•
233
PENDIDIKAN HUKUM DAN BAHASA HUKUM
---Oleh: Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto ---
Pengantar Di Indonesia, pendidikan tinggi hu
kum diselenggarakan oleh be berapa lembaga pendidikan tinggi hukum negeri maupun swasta. Penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum di beberapa lembaga pendidikan tingi terse but ternyata beraneka ragam, baik dari sudut kurikulum maupun penerapannya, oleh karen a mungkin didasarkan pada ruang lingkup tujuan yang berbeda. Hal itu dapat dimengerti, oleh karena memang dimungkinkan adanya variasi di dalam penerapan, sepanjang hal itu tidak menyeleweng dari sendi-sendinya, dan dalam hal ini tidak mengganggu keluaran yang diharapkan rnasyarakat.
Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasikan maupun menguraikan beberapa sendi pendidikan tinggi hukum dan bahasa hukul11. Di satu pihak, yang diidentifikasikan adalah apa yang ada selama ini, dan di lain pihak dicoba untuk memberikan suatu proyeksi ke masa depan. Bahan-bahan dasar yang dipergunakan adalah bahan kepustakaan (data sekunder), maupiun
. hasil pengamatan-pengamatan terlitadap penyelengaraan pendidikan hukum tinggi di beberapa lembaga pendidikan tinggi hukum, baik negeri rnaupun swasta.
Dengan demikian, maka di dalam tulisan ini akan diungkapkan mengenai proses pendidikan pada umumnya, dan khususnya pendidikan tinggi hukum. Di samping itu, maka akan di-
uraikan pula perihal ruang lingkup atau cakupan pendidikan tinggi hukum, yang merupakan bagian terbesar tulisan ini. Hal itu disebabkan, oleh karena suatu uraian mengenai ruang lingkup dan cakupan pendidikan tinggi hukum, akan dapat memberikan suatu deskripsi yang relatif lengkap mengenai hal-hal apakah yang dapat dijadikan sendi-sendi pendidikan tinggi hukum masa kini maupun pada masamasa mendatang.
Oleh karena itu, maka tulisan ini terutama tertuju kepada para penyelenggara pendidikan tinggi hukum, terutama para dosen. Akan tetapi suo· dah tentu para mahasiswapun perlu memperhatikannya, agar supaya pendidikan tinggi hukum berlangsung secara sinkhron. Gangguan-gangguan yang terjadi pada pendidikan tinggi hukum sebagai suatu struktur dan proses (yakni sebagai suatu sistem) biasanya bersumber pada sendi-sendi yang berbeda-beda. Dengan demikian, maka tulisan ini meruapkan suatu usaha ke arah keseragaman sendi-sendi, yang tidak menutup kemungkinan adanya varaisi di dalam penerapannya di lem baga-Iembaga pendidikan tinggi hukum.
Pendidikan hukum dan tujuannya.
Proses mendidik biasanya diartikan sebagai menggarap potensi Cipta, rasa dan karsa menjadi sarana kemanfaatan bagi terdidik pribadi dalam lingkung- . annya. Cipta yang didasarkan pada
234
emosi, menjadi dasar dari kehendak atau karsa, hal mana sangat tergantung pada keserasian ' cipta dan rasa. Oleh karen a itu, maka cipta, rasa dan karsa menjadi suatu saran a kemanfaafan bagi mereka yang terdidik.
Menurut tahap perkembangannya, maka dikenal adanya tahap pendidikan dasar, tahap pendidikan menengah dan tahap pendidikan tinggi. Pada pendidikan dasar, maka proses pendidikan , didasarkan pada pertanyaan "apa dan bagaimana itu", yang biasanya diatasi dengan memberikan ungkapan pengertian. Ungkapan pengertian dilakukan dengan mempergunakan h~hasa kh ll;:' : :~
yang baik dan benar.
Pada tahap pendidikan menengan, •
maka dasarnya adalahpenalaran ("rea-soning") yang bertitik tolak pada 10-gika. Hal ini disebabkan, oleh karena proses pendidikan menengah .didasarkan pada masalah "mengapa begitu".
•
Par~ anak didik yang telah dibekali de-ngan pengetahuan pada tahap pen die dikan dasar, terdorong untuk memaha-. . . . . . . mi atau mengerti mengenai hal-hal yang telah diketahui. Dalam hal ini, maka diperlukan ketrampilan tertentu untuk merrwergunakan penalaran.
