emisi gas metana (ch ) dari sedimen dan bagian...
TRANSCRIPT
EMISI GAS METANA (CH4) DARI SEDIMEN DAN BAGIAN
TANAMAN Sonneratia alba DAN KORELASINYA TERHADAP
JARAK TANAMAN KE DARATAN DI KAWASAN HUTAN
MANGROVE PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU
SKRIPSI
NUR ISLAM ERMA DEVI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
EMISI GAS METANA (CH4) DARI SEDIMEN DAN BAGIAN TANAMAN
Sonneratia alba DAN KORELASINYA TERHADAP JARAK TANAMAN
KE DARATAN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE PULAU PARI,
KEPULAUAN SERIBU
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
NUR ISLAM ERMA DEVI
11140960000006
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M / 1440 H
ABSTRAK
NUR ISLAM ERMA DEVI. Emisi Gas Metana dari Sedimen dan Bagian Tanaman
Sonneratia alba dan Korelasinya Terhadap Jarak Tanaman ke Daratan di Kawasan
Hutan Mangrove Pulau Pari, Kepulauan Seribu. di bawah bimbingan ANNA
MUAWANAH dan IRAWAN SUGORO.
Metana banyak ditemukan pada wilayah yang memiliki genangan air seperti
pada kawasan mangrove. Komponen ekosistem mangrove yang terdiri dari Sedimen,
air, dan tanaman berpotensi menghasilkan CH4 Jarak tanaman ke daratan
mempengaruhi sedimentasi dari kawasan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui emisi gas CH4 yang mencemari lingkungan mangrove sedimen, dan
bagian tanaman Sonneratia alba secara in situ, mengetahui pengaruh lokasi sampling
juga waktu sampling terhadap jumlah emisi gas CH4 yang dihasilkan, dan mengetahui
jenis bakteri pada sedimen. Hasil penelitian pH air laut berkisar 6,75 – 7,45, suhu 26-
29°C, intesitas cahaya 1.505-40.700kkal/m2/hari, tds 5.970-6.255 ppm, salinitas
±30.000, karbon (C) 5,9-7,6%, nitrogen (N) 0,16-0,18%, rasio C/N 36,4-50,8 dan
Volatile Fatty Acids (VFA) total 9,1-12,5. Emisi gas CH4 dipengaruhi oleh faktor
fisik dan kimia juga masing masing bagian tanaman juga jarak tanaman ke daratan.
Bagian tanaman mangrove yang memiliki potensi tertinggi dalam emisi gas CH4
adalah bagian akar diikuti daun dan batang. Waktu sampling juga berpengaruh pada
emisi gas CH4 yang tertinggi di waktu pagi hari.
Kata Kunci: CH4, gas rumah kaca, mangrove, sedimen
ABSTRACT
NUR ISLAM ERMA DEVI. Methane Emissions from Sediments and Part of
Sonneratia alba Plants and The Correlation of Plant Distance to Mainland Mangrove
Forest in Pari Island, Kepulauan Seribu. under the guidance of ANNA
MUAWANAH and IRAWAN SUGORO.
Methane is found in areas that have air inundation such as in the mangrove
area. The components of the mangrove ecosystem consist of sediments, air, and
plants that produce CH4. This study aims to determine CH4 gas emissions that pollute
the environment of mangrove sediments, and parts of Sonneratia plants also study the
location of sampling as well as the amount of CH4 gas emissions produced, and know
bacteria in the sediment. The results of the study pH meeting sea water were 6.75-
7.45, temperature 26-29°C, light intensity 1,505-40,700kcal/m2/day, tds 5,970-
6,255ppm, salinity ± 30,000, carbon (C) 5,9- 7.6%, nitrogen (N) 0.16-0.18%, C/N
ratio 36.4-50.8 and total of Volatile Fatty Acids (VFA) 9.1-12.5. CH4 gas emissions
are moved by physical and chemical factors as well as each part of the plant as well
as the distance of the plant to the mainland. For the mangrove plants that have the
highest potential in CH4 gas emissions are the parts followed by leaves and stems.
Sampling time is also proven by the highest CH4 gas emissions in the morning.
Keywords: CH4, greenhouse gas, mangrove, sediment
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Emisi Gas Metana dari Sedimen dan Bagian
Tanaman Sonneratia alba dan Korelasinya Terhadap Jarak Tanaman ke Daratan di
Kawasan Hutan Mangrove Pulau Pari, Kepulauan Seribu”. Skripsi ini bertujuan untuk
memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar S1 bagi mahasiswa pada program Studi
Kimia.
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga
pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung
kepada penulis dalam penyusunan skripsi hingga selesai, terutama kepada yang saya
hormati.
1. Ibu Anna Muawanah, M.Si. selaku pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan, pengetahuan, serta bimbingannya sehingga banyak membantu
penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
2. Bapak Dr. Irawan Sugoro, M.Si selaku pembimbing II yang senantiasa
membimbing dan mengarahan penulis selama berlangsungnya penelitian serta
meluangkan waktunya untuk berdiskusi.
iv
3. Ibu Nurhasni, M.Si dan Ibu Nurmaya Arofah, M.Eng selaku penguji yang
memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
4. Bapak Dr. La Ode Sumarlin, M.Si, sebagai Ketua Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Staff
5. Ibu Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud, selaku Dekan Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Staff
6. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta Bapak Muhammad dan Ibu Erni
juga adik adik, atas segala cinta, doa, pengorbanan, nasihat dan motivasinya
kepada penulis.
7. Sahabat-sahabat Aby Mas Prasetyo, Adinda Pusparati, Amalia Dwi Fitriani,
Ambar Setiawati, Fatahurahmad Al Zuhri atas segala nasihat juga dukungan
moril juga motivasi yang diberikan.
8. Bapak Yaya Ihya Ulumuddin (LIPI), Seluruh staf PAIR BATAN, Pak Dono,
Pak Budi, Pak Dinar, Pak Dedi, Mbak Tia yang telah memberikan bantuan
dan bimbingannya selama penelitian berlangsung.
9. Amalina Putri, Aisyah Rachim, Chatamia R.F. selaku rekan kerja, juga Dwi
Aufa, Kak Arif, Kak Wawan, Kak Rizki, Kak Wandi, Kak Dimas, Kak Zikri,
Kak Sukma, Kak Mei, yang turut membantu berjalannya penelitian, dan
teman-teman kimia angkatan 2014 yang senantiasa memberi dukungan dan
keceriaan selama berjalannya penelitian.
10. Serta semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung,
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
v
Semoga arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan menjadi amal ibadah
bagi keluarga, bapak, Ibu, dan rekan-rekan, sehingga memperoleh balasan yang
lebih baik dari Allah SWT.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Jakarta, Juli 2019
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 4
1.3 Hipotesis ............................................................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 5
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 5
2.1 Gas Rumah Kaca .................................................................................................. 6
2.2 Mangrove ............................................................................................................. 7
2.3 Sonneratia alba .................................................................................................... 7
2.4 Pulau Pari ............................................................................................................. 9
2.5 Sedimen ................................................................................................................ 9
2.6 Metana (CH4) ..................................................................................................... 10
2.7 Kromatografi Gas ............................................................................................... 12
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 15
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................................. 15
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................... 15
3.3 Diagram Alir Penelitian ..................................................................................... 16
3.4 Cara Kerja .......................................................................................................... 17
3.4.1 Penentuan Titik Sampling .................................................................. 17
3.4.2 Preparasi Alat Sampling Tanaman S.alba .......................................... 18
3.4.3 Preparasi Alat Sampling Sedimen ....................................................... 18
3.4.4 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Lingkungan Kawasan Hutan
Mangrove S.alba ................................................................................. 18
3.4.5 Pengambilan Sampel ........................................................................... 19
3.4.6 Analisa Sampel Sedimen..................................................................... 20
3.4.7 Analisa Sampel Gas ............................................................................ 25
3.4.7.1 Pengukuran Produksi Gas CH4 ........................................................... 25
3.4.8 Analisis Data ....................................................................................... 25
vii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 26
4.1. Sifat Fisik dan Kimia Air di Lingkungan Hutan Mangrove Pulau Pari ............. 26
4.2. Sifat Fisik dan Kimia Sedimen Kawasan Hutan Mangrove Pulau Pari ............. 31
4.3. Konsentrasi Mikroorganisme ............................................................................. 38
4.4. Emisi Gas Metana (CH4) .................................................................................... 41
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 45
5.1. Kesimpulan ........................................................................................................ 45
5.2. Saran ................................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 46
LAMPIRAN ............................................................................................................... 52
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Daun, bunga, dan buah S.alba ................................................................... 8
Gambar 2. Proses dekomposisi bahan organik untuk menghasilkan CH4 secara
anaerobik ..................................................................................................................... 12
Gambar 3. Diagram alir penelitian ............................................................................ 16
Gambar 4. Posisi sampling pada hutan mangrove S.alba.......................................... 17
Gambar 5. Preparasi pengambilan CH4 pada S.alba ................................................. 20
Gambar 6.Grafik hubungan lokasi sampling, waktu sampling dan sifat fisika dan
kimia air kawasan hutan mangrove ............................................................................. 30
Gambar 7. Reaksi pembentukan amonia dari nitrat dan nitrit ................................... 34
Gambar 8. Grafik bakteri metanogen sedimen berdasarkan lokasi sampling hutan
mangrove ..................................................................................................................... 39
Gambar 9. Grafik emisi gas CH4 berdasarkan perbedaan waktu dan bagian tanaman
dan sedimen ............................................................................................... 41
Gambar 10. Grafik hubungan emisi CH4 pada lokasi, waktu, dan bagian tanaman
juga sedimen mangrove.......................................................................... 42
Gambar 11. Grafik hubungan emisi CH4 pada bagian tanaman dan sedimen dengan
faktor fisik dan kimia lingkungan kawasan hutan mangrove................. 44
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kondisi parameter air berdasarkan lokasi sampling pada hutan mangrove
S.alba ............................................................................................................ 26
Tabel 2. Kondisi parameter sedimen berdasarkan lokasi sampling pada hutan
mangrove S.alba .......................................................................................... 31
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Analisis Data ......................................................................................... 52
Lampiran 2. Analisis Statistik ................................................................................... 54
Lampiran 3. Dokumentasi ......................................................................................... 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber emisi gas CH4 salah satunya dihasilkan oleh lahan basah. Lahan basah
adalah daerah dimana air menutupi tanah, atau ada di dekat permukaan tanah
sepanjang tahun atau untuk periode waktu yang berbeda sepanjang tahun, termasuk
selama musim tanam. Lahan basah merupakan pengemisi gas CH4 tertinggi,
mencapai 81% dari total emisi CH4 dari sumber alami (EPA, 2011). Hutan
mangrove adalah tanaman yang tumbuh di lahan basah. Hutan mangrove
merupakan salah satu hutan penyimpan karbon terkaya di daerah tropis dan juga
sebagai area kunci dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (Donato et
al., 2011).
Hutan mangrove turut menyumbang gas rumah kaca (GRK) tiga diantaranya
adalah penyumbang terbesar, CO2 sebesar 83%, sedangkan CH4 dan N2O masing-
masing 10,3% dan 4,5% (EPA, 2011). Kontribusi CH4 lebih kecil dari CO2, akan
tetapi potensi efek pemanasannya 23 kali lebih besar (Nielsen et al., 2009).
Al Qur‟an surat Ar Rum ayat 41 menjelaskan tentang kerusakan yang terjadi
akibat ulah manusia.
بعض الذي عملىا لعلهم ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت أيدي الناس ليذيقهم
يرجعىن
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia;
Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar Rum ayat 41).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kerusakan di muka bumi diakibatkan oleh ulah
manusia. Pemanasan global bersifat antropogenik, maka terjadinya dampak yang
2
ditimbulkan merupakan sebuah konsekuensi atas perbuatan manusia dalam
mengelola sumber daya alam dan lingkungannya. Dampak pemanasan global yang
telah banyak dirasakan oleh kehidupan manusia dan makhluk lainnya.
Gas CH4 di permukaan bumi dihasilkan oleh bakteri metanogen. Bakteri
metanogenesis berperan dalam pembusukan dan terdapat di rawa-rawa, lumpur
sungai, sumber air panas, dan perut hewan herbivora seperti sapi, kerbau, domba,
dan kambing. Tumbuh-tumbuhan diketahui dapat berfungsi sebagai media
transportasi gas CH4 dari tanah atau sedimen dasar ke atmosfir. Di Indonesia, hampir
50% lahan basah atau sekitar 8,6 juta ha adalah hutan mangrove (Direktur Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2002).
