tugas agama kristen tentang kdrt
TRANSCRIPT
Bab I Pendahuluan
1.1 Alasan memilih Judul
Karena isu kekerasan sedang marak saat ini, berbagai alasan
pendorong mulai dari ekonomi, social dan budaya. Namun factor
yang menonjol dari segala penyebab siksaan ini adalah factor
ekonomi. Maka dari itu, kami memilih judul ini.
1.2 Tujuan memilih judul
a. Untuk menyadarkan masyarakat akan adanya kasus KDRT
b. Melindungi hak kaum perempuan
c. Menjauhkan dari sikap kekerasan.
Bab II Isi
2.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang dilakukan di
dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut
Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar
korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah
suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-
orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau
korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami,
dan anak bahkan pembatu rumah tangga.
2.2 Bentuk – bentuk KDRT
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti
menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan
atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan
cedera berat, tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, pingsan,
luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan
atau yang menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca
indera, mendapat cacat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya
pikir selama 4 minggu lebih, gugurnya atau matinya kandungan
seorang wanita, dan kematian korban.
Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak,
mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cedera ringan
dan rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori
berat. Jika kekerasan fisik ringan dilakukan berulang-ulang
(repetisi), maka dapat dimasukkan ke dalam kekerasan fisik berat.
Oleh karena tujuan atau niat pelaku dalam tindak pidana KDRT
tidak semata-mata untuk melukai tubuh atau menghilangkan nyawa
korban, tetapi lebih pada kehendak pelaku untuk mengontrol korban
agar tetap ditempatkan dalam posisi subordinat (konteks kekerasan
domestik), maka tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang
bukan dalam konteks kekerasan domestik tidak diatur dalam UU ini
tetapi masuk dalam pengaturan KUHP.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eks-ploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam
bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan
atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan;
kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;
yang masing-masingnya dapat mengakibatkan penderitaan psikis
berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
a. gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat
atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat
dan atau menahun;
b. gangguan stres pasca trauma;
c. gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau
buta tanpa indikasi medis);
d. depresi berat atau destruksi diri;
e. gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizo-frenia dan atau bentuk psikotik lainnya;
f. bunuh diri.
Kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eks-ploitasi, kesewenangan, perendahan dan
penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi
sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina;
penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang
masing-masingnya dapat mengakibatkan penderitaan psikis ringan,
berupa salah satu atau beberapa hal berikut ini:
a. ketakutan dan perasaan terteror;
b. rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri dan kemampuan
bertindak;
c. gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual;
d. gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan
pencernaan tanpa indikasi medis);
e. fobia atau depresi temporer.
Pembuktian kekerasan psikis harus didasarkan pada dua aspek
secara terintegrasi, yaitu tindakan yang diambil pelaku dan
implikasi psikologis yang dialami korban. Diperlukan keterangan
psikologis atau psikiatris yang tidak saja menyatakan kondisi
psikologis korban tetapi juga uraian penyebabnya.
3. Kekerasan Seksual
Seperti halnya kekerasan fisik dan psikis, kekerasan seksual juga
dibagi menjadi kekerasan seksual berat dan ringan. Kekerasan
seksual berat berupa:
a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta
perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror,
terhina, dan merasa dikendalikan.
b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau
pada saat korban tidak menghendaki.
c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
e. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan
posisi ketergan-tungan korban yang seharusnya dilindungi.
f. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa
bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan seksual ringan berupa pelecehan seksual secara
verbal, seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan,
dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah,
gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian
seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan
atau menghina korban. Jika kekerasan seksual ringan dilakukan
berulang-ulang (repitisi), maka dapat dimasukkan senagai
kekerasan seksual berat.
Kata “pemaksaan hubungan seksual” lebih diuraikan untuk
menghindari penafsiran bahwa “pemaksaan hubungan seksual” hanya
dalam bentuk pemaksaan fisik semata (seperti harus adanya unsur
penolakan secara verbal atau tindakan), tetapi pemaksaan juga
dapat terjadi dalam tataran psikis (seperti di bawah tekanan,
sehingga tidak dapat melakukan penolakan dalam bentuk apapun).
