Transcript
Page 1: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

BAB I

LATAR BELAKANG

Pada kasus gawat darurat pada system pendengaran, pada saat melihat korban hendaknya

memperhatikan : korban bernapas atau tidak, kesadaran dan perdarahan. Keadaan ini dapat

terjadi pada kondisi apapun. Tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas dan rendah perhatian orang

tua terhadap kondisi anak sehingga menyebabkan munculnya kegawat daruratan pada

pendengaran seperti trauma tumpul yang menyebabkan kehilangan pendengaran bahkan

keseimbangan. Kasus gawat darurat di telinga juga dapat di sebabkan oleh infeksi yaitu otitis

media yang merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba

eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada

saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah melalui

tuba eustachius. Sebagai mana halnya dengan infeksi saluran napas atas (ISPA), otitis media juga

merupakan sebuah penyakit langganan anak-anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 75%

anak mengalami setidaknya satu episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hampir dari

setengah mereka mengalami tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami

minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun. Di negara tersebut otitis media paling sering

terjadi pada usia 3-6 tahun. Kegawat daruratan akibat otitis media yang paling di takuti adalah

timbulnya abses pada leher bagian dalam.

Kasus gawat darurat pada sistem pernafasan misalnya epistaksis dan benda asing di

dalam saluran nafas atas. Epitaksis disebut juga Sinonim: - bloody nose - nose bleed - nasal

hemorrhage. Asal kata bhs Yunani (Greek) : “epistazein” à darah yang terus-menerus menetes

dari hidung (kavum nasi). Epitaksis bukan penyakit, tetapi gejala yang terdiri dari3 derajat : ringan,

sedang, berat (anemis, syok). Selain hal di atas, kegawatdaruratan sistem pernafasan juga dapat

di sebabkan obstruksi saluran nafas, misalnya: tumor dan trauma laring.

1

Page 2: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

BAB II

LANDASAN TEORI

Kegawatdaruratan di bidang THT :

- Epistaksis

- Abses leher Dalam

- Obstruksi Saluran Napas Atas

- Benda Asing Saluran Napas

- Trauma Laring

A. EpistaksisEpistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab

kelainan sistemik. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.

Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa perlu bantuan medis, tetapi epistaksis yang

berat dan sulit ditangani merupakan suatu kedaruratan yang harus segera ditanggulangi

Etiologi

A Trauma

Pendarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung benturan

ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keias, atau sebagai akibat trauma yang

lebih hebat seperti kena pukul jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa

terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan. Epistaksis sering

juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Pendarahan dapat terjadi di

tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu

sedang mengalami pembengkakan.

B Kelainan pembuluh darah (local)

Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya

lebih sedikit. Contohnya seperti pada kasus aneurisma yang merupakan kelainan

bawaan (kongenital) dimana dinding pembuluh darah tersebut lebih tipis

dibandingkan dengan dinding pembuluh darah normal sehingga dapat pecah

kapanpun secara tiba-tiba.

2

Page 3: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

C Infeksi lokal

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis atau

sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus,

sifilis atau lepra.

D Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi

pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis.

E Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,

nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis.

Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat

fatal karena pada penyakit hipertensi tekanan darah menjadi naik sehingga pembuluh

darah pada hidung tidak bisa menahan tekanan yg besar dalam pembuluh darah

sehingga pembuluh darah dalam hidung pecah.

F Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, fombositopenia, bermacam

macam anemia serta hemofilia.

G Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis

hemoragik herediter (hereditary hemonhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber

disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.

3

Page 4: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

H Infeksi sistemik

Yang sering menyebabkan epistiaksis ialah demam berdarah (dengue hemorrhagic

fever). Demam tifoid, influensa dan morbilli juga dapat disertai epistaksis.

Mekanismenya karena pada infeksi tersebut mengalami trombositopenia sehingga

trombosit yang berperan dalam pembekuan darah menurun, sehingga pendarahan

dalam hidung dapat terjadi.

I Perubahan udara atau tekanan atmosfir

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat

dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zal kimia di tempat

industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung. Mekanismenya karena

suhunya terlalu ekstrim terlalu dingin menyebabkan mukosa hidung sangat kering

sehingga menyebabkan pembuluh darah di mukosa hidung pecah sehingga terjadi

epistaksis.

J Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh

perubahan hormonal. Pada wanita hamil biasanya mimisan terjadi pada trimester

kedua dan ketiga kehamilan. Mimisan dapat terjadi ringan atau berat. Mimisan ini

bisa terjadi karena hormon kehamilan seperti estrogen dan progesteron mengiritasi

dan membuat peradangan pada hidung, sehingga memicu produksi lendir di hidung,

ditambah dengan pelebaran pembuluh darah di seluruh tubuh termasuk di hidung dan

peningkatan volume darah selama hamil. (FKUI, 2007)

Klasifikasi Epistaksis

Melihat sumber peradarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis

posterior. Untuk penatalaksanaannya perlu dicari sumber peradarahan walaupun kadang-kadang

sulit.

A Epistaksis anterior

Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari

arteri etmoidalis anterior. Pendarahan pada septum anterior biasanya ringan karena

keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan

terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri. (FKUI, 2007)

4

Page 5: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

B Epistaksis posterior

Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Pendarahan

biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien

dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler

karena pecahnya arteri sfenopalatina. (FKUI, 2007)

Penatalaksanaan

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,

mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang datang dengan

epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah

dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam

keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk

menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi

dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke

dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada

saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 – 5 menit. Dengan cara ini

dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.

(FKUI, 2007)

Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan

kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus

cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika

ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit,

masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis

selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang

banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red

cell) disamping penggantian cairan. (Munir, 2006)

A Epistaksis Anterior

1 Kateurisasi

Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan

menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4%

topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan

5

Page 6: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

penilefrin 0.5 %. Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan

selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.

Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak

nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%. Becker (1994) menggunakan

larutan asam triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber

perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna

kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan

pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain

menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser.Yang (2005)

menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya. (Munir,

2006)

2 Tampon anterior

Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan

tidak dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan

menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik.

Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada pasien diberikan

antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005) menggunakan swimmer’s nose clip

untuk penanggulangan epistaksis anterior.

B Epistaksis Posterior

1 Tampon Posterior

Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau

setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup

koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke

nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini

pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang

diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung

kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari

mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter

ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana

melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring

akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar dari

6

Page 7: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum

nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah

gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di

nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi

pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.

(Munir, 2006)

2 Tampon Balon

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan

pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam

mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley

dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung

dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang

ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang

dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10

-20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon

menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole

atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya

dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa

yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol

perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior. (Vaghela, 2005)

Komplikasi dan pencegahan

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari

usaha penanggulangan epistaksis. Pada  perdarahan  yang  hebat  dapat  menyebabkan  terjadinya

aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal

ginjal.Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia

serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.

Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Akibat 

pembuluh darah yang terbuka dapat menyebabkan terjadinya infeksi, sehingga perlu diberikan

antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septikemia atau

toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan

7

Page 8: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut

dipasang tampon baru. Pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan

laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat

dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena

dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.

B. Abses Leher Dalam

Nyeri tenggorok dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan

leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher  dalam 

terbentuk   di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi

dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga  tengah  dan  leher.  

Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di leher dalam yang terlibat.

Kebanyakan  kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob

Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses

retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici.

1. Abses Peritonsil

Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilis akut atau infeksi yang bersumber dari

kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab

tonsillitis.

Patologi

Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena

itu infiltrasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah tersebut, sehingga tampak

palatum mole membengkak. Pada  stadium  permulaan  (stadium infiltrate),  selain

pembengkakan tampak   permukaannya  hiperemis. Bila  proses  berlanjut , terjadi  supurasi

sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula

kearah kontralateral. Bila  proses  berlangsung  terus,  peradangan  jaringan  di sekitarnya  akan

8

Page 9: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah

spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.

Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda tonsilitis:

- Odinofagia hebat

- Otalgia

- Muntah (regurgitasi)

- Mulut berbau (foeter ex ore)

- Hipersalivasi

- Suara sengau (rinolalia)

- Sukar membuka mulut (trismus)

- Pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan

Pemeriksaan

- Palatum mole membengkak dan menonjol ke depan

- Uvula membengkak dan terdorong ke kontra lateral

- Tonsil bengkak dan hiperemis

Terapi

Stadium infiltrasi dapat diberikan antibiotika dosis tinggi, obat simtomatik, kumur-kumur

dengan cairan hangat & kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi

di daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi adalah tempat yang

paling menonjol dan  lunak,  atau  pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula

dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Tonsilektomi pada

umumnya dilakukan sesudah infeksi tenang, 2-3 minggu setelah drainase abses.