Dalam tahap pendidikan tinggi, maka dasarnya adalah masalah "apa benar begitu", di mana tidak ' hanya diperlukan penalaranbelaka. Pada awal-
•
nya hal itu bertitik tolak pada masa-lah "mengapa begitu" yang kemudian dilarijutkan dengan "apa benar begitu" Untuk mencapai tahap itu, maka .kadang-kadang hal itu dilakukan dengan percobaan dan kesalahan ("trial and error"), oleh karerta tidakadanya bimbingan dari seorang instiuktur. Melalui bimbingan yang mantap dari seorang atau beberapa instrukt~ y.ang disertai dengan pengalaman penditian (dengan bekal metodologinya), maka semakin mantaplah anak didilC untuk mengatasi masalah "apa benar begitu".
Hukum dan Pembangunan •
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa pendidikan pada umumnya (dalam rangkaian tahap dasar, menengah sampai dengan tinggi), bertujuan utama untuk menghasilkan anak didik yang: 1. mandiri, dengan atau melalui
mawas diri (introspeksi), 2. pemecah masalah dan stabilisator,
yangbukan pemberontak ("rebel"), 3. pelopor perkembangan atau dinami
sator, yang bukan taklukan.
Ruang lingkup pendidikan tinggi hukum dan bahasa ,
Pendidikan tinggi hukum pada dasarnya mencakup upaya penguasaan disiplin hukum dan teknologi maupun ketrampilan hukum. Disiplin hukum bersegi ganda, yakni yang umum dan khusus. Segi umum daripada disiplin hukum iaIah : 1. llmu hukum 2. Filsafat hukum, dan 3. Politik hukum.
. Ilmu hukum dikenal dalam tiga ragam; yang pertama merupakan ilmu ten tang kaidah hukum atau "normwissenschaft", yang an tara lain membahas: 1. Perumusan kaidah hukum, 2. Kaidah hukum abstrak dan kaidah ., . .
hukum konkrit , 3. lsi dan sifat · kaidah hukum, 4. Esensialia dalam kaidah hukum, 5. Tugas/kegunaan kaidah hukum, 6. Pernyataan dan tanda pernyataan
kaidah hukum, 7. Penyimpangan terhadap kaidah hu-
kum, 8. Ke (ber) lakuan kaidah hukum.
Yang kedua merupakan ilmu tentang Pengertian Pokok dalam hukum atau "Begriffenwissenschaft", yang pada dasarnya menguraikari perihal : 1. Masyarakat hukum, 2. Subyek hukum,
•
Pendidikan Hukum
3. Hak dan kewajiban, 4. Peristiwa hukum, 5. Hubungan hukum, 6. Obyek hukum.
Yang pertama dan kedua terse but di atas, didasarkan pada dogmatik, yang memperhitungkan kecermatan, ketepatan dan kejelasan. "N ormwissenschaft" dan "Begriffenwissenschaft" yang dalam gabungan dinamakan Dogmatik hukum merupakan pedoman pendidikan hukum. Dogmatik hukum bersifat teoritis rasionil , oleh karen a itu metode pengungkapannya terikat pada persyaratan logika deduktif.
Yang · ketiga merupakan ilmu tentang kenyataan hukum atau "Tatsach-
•
enwissenschaft" yang mencakup Seja-rah hukum, Sosiologi hukum, An-. . tropologi hukum, Psikhologi hukum serta Perbandingan' hukum. Ilmu-ilmu ini dip erlukan , agar sarjana hukum tidak kaku, tidak picik, tidak kosong, dan tidak ceroboh. Oleh karena itu, apabila dogmatik hukum merupakan pedoman pendidikan hukum, maka kelompok ilmu-ilmu ten tang kenyataan hukum merupakan cakrawalanya. Ilmu ilmu ten tang kenyataan hukum tersebut bersifat teoritis empiris, sehingga metode pengungkapannya terikat pada metode iduktif logis.
Filsafat hukum yang bersifat etis spekulatif, merupakan inti pendidikan hukum dan metode pembahasannya adalah krisis analitis. Tujuannya adalah agar supaya sarjana hukum tidak dangkal pemikirannya. Butir-butir utama di daam Filsafat hukum adalah, antara lain:
I. Aneka nilai antinomis, 2. Tujuan hukum, 3. Ke (ber) lakuan hukum.
Politik hukum yang merupakan pemanfaatan gabungan "ilmu hukum dengan filsafat hukum, mempunyai sifat
•
235
fungsionil praktis dan cara menguraikannya ialah teleologis-konstruktif dalam hubungannya dengan landasan dan proses pembentukan hukum ("rechtsvorming"), yaitu penentuan kaidah abstrak yang berlaku umum maupun penemuan hukum ("rechtsvinding") yang merupakan penentuan kaidah konkrit yang berlaku khusus.
