kedaruratan tht fix

77
REFERAT KEDARURATAN THT ILMU KESEHATAN THT ANGGOTA KELOMPOK : Nama Rina Biariani D. Fitriana Wijayati Bagus Haryo Kusumaputra NIM 0210101010 02 0310101010 72 0420101010 08 Kelompok G2 Z2B H1 Dokter Pembimbing : dr. Bambang Indra, Sp.THT

Upload: wahyudhanapermana

Post on 02-Jan-2016

257 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kedaruratan dalam tht

TRANSCRIPT

Page 1: Kedaruratan THT Fix

REFERAT KEDARURATAN THT

ILMU KESEHATAN THT

ANGGOTA KELOMPOK :

Nama

Rina Biariani D.

Fitriana Wijayati

Bagus Haryo Kusumaputra

NIM

021010101002

031010101072

042010101008

Kelompok

G2

Z2B

H1

Dokter Pembimbing :

dr. Bambang Indra, Sp.THT

Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

LAB/SMF Ilmu Kesehatan THT FK UNEJ-RSD Dr. Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2009

Page 2: Kedaruratan THT Fix

PENDAHULUAN

Kedaruratan Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) meupakan hal yang

penting untuk diketahui. Kelainan pada telinga, hidung dan tenggorokan dapat

terlokalisasi pada system organ atau keseluruhan pada multi system proses penyakit.

Kegawat daruratan yang meliputi telinga, hidung dan tenggorokan dapat menjadi

sumber kecemasan, bukan hanya untuk pasien tetapi juga bagi keluarga pasien karena

dapat mengancam jiwa, menimbulkan gangguan fungsi dan menimbulkan kecacatan.

Diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat dapat mengurangi angka kematian

dan kesakitan. Secara anatomi ruang lingkup THT yang kecil dan kompleks memiliki

dampak vital terhadap kehidupan. Secara anatomi letak telinga dan hidung dekat

dengan otak dan hidung juga berhubungan dengan orbita. Penanganan yang telat

terhadap infeksi di hidung dan telinga dapat menyebabkan komplikasi intrakranial

atau orbita yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian. THT juga

berhubungan dengan sistem pernapasan yang merupakan bagian penting dari

kehidupan.

Pada anak-anak sering terjadi sumbatan akibat benda asing yang ditelan oleh

anak tanpa pengawasan orang tua. Benda-benda yang sering tertelan oleh anak-anak

adalah koin, kancing dan mainan anak-anak yang kecil. Terkadang juga terdapat

makanan yang tersumbat karena terlalu besar. Anak laki-laki terinhalasi benda asing

dua kali lebih banyak daripada anak perempuan, dan kira-kira 80% dari penderita

adalah anak-anak di bawah umur 4 tahun. Kacang tanah dan kacang kacangan lainnya

yang dapat dimakan, merupakan kasus yang terbanyak didapat dan letaknya di

bronkhus kanan sedikit lebih banyak daripada di bronkhus kiri.

Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat

berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan

oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun

jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat

fatal, bila tidak segera ditolong. Beberapa virus penyebab ketulian mendadak

1

Page 3: Kedaruratan THT Fix

sensorineural ditemukan pada kasus-kasus penyakit MUMPS, measles, rubella, dan

influenza yang disebabkan oleh infeksi adenovirus dan sitomegalovirus (CMV).

Pada referat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kedaruratan THT yang

mana dibagi menjadi kedaruratan THT yang mengancam jiwa, menimbulkan

gangguan fungsi, dan menimbulkan kecacatan, yaitu mencakup sumbatan laring,

epistaksis posterior, komplikasi omsk, tuli mendadak, dan trauma maksilofasial.

2

Page 4: Kedaruratan THT Fix

SUMBATAN LARING

Gambar: Anatomi laringSumber: http://www.pitt.edu/~crosen/voice/anatomy2.html

Laring atau organ pembentuk suara, merupakan jalan nafas bagian atas,

terletak antara trakhea dan pangkal lidah. Pembagian laring berdasarkan kepentingan

klinik yang berkaitan dengan lokasi suatu kelainan yang timbul, maka laring dibagi

menjadi 3 bagian:

1. Supraglotis tidak lain adalah daerah vestibulum laring, yang meliputi epiglotis,

plika ariepiglotis, aritenoid dan plika ventrikularis.

2. Glotis adalah daerah laring setinggi plika vokalis. Daerah ini meliputi plika, rima

glotis dan komisura anterior serta komisura posterior.

3. Subglotis adalah daerah dibawah plika vokalis sampai tepi bawah kartilago

krikoid. (Bambang S. 1993)

Laring sebagai fungsi pernapasan merupakan saluran napas yang paling

sempit, oleh karena itu tidak dapat disangkal lagi bahwa laring merupakan saluran

3

Page 5: Kedaruratan THT Fix

napas yang sering mendapat gangguan. Gangguan laring yang paling serius adalah

menjadi sempitnya rima glotis yang memang sudah kecil. (Bambang S. 1993)

Pada anak-anak sering terjadi sumbatan akibat benda asing yang ditelan oleh

anak tanpa pengawasan orang tua. Benda-benda yang sering tertelan oleh anak-anak

adalah koin, kancing dan mainan anak-anak yang kecil. Terkadang juga terdapat

makanan yang tersumbat karena terlalu besar.

Etiologi yang dapat menyebabkan sumbatan laring dibagi menjadi :

1. Benda asing

2. Trauma

3. Infeksi, seperti epiglotitis

4. Neoplasma, seperti tumor laring

5. Gangguan neurogenik pada laring: Parese pita suara bilateral

Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah :

Serak (disfoni) sampai afoni

Sesak napas (dispnea)

Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.

Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,

supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot

pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.

Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)

Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.

Jakson membagi sumbatan pada laring menjadi 4 stadium dengan tanda dan gejala:

Stadium 1 Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada

waktu inspirasi dan pasien masih tenang.

Stadium 2 Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal makin dalam,

ditambah lagi dengan timbulnya cekungan didaerah epigastrium. Pasien

sudah mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu inspirasi.

4

Page 6: Kedaruratan THT Fix

Stadium 3 Cekungan selain didaerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di

infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.

Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.

Stadium 4 Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah,

tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung

terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik

karena hiperkarpnea. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal

karena asfiksia.

(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E. dalam Iskandar, N. dan Sopeardi, E.

A. 2007)

Dalam penatalaksanaan sumbatan pada prinsipnya diusahakan supaya jalan

napas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti

alergi, antibiotika, serta pemberian oksigen intermiten dilakukan sumbatan stadium 1

yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan

jalan napas ini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut

(intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma

atau melakukan krikotirotomi.

Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan

stadium 2 dan 3, sedang krikotirotomi dilakukan pada sumbatan stadium 4. Tindakan

operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan analisis gas darah (pemeriksaan

gas darah).

Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endotrakea pilihan pertama, sedangkan

jika ruangan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi. Apabila pada

sumbatan laring total dilakukan prasat Heimlich untuk pertolongan pertama untuk

mencegah kematian. (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E. dalam Iskandar,

N. dan Sopeardi, E. A. 2007)

5

Page 7: Kedaruratan THT Fix

Benda Asing

Benda asing yang sering masuk laring antara lain: biji-bijian, serpihan atau

potongan tulang, jarum pada valekula, sinus piriformis atau glotis.

Benda asing dilaring dapat menutup laring, tersangkut diantara pita suara atau

berada di subglotis. Gejala sumbatan laring tergantung pada besar, bentuk dan letak

benda asing. Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang gawat

biasanya kematian mendadak karena terjadi asfiksia dalam waktu singkat. Hal ini

disebabkan oleh timbulnya spasme laring dengan gejala antara lain disfonia sampai

afoni, apne dan sianosis. Sumbatan tidak total di laring dapat menyebabkan gejala

suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang disertai sesak, odinofagia, mengi,

sianosis, hemoptisis dan rasa subjektif dari benda asing dan dipsnea dengan derajat

bervariasi. (Junizaf, M. H, 2007)

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laringoskopi indirekta atau direkta.

Secara prinsip benda asing di saluran napas diatasi dengan pengangkatan segera

dengan endoskopi dalam kondisi paling aman dengan trauma minimum. Pada anak

dengan sumbatan total pada laring dapat dicoba dengan memegang anak dengan

posisi terbalik, kepala dibawah, kemudian daerah punggung dipukul. Cara lain adalah

dengan perasat Heimlich. Pada sumbatan benda asing tidak total di laring, perasat

Heimlich tidak dapat digunakan. Dalam hal ini pasien masih dapat dibawa ke rumah

sakit terdekat untuk diberi pertolongan dengan menggunakan laringoskop atau

bronkoskopi, atau kalau alat alat tersebut tidak ada dilakukan traekostomi.