Komplikasi

- Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piremia

- Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada 

penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi

9

Page 10: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus,

meningitis, dan abses otak.

2. Abses Retrofaring

Etiologi

Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu :1) Akut: Sering terjadi pada anak-

anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan ini terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas

seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung,sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke

kelenjar limfe retrofaring (limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut.

Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat

penggunaan instrumen (intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi) atau benda

asing. 2) Kronis: Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini

terjadi akibat infeksi tuberkulosis (TBC) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung

menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi

TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Pada  banyak

kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme

yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah

10

Page 11: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

(1) Kuman aerob :

Streptococcus beta –hemolyticus group A, Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non –

hemolyticus, Staphylococcusaureus , Haemophilus sp

(2) Kuman anaerob :

 Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria

Gejala dan tanda klinis

Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan tanda klinis

yang sering dijumpai pada anak :

- demam

- sukar dan nyeri menelan

- suara sengau

- dinding posterior faring membengkak (bulging) dan hiperemis pada satu sisi.

- pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan atau

- pembesaran kelenjar limfe leher (biasanya unilateral).

Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan biasa dijumpai adanya:

- kekakuan otot leher (neck stiffness) disertai nyeri pada pergerakan

- air liur menetes (drooling)

- obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea

Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan

pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding

posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat

dijumpai adalah :

- demam

- sukar dan nyeri menelan

- rasa sakit di leher (neck pain)

- keterbatasan gerak leher 

- dispnea

11

Page 12: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai

terjadi pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas atas atau trauma,

gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral.

Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan

dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada

dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebral servikal.

Diagnosis Banding

Adenoiditis, Tumor , Anuerisma aorta

Penatalaksanaan

1. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :

- posisi pasien supine dengan leher ekstensi

- pemberian O2

- intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik 

- trakeostomi/krikotirotomi

Antibiotik (parenteral) Pemberian  antibiotik secara  parenteral  sebaiknya  diberikan

secepatnya  tanpa menunggu  hasil  kultur  pus. Antibiotik

yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan

gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G  dan  Metronidazole  sebagai  

terapi  utama,

tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B – laktamase

kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah clindamycin yang

dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan

sefalosporin generasi kedua (seperti cefuroxime) atau beta –lactamase–resistant

penicillin seperti ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam,

ampicillin / sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10

hari.

12

Page 13: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

2. Simtomatis

3. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan cairan

elektrolit.

4. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.

5. Operatif :

a. Aspirasi pus (needle aspiration)

b. Insisi dan drainase :

- Pendekatan intra oral (transoral)

untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien  diletakkan  pada

“posisi Trendelenburg”,  dimana  leher  dalam  keadaan hiperekstensi dan kepala

lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling

berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat

penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep

atau klem arteri untuk memudahkan evakuasi pus.

- Pendekatan eksterna (external approach) baik secara anterior atau posterior

untuk abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Pendekatan  anterior

dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal mengikuti garis kulit setingkat

krikoid atau pertengahan antara tulang hioid dan klavikula. Kulit dan  subkutis

dielevasi  untuk

memperluas pandangan sampai terlihat m.sternokleidomastoideus.

Dilakukan insisi pada batas anterior m.

sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem arteri bengkok, m.

Sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah

abses terpapar dengan cunam tumpul abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila

diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain (Penrose drain).

Pendekatan  posterior  dibuat  dengan  melakukan  insisi 

pada batas posterior m.sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berla

wanan dari abses.

Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan.

Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.

13

Page 14: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:

- penjalaran ke ruang parfaring, ruang vaskular visera-Penjalaran ke madiastinum

- mediastinitis-Obstruksi jalan napas

- asfiksia-Abses pecah spontan

- pneumonia aspirasi dan abses paru

3. Abses Parafaring

Etiologi

- Tertanam langsung jarum operasi

- Melalui pembuluh darah

- Saluran limfatik/ supurasi dari kelenjar servikal dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,sinus

paranasal, mastoid, vertebra servikal.

- Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

Patologi

Dimulai dari daerah prastiloid sebagai selulitis, jika tidak diobati berkembang menjadi

suatu abses dan akhirnya menjadi suatu trombosis dari vena jugularis interna.Abses dapat

mengikuti m. stiloglossus ke dasar mulut dimana terbentuk abses.Infeksi dapat menyebar ke

anterior ke bagian posterior, dengan perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh-pembuluh

darah besar, disertai oleh trombosis v. jugularis/ mediastinitis. Infeksi bagian posterior : meluas

ke atas sepanjang pembuluh- pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial/ erosi a.

karotis interna.

Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan sekitar  angulus

mandibula,  demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah

medial.

14

Page 15: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

Pentalaksanaan

- Antibiotik dosis tinggi parenteral

Kuman aerob dan anaerob-Evakuasi abses jika dalam 24-48 jam tidak ada perbaikan

dengan pemberianantibiotik. Insisi abses terdiri dari :a)Insisi dari luar Dilakukan 2 ½ jari

di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi di lanjutkan  dari  batas

anterior m. Sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial man-

dibula dan m. Pterigoid interna mencapai  ruang  parafaring  dengan  terabanya  prosesus

stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari

pertenga haninsisi horizontal ke bawah dengan m. Sternokleidomastoideus.

- Insisi intraoral

Dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan

dengan menembus m. Konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior.

Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan insisi eksternal.

Komplikasi

- Penjalaran ke intrakranial-Penjalaran ke mediastinum-Kerusakan dinding pembuluh

darah.

- Nekrosis

- Perdarahan-Flebitis, tromboflebitis dan septikemia.

4. Abses Submandibula

Etiologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, kelenjar limfe

submandibula. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.

Gejala dan tanda

- Nyeri leher 

- Pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah

Terapi

15

Page 16: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

- Antibiotika dosis tinggi yang diberikan secara parenteral

- Abses dangkal & terlokalisasi

evakuasi abses

- Abses dalam & luas

eksplorasi dalam narkosis

5.Angina Ludovici

Etiologi

infeksi dari gigi atau dasar mulut.

Gejala dan tanda

- Nyeri tenggorok & leher 

- Pembengkakan di daerah submandibula

- Dasar mulut membengkak- mendorong lidah ke atas belakang- sumbatan jalan napas

- sesak napas

Diagnosis

Riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala & tanda klinik.

16

Page 17: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

Terapi

- Antibiotika dosis tinggi

- Dekompresi dan evakuasi pus / jaringan nekrosis

- Pengobatan terhadap penyebab infeksi (gigi)

Komplikasi

- Sumbatan jalan napas

- Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain & mediastinum

- Sepsis

C. Obstruksi Saluran Napas AtasObstruksi dapat bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Obstruksi ringan

mengakibatkan sesak sedangkan obstruksi yang lebih berat namun masih ada sedikit celah

menyebabkan  sianosis (berwarna biru pada kulit dan mukosa membran yang disebabkan

kekurangan  oksigen dalam darah), gelisah bahkan penurunan kesadaran. Obstruksi total bila

tidak ditolong dengan segera dapat menyebabkan kematian. Obstruksi Saluran Nafas

Atas menyebabkan terjadinya Hipoventilasi Alveolar dan perubahan Biokimia yaitu hipoksemia

arteri, retensi CO2 [hiperkapnea], dan asidosis respiratori dan metabolik [karena PH yg Rendah].

Ketiga faktor ini akan menyebabkan keadaan Asfiksia. Keadaan Asphyxia menstimulasi

Kemoreseptor pada Carotid & Aortic Bodies. Keadaan  Hipoksemia  menstimuli :

Chemoreceptor  & Symphatetic nervous system. Perangsangan

Chemoreceptor & Symphathetic Nervous System ini menyebabkan peningkatan usaha respirasi,

takikardia, vasokontriksi perifer hipertensi, peningkatan

resistensi Vascular Pulmonar, peningkatan aktivitas adrenal, peningkatan aktivitas Cerebral

Cortical. Obstruksi saluran napas atas yang akan dibahas kali ini adalah obstruksi pada laring.

Prinsip penanggulangan obstruksi laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan dengan cepat

atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin ventilasi. Sumbatan pada laring atau

saluran napas atas dapat disebabkan oleh : radang akut dan kronis, Benda asing, Trauma akibat

17

Page 18: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

kecelakaan, Trauma akibat tindakan medik, Tumor saluran napas atas (tumor jinak maupun

ganas), Kelumpuhan nervus rekuren bilateral.

