasiun Darangdan sebesar 2.423 unit (Tabel 2). Makin ke utara jumlah EI30 per tahun makin besar sejalan dengan makin besarnya curah hujan tahunan.

Erodibilitas dan penutupan tanah

Daerah permukiman di DTA Saguling mempunyai erodibilitas terendah (0,10 unit) dan tertinggi pada lahan sawah (0,26 unit). Daerah permukiman menempati areal yang lebih ideal untuk pertanian, karena sebagian besar merupakan bekas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi permukiman. Menurut Wahyunto et al.(2001), alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian di Sub DAS Citarik hulu mencapai 0,3%/tahun, dan permukiman perkotaan berkembang rata-rata 4,5%/tahun.

Erodibilitas tanah DTA Cirata terendah 0,09 unit dengan penggunaan lahan kebun campur, dan tertinggi sebesar 0,35 unit pada areal semak belukar. Di DTA Jatiluhur terendah 0,05 unit pada perkebunan karet, dan tertinggi di daerah permukiman sebesar 0,38 unit (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa kebun campuran dan kebun karet menempati lahan yang mempunyai sifat tanah rata-rata lebih ideal untuk lahan pertanian dibandingkan dengan penggunaan lain.

Tabel 3. Rata-rata faktor-faktor erosi K, LS, dan C pada berbagai tipe penggunaan lahan DAS Citarum

K LS Pengguna-an lahan DTS DTC DTJ DHC DTS DTC DTJ DHC

C

H 0,20 0,19 0,16 0,24 0,68 0,73 0,45 0,62 0,001 Kc 0,13 0,09 0,23 0,17 0,40 0,49 0,26 0,31 0,200 Kr 0 0,12 0,05 0,25 - 0,27 0,28 0,24 0,150 P 0,10 0,13 0,38 - 0,24 0,10 0,18 - 0,001 S 0,26 0,22 0,26 0,32 0,13 0,12 0,18 0,12 0,010 Sb 0,18 0,35 0,20 - 0,73 0,28 0,07 - 0,020 Tg 0,14 0,14 - - 0,46 0,48 - - 0,400 Th 0,12 0,14 0,05 0,14 0,51 0,34 0,22 0,22 0,350

Keterangan: H = Hutan, Kc = Kebun campuran, Kr = Karet, P = Permukiman, S = Sawah, Sb = Semak belukar, Tg = Tegalan, Th = Teh, DTS daerah tangkapan air dam Saguling, DTC = daerah tangkapan air dam Cirata, DTJ = daerah tangkapan air dam Jatiluhur, DHC = daerah hilir Citarum

- Tidak terukur

Kemiringan dan panjang lereng

Areal hutan yang berada di DTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur menempati daerah yang berlereng dengan faktor LS berkisar dari 0,45 unit sampai 0,73 unit. Areal hutan di DTA Cirata terutama membentang dari puncak sampai lereng tengah

121

Sutono et al.

G. Gede dan G. Pangrango di sekitar perbatasan Kabupaten Cianjur dengan Kabupaten Bogor dan Sukabumi.

Erosi pada berbagai penggunaan lahan

Lahan tegalan mempunyai tingkat erosi paling tinggi (22 – 61 t/ha/tahun) dibandingkan dengan penggunaan lainnya (Tabel 4). Di beberapa tempat, selain mempunyai kepekaan tanah yang tinggi, besarnya erosi juga disebabkan oleh pola tanam yang tidak menguntungkan dalam pengendalian erosi. Penutupan lahan mempunyai peran yang penting dalam mengendalikan erosi. Pengelolaan lahan tegalan yang selalu digunakan untuk tanaman semusim menjadi penyebab tingginya erosi.

