Download - Laporan Sk 1 Tht b16 Fix
LAPORAN TUTORIAL
BLOK THT
SKENARIO I
ADUH, TELINGAKU SAKIT!
KELOMPOK 16
ADHELIA GALUH P.A. G0013004
ARUM CAHYANING P. G0013040
B BRYNT SIMAMORA G0013054
ELISABETH AGNES S G0013086
FARAISSA HASANAH G0013090
FIVI KURNIAWATI G0013098
KEVIN DEVA CANDRA N. G0013128
M. AULIA WARDHANA G0013144
NATASHA NINDA P. G0013172
TIARA DININGTYAS G0013224
TRISTIRA ROSYIDA G0013226
Y TENDY PRATAMA G0013236
TUTOR:
dr. Novi Primadewi Sp.THT, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO I
ADUH, TELINGAKU SAKIT!
Seorang anak laki-laki usia 8 tahun dibawa ibunya ke praktek dokter
umum. Berdasarkan keterangan ibu pasien dikatakan bahwa pasien dibawa ke
dokter karena keluhan telinga kanan keluar cairan kuning kental, tidak berbau
busuk sejak 3 hari yang lalu. Sebelum tibul keluhan tersebut, pasien demam dan
mengeluh telinganya sakit. Pasien mengalami batuk pilek sejak 7 hari yang lalu.
Sejak satu tahun terakhir pasien sering batuk pilek minimal sebulan sekali.
Riwayat keluar cairan dari telinga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: kesadaran compos mentis, tanda vital
dalam batas normal. Pada pemeriksaan telinga dengan otoskopi didapatkan telinga
kanan liang telinga lapang, tampak sekret mukopurulen, dan tampak perforasi
membran timpani sentral (pulsating point +). Pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior didapatkan sekret seromukous, konka inferior oedema, hiperemis, septum
nasi deviasi (-), palatal phenomena -/-. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan
tonsil T3-T3, hiperemis, kripta melebar, detritus (+). Pada pemeriksaan kelenjar
getah bening leher tidak didaptkan lymphadenopathy.
Pemeriksaan penunjang dengan rontgen Kepala Lateral fokus Adenoid,
tampak gambaran soft tissue mass di regio nasofaring, dicurigai hipertrofi
adenoid, dengan A/N ratio 0.8.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Seven Jump
Jump I : Klarifikasi Istilah
Dalam skenario ini beberapa istilah yang perlu diklasifikasi adalah sebagai
berikut:
1. Otoskopi : Jenis pemeriksaan yang digunakan untuk melihat keadaan
dari liang telinga hingga membran timpani. Hal-hal yang diperiksa
mencakup bentuk liang telinga, lapang atau sempitnya liang telinga, ada
sumbatan atau tidak, kondisi membran timpani (terdapat perforasi atau
tidak), dan ada atau tidaknya sekret yang keluar dari telinga.
2. Palatal Phenomenon : adalah suatu fenomena dimana ketika
nasopharinx disinari oleh cahaya kemudia pasien mengucapkan “iii”
palatum akan naik ke atas sehingga nasopharinx menjadi gelap. Pada
pasien ini didapatkan hasil negative, jadi palatum mole tidak naik.
3. Perforasi membran timpani : perlubangan atau perlukaan yang terjadi
pada membran timpani, dapat disebabkan karena proses radang kronis
sehingga memungkinkan adanya cairan yang keluar melalui liang telingan
akibat keadaan ini
4. Kripte : lipatan
Jump II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan
1. Mengapa ada keluhan demam dan telinga sakit sebelum keluar cairan?
2. Apa hubugan batuk pilek dengan keluhan pasien?
3. Mengapa telinga mengeluarkan cairan kuning kental?
4. Mengapa dulu tidak keluar cairan tetapi sekarang malah keluar cairan?
5. Apa saja indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan otoskopi dan
rhinoskopi?
6. Sebutkan interpretasi serta patofisiologi pemeriksaan rhinoskopi anterior
pada kasus!
7. Apa hubungan kasus dengan usia dan jenis kelamin pasien?
8. Mengapa hanya telinga kanan saja yang keluar cairan?
9. Apakah pemeriksaan penunjang wajib ataukah optional?
10. Interpretasi dan patofisiologi pemeriksaan otoskopi pada kasus?
11. Apa saja diagnosis banding kasus ini?
12. Bagaimana penatalaksanaannya?
13. Mengapa tidak ada lymphadenopathy?
Jump III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara
mengenai permasalahan
Untuk pertanyaan yang belum terjawab, dimasukkan ke dalam LO (Learning
Objective) pada Jump V
Indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan otoskopi :
Indikasi :
1. Pemeriksaan rutin telingan tengah dan telinga luar
2. Membantu diagnosis patologis
3. Debridemen serumen dan pengambilan corpus alienum
Kontraindikasi :
Kontraindikasi secara khusus tidak ditemukan
Indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan Rhinoskopi :
Indikasi :
1. Hanya bila hasil evaluasi sistemik menunjukkan bahwa penyakit nasal
merupakan problem utama
2. Chronic nasal discharge yang tidak merespon dengan terapi sederhana
3. Epistaksis
4. Stertor
5. Evaluasi dan pemeriksaan cavum nasi, sinus paranasal, nasofaring
6. Evaluasi septum nasi dan adanya obstruksi jalan nafas
7. Skrining awal tumor
8. Pelaksanaan prosedur terapi (irigasi, kultur, ballon dilation)
9. Membuang darah dan jaringan parut pasca operasi
Kontraindikasi :
Tidak ditemukan kontraindikasi khusus. Ditemukan kontraindikasi relatif,
yakni jika pasien tidak kooperatif saat dilakukan pemeriksaan.