Gejala dan tanda

- Serak (disfoni) sampai afoni

- Sesak napas (dispnea)

- Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.

- Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula

dan interkostal.

- Gelisah karena pasien haus udara (air hunger )

- Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.

Derajat (Kriteria Jackson)

- Stadium I : Cekungan sedikit pada inspirasi didaerah suprasternal, kadang-kadang

belum ada stridor.

- Stadium II : Cekungan di suprasternal dan epigastrium dan stridor  mulai terdengar.

- Stadium III : Cekungan terdapat di suprasternal, epigastrium, intercostals, dan

suprakalvikula. Stridor jelas terdengar dan pasien tampak gelisah.

- Stadium  IV : Cekungan  bertambah  dalam, sianosis, pasien  yang mula-mula gelisah

mulai tampak lemah dan akhirnya diam dan kesadaran menurun.

Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan foto leher dengan posisi tegak untuk menilai jaringan lunak leher serta

thorak postero-anterior dan lateral.

- Endoskopi dilakukan atas indikasi diagnostic dan terapi.

- Pemeriksaan laboratorium darah berguna untuk mengetahui gangguankeseimbangan

asam basa dan tanda infeksi traktus trakeobronkial.

18

Page 19: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

Penatalaksanaan

- Stadium I : Tindakan konservatif dengan pemberian antiinflamasi, anti alergi,

anti biotik serta pemberian oksigen intermiten jika disebabkan oleh peradangan.

- Stadium II : Intubasi endotrakea dan trakeostomi

- Stadium III : Intubasi endotrakea dan trakeostomi

- Stadium IV : Krikotiroidektomi

Intubasi Endotrakeal

Indikasi :

- Untuk mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas

- Membantu ventilasi

- Memudahkan menghisap sekret dari traktus trakeobronkial

- Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut yang berasal dari lambung

Teknik Intubasi :

- Posisi pasien tidur telentang, leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi.

- Laringoskop dengan spatel bengkok di pegang dengan tangan kiri, dimasukkan melalui

mulut sebelah kanan sehingga ligah terdorong ke kiri.

- Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkat ke atas

sehingga terlihat pita suara.

- Dengan tangan kanan pipa endotrakeal dimasukkan melalui dua celah di antara pita suara

ke dalam trakea.

- Balon diisi dengan udara lalu pipa endotrakeal difiksasi dengan benar. Harus berhati-hati

dalam memasukkan pipa endotrakeal karena dapat menyebabkan trauma pita suara,

laserasi pita suara sehingga timbul granuloma dan stenosis laring atau trakea.

Trakeostomi

- Tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk bernapas.

- Menurut letak stoma trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan

batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga

- Menurut waktu dilakukan tindakan dibagi dalam :

19

Page 20: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

Trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang

Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan

secara baik (legal artis)Indikasi :-Mengatasi obstruksi laring-Mengurangi

ruang  rugi (dead air space)  disaluran napas  bagian  atas  seperti daerah

rongga mulut, sekitar lidah dan faring.-Mempermudah pengisapan sekret

dari bronkus pada pasien yang tidak dapat mengeluarkan sekret secara

fisiologik, misalnya pada pasien dalam keadaan koma-Untuk memasang

respirator atau alat bantu pernapasan-Untuk mengambil benda asing dari

subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.

Krokotiroidektomi

Dilakukan dengan cara membelah membran krikotiroid.

Kontraindikasi :

- Anak < 12 tahun.

- Tumor laring yang sudah meluas ke subglotis dan terdapat laringitis.

D. Benda Asing Saluran NapasGejala dan Tanda

- Tergantung lokasi : Batuk hebat, rasa tercekik, tersumbat di tenggorok, bicara gagap,

obstruksi jalan nafas yang terjadi segera.