Tabel 4. Rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum

DTA Penggunaan lahan Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Hilir

t/ha/tahun Hutan 0,13 0,24 0,14 0,24 Kebun campur 8,40 15,40 36,86 30,68 Karet 0 8,85 11,39 40,75 Permukiman 0,03 0,02 0,15 0,02 Sawah 0,33 0,40 1,45 1,13 Semak belukar 1,12 1,61 0,47 0,95 Tegalan 22,02 61,31 40,05 35,66 The 23,11 26,94 9,65 33,48

Kebun campuran dengan penutupan lahan oleh pepohonan yang jarang dan permukaan tanah dibiarkan terbuka juga merupakan penyebab erosi yang cukup besar setiap tahunnya (30 – 36 t/ha/tahun). Penggunaan lahan dengan pola kebun campuran cukup luas diseluruh DAS Citarum. Kebun campuran tersebut ada yang berada di dekat permukiman sebagai lahan pekarangan juga di daerah tegalan dengan tegakan pohon yang lebih rapat. Pola kebun campur merupakan penggunaan lahan yang lebih baik dibandingkan dengan tegalan.

Perkebunan karet umumnya menempati areal yang peka erosi, sehingga walaupun nilai penutupan lahannya cukup baik, di bagian hilir Citarum mempunyai tingkat erosi yang lebih tinggi, demikian juga dengan di DTA Saguling. Keadaan kebun karet sangat beragam, ada yang berumur kurang dari 3 tahun dengan tanaman penutup tanah baik, tetapi ada juga yang kondisi penutupannya sangat jelek. Untuk kondisi yang terakhir ini menyebabkan nilai erosi cukup tinggi.

Erosi yang terjadi pada lahan sawah lebih besar dibandingkan dengan lahan permukiman. Penilaian besarnya erosi pada lahan sawah mungkin kurang cocok jika menggunakan USLE, sebab erosi yang terjadi lebih disebabkan oleh kegiatan

122

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

pengolahan tanah. Namun untuk menunjukkan bahwa pada lahan sawahpun terjadi erosi, maka angka hasil pendugaan ini disajikan.

Di area permukimanpun terjadi erosi, terutama di tempat yang tidak terlindung dan di saluran pembuangan air. Di beberapa tempat karena permukiman yang padat dan hampir seluruh permukaan tanah terlindungi maka erosi pun sangat kecil. Di tempat lain yang perlindungan permukaan tanahnya masih kurang baik tetap terjadi erosi, terutama disebabkan oleh teknik pengaturan aliran permukaan yang kurang baik. Proses pemecahan partikel tanah oleh aliran permukaan yang dicurahkan dari atap-atap bangunan, akan menimbulkan erosi apabila tidak diatur dengan baik.

Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap erosi

Alih fungsi lahan terus berlangsung sesuai dengan kebutuhan, baik untuk mengembangkan permukiman ataupun untuk penggunaan lain. Bertambah luasnya daerah permukiman ada yang perlahan-lahan mengikuti perkembangan penduduk setempat, tetapi ada juga yang menetapkan suatu areal tertentu dijadikan permukiman oleh pengembang. Perubahan penggunaan lahan dari lahan sawah menjadi permukiman, dengan asumsi bahwa kepekaan tanahnya terhadap erosi tidak berubah, menyebabkan terjadinya penurunan jumlah erosi (Tabel 5).

Lahan sawah yang berubah menjadi kebun campuran dapat meningkatkan erosi sebesar 6 – 10 t/ha/tahun. Di beberapa tempat, erosi sebanyak itu masih dalam ambang batas erosi yang dapat dibiarkan. Lahan hutan yang berubah menjadi lahan kebun campuran, sawah, dan tegalan menyebabkan terjadi peningkatan erosi. Peningkatan erosi terbesar jika lahan hutan berubah menjadi tegalan tanpa penerapan tindakan konservasi tanah. Kasus ini terjadi terutama di sekitar Pangalengan, yaitu lahan hutan dijadikan lahan sayuran. Lahan hutan yang berubah menjadi kebun campuran meningkatkan erosi antara 4 – 10 t/ha/tahun, sedangkan yang menjadi lahan sawah meningkat 0,5 t/ha/tahun sampai dengan 4,2 t/ha/tahun.