Hubungan batuk pilek dengan keluhan pasien (keluar cairan kekuningan
dari telinga)
Batuk pilek yang dialami pasien menandakan pasien terpajan infeksi dari
luar, khususnya ISPA (infeksi saluran pernapasan atas). ISPA dapat disebabkan
oleh berbagai macam mikroorganisme (paling sering pada anak-anak: H.
influenza) yang kemudian diikuti reaksi inflamasi dalam tubuh. Sel-sel goblet
pada nasopharynx dan oropharynx kemudian akan mengalami hipersekresi mucus.
Hipersekresi mucus ini kemudian akan menyumbat saluran bernama tuba auditiva
eustachii yang menghubungkan nasopharynx dengan cavum tympani.
Fungsi dari tuba auditiva eustachii salah satunya adalah menjaga
keseimbangan tekanan antara cavum tympani dengan nasopharynx. Namun karena
terjadi penyumbatan oleh hipersekresi mucus, maka terjadilah perbedaan tekanan
yang memicu terjadinya transudasi dari pembuluh darah yang
memvaskularisasinya hingga akhirnya keluar cairan dari dalam cavum tympani
yang kemudian merembes keluar.
Secara fisiologis, daerah cavum tympani harus steril. Keadaan steril ini
dibantu oleh tuba eustachii dengan pergerakan silia di dalamnya. Apabila tuba
eustachii tersumbat, maka silia tidak dapat bekerja dengan baik dan cavum
tympani tidak steril seperti seharusnya. Keadaan ini memudahkan terpajan
mikroorganisme yang menyebabkan cairan yang keluar menjadi berwarna
kekuningan.
Mengapa muncul sekret, dan mengapa sekret berwarna kuning kental tidak
berbau :
Ketika terjadi inflamasi lokal, sekret dan pus bertambah banyak.
Pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan
terlalu banyak akhirnya dapat menipiskan dan atau merobek membran timpani
akibat tekanan yang meninggi sehingga cairan dapat keluar dari liang telinga.
Sekret mukopurulen menunjukkan bahwa sekret tersebut berisi mukus
dan pus (PMN). Sekret mukoid dikeluarkan oleh sel-sel goblet yang terdapat pada
epitel kolumner yang terdapat di telinga tengah.
Cairan mukopurulen yang tidak berbau busuk merupakan reaksi iritasi
mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani, dan akibat adanya infeksi.
Sekret yang berbau biasanya berasal dari cholesteatoma, sekret tersebut
merupakan krista epitel yang berisi deskuamasi epitel, bisa juga sekret pada
penyakit sinusitis.
Diagnosis Banding :
1. Otitis media akut
2. Otitis media kronik
3. Rhinitis allegica
4. Cholesteatoma
5. Extradural abcess
6. Hipertrofi adenoid
Jump IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah
Jump V: Merumuskan tujuan pembelajaran
LO (Learning Objection) yang perlu diketahui dan dicari pada pertemuan kedua
adalah:
1. Menjelaskan histologi telinga
2. Menjelaskan mengapa hanya telinga kanan saja yang mengeluarkan sekret
3. Menjelaskan apakah pemeriksaan penunjang radiologi wajib dilakukan atau
optional saja
4. Menjelaskan interpretasi pemeriksaan otoskopi leher, tenggorok, rontgen
kepala lateral
5. Menjelaskan diagnosis banding pada kasus
6. Menjelaskan penatalaksanaan pada kasus
Jump VI : Mengumpulkan Informasi Baru (Belajar Mandiri).
Jump VII: Melaporkan, Membahas, dan Menata Kembali Informasi Baru
yang Diperoleh.
1. Histologi Telinga
Telinga Luar
Auricula atau pinna terdiri atas suatu lempeng kartilago elastis ireguler
berbentuk corong, yang ditutupi secara erat oleh kulit dan menghantarkan
gelombang suara ke dalam telinga.
Gelombang tersebut memasuki meatus acusticus externus, suatu
saluran yang terjulur dari permukaan lateral kepala. Saluran dilapisi
dengan epitel skuamosa berlapis yang berlanjut dengan kulit auricula dan
di dekat folikel rambutnya, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat apokrin
yang termodifiksasi yang disebut kelenjar seruminosa ditemukan pada
submucosa. Serumen adalah materi kekuningan berlemak yang dihasilkan
dari sekresi kelenjar sebasea dan seruminosa. Serumen mengandung
berbagai protein, asam lemak jenuh dan keratinosit yang terlepas dan
memiliki sidat antimikroba protektif. Dinding meatus acusticus externus
ditunjang oleh kartilago elastis di sepertiga luarnya, sedangkan os
temporale menutup bagian dalam.