Segi hukum daripada Disiplin Hukum, pada dasamya mencakup: I. Sejarah Tata Hukum, 2. Sistem tata hukum yang berbidang:
a. Hukum Negara : - Hukum Tata Negara - Hukum Administrasi Negara
b. Hukum Perdata : - Hukum Pribadi - Hukum Harta Kekayaan - Hukum Keluarga - Hukum Waris
c. Hukum Pidana. d. Hukum Acara :
- Hukum Acara Tata Negara Hukum Acara Administrasi Negara
-- Hukum Acara Perdata - Hukum Acara Pi dana
e. Hukum Intemasional.
3. Teknologi atau ketrampilan hukum, antara lain, mencakup : a. Perubahan anake aliran hukum,
seperti : - Legisrne, - Begriffsjurisprudenz,
, - - Vreierechtslehre,
- Wawasan "rechtsvinding" . , b. Latihan-Iatihan di dalam :
- Bidang perundang-undangan termasuk Perjanjian Internasional,
- Bidang bantuan hukum dan peradilan ("moot court"),
- Bidang dokumen bernilai (perjanjian perdata dan surat berharga).
Mei 1983
•
236
Di muka telah dijelaskan perihal be berapa sedi pendidikan tinggi hukum, yang seyogianya mendasari pendidikan tinggi hukum pada masa kini sertajuga untuk masa-masa mendatang. Apabila seorang dosen hanya ingin menyajikan seluruh bahan wajib di kelas,maka' hal itu tidak mungkin dilaku-_ kannya secara lengkap, oleh karena bahan-bahan terse but senantiasa berkembang dan bertambah banyak. Dengan sekedar memberikan bahan-bahan tersebut di dalam bentuk perkuliahan, maka tujuan pendidikan tinggi hukum tidak akan tercapai. Daripada itu seorang dosen ataupun instruktur, hendaknya lebih banyak memberikan cara-cara atau · metode-metode berpikir; daripada penyajian bahan-baha,n yang sebenarnya sudah diwajibkan. Metode-metode terse but juga mencakup, bagaimana caranya untuk membaca dan mengulas bahan-bahan tertulis yang selama ini diwajibkan, seperti misalnya, peraturan perundang-undang an, hasil-hasil penelitian di lapangan, doktrin, dan seterusnya.
Cara sedemikian itu hendaknya dilandasi dengan bahasa hukum yang baik dan benar, khusus bahasa yang benar dihubungkan dengan dogmatik yakni ketepatan, kecermatan dan kejelasan ungkapan. Bahasa hukum bukan bahasa lain, tetapi bahasa khusus dalamarti bahasa (Indonesia) umum juga, hanya dipergunakan dalam bidang khusus hukum. Hal itu berarti bahwa bahasa hukum tidak boleh meninggalkan gramatikajtata bahasa, etimologi (ilmu asal usul kata), semantik (ilmu arti kata) maupun:sintaksis (ilmu tata kata) bahasa umum di Indonesia. Walaupun demikian tidak dimaksudkan agar Sarjana Hukum harus menjadi Sarjana BahasajSastra sekaligus , tetapi ia wajib mempergunakan segala saran a "hard-ware" (terutama kamus) , maupun "soft-ware ': (saran ahli) bahasa
Hukum dan Pembangunan
yang ada. Yang menganggap bahasa hukum
•
(dan sebagainya) itu bahasa lain, ha-nya merekakan pembenaran untuk tetap tidak mengusai bahasa (Indonesia) umum dan melestarikan (ilmu) hukum dalam bahasa yang "brengsek", sehingga berarti menghambat tercapainya kesatuan bahasa hukum.
Dalam pendidikan hukum semua itu terbukti dalam penggunaan i.stilah yang berbeda (dan tidak tepat) untuk pengertian yang sarna oleh para pengajar yang memelihara mata pelajaran sejenisjsama; dapatiah dibayangkan bagaimana hasil (anak didik) keluarannya.