Dengan demikian pembuktiannya tidak dibatasi hanya pada bukti-
bukti bersifat fisik, tetapi dapat juga dibuktikan melalui
kondisi psikis yang dialami korban.
Tindakan-tindakan kekerasan seksual ini dalam dirinya sendiri
(formil) merupakan tindakan kekerasan dengan atau tanpa melihat
implikasinya. Implikasi itu sendiri harusnya dimasukkan sebagai
unsur pemberat (hukuman), seperti rusaknya hymen, hamil,
keguguran, terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), kecacatan,
dan lain-lain.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi
dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa memaksa korban
bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang
korban bekerja tetapi menelantar-kannya, dan mengambil tanpa
sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban. Kekerasan ekonomi ringan, berupa
melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung
atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya. Kekerasan ekonomi yang dimaksud dalam UU ini adalah
tindakan-tindakan dimana akses korban secara ekonomi dihalangi
dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan,
kekayaan korban dimanfaat-kan tanpa seijin korban, atau korban
dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan materi. Dalam
kekerasan ini, ekonomi digunakan sebagai sarana untuk
mengendalikan korban.
2.3 Faktor-faktor pendorong terjadinya KDRT
Kekerasan dalam keluarga adalah implikasi dari ideologi gender.
Hubungan ats bawah yang hiearkis dalam keluarga, membuat pola
hubungan itu sendiri menjadi disharmonisasi. Nilai-nilai
manusiawi yang semestinya termanifestasikan dalam keluarga
menjadi terkaburkan. Kekaburan inilah yang kemudian mengakibatkan
berbagai akibat yang bersifat akumulatif, akut, permanen. Tanpa
disadari, kalangan perempuan sendiri ikut serta dalam membangun
struktur sosial itu, hingga muncul korban diskriminasi ganda.
Strauss A. Murray mengidentifikasikan hal dominasi pria dalam
konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Marital Violence)
sebagai berikut :
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumberdaya dibandingkan
dengan wanita sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita
2.Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan
ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan
kekerasan
3.Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yan tidak diharapkan terhadap
anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga terjadi
kekerasan dalam rumah tangga
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik menurut hukum, mengakibatkan
keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak
dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan
kekerasan sebagai seorag bapak melakukan kekerasan terhadap anak
agar menjadi tertib
5.Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri didalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum,
sehingga kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi
suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks
harmoni keluarga
2.4 Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT
Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah
yang
baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung
reda, malahan
memperlihatkan kecenderungan peningkatan. untuk mengungkap kasus
kekerasan
dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan
tangan.
1) Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan
keyakinan bahwa
anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2) Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam
masyarakat.
3) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
4) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
5) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
6) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan
inferior.
7) Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan
orang tua yang
sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
8. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan
dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
9. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan
ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan
kekerasan.
10. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap
anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi
kekerasan dalam rumah tangga.
11. Wanita sebagai anak-anak
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa
punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak
melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
12. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum,
sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.
Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya
legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
2.5 Akibat dari terjadinya KDRT
1 Dampak Pada Perempuan/ istri.
Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa
takut
tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak
tanduknya bahkan
ketakutan dapat mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan
mimpi-mimpi
buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan kebergantungan kepada
obat-obat tidur
dan obat penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan
dirinya. Bahkan
akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka mulut,
atau bila ia
berusaha meninggalkan lelaki itu. Dengan dasar dominasi perasaan
takut, respondan
pengalaman psikologis yang sering muncul dari korban kekerasan
domestik maka
muncul sikap seperti:
1. Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa
alasan:.
• Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan.
• Keyakinannya bahwa ia bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
2. Terisolasi
Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan
jaringan dan
dukungan personal.
3. Perasaan tidak berdaya.
Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi learned
helplessness
fenomena yang dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker
(1979). Yang
dimaksud adalah mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk
mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasinya
ternyata tidak
berhasil
4. Menyalahkan diri (internalizes blame)
Perempuan korban kekerasan, sama seperti kita dan orang-orang
lain, sering
mempercayai mitos-mitos tentang kekerasan dalam hubungan intim
dan dalam
rumah tangga. Ia berpikir dialah yang menyebabkan kekerasan
terjadi karena
pasangannya tidak jarang bertanya:” Mengapa kamu membuat saya
terpaksa
memukuli kamu? Kalau kamu melakukan apa yang saya inginkan, yang
seperti ini tidak akan terjadi.” Sementara itu orang luar juga
mungkin
bertanya:” Suamimu lelaki yang baik, apa sih yang kamu lakukan
sampai ia
memukul kamu?”. Ia berusaha untuk menjadi makin sempurna, tidak
menyadari bahwa kekerasan tersebut sesungguhnya lekat dan menjadi
tanggung jawab pelaku.