(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

Trauma Laring

Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul yang dapat menghancurkan

struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, dan

pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher

terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dash board dalam kecelakaan

waktu mobil berhenti tiba-tiba, tertendang atau terpukul waktu berolah raga beladiri,

6

Page 8: Kedaruratan THT Fix

berkelahi, dicekik atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri. Trauma akibat

tindakan medik juga dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas seperti tindakan

pemasangan endotrakeal tube (ETT) oleh tenaga medis yang kurang terampil

sehingga mengakibatkan terjadi pembengkakan jalan napas. Pemakaian ETT yang

terlalu lama juga sehingga terjadi stenosis pada laring atau trakea.

Gejala klinik:

Stridor

Suara serak ( disfoni ) sampai suara hilang ( afoni )

Hemoptisis

Disfagia ( sulit menelan )

Odinofagia ( nyeri menelan )

(Munir, M., Hadiwikarta, A., Hutauruk, S.M, 2007)

Epiglotitis

Epiglotitis akut atau laringitis supraglotis adalah suatu peradangan akut dari

laring yang menyebabkan timbulnya pembengkakan dan edem dari struktur

supraglotis. Peradagan ini sering terjadi pada anak-anak dan proses ini berjalan sangat

cepat tanpa memberi gejala yang spesifik, sehingga mengakibatkan sumbatan jalan

nafas yang mendadak. Epiglotitis adalah inflamasi akut yang melibatkan epiglotis,

valekula, plika ariepiglotis dan aritenoid. Yang tersering disebabkan oleh virus

Hemofilus Influenza tipe B (Hib). (Bambang S, 1993)

Pada anak-anak epiglotitis aku lebih mudah menimbulkan problema-problema

yang berbahaya daripada orang dewasa, hal ini disebabkan karena:

1. Pada anak-anak mukosa epigloits lebih banyak jaringan longgar, rima glotis

lebnih sempit dan sudut antara epiglotis dan rima glotis lebih kecil.

2. Epiglotis berbentuk omega yang cenderung melipat dan plika vokalis tertarik

keatas.

3. Mukosa laring pada anak-anak lebih sensitif dan lebih mudah membengkak

daripada orang dewasa. (Bambang S, 1993)

7

Page 9: Kedaruratan THT Fix

Gambar: EpiglotitisPada gambar sebelah kiri sebuah endoskopi memperlihatkan obstruksi jalan napas yang hampir total. Pada gambar sebelah kanan jalan napas telah terbuka setelah pemasangan endotrakeal tube, terlihat adanya hiperemi dan sisa darah.

Sumber: http://www.merck.com/mmhe/print/sec23/ch272/ch272f.html

Gejala klinis epiglottitis akut berupa nyeri tenggorok (sore throat), nyeri

menelan (odinofagia) yang mengakibatkan sulit menelan (disfagia), suara berubah

(muffled voice atau hot potato voice), demam sampai menggigil, stridor inspirasi dan

sesak nafas karena sumbatan jalan nafas. Tetapi di Indonesia walaupun epiglotitis ini

banyak dijumpai pada anak-anak ataupun pada orang dewasa, gejala-gejala yang

timbul tidak separah gejala-gejala di Eropa.

Pada epiglotitis tanpa disertai gangguan jalan napas hanya diberikan

medikamentosa seperti antibiotik dan antipiretik-anti inflamasi. Tetapi pada

epiglotitis yang disertai gangguan airway yang hebat, perlu dilakukan intubasi,

trakeostomi sampai krikotirotomi. (Bambang S, 1993, Bowman, J. G,2009, Felter, R.

A. 2009)

Tumor Laring

Tumor jinak laring

8

Page 10: Kedaruratan THT Fix

Tumor jinak laring tidak banyak ditemukan , hanya kurang lebih 5 % dari

semua jenis tumor laring. Tumor jinak laring dapat berupa (Hermani B,

Abdurrachman H, 2007):

Papiloma laring

Adenoma

Kondroma

Mioblastoma sel granuler

Hemangioma

Lipoma

Neurofibroma

Gambar: Papiloma laringSumber: http://www.ucdvoice.org/papilloma.html

Tumor ganas laring

Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa

hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, alkohol,

sinar radio aktif, polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada peningkatan resiko

terjadinya tumor ganas laring pada pekerja-pekerja yang terpapar dengan debu kayu.

Klasifikasi letak tumor :

Supraglotik

9

Page 11: Kedaruratan THT Fix

Glotik

Subglotik

Gejala tumor laring :

Serak

Dispnea

Stridor

Nyeri tenggorok

Disfagia

Batuk dan hemoptisis

Diagnosis

Laringoskop

Biopsi

Pemeriksaan radiologi

CT scan

Penatalaksanaan

Pembedahan

Radiasi

Obat sitostatik

Kombinasi

Stadium I : radiasi

Stadium II – III : operasi

Stadium IV : operasi dengan rekonstruksi

(Hermani B, Abdurrachman H, 2007)

Intubasi Endotrakea

Indikasi intubasi endotrakea (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E,

2007):

10

Page 12: Kedaruratan THT Fix

Untuk mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas

Membantu ventilasi

Memudahkan menghisap secret dari traktus trakeobronkial

Mencegah aspirasi secret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari

lambung

Gambar: Teknik intubasi endotrakeaSumber: http://members.tripod.com/~dgholgate/endotrachealintubation.html

Pipa endotrakea dibuat dari bahan polyvinilchloride dengan balon (cuff) pada

ujungnya dapat diisi dengan udara. Ukuran pipa endotrakea harus sesuai dengan

ukuran trakea pasien dan umumnya untuk orang dewasa dipakai yang diameter

dalamnya 7-8,5 mm. pipa endotrakea yang dimasukkan melalui hidung dapat

dipergunakan untuk beberapa hari. Secara umum dapat dikatakan bahwa intubasi

endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan

trakeostomi. Komplikasi yang dapat timbul adalah stenosis laring atau trakea.

(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

11

Page 13: Kedaruratan THT Fix

Gambar. Pipa endotrakeal Sumber: http://www.medihel.com/doce/instrument.html

Teknik Intubasi (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007):

Posisi pasien tidur terlentang leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi

Laringoskop dengan spatel bengkok di pegang dengan tangan kiri,

dimasukkan melalui mulut sebelah kanan sehingga lidah terdorong kekiri

Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula lalu laringoskop

diangkat keatas sehingga pita suara dapat terlihat.

Dengan tangan kanan pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus

melalui celah antara kedua pita suara kedalam trakea.

Pipa endotrakea dapat pula dimasukkan melalui lubang hidung sampai rongga

mulut dan dengan cunam magill ujung pipa endotrakea dimasukkan kedalam

celah antara kedua pita suara sampai ke trakea.

Kemudiian balon diisi dengan udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan

baik.

Apabila menggunakan laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur

telentang pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepala

mudah diekstensikan maksimal.

12

Page 14: Kedaruratan THT Fix

Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan

dimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat

horizontal ke atas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat.

Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah

pita suara sampai di trakea.

Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan plester.

Trakeostomi

Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior

trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma trakeostomi dibedakan letak yang tinggi

dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga. Sedangkan

menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam:

Trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang

Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik

(legal artis)

(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

Indikasi trakeostomi :

Mengatasi obstruksi laring

Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran napas bagian atas seperti daerah

rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh

oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal

diruang rugi itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang

kapasitas vitalnya berkurang.

Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat

mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam keadaan koma

Untuk memasang respirator atau alat bantu pernapasan

Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas

untuk bronkoskopi.

13

Page 15: Kedaruratan THT Fix

(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

Gambar: Jenis pipa trakeostomiSumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Tracheostomy

Tehnik Trakeostomi

Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga

memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atalantooksipital. Dengan

posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis median dekat

permukaan leher. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip aseptik dan antiseptik

dan ditutup dengan kain steril. Obat anestetikum disuntikkan di pertengahan krikoid

dengan fossa suprasternal secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah

leher mulai dari bawah krikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan

horizontal dilakukan pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa

suprasternal atau kira-kira dua jari dari bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan

terlalu sempit,dibuat kira-kira lima sentimeter.

Dengan gunting panjang yang tumpul kulit serta jaringan di bawahnya

dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul sampai

tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan cincin tulang rawan yang berwarna

14

Page 16: Kedaruratan THT Fix

putih. Bila lapisan ini dan jaringan di bawahnya dibuka tepat di tengah maka trakea

ini mudah ditemukan. Pembuluh darah yang tampak ditarik lateral. Ismuth tiroid yang

ditemukan ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas terlihat. Jika tidak mungkin,

ismuth tiroid diklem pada dua tempat dan dipotong ditengahnya. Sebelum klem ini

dilepaskan ismuth tiroid diikat keda tepinya dan disisihkan ke lateral. Perdarahan

dihentikan dan jika perlu diikat. Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum

pada membran antara cincin trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma

dengan memotong cincin trakea ke tiga dengan gunting yang tajam. Kemudian

pasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada

leher pasien dan luka operasi di tutup dengan kasa.

Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatikan insisi kulit

jangan terlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya

emfisema kulit. (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

Gambar: Lokasi trakeostomi skematisSumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Tracheostomy

Perawatan Pasca Trakeostomi

Secera setelah trakeostomi dilakukan:

15

1 – Pita Suara2 – Kartilago Tiroid3 - Kartilago Kricoid4 - Kartilago Trachea5 - Balloon cuff

Page 17: Kedaruratan THT Fix

1. Rontgen dada untuk menilai posisi tube dan melihat timbul atau tidaknya

komplikasi

2. Antibiotik untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi

3. Mengajari pihak keluarga dan penderita sendiri cara merawat pipa trakeostomi

Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat

dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering

diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu segera

dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Bila kanul harus dipasang dalam jangka waktu

lama, maka kanul harus dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah di bawah kanul

harus diganti untuk menghindari timbulnya dermatitis. Gunakan kompres hangat

untuk mengurangi rasa nyeri pada daerah insisi. (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan

Soepardi, E, 2007)

Gambar: Lokasi trakeostomiSumber: http://drbatraent.com/wp-content/uploads/2008/05/t_52701.jpg

Krikotirotomi

Krikotirotomi: tindakan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, dengan membuka/

melubangi membran krikotiroidea. Krikotirotomi adalah segera harus dilakukan

untuk mengamankan jalan nafas, terutama pada kasus obstruksi jalan nafas bagian

atas yang hebat.

Indikasi operasi:

16

Page 18: Kedaruratan THT Fix

Obstruksi jalan nafas atas yang hebat, dimana persiapan trakeostomi belum dapat

dilakukan

Luka berat daerah hidung atau muka (dimana intubasi hidung atau mulut

dikontraindikasikan)

Luka akibat inhalasi bahan kimia

(Wikipedia, 2009)

Kontraindikasi:

Tidak bisa mengidentifikasi membran krikotiroid

Adanya abnormalitas anatomi (ex: hematom, abses, tumor)

Infeksi akut atau trauma laring

Anak usia kurang dari 10 tahun

(Wikipedia, 2009)

Gambar: Lokasi insisi krikotirotomiSumber: http://www.ecmaj.com/cgi/content-nw/full/178/9/1133/F214

Teknik

Dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau tanpa anestesi. Pada anestesi lokal

diperlukan lidokain dengan dosis maksimal 7 mg/ kg BB.

17

Page 19: Kedaruratan THT Fix

Terlentang dengan hiperekstensi kepala, bahu diberi bantalan sehingga trakea

lebih tampak ke anterior, kepala diberi bantalan ‘doughnut’

Stabilisasi larinx dengan jari dan palpasi membran krikotiroid

Buat insisi vertikal dengan skalpel menembus membran krikotiroid, putar 900

supaya lubang terbuka, lebarkan lubang dengan klem Kelly. Hati-hati jangan

melukai kartilago krikoid.

Pasang kanul trakeostomi kecil. Selanjutnya pasien dilakukan ventilasi

(http://bedahumum.wordpress.com/2008/10/10/krikotirotomi)

Gambar: Teknik KrikotomiSumber: http://comps.fotosearch.com/bigcomps/LIF/LIF145/PED01015.jpg

Perasat Heimlich

(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

Hentakan perut pada pasien/korban dewasa dan anak yang sadar.

18

Page 20: Kedaruratan THT Fix

1) Penolong berdiri dibelakang pasien sambil memeluk badannya

2) Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, kedua tangan

diletakkan pada perut bagian atas

3) Lalu lakukan penekanan rongga perut ke arah dalam dan ke atas dengan hentakan

beberapa kali

4) Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali benda asing akan terlempar keluar

Hentakan perut pada pasien/korban dewasa dan anak, tidak sadar.

1) Penolong berlutut dengan kaki pada kedua sisi pasien

2) Sebelumnya posisi muka pasien dan leher harus lurus

3) Kepalan tangan kanan diletakkan di bawah tangan kiri di daerah epigastrium

4) Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam paru

akan mendorong benda asing keluar

Gambar: Hentakan perut.(A) Korban sadar. (B) Korban tidak sadar

Sumber: http://home.utah.edu/~mda9899/cprpics.html

Hentakan dada pada pasien/korban dewasa yang kegemukan atau wanita hamil yang

sadar.

19

A B

Page 21: Kedaruratan THT Fix

1) Berdirilah dibelakang pasien/korban. Lengan memeluk pasien/korban melalui

bawah ketiak dibagian dada.

2) Posisikan tangan membentuk kepalan seperti pada hentakan perut tepat di atas

pertengahan tulang dada.

3) Lakukan hentakan dada sama seperti pada pasien yang sadar

4) Lanjutkan sampai jalan nafas terbuka atau pasien/korban  menjadi tidak sadar.

Hentakan dada pada pasien/korban dewasa yang kegemukan atau wanita hamil yang

tidak sadar.

Langkahnya sama seperti pada pasien/korban dewasa atau anak  yang tidak sadar

hanya posisi penolong berlutut disamping pasien/korbanletakkan tumit tangan pada

pertengahan tulang dada.

Gambar: Hentakan dada(A) Korban sadar. (B) Korban tidak sadar

Sumber: http://home.utah.edu/~mda9899/cprpics.html

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

20

A B

Page 22: Kedaruratan THT Fix

OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan

kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak (perforasi)

dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Sekret mungkin encer

atau kental, bening atau berupa nanah dan berlangsung lebih dari 2 bulan. Perforasi

sentral adalah pada pars tensa dan sekitar dari sisa membran timpani atau sekurang-

kurangnya pada annulus. Defek dapat ditemukan seperti pada anterior, posterior,

inferior atau subtotal. Menurut Ramalingam bahwa OMSK adalah peradangan kronis

lapisan mukoperiosteum dari middle ear cleft sehingga menyebabkan terjadinya

perubahan-perubahan patologis yang ireversibe. (Djaafar Z. A., 2007, Helmi, 2007

dan Berman S, 2007)

Gejala Klinis

1. Telinga Berair (Otorrhoe)

Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada

OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering

kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan

infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak

dijumpai adannya sekret telinga. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret

telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.

Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan

polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu

sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.

2. Gangguan Pendengaran

Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.

Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta

keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe

maligna biasanya didapat tuli konduktif berat.

3. Otalgia (Nyeri Telinga)

21

Page 23: Kedaruratan THT Fix

Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri

dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,

terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses

otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis,

subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.

4. Vertigo

Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin

akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat

perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan

vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan

menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran

infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa

terjadi akibat komplikasi serebelum

(Djaafar Z. A., 2007, Helmi, 2007 dan Berman S, 2007)

Tanda Klinis

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna (Paparella MM, Adams GL, Levine SC,

1997):

1. Adanya Abses atau fistel retroaurikular

2. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.

3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)

4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

Komplikasi

Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan

patologik yang menyebabkan otore. Walaupun demikian organisme yang resisten dan

kurang efektifnya pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi

didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu

eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat

22

Page 24: Kedaruratan THT Fix

menyebabkan komplikasi. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat

pada eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom.

A. Komplikasi ditelinga tengah :

1. Perforasi persisten membrane timpani

2. Erosi tulang pendengaran

3. Paralisis nervus fasial

B. Komplikasi telinga dalam

1. Fistel labirin

2. Labirinitis supuratif

3. Tuli saraf ( sensorineural)

C. Komplikasi ekstradural

1. Abses ekstradural

2. Trombosis sinus lateralis

3. Petrositis

D. Komplikasi ke susunan saraf pusat

1. Meningitis

2. Abses otak

3. Hindrosefalus otitis

(Helmi, 2007)

Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3

macam lintasan:

1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak

2. Menembus selaput otak.

3. Masuk kejaringan otak.

Dalam hal ini komplikasi yang dapat menyebabkan keadaan serius adalah

komplikasi ekstradural dan susunan saraf pusat. (Helmi, 2007)

Komplikasi ke Ekstradural

23

Page 25: Kedaruratan THT Fix

Petrositis

Kira-kira sepertiga dari populasi manusia, tulang temporalnya mempunyai sel-

sel udara sampai ke apeks os petrosum. Terdapat beberapa cara penyebaran infesi dari

telinga tengah ke os petrosum. Yang sering ialah penyebaran langsung ke sel-sel

udara tersebut. Gejalanya diplopia, nyeri daerah parietal, temporal atau oksipital,

otore yang persisten. Kecurigaan terhadap petrosis terutama bila terdapat nanah yang

keluar terus menerus dan rasa nyeri yang menetap pasca mastoidektomi. Pengobatan

petrositis ialah operasi. Pada waktu melakukan operasi telinga tengah dilakukan juga

eksplorasi sel-sel udara tulang petrosum serta mengeluarkan jaringan patogen.