Pada ujung bagian dalam meatus acusticus externus terdapat suatu lembar
epithelial yang disebut membrane timpani. Sisi luarnya dilapisi epidermis
dan permukaan dalamnya dilapisi epitel selapis kuboid yang menyatu
dengan lapisan rongga timpani di telinga tengah. Di antara kedua laposan
epitel tersebut terdapat lapisan tipis jaringan ikat fibrosa yang terdiri atas
serat-serat kolagen, elastin, dan fibroblas.
Telinga Tengah
Telinga tengah mengandung rongga timpani yang terisi udara,
suatu ruang ireguler yang berada di dalam os temporale di antara
membrane timpani dan permukaan tulang telinga dalam. Rongga timpani
terutama dilapisi oleh selapis epitel kuboid yang berada di lamina propia
yang sangat melekat pada periosteum. Di dekat tuba auditorius, epitel
selapis ini secara berangsur berubah menjadi epitel bertingkat silindris
berisilia yang melapisi tuba tersebut. Meskipun dinding tuba umumnya
kolaps, tuba akan terbuka selama proses menelan, yang menyeimbangkan
tekanan udara di telinga tengah dengan tekanan atmosfer.
Membrane timpani berhubungan dengan fenestra ovalis melalui
sederan tiga tuling kecil, ossicula auditus, yang menghantarkan getaran
mekanis membrane timpai ke telinga dalam. Ossicula dinamai dengan
malleus, incus, dan stapes. Malleus menempel pada jaringan ikat
membrane timpani dan stapes melekat pada jaringan ikat membrane di
fenestra ovalis. Tulang-tulang ini berartikulasi di sendi synovial yang
bersama-sama periosteum sepenuhnya dilapisi epitel selapis gepeng.
(Mescher, 2011)
Telinga Dalam
a. Cochlea mengandung indera pendengaran, yaitu Organ Corti. Organ
Corti terletak di atas membran basilarismengandung sel rambut yang
merupakan reseptor suara. Sel rambut menghasilkan sinyal saraf jika
terjadi perubahan gerakan mekanis dari rambut permukaannya akibat
gerakan cairam limfe di telinga dalam. Sel rambut dalam mengubah
gaya mekanis suara menjadi impuls listrik pendengaran. Sel rambut
luar mengirim sinyal auditorik ke otak melalui sel saraf aferen.
b. Untuk keseimbangan dan posisi, dalam kanalis semisirkularis terdapat
sel-sel rambut reseptif yang terbenam di dalam lapisan gelatinosa di
atasnya, kupula yang menonjol ke dalam endolimfe di dalam ampula.
Rambut-rambut dalam sel rambut vestibularis terdiri dari kinosilium
bersama 20-50 stereosilia. Stereosilia berhubungan di ujung-ujungnya
oleh tautan ujung yaitu jembatan molekular halus antara stereosilia-
stereosilia yang berdekatan. Jika tautan ini tegang, maka saluran ion
berpintu mekanis di sel rambut akan tertarik yang menyebabkan
terjadinya depolarisasi atau hiperpolarisasi bergantung pada apakah
saluran ion terbuka atau tertutup. Saat depolarisasi, neurotransmitter
dilepaskan, menyebabkan peningkatan frekuensi lepas muatan serat
aferen. Hiperpolarisasi mengurangi pelepasan neurotransmitter dari sel
rambut, pada gilirannya mengurangi frekuensi aksi di saraf aferen.
Otolit membantu memberikan informasi tentang posisi kepala relatif
terhadap gravitasi dan perubahan kecepatan gerakan lurus, berupa :
a) Utriculus, terdapat batu keseimbangan dari lapisan gelatinosa yang
terletak di atas rambut.
b) Sacculus, memberikan informasi pada gerakan miring menjauhi posisi
horisontal, misalnya bangun tidur, linier vertical misalnya loncat naik
turun, naik tangga berjalan.
Fungsi otolit :
a. Mempertahankan keseimbangan dan postur yang diinginkan
b. Mengontrol otot mata eksternal sehingga terfiksasi ke satu titik
meskipun kepala bergerak
c. Mempersepsikan gerakan dan orientasi.
2. Patofisiologi keluar cairan hanya dari telinga kanan
Keluarnya cairan dari telinga kanan seperti pada skenaro dicurigai
adanya kelainan pada telinga. Adapun cairan mukopurulen menandakan
kelainan tersebut ada di teliga bagian tengah. Cairan bisa keluar dari
telinga kanan karena terjadi perforasi pada membran timpani yang bulging
, kondisi ini akibat reaksi imun yang memicu produksi eksudat purulen di
cavum timpani yang kemudian mengalir dan mengisi penuh membran
timpani, ini berarti ada infeksi di telinga tengah. Infeksi di telinga tengah
bisa terjadi baik secara primer atau sekunder. Jika secara sekunder, berarti
sebelumnya ada infeksi lokal di daerah lain. Jika terjadi infeksi lokal di
daerah lain, seperti pada tonsil palatina, invasi bakteri tidak harus terjadi
pada kedua telinga. Tergantung ke arah mana bakteri menginvasi. Invasi
bakteri sangat bisa terjadi pada telinga kanan saja yang kemudian
mengakibatkan infeksi telinga tengah kanan sampai mengalami perforasi,
sedangkan telinga kiri dalam kondisi sehat dan tidak keluar cairan.