Gas CH4 dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia lingkungan. Faktor fisik dan
kimia lingkungan air kawasan mangrove meliputi suhu, pH, TDS, intensitas cahaya,
dan salinitas. Faktor fisik dan kimia air dan sedimen akan mempengaruhi emisi gas
CH4 yang dihasilkan oleh bakteri metanogen. Faktor fisik dan kimia dapat berubah
akibat terjadinya pasang surut, masukan air sungai dan limbah rumah tangga,
evaporasi dan presipitasi juga perubahan cuaca musiman.
Tumbuh-tumbuhan juga dapat berperan menghasilkan gas CH4. Berbagai macam
tanaman terestrial dapat memproduksi dan melepas CH4 dalam kondisi anaerobik
(Keppler et.al., 2006). Kondisi anaerobik menstimulasi bakteri-bakteri metanogen
untuk merombak karbon di sedimen menjadi gas CH4 (Hallam et al., 2004). Bakteri
metanogen menghasilkan gas CH4 melalui proses yang dinamakan metanogenesis.
Biogas (CH4 & CO2) diproduksi secara anaerob melalui tiga tahap yakni hidrolisis,
asidogenesis, dan metanogenesis (Veziroglu, 1991).
3
Penelitian tentang emisi gas CH4 ini dilakukan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
Pulau Pari tersusun dari beberapa pulau dengan struktur hutan pantai didominasi
oleh mangrove. Mangrove yang digunakan untuk penelitian ini adalah S.alba atau
dikenal dengan perepat atau pidada putih. Perepat atau pidada putih (S. alba) adalah
sejenis pohon penyusun hutan bakau. Akar Sonneratia mampu mengikat dan
menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan
memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap
sedimen (Bidayani, 2014).
Beberapa penelitian sebelumnya Purvaja dan Ramesh, (2001) melaporkan emisi
gas CH4 dari hutan mangrove yang tercemar di India Selatan sekitar 47,28-324,48
mg/m2/hari. Emisi gas CH4 dari mangrove di Tanzania mulai 0-192 mg/m
2/hari
(Lyimo & colleagues, 2002). Informasi tentang emisi GRK dari ekosistem mangrove
di Indonesia sangat jarang. Penelitian Chen et.al., (2014) menjelaskan laju emisi
GRK yang rendah yaitu 0.35–0.61 μmol/m2/h dari sedimen mangrove di Sulawesi
Utara. Penelitian tersebut tidak mempelajari pengaruh jenis tanaman, bagian
tanaman dan perbedaan lokasi pengambilan sampel. Jarak mangrove ke daratan akan
mempengaruhi sedimentasi mangrove tergantung pada salinitas dan kondisi
lingkungan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar gas CH4 yang dihasilkan
pada sedimen tanaman mangrove dan juga mengetahui berapa besar CH4 yang
ditransportasikan oleh tanaman mangrove ditinjau pada masing masing bagian
tanaman mangrove S. alba karena studi mengenai jalur CH4 dari sedimen dan pada
tanaman masih terbatas. Penelitian ini juga dilakukan untuk melihat korelasi antara
4
jarak tanaman mangrove yang menjorok ke daratan (darat) atau menjorok ke lautan
(laut) terhadap gas CH4 yang dihasilkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai potensi produksi emisi gas CH4 dari lingkungan
sedimen, bagian tanaman dan posisi jarak tanaman S.alba di Pulau Pari dengan
waktu sampling berbeda.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah faktor fisik dan kimia lingkungan hutan mangrove Pulau Pari
berpengaruh terhadap emisi gas CH4?
2. Apakah emisi gas CH4 pada daun, batang dan akar tanaman S. alba di kawasan
mangrove Pulau Pari dipengaruhi oleh jarak tanaman ke daratan?
3. Apakah waktu (pagi, siang, sore) sampling di kawasan mangrove Pulau Pari
berpengaruh pada emisi gas CH4?
4. Apakah bakteri metanogen mempengaruhi emisi gas CH4 dari tanaman S.alba
dan Sedimen kawasan mangrove Pulau Pari?
1.3 Hipotesis
1. Faktor fisik dan kimia lingkungan hutan mangrove Pulau Pari berpengaruh
terhadap emisi gas CH4
2. Emisi gas CH4 pada daun, batang dan akar tanaman S. alba di kawasan
mangrove Pulau Pari dipengaruhi oleh jarak tanaman ke daratan
3. Waktu sampling (pagi, siang, sore) berpengaruh terhadap emisi gas CH4
4. Bakteri metanogen berpengaruh terhadap emisi gas CH4 dari tanaman maupun
sedimen kawasan mangrove Pulau Pari
5.
5
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui emisi gas CH4 yang dihasilkan oleh
sedimen dan bagian tanaman mangrove S. alba yaitu akar, batang dan daun dan
mengetahui pengaruh jarak tanaman S. alba ke daratan juga faktor fisik dan kimia
lingkungan hutan mangrove terhadap emisi gas CH4
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai faktor
dominan yang berperan dalam emisi gas CH4, sehingga dapat diketahui cara
penanganannya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gas Rumah Kaca
Gas Rumah Kaca (GRK) merupakan gas yang berada di atmosfer yang
menyebabkan efek rumah kaca. Dengan adanya gas rumah kaca di atmosfer, sinar
matahari yang masuk atmosfer dapat menigkatkan suhu udara. Energi matahari
dalam bentuk panas dan cahaya meningkatkan suhu bumi. Sebagian dari panas ini
dikembalikan ke angkasa,tetapi sebagian besar terperangkap oleh molekul- molekul
gas rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O (Sugiyono, 2006).
Gas rumah kaca (GRK) adalah istilah kolektif untuk gas-gas yang memiliki efek
rumah kaca, seperti klorofluorokarbon (CFC), karbon dioksida (CO2), gas metana
(CH4), nitrogen oksida (NOx), ozon (O3) dan uap air (H2O). Emisi dari CO2 yang
merupakan penyumbang gas rumah kaca terbesar di atmosfir, kurang lebih 55% dari
emisi global. Gas ini dapat berada di atmosfir selama 50 hingga 200 tahun. Artinya
kondisi emisi hari ini akan berdampak panjang pada iklim berabad-abad lamanya
(Maryono, 2009). Tanpa mitigasi signifikan untuk mengurangi emisi, maka pada
tahun 2100 di daerah yang terkena dampak kekeringan akan terjadi dua kali lipat.
Dikatakan pula bahwa pada tahun 2100, sekitar setengah dari permukaan tanah di
planet ini akan kekeringan. Beberapa negara kurang berkembang mungkin akan
sangat terpengaruh, yaitu kondisinya memburuk antara lain di Afrika, Amerika
Selatan dan sebagian Asia Tenggara (Sanderson,et.al., 2006).
7
2.2 Mangrove
Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta
tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh
pasang surut air yang merembes pada aliran sungai yang terdapat di sepanjang
pesisir pantai. Hutan mangrove mempunyai peranan dalam ekosistem yang berfungsi
sebagai pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, sebagai tempat asuhan,
sebagai tempat mencari makan, berkembang biak berbagai jenis biota laut, juga
pohon mangrove sebagai tempat burung bersarang, tempat anggrek, pakis, benalu
dan berbagai kehidupan lainnya.
Di Indonesia luas hutan mangrove berkurang, seiring dengan pesatnya kebutuhan
hidup masyarakat, serta meningkatnya pembangunan di kawasan pesisir (Pramudji,
2004). Dilihat secara keseluruhan ekosistem mangrove di Indonesia mengalami
penurunan luas hutan mangrove, pada tahun 1982 luas hutan mangrove di seluruh
wilayah Indonesia adalah 4,25 juta hektar. Kemudian pada tahun 2003 luas tersebut
merosot menjadi 3,9 juta hektar dan pada tahun 2009, BAKOSURTANAL dengan
pendekatan penginderaan jauh, luas hutan mangrove Indonesia mendekati 3,3 juta
hektar (BAKOSURTANAL, 2009).
2.3 Sonneratia alba
Pohon pidada termasuk ke dalam suku Sonneratiaceae pohon dapat
mencapai ketinggian 20 m. Menempati bagian pantai paling depan di
sisi laut. Klasifikasi ilmiah dari pidada adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
8
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Lythraceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneratia alba (Smith, 1987)
Gambar 1. Daun, bunga, dan buah S.alba
Perepat atau pidada putih (S. alba) adalah sejenis pohon penyusun hutan bakau.
Pohon berbatang besar ini sering didapati di bagian hutan yang dasarnya berbatu
karang atau berpasir, langsung berhadapan dengan laut terbuka. Nama "perepat" juga
sering dipakai untuk pohon pantai lain yang agak serupa yang dikenal sebagai
pidada.
Hidup menyebar mulai dari Afrika timur, Kepulauan Seychelle dan Madagaskar,
Asia Tenggara, hingga ke Australia tropis, Kaledonia Baru, kepulauan di Pasifik
barat dan Oseania barat daya (Giesen, et.al., 2006). Pohon ini juga dikenal dengan
nama-nama lokal seperti bogem, bidada, pidada, pedada, kedada, bangka, beropak,
barapak, pupat, posi-posi, mange-mange, muntu, sopo, susup, dan wahat
putih.Sonneratia tidak memiliki akar–akar tunjang, tetapi mempunyai
pneumatophores, yaitu akar–akar yang mencuat secara vertikal keluar dari bawah
tanah. Pada waktu surut, udara masuk melalui pneumatophore dan menyebarkan ke
9
bawah selanjutnya ke seluruh jaringan hidup di akar (Supriharyono, 2007).
Kemampuan mangrove Sonneratia untuk mengembangkan wilayahnya kearah laut
merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar
Sonneratia mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya
mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara
keseluruhan dapat memerangkap sedimen (Bidayani,2014).
2.4 Pulau Pari
Gugus Pulau Pari terletak di daerah tropis, yang terdiri dari lima buah pulau yaitu
Pulau Pari, Pulau Kongsi, Pulau Burung, Pulau Tengah dan Pulau Tikus. Pulau-
pulau tersebut merupakan pulau-pulau yang berada pada kesatuan gugus Pulau Pari
dengan struktur hutan pantai didominasi oleh mangrove. Gugusan ini terletak pada
posisi 05 50‟ 00” dan 05 25‟ 25” LS dan 106 34‟ 30” dan 106 38‟ 20” BT (Ariestika,
2006). Laut yang mengelilingi pulau pari merupakan laut dangkal yang memiliki
substrat bervariasi diantaranya adalah substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir
maupun batu karang. Terdapat juga berbagai jenis habitat, diantaranya mangrove,
padang lamun dan terumbu karang.
2.5 Sedimen
Konsentrasi gas CH4 berasal dari berbagai sumber salah satunya adalah lahan
persawahan atau lahan basah. Lahan basah adalah lahan transisi antara terestrial dan
sistem akuatik dimana air berada di dekat permukaan atau tanah yang tertutup oleh
air yang dangkal. Lahan basah terbentuk saat air mengisi penuh ruang antar partikel
10
tanah, air tersebut tetap atau mengalir jauh secara lambat. Hal inilah yang
menyebabkan terbentuknya kondisi anaerobik pada lahan basah (EPA, 2002)
Lahan basah memancarkan 100-231 Tg gas CH4 pertahun ke atmosfer, 20-
39% dari emisi gas CH4 global. Secara umum, emisi gas CH4 pada sedimen
mangrove sangat rendah atau bahkan negatif. Namun, peran mangrove sebagai
sumber gas CH4 di atmosfer masih belum jelas karena emisi gas CH4 dari berbagai
kawasan mangrove telah diperkirakan dengan berbagai emisi (Purvaja et al.,2004).
2.6 Metana (CH4)
Emisi CH4 dan nilai rosotnya dari lahan petanian tidak sesederhana gas CO2
dan N2O. CH4 dikenal juga sebagai gas rawa yang memiliki waktu tinggal di
atmosfir selama 12 tahun. Selain waktu tinggalnya yang lama, CH4 memiliki
kemampuan mamancarkan panas 23 kali lebih tinggi dari CO2 (Nielson et al., 2009).
Tidak ada potensi rosot yang jelas terhadap gas ini. Bakteri metanotrof yang ada
pada lahan sawah adalah satu-satunya mikroorganisme yang dapat menggunakan
CH4 sebagai bagian proses metabolismenya untuk kemudian diubah menjadi CO2.
Berat molekulnya yang ringan, gas CH4 juga mampu menembus sampai lapisan
ionosfir dimana terdapat senyawa radikal ozon yang berfungsi sebagai pelindung
bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet (UV-B). Kehadiran gas
CH4 pada lapisan dengan ozon sehingga kandungannya berkurang. CH4 adalah salah
satu gas yang menyebabkan penipisan ozon bumi.
11
Gas CH4 dihasilkan secara biologis oleh aktivitas mikroba yaitu aktivitas
bakteri metanogen melalui penguraian atau pembusukan bahan-bahan organik yang
terjadi pada lahan basah, lahan sawah dan fermentasi anterik pada ruminan. Gas CH4
yang berasal dari tambang batubara dan kebocoran dalam sistem distribusi gas alam
serta sumur minyak dan gas merupakan sumber antropogenik lainnya. Fluks CH4
30% yaitu yang berasal dari sumber-sumber alami, sebagian besar merupakan lahan-
lahan yang tergenang secara alami (Suprihati, 2007).