5. Ambivalensi
Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan
kekerasan.
Kadang kala ada saat bahwa ia merasa pasangannya adalah laki-laki
yang baik
dan mencintainya.
6. Harga diri rendah.
Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri.
Perasaan
berharga dan keyakinan diri, kepercayaan akan kemampuan diri
dirusakkan.
Yang sangat merendahkan adalah bahwa ia mendapat kekerasan dari
orang
yang dipilih menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi,
menghormati dan menyenangkannya.
7. Harapan.
Perempuan yang menjadi korban berharap suaminya akan berubah,
akan
menjadi pasangan seperti yang diimpikannya. Adalah penting bahwa
konselor
menghormati mimpi-mimpinya akan kehidupan rumah tangga yang
bahagia.
Mimpinya tidak aneh, mimpi tersebut umum diimpikan orang. Sering
kita
menyalahkan perempuan dengan pertanyaan: “Kenapa sih dia masih
terus
bertahan dalam situasi demikian?”, kembali mempersalahkannya.
Berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, istri yang menjadi korban
kekerasan
dalam rumah tangga berasal dari semua golongan masyarakat, dari
berbagai lapisan
sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama, maupun
tentang usia telah
tertimpa musibah kekerasan.
Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan
timbulnya
berbagai macam penderitaan seperti:
a. Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit
perut, dll.
b. Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut.
c. Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku.
d. Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.
2 . Dampak Pada Anak-anak.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas
kepada
istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa
mengalamipenganiayaan
secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan
penganiayaan yang
dialami ibunya. Paling tidak, setengah dari anak-anak yang hidup
di dalam rumah
tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan, juga mengalami
perlakuan kejam.
Sebagian besar tidak diperlakukan kejam secara fisik, sebagian
lagi secara emosional
maupun seksual. Kehadiran anak di rumah tidak membuat suami tidak
menganiaya
istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa
anaknya
menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu
sebagai cara
tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.
Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis
bagi
anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak
mampu berbuat
sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha
menghentikan
tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain.
Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri
anak yang
menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:
1. Sering gugup
2. Suka menyendiri
3. Cemas
4. Sering ngompol
5. Gelisah
6. Gagap
7. Sering menderita gangguan perut
8. Sakit kepala dan asma
9. Kejam pada binatang
10. Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam
11. Suka memukul teman
Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada
anak
bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang
wajar dari sebuah
kehidupan
Mengingat bahwa orangtua lebih sibuk dengan permasalahan dan
ketegangannya sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak
memberikan perhatian
pada kebutuhan anak, khususnya kebutuhan psikologisnya untuk
merasa aman,
dicintai, didengarkan. Karena itu, banyak hal dapat muncul,
seperti:
1. Usia pra sekolah
a.Keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut.
b.Adanya gangguan tidur seperti insomnia, takut gelap, ngompol.
c.Kecemasan berlebihan bila berpisah dari orangtua.
2.Usia sekolah
a.Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak perempuan:
keluhan-keluhan somatik, perilaku menarik diri, pasif, tidak
dapat mandiri, sangat bergantung kepada ingin diterimaorang
lain, toleransi frustasi rendah, atau justru kesabaran
berlebihan,
sikap penolong, khususnya perhatian untuk dapat membantu
ibu.
b.Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak laki-laki:
toleransi frustasi rendah, perilaku agresif, mengganggu,
menggertak, berlagak jagoan, tempertantrums (mudah sekali
marah dengan ekspresi fisik yang berlebihan, seperti
menendang-nendang, berteriak-teriak, dan berguling-guling,
dsb.)
c. Sebagian anak mengalami gangguan konsentrasi dan belajar,
sering membolos, kikuk, sering celaka, dianggap lambat, atau
mengalami masalah belajar.