(Helmi, 2007).

Tromboflebitis Sinus Lateralis

Invasi infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati tulang mastoid akan

menyebabkan terjadinya trombosis sinus lateralis. Demam yang tidak dapat

diterangkan penyebabnya merupakan tanda pertama dari infeksi pembuluh darah.

Rasa nyeri biasanya tidak jelas, kecuali bila sudah terdapat abses perisinus. Kultur

darah biasanya positif, terutama bila darah diambil ketika demam.

Pengobatan haruslah dengan jalan bedah, membuang sumber infeksi di sel-sel

mastoid, membuang tulang yang berbatasan dengan sinus yang nekrotik, atau

membuang dinding sinus yang terinfeksi atau nekrotik. Jika sudah terbentuk

thrombus harus juga dilakukan drainase sinus dan mengeluarkan thrombus. (Helmi,

2007).

Abses Ekstradural

Abses ekstradural adalah terkumpulnya nanah di antara duramater dan tulang.

Ini berhubungan dengan jaringan granulasi dan kolesteatom yang menyebabkan erosi

tegmen timpani atau mastoid. Gejalanya terutama berupa nyeri telinga hebat dan

nyeri kepala. (Helmi, 2007).

Komplikasi ke Susunan Saraf Pusat

24

Page 26: Kedaruratan THT Fix

Meningitis

Komplikasi otitis media ke sususan saraf usat yang paling sering ialah

meningitis. Gejalanya biasanya berupa kaku kuduk, penurunan kesadaran, kenaikan

suhu tubuh, mual, muntah hingga proyektil, serta nyeri kepala yang hebat, Pada

pemeriksaan klinik terdapat kaku kuduk dan tanda kernig positif. Pengobatan dengan

mengobati meningitisnya dulu dengan antibiotik yang sesuai, kemudian infeksi di

telinganya ditanggulangi dengan operasi mastoidektomi. (Helmi, 2007).

Abses Otak

Abses otak biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga tengah

dan mastoid atau tromboflebitis. Umumnya didahului oleh suatu abses ekstradural.

Gejalanya berupa ataksia, afasia, disdiakdoko-kinetik, tremor intensif, tidak tepat

menunjuk suatu objek dan nadi yang lambat serta serangan kejang. Gejala lain berupa

nyeri kepala, demam, muntah serta keadaan letargik. Pengobatan abses otak ialah

dengan jalan operasi dengan melakukan drainase dari lesi. Selain itu pengobatan

dengan antibiotika harus intensif. (Helmi, 2007).

Hidrosefalus Otitis

Ini ditandai dengan peninggian tekanan likuor serebrospinal yang hebat tanpa

adanya kelainan kimiawi dari likuor itu. Gejala berupa nyeri kepala yang menetap,

diplopia, pandangan yang kabur, mual dan muntah. Pada pemeriksaan terdapat edema

papil. (Helmi, 2007).

EPISTAKSIS

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung merupakan suatu keluhan atau

tanda, bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan

setempat atau penyakit umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan

menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati sebabnya

(Kartika, Henny. 2009).

25

Page 27: Kedaruratan THT Fix

Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat

berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan

oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun

jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat

fatal, bila tidak segera ditolong. (Hembing. 2008 ; Ichsan, Mohammad. 2009).

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan

bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari

arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri

sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba.

Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga

merasa perlu memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan

kembali (Kartika, Henny. 2009).

Etiologi

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan

sistemik.

Lokal

Trauma

Infeksi

Neoplasma

Kelainan kongenital

Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.

Pengaruh lingkungan

Sistemik

Kelainan darah

Penyakit kardiovaskuler

Infeksi akut

Gangguan endokrin

Ada 2 macam lokasi terjadinya epistaksis :

26

Page 28: Kedaruratan THT Fix

1. Epistaksis anterior

Perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan kanan) bagian

depan, yaitu dari pleksus Kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior. Perdarahan

dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana

2. Epistaksis posterior

Berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan

cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan

anemia, hipovolemi dan syok (Soepardi dan Iskandar. 2001).

Diagnosis

1. Anamnesis

riwayat yang perlu diperhatikan:

Riwayat sebelumnya dimana seringkali berdarah setelah tindakan bedah (cabut

gigi, sirkumsisi-sunat)

Riwayat keluarga dengan perdarahan, epistaksis berulang, menstruasi berlebihan

Penggunaan obat-obatan, contoh obat semprot hidung, obat-obatan hidung,

NSAIDS (non steroidal anti inflammatory drugs)  

2. Pemeriksaan Fisik

Rinoskopi anterior.

Rinoskopi posterior.

Pengukuran tekanan darah.

Rontgen sinus

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah :

Darah lengkap

Pemeriksaan fungsi hemostatis

Tes fungsi hati dan ginjal

4. Mencari sumber perdarahan (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar.

2001).

27

Page 29: Kedaruratan THT Fix

Penatalaksanaan

Prinsip pertama dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga

ABC tetap baik

A : airway : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk

menunduk

B : breathing: pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau

keluarkan darah yang mengalir ke belakang tenggorokan

C : circulation : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah

tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan

sirkulasi

Ada 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan

perdarahan, mencegah komplikasi, mencegah berulangnya epistaksis. Jika pasien

dalam keadaan gawat seperti syok atau anemia lebih baik diperbaiki dulu keadaan

umum pasien baru menanggulangi perdarahan dari hidung itu sendiri.

Menghentikan perdarahan:

Pada epistaksis posterior, sebagian besar darah masuk ke dalam mulut sehingga

pemasangan tampon anterior tidak dapat menghentikan perdarahan. Perdarahan

posterior lebih sukar diatasi karena perdarahan biasanya hebat dan sulit melihat

bagian belakang dari rongga hidung. Dilakukan pemasangan tampon posterior

(tampon Bellocq), yaitu tampon yang mempunyai tiga helai benang, 1 helai di setiap

ujungnya dan 1 helai di tengah. Tampon dipasang selama 2-3 hari disertai dengan

pemberian antibiotik peroral untuk mencegah infeksi pada sinus ataupun telinga

tengah. Pada epistaksis yang berat dan berulang, yang tak dapat diatasi dengan

pemasangan tampon, perlu dilakukan pengikatan arteri etmoidalis anterior dan

posterior (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar. 2001).

Epistaksis akibat patah tulang atau septum hidung biasanya berlangsung singkat

dan berhenti secara spontan, kadang-kadang timbul kembali beberapa jam atau

beberapa hari kemudian setelah pembengkakan berkurang. Jika hal ini terjadi

28

Page 30: Kedaruratan THT Fix

mungkin perlu dilakukan pembedahan terhadap patah tulang atau pengikatan arteri

(Hembing. 2008; Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar. 2001)..

TULI MENDADAK

Tuli mendadak ( istilah medis: sudden deafness ) merupakan keadaan

emergensi di telinga, dimana telinga mengalami ketulian secara mendadak, kadang

tanpa disertai keluhan, umumnya mengenai satu telinga. Dikatakan emergensi karena

keadaan ini sering kali menetap, jika tidak diketahui cepat penyebabnya (Soepardi

dan Iskandar, 2001: Supriyono, 2009).

Tuli mendadak ialah tuli yang terjadi secara tiba-tiba, bersifat sensorineural

dan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui. Beberapa ahli mendefinisikan tuli

mendadak sebagai penurunan pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih paling

sedikit pada tiga frekuensi berturut-turut yang berlangsung dalam waktu kurang dari 3

hari. Tuli mendadak bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari banyak

penyakit (NIDCD, 2003).

Suckfull dkk mendefinisikan tuli mendadak sebagai berikut: tuli

sensorineural yang berlangsung mendadak lebih dari 15 dB pada tiga frekuensi atau

lebih dibandingkan dengan telinga yang sehat atau pemeriksaan audiometri

sebelumnya, disertai dengan atau tanpa gejala tinitus dan vertigo. Kerusakannya

terutama di klokea dan sifatnya permanent (Universitas Sumatra Utara, 2008).

Etiologi

Etiologi tuli mendadak sampai sekarang belum diketahui secara pasti.

Banyak ahli berpendapat bahwa tuli mendadak bukanlah suatu penyakit melainkan

suatu gejala dengan banyak faktor penyebab. Terdapat 4 teori utama penyebab tuli

mendadak yang berkembang berdasarkan studi etiologi, yaitu: infeksi virus,

autoimun, kerusakan membran telinga dalam dan gangguan vaskuler (Universitas

Sumatra Utara, 2008).

