tugas agama kristen tentang kdrt

24
Bab I Pendahuluan 1.1 Alasan memilih Judul Karena isu kekerasan sedang marak saat ini, berbagai alasan pendorong mulai dari ekonomi, social dan budaya. Namun factor yang menonjol dari segala penyebab siksaan ini adalah factor ekonomi. Maka dari itu, kami memilih judul ini. 1.2 Tujuan memilih judul a. Untuk menyadarkan masyarakat akan adanya kasus KDRT b. Melindungi hak kaum perempuan c. Menjauhkan dari sikap kekerasan. Bab II Isi 2.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri . Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan , yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik , seksual , psikologis , dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang- orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan , persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga. 2.2 Bentuk – bentuk KDRT 1. Kekerasan Fisik

Upload: upi-id

Post on 03-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Bab I Pendahuluan

1.1 Alasan memilih Judul

Karena isu kekerasan sedang marak saat ini, berbagai alasan

pendorong mulai dari ekonomi, social dan budaya. Namun factor

yang menonjol dari segala penyebab siksaan ini adalah factor

ekonomi. Maka dari itu, kami memilih judul ini.

1.2 Tujuan memilih judul

a. Untuk menyadarkan masyarakat akan adanya kasus KDRT

b. Melindungi hak kaum perempuan

c. Menjauhkan dari sikap kekerasan.

Bab II Isi

2.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang dilakukan di

dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut

Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan

terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,

dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan

secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar

korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah

suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-

orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau

korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan

darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami,

dan anak bahkan pembatu rumah tangga.

2.2 Bentuk – bentuk KDRT

1. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti

menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan

atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan

cedera berat, tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, pingsan,

luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan

atau yang menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca

indera, mendapat cacat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya

pikir selama 4 minggu lebih, gugurnya atau matinya kandungan

seorang wanita, dan kematian korban.

Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak,

mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cedera ringan

dan rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori

berat. Jika kekerasan fisik ringan dilakukan berulang-ulang

(repetisi), maka dapat dimasukkan ke dalam kekerasan fisik berat.

Oleh karena tujuan atau niat pelaku dalam tindak pidana KDRT

tidak semata-mata untuk melukai tubuh atau menghilangkan nyawa

korban, tetapi lebih pada kehendak pelaku untuk mengontrol korban

agar tetap ditempatkan dalam posisi subordinat (konteks kekerasan

domestik), maka tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang

bukan dalam konteks kekerasan domestik tidak diatur dalam UU ini

tetapi masuk dalam pengaturan KUHP. 

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,

eks-ploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam

bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan

atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan;

kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;

yang masing-masingnya dapat mengakibatkan penderitaan psikis

berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:

a. gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat

atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat

dan atau menahun;

b. gangguan stres pasca trauma;

c. gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau

buta tanpa indikasi medis);

d. depresi berat atau destruksi diri;

e. gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas

seperti skizo-frenia dan atau bentuk psikotik lainnya;

f. bunuh diri.

Kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian,

manipulasi, eks-ploitasi, kesewenangan, perendahan dan

penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi

sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina;

penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang

masing-masingnya dapat mengakibatkan penderitaan psikis ringan,

berupa salah satu atau beberapa hal berikut