Penanggulangan hambatan mencapai kesatuan bahasa hukum
Berbagai hambatan untuk mencpai kesatuan bahasa hukum yang baik dan benar dapat diperinci sebagai berikut:
a. Kesembronoan dalam penterjemahan, misalnya :
•
1. Istilah Belanda "obje kctief recht' dan "subyectief recht" diterje-mahkan dengan hukum obyektif dan hukum subyektif yang seharusnya hukum untuk "objectief recht" dan hak untuk "subjectief recht". Alasan adanya pembedaan "recht in objectieve zinjobjectief recht" dan "recht
,
in subjectieve zinjsubjectief recht" ialah karena kat a "recht"
,
adalah homonim, sehingga untuk menghindarkan salah faham maka pada kata "rehct" dilekatkan ajektif' objectiefjsubjectieL
2. "Beleid" (Belanda) atau "po licy ' (Inggris) diterjemahkan dengan kebijaksanaan atau kebijakan. Apabila kedua kata asing itu bersifat netral (tidak RQ,sitif Q-iln tidak negatif) maka ke bijaksanaan (hal bijaksana) bersifat posi-
•
Pendidikan Hukum
tif yaitu kepandaian menggunakan akal budidaya. lelaslah bahwa amat sombong orang yang suka main "ke bijaksan,aan" atau ia malahan kerdil persepsinya tentang semantik dalam bahasa Indonesia. Yang pantas diterjemahkan dengan ke bijaksanaan ialah "wijs beleid" lawannya "wanbeleid", yang pertama itu spesies positief dan yangkedua adalah spesies negatief daripada pengertian "beleid" atau keleluasaan. Apabila terjemahan "beleid" atau "policy" itu keleluasaan maka akan menghambat penguasa/atas an memainkannya dan warga/ bawahan memohonnya; semoga.
3. Istilah Belanda (dalam ilmu hukum pidana) "toerekeningsvatbaar" diterjemahkan dengan dapat dipertanggung-jawabkan" padahal yang "toerekeningsvatbaar' itu si "dader"/penanggung-jawab peristiwa pidana, jadi ia dipertanggung-jawabkan kepada siapa? Ada pengertian lain yang tepat diterjemahkan dengan dapat dipertanggung-jawabkan yaitu "toereken baarhe id", tetapi mengenai peristiwa pidananya yang harus dipertanggung-jawabkan kepada penanggung-jawab/"dader" . Karena itu maka peristiwa pidana yang "toerekenbaar" kepada penanggung-jawab/"dader" dan dia sendiri harus berkeadaan "toerekeningsvatbaar" atau mampu bertanggung-jawab (toerekeningsvatbaarhcid = kemampuan bertanggung-j a wa b).
4. Dalam hukulll acara pidana terjadi penyerahan perkara kepada hakim oleh jaksa yang dikatakan "verwijzillg vall een :aak " dan perkaranya (kata benda) disebut "verwijsJl' :aak" dcngan tcrje-
237
mahannya "perkara ! tolakan" . Rupanya hal itu terjadi karcna pengacauan kat a "verwijzing" dengan "a!wijzing" l yang memang berarti penolakan.
b. Keharfiahan dalam penterjemahan misalnya : "
1. "Zakelijk rehct"/hak Rebendaan sebagai suatu "absol~t recht" dengan terjemahannyal hak absolut . Walaupun terjemahan itu betul tetapi sesungguhnya hak absolut itu tidak pernah ada, juga hak "eigendom" ex B.W. pasal 570 tidak absolut karena penggunaannya terbatas : (1) Tidak boleh melanggar per
undang-undangan , dan (2) tidak boleh mengganggu
hak pihak lain. Bahkan hak azasipun menurut Declaration of HUman Right ada pembatasannya (pasal 29), walaupun itu tidak lDerarti boleh diganggu sewenang-wenang. Olah karen a itu seyogianya pcngertian hak absohH itu diganti dengan hak jamak arah karen a terarah kepada siapa saja (termasuk penguasa) yang wajib menghargai dan dlibedakan dari hak searah sebagai ganti hak pribadij"persoolllijk recht" Hak jamak arah itu sebagai pengertian genus mencakup beberapa pengertian spesies; kecuali:
sOlllijk recht" .Hak jamak arah itu sebagai peDlgertian genus men cakup be berapa pengertian spesies; kecuali :
. .' •
(1) Zakelijk recht"jhak keben-daan , juga melipu ti
(2) "Personlijkheids rehct" / hak kepribadian (atas jiwa. tubuh dan kehormatan). dan
(3) "I'uhlil'krcchtdijk raht"
~, .He; 1 '183
238
yaitu hak berdasarkan hukum tantra seperti hak memilih/ dipilih.