Gas CH4 diproduksi melalui proses metanogenesis. Metanogenesis yaitu
proses yang dilakukan oleh bakteri anaerobik untuk mengkonversi padatan limbah
(feses dan urin) menjadi gas CH4 dan karbon dioksida dalam kondisi anaerobik
(Mara, 2003). Biogas (CH4, CO2) diproduksi secara anaerob melalui tiga tahap yakni
hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis (Veziroglu, 1991).
Tahapan metanogenesis diantaranya adalah hidrolisis, meliputi proses
degradasi bahan organik limbah seperti protein, polisakarida, lemak. Asidogenesis,
merupakan proses oksidasi anaerobik dari asam lemak dan alkohol dan proses
fermentasi dari asam amino dan karbohidrat menjadi asam lemak (volatile fatty
acids) seperti butirat dan propionat dan gas hidrogen (Mara, 2003). Sebelum
metanogenesis proses yang yang terjadi terlebih dahulu adalah asetogenesis.
Asetogenesis merupakan suatu tahapan dimana asam lemak (VFA) terdegradasi
sempurna menjadi asam asetat, hidrogen dan gas karbon dioksida (Cheng, 2009).
Metanogenesis merupakan tahapan terakhir yaitu proses konversi asam asetat
menjadi gas CH4 (acetoclastic) dan konversi dari hidrogen menjadi gas CH4 dengan
12
memanfaatkan gas CO2 (Capareda, 2013). Diagram proses pembentukan CH4 dari
bahan organik ditunjukkan oleh Gambar 3.
Gambar 2. Proses dekomposisi bahan organik untuk menghasilkan CH4 secara anaerobik
(Zhuang, 2014).
2.7 Kromatografi Gas
Kromatografi didefinisikan sebagai suatu metode analitik untuk pemisahan
dan pemurnian senyawa organik dan anorganik. Metode ini berguna untuk
fraksionasi campuran kompleks dan pemisahan untuk senyawa- senyawa yang
sejenis (Khopkar, 2008).
Kromatografi gas adalah suatu proses yang mana suatu campuran menjadi
komponen- komponennya oleh fasa gas yang bergerak melewati suatu lapisan
serapan (sorben) yang stasioner. Jadi teknik ini mirip dengan kromatografi cair
kecuali fasa cair yang bergerak digantikan oleh fasa gas yang bergerak.
13
Kromatografi dibagi menjadi dua kategori utama yaitu Kromatografi Gas Cair
(KGC) dimana pemisahan terjadi oleh dibaginya contoh antara fasa gas yang
bergerak dan lapisan tipis cair yang tidak atsiri yang disalurkan pada suatu penopang
yang tidak aktif, dan Kromatografi Gas Padat (KGP) yang mengutamakan
permukaan padat yang luas sebagai fasa stasioner (Basset, 1994). Menurut Widada
(2000) terdapat tiga bagian terpenting dari alat kromatografi gas yaitu gerbang
injeksi (injection port), kolom pemanas (oven column), dan detektor. Pada tiga
bagian tersebut pengaturan suhu mempunyai peran yang penting dalam proses
analisis. GC menggunakan carrier gas (gas pembawa) UHP (Ultra High Purity
99,999 %).
Kromatografi gas mempunyai prinsip yang sama dengan kromatografi
lainnya, tapi memiliki beberapa perbedaan misalnya proses pemisahan campuran
dilakukan antara stasionary fase cair dan gas fase gerak dan pada oven temperatur
gas dapat dikontrol sedangkan pada kromatografi kolom hanya pada tahap fase cair
dan temperatur tidak dimiliki. Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang
mana solut-solut yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi
melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung
pada rasio distribusinya. Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik
didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara
solute dengan fase diam. Selain itu juga penyebaran cuplikan diantara dua fase.
Salah satu fase ialah fase diam yang permukaannya nisbi luas dan fase yang lain
yaitu gas yang mengelusi fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi
14
solute dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Prinsip utama
pemisahan dalam kromatografi gas adalah berdasarkan perbedaan laju migrasi
masing-masing komponen dalam melalui kolom. Komponen-komponen yang
terelusi dikenali (analisa kualitatif) dari nilai waktu retensinya.
Flame ionization detector (FID) untuk analisis gas CH4 terdiri dari hidrogen
atau air flame dan collector plate, sampel yang keluar dari column dilewatkan ke
flame yang akan menguraikan molekul organik dan menghasilkan ion-ion. Ion-ion
tersebut dihimpun pada biased electrode (collector plate) dan menghasilkan sinyal
elektrik. Sinyal elektrik tersebut akan diinterpretasikan kedalam bentuk peak.
15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2018 sampai Juni 2018. Emisi gas
CH4 diukur secara in-situ, sampel gas CH4, sedimen dan air laut diambil dari Pulau
Pari, Kepulauan Seribu. Penelitian dan pengukuran dilakukan di Laboratorium Pusat
Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Teknologi Nuklir Nasional (PAIR-BATAN)
Pasar Jumat, Jakarta Selatan.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah plastik, spidol permanen, label,
solatip, sentrifuge, pipa, cooling box, botol vial, selang plastik, syringe, furnace,
autoklaf, vortex, cawan petri, Erlenmeyer, batang pengaduk, micro tube, yellow tube,
cawan porselen, pH meter (Hanna Istrumens), oven (Fisher Isotemp Oven), neraca
analitik (Satrorius), mikropipet, gelas beker, gelas ukur, spatula, karet gelang,
Spektrofotometer UV-VIS Shimadzu UV 2450, gas kromatografi 8A dengan detektor
FID (Flame Ionization Detector), destilator Volatile Fatty Acids (VFA), tabung
digestion, dan labu ukur.
Bahan yang digunakan adalah aquadest, sampel sedimen dan air laut kawasan
mangrove Pulau Pari, methanol, asam asetat, selenium, gas nitrogen (N2), gas helium
(He), gas hidrogen (H2), H2SO4 (Merck), HCl (Merck), K2Cr2O7 (Merck), NaOH
(Merck).
16
3.3 Diagram Alir Penelitian
Gambar 3. Diagram alir penelitian
Penentuan Titik Sampling
Pengamatan
Faktor Fisik & Kimia
Sedimen Lingkungan
• pH
• TDS
• Intensitas
cahaya
(Pagi, Siang,
Sore)
• Salinitas
(sore)
Analisis Data
Pengambilan Gas CH4
(Pagi, Siang, Sore)
Mikroorganisme
(Metanogen) • Bahan
Organik
• %C
• %N
• Rasio C/N
• VFA
Hutan Mangrove S.alba Pulau Pari, Kepulauan
Seribu
Tanaman S.alba
(Akar, Batang, Daun) Sedimen Air
17
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Penentuan Titik Sampling
Penentuan lokasi titik pengambilan sampel menggunakan metode purposive
random sampling dengan memperhatikan beberapa pertimbangan yaitu, daerah alami
(tidak dipengaruhi wisatawan) dan daerah yang terdapat mangrove jenis S. alba.
Sampel diambil dengan menempatkan 2 plot yang merupakan duplo dimana tidak
terdapat interval (jarak) antara plot 1 dan plot 2 dan diambil sesuai jarak yang telah d
itentukan dengan luas 1 plot sebesar 10x10 m. penentuan plot ini agar
pembagian lokasi jelas untuk menentukan pohon mangrove duplo.
Gambar 4. Posisi sampling pada hutan mangrove S.alba
PLOT 1
(10x10 m2)
PLOT 2
(10x10 m2)
Lokasi Menjorok ke Daratan (Darat)
Lokasi Menjorok ke Lautan (Laut)
Batas
(pembagian lokasi duplo)
18
3.4.2 Preparasi Alat Sampling Tanaman S.alba
Pemasangan alat pada tanaman S. alba dengan melakukan pengeboran secara
zigzag dengan kedalaman 1/3 diameter batang tanpa ada bagian yang sejajar pada
batang S.alba. Kemudian bagian batang dibungkus dengan plastik dimana diujung
keduanya direkatkan untuk meminimalkan kemungkinan gas keluar. Bagian akar
dibungkus dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Bagian daun yang ingin
diuji dibungkus pula dengan plastik dengan mengambil daun yang berjumlah 7-8
daun dalam 1 rumpun (Gambar 6). Preparasi alat dilakukan satu hari sebelum
sampling gas CH4. Terhadap sampel tanaman akan diamati gas CH4 pada masing–
masing bagian akar, batang dan daun dari dua pohon yang berada di plot laut dan plot
darat, dilakukan pada waktu yang berbeda yaitu pagi, siang, dan sore.
3.4.3 Preparasi Alat Sampling Sedimen
Pengambilan gas bagian sedimen dilakukan dengan menggunakan pipa yang
ditutup dengan dop kemudian diberi lubang untuk memasukkan selang kecil, dan
kemudian diikat dengan karet gelang (Gambar 6).
3.4.4 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Lingkungan Kawasan Hutan
Mangrove S.alba
Pengamatan yang dilakukan terhadap kawasan lingkungan meliputi 2 wilayah
yaitu yang menjorok kedaratan yang selanjutnya disebut darat dan yang menjorok ke
lautan yang selanjutnya disebut laut serta dengan waktu yang berbeda yaitu pada
pagi, siang dan sore. Pengukuran faktor fisik meliputi pengukuran pH, suhu, TDS,
intensitas cahaya, dan salinitas air laut. Pengukuran pH menggunakan pH meter
(Hanna Istrumens). Pengukuran TDS dan suhu menggunakan TDS meter,
19
pengukuran intensitas cahaya menggunakan LUX meter dan pengukuran salinitas air
pada kawasan mangrove Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
3.4.5 Pengambilan Sampel
3.4.5.1 Pengambilan Sedimen
Sampel sedimen diambil pada 2 lokasi yaitu darat dan laut. Pengambilan
sedimen dilakukan hanya pada sore hari (15.30 WIB) dengan menggunakan tabung
langsung dimasukkan dan diusahakan tidak terkena udara dari luar (kondisi anaerob).
Pengambilan juga dilakukan dengan plastik klep dengan mengusahakan tidak terkena
udara. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam cool box dan dibawa ke laboratorium
untuk dianalisis NH3, C total, N total, rasio C/N, VFA dan populasi mikroorganisme.
3.4.5.2 Pengambilan Gas CH4 (Sedimen dan Bagian Tanaman)
Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil gas dalam plastik yang telah
disiapkan sebelumnya pada pohon dengan interval waktu 3 jam untuk pengambilan
pada pagi hari (07.30 – 10.30 WIB), siang hari (11.00 – 14.00 WIB) dan sore hari
(14.30 – 17.30 WIB) dan setiap 30 menit sebelum waktu sampling seluruh bagian
tanaman dan sedimen divakum terlebih dahulu. Pengambilan gas CH4 didahului
dengan proses vakum dengan mengeluarkan gas pada plastik menggunakan syringe.
Kemudian 3 jam setelah divakum diambil gas CH4 sebanyak 5 mL pada pohon di plot
1 dan 5 mL pada pohon plot 2 dimasukkan dalam vacum tube 10 mL (duplo) dengan
kondisi yang sama (darat-darat, laut-laut) pada akar, batang, daun, juga sedimen,
kemudian tutup dengan solatip dan jadikan kondisi vakum kembali dan melakukan
20
pengambilan sampel 3 jam berikutnya. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam cool
box dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisa gas menggunakan GC MS.
Gambar 5. Preparasi pengambilan CH4 pada S.alba
3.4.6 Analisa Sampel Sedimen
3.4.6.1 Pengukuran Bahan Organik (Sudarmadji et al., 1997)
Cawan porselin kosong dimasukan ke dalam oven dengan suhu 105 ºC selama 1 jam,
kemudian cawan tersebut dipindahkan ke dalam deksikator selama 1 jam. Sampel
sedimen kering yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 0,4 g. Cawan yang berisi
sampel dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 600°C selama 6 jam. Sampel
21
tersebut kemudian didinginkan di dalam deksikator selama 1 jam dan ditimbang.
Penentuan berat organik dihitung dengan Persamaan (1):
x100%.............(1)
3.4.6.2 Analisis Amonia (NH3) (General Laboratory Procedures, 1966)
Pengukuran NH3 dilakukan dengan menggunakan metode mikrodifusi
Conway. Sampel sedimen diambil sebanyak 3 g dan dimasukkan ke yellow tube
kemudian ditambahkan aquadest hingga volume 6 mL dan di homogenkan. Cawan
Conway yang telah dibersihkan kemudian diolesi oleh vaselin pada bagian
pinggirnya. Sebanyak 1 mL H3BO4 4% (warna larutan merah muda) diambil dan
diletakkan pada bagian tengah cawan, bagian kiri cawan diletakkan 1 mL K2CO3 dan
sampel diambil 1 mL untuk diletakkan di bagian kanan cawan. Setelah itu dicampur
dan ditunggu sampai 2 jam hingga terlihat perubahan warna menjadi warna biru.