3. Pemerikaan penunjang khusus atau optional
Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan untuk mengonfirmasi
apakah kasus tersebut neoplasma atau OMA atau peradangan.
4. Interpretasi pemeriksaan pada skenario
Interpretasi pemeriksaan vital :
a. Compose mentis, menunjukkan tidak adanya komplikasi seperti
meningitis yang mempengaruhi kesadaran
b. Mukopurulen: adanya infeksi yang membuat adanya secret pus atau
nanah dan secret yang keluar ini menunjukkan adanya perforasi pada
membrana tymphani.
c. Pulsating point: menunjukkan adanya infeksi pada telinga bagian
tengah.
d. Tonsil T3-T3: ukuran tonsil diantara garis median dan paramedian. Hal
ini menunjukkan adanya pembesaran tonsil
Interpretasi pemeriksaan rhinoskopi :
a. Sekret seromukous : dimungkinkan adanya bakteri atau alergen yang
memicu pengeluaran mukosa. Sekret bersifat seromukous kare berasal
dari epitel silindris kompleks dengan atau tanpa sel goblet.
b. Konka inferior edema : konka inferior merupakan bagian terbesar di
cavum nasi, sehingga apda pemeriksaan rhinoskopi, konka inferior
adalah bagian yang paling terlihat. Adanya edema pada konka inferior
menunjukkan adanya mukosa yang menumpuk dalam jumlah banyak
sehingga menjadikan bagian ini mengalami hpertrofi. Hipertrofi ini
disebabkan oleh adanya alergen yang memicu pengeluaran mukosa
dalam jumlah banyak sebagai reaksi pertahanan tubuh.
c. Hiperemis : terjadi karena adanya pelebaran pembuluh darah
(vasodilatasi).
d. Septum nasi deviasi (-) : terjadinya deviasi pada septum nasi adalah
karena terjadinya hipotrofi pada salah satu sisi deviasi, sedangkan sisi
yang lain akan mengkompensasi dengan mengalami hipertrofi. Hal ini
terjadi akibat dipicu oleh adanya alergen. Tidak adanya deviasi
menunjukkan septum nasi masih dalam posisi lurus, tidak bengkok ke
salah satu sisi.
Interpretasi pemeriksaan tenggorok :
a. Tonsil T3 – T3
Terjadi pembesaran tonsil yang besarnya ¾ jarak arcus anterior dan uvula.
Pembesaran tonsil dapat terjadi oleh karena jaringan tonsil dan adenoid
memiliki peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon
humoral maupun seluler, seperti pada bagian epitelium, kripte, folikel
limfoid, dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi jaringan
tonsil ini merupakan respon terhadap kolonisasi flora normal dan
mikroorganisme patogen.
b. Hiperemis
Terjadi karena adanya pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi).
c. Kripta melebar
Adanya kolonisasi flora normal dan atau mikroorganisme patogen memicu
pembesaran folikel limfoid pada jaringan tonsil sehingga kripta tonsilaris
pun terlihat melebar.
d. Detritus (+)
Menunjukkan adanya sisa-sisa makanan atau bakteri yang masuk ke kripte
yang melebar karena proses inflamasi sehingga terjadi pendesakan,
kemudian terdorong keluar.
Interpretasi pemeriksaan rontgen kepala lateral :
a. Gambaran soft tissue : merupakan suatu gambaran adanya penambahan
jaringan, biasanya ditemukan pada Ca nasofaring.
b. Hipertrofi adenoid : adanya pembesaran pada jaringan limfoid pada
dinding posterior nasofaring. Keadaan ini terjadi akibat ISPA, dimana
pembesaran adenoid cenderung sebagai respon multi antgen seperti virus,
bakteri, makanan dan iritasi lingkungan (pada masa anak-anak). Infeksi
kronik atau pembesaran adenoid cenderung akibat peningkatan proporsi
epitel skuamus berlapis, yang mana pada kondisi normal secara histologis
adenoid terdiri dari tiga epitel, yakni epitel kolumner kompleks dengan
silia, epitel skuamus kompleks, dan epitel transisional.
5. Diagnosis Banding
A. OMSK
Patologi, patogenesis, pastofisiologi
i. Patologi
Patogensis OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam
hal ini merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan
perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang
terus menerus. Perforasi sekunder pada OMA dapat terjadi kronis
tanpa kejadian infeksi pada telinga tengah misal perforasi kering.
Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai keadaan inaktif dari
otitis media kronis (Helmi, 2001)
ii. Patogenesis
OMSK lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari pada
menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu
dan stadium dari pada keseragaman gambaran patologi. Secara umum
gambaran yang ditemukan adalah:
1) Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral.
2) Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit
3) Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung
pada beratnya infeksi sebelumnya.