(4) Hak kekeluargaan, misal-•
nya hak (kekuasaan) orang tua atas anaknya, dan
(5) Hak atas obyek imateriel yang salah satu dian taranya ialah hak cipta.
2. Dalam hukum perjanjian menurut B.W. dikenal "eenzijdige overeenkomst/verbin ten is ", terjemahannya tentu saja perjanjian/perikatan sepihak; apakah hal itumungkin? Perjanjian maupun perikatan selalu menyangkut dua pihak atau lebih, maka ganjillah pengertian perjanjian/perikatan sepihak itu. Yang dimaksud dengan sepihak itu tidak lain ialah bahwa satu pihak hanya mempunyai hak dan pihak lain hanya kewajiban saja, misalnya dalam perjanjian meminjam. Jika kita mau melihat bah wa dalam perjanjian/ perikatan itu pihak yang satu mempunyai tagihan saja sedangkan pihak lainnya hanya lunasan maka tepatlah bila dalam hal
. terse but kita gunakan istilah perjanjian/perikatan timpang (bukan sepihak) yang dibedakan dari peIjanjian/perikatan tim balbalik.
3. "Onrechtmatige daad" yang dapat dikatakan tepat diterjemahkan dengan perbuatan melanggar hukum, sebagai istilah lebih luas. jangkauannya dari p,ada hanya terbatas di bidang perdata saja. Perbuatan melanggar hukum mungkin juga dibidang hukum tata negara "excess de pouvoir"/pelampauan batas kekuasaan,maupun di bidang hu. kum administrasi negara - "detournament de pouvoir/"/penya-
Hukum dan Pembangunan
lahgunaan kekuasaan, maka khusus di bidang hukum perdata seyogialah bila digunakan istilah yang tidak terlalu luas yaitu penyelewengan perdata.
4. Dalam menterjemahkan "zedelijk lichaam" menjadi "badan hukum", maka "lichaam" itu benar teIjemahannya badan, tetapi hukum sebagai terjemahan "zedelijk" itu salah, karena arti sebenarnya susila. Oleh karena istilah "zedelijk lichaam" dewasa ini sinonim dengim "rechts persoon", maka lebih baik kita gu-, nakan pengertian itu dengan terjemahan pribadi hukum.
c. Kesahajaan dalain penguasaan bahasa (Indonesia) umum, mengejawantab dalam penyusunan/penggunaan kata, seperti:
l. Perancuan kat a tugas dan wewenang, dengan perkataan lain kedua kata itu dirangkaikan tanpa membedakan arti yang satu dan lainnya. Tugas itu peranan yang harus dilaksanakan, sedangkan wewenang adalah peranan yang tidak harus dilaksanakan. Karena itu ganjil kalau suatu peranan sekaligus disebut-sebut tugas dan wewenang sebagaimana hal-
,
nya pada Munas KORPRI (Ke-putusan 29 Nopember 1978).
2. Penggunaan kata .peraturan perundangan yang jelas salah, karena dari asal kata undang-undang tidak benar kalau menjadi perundangan. Sesungguhnya dengan perundang-undangan saja (tanpa peraturan) sudah tepat dan jelas bila . dimengerti bahwa undangun dang mempunyai dua arti. Pertama undang-undang dalam arti formel bila kita melihat
•
Pendidikan Hukum
pembentukannya, di Indonesia adalah Presiden bersarria D.P .R., dan undang-undang dalam arti materiel bila kita melihat isinya yang merupakan ketentuan abstrak dan berlaku umum dibuat oleh lembaga/pejabat yang sah manapun.
3. Dalam Penjelasan UUD 1945 tercantum kata Demokrasi Ekonomi; apakah itu Demokrasi atau Ekonomi? Apabila menegaskan
,ekonominya maka apakah tidak •
239
seharusnya tertulis Ekonomi Demokratis?
Segala sesuatu yang terungkapkan sebagai hambatan itu merupakan sebahagian pengertian fundamentil dalam (ilmu) hukum yang seharusnya difahami betul oleh kalangan hukum. Untuk menanggulanginya sangat mendesak dibentuknya komisi istiiah hukum yang juga beranggautakan ahli/ sarjana bahasa Indonesia dan lainlain yang berhubungan erat dengan Dewan Perwakilan Rakyat .
selwu PE.NE:lvI8AI«lN MISTeR/US
l
. . ,'He; /1J83 ,