Kemudian dititrasi dengan HCl hingga berubah menjadi warna awal (merah muda),
dicatat volume HCl yang terpakai dan dihitung konsentrasi NH3 yang dihasilkan
dengan menggunakan Persamaan (2):
Konsentrasi NH3 = (volume HCl (ml) × Normalitas HCl × 1000) g/100 mL………(2)
3.4.6.3 Analisis Karbon Organik (Walkley & Black,1934)
Analisis dikerjakan dengan menggunakan spektrofotometer. Ditimbang
0,250g sedimen yang sudah dikeringkan dan dihaluskan, dimasukkan ke dalam labu
ukur 50 mL. Ditambahkan 2,5 mL K2Cr2O7, lalu dihomogenkan. Ditambahkan 3,75
mL H2SO4 dan dibiarkan 30 menit. Diencerkan dengan aquadest, dibiarkan hingga
22
dingin. Keesokan harinya diukur absorbansi larutan yang jernih dengan menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 561 nm. Sebagai pembanding dibuat
standar 0 dan 250 ppm, dengan memipet 0 dan 5 mL larutan standar berupa glukosa
5.000 ppm ke dalam labu ukur 50 mL dengan perlakuan yang sama dengan
pengerjaan sampel. Kadar C-organik dapat diukur dengan perhitungan menggunakan
Persamaan(3):
Kadar C-Organik (%) = ppm kurva x mL ekstrak/1.000 mL x 100/mg sampel……(3)
Keterangan: ppm kurva = Kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara
kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.
3.4.6.4 Pengukuran Kadar Nitrogen Total (Kjedahl,1883)
Penetapan nitrogen total menggunakan metode Kjedahl. Sampel sedimen
ditimbang 0,500 g lalu dimasukkan ke dalam tabung digestion, selanjutnya
ditambahkan 1 g selen dan 5 mL H2SO4 pekat. Selanjutnya didestruksi selama 30
menit pada suhu 350oC hingga didapat ekstrak berwarna jernih. Tabung diangkat, lalu
didinginkan dan ekstrak diencerkan dengan aquadest hingga 50 mL. Ekstrak jernih ini
digunakan untuk pengukuran nitrogen dengan cara destilasi.
Ekstrak jernih dimasukkan ke dalam labu destilasi. Dipipet 10 mL HCl 0,1N ke
dalam erlenmeyer 125 mL sebagai penampung dan ditambahkan 3 tetes indikator
Tashiro. Didestilasi selama 15 menit dengan penambahan 15 mL NaOH 50%.
Larutan sampel yang telah didestilasi kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N. Sampel
23
dititrasi hingga berwarna jernih dan dicatat volume NaOH yang dibutuhkan dan
kemudian dihitung dengan Persamaan (4):
Kadar N-total =
x 100%..............................................(4)
Keterangan :14 = bobot setara N
3.4.6.5 Pengukuran Rasio C/N
Rasio C/N merupakan indikator yang menunjukkan proses mineralisasi-
immobilisasi unsur hara oleh mikroorganisme dekomposer bahan organik. Fermentasi
anaerobik pada fermentor diukur dari pengukuran rasio C/N awal dan akhir.
Perhitungan rasio C/N menggunakan Persamaan (5):
…………………………………………………………..……..(5)
Keterangan: X = kadar karbon (C)
Y = Kadar Nitrogen (N)
3.4.6.6 Pengukuran Volatile Fatty Acids (VFA) Parsial (AOAC, 2005)
Pengukuran kandungan VFA menggunakan metode intrumentasi GC. Effluent
sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung eppendorf ditambahkan dengan 30 mg
asam sulfo-5-salisilat dihidrat dan dihomogenkan. Selanjutnya tabung eppendorf
disentrifus pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit pada suhu 7oC. Sebelum
diinjeksikan sampel terlebih dahulu diinjeksikan larutan standar VFA sedimen.
Perbedaan partisi atau absorbsi pada fase diam (kolom) dan fase bergerak (gas)
memunculkan puncak pada layar monitor GC. Dengan membaca kromatogam standar
24
acuan VFA yang konsentrasinya telah diketahui, maka VFA sampel tersebut dapat
diukur. Konsentrasi VFA parsial kemudian diukur dengan Persamaan (6):
VFA (mM) =
………………………(6)
Keterangan: VFA = Volatile fatty acids (asetat, propionat, butirat)
BM = Berat molekul VFA parsial
Konsentrasi VFA standar 1mg/mL = 1000µg/mL
3.4.6.7 Analisis Populasi Mikroorganisme (Lay, 1994)
Sebanyak 1 mL sampel sedimen yang sudah diencerkan kemudian diencerkan
dengan menggunakan larutan NaCl 0,85% sebanyak 10 kali. Sebanyak 0,1 mL dari
dari masing-masing pengenceran diteteskan ke atas permukaan media agar dan di
tambahkan metanol untuk mengetahui total bakteri metilotrof, penambahan hidrogen
untuk mengetahui total bakteri hidrogenotrof, dan penambahan asetat untuk
mengetahui total bakteri asetonotrof. Sampel kemudian diratakan dengan batang L.
Proses pengerjaan dilakukan di dalam Laminar Anaerob. Setelah itu, semua media
yang telah ditetesi sampel, ditempatkan di dalam anaerobic jar dan diinkubasi di
dalam inkubator pada suhu 39°C selama 5 hari. Setelah itu dihitung jumlah koloni
yang tumbuh.
Keterangan x = tabung seri pengenceran ke-x
25
3.4.7 Analisa Sampel Gas
3.4.7.1 Pengukuran Produksi Gas CH4 (Minamikawa et al., 2015)
Sampel gas (sedimen dan bagian tanaman; akar,batang, daun) yang telah
dimasukkan ke dalam vacum tube kemudian dianalisis menggunakan Gas
Kromatografi 8 A dengan detektor FID (Flame Ionization Detector) dan jenis kolom
berupa capillary column yang terbuat dari stainless steel dengan ukuran 6m x 2mm
dengan suhu kolom 75ºC dan suhu detektor 90ºC. Carrier gas yang digunakan
adalah nitrogen (N2), helium (He) dan udara tekan. Waktu yang dibutuhkan untuk
analisis satu sampel adalah 2 menit dengan volume sampel sebanyak 3 mL.
Perhitungan flux CH4 menggunakan Persamaan (7):
E CH4 =
x [
]………………………………………………(7)
Keterangan:
∆C : Konsentrasi sampel CH4 (ppm)
∆t : Waktu (jam)
V : Volume penampung gas CH4 (m3)
A : Luas penampung gas CH4 (m2)
T : Suhu (°C)
ρ : Densitas CH4 (0.717 kg/m3)
3.4.8 Analisis Data
Data yang telah diperoleh meliputi faktor fisik kimia air laut yaitu pH, suhu,
TDS, Intensias cahaya dan salinitas diuji korelasi menggunakan Microsoft excel
kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan Principal Component Analysis (PCA).
Data faktor fisik kimia sedimen berupa BO, C/N dan VFA diuji signifikansi dengan
uji T menggunakan program Statistical Package for the Social Science (SPSS) 2.0.
Data emisi gas CH4 pada sedimen dan tanaman S.alba diuji signifikansinya dengan
SPSS 2.0 menggunakan uji T dan dilanjutkan PCA.
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sifat Fisik dan Kimia Air di Lingkungan Hutan Mangrove Pulau Pari
Hasil analisis data parameter kualitas air mengekspresikan kondisi kualitas air
perairan hutan mangrove Sonneratia alba di Pulau Pari Kepulauan Seribu. Hasil
analisis data kualitas air laut berdasarkan kondisi hutan mangrove pada lokasi darat
dan laut disajikan pada Tabel 1. Parameter kualitas air relatif berfluktuasi, baik pada
lokasi darat maupun laut, terutama pada parameter suhu dan intensitas cahaya yang
masing masing memiliki kisaran antara 26-29°C dan 1.505-40.700 kkal/m2/hari.
Tabel 1. Kondisi parameter air berdasarkan lokasi sampling pada hutan mangrove S.alba
Lokasi
sampling Waktu
Sifat Fisik dan Kimia Air
pH Suhu
(°C)
TDS
(ppm)
Intensitas Cahaya
(kkal/m2/hari)
Salinitas
(‰)
Darat
Pagi 7,3 29 6.170 32.650
30,01 Siang 7,35 28 5.970 7.935
Sore 6,8 26 6.255 1.770
Laut
Pagi 7,3 29 6.130 40.700
30,10 Siang 7,45 28 6.010 3.750
Sore 6,75 26,5 6.295 1.505
Hasil pengukuran pH kawasan hutan mangrove rata rata mengalami kenaikan
dari pagi ke siang hari dan mengalami penurunan pada siang ke sore hari. Pasang
surut air laut mempengaruhi pH karena air laut yang semakin dekat dengan sedimen
yang merupakan substrat dari perairan. Perubahan pH mengalami fluktuasi, namun
nilai rataan pH tidak menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dengan nilai pH
masih berada pada kisaran pH normal yaitu pada kisaran 6,75-7,45.
27
Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: aktifitas biologi, aktifitas
fotosintesis, suhu, kandungan oksigen, dan adanya kation dan anion. pH pada daerah
darat mempunyai nilai rataan yang lebih kecil dibanding laut. Hal ini disebabkan oleh
pengaruh muatan organik dari aktifitas penduduk (limbah rumah tangga). Menurut
Kusumaningtyas et al., (2014) pH semakin meningkat ke arah laut lepas. Hal ini
dipengaruhi oleh buangan industri dan rumah tangga. Akibat buangan yang
dikeluarkan oleh industri dapat menyebabkan menurunnya nilai pH. pH yang tinggi
juga berhubungan dengan muatan karbon organik dan VFA yang tinggi. Tingginya
nilai VFA maka semakin banyak jumlah asam organik, yang menyebabkan
penurunan pH. Merujuk baku mutu lingkungan, toleransi organisme terhadap pH air
berkisar antara 7–8,5 (MNLH, 2004). Mikroorganisme metanogen dapat hidup pada
pH antara 6,8-7,6 yang berarti potensi emisi gas CH4 tinggi dengan kondisi pH yang
sesuai.
Parameter lain yang diukur adalah TDS yang merupakan gabungan zat terlarut
dari semua zat anorganik dan organik di dalam air dalam berbagai bentuk. TDS pada
lokasi sampling baik laut ataupun darat memiliki kesamaan pola fluktuasi yaitu
memiliki nilai yang tinggi pada pagi dan sore hari, namun bernilai rendah pada siang
hari. Di lokasi darat ataupun laut, nilai TDS tidak ada perbedaan yang signifikan
karena nilainya yang hampir sama pada kisaran rataan 5.970-6.300 ppm. Lokasi
sampling hutan mangrove S.alba ini memang daerah yang cukup dekat dengan
pemukiman warga, yang juga memiliki struktur sedimen berlumpur yang kategori
airnya adalah salin atau dikenal dengan payau. TDS pada darat dan laut di pagi dan
siang hari karena kondisi air laut yang pasang, yang menyebabkan tidak adanya
28
perbedaan nilai, sedangkan pada sore hari di laut memiliki TDS yang lebih tinggi
disebabkan air laut yang surut, karena TDS mengandung muatan oraganik dan
anorganik. Nilai TDS diklasifikasikan sebagai air payau yang menurut standar
berkisar 3.000-10.000 ppm (Indriatmoko & Herlambang, 1999).
Hasil pengukuran intensitas cahaya pada hutan mangrove S.alba memiliki nilai
yang konstan turun dari pagi hingga sore hari meskipun pada kedua lokasi darat
maupun laut selisih pada pagi dan siang hari sangatlah jauh. Nilai intensitas cahaya
pada pagi dan siang hari memiliki rataan selisih nilai 30.832,5 kkal/m2/hari dan pada
siang dan sore hari 4.205 kkal/m2/hari. Selisih yang sangat signifikan terlihat pada
pagi dan siang hari pada kedua lokasi sampling. Arah terbitnya matahari
mempengaruhi selisih yang cukup jauh terhadap intensitas cahaya dilokasi sampling
mangrove. Intensitas cahaya di pagi hari memiliki nilai yang sangat tinggi, karena
matahari tidak terhalang daun tanaman maupun awan. Intensitas cahaya pada siang
dan sore hari menurun drastis karena matahari sudah tertutup oleh daun tanaman yang
tinggi juga cuaca mendung dikarenakan sampling dilakukan pada musim penghujan.
Kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan
padatan tersuspensi (Rohyati et al., 2003). Tanaman mangrove umumnya
membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi. Kisaran rata-rata intensitas cahaya
secara keseluruhan pada lokasi sampling hutan mangrove masih di ambang yang
normal untuk pertumbuhan mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk
pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkal/m2/hari(SNM, 2003).
Hasil pengukuran suhu air laut pada lokasi sampling hutan mangrove
mengalami penurunan nilai rataan berkisar dari 26-29°C pada kedua lokasi
29
berdasarkan waktu sampling (Tabel 1). Hasil pengukuran suhu sangat erat kaitannya
dengan intensitas cahaya yang memiliki pola yang sama pada pagi hingga sore hari.
Pengukuran suhu terjadi penurunan terus menerus pada kedua lokasi sampling namun
dengan nilai selisih yang tidak signifikan. Suhu dipengaruhi oleh kedalaman yaitu
dangkalnya perairan dan luasnya permukaan air akan mempengaruhi
perubahan suhu dimana suhu akan lebih panas. Perbedaan suhu pada perairan
muara bisa disebabkan adanya pengaruh pasang surut dan kedalaman. Namun
demikian pengaruh pasang surut diperkirakan sangat kecil kontribusinya terhadap
perubahan suhu. Faktor yang sangat berpengaruh adalah intensitas cahaya terhadap
suhu. Suhu air berbanding lurus dengan intensitas cahaya, yang berarti tinggi
rendahnya suhu dipengaruhi oleh intensitas cahaya yaitu posisi matahari dan musim.
Lokasi sampling memiliki suhu yang masih kisaran normal untuk pertumbuhan
mangrove. Suhu pada pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata
>20oC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5
oC (MNLH, 2004). Suhu
lingkungan mangrove keseluruhan memiliki potensi yang besar terhadap emisi gas
CH4. Bakteri metanogen umumnya bersifat mesofilik, dengan aktivitas optimal
terjadi pada suhu 20-30°C (Wihardjaka, 2015; Liu et al., 2016). Bakteri mesofilik
merupakan bakteri yang tumbuh optimal pada kisaran 20-30°C dan suhu optimum
pada 40°C (Puspitasari et al., 2012).
Hasil pengukuran salinitas di hutan mangrove tidak ada perbedaan yang
signifikan antara lokasi sampling darat maupun laut, selisihnya 0,1‰. Salinitas air
permukaan laut sangat ditentukan oleh evaporasi dan presipitasi. Salinitas akan naik
bila evaporasi naik dan presipitasi turun. Faktor-faktor lain yang dapat juga
30
mempengaruhi salinitas air laut adalah pembekuan es, masuknya air sungai ke laut,
dan pencairan es. Lokasi sampling hutan mangrove S.alba ini termasuk yang terdapat
aliran sungai dan air hujan yang masuk ke dalamnya, sehingga salinitas tidak
menyebar merata, ditambah juga dengan kondisi lingkungan pada saat pengambilan
sampel sebelumnya terguyur hujan pada malam hari.
Sebanyak 99% air laut di samudera mempunyai salinitas antara 33‰ sampai
37‰, dengan rata-rata 35‰ yang ekivalen dengan larutan garam 3,5%. Baku mutu
salinitas adalah bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim), tergantung kondisi
normal suatu lingkungan, diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5%
salinitas rata-rata musiman (MNLH, 2004). Metanogen adalah salah satu bakteri
halofil yang bias bertahan pada salinitas yang tinggi sehingga metabolisme
metanogen tidak terganggu juga dengan emisi CH4
Gambar 6.Grafik hubungan lokasi sampling, waktu sampling dan sifat fisika dan kimia air
kawasan hutan mangrove
Gambar 7 mengambarkan hubungan antara lokasi dan waktu sampling, masing
masing waktu dan lokasi membentuk kelompok berdasarkan nilai sifat fisik dan
31
kimia air kawasan hutan mangrove. Kelompok ini ada 4 yang terdiri dari 6 lokasi dan
waktu sampling berbeda, terbentuk dari kesamaan nilai sifat fisik dan kimia air.
Kelompok pertama pada daerah laut sore hari memiliki nilai TDS yang tinggi
dikarenakan air laut yang surut sehingga zat terlarut semakin banyak. Pagi hari lokasi
laut dan darat keduanya memiliki intensitas cahaya dan suhu yang tinggi karena arah
matahari dan cahaya tidak terhalang awan ataupun daun pepohonan yang lebih tinggi.
Kelompok 3 terdapat darat sore yang tidak ada faktor signifikan yang mempengaruhi
faktor fisik dan kimia pada lokasi dan waktu tersebut. Siang hari di darat dan di laut
dipengaruhi oleh pH yang tinggi karena lokasi sampling yang mulai surut.
4.2. Sifat Fisik dan Kimia Sedimen Kawasan Hutan Mangrove Pulau Pari
Hasil pengukuran sedimen meliputi bahan organik, rasio karbon dan nitrogen dan
VFA, hasil ketiganya menunjukkan hasil yang lebih tinggi pada lokasi sampling darat
meski tidak signifikan karena memang ada beberapa parameter yang berbanding
terbalik dari parameter yang lainnya.
Tabel 2. Kondisi parameter sedimen berdasarkan lokasi sampling pada hutan mangrove
S.alba
Parameter Darat Laut
Bahan Organik (BO) (%) 75,09 69,37
Ammonia (ppm) ttd ttd
Total Karbon (C) (%) 7,58 5,87
Total Nitrogen (N) (%) 0,16 0,18
Rasio C/N 50,81 36,40
Asam Asetat (mmol/L) 10,50 7,92
Asam Propionat (mmol/L) 1,26 0,80
Asam Butirat (mmol/L) 0,69 0,34
VFA Total (mmol/L) 12,45 9,06
Keterangan: ttd: Tidak terdeteksi
32
Hasil pengukuran bahan organik menunjukkan nilai rataan yang sangat tinggi
pada kedua lokasi sampling nilai rataannya berkisar antara 75,09-69,37% (Tabel 2)
yang menurut analisis kedua lokasi berbeda secara signifikan (sig.<0,05). Menurut
Rosmarkam dan Yuwono (2002), Komposisi bahan organik dalam tanah dengan
kisaran ≥35 % tergolong sangat tinggi. Lokasi samping darat dan laut memiliki
selisih sebesar 5,71%, nilai yang cukup besar untuk persentase bahan organik.
Menurut Subowo (2010), Peranan BO dalam tanah berlangsung karena adanya
aktivitas organisme tanah, tanpa adanya aktivitas organisme tanah bahan organik
akan tetap utuh (tidak terurai). Menurut Hanafiah (2005), semakin banyaknya bahan
organik dan didukung oleh faktor faktor lain seperti, suhu, pH Tanah, pH air,
kedalaman, dan kecerahan maka dapat menambah bakteri dan fitoplankton untuk
dapat mengoksidasi bahan organik, selama ada bahan organik selama itu pula proses
dekomposisi berlangsung.
Kartasapoetra dan Sutedjo (2002) yang menjelaskan bahwa sumber utama BO
tanah adalah jaringan tanaman, baik yang berupa serasah maupun sisa tanaman. BO
pada lokasi laut dan darat mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Lokasi
sampling darat memiliki nilai lebih tinggi karena lebih banyak serasah dari daratan
juga limbah dari warga sekitar. Bahan organik (BO) merupakan salah satu komponen
penyusun substrat dasar sedimen mangrove. Salah satu fungsi bahan organik di
perairan sebagai indikator kualitas perairan, karena bahan organik secara alamiah
berasal dari perairan itu sendiri melalui proses penguraian, pelapukan, ataupun
dekomposisi tumbuh - tumbuhan, sisa - sisa organisme mati. Selain itu bahan organik
33
juga bermanfaat sebagai pendukung kehidupan fitoplankton di perairan, karena aliran
nutrien yang berasal dari sungai ke laut, sehingga ketersediaan unsur hara di dalam
perairan dapat menjadi indikator kesuburan suatu perairan (Marwan et al., 2015).
Menurut Effendi (2003), bahan organik yang tinggi akan menyebabkan eutrofikasi
atau pengkayaan nutrien unsur hara pada perairan, serta mengakibatkan terjadinya
peningkatan produktivitas perairan.
Di dalam tanah, C organik dihasilkan melalui metabolisme tanaman yang
dilepas melalui akar. Akar-akar yang baik menyediakan substrat berupa karbohidrat,
asam organik, asam amino yang digunakan untuk metabolisme bakteri (Das &
Baruah, 2008). Kandungan C organik digunakan oleh mikroorganisme untuk
menghasilkan energi, sehingga penambahan bahan organik akan meningkatkan
populasi mikroorganisme, salah satunya bakteri metanogen (Yulipriyanto, 2010; Liu
et al., 2016).
Simpanan karbon dalam sedimen di kawasan mangrove Pulau Pari, berkisar
antara 5,75–8,64%. Nilai simpanan karbon pada lokasi sampling mejorok ke daratan
lebih tinggi nilainya yang berbanding lurus dengan bahan organik sedimen. Pasang
surut diduga dapat mempengaruhi jumlah simpanan karbon organik pada sedimen
mangrove. S.alba lebih banyak ditemukan pada daerah pantai yang berbatasan
langsung dengan perairan laut terbuka (Nursal, et al., 2005).
Kandungan N pada lokasi laut memiliki rata rata 0,18% lebih besar tidak
signifikan dibanding dengan nilai persentase rata rata lokasi darat sebesar 0,16%.
34
Kandungan N pada setiap sampel tidak semuanya langsung dimanfaatkan oleh
tanaman, karena hilangnya nitrogen dapat disebabkan oleh nitrifikasi, denitrifikasi
dan erosi (Sari & Prayudyaningsih, 2015; Pambudi et al., 2017). Penyerapan nitrogen
oleh tanaman dilakukan dalam bentuk ion nitrat dan ion ammonium (Patti et al.,
2013). Selain dimanfaatkan oleh tanaman, nitrogen juga digunakan oleh
mikroorganisme dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ion nitrat akan berubah
menjadi ion nitrit oleh nitrat reduktase. Reaksi selanjutnya nitrit akan diubah menjadi
amonia yang kemudian bergabung dengan kerangka karbon hasil respirasi. Kerangka
karbon ini digunakan untuk pembentukan asam amino, sebagai bahan dasar protein
(Eskawidi et al., 2005).
Gambar 7. Reaksi pembentukan amonia dari nitrat dan nitrit (Horton,2006).
Ammonia adalah salah satu bagian yang terdapat pada reaksi ini (Gambar 8).
Ammonia tidak terdeteksi dengan metode Conway yang selanjutnya tidak dilakukan
proses titrasi dengan HCl lebih lanjut. Amonia tidak terdeteksi keberadaannya
disebabkan oleh keberadaan nitrit dan nitrat yang kemungkinan jumlahnya tidak
cukup untuk menghasilkan ammonia. Ammonia yang bersifat mudah menguap dan
35
konsentrasinya yang sangat kecil kemungkinan menyebabkan ammonia tidak
terdeteksi dengan metode Conway.
Rasio C/N adalah perbandingan antara banyaknya kandungan unsur C
terhadap banyaknya kandungan unsur N yang ada pada suatu bahan organik (Widarti
et al., 2015). Rasio C/N menunjukkan kualitas nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh
mikroorganisme untuk mendegradasi bahan-bahan organik. Hasil analisis rasio C/N
pada setiap titik sampling bervariasi antara 23,91 sampai 48,88 yang berbeda nyata
pada kedua lokasi sampling (sig.<0,05). Lokasi titik sampling daerah laut memiliki
nilai rata rata persentase 36,40 lebih rendah secara tidak signifikan dibandingkan nilai
pada lokasi darat yang memiliki nilai rata rata 50,81. Rasio C/N yang tinggi
menandakan kandungan N yang rendah. Konsentrasi N tinggi akan menekan emisi
CH4 (Wihardjaka et al., 2012; Xiao et al., 2018). Hal tersebut karena N dalam bentuk
ion nitrat atau nitrit yang tidak digunakan dalam proses pertumbuhan, akan digunakan
oleh bakteri metanotrof untuk bereaksi dengan CH4 dengan hasil CO2 dan N2 dalam
kondisi aerobik (Ettwig et al., 2010; Vaksmaa et al., 2017).
4NO3- + CH4 → 4NO2
- + CO2 + 2H2O
8NO2- + 3CH4 + 8H
+ → 4N2 + 3CO2 + 10H2O
Apabila konsentrasi nitrat yang berlebih pada kondisi anaerobik maka bakteri
denitrifikasi akan mereduksi nitrat dengan bantuan asam asetat dan hidrogen (Xiao et
al., 2018). Penggunaan asam asetat dan hidrogen oleh bakteri denitrifikasi membuat
bakteri metanogen tidak dapat memanfaatkannya dalam menghasilkan CH4 (Yuan et
al., 2014). Menurut penelitian Duc et al. (2010), pembentukan CH4 lebih tinggi pada
36
rasio C/N>10. Artinya, rasio C/N pada kedua lokasi sampling baik yang darat
maupun laut berada pada nilai optimum untuk pembentukan CH4.