4) Pneumatisasi mastoid
OMSK paling sering pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid
paling akhir terjadi antara 5-10 tahun. Proses pneumatisasi ini sering
terhenti atau mundur oleh otitis media yang terjadi pada usia tersebut
atau lebih muda. Bila infeksi kronik terusberlanjut, mastoid
mengalami proses sklerotik, sehingga ukuran prosesus mastoid
berkurang. (Helmi, 2001)
iii. Patofisiologi
Karena OMSK didahului OMA, maka penjelasan tentang
patofisiologi OMSK, akan dijelaskan dengan patofisiologi terjadinya
OMA. OMA biasanya disebabkan oleh Infeksi di Saluran Nafas Atas
(ISPA), umumnya terjadi pada anak karena keadaan tuba eustakius ,
yang sangat berperan penting dalam patofiologi OMA pada anak
berbeda dengan orang dewasa. Tuba eustakius pada anak lebih pendek,
lebih horizontal dan relatif lebih lebar daripada dewasa. Infeksi pada
saluran nafas atas akan menyebabkan edema pada mukosa saluran
nafas termasuk mukosa tuba eustakius dan nasofaring tempat muara
tuba eustakius. Edema ini akan menyebabkan oklusi tuba yang
berakibat gangguan fungsi tuba eustakius yaitu fungsi ventilasi,
drainase dan proteksi terhadap telinga tengah.
Gangguan fungsi Ventilasi
Normalnya tuba akan berusaha menjaga tekanan di telinga tengah
dan udara luar stabil, ketika terdapat oklusi tuba, maka udara tidak
akan dapat masuk ke telinga tengah, sedangkan secara fisiologis udara
(Oksigen dan Nitrogen) akan diabsorbsi di telinga tengah 1 ml tiap
hari pada orang dewasa. Keadaan ini kan menyebabkan tekanan
negatif pada telinga tengah, keadaan vacum di telinga tengah
menyebabkan transudasi cairan di telinga tengah.
Gangguan Fungsi drainase
Dalam keadaan normal mukosa telinga tengah akan menghasilkan
sekret yang akan di dorong oleh gerakan silia ke arah nasofaring,
ketika terjadi oklusi tuba fungsi ini akan terganggu, sehingga terjadi
penumpukan sekret di telinga tengah. Akumulasi cairan di telinga
tengah akan lebih banyak dengan adanya transudasi akibat tekanan
negatif. Sekret ini merupakan media yang baik untuk tumbuhnya
kuman.
Gangguan fungsi proteksi
Tuba berperan dalam proteksi kuman dan sekret dari nasofaring
masuk ke telinga tengah, diantaranya melalui kerja silia. Ketika terjadi
oklusi tuba, fungsi silia tidak efektif untuk mencegah kuman dan
sekret dari nasofaring ke kavum timpani dengan akumulasi sekret
yang baik untuk pertumbuhan kuman. Sehingga terjadi proses
supurasi di telinga tengah. Proses supurasi akan berlanjut dengan
peningkatan jumlah sekret purulen, penekanan pada membran timpani
oleh akumulasi sekret ini kan menyebabkan membran timpani (bagian
sentral) mengalami iskemi dan akhirnya nekrosis, dengan adnya
tekanan akan menyebabkan perforasi dan sekret mukopurulen akan
keluar dari telinga tengah ke liang telinga. Jika proses peradangan ini
tidak mengalami resolusi dan penutupan membran timpani setelah 6
minggu maka OMA beralih menjadi OMSK
(Paparella, 1997)
Gejala klinis OMSK
i. Telinga Berair (Otorrhoe)
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium
peradangan. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa
telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya
sekret biasanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak
dijumpai adannya sekret telinga. Pada OMSK tipe ganas unsur
mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena
rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah
berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan
merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu
sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis
ii. Gangguan Pendengaran
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat
campuran. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi
membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran
suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat
tuli konduktif berat
iii. Otalgia (Nyeri Telinga)
Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase
pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan
pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis,
atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses
atau trombosis sinus lateralis.
iv. Vertigo
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel
labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang
timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau
pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya
karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan
labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran
infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.
Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
B. OMA
Patogenesis OMA
i. Stadium Oklusi
- Gambaran retraksi membrane timpani akibat tekanan negative
dalam cavum timpani
- Terjadi efusi secara perlahan tapi tidak bias dideteksi
ii. Stadium Hiperemis
- Tampak pembuluh darah melebardi dalam membran timpani
- Sekret yang terbentuk mungkin masih eksudat serosa sehingga
sukar dilihat
iii. Stadium Supurasi
- Membrane telinga menonjol akibat edema
- Terbentuk eksudat purulen di kavum timpani
- Pasien merasa sangat sakit, nadi dan suhu meningkat
iv. Stadium Perforasi
- Terjadi rupture membrane timpani dan nanah keluar mengalir dari
telinga tengah ke telinga luar
- Pasien yang semula gelisah menjadi tenang dan suhu badan turun.
v. Stadium Resolusi
- Bila membran timpani utuh maka perlahan akan normal kembali
- Bila telah terjadi perforasi maka sekret akan berkurang dan
mongering
- OMA berubah menjadi Otitis Media Supuratif Subakut bila
perforasi menetap, sekret keluar hilang timbul selama lebih dari 3
minggu
- Disebut OMSK jika lebih dari 2 bulan.