Lahan sawah yang berubah peruntukannya menjadi permukiman akan menurunkan jumlah erosi, sedangkan yang berubah menjadi kebun campuran meningkatkan jumlah erosi menjadi 6 – 10 t/ha/tahun. Peningkatan jumlah erosi tersebut lebih disebabkan oleh menurunnya nilai penutupan lahan. Perubahan lahan sawah menjadi kebun campuran hanya merupakan kasus kecil yang kadang-kadang merupakan perubahan antara sebelum dijadikan permukiman. Namun, kalau seluruh lahan sawah berubah menjadi lahan kering kebun campuran atau penggunaan lahan selain permukiman, maka jumlah erosi dan sedimentasi di dasar bendungan lebih banyak berakibat kepada berkurangnya umur dam. Oleh karena itu, lahan sawah merupakan salah satu teknik konservasi tanah yang dapat melestarikan sumber daya lahan.

123

Sutono et al.

Tabel 5. Perubahan penggunaan lahan dan besarnya erosi hasil prediksi di daerah tangkapan air Saguling, Cirata dan Jatiluhur.

Penggunaan lahan Erosi Perubahan erosi 1976 2000 1976 2000 Perbedaan Keterangan

t/ha/tahun DTA SAGULING Hutan Kebun campuran 0,112 22,325 22,213 Naik Hutan Tegalan 0,305 106,701 106,396 Naik Hutan Sawah 0,056 0,555 0,500 Naik Kebun campuran Sawah 3,831 0,192 3,639 Turun Kebun campuran Hutan 13,411 0,067 13,344 Turun Kebun campuran Permukiman 4,009 0,020 3,989 Turun Sawah Permukiman 0,323 0,032 0,291 Turun Sawah Kebun campuran 0,345 6,907 6,562 Naik Semak belukar Tegalan 1,645 57,558 55,914 Naik Semak belukar Permukiman 0,955 0,096 0,860 Turun Semak belukar Sawah 0,754 0,754 0 Tegalan Kebun campuran 42,315 21,157 21,157 Turun DTA CIRATA Hutan Kebun campuran 0,044 28,780 28,736 Naik Hutan Sawah 0,144 4,351 4,207 Naik Kebun campuran Karet 5,874 4,405 1,468 Turun Karet Kebun campuran 14,901 19,869 4,967 Naik Karet Tegalan 10,381 24,221 13,481 Naik Karet Sawah 35,844 2,390 33,454 Turun Sawah Kebun campuran 0,519 10,378 9,859 Naik Semak belukar Sawah 1,608 1,608 0 The Semak belukar 23,243 0,539 22,704 Turun The Kebun campuran 52,103 29,773 22,330 Naik DTA JATILUHUR *) Hutan Kebun campuran 0,127 25,480 25,353 Naik Kebun campuran Semak belukar 57,413 2,871 54,542 Turun Sawah Permukiman 1,750 0,175 1,575 Turun The Karet 2,819 1,208 1,611 Turun

Keterangan: *) berdasarkan penggunaan lahan tahun 1980 dan 2000

Fungsi sawah dalam pelestarian lahan

Jumlah erosi yang terjadi pada lahan sawah lebih kecil dibandingkan dengan lahan kering. Lahan sawah merupakan salah satu ekosistem yang stabil, sehingga jumlah erosinyapun sangat kecil berkisar dari 0,3 – 1,5 t/ha/tahun (Gambar 2). Erosi pada lahan sawah lebih disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan sebelum tanam, terutama ketika pelumpuran sedang dilakukan. Besarnya erosi bergantung kepada

124

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

debit air yang ke luar dari petakan sawah dan berlangsung sampai beberapa jam kemudian setelah pelumpuran selesai. Pada kegiatan penanaman dan penyiangan, erosi yang terjadi tidak lebih banyak dibandingkan dengan saat pelumpuran (Sutono et al., 2001). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Tarigan dan Sinukaban (2001) bahwa konsentrasi sedimen yang terbawa aliran permukaan meningkat selama pengolahan tanah dan kemudian kembali ke normal setelah 200 menit.