Asam asetat merupakan salah satu jenis dari VFA. VFA merupakan asam lemak
yang penting sebagai nutrisi dalam metabolisme anaerobik. Analisis VFA ini
bertujuan untuk mengetahui nilai asam lemak terbang secara total dan nilai masing-
masing asam lemak terbang yang digunakan oleh bakteri metanogen dalam proses
pembentukan CH4. VFA merupakan asam lemak rantai pendek. Kehadiran VFA
menunjukkan adanya aktivitas mikroorganisme pada setiap kedalaman sedimen
(Finke et al., 2007). VFA parsial meliputi asam asetat, propionat dan butirat. VFA
parsial positif mempengaruhi emisi CH4, dibandingkan asam-asam organik lainnya
(Deublein & Steinhauser, 2008).
Nilai VFA parsial pada setiap lokasi sampling memiliki konsentrasi yang
berbeda, nilai VFA menunjukkan hasil yang berbeda secara signifikan antara kedua
lokasi sampling (sig.<0,05). Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan VFA total
darat memiliki nilai yang tinggi. Kadar VFA yang tinggi berbanding lurus dengan
bahan organik dan carbon organik yang dimana VFA adalah hasil dari pengruaian
serasah. Produksi gas tergantung pada produksi VFA, semakin tinggi VFA total maka
semakin tinggi emisi CH4 yang dihasilkan (Windyasmara, 2015). Kadar VFA total
yang tinggi mengakibatkan tingginya energi yang dihasilkan dari pembentukkan VFA
yang digunakan untuk sintesis protein bakteri dan memperbanyak diri (Mc Donald, et
al., 2002).
Kadar asam butirat paling rendah di antara VFA parsial jenis asetat dan
propionat, hal ini karena asam butirat merupakan salah satu asam organik pertama
37
yang diproduksi dari hasil degradasi bahan organik di dalam tanah (Al-Saedi, 2008).
Konsentrasi butirat pada lokasi sampling darat lebih tinggi dibandingkan lokasi laut,
hal ini karena lokasi yang dekat dengan daratan lebih banyak substrat berupa C
organik yaitu limbah dari penduduk sekitar juga limbah organik sisa dedaunan yang
terbawa oleh ombak laut. Hal tersebut yang menyebabkan asam butirat dapat
dijadikan prekursor awal dalam menentukan emisi CH4 (Rahman et al., 2013). Akan
tetapi besarnya emisi CH4 tergantung dari konsentrasi asam asetat yang dihasilkan
(Capareda, 2013). Konsentrasi asam butirat yang rendah dapat meningkatkan proses
metanogenesis. Sementara itu, konsentrasi butirat yang tinggi dapat menghambat
proses metanogenesis (Henson et al., 1986).
Kandungan asam asetat memiliki kadar yang lebih banyak dibandingkan asam
VFA lainnya, karena hasil semua degradasi substrat akan mengahasilkan asam asetat
pada tahap asetogenesis (Deublein & Steinhauser, 2008). Asam asetat, CO2 dan H2
digunakan dalam memproduksi CH4 oleh bakteri metanogen (Yuan et al., 2014).
Konsentrasi asam asetat adalah yang paling tinggi di antara VFA yang lain, rata rata
konsentrasi asam asetat juga lebih tinggi pada saat pengambilan sampel darat
meskipun tidak signifikan. Lokasi sampling darat lebih banyak memiliki C organik
yang merupakan substrat untuk pembentukan VFA total maupun parsial. Banyaknya
kandungan substrat akan meningkatkan nutrisi mikroorganisme di dalam tanah,
sehingga produk hasil metabolismenya seperti asam asetat akan semakin tinggi
(Windyasmara, 2015).
Asam propionat merupakan salah satu jenis asam VFA pasial selain asetat dan
butirat. Asam propionat dihasilkan pada tahap asidogenesis dari perombakan bahan
38
organik hasil hidrolisis di dalam tanah (Romli, 2010). Konsentrasi asam propionat
lebih besar pada lokasi sampling darat. Hal ini tidak sejalan dengan Deublein &
Steinhauster,(2008) yang menyatakan bahwa meningkatnya asam asetat diimbangi
dengan menurunnya asam propionat, karena asam propionat akan terdegradasi
menjadi asetat, CO2 dan H2. Renhua et al. (2013) juga menjelaskan bahwa
penghambatan asetat oleh peningkatan asam propionat dapat menjadi indikasi
produksi gas CH4 yang lebih rendah. Maka rata rata perbandingan konsentrasi asetat
dan propionat lebih besar pada lokasi sampling laut karena konsentrasi asetat dan
propionat hampir berbanding lurus yang seharusnya berbanding terbalik.
4.3. Konsentrasi Mikroorganisme
Pengamatan mikroorganisme dilakukan untuk mengetahui konsentrasi
mikroorganisme anaerob yang terdapat pada masing-masing lokasi sampling baik
laut maupun darat di hutan mangrove. Bakteri asetonotrof tidak terdeteksi, dan
bakteri yang paling tinggi jumlahnya adalah bakteri metilotrof kemudian
hidrogenotrof (Gambar 9). Bakteri ini masing masing dikelompokkan menggunakan
media selektif sesuai dengan kondisi hidup bakteri tersebut.
Mikroorganisme yang dianalisis diduga merupakan mikroorganisme
metanogenik yang dapat mendukung produksi gas CH4. Bakteri pembentuk asam
akan mendegradasi material organik menjadi asam-asam organik, selanjutnya terjadi
pembentukan gas CH4 dengan bantuan bakteri CH4 seperti Methanococcus dan
Methanosarcina (Pambudi, 2008). Pembentukan CH4 akan tetap berlangsung selama
bahan organik seperti karbon pada akhir masa inkubasi masih tersedia sebagai
39
sumber energi. Bahan organik didegradasi oleh mikroorganisme dan dapat
menghasilkan CH4 dalam metanogenesis (Saputra et al., 2010).
Gambar 8 Grafik bakteri metanogen sedimen berdasarkan lokasi sampling hutan mangrove
Penghitungan jumlah bakteri anaerobik bertujuan untuk mengetahui jumlah
bakteri anaerobik yang terdapat pada sedimen juga memberikan perlakuan untuk
mengetahui jumlah bakteri asetonotrof, metilotrof dan hidrogenotrof yang merupakan
bagian dari proses pembentukan gas CH4 dalam proses metanogenesis. Proses
metanogenesis meliputi 3 tahapan yaitu hidrolisis yaitu proses degradasi senyawa
kompleks menjadi senyawa sederhana. Proses selanjutnya adalah asidogenesis yang
merupakan prises pembentukan asam dari senyawa sederhana hasil dari hidrolisis.
Tahap terakhir adalah metanogenesis yaitu proses pembentukan CH4 dengan bantuan
bakteri, tahap ini mengubah asam lemak rantai pendek menjadi H2, dan CO2
menghasilkan CH4 dan CO2.
0
2
4
6
8
10
12
asetonotrof metilotrof hidrogenotrof total mikroba
Ju
mla
h m
ikrob
a
(cfu
/mg
)
Jenis Bakteri
Darat
Laut
40
Bakteri metanogen tumbuh dalam kondisi anaerob. Bakteri jenis ini banyak
ditemukan di dalam sedimen. Bakteri metanogen adalah bakteri yang mengurai
serasah yang kemudian merubahnya menjadi energi untuk menghasilkan CH4.
Melalui proses metanogenesis VFA yang merupakan asam lemak terurai menjadi
asam lemak yang rantai lebih pendek, salah satunya dalah asam asetat yang melalui
reduksi CO2 yang dibantu oleh bakteri menjadi CH4. Meskipun VFA parsial berupa
asam asetat banyak terdeteksi, bakteri asetonotrof atau dikenal sebagai asetotropik
tidak terdeteksi. Hal ini tidak terdeteksi karena proses metanogenesis tidak melalui
jalur tersebut. Bakteri ini merupakan pengurai asetat, yaitu merubah asam asetat
menjadi CH4 dan CO2.
CH3COOH CH4 + CO2
Selain asetonotrof, bakteri jenis hidrogenotrof cenderung lebih kecil jumlahnya
dibandingkan bakteri asetonotrof dan metilotrof karena merupakan bakteri pada
proses pertama pembentukan CH4. Bakteri asetonotrof tidak terdeteksi pada
perhitungan mikroba secara mikroskopis namun tidak berarti bakteri asetonotrof
keberadaannya tidak ada. Bakteri metilotrof merupakan bakteri yang paling banyak
dibandingkan bakteri jenis lainnya sebagai bakteri pembentuk CH4. Nilai bakteri yang
lebih tinggi untuk metilotrof dan hidrogenotrof adalah pada lokasi sampling laut
sedangkan total mikroba bernilai lebih besar pada lokasi sampling darat. CH4
dihasilkan dari asetat atau dari reduksi CO2 oleh bakteri asetotropik dan
hidrogenotropik dengan menggunakan hidrogen (Budiyanto, 2002).
41
4.4. Emisi Gas Metana (CH4)
Fluks gas CH4 merupakan hasil yang menunjukkan jumlah gas CH4 yang
dilepaskan ke udara dari sedimen maupun bagian - bagian tanaman mangorove. Gas
CH4 dihasilkan dengan bantuan bakteri metanogen dengan mengubah asam asetat,
CO2 dan H2 menjadi CH4 (Capareda, 2013). Fluks gas CH4 yang terbentuk pada
setiap waktu (pagi, siang, sore) dan titik lokasi penelitian juga masing masing bagian
tanaman dan sedimen dapat dilihat pada gambar 10.
Hasil statistik uji T pada sedimen, perbedaan waktu menunjukkan nilai berbeda
signifikan terhadap jumlah emisi gas CH4 (sig.<0,05). Nilai emisi gas CH4 pada
sedimen pada lokasi sampling darat tidak memiliki nilai yang berbeda jauh dibanding
dengan pada lokasi laut. Sedangkan pada tanaman secara keseluruhan tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (sig.<0,05).
Gambar 9. Grafik emisi gas CH4 berdasarkan perbedaan waktu dan bagian tanaman dan
sedimen
0,0000
2,0000
4,0000
6,0000
8,0000
10,0000
12,0000
14,0000
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
Darat Laut
Flu
x G
as
CH
4
(mg/m
2/j
am
)
Kondisi Lingkungan
Sedimen
Akar
Batang
Daun
42
Nilai emisi gas CH4 paling tinggi pada bagian akar pada pagi hari dilokasi darat
dan makin menurun dari pagi, siang ke sore hari. Bagian tanaman batang dan daun
pada masing masing lokasi dan waktu memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Hal ini
terjadi karena emisi gas CH4 pada bagian batang dan daun hanyalah gas yang terbawa
saat transportasi tumbuhan, dimana hanya memiliki nilai yang relatif kecil dan
hampir sama dibanding emisi CH4 pada bagian lainnya.
Emisi gas CH4 memiliki korelasi dengan parameter sifat fisik dan kimia air
lingkungan mangrove terhadap kondisi lingkungan (lokasi sampling). Korelasi antara
parameter (suhu, intensitas cahaya, TDS dan pH) semua memiliki korelasi positif
terhadap emisi gas CH4 kecuali pada TDS yang memiliki nilai korelasi negatif meski
bernilai cukup kecil. Pada uji korelasi. Intensitas cahaya memiliki korelasi paling
besar di antara parameter lainnya terutama pada emisi gas CH4 pada keseluruhan
bagian tanaman.
Gambar 10. Grafik hubungan emisi CH4 pada lokasi, waktu, dan bagian tanaman juga
sedimen mangrove
43
Gambar 11 menunjukkan pemetaan data emisi gas CH4 dan faktor yang
mempengaruhinya. Pada data tersebut dikelompokkan menjadi 4 kelompok.
Kelompok pertama adalah darat siang dimana tidak ada rataan emisi yang tinggi pada
lokasi dan waktu tersebut. Pada kelompok 2 terdapat darat pagi hari dimana rataan
emisi gas CH4 pada bagian akar tinggi juga total tanaman karena sebagian besar nilai
total tanaman dari akar, hal ini dikarenakan pada akar pagi hari terutama di darat pagi
terjadi pasang dan kondisi semakin anaerob dan bakteri lebih aktif menghasilkan gas
CH4. Laut siang sore juga darat sore terdapat pada kelompok 3 yang memiliki nilai
akar terendah, karena lokasi dan waktu tersebut sudah mengalami surut sehingga
kondisi tidak lagi optimum untuk bakteri metanogen. Pada laut dipagi hari dalam
kelompok 4 terdapat nilai gas CH4 yang tinggi pada sedimen, daun dan batang
disebabkan kondisi yang pasang, sehingga bakteri metanogen optimal menghasilkan
gas yaitu pada kondisi anaerob.