(Mansjoer, 2001)
Patofisiologi
OMA biasanya disebabkan oleh Infeksi di Saluran Nafas Atas
(ISPA), umumnya terjadi pada anak karena keadaan tuba eustakius ,
yang sangat berperan penting dalam patofiologi OMA pada anak
berbeda dengan orang dewasa. Tuba eustakius pada anak lebih pendek,
lebih horizontal dan relatif lebih lebar daripada dewasa. Infeksi pada
saluran nafas atas akan menyebabkan edema pada mukosa saluran
nafas termasuk mukosa tuba eustakius dan nasofaring tempat muara
tuba eustakius. Edema ini akan menyebabkan oklusi tuba yang
berakibat gangguan fungsi tuba eustakius yaitu fungsi ventilasi,
drainase dan proteksi terhadap telinga tengah.
Gangguan fungsi Ventilasi
Normalnya tuba akan berusaha menjaga tekanan di telinga tengah
dan udara luar stabil, ketika terdapat oklusi tuba, maka udara tidak
akan dapat masuk ke telinga tengah, sedangkan secara fisiologis udara
(Oksigen dan Nitrogen) akan diabsorbsi di telinga tengah 1 ml tiap
hari pada orang dewasa. Keadaan ini kan menyebabkan tekanan
negatif pada telinga tengah, keadaan vacum di telinga tengah
menyebabkan transudasi cairan di telinga tengah.
Gangguan Fungsi drainase
Dalam keadaan normal mukosa telinga tengah akan menghasilkan
sekret yang akan di dorong oleh gerakan silia ke arah nasofaring,
ketika terjadi oklusi tuba fungsi ini akan terganggu, sehingga terjadi
penumpukan sekret di telinga tengah. Akumulasi cairan di telinga
tengah akan lebih banyak dengan adanya transudasi akibat tekanan
negatif. Sekret ini merupakan media yang baik untuk tumbuhnya
kuman.
Gangguan fungsi proteksi
Tuba berperan dalam proteksi kuman dan sekret dari nasofaring
masuk ke telinga tengah, diantaranya melalui kerja silia. Ketika terjadi
oklusi tuba, fungsi silia tidak efektif untuk mencegah kuman dan
sekret dari nasofaring ke kavum timpani dengan akumulasi sekret
yang baik untuk pertumbuhan kuman. Sehingga terjadi proses
supurasi di telinga tengah. Proses supurasi akan berlanjut dengan
peningkatan jumlah sekret purulen, penekanan pada membran timpani
oleh akumulasi sekret ini kan menyebabkan membran timpani (bagian
sentral) mengalami iskemi dan akhirnya nekrosis, dengan adnya
tekanan akan menyebabkan perforasi dan sekret mukopurulen akan
keluar dari telinga tengah ke liang telinga. Jika proses peradangan ini
tidak mengalami resolusi dan penutupan membran timpani setelah 6
minggu maka OMA beralih menjadi OMSK. (Paparella, 1997)
C. Ekstradural abses
Merupakan suatu penyakit yang didefinisikan dengan
terkumpulnya pus antara duramater dan tulang. Merupakan salah satu
komplikasi dari OMSK. Pada OMSK, berhubungan dengan jaringan
granulasi dan cholesteatoma yang menyebabkan erosi tegmen timpani atau
mastoid.
Gejala yang ditemukan antara lain :
i. Nyeri hebat dan nyeri kepala
ii. Dengan foto rontgen mastoid yang baik ditemukan adanya
kerusakan tegmen.
iii. Biasanya baru diketahui pada proses mastoidektomi.
D. Cholesteatoma
Merupakan kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk dan akhirnya cholesteatom
bertambah banyak.
Patofisiologi
i. Primer
Timbul akibat invaginasi membran timpani pars flaccida
karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan
tuba.
ii. Sekunder
Masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir
perforasi membran timpani ke telinga tengah atau akibat metaplasi
mukosa cavum tympani karena iritasi yang berlangsung lama.
E. Tonsilitis
Tonsilitis adalah infeksi pada amandel yang kadang
mengakibatkan sakit tenggorokan dan demam.
Secara klinis peradangan ini ada yang akut (baru), ditandai dengan
nyeri menelan (odinofagi), dan tidak jarang disertai demam.
Sedangkan yang sudah menahun biasanya tidak nyeri menelan, tapi
jika ukurannya cukup besar (hipertrofi) akan menyebabkan kesulitan
menelan.
Gejala umum tonsilitis meliputi:
merah dan / atau bengkak amandel
putih atau kuning patch pada amandel
tender, kaku, dan / atau leher bengkak
sakit tenggorokan
sulit menelan makanan
batuk
sakit kepala
sakit mata
tubuh sakit
otalgia
demam
panas dingin
hidung mampet
Tonsilitis akut disebabkan oleh bakteri dan virus dan akan
disertai dengan gejala sakit telinga saat menelan, bau mulut, dan air
liur bersama dengan radang tenggorokan dan demam. Dalam hal
ini, permukaan tonsil mungkin merah cerah atau memiliki lapisan
putih keabu-abuan, sedangkan kelenjar getah bening di leher akan
membengkak.