0.

33

5.7

0.4

16.5

1.45

14.2

1.13

16.1

0

5

10

15

20

Eros

i (t/h

a/ta

hun)

Saguling Cirata Jatiluhur Citarum hilirDaerah tangkapan air

SawahLahan Kering

Gambar 2. Estimasi erosi pada lahan sawah dan lahan kering

Sedimen yang terangkut ketika pelumpuran lebih banyak dalam bentuk liat dibandingkan dengan debu (Sutono et al., 2001). Oleh karena itu makin tinggi kadar liat pada lapisan bidang olah lahan sawah, erosi yang terjadi akan menjadi lebih banyak. Partikel liat yang lebih halus dapat terangkut lebih jauh untuk kemudian mengendap di daerah-daerah cekungan seperti bendungan. Hal inilah yang menyebabkan erosi pada lahan sawah yang berada di DTA Jatiluhur dan Citarum hilir lebih tinggi dibandingkan dengan DTA Saguling dan Cirata (Gambar 2).

Kontribusi sedimen dari lahan sawah terhadap konsentrasi sedimen di dalam aliran sungai yang kemudian mengendap di dasar waduk dari tahun ke tahun nilainya lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata tertimbang dari lahan kering bukan hutan (Tabel 6). Kontribusi dari lahan kering di DTA Saguling paling rendah (5,7 t/ha/tahun) karena sifat-sifat tanah tidak mendukung untuk terjadinya erosi. Namun jumlah tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan perubahan peruntukan lahan.

125

Sutono et al.

Tabel 6. Prediksi perubahan luas lahan di DAS Citarum

Prediksi luas lahan dan erosi Parameter Satuan 2000 2025 2050

Saguling Luas lahan sawah ha 76.178 75.226 74.285 Erosi pada lahan sawah t/ha/tahun 0,33 0,33 0,33 Luas lahan kering bukan hutan ha 118.305 122.690 127.287 Erosi pada lahan kering bukan hutan t/ha/tahun 5,7 5,9 6,1 Cirata Luas lahan sawah ha 39.996 39.296 38.608 Erosi pada lahan sawah t/ha/tahun 0,40 0,4 0,4 Luas lahan kering bukan hutan ha 105.648 106.614 107.936 Erosi pada lahan kering bukan hutan t/ha/tahun 16,5 17,1 17,8 Jatiluhur Luas lahan sawah ha 5.666 5.609 5.553 Erosi pada lahan sawah t/ha/tahun 1,45 1,45 1,45 Luas lahan kering bukan hutan ha 27.040 27.057 27.169 Erosi pada lahan kering bukan hutan t/ha/tahun 14,2 14,9 15,6 Citarum hilir Luas lahan sawah ha 78.145 76.973 75.818 Erosi pada lahan sawah t/ha/tahun 1,13 1,13 1,13 Luas lahan kering bukan hutan ha 27.040 186.720 189.134 Erosi pada lahan kering bukan hutan t/ha/tahun 16,1 16,6 17,1

Besarnya biaya pengganti (replacement cost)

Lahan sawah yang ada sekarang diperkirakan akan berkurang dari tahun ke tahun, tetapi tidak sampai menghabiskan lahan sawah. Petani di DAS Citarum mempunyai keterikatan yang kuat dengan lahan sawahnya, walaupun kepemilikannya terfragmentasi dan makin sempit untuk setiap petani namun pemerintah telah melarang perubahan penggunaan lahan dari sawah irigasi teknis ke penggunaan lain (Widjanarko et al., 2001). Perubahan luas lahan sawah akan berpengaruh terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan bendungan, saluran air, dan situ-situ penampung air. Oleh karena itu, sawah mempunyai banyak fungsi, selain sebagai fungsi produksi, juga berfungsi sebagai penyelamat lingkungan dan memperpanjang usia bendungan. Sawah lebih mampu mengurangi sedimentasi bendungan karena erosinya lebih kecil dibandingkan lahan tegalan.