Emisi gas CH4 tertinggi pada darat di pagi hari adalah bagian akar. Pada pagi
hari kondisi air laut pasang, sehingga akar tanaman sebagian besar terendam air laut
yang menjadikan kondisi pada bagian akar mangrove anaerobik. Sedangkan pada
lokasi laut emisi gas CH4 tertinggi pada bagian sedimen, lalu setelahnya adalah
bagian akar. Hal ini karena bagian sedimen yang menggunakan pipa seperti pada
Gambar 6. Pagi hari di lokasi laut memiliki air yang lebih tinggi sehingga kondisinya
lebih anaerobik. Kondisi anaerobik ini merupakan kondisi terbaik untuk bakteri
matanogen bekerja secara optimal.
44
Gambar 11. Grafik hubungan emisi CH4 pada bagian tanaman dan sedimen dengan faktor
fisik dan kimia lingkungan kawasan hutan mangrove
Emisi CH4 dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya fisik dan kimia yang
hubungannya dijelaskan pada Gambar 12. Emisi CH4 pada bagian tanaman baik akar,
batang, daun dan sedimen dipengaruhi oleh TDS dan pH yang berhubungan pula
dengan bahan organik juga VFA. Banyaknya bahan organik yang terdegradasi
menjadi karbon dan selanjutnya menjadi asam asam lemak yaitu VFA mempengaruhi
pH dan TDS. Semakin banyak VFA maka semakin banyak juga gas CH4 yang
dihasilkan, sedangkan intensitas cahaya dan suhu tidak berpengaruh terhadap emisi
gas CH4. Suhu yang terdapat pada lokasi tetap sehingga tidak berpengaruh terhadap
emisi gas sedangkan intensitas cahaya hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan
mangrove namun tidak untuk emisi gas CH4.
45
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Faktor fisik dan kimia lingkungan hutan mangrove S. alba yaitu pH 6,75-7,45
dan suhu 26-29°C untuk pertumbuhan bakteri, dan Intensitas cahaya 1.505-
40.700 kkal/m2/hari sesuai untuk pertumbuhan mangrove, dan salinitas dan
TDS untuk keadaan air laut berpengaruh terhadap emisi gas CH4.
2. Emisi gas CH4 dari bagian tanaman mangrove dipengaruhi oleh jarak tanaman
S. alba ke daratan. Emisi gas CH4 mengalami peningkatan pada tanaman di
lokasi menjorok ke laut. Bagian tanaman mangrove S.alba yang memiliki
potensi tertinggi dalam total emisi gas CH4 adalah bagian akar sebesar 35,09
mg/m2/jam, diikuti dengan daun dan batang sebesar 12,08 dan 10,34
mg/m2/jam. Nilai total emisi gas CH4
pada sedimen sebesar 24,24 mg/m
2/jam.
3. Waktu sampling di kawasan mangrove Pulau Pari berpengaruh terhadap emisi
gas CH4 terutama pada pagi hari dimana emisi gas CH4 paling tinggi. Emisi
gas pada pagi hari memiliki total keseluruhan emisi gas CH4 paling tinggi
sebesar 41,32mg/m2/jam.
4. Bakteri metanogen berpengaruh terhadap emisi gas CH4 dari sedimen tanaman
S.alba karena semakin banyak bakteri, semakin banyak gas CH4 yang
dihasilkan.
5.2. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan lokasi yang berbeda dan analisa
populasi mikroba dengan menggunakan teknik biomolekular.
46
DAFTAR PUSTAKA
Saedi A. 2008. Biogas Handbook. Denmark: University of Southern Denmark
Esbjerg, Niles Bohrs.
Association of Analytical Communities (AOAC). 2005. Offical Methods of
Analysis. 18th ed. Association of Official Analytical Chemists, USA.
Ariestika R. 2006. Karakteristik Padang Lamun & Struktur Komunitas Moluska
(Gastropoda dan Bivalvia) Di Pulau Burung, Kepulauan Seribu.
Bakosurtanal. 2009. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional &
Pusat Studi Bencana UGM. http://www.ppsda,org/_web/index.html.
Basset J. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis. Kuantitatif Anorganik. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Basu A. 2013. An Analysis of The Global Atmospheric Methane Budget Under
Different Climates. Jülich: Forschungszentrum Jülich.
Bengen, Dietrich G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir.
Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2000. Vol. 1.
Bidayani E. 2014. Ekonomi Sumberdaya Pesisir yang Tercemar. Malang: UB
Press.
Budiyanto, Kresno MA. 2002. Mikrobiologi Terapan. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Capareda SS. 2013. Introduction to Biomass Energy Conversions. New York:
CRC Press.
Chen GC, Ulumuddin YI, Pramudji Sastro, Chen SY, Chen Bin, Ye Y, Y ODY,
Ma ZY, Huang Hao, Wang JK. 2014. Rich Soil Carbon and Nitrogen But
Low Atmospheric Greenhouse Gas Fluxes From North 291 Sulawesi
Mangrove Swamps In Indonesia. Science of The Total Environment 487:91-
96
Das K dan Baruah KK. 2008. A Comparison Of Growth and Photosynthetic
Characteristics of Two Improved Rice Cultivars on Methane Emission From
Rainfed Agroecosystem of Northeast India. Agriculture, Ecosystems and
Environment, 124(1–2), 105–113.
Deublein D, Steinhauser A. 2008. Biogas From Waste And Renewable Resources.
Morlenbach. WILEY-VCH
Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2002. Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta. Departemen Kehutanan.
Donato DC, Kauffman JB, Murdiyarso D, Kurnianto S, Stidham M, Kannien M.
2011. Mangroves Among the Most Carbon-Rich Forests in the Tropics.
47
Duc NT, Crill P, Bastviken D. 2010. Implications of Temperature and Sediment
Characteristics on Methane Formation and Oxidation in Lake Sediments.
Biogeochemistry 100, 185-196.
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Yogyakarta: Kanisius.
Environmental Protection Agency. 2002. Wetland Clasification. Environmental
Protection Agency (EPA).
Environmental Protection Agency. 2011. Regulatory Announcement: EPA Issues
Notice of Data Availability Concerning Renewable Fuels Produced from
Palm Oil Under the RFS Program. Environmental Protection Agency (EPA).
Eskawidi MR, Anggarwulan E dan Solichatun. 2005. Pengaruh Vermikompos
terhadap Kadar Nitrogen Tanah , Aktivitas Nitrat Reduktase dan
Pertumbuhan Caisin ( Brassica rapa L. cv. caisin). BioSMART, 7, 32–36.
Ettwig KF, Butler MK, Le Paslier D, Pelletier E, Mangenot S, Kuypers MMM,
dan Strous M. 2010. Nitrite-driven Anaerobic Methane Oxidation by
Oxygenic Bacteria. Nature, 464(7288), 543–548.
Finke N, Vandieken V dan Jorgensen BB. 2007. Acetate, Lactate, Propionate, and
Isobutyrate as Electron Donors for Iron and Sulfate Reduction in Arctic
Marine Sediments, Svalbard. Microbiology Ecology 59: 10-22.
General Laboratory Procedures. 1966. Departmen of Dairy Science. Madison:
University of Wisconsin.
Giesen W, Wulffraat S, Scholten MZ, dan Liesbeth. 2006. Mangrove Guidebook
for Southeast Asia (1st Editio). FAO and Wetlands International, Bangkok,
Thailand.
Hallam SJ, Putnam N, Preston CM, Detter JC, Rokhsar D, Richdarson PM and
Delong EF. 2004. Reverse Methanogenesis: Testing the Hypothesis with
Environmental Genomics. Science. 305 : 1457-1461.
Hanafiah A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hardy JT. 2003. Climate Change: Causes, Effects, and Solutions. England:
John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West
Sussex PO19 8SQ.
Henson JM, Bordeaux FM, Rivard CJ and Smith PH. 1986. Quantitative
Influences of Butyrate or Propionate on Thermophilic Production of Methane
from Biomass. Environmental Microbiology 51 (2): 288-292.
Indriatmoko, Herlambang. 1999. Pengolahan Air Asin atau Payau Berbasis
Kimiawi Melalui Tekno Membran Reverse Osmosis (RO) Kelompok
Teknologi Pengolahan Air Bersih dan Limbah Cair Direktorat Teknologi
Lingkungan, Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, Material dan
Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
48
Kartasapoetra AG, dan Sutedjo MM. 2002. Pengantar Ilmu Tanah. Jakarta: PT.
Ineka Cipta.
Keppler F, Hamilton JTG, Brass M, dan Ro T. 2006. Methane Emissions From
Terrestrial Plants Under Aerobic Conditions. Nature. 439, 187–191.
Khopkar SM. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press.
Kjedahl J. 1883. Neue Methode zur Bestimmung des Stickstoffs in Organischen
Koeprn, Z. Anal. Chem. 22, 366-382
Kusmana C, Pradyatmika P, Husin YA, Shea G, Martindale D. 2000. Mangrove
Litter-Fall Studies at the Ajkwa Estuary, Irian Jaya, Indonesia. Indonesian
Journal of Tropical Agriculture 9(3):39-47.
Kusumaningtyas MA, Bramawanto R, Daulat A, dan Pranowo WS. 2014.
Kualitas perairan Natuna pada musim transisi. Depik. 3(1), 10-20.
Lay B. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium.Jakarta: Rajawali.
Li C, Moertelmaier C, Winter J, Gallert C. 2015. Microbial Community Shifts
During Biogas Production From Biowaste and/or Propionate.
Bioengineering.vol. 2, no.1, pp. 35–53,2015
Liu Y, Liu X, Cheng K, Li L, Zhang X, Zheng J, Pan G. 2016. Responses of
Methanogenic And Methanotrophic Communities To Elevated Atmospheric
CO2 and Temperature In A Paddy Field. Frontiers in Microbiology, 7(NOV),
1–14.
Lyimo TJ, Pol A and Camp HJM. 2002. Methane emission, sulfide concentration
and redox potential profiles in Mtoni mangrove sediment, Tanzania. Western
Indian Ocean J.Mar. Sci. Vol. 1
Mara, D. 2003. Domestic Wastewater Treatment in Developing Countries.
London: Eartscan.
Marwan AH, Widyorini N dan Nitisupardjo M. 2015. Hubungan Total Bakteri
dengan Kandungan Bahan Organik Total di Muara Sungai Babon, Semarang.
Diponegoro Journal Of Maquares., 4(3) : 170 - 179.
Maryono A. 2009. Preparedness Assessment Tools For Indonesia. Jakarta:
UNESCO Office.
Mc Donald P, Edwards RA, Greenhalg JFD, Morga CA. 2002. Animal Nutrition
6th Edition. England: Imprint Pearson Education Prontice Hill.
Minamikawa K, Tokida T, Sudo S, Padre A and Yagi K. 2015. Guidelines for
Measuring CH4 and N2O Emissions From Rice Paddies By a Manually
Operated Closed Chamber Method. National Institute for Agro-
Evironmental Science, Japan
Menteri Negara Lingkungan Hidup (MNLH). 2004. Keputusan Menteri Negara
49
Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.
Jakarta. Kementerian Negera Lingkungan Hidup, 2004.
Nielsen J, Seadi T, and Popiel P. 2009. The Future of Anaerobic Digestion and
Biogas Utilization. Bioresource Technology, 100, 5478-5484.
Nursal, Fauziah Y, dan Ismiati. 2005. Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove
Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. Biogenesis 2(1). 1-7
Pambudi A, Susanti dan Priambodo TW. 2017. Isolasi Dan Karakterisasi Bakteri
Tanah Sawah Di Desa. Al-Kauniyah. Journal of Biology, 10(2), 105–113.
Patti PS, Kaya E dan Silahooy C. 2013. Analisis Status Nitrogen Tanah Dalam
Kaitannya Dengan Serapan N oleh Tanaman Padi Sawah di Desa Waimital,
Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat. Agrologia, 2(1), 51–58.
Pickard GL, and Emery WJ, 1993. Descriptive Physical Oceanography, 5th
enlarged edition. 320pp. Pergamon Press.
Pramudji. 2004. Handling For Mangrove Forest In The Coastal Zone Of
Indonesia. Oseana, XXIX(1), 19–26.
Purvaja R and Ramesh R. 2001. Natural and Anthropogenic Methane Emission
From Coastal Wetlands Of South India. Environ Management, 27: 547-557.
Purvaja R, Ramesh R and Frenzel P. 2004. Plant-Mediated Methane Emission
From An Indian Mangrove. Global Change Biology. 10(11). 1825–1834
Puspitasari FD, Shovitri M dan Uswytasari NDK. 2012. Isolasi dan Karakterisasi
Bakteri Aerob. Sains Dan Seni ITS, 1(1), 3–6.