- Nyeri daerah leher, rasa tidak enak di substernal, nyeri punggung, disfagia, nyeri

menelan, perforasi esofagus

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran napas antara

lain, faktor personal (umur,  jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal), kegagalan

mekanisme proteksi yang normal (antara lain keadaan tidur, kesadaran menurun,  alkoholisme, 

dan epilepsi), faktor fisik (yaitu kelainan dan penyakit neurologik), proses menelan yang belum

sempurna pada anak, faktor dental, medikal dan surgical (antara lain tindakan bedah, ekstraksi

gigi, belum tumbuhnya gigi molar pada anak yang berumur < 4 tahun), faktor kejiwaan (antara

20

Page 21: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

lain emosi, gangguan psikis), ukuran dan bentuk serta sifat benda asing, faktor kecerobohan

(antara lain meletakkan benda asing di mulut, persiapan makanan yang kurang baik, makan atau

minum tergesa-gesa, makan sambil bermain, memberikan kacang atau permen pada anak yang

gigi molarnya belum lengkap)

Gejala

Gejala awal aspirasi akut dapat ditandai dengan episode yang khas yaitu ‘choking ’

(rasatercekik), ‘gagging ’ (tersumbat), ‘sputtering ’ (gagap), wheezing ’ (napas berbunyi),

paroxysmal coughing , serak, disfonia sampai afonia dan sesak napas tergantung dari derajat

sumbatan. Benda asing yang tersangkut di trakea akan menyebabkan stridor, dapat ditemukan

dengan auskultasi (audible stridor) dan palpasi di daerah leher ( palpatory thud ). Jika benda asi-

ng menyumbat total trakea akan timbul sumbatan jalan napas akut yang memerlukan tindakan

segera untuk membebaskan jalan napas.

Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan radiologik leher dalam posisi tegak untuk menilai  jaringan  lunak  leher

dan pemeriksaan toraks postero anterior dan lateral

- Video fluoroskopi

- Bronkogram

- Pemeriksaan laboratorium

Penatalaksaan

Bronkoskopi kaku dengan kontrol pernapasan merupakan pilihan utama untuk kasus

benda asing di traktus trakeobronkial. Kebanyakan pasien yang datang ke pelayanan tertier telah

melewati fase darurat akut. Bila terdapat gangguan jalan napas berat atau adanya obstruksi total

dan benda asing tidak tajam lakukanlah back blows, abdominal thrusts atau Heimlich. Metode

ini tergantung umur penderita. Persiapan ekstraksi benda asing harus dilakukan sebaik-baiknya

dengan  tenaga medis/operator, kesiapan alat yang lengkap. Besar dan bentuk benda asing harus

diketahui dan mengusahakan duplikat benda asing serta cunam yang sesuai benda asing yang

akan dikeluarkan. Benda asing yang tajam harus dilindungi dengan memasukkan benda tersebut

ke dalam lumen bronkoskop. Bila benda asing tidak dapat masuk ke lumen alat maka benda

21

Page 22: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

asing kita tarik secara bersamaan dengan bronkoskop. Pemberian steroid dan antibiotik

preoperatif dapat mengurangi komplikasi seperti edema saluran napas dan infeksi.

Metilprednisolon 2 mg/kg IV dan antibiotik spektrum luas yang cukup mencakup Streptokokus

hemolitik dan Staphylococcus aureus dapat dipertimbangkan sebelum tindakan bronkoskopi.

Untuk sumbatan jalan napas bila terdapat benda asing di hidung cara mengeluarkannya ialah

dengan memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas, menyusuri atap

kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan

ditarik ke depan. Sedangkan benda asing di tonsil dan  dasar  lidah  digunakan  cunam  untuk

mengambilnya. Untuk benda asing yang terletak di dasar lidah, dapat digunakan kaca

tenggorok yang besar untuk membantu pengembilan benda asing tersebut. Pasien diminta

menarik lidahnya sendiri dan pemeriksa memegang kaca tenggorok dengan tangan kiri,

sedangkan tangan kanan memegang cunam untuk mengambil benda tersebut. Gunakan Xylocain

terlebih dahulu jika pasien merasa sensitive.

E. Trauma LaringBallanger membagi penyebab trauma laring atas:

1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau

krikotirotomi)  dan  mekanik  internal  (akibat  tindakan endoskopi, intubasi endotrakea

atau pemasangan pipa nasogaster).

2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan kimia (cairan

alcohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.

3. Trauma akibat  radiasi  pada  pemberian  radioterapi  tumor ganas leher.

4. Trauma otogen akibat penggunaan suara yang berlebihan (vocal abuse) misalnya akibat

berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.

Patofisiologi

Trauma dapat menyebabkan edem dan hematoma plika ariepiglotika dan ventrikularis

oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu Mukosa faring dan

laring mudah robek kemudian diikuti  terbentuknya  emfisema  subkutis  di daerah  leher  yang

22

Page 23: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

akan menyebabkan infeksi sekunder.

Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi.

Gejala klinik 

Stridor, suara serak, emfisema subkutis, krepitasi kulit, hemoptisis,disafgia.

Penatalaksanaan

Luka terbuka : asfiksia ------penanganan segera

Adanya gelembung udara pada daerah luka

Tujuan : perbaiki saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru

Trakeostomi dengan kanul trakea

eksplorasi : jahit mukosa dan tulangrawan yang robek 

Antibiotik utk mencegah tetanus

Luka tertutup : fraktur & dislokasi tulang rawan, laserasi mukosa laring

Konservatif : istirahat suara, humidifikasi, kortikosteroid

Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah: sumbatan jalan napas yang memerlukan

trakeostomi, emfisema subkutis progresif, laserasi mukosaluas, tulang krikoid terbuka, paralisis

bilateral terbuka. Eksplorasi dengan insisi kulit horisontal , untuk mereposisi tulang rawan atau

sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yangrobek dan menutup tulang

rawan yang terbuka.

Komplikasi

Dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang tepat dan cepat. Komplikasi yangdapat

timbul antara lain:

Terbentuknya jaringan parut disekitar luka dan terjadinya stenosis laring

Paralisis nervus rekuren

Infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut, dan stenosislaring dan

trakea.

23

Page 24: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Telinga adalah organ penginderaaan berfungsi ganda dan kompleks pendengaran dan

keseimbangan. Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktifitas

kehidupan sehari-hari, sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara dan

kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan

mendengar. Gawat darurat telinga  adalah suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya

penurunan pendengaran bahkan kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh beberapa factor

diantaranya trauma tumpul seperti kecelakaan lalu lintas dan infeksi baik dalam waktu akut

maupun kronis.

Hidung dan tenggorokan merupakan organ yang berfungsi dalam penciuman dan pernafasan.

Kegawatdaruratan pada hidung dan tenggorokan dapat berupa adanya obstruksi saluran nafas

atas (tumor, truma laring, epitaksis). Adanya sumbatan pada hidung dan tengorokan dapat

menyebabkan berkurangnya absorpsi O2 dalam tubuh sehingga timbul hipoksemia yang akan

menyebabkan peningkatan  usaha  respirasi, takikardia,  vasokontriksi perifer hipertensi,

peningkatan resistensi  Vascular  Pulmonar, peningkatan  aktivitas  adrenal, peningkatan

aktivitas Cerebral Cortical. Kekurangan O2 lebih dari 3 menit dapat menyebabkan kerusakan sel-

sel otak dan terjadi nekrosis sehingga pasien dapat jatuh dalam keadaan koma dan berakhir

dengan kematian.

24

Page 25: TUGAS AKHIR (Kegawatdaruratan Tht)

DAFTAR PUSTAKA

Mangunkosumo E, Wardani R. 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu.Dalam :

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan Kepala dan Leher Edisi 6. Balai

Penerbit FKUI. Jakarta.

Shumrick KA, Sheft SA. 1991. Deep Neck Infections In : Paparella Otolaryngology, Head and

neck. Vol III. Ed. 3.Philadelphia.

Cicameli GR dan Grillone GA.1998. Inferior Pole Peritonsillar Abcess. Otolaryngology

Headneck Surgery.

Goldenberg D, Golz dan Joachims HZ. 1997. Retrofaringeal Abcess a Clinical Review. J.

Laryngol Otol.

Adams Gl, Boies LR, Paparella MM. Trecheostomy.1989. In : Adams GC, Boies LR, Higer PA.

Fundamentals of Otolaryngology. Ed. 6. Philadelphia, WB Saunders Co.

Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi EA. Buku Ajar Ilmu kesehatan Telinga, Hidung,

Tenggorokan, Kepala dan Leher Edisi 6. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Darraw DH, Holinger LD. Foreign Bodies of The larynx, Trachea and Bronchi. In :Bluestrone

CD, Stool SE, Kenna MA, ads. Pediatric Otolaryngology, Vol. 2. Philadelphia, Pa. WB.

Saunders.

Munir M, hadiwikarta A, Hutauruk SM. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga,  Hidung, 

Tenggorokan, Kepala dan Leher Edisi 6. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

25


Top Related