126

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

Untuk mengetahui sejauh mana lahan sawah dapat menguntungkan jika tetap dipertahankan, maka perlu dihitung berapa biaya yang harus dikeluarkan jika sawah berubah menjadi penggunaan lainnya. Bendungan dibuat untuk menampung air bukan untuk menampung sedimen, tetapi karena erosi dan sedimentasi maka volume air berkurang. Biaya pembuatan bendungan untuk setiap 1 m3 air sebesar Rp 58.000 (DTA Cirata) dan Rp 98.000 di DTA Jatiluhur dan Saguling, sedangkan Citarum hilir diperkirakan Rp. 87.000,- (Gambar 3). Biaya tersebut sama dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti kehilangan 1 m3 air sebagai akibat sedimentasi bendungan dengan volume yang sama.

97700

58100

97900

87000

0

50000

100000

Bia

ya p

er m

3 se

dim

en (R

p)

Saguling Cirata Jatiluhur Citarum hilir

Daerah tangkapan air

Gambar 3. Biaya per meter kubik sedimen di DAS Citarum

Biaya pengganti/replacement cost (RC) yang harus dikeluarkan karena terjadi peningkatan erosi sebagai akibat semakin sempitnya lahan sawah masih cukup tinggi (Tabel 7). Hasil perhitungan selengkapnya disajikan pada Tabel Lampiran 4. Biaya pembangunan waduk dihitung dalam US$, tetapi untuk biaya pengganti dihitung dalam rupiah dengan kurs US$ 1 = Rp. 8.000 sesuai dengan asumsi kurs APBN tahun 2002. Besarnya biaya pengganti ini menunjukkan bahwa lahan sawah mempunyai fungsi dalam pelestarian sumber daya lahan. Berkurangnya luas lahan sawah mengakibatkan biaya pemeliharaan bendungan, pengerukan alur sungai, dan pemeliharaan saluran irigasi diperkirakan akan makin tinggi.

127

Sutono et al.

Tabel 7. Biaya pengganti (RC) untuk kehilangan 6 % luas sawah di DAS Citarum

RC erosi pada tahun DTA

2000 2025 2050

Rp

Saguling

Cirata

Jatiluhur

Citarum hilir

3.996.400.226

3.738.418.444

707.263.513

10.179.435.404

4.0093.426.424

3.970.059.604

746.093.666

10.519.429.906

4.187.402.528

4.231.457.870

784.923.820

10.859.424.409

DAS Citarum 18.621.517.586 19.329.009.600 20.063.208.627

Biaya pengganti yang harus dikeluarkan pada tahun 2000 sebesar Rp. 18,6 milyar rupiah, bertambah sebesar Rp 28,3 juta/tahun sampai tahun 2025, serta bertambah sebesar Rp 57,7 juta/tahun setelah tahun 2025 (Tabel 7). Peningkatan biaya pengganti ini sejalan dengan berkurangnya lahan sawah sebesar 6% /tahun sejak tahun 2000. Tetapi juga tidak tertutup kemungkinan penambahan biaya pengganti tersebut disebabkan oleh meningkatnya erosi yang terjadi pada lahan kering dengan vegetasi hutan. Ekosistem lahan kering merupakan ekosistem yang tidak stabil, mudah sekali berubah sesuai dengan berubahnya lingkungan dibandingkan dengan ekosistem hutan dan sawah. Oleh karena itu, erosi dari lahan kering perlu ditanggulangi dan dikendalikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Lahan sawah sebagai lahan pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan dengan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi lahan sawah lebih rendah (0,3 – 1,5 t/ha/tahun) dibandingkan dengan lahan kering (5,7 – 16,5 t/ha/tahun).

2. Erosi terjadi pada setiap penggunaan lahan, terendah adalah pada lahan hutan, diikuti oleh sawah, semak belukar, kebun karet, kebun teh, kebun campuran, dan tegalan.

3. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan tingkat erosi. Peningkatan erosi diduga terjadi pada lahan kebun campuran yang semula berupa lahan sawah serta lahan hutan yang dijadikan lahan pertanian. Sebaliknya terjadi penurunan jumlah erosi apabila kebun campuran dan karet dijadikan lahan sawah.

128

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

4. Biaya pengganti (biaya yang harus dikeluarkan untuk menggantikan fungsi sawah sebagai penahan erosi) sebagai akibat berkurangnya areal lahan sawah, bertambah setiap tahunnya sesuai dengan jumlah areal yang beralih fungsi ke penggunaan lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., S. Abujamin, dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan tanah dan tanaman untuk usaha konservasi tanah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 3: 7-12.

Agus, F., R.L. Watung, H. Suganda, S.H. Tala’ohu, S. Sutono, dan R. Nurmanaf. 2002. Multifunctionality and sustainability of agriculture in Citarum river basin, West Java. Prog. Report. Second Experts Meeting of the ASEAN-Japan on Multifunctionality of Paddy Farming and its Effects in ASEAN member countries. 7 – 9 August 2002, Hanoi, Vietnam. (Unpublished)

Bols, P. 1978. The Iso-erodent Map of Java and Madura. Report on Belgian Technical Assistance Project ATA 105. SRI Bogor. 39p.

Kurnia, U., Sutono, dan H. Suwardjo. 1988. Penilaian potensi bahaya erosi di P. Muna dan P. Buton, Sulawesi Tenggara. hlm. 79-93 dalam Prosiding Lokakarya Pemanfaatan Hasil Pemetaan Tanah untuk Perencanaan Pembangunan Wilayah Menunjang Gerakan Desa Makmur Merata di Sulawesi Tenggara. Kendari, 17-19 Juli 1986. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

Morgan, R.P.C. 1979. Soil Erosion. Longman London and New York. National Watershed Management and Conservation Project (NWMCP). 1998. The

Use of The Universal Soil Loss Equation in the RTL Process. Technical Report No. 30 DHV Consultants BV Amersfoort, the Netherland – PT Mapalus Menggala Engineering. Bandung, Indonesia. (Unpublished)

Nishio, M. 1999. Multifunctional character of paddy farming. Annex 7 in Proceedings The Second Group Meeting on Inter Change of Agricultural Technology Information between Asean Member Countries and Japan. Jakarta 16-17 February, 1999. ASEAN Secretariat-Jakarta.

Sutono, S., H. Kusnadi, dan M. S. Djunaedi. 2001. Pendugaan erosi pada lahan sawah dan lahan kering sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. hlm. 79-92 dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, bekerjasama dengan MAAF Jepang dan Sekretariat ASEAN.

Tarigan, S.D. dan N. Sinukaban. 2001. Peran sawah sebagai filter sedimen, studi kasus di DAS Way Besai, Lampung. hlm. 29-37 dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. ASEAN Secretariat – MAFF Japan – Puslitbang Tanah dan Agroklimat.

129

Sutono et al.

Wahyunto, H. Sastramihardja. W. Supriatna, W. Wahdini, dan Soenaryo, 2003. Potensi kerawanan longsor pada wilayah lahan pertanian di daerah aliran sungai Citarum, Jawa Barat. hlm. 101 – 114 dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Wahyunto, M. Z. Abidin, A. Priyono, dan Sunaryo. 2001. Studi perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. hlm. 39 - 63 dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Widjanarko, B.S., M. Pakpahan, B. Rahardjono, dan P. Suweken. 2001. Aspek pertanahan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian (sawah). hlm. 19-28 dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Wischmeier, W.H., and D.D. Smith, 1960. A Universal Soil Loss Equation to Guide Conservation Farm Planning. 7th Int. Congr. Soil Sci 1:418-425.

Wischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting rainfal erosion losses, A guide to conservation planning. USDA. Agric. Handbook. 537. Washington DC.

Wischmeier, W.H., C.B. Johnson, and B.V. Cros. 1971. A soil erodibility nomograph for farmland and construction sites. J. Soil and Water Conservation. Sept. – Oct. p.189-193.

Wischmeier, W.H., D.D. Smith, and R.E. Uhland. 1958. Evaluation of factors in the Soil Loss Equation. Agr. Eng. St.Joseph. Mich. 39:458-462 and 474.

130

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

Tabel Lampiran 1. Faktor pertanaman (C) pada pertanaman tunggal

No Jenis tanaman Abdurachman et al. (1984)

NWMCP (1998)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.

Brachiaria decumben tahun I Brachiaria decumben tahun II Kacang jogo Sorgum Ubi kayu Kedelai Serai wangi Kacang tanah Padi gogo Jagung Padi sawah Pisang (jarang dan monokultur) Tanah kosong tidak diolah Hutan tak terganggu, sedikit serasah Hutan tak terganggu, banyak serasah Semak tak terganggu Alang-alang permanen Alang-alang dibakar 1 kali Pohon reboisasi tahun kesatu Pohon reboisasi tahun kedua Ubi kayu + kedelai Ubi kayu + kacang tanah Padi gogo + kedelai Kacang tanah + gude Kacang tanah + kacang tunggak Pola tanam berurutan Pola tanam tumpang gilir Kacang tanah – kacang hijau Padi gogo – jagung Jagung+padi gogo+ubi kayu-kedelai/kacang tanah Kebun campuran (rapat) Kebun campuran: ubi kayu + kedelai Kebun campuran, kacang gude + kacang tanah Karet dengan cover crop baik dan tebal Teh Padi gogo + sorgum Padi gogo – kedelai Padi gogo – kacang gude Padi gogo – kacang tunggak Jagung – ubi jalar

0,287 0,002 0,161 0,242 0,363 0,399 0,434 0,452 0,561 0,637

- - - - - - - - - -

0,181 0,195 0,417 0,495 0,571 0,496 0,588

- - - - - - - - - - -

0,29 0,02

- 0,35

0,7 0,4

0,45 0,4

0,53 0,64 0,01

0,5 0,95

0,005 0,001 0,01 0,02

0,1 0,32

0,1 0,3

0,26 0,55 0,40

- - -

0,45 0,5

0,35 0,1 0,2 0,4

0,15 0,35

0,3 0,55 0,45 0,50 0,40

131

Sutono et al.

Tabel Lampiran 2. Faktor tindakan konservasi tanah (P)

No Tindakan konservasi tanah Abdurachman et al., 1984

NWMCP 1998

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Teras bangku Teras bangku sempurna Teras bangku sedang Teras bangku jelek Teras tradisional Teras gulud, baik Saluran peresapan, rorak Strip rumput permanen, baik rapat Strip rumput permanen, jelek Strip Crotalaria usaramuensis

0,037 0,004 0,015 0,350 0,400

- - - - -

- 0,04 0,15 0,40 0,35 0,15 0,30 0,04 0,40 0,50

Tabel Lampiran 3. Faktor pertanaman dan konservasi tanah (CP)

No Pertanaman/tindakan konservasi tanah Nilai CP

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13.

Padi + mulsa jerami 4 t/ha Kacang tanah + mulsa jerami 4 t/ha Kacang tanah + mulsa jagung 4 t/ha Kacang tanah + mulsa kacang tanah Kacang tanah + mulsa Crotalaria 3 t/ha Kacang tanah + mulsa jerami Jagung + padi gogo + ubi kayu (pola tanam tumpang gilir) Padi – jagung – kacang tanah (pola tanam berurutan) Teras bangku: jagung + ubi kayu -/- kedelai Teras bangku: sorgum – sorgum Teras bangku: kacang tanah – kacang tanah Teras bangku: jagung + mulsa jerami 4 t/ha Teras bangku: kacang tanah – kacang tunggak

0,096 0,049 0,128 0,259 0,136 0,377 0,079 0,347 0,056 0,024 0,009 0,006 0,053

Sumber: Abdurachman et al., 1984.