Rahman MM, Salleh MAM, Sultana N, Kim MJ and Ra CS. 2013. Estimation Of
Total Volatile Fatty Acid (VFA) From Total Organic Carbons (Tocs)
Assessment Through In Vitro Fermentation Of Livestock Feeds. African
Journal of Microbiology Research, 7(15), 1378–1384.
Renhua N, Dong R, Zhu Z and Chen YHX. 2013. Effects of Forage Type and
Dietary Concentrate to Forage Ratio on Methane Emissions and Rumen
Fermentati. Transactions of the ASABE, 56, 1115–1122.
Riyadi A. 2007. Potret Kondisi Perairan Di Pulau Karang Congkak. Jakarta.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2007. Vol. 3.
Rohyati T, Hida dan Husnah. 2003. Produktivitas Primer dan Komunitas Plankton
di Danau Buatan Kawasan Pemukiman Organ Permata Indah Jakabaring
Palembang. Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan. Balai Riset
Perikanan Perairan Umum, 1(1):1-14.
Romli M. 2010. Teknologi Penanganan Limbah Anaerobik. Bogor: TML
Publikasi
Rosmarkam A dan Yuwono NW, 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta:
50
Kanisius.
Sanderson MA, Adler PR, Boateng AA, Casler MD, and Sarath G. 2006.
Switchgrass as a Biofuels Feedstock In The USA. Canadian Journal of Plant
Science, 86(Special Issue), 1315–1325.
Saputra T, Triatmojo S dan Pertiwiningrum A. 2010. Produksi Biogas dari
Campuran Feses Sapi dan Ampas Tebu (Baggase) dengan Rasio C/N yang
Berbeda. Buletin Perternakan. 34(2): 114-122
Sari R dan Prayudyaningsih R. 2015. Rhizobium. Pemanfaatannya Sebagai
Bakteri Penambat Nitrogen. Info Teknis EBONI, 12(1), 51–64.
Smith JM, and Ness VHC. 1987. Introduction to Chemical Engineering
Thermodynamics, 4th ed. New York: McGraw-Hill Book Co.
SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan
Mangrove di Indonesia Draft Revisi; Buku II: Mangrove di Indonesia.
Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Sotomayor D, Corredor JE, and Morell JM. 1994. Methane and Emission From
Mangrove Soil Along The Southeastern Coast Of Puerto Rico. Estuaries, 17:
140147.
Subowo G. 2010. Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik untuk Kesuburan
dan Produktivitas Tanah Melalui Pemberdayaan Sumberdaya Hayati Tanah.
Balai Penelitian tanah dan Agroklimat. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.
1
Sudarmadji S, Haryono B, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisis Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Sugiyono. 2006. Penanggulangan Pemanasan Global di Sektor Pengguna Energi.
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 7, No. 2, 2006 : 15-19.
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah
Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suprihati. 2007. Populasi Mikroba dan Fluks Metana (CH4) Serta Nitrous Oksida
(N2O) pada Tanah Sawah. Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan
Pupuk Nitrogen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tis‟in M. 2008. Tipologi Mangrove dan Keterkaitannya Dengan Populasi
Gastropoda Littorina neritoides (Linne, 1758) Di Kepulauan Tanakeke,
Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Bogor: Sekolah Pascasarjana - Institut
Pertanian Bogor. Vol.Tesis.
Ulqodry TZ. 2008. Produktivitas Serasah Mangrove dan Potensi Konstribusi
Unsur Hara di Perairan Mangrove Tanjung Apiapi Sumatera Selatan. Bogor:
Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor. Vol.Tesis.
Vaksmaa A, Guerrero-Cruz S, van Alen TA, Cremers G, Ettwig KF, Lüke C and
51
Jetten MSM. 2017. Enrichment Of Anaerobic Nitrate-Dependent
Methanotrophic „Candidatus Methanoperedens Nitroreducens‟ Archaea From
an Italian Paddy Field Soil. Applied Microbiology and Biotechnology,
101(18), 7075–7084.
Veziroglu TN. 1991. Hydrogen Technology for Every Needs of Human
Settlement. Int. Journal Hydrogen Energy, 12:99.
Walkley AJ and Black IA. 1934. Estimation of soil organic carbon by the chromic
acid titration method. Soil Sci. 37, 29-38.
Wibowo K dan Handayani T. 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui
Pendekatan Mina Hutan (Silvofishery). Jurnal Teknik Lingkungan, 7(3),
227–233
Widada B. 2000. Pengenalan Alat Kromatografi Gas. Alat Analis. ISSN 1852-
4777. URANIA. No. 23-24.
Widarti BN, Wardhini WK dan Sarwono E. 2015. Pengaruh Rasio C/N Bahan
Baku Pada Pembuatan Komppos Dari Kubis Dan Kulit Pisang. Integrasi
Proses, 5(2), 77.
Wihardjaka A, Tandjung SD, Sunarminto BH dan Sugiharto E. 2012. Methane
Emission From Direct Seeded Rice Under the Influences of Rice Straw and
Nitrification Inhibitor. Indonesian Agency for Agricultural Research and
Development.
Windyasmara L. 2015. Pengaruh Jenis Kotoran Ternak Sebagai Substrat Dan
Penambahan Serasah Daun Jati. Buletin Peternakan, 39(3), 199–204.
Wuebbles DJ and Hayhoe K. 2002. Atmospheric Methane and Global Change.
Earth-Science Reviews, 57 : 177-210
Xiao Y, Zhang F, Li Y, Li T, Che Y and Deng S. 2018. Influence of Winter Crop
Residue And Nitrogen Form on Greenhouse Gas Emissions From Acidic
Paddy Soil. European Journal of Soil Biology, 85(October 2017), 23–29.
Yuan Q, Pump J and Conrad R. 2014. Straw Application In Paddy Soil Enhances
Methane Production Also From Other Carbon Sources. Biogeosciences,
11(2), 237–246.
Yulipriyanto H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Zamroni Y, Rohyani IS. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove Di Perairan
Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas 9 (4) :284-287.
52
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Data
1. Perhitungan Bahan Organik Sedimen Mangrove
Lokasi Bobot Cawan Berat Sedimen Cawan+Sedimen Cawan+Sedimen‟ % BO
Darat 1 34.0759 0.4022 34.4781 34.3909 78.3192
Darat 2 32.2910 0.4047 32.6957 32.5818 71.8557
Laut 1 32.7453 0.4007 33.1460 32.9930 61.8168
Laut 2 33.0766 0.4049 33.4815 33.3881 76.9326
x100%
= (( ))
( )
= 78.3192%
2. Perhitungan kadar C Organik Sedimen Mangrove
Kurva Standar
konsetrasi (ppm) absorbansi
0 0.0002
50 0.099
100 0.1515
150 0.2366
200 0.2745
250 0.3496
Sampel Bobot Sampel Absorbansi Konsentrasi
(ppm) % C Rata-rata
Darat 1 0.5052 0.2977 216.0769 4.4873 5.5462
y = 0.0013x + 0.0168
R² = 0.988
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0 50 100 150 200 250 300
Ab
sorb
an
si
Konsentrasi (ppm)
Regresi Linier
53
Darat 2 0.5030 0.4569 338.5385 6.0574
Laut 1 0.5027 0.2037 143.7692 2.9746 4.5600
Laut 2 0.5029 0.4227 312.2308 4.5050
Kadar C organik (%) = ppm kurva x 10 /mg sampel x Fk
= 216.0769 x 10/500 x 1
= 216.0769 x 0,2 x 1
= 4.4873%
3. Perhitungan Kadar Nitrogen Sedimen Mangrove
Lokasi Bobot Sampel V. NaOH (mL) Jumlah N Total Rata Rata
Darat 1 0.5088 19.65 0.9631 1.0404
Darat 2 0.5010 19.60 1.1178
Laut 1 0.5069 19.65 0.9667 1.1764
Laut 2 0.5050 19.50 1.3861
Kadar N (%) = –
( )
=0.9631%
4. Perhitungan Rasio C/N Sedimen Mangrove
Lokasi C% N% C/N Rata-rata
Darat 1 4.3215 0.9631 4.4873 5.2724
Darat 2 6.7708 1.11776 6.0574
Laut 1 2.8754 0.9667 2.9746 3.7398
Laut 2 6.2446 1.3861 4.5050
Rasio C/N =
=
= 4.4873%
5. Perhitungan Fluks Gas CH4
Sampel Lokasi Waktu ΔC (ppm) Δt V A T (°C) Flux CH4
Sedimen Darat Pagi 4.63 3 4985.064 2484.619 0.717 29 2.0070
Siang 3.99 3 4985.064 2484.619 0.717 28 1.7353
Sore 4.06 3 4985.064 2484.619 0.717 27 1.7716
54
Laut Pagi 26.82 3 4985.064 2484.619 0.717 29 11.6258
Siang 5.99 3 4985.064 2484.619 0.717 30 2.5879
Sore 10.49 3 4985.064 2484.619 0.717 31 4.5172
Akar Darat Pagi 17.88 3 5652 1758.4 0.717 29 12.4167
Siang 6.36 3 5652 1758.4 0.717 28 4.4313
Sore 5.89 3 5652 1758.4 0.717 27 4.1176
Laut Pagi 9.78 3 5652 1758.4 0.717 29 6.7917
Siang 5.96 3 5652 1758.4 0.717 30 4.1252
Sore 4.65 3 5652 1758.4 0.717 31 3.2079
Batang Darat Pagi 2.51 3 5652 1758.4 0.717 29 1.7431
Siang 2.30 3 5652 1758.4 0.717 28 1.6025
Sore 2.59 3 5652 1758.4 0.717 27 1.8106
Laut Pagi 2.87 3 5652 1758.4 0.717 29 1.9931
Siang 2.44 3 5652 1758.4 0.717 30 1.6889
Sore 2.17 3 5652 1758.4 0.717 31 1.4970
Daun Darat Pagi 2.80 3 6405.6 1909.12 0.717 29 2.0297
Siang 2.54 3 6405.6 1909.12 0.717 28 1.8474
Sore 2.67 3 6405.6 1909.12 0.717 27 1.9484
Laut Pagi 3.74 3 6405.6 1909.12 0.717 29 2.7111
Siang 2.31 3 6405.6 1909.12 0.717 30 1.6690
Sore 2.60 3 6405.6 1909.12 0.717 31 1.8723
Ket.: Flux adalah satuan untuk menentukan laju emisi gas rumah kaca
Perhitungan Emisi gas CH4 sedimen darat pagi
E CH4 =
x [
]
E CH4 =
x [
]
= 2.007 mg/m2/jam
Lampiran 2. Analisis Statistik
1. Uji T rasio Berat Organik
Lokasi N MeanStd.
Deviation
Std. Error
Mean
Darat 4 75.0875 0.14032 0.07016
Laut 4 69.3747 0.06794 0.03397
Group Statistics
BO
55
2. Uji T rasio C/N
3. Uji T rasio VFA
Lower Upper
Equal
variances
assumed
9.908 0.02 73.286 6 0 5.71278 0.07795 5.52203 5.90352
Equal
variances
not
assumed
73.286 4.333 0 5.71278 0.07795 5.50276 5.92279
BO
t dfSig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variancest-test for Equality of Means
F Sig.
lokasi N MeanStd.
Deviation
Std. Error
Mean
darat 4 50.8094 0.53918 0.26959
laut 4 36.4013 0.39136 0.19568
Group Statistics
carbon
Lower Upper
Equal
variances
assumed
0.698 0.436 43.252 6 0 14.4081 0.33312 13.59298 15.22322
Equal
variances
not
assumed
43.252 5.474 0 14.4081 0.33312 13.57362 15.24258
carbon
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variancest-test for Equality of Means
F Sig. t dfSig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
lokasi N MeanStd.
Deviation
Std. Error
Mean
darat 4 12.45 0.02042 0.01021
laut 4 9.055 0.03035 0.01518
Group Statistics
VFA
56
4. Uji korelasi (excel)
Sampel Nilai R Hasil Regresi Linier
suhu Intensitas Cahaya TDS pH
sedimen darat 0.669546 0.951342 0.345112 0.312507
laut 0.665497 0.967638 0.330215 0.114343
tanaman darat 0.756249 0.998723 0.226414 0.427564
laut 0.893967 0.992462 -0.04142 0.472878
Lower Upper
Equal
variances
assumed
0.31 0.598 185.612 6 0 3.395 0.01829 3.35024 3.43976
Equal
variances
not
assumed
185.612 5.254 0 3.395 0.01829 3.34866 3.44134
VFA
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variancest-test for Equality of Means
F Sig. t dfSig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
57
Lampiran 3. Dokumentasi
Proses Pengeboran Batang S.alba
Batang tanaman S.alba
Pemasangan Pipa pada Sedimen S.alba
Akar S.alba
Daun S.alba
Pengambilan Gas CH4
58
Uji amonia dengan cawan conway simplo
Uji amonia dengan cawan conway duplo