Patofisiologi
Yang umum menyebabkan sebagian besar tonsilitis adalah
virus pilek ( adenovirus, rhinovirus, influenza, coronavirus, RSV ). Hal
ini juga dapat disebabkan oleh virus Epstein-Barr, herpes simpleks
virus, cytomegalovirus, atau HIV. Yang paling umum menyebabkan
kedua adalah bakteri. Para bakteri penyebab tonsilitis yang paling
umum adalah Group A-hemolitik streptokokus β ( GABHS ), yang
menyebabkan radang tenggorokan. Kurang bakteri penyebab umum
termasuk: Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, pertusis,
Fusobacterium , difteri, sifilis, dan gonore. Dalam keadaan normal,
virus dan bakteri masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut dan
akan disaring di amandel. Dalam amandel, sel-sel darah putih dari
sistem kekebalan tubuh melancarkan sebuah serangan yang membantu
menghancurkan virus atau bakteri, dan juga menyebabkan peradangan
dan demam. Infeksi juga mungkin ada di tenggorokan dan sekitarnya,
menyebabkan peradangan pada faring. Faring adalah area di bagian
belakang tenggorokan yang terletak di antara dalam kotak suara dan
tonsil. Tonsilitis dapat disebabkan oleh bakteri streptokokus Grup A,
mengakibatkan radang tenggorokan. Viral tonsillitis mungkin
disebabkan oleh berbagai virus [10] seperti virus Epstein-Barr
(penyebab infeksi mononucleosis ) atau adenovirus. Kadang-kadang,
tonsilitis disebabkan oleh infeksi dari spirochaeta dan Treponema,
dalam hal ini disebut angina Vincent atau-Vincent angina Plaut.
F. Hipertrofi Adenoid
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
i. Tanda dan gejala klinik.
ii. Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya
gerakan velum palatum mole pada waktu fonasi.
iii. Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).
iv. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat
ukuran adenoid secara langsung.
v. Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral dapat
melihat pembesaran adenoid.
Rasio adenoid nasofaring diperoleh dengan membagi ukuran
adenoid dengan ukuran ruang nasofaring, yaitu Rasios AN = A/N.
Dengan kriteria sebagai berikut :
a. Rasio Adenoid – Nasofaring 0 – 0,52 : tidak ada
pembesaran.
b. Rasio Adenoid – Nasofaring 0,52 – 0,72 : pembesaran sedang
– non obstruksi.
c. Rasio Adenoid – Nasofaring > 0,72 : pembesaran dengan
obstruksi.
G. Rhinitis Allergica
Klasifikasi
a. Intermitten : Masa kambuh < 4 hari dalam seminggu
b. Persisten : Masa kambuh > 4 hari dalam seminggu
c. Mild : Ringan tidak sampai menggangu aktivitas,
tidur nyenyak
d. Moderate-severe : Berat, menggangu aktivitas, tidur
terganggu
6. Penatalaksanaan
a. OMSK
Terapi yang paling efektif adalah dengan myringotomi.
b. OMA
Antibiotik merupakan pilihan terapi pertama untuk
penatalaksanaan otitis media akut. Selain itu pilihan terapi farmakologik
lainnya antara lain analgesic, antipiretik, antihistamine dan dekongestan
yang bertujuan untuk menangani gejala infeksi penyerta seperti demam,
batuk dan pilek.
Selain itu terdapat pula penatalaksanaan berupa operasi untuk otitis
media akut. Operasi yang dilaksanakan dapat berfungsi untuk diagnostic,
therapeutic maupun profilaksis. Terdiri dari:
Tympanocentesis
Merupakan prosedur diagnosis yang memudahkan pemeriksa
mendapatkan sampel dari cairan dalam cavum tympani untuk dilakukan
pemeriksaan kultur dan lainnya. Pemeriksaan ini tidak menggunakan
anestesi dan dilakukan dengan menusukkan jarum pada kuadran inferior
posterior membran tympani, kemudian cairan yang keluar diaspirasi dan
disimpan untuk diperiksa lebih lanjut. Beberapa indikasi pemeriksaan ini
adalah untuk: pasien dengan kemungkinan komplikasi supurasi, anak-anak
dengan imunosupresi, neonatus (kemungkinan terpajan oleh lebih dari satu
patogen invasive) dan pasien yang gagal diterapi dengan antibiotik dan
masih mengalami gejala sistemik otitis media.
Myringotomy
Berfungsi terapeutik, konsepnya adalah insisi dan drainase, insisi yang
dibuat bisa terpisah ataupun ekstensi dari lubang yang dibuat pada
tympanocentesis. Dengan operasi ini, umumnya membrane timpani
kembali normal dalam hitungan beberapa hari hingga beberapa minggu.
Instrumen yang digunakan untuk melakukan insisi dapat bervariasi mulai
dari pisau hingga laser.
Myringotomy dengan pemasangan tabung ventilasi
Dilakukan pada pasien yang membutuhkan drainase berkelanjutan dalam
periode waktu tertentu, misalnya: pasien dengan mastoiditis atau pasien
yang mengalami serangan berulang. Tabung yang dipasang bernama
tympanostomy tube dan pemasangannya dilakukan saat myringotomy.
Durasi pemakaian tabung bervariasi, antara lain 6-9 bulan, 9-18 bulan,
hingga diatas 2 tahun.
c. Ekstradural Abses
Terapinya dengan pemberian antibiotika dosis tinggi secepatnya.