3. Remaja
Remaja sangat mungkin menampilkan perilaku melarikan diri
dan merusak diri sendiri. Beberapa hal yang mungkin dilakukan
adalah: lari dari kenyataan dengan mengkonsumsi obat-obat adiktif
dan
alkohol, kabur dari rumah, perilaku seksual bebas, agresivitas
dan
aktivitas kriminal.
4. Dewasa
Anak yang menyaksikan kejadian kekerasan berulang-ulang di
rumahnya, dan menyaksikan ibu (perempuan) menjadi korban dapat
mengembangkan pola hubungan yang sama dimasa dewasanya. Cukup
banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan berasal dari
keluarga abusive dimasa kanaknya, biasa menyaksikan kekerasan
yang
dilakukan ayah pada ibu, tidak jarang ia sendiri juga menjadi
korban
kekerasan ayah. Sementara itu, perempuan yang dimasa kanaknya
berada dalam suasana keluarga demikian juga akan melihat dan
belajar
untuk meyakini bahwa laki-laki adalah makhluk yang memang harus
menang, keras kepala dan egois, harus serba dilayani, sementara
perempuan adalah makhluk yang harus melayani, menyesuaikan diri,
mencoba menyenangkan laki-laki dengan berbagai cara
2.6 Pandangan Masyarakat tentang KDRT
Muhajir (49 tahun)
Asal: Sukabumi
Pekerjaan: Pedagang ice cream
Saya tidak setuju bila isteri harus mengalami kekerasan atau
penyiksaan dari suaminya. Isteri itu kan harus disayang. Menurut
saya, kekerasan terhadap isteri merupakan tindakan yang kurang
bagus. Pelakunya harus dijebloskan ke penjara dan korbannya harus
diobati. Kalau saya melihat atau mendengar ada yang mendapat
kekerasan, kalau parah sekali, harus dilaporkan ke polisi. Tapi
kalau hanya ribut biasa antara isteri dan suami, penyelesaiannya
diserahkan kepada keluarga masing-masing dan biasanya orang tua
ikut ambil alih. Saya tidak mau mencampuri urusan orang lain
kalau ada masalah keluarga. Banyak isteri tidak mau melapor bila
kasus KDRT menimpa mereka karena takut dan masih sayang pada
suaminya.
2.7 Pandangan Hukum tentang KDRT
KDRT dari sudut pandang Hukum Negara (UU No.23 th 2004)
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram,
dan damai merupakan dambaan setiap orang. Dengan demikian, setiap
orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan
kewajiban harus didasari oleh agama. Hal itu perlu terus
ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan
pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan
falsafah Pancasila dan UUD 1945. Negara berpandangan bahwa segala
bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk dikriminasi.
“ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi” (vide Pasal 28 huruf G ayat 1 UUD 1945).
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara
fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada
kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang
memadai untuk menghapus Kekerasan dalam Rumah Tangga (disingkat
KDRT).
Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama KDRT.
Pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang
ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak
KDRT secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara
umum di dalam KUHP telah diatur mengenai delik penganiayaan (vide
pasal 351 KUHP), delik kesusilaan (vide pasal 284 KUHP) serta
delik penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan
kehidupan (vide pasal 304 KUHP).
Undang-undang No.23 th 2004 tentang Penghapusan KDRT ini terkait
erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah
berlaku sebelumnya, antara lain UU No.1 thn 1946 tentang KUHP
serta perubahannya, UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 tahun 1984
tentang pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita ( Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Againts Women), Undang-undang Nomor
39 tahun 1999 tentang HAM.
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 ini selain mengatur
ihwalpencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur
tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang
diatur dalam KUHP. Selain itu undang-undang ini juga mengatur
ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk
melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif
terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada
keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Untuk melakukan pencegahan KDRT, Negara RI melalui Menteri bidang
pemberdayaan perempuan melaksanakan tindakan pencegahan dengan
yaitu :-
1. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan KDRT.
2. Menyelenggarakan komunikas, informasi dan edukasi tentang
KDRT.
3. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT
4. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitive gender dan
isu kekerasan KDRT serta menetapkan standard dan akreditasi
pelayanan yang sensitif gender.
2.8 Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga,
diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
antara lain:
a.Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang
teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak
terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b.Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah
keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih
sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga
antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat
yang ada.
c.Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar
tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan
diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga
dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling
percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika
tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu
yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-
lebihan.