132

Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan

Tabel Lampiran 4. Hasil perhitungan dengan metode biaya ganti (replacement cost method/ RCM) erosi di DAS Citarum

Tahun Variabel 2000 2025 2050 DTA SAGULING Luas areal sawah (ha) 76.178 75.226 74.285 Estimasi erosi pada lahan sawah (t/ha/tahun) 0,33 0,33 0,33 Estimasi erosi pada lahan kering bukan hutan (t/ha/tahun) 5,70 5,90 6,10 Perbedaan erosi pada lahan sawah dan lahan kering bukan hutan (t/ha/tahun) 5,37 5,57 5,77 Asumsi sediment delivery ratio 0,10 0,10 0,10 Biaya pembangunan dam (x Rp 1.000) 1.528.901.352 1.528.901.352 1.528.901.352 Volume life storage dam (m3) 15.650.000 15.650.000 15.650.000 Biaya pembangunan dam/unit volume (Rp/m3) 97.693 97.693 97.693 R

CM erosi 3.996.400.226 4.093.426.424 4.187.402.528

DTA CIRATA Luas areal sawah (ha) 39.996 40.948 41.889 Estimasi erosi pada lahan sawah (t/ha/tahun) 0,40 0,40 0,40 Estimasi erosi pada lahan kering bukan hutan (t/ha/tahun) 16,50 17,10 17,80 Perbedaan erosi pada lahan sawah dan lahan kering bukan hutan (t/ha/tahun) 16,10 16,70 17,40 Asumsi sediment delivery ratio 0,10 0,10 0,10 Biaya pembangunan dam (x Rp 1.000) 2.003.387.976 2.003.387.976 2.003.387.976 Volume life storage dam (m3) 34.507.984 34.507.984 34.507.984 Biaya pembangunan dam/unit volume (Rp/m3) 58.056 58.056 58.056 RCM erosi 3.738.418.444 3.970.059.604 4.231.457.870 DTA JATILUHUR Luas areal sawah (ha) 5.666 5.666 5.666 Estimasi erosi pada lahan sawah (t/ha/tahun) 1,45 1,45 1,45 Estimasi erosi pada lahan kering bukan hutan (t/ha/tahun) 14,20 14,90 15,60 Perbedaan erosi pada lahan sawah dan lahan kering bukan hutan (t/ha/tahun) 12,75 13,45 14,15 Asumsi sediment delivery ratio 0,10 0,10 0,10 Biaya pembangunan dam (x Rp 1.000) 7.484.770.968 7.484.770.968 7.484.770.968 Volume life storage dam (m3) 76.451.149 76.451.149 76.451.149 Biaya pembangunan dam/unit volume (Rp/m3) 97.903 97.903 97.903 RCM erosi 707.263.513 746.093.666 784.923.820 DTA CITARUM HILIR

Luas areal sawah (ha) 78.145 78.145 78.145 Estimasi erosi pada lahan sawah (t/ha/tahun) 1,13 1,13 1,13 Estimasi erosi pada lahan kering bukan hutan (t/ha/tahun) 16,10 16,60 17,10 Perbedaan erosi pada lahan sawah dan lahan kering bukan hutan (t/ha/tahun) 14,97 15,47 15,97 Asumsi sediment delivery ratio 0,10 0,10 0,10 Biaya pembangunan dam ( x Rp 1.000) 3.672.353.432 3.672.353.432 3.672.353.432 Volume life storage dam (m3) 42.203.044 42.203.044 42.203.044 Biaya pembangunan dam/unit volume (Rp/m3) 87.016 87.016 87.016 RCM erosi 10.179.435.404 10.519.429.906 10.859.424.409 RCM erosi DAS Citarum 18.621.517.586 19.329.009.600 20.063.208.627

133