Operasi infeksi primer di mastoid pada saat yang optimum, bedah saraf
jika diperlukan.
d. Cholesteatoma
Terapi paling efektif adalah dengan pembedahan myringotomi.
7. Pembahasan Tambahan
Sekret Mukoid dihasilkan oleh sel dan atau silia yang terdapat [ada
epitel hidung. Hal ini mengakibatkan dapat dijumpai adanya sekret
seromukous ketika terjadi alergi atau hipertrofi yang melibatkan jaringan di
cavum nasi. Sedangkan pada telinga tengah, sekret mukoid dihasilkan oleh
sel-sel goblet yang terdapat pada epitel telinga tengah, yakni epitel kolumner
kompleks dengan sel goblet. Struktur epitel ini menjadikan sekret yang
dihasilkan telinga tengah bersifat mukoid karena ada sel-sel khusus yang
menghasilkan cairan berlendir.
Anti streptolisin titer O ( ASTO ) merupakan tes darah yang dilakukan
untuk mengukur antibodi terhadap streptolisin O yang dihasilkan oleh bakteri
streptokokus. Kadar ASTO lebih dari 160 – 200 todd/ unit dianggap sangat
tinggi dan menunjukan adanya infeksi streptokokus yang baru terjadi atau
sedang terjadi atau adanya kadar antibodi yang tinggi akibat respon imun yang
berlebihan terhadap pajanan sebelumnya. ( Matthew, 2007. Jawetz .2008 )
Lebih kurang 80% penderita demam reumatik / penyakit jantung
reumatik akut menunjukkan kenaikan titer ASTO ini; bila dilakukan
pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap streptococcus, maka 95% kasus demam
reumatik/ penyakit jantung reumatik didaparkan peninggian atau lebih
antibodi terhadap streptococcus.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan diskusi kelompok tutorial kami, anak tersebut menderita
Tonsilitis dengan hipertrofi adenoid. Oleh karena usia, jenis kelamin dan
penyakit terdahulu yaitu ISPA serta letak Adenoid yang hipertrofi berdekatan
dengan nasus dan tuba auditus eustachii, maka dapat menyebabkan terjadinya
rhinitis dan OMA ( Otitis Media Akut). OMA ( Otitis Media Akut) terjadi karena
oklusi tuba auditva eustachii, sehingga menyebabkan fungsi tuba auditiva
eustachii tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan menyebabkan gangguan
ventilasi, gangguan drainase dan pada akhirnya terjadi perforasi. Untuk mencegah
kondisi yang lebih parah, sebaiknya pasien menghindari paparan debu yang
menjadi sumber allergen juga menerapkan pola hidup sehat dan bersih. Dan dalam
menegakkan diagnosis serta ketepatan terapi, dokter melakukan pemeriksaan
penunjang seperti otoskopi, rhinoskopi, serta laryngoskopi.
BAB IV
SARAN
Saran kami berupa evaluasi agar untuk diskusi ke depannya, diskusi
tutorial kelompok dapat berjalan dengan lancar dan bisa jauh lebih baik lagi. Oleh
karena itu, diharapkan agar masing-masing mahasiswa telah mempersiapkan
materi ataupun bahan-bahan yang akan didiskusikan dengan baik. Dan semoga
untuk selanjutnya diskusi tutorial kami dapat berlangsung dengan lebih baik dan
semua LO dapat tercapai. Tutor sendiri telah mengarahkan diskusi dengan sangat
baik agar diskusi berjalan lancar dan menuju Learning Objective yang ditargetkan.
DAFTAR PUSTAKA
Donaldson JD (2015). Acute Otitis Media.
http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview – Diakses
September 2015.
FKUI. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 63-73
Herawati S, Rukmini S. 2003. Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta:
EGC
Irawati, N., Kasekayan, E., Rusmono, N. 2007. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi,
Efiaty A., Iskandar N., Bashiruddin, J., Restuti, Ratna D (eds). Buku Ajar
Ilmu Kesehatn: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, pp:128-9
Jansen AG, Hak E, Veenhoven RH, Damoiseaux RA, Schilder AG, Sanders EA;
Hak; Veenhoven; Damoiseaux; Schilder; Sanders (2009). Jansen, Angelique GSC,
ed. "Pneumococcal conjugate vaccines for preventing otitis media". Cochrane
Database Syst Rev (2)
Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga JIlid Pertama.
Jakarta : Media Aesculapius FK UI
Mescher, Anthony (2011). Histologi Dasar Junqueir. Edisi ke-12. Jakarta: EGC.
pp: 415-417
Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid.
Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: EGC, 1997: 88-118
Rusmarjono, Efiaty Arsyad Soepardi . Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi
adenoid . Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Ed 6. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2007. 224-225.
Tortora, Gerard J. 2011. Principles of Anatomy & Physiology. John Wiley &
Sons, Inc.
Wetmore RF. Tonsils and adenoids. In:Bonita F. Stanton; Kliegman, Robert;
Nelson, Waldo E.; Behrman, Richard E.; Jenson, Hal B. (2007). Nelson textbook
of pediatrics Robert M. Kliegman, Richard E. Behrman, Hal B. Jenson, Bonita F.
Stanton. Philadelphia: Saunders