2.9 Tindakan yang dilakukan untuk menolong korban dari KDRT
1. Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan
sosial bukan
individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan
HAM.
2. Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan
yang tidak dapat
dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara
mengubah pondasi
KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama
membutuhkan.
3. Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang
tidak dapat diterima.
4. Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan
di media yang
mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan
patut menerima
penghargaan.
5. Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio
dan internet adalah
macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan
mengurangi
kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
2.10 Pandangan Kristen tentang KDRT
KDRT dari sudut pandang Etika KristenJika dihubungkan dengan
ajaran Etika Kristen, tentang KDRT tidak ada ditemukan. Di dalam
Alkitab Perjanjian Baru banyak kita baca tentang ajaran yang
berhubungan dengan rumah tangga Kristen yang mengutamakan KASIH.
Maka dapat kita lihat bahwa Alkitab banyak sekali mengajarkan
kepada setiap keluarga tentang tindakan preventif (pencegahan)
agar sebuah rumah tangga hidup dalam damai sejahtera penuh dengan
Kasih Kristus.
Hal-hal yang menentukan kebahagiaan sebuah keluarga Kristen
sekaligus menjadi anti terjadinya KDRT yaitu :-
1. Saling menasehati
2. Saling menghibur
3. Saling membela
4. Sabar seorang terhadap yang lain
5. Saling mengampuni
6. Saling berbuat baik
7. Ciptakan suasana sukacita dalam keluarga.
Masalah yang paling besar dalam keluarga ialah bagaimana
menjalani hidup bahagia dengan suami yang kasar dan sukar
dimengerti, atau suami bertitel sedang istri tidak
berpendidikan, atau istri cantik sedangkan suami jelek, atau
istri muda belia sedangkan suami lanjut usia atau istri
keturunan orangkaya sedangkan suami hanya seorang supir bis
dsb.Perbedaan-perbedaan semacam ini seringkali menjadi pemicu
terjadinya KDRT. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
menurut Pendeta Yacob Nahuway satu-satunya yang menjadi
obatnya adalah KASIH, karena dengan KASIH akan membuahi 4
(empat) pokok penyelesaian yaitu :-
1. Kasih membuat kita melihat setiap orang dalam keluarga
adalah orang-orang penting dan istimewa.
2. Kasih membuat kita melihat apa yang menjadi prioritas di
dalam keluarga.
3. Kasih itu tidak sombong, karena kesombongan pribadi
menghancurkan keluarga.
4. Kasih membuat kita rela mengorbankan apa saja demi keluarga
bahagia
2.11 Keterlibatan Kristen dalam mencegah KDRT
Peran Lembaga Keagamaan Kristen Dalam Penanggulangan KDRT
Secara institusi gereja, Gereja Kristen Indonesia (GKI) secara
program kerja tidak memiliki program tentang penanggulangan KDRT.
Namun demikian apabila terjadi persitiwa-peristiwa pelaporan KDRT
GKI telah memiliki sistem-sistem terpadu yang berbasis komunitas
antar jemaat di wilayah wilayah jemaat GKI tinggal. KDRT pada
jemaat GKI secara umum ditangani oleh kelompok komunitas gereja.
Namun apabila KDRT dinilai cukup berat dan tidak bisa
diselesaikan maka kasus tersebut ditangani oleh pendeta.
Hasil penelitian menunjukan persoalan KDRT juga menimpa pada
beberapa jemaatnya GKI. Masalah KDRT yang pernah ditangani
rohaniwan GKI mulai dari kekerasan fisik sampai dengan kekerasan
non fisik. Contoh KDRT yang perah dialami oleh jemaat GKI adalah
perkosaan terhadap pasangan sendiri, pemukulan dan lain-lain.
Sedangakan KDRT yang bersifat non fisik berupa penelantaran, dan
perkataan kasar pasangan. Namun demikian intensitas KDRT yang
dialami oleh jemaat GKI dan dilaporkan pada pihak gereja
terbilang sangat jarang.