29

Page 31: Kedaruratan THT Fix

Beberapa virus penyebab ketulian mendadak sensorineural ditemukan pada

kasus-kasus penyakit MUMPS, measles, rubella, dan influenza yang disebabkan oleh

infeksi adenovirus dan sitomegalovirus (CMV). Pemeriksaan serologis terhadap

pasien dengan ketulian sensorineural idiopatik menunjukkan adanya peningkatan titer

antibody terhadap sejumlah virus. Antara 25-30 % pasien dilaporkan dengan riwayat

infeksi saluran nafas atas dengan kurang satu bulan onset kehilangan pendengaran.

Pemeriksaan histopatologi tulang temporal pasien yang mengalami ketulian

mendadak menunjukkan adanya atrofi organ corti, atrofi stria vaskularis dan

membran tektorial serta hilangnya sel rambut dan sel penyokong dari koklea

(Ghossaini, 2007 : Soepardi dan Iskandar, 2001)..

Ketulian sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun telinga dalam

masih belum jelas, tapi aktivitas imunologik koklea menunjukkan fakta yang tinggi.

Pembuluh darah koklea merupakan ujung arteri (end artery), sehingga bila terjadi

gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Pada

kasus emboli, trombosis, vasospasme, dan hiperkoagulasi atau viskositas yang

meningkat terjadi iskemia yang berakibat degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria

vaskularis dan ligament spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat

dan penulangan (Soepardi dan Iskandar, 2001 : Supriyono. 2009).

Ruptur membran labirin berpotensial menyebabkan kehilangan pendengaran

sensorineural yang tiba-tiba, membran basalis dan membran reissner merupakan

selaput tipis yang membatasi endolimfe dan perilimfe. Ruptur salah satu dari

membran atau keduanya dapat menyebabkan ketulian mendadak (Supriyono. 2009).

Gejala Klinik

Penderita mengeluh pendengarannya tiba-tiba berkurang pada satu atau

kedua telinga yang sebelumnya dianggap normal. Biasanya keadaan ini disadari

penderita ketika bangun tidur pagi hari ataupun setelah bekerja. Umumnya penderita

30

Page 32: Kedaruratan THT Fix

dapat mengatakan dengan pasti saat mulai timbulnya ketulian. Ketulian dapat

mengenai semua frekuensi pendengaran, tetapi yang sering pada frekuensi tinggi.

Tuli mendadak biasanya disertai dengan tinitus (91,0%), vertigo (42,9 %), rasa penuh

pada telinga yang sakit (40,7%), otalgia (6,3%), parestesia (3,5%), tuli saraf

sebelumnya(9,2%), tinitus sebelumnya (4,2%) dan gangguan vestibuler

sebelumnya(5,0%). (Universitas Sumatra Utara, 2008)

Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga,

dapat disertai tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala dan tanda penyakit virus

seperti parotis, varisela, variola atau pada anamnesis baru sembuh dari penyakit virus

tersebut. Pada pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan (Soepardi dan Iskandar,

2001).

Pemeriksaan Audiologi

1. Tes penala: Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach

memendek. Kesan: tuli sensorineural.

2. Audiometri nada murni: tuli sensorineural derajat ringan sampai sangat berat.

3. BERA (pada anak-anak atau pada pasien yang tidak kooperatif): tuli saraf ringan

sampai berat.

4. Tes SISI (short increment sensitivity index) skor 70-100%. Kesan : dapat

ditemukan rekruitmen.

5. Tes Tone Decay : tidak ada kelelahan. Kesan : bukan tuli retrokoklea.

6. Audiometri tutur: speech discrimination score (SDS) kurang dari 100%. Kesan :

tuli sensorineural.

7. Audiometri impedans: timpanogram tipe A (normal), refleks stapedius ipsilateral.

Negatif atau positif, sedangkan kontralateral positif. Kesan : tuli sensorineural

koklea. (Soepardi dan Iskandar, 2001 : Universitas Sumatra Utara, 2008).

Penatalaksanaan

31

Page 33: Kedaruratan THT Fix

Penatalaksanaan tuli mendadak sampai saat ini masih menimbulkan

perdebatan. Adanya laporan perbaikan pendengaran secara spontan berkisar antara

47%-63% menyulitkan hasil evaluasi penatalaksanaan tuli mendadak. Belum ada

penelitian yang dapat membuktikan bahwa suatu obat secara bermakna dapat

menyembuhkan tuli mendadak. Apabila penyebab tuli mendadak yang spesifik dapat

diidentifikasi, penatalaksanaan yang rasional dapat diberikan. Koreksi terhadap

penyebab, misalnya bising, DM, penyakit vaskuler. Obat-obat yang sering dipakai:

Vasodilator yang cukup kuat misalnya complamin injeksi :

3 x 900 mg (3 ampul) selama 4 hari

3 x 600 mg (2 ampul) selama 4 hari

3 x 300 mg (1 ampul) selama 6 hari

disertai vasodilator oral complamin 3X2 tablet tiap hari.

Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang digunakan untuk mengobati

ketulian sensorineural mendadak idiopatik.

Prednisone 4 x 10 mg tapering off tiap tiga hari, hati2 pd penderita DM.

Obat anti virus : asiklovir dan amantadin pengobatan pada etiologi virus.

Hiperbarik Oksigen. Terapi hiperbarik oksigen menggunakan 100% oksigen

dengan tekanan 250 kPA selama 60 menit dalam ruangan tertutup.

Vitamin C 100 mg 2X1 tab/ hari dan neurobion 3X1 tab/ hari.

(Ghossaini, 2007 : Soepardi dan Iskandar, 2001)

Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan tiap minggu selama satu bulan. Bila

gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan, dapat dibantu dengan alat

bantu dengan (hearing aid). Rehabilitasi pendengaran agar sisa pendengaran dapat

digunakan secara maksimal bila memekai alat bantu dengar dan rehabilitasi suara

agar dapat mengendalikan volume, nada dan intonasi. Apabila dengan alat bantu

dengar juga belum dapat berkomunikasi secara adekuat dilakukan psikoterapi dengan

tujuan agar pasien dapat menerima keadaan (Soepardi dan Iskandar, 2001).

TRAUMA MAKSILOFACIAL

32

Page 34: Kedaruratan THT Fix

Struktur

Struktur tulang maksilofacial yang terdiri dari os maksila, zigomatikus dan

ethmoid yang tersusun secara khusus berperan sebagai peredam kejut yang

melindungi otak. Pemeriksaan dilakukan menyeluru dengan memperhatikan

kerusakan di tempat lain baik yang dekat maupun yang jauh terutama cedera otak.

Pemeriksaan lokal dilakukan dengan inspeksi dan palpasi ekstra oral maupun

intraoral. Pada trauma maksilofacial penyebab dari trauma dapat dibedakan menjadi

empat yaitu :

Trauma tumpul

Trauma tajam

Trauma termal

Trauma kimia.

Pada inspeksi diperhatikan adanya asimetri muka, pembengkakan, hematom,

trismus dan nyeri spontan serta maloklusi. Fraktur maksilofasial biasanya disertai

odema dan ematom sehingga muka tampak sangat bengkak (wajah balon). Lefort

membedakan fraktur maksilofasial atas tiga macam yaitu fraktur sepertiga atas

(Lefort III), fraktur Fraktur sepertiga tengah (Lefort II), fraktur sepertiga bawah

(Lefort I). Palpasi harus dilakukan secara serentak (kanan kiri bersama-sama),

seksama, dan sistematis (Iskandar dan Helmi. 2001).

Jika seseorang mendapat trauma pada muka yang disebabkan oleh banyak

factor, dapat menimbulkan kelainan berupa sumbatan jalan nafas, shock karena

perdarahan, gangguan pad vertebra servikalis, atau terdapatnya gangguan fungsi saraf

otak. Penanganan khusus trauma maksilofasial harus dilakukan segera atau pada

waktu berikutnya. Penanggulangan ini tergantung kepad kondisi jaringan yang

terkena trauma (Iskandar dan Helmi. 2001).

Penderita dengantrauma maksilofasial dapat timbul beberapa keluhan seperti

yang disebutkan dibawa ini misalnya :

1. Kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi dan laserasi).

2. Epistaksis (anterior dan posterior)

33

Page 35: Kedaruratan THT Fix

3. Terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan

4. Gangguan pada mata

5. Gangguan saraf sensoris

6. Gangguan saraf motorik

7. Trismus

8. Maloklusi

9. Emfisema subkutis

10. Krepitasi tulang pada maksila, mandibula, atau tulang hidung

11. Keluarnya cairan otak

12. Rasa sakit

13. Terdapat tanda infeksi pada jaringan lunak pada tempat hematoma

14. Terdapat fraktur gigi atau terlepasnya gigi tersebut

15. Adanya obstruksi hidung (Iskandar dan Helmi. 2001).

Fraktur Os Nasal

Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan

jika disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur

wajah biasanya Le Fort tipe 1 dan 2. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan

cedera leher atau kepala (Soepardi dan Iskandar, 2001.:

http://www.w3.org/1999.xhtml).

Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu: mendapat serangan misal dipukul,

injury karena olah raga, kecelakaan (personal accident) dan kecelakaan lalu lintas.

Dari 4 causa diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya dipukul

dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan injury nasal

misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas kepala; olah

raga yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat mengayun ke

belakang atau depan dan dapat memukul hidung atau karate; petinju (Ross,A.T,

2007).

34

Page 36: Kedaruratan THT Fix

Kemungkinan adanya fraktur tulang hidung harus dibuktikan dengan

pemeriksaan foto rontgen dengan proyeksi Water, foto os nasal dan pemeriksaan foto

rontgen dengan proyeksi dari atas hidung, untuk mengetahui kemungkinan timbulnya

kelainan oklusi dari rongga mulut (Soepardi dan Iskandar, 2001).

Tanda Klinis Fraktur Os Nasal

1. Edema/ hematoma di hidung dan sekitarnya.

2. Struktur hidung berubah, bengkok ke lateral atau batang hidung terdesak ke

dalam.

3. Terdapat krepitasi bila os nasalis diraba.

4. Terdapat dislokasi septum nasi.

(Iskandar dan Helmi, 2001)

Jika pyramid hidung rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat

akan menimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung, prosesus frontal os maksial dan

prosesus nasalis os frontal. Bagian dari pyramid hidung yang terletak antara kedua

mata terdorong ke belakang, akibatnya terjadi fraktur nasoetmoid, nasomaksila dan

nasoorbita yang menimbulkan komplikasi sekuela. Komplikasi yang terjadi pada

hidung antara lain:

a. Perubahan bentuk hidung

b. Obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi atau hematome

pada septum

c. Gangguan penciuman (hiposmia atau anosmia)

d. Epistaksis posterior yang disebabkan karena robeknya arteri etmoidalis

e. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontalis atau

mukokel.

(Soepardi dan Iskandar, 2001 : Iskandar dan Helmi, 2001).

Penatalaksanaan

35

Page 37: Kedaruratan THT Fix

Pada keadaan dislokasi os nasalis dan septum nasi, bila tidak terdapat edema

atau hematoma, dilakukan reposisi segera, yaitu dengan memasukan 3 buah kapas

pada masing-masing lubang hidung (tampon kapas) yang diteteskan lidocain 1-2%

serta epinefrin 1/1000 selama 5 menit, atau semprotan xylocaine. Masing-masing

diletakkan pada meatus superior, antara konka media dan septum, dan antara

konkainferior dan septum nasi, kemudian ditunggu 10 menit.

Reduksi fraktur os nasal dilakukan 1-2 jam sesudah trauma atau maksimal kurang

dari 14 hari.

Pada trauma terbuka dilakukan eksplorasi di tempat luka, fragmen tulang

direposisi, kemudian di fiksasi dengan kawat. Bila terjadi avulsi, jaringan dijahit

kembali

(Ross, A. T, 2007 : Iskandar dan Helmi, 2001)

Perawatan Paska bedah

Infus Ringer Laktat / Dekstrose 5 % 1 : 4 dilanjutkan selama 1 hari

Antibiotik profilaksis diteruskan setiap 8 jam , sampai 3 kali pemberian.

Analgetika diberikan kalau perlu.

Penderita sadar betul boleh minum sedikit-sedikit, bila 8 jam kemudian tidak apa

apa boleh makan bubur (lanjutkan 1 minggu).

Diperhatikan posisi tidur, daerah operasi tidak boleh tertekan dan rawat luka pada

hari ke 2 - 3 , angkat jahitan hari ke-7.

Follow-Up: Tampon hidung dilepas hari 3-4, Splint septum dilepas hari 10, Gips

kupu-kupu dilepas minggu ke-3 dan kontrol tiap bulan selama 3 bulan.

(http://www.bedahumum.wordpress.com., 2008)

Fraktur Maksila

Fraktur maksila sering terjadi sebagai akibat dari trauma tumbukan dengan

energi tinggi pada tulang tengkorak. Tipe mekanisme trauma termasuk kecelakaan

sepeda motor, jatuh, dan terpukul. Dengan semakin dikenalnya peraturan

menggunakan sabuk keselamatan, luka pada pengemudi akibat efek dari terkena roda

kemudi telah beralih dari trauma pada dada menjadi trauma pada wajah. Jika terjadi

36

Page 38: Kedaruratan THT Fix

fraktur maksila harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan kembali fungsi

normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan dari tindakan penaggulangan ini adala

untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan

memperoleh kontur muka yang cocok (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan

Iskandar. 2001).

Harus diperhatikan juga jalan nafas yang baik serta profilaksis kemungkinan

terjadinya infeksi. Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan nafas

sehingga mungkin dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang bersal dari

arteri maksilaris interna atau arteri ethoidalis anterior sering terdapat pada fraktur

maksila dan harus segera diatasi (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar.

2001).

Klasifkasi fraktur maksila

1. Fraktur maksila Lefort I

Fraktur Lefort I ( fraktur Guerin) meliputi fraktur bagian bawah. Bisa

unilateral maupun bilateral. Garis fraktur berjalan sepanjang maksila bagian

bawah sampai bagian bawah rongga hidung. Fraktur berjalan dari septum

hidung hingga ke bagian lateral piriformis, fraktur berjalan secara horizontal

diatas apikal gigi, mmenyeberang dibawah sambungan zygomatikomaksilar

dan hingga mengganggu dasar os pterigoid. Kerusakan yang mungkin terdapat

pada fraktur Le fort I ini adalah kerusakan pada:

a) Prosesus arteroralis

b) Bagian dari sinus maksilaris

c) Palatum durum

d) Bagian bawah lamina pterigoid

Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan

menggerakkan dengan jari. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal , yang biasanya

terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian (Moe, kris. 2008).

37

Page 39: Kedaruratan THT Fix

Gambar: Fraktur maksila Le fort ISumber: Moe, kris. 2008.. http://emedicine.medscape.com

2. Fraktur maksila Le fort II

Fraktur Le Fort II (pyramidal) dapat terjadi dari hantaman pada maksila bagian

bawah atau tengah. Fraktur ini mempunyai bentuk seperti piramida dan terjadi pada

jembatan hidung atau dibawah sutura nasofrontalis melalui prosessus frontalis

maksila, secara inferolateral melaluii tulang lakrimal dan inferior dasar orbital dan

berakhir di dekat inferior foramen orbital, dan secara inferior melalui dinding anterior

sinus maksilaris; kemudian berjalan dibawa zygoma menyeberangi fissure

pterigomaksila dan menuju ke lamina pterigoid. Fraktur pada lamina ciribriformis dan

atap sel ethmoid dapat merusak sistem lakrimalis, karena fraktur ini sangat mudah

digerakkan maka disebut floating maxilla (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan

Iskandar. 2001).

Gambar: Fraktur maksila Le fort IISumber: Moe, kris. 2008.. http://emedicine.medscape.com

38

Page 40: Kedaruratan THT Fix

3. Fraktur maksila Le fort III

Fraktur Le fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang

memisahkan secara lengkap antara tulang-tulang cranial. Garis fraktur berjalan

melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melaui fisura

orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zygomatika

frontal dan sutura temporozygomatik. Fraktur Le fort III ini biasanya bersifat

kominutif yang disebit keainan dishface. Fraktur maksila Le fort III ini sering

menimbulkan komplikasi intrakanial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak

melalui atap sel ethmoid dan lamina cribiformis (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi

dan Iskandar. 2001).

Gambar: Fraktur maksila Le fort IIISumber: Moe, kris. 2008.. http://emedicine.medscape.com

Tanda dan gejala klinis

Fraktur pada tulang wajah seperti fraktur pada tulang-tulang lain

menimbulkan gejala seperti rasa sakit, memar, dan bengkak disekitar jaringan lunak.

Fraktur pada hidung, dasar tengkorak, atau maksila dapat dihubungkan dengan

epistaksis. Patah pada hidung dapat diasosiasikan dengan deformitas hidung, memar,

dan bengkak. Deformitas pada wajah seperti tulang pipi yang lebih menonjol dan gigi

yang tidak dapat menutup secara sempurna dapat dijadikan tanda adanya fraktur.

Asimetris pada wajah menandakan fraktur tulang wajah atau kerusakan pada syaraf.

39

Page 41: Kedaruratan THT Fix

Penderita patah tulang mandibula biasanya menderita rasa sakit dan kesulitan ketika

membuka mulut dan bengkak pada dagu dan bibir ( Moe, Kris.2008).

Diagnosis

Radiografi, biasa digunakan untuk mendiagnosis fraktur, agiografi dapat

digunakan untuk menentukan lokasi sumber perdarahan. CT scan lebih akurat untuk

mendeteksi patah tulang dan memeriksa jaringan lunak serta menentukan apakah

tindakan bedah memang dibutuhkan (Soepardi dan Iskandar. 2001).

Penatalaksanaan

Penanggulangan fraktur maksila (mid facial fracture) sangat ditekankan agar

rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter-maksilar

sehingga oklusi gigi menjadi sempurna. Pada tindakan ini banyak digunakan kawat

baja atau miniplate sesuai garis fraktur. Reposisi, suspensi(Le fort I,II dengan

“zygomatico circumferential wiring”, Le fort III dengan ‘fronto circumferential

wiring”) interdental wiring. Untuk fraktur maksila yang impresif perlu dilakukan

traksi skeletal. “Interdental wiring” dipertahankan satu bulan sedangkan suspensi

dipertahankan selama dua bulan ( Moe, Kris.2008).

Fraktur Mandibula

Fraktur mandibula paling sering terjadi. Hal ini disebabkan kondisi mandibula

yang terpisah dari kranium. Penanganan fraktur mandibula sangat penting terutama

untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna,

proses mengunyah dan menelan yang sempurna. Fraktur mandibula sangat penting

dihubungkan dengan adanya otot yang bekerja dan berorigo atau berisersio pada

mandibula ini. Otot tersebut adalah otot elevator, otot depressor, dan otot protusor

(Iskandar dan Helmi. 2001).

Trauma dan fraktur pada mandibula dapat mengancam jiwa. Sebaga contoh

trauma pada ipsilateral body fracture dan contralateral subcondylar fracture. Trauma

pada symphysis dapat menyebabkan fraktur symphyseal dan fraktur bilateral

subcondylar. Dengan adanya fraktur bilateral, parasymphyseal selalu melindungi

40

Page 42: Kedaruratan THT Fix

jalan nafas dari obstruksi yang disebabkan retrodisplaced lidah. Gangguan pada jalan

nafas sering terjadi pada fraktur mandibula, sehingga dapat menyebabkan perdarahan

intraoral, odema, keilangan gigi, dan posterior dislokasi mandibula dan atau lidah

dikarenakan pergeseran segmen mandibula. Lokasi terjadinya fraktur mandibula

biasanya pada daerah condylar-subcondylar, tubuh dann angulus. Frekuensi lokasi

fraktur mandibula sebagai berikut:

Condilus - 29%

Angulus- 24%

Symphysis - 22%

Tubuh - 16%

Ramus - 1.7%

Coronoid - 1.3%

Tipe fraktur biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur

symphyseal dan bilateral parasymphyseal disebabkan oleh mandibula yang

menghantam roda kemudi atau dashboard (Iskandar dan Helmi. 2001; Moe, kris.

2008.).

.

Gambar: lokasi fraktur mandibulaSumber: Chang, Edward.2008. http://emedicine.medscape.com

Gejala klinis

41

Page 43: Kedaruratan THT Fix

Diagnosis fraktur mandibula ditegakkan berdasarkan adanya riwayat

kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai berikut:

1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula

2. Rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior

3. Anastesia pada satu sisi bibir bawah, pada gusi, atau pada gigi dimana nervus

alveolaris inferior menjadi rusak

4. Maloklusi

5. Adanya krepitasi

6. Trismus, rasa sakit mengunyah

7. Gangguan jalan nafas

8. dll ((Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar. 2001).

Diagnosis

Radiografi, biasa digunakan untuk mendiagnosis fraktur dengan melakukan

foto polos pada posisi posteroanterior, lateral, towne, lateral oblik kiri dan kanan,

agiografi dapat digunakan untuk menentukan lokasi sumber perdarahan. CT scan

lebih akurat untuk mendeteksi patah tulang dan memeriksa jaringan lunak serta

menentukan apakah tindakan bedah memang dibutuhkan (Iskandar dan Helmi. 2001;

Soepardi dan Iskandar. 2001).

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tergantung pada lokasi fraktur mandibula, luasnya fraktur

dan keluhan penderita. Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan radiografi.

Dapat digunakan juga mini atau mikro palte pada mandibula dengan tindakan

pembedahan. Penatalaksanaan non operatif dilakukan pada fraktur mandibula

minimal dan dislokasi. Pada anak-anak biasanya sering terjadi fraktur yang tidak

sempurna yang disebut fraktur greenstick dimana biasanya dilakukan perawatan

konservati pada pasien dewasa dengan fraktur minimal juga dilakukan perawatan

secara konservatif. Reposisi terbuka, fiksasi dengan “interosseous wiring” dan

interdental wiring. Interdental wiring dipertahankan selama satu bulan. Pilihan

fiksasi interna yang adalah dengan pemasangan plat dan sekrup. Fraktur daerah

42

Page 44: Kedaruratan THT Fix

ramus, kondilus, koronoid, yang maloklusinya dapat dikoreksi dengan reposisi

tertutup, cukup diimmobilisasi dengan interdental wiring (Iskandar dan Helmi. 2001;

Soepardi dan Iskandar. 2001; Chang, Edward.2008).

PARESE NERVUS FASIALIS

Kelumpuhan nervus Fasialis (parese N.VII) merupakan kelumpuhan otot-

otot wajah. N. Fasialis terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris dan

parasimpatis (Soepardi dan Iskandar, 2001).

Gangguan nervus fasialis dapat mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah,

kelopak mata tidak bisa ditutup, gangguan air mata dan ludah, gangguan rasa

pengecap di bagian belakang lidah serta gangguan pendengaran (hiperakusis).

Kelumpuhan fungsi motorik nervus fasialis mengakibatkan otot-otot wajah satu sisi

tidak berfungsi, ditandai dengan hilangnya lipatan hidung bibir, sudut mulut turun,

bibir tertarik kesisi yang sehat. Pasien akan mengalami kesulitan mengunyah dan

menelan. Air ludah akan keluar dari sudut mulut yang turun. Kelopak mata tidak bisa

menutup pada sisi yang sakit, terdapat kumpulan air mata di kelopak mata bawah

(epifora). Refleks kornea pada sisi sakit tidak ada (Sholehudin. 2008).

Pada tulang temporal, n.VII dibagi dalam 3 segmen yaitu segmen labirin

yang terletak antara kanal akustik internus dan ganglion genikulatum, segmen timpani

terletak diantara bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan ke arah posterior

telinga tengah, kemudian ke arah fenestra ovalis dan stapes, kemudian terletak sejajar

dengan kanal semisirkularis horizontal. Segmen mastoid, mulai dari dinding medial

dan superior kavum timpani, bagian ini merupakan bagian paling posterior dari n.VII,

sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi (Soepardi dan Iskandar, 2001).

Di dalam tulang temporal n.VII memberikan 3 cabang, yaitu nervus petrosus

superior mayor, nervus stapedius dan korda timpani. Nervus petrosus superior mayor

yang keluar dari ganglionj genikulatum. Saraf yang memberikan rangsang untuk

sekresi pada kelenjar lakrimalis. Nervus stapedius yang mensarafi muskulus stapedius

43

Page 45: Kedaruratan THT Fix

dan berfungsi sebagai peredam suara. Korda timpani yang memberikan serabut perasa

pada dupertiga lidah bagian depan (Soepardi dan Iskandar, 2001).

Etiologi Parese n.Fasialis

Penyebab kelumpuhan n.fasialis antara lain kongenital, infeksi, tumor,

trauma, gangguan pembuluh darah dan idiopatik. Kelumpuhan yang didapat secara

kongenital bersifat ireversibel dan terdapat bersamaan dengan anomali pada telinga

dan tulang pendengaran (Soepardi dan Iskandar, 2001).

Proses infeksi pada intrakranial atau infeksi telinga tengah, dapat

menyebabkan kelumpuhan n.Fasialis. Infeksi intrakranial yang menyebabkan

kelumpuhan, sindrom Ramsey-Hunt, herpes optikus, dan infeksi telinga tengah ialah

otitis media supuratif kronis yang telah merusak kanal Fallopi. Tumor ekstrakranial

yang menyebabkan kelumpuhan n.VII adalah tumor telinga tengah dan tumor parotis,

sedangkan tumor inrakranial dapat berupa tumor serebelopontin, neuroma akustik dan

neuriloma juga dapat menyebabkan kelumpuhan n.fasialis (Soepardi dan Iskandar,

2001).

Fraktur yang menyebabkan kelumpuhan n.Fasialis adalah fraktus pars

petrosa os temporal. Gangguan pembuluh darah misalnya trombosis arteri karotis,

a.Maksilaris dan a.serebri media (Soepardi dan Iskandar, 2001).

Pemeriksaan fungsi n. Fasialis

Tujuan pemeriksaaan untuk menentukan letak lesi dan menentukan derajat

kelumpuhannya.

Untuk menentukan derajat kelumpuhan, dilakukan pemeriksaan fungsi motor.

Hasilnya dihitung dalam persen (%).

Pemeriksaan gustometer, dapat ditentukan ambang kecep dari pasien.

Tes Schimer, caranya dengan meletakkan kertas lakmus pada bagian inferior

konjungtiva. Dapat dihitung berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis.

44

Page 46: Kedaruratan THT Fix

Pemeriksaan NET (nervus extability test) dengan membedakan kiri dan kanan.

Bila perbedaan lebih dari 3,5 mA menandakan fungsi n.VII dalam keadaan

serius. Dimana test ini untuk mengetahui ambang rangsang permukaan n.VII.

Hiperakusis, jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius

maka suara-suara yang diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras

intensitasnya.

(Kedokteran dan Linux, 2008)

Penatalaksanaan

1. Pada parese N.VII dengan gangguan hantaran ringan dan fungsi motor masih

baik pengobatan ditujukan untuk menghilangkan edema saraf dengan

menggunakan obat-obatan: anti edema, vasodilatansia dan neurotronika.

2. Pada parese N.VII dengan gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi

total tindakan operatif segera harus dilakukan dengan teknik dekompresi N.VII

transmastoid.

(Soepardi dan Iskandar, 2001).

RINGKASAN DAN SARAN

Laring sebagai fungsi pernapasan merupakan saluran napas yang paling

sempit, sehingga merupakan saluran napas yang sering mendapat gangguan. Etiologi

yang dapat menyebabkan sumbatan laring dibagi menjadi: benda asing; trauma;

infeksi, seperti epiglotitis; neoplasma, seperti tumor laring; gangguan neurogenik

pada laring. Jakson membagi sumbatan pada laring menjadi 4 stadium dengan tanda

dan gejala. Dalam penatalaksanaan sumbatan pada prinsipnya diusahakan supaya

jalan napas lancar kembali. Pada stadium 1 tindakan konservatif dengan pemberian

anti inflamasi, anti alergi, antibiotika, serta pemberian oksigen intermiten. Pada

stadium 2 dan 3 dilakukan intubasi endotrakea dan trakeostomi. Pada stadium 4

dilakukan krikotirotomi.

45

Page 47: Kedaruratan THT Fix

Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat

berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan

oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun

jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat

fatal, bila tidak segera ditolong. epistakasis posterior dapat berasal dari arteri

sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-

sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan mencari sumber perdarahan Prinsip

pertama dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC tetap

baik. Ada 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan

perdarahan, mencegah komplikasi, mencegah berulangnya epistaksis. Jika pasien

dalam keadaan gawat seperti syok atau anemia lebih baik diperbaiki dulu keadaan

umum pasien baru menanggulangi perdarahan dari hidung itu sendiri.

OMSK mempunyai potensi serius karena komplikasinya yang dapat

mengancam kesehatan bahkan kematian. Biasanya ini terdapat pada pasien OMSK

tipe maligna. Komplikasi yang dapat menyebabkan keadaan serius adalah komplikasi

ekstradural dan susunan saraf pusat. Pengobatan medikamentosa yang tidak

mengurangi gejala klinis seperti otorea yang tidak berhenti, harus dicurigai

kemungkinan terjadinya komplikasi. Pemeriksaan fisik dan radiologik yang tepat

dapat menegakkan diagnosis sehingga mempercepat pemberian terapi yang efektif.

Tuli mendadak (sudden deafness) merupakan keadaan emergensi, bersifat

sensorineural dan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui, umumnya mengenai

satu telinga. Gejala tuli mendadak biasanya disertai dengan tinitus, vertigo, rasa

penuh pada telinga yang sakit, otalgia, parestesia dan gangguan vestibuler

sebelumnya. Belum ada penelitian yang dapat membuktikan bahwa suatu obat secara

bermakna dapat menyembuhkan tuli mendadak.

Fraktur maksila sering terjadi sebagai akibat dari trauma tumbukan dengan

energi tinggi pada tulang tengkorak. Jika terjadi fraktur maksila harus segera

dilakukan tindakan untuk mendapatkan kembali fungsi normal dan efek kosmetik

46

Page 48: Kedaruratan THT Fix

yang baik. Harus diperhatikan juga jalan nafas yang baik serta profilaksis

kemungkinan terjadinya infeksi. Fraktur maksila diklasifikasikan menjadi fraktur

maksila Le Fort I, fraktur maksila Le Fort II, dan fraktur maksila Le Fort III. Fraktur

pada tulang wajah seperti fraktur pada tulang-tulang lain menimbulkan gejala seperti

rasa sakit, memar, dan bengkak disekitar jaringan lunak. Penanggulangan fraktur

maksila (mid facial fracture) sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah

dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter-maksilar sehingga oklusi gigi menjadi

sempurna.

Fraktur mandibula paling sering terjadi. Hal ini disebabkan kondisi mandibula

yang terpisah dari kranium. Penanganan fraktur mandibula sangat penting terutama

untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna,

proses mengunyah dan menelan yang sempurna. Diagnosis fraktur mandibula

ditegakkan berdasarkan adanya riwayat kerusakan rahang bawah dengan

memperhatikan gejala-gejalanya. Penatalaksanaan tergantung pada lokasi fraktur

mandibula, luasnya fraktur dan keluhan penderita. Penatalaksanaan non operatif

dilakukan pada fraktur mandibula minimal dan dislokasi.

Kelumpuhan nervus Fasialis merupakan kelumpuhan otot-otot wajah.

Penyebab kelumpuhan antara lain kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan

pembuluh darah dan idiopatik. Pemeriksaaan dilakukan untuk menentukan letak lesi

dan derajat kelumpuhannya. Bila gangguan hantaran ringan pengobatan ditujukan

untuk menghilangkan edema saraf dan gangguan berat dengan tindakan operatif.

Pada fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah, dengan tanda-

tanda adanya edema/ hematoma, struktur hidung berubah, terdapat krepitasi dan

dislokasi septum nasi. Penatalaksanaan dengan reduksi dan pada trauma terbuka

dilakukan eksplorasi di tempat luka.

47

Page 49: Kedaruratan THT Fix

DAFTAR PUSTAKA

Anna H messner, MD. Et al. 2009. Epidemiology and etiology of epistaxis in children. http://eccap0602p.utd.com

Bambang S. 1993. Laringologi. Balai penerbit UNDIP: Semarang.

Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 2006. Available from URL: http://www.pediatrics.org/

Bowman, J. G. 2009. Epiglottitis. eMedicine. http://emedicine.medscape.com/article /763612-overview

Chang, Edward. 2008. Mandible fractures general principle and occlusion. http://emedicine.medscape.com

48

Page 50: Kedaruratan THT Fix

Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI . Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007.

Felter, R. A. 2009. Epilgottitis. eMedicine. http://emedicine.medscape.com/article/ 801369-overview

Ghossaini. 2007. Sudden Hearing Loss. http://www.american-hearing.org.

Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E. Penanggulangan Sumbatan Laring. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007.

Helmi. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis Dan Mastoiditis. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007.

Hembing. 2008. Mengatasi dan Mencegah Perdarahan Hidung (Mimisan). http:// cybermed.cbn.net.id.htm

Ichsan, Mohammad. 2009. Penatalaksanaan Epistaksis. http://cdk.mht

Iskandar dan Helmi. 2001. Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat THT. FKUI. Jakarta

Jeffry A Evans, MD. Et al. 2008. Epistaksis. http://emedicine.com

Junizaf, M. H. Benda Asing Di Saluran Napas. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007.

Kartika, Henny. 2009. Epistaksis. http://[email protected]

Kedokteran dan Linux. 2008. Pemeriksaan Saraf. http://www.medlinux.com

Moe, kris. 2008. Facial Trauma, maxillary , and Le Fort Fractures. http://emedicine. medscape.com

Munir, M., Hadiwikarta, A., Hutauruk, S.M.. Trauma Laring. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007.

49

Page 51: Kedaruratan THT Fix

NIDCD. 2003. Sudden Deafness. USA. http://www.nidcd.nih.gov

Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6 . Jakarta: EGC, 1997

Ross, A.T. 2007. Nasal and Septal Fractures. http://www.emedicine.com

Sholehudin. 2008. Gangguan pada Nervus Cranialis. http://www.cermin-kedokteran.com

Supriyono. 2009. Tuli Mendadak. http://nawalahusada.wordpress.com/artikel-kedokteran

Universitas Sumatra Utara. 2008. Tuli Mendadak. USU Digital Library

Wikipedia. 2009. Tracheotomy. http://en.wikipedia.org/wiki/Tracheostomy

Wikipedia. 2008. Cricothyrotomy. http://en.wikipedia.org/wiki/Cricothyrotomy

http://bedahumum.wordpress.com/2008/10/10/krikotirotomi. Krikotirotomi. 2008

http://bedahumum.wordpress.com. Reposisi Fraktur Nasal. 2008

http://www.w3.org/1999.xhtml. Fraktur Nasal. 1999

50