Dalam agama Kristen tidak dikenal istilah perceraian. Oleh karena
itu pendeta akan semaksimal mungkin berusaha melakukan mediasi
dan proses perdamaian kepada pihak-pihak bermasalah. Namun
apabila pasangan bermasalah bersikeras untuk berpisah maka
pendeta mempersialakan pasangan bermasalah untuk mencari jalan
sendiri diluar agama kristen.
2.12 keterlibatan keristen dalam menolong pelaku/korban dari KDRT
1. Edukasi diri. Cari organisasi, lembaga, atau komunitas
yang bisa membantu Anda mendapatkan pengetahuan tepat
mengenai kekerasan terhadap perempuan atau KDRT. Melalui
jaringan ini Anda bisa mencari tahu cara yang lebih tepat
dalam penanganan kekerasan.
2. Pendekatan tepat. Lakukan pendekatan dengan orang yang
Anda sayangi, dan menjadi korban dalam perspektif Anda.
Karena bisa jadi, kakak atau sepupu atau siapa pun yang
menurut Anda adalah korban kekerasan (psikis utamanya),
tak selalu merasa sebagai korban
3. Jangan mengkritik. Niat baik untuk mem
4. bantu jika dilakukan dengan cara kurang tepat takkan
membuahkan hasil. Dalam pandangan Anda, sikap suaminya
jelas keliru dan merupakan bentuk kekerasan. Tapi belum
tentu pandangan korban juga demikian.
5. Berhati-hati. Ingatkan teman atau saudara Anda bahwa
pasangannya yang melakukan kekerasan psikis (terlalu
protektif) juga akan mengontrol berbagai tindakannya.
Kalau si korban mencari informasi mengenai penanganan
kekerasan melalui komputer misalnya, si pelaku kekerasan
akan mengetahuinya karena ia akan mencari tahu apa yang
dilakukan korban.
6. Bantu cari rumah singgah sebatas perencanaan. Kalau orang
terdekat korban kekerasan memutuskan meninggalkan
pasangannya, bantu ia menemukan rumah singgah yang tepat
dengan perencanaan yang baik. Apalagi jika ada anak,
pastikan ketika korban meninggalkan pasangannya, ia telah
memiliki tempat tinggal yang aman.
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan
1. Setiap orang/jemaat yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib
melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya,
yaitu :-
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana.
b. Memberikan perlindungan kepada korban
c. Memberikan pertolongan darurat
d. Membantu proses pengajuan permohonanpenetapan perlindungan.
2. Peran gereja/jemaat dalam menanggulangi permasalahan KDRT
yaitu :-
1. memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban korban
2. memberikan penguatan iman (konseling)
3. Dibawah ini ada beberapa tips ayat-ayat Alkitab yang dapat
kita jadikan sebagai pedoman untuk mencegah terjadinya KDRT
1. 1 Petrus 3 :1-7 : tentang hidup bersama suami istri
2. 1 Petrus 4 : 8 : tentang kasih menutupi banyak sekali DOSA
3. 1 Tim 2 : 8-15 : tentang sikap orang laki-laki dan
perempuan dalam ibadah jemaat.
4. 1 Tim 6 : 10 : tentang uang adalah akar segala kejahatan
5. Kolose 3 :18-19 : tentang hubungan antara anggota-anggota
rumah tangga
6. Efesus 5 : 22-23 : tentang Kasih Kristus adalah dasar hidup
suami istri
3.2 Saran
Pemerintah setempat perlu memberikan motivasi, sosialisasi, agar
tindakan KDRT seperti ini sudah tidak terjadi lagi. Pemerintah
sangat perlu mengontrol kehidupan masyrakat. Demikian yang dapat
kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu
kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya
membangun. Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan
masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati
untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan
pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT
dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya
dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang
perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi
psikisnya.
Daftar Pustaka
http://zonatheologia.blogspot.com/2013/03/kekerasan-dalam-rumah-
tangga-dan.html
http://bangunsiregar68.blogspot.com/2010/02/kekerasan-dalam-
rumah-tangga-kdrt.html
http://aamwibowo.wordpress.com/2011/11/19/peran-lembaga-
keagamaan-terhadap-penanggulangan-kdrt-terhadap-perempuan-di-
kota-yogyakarta/
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam
makalah ini kami membahas mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan
dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan
hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami meminta maaf yang sebesar-
besarnya dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya. Kritik konstruktif
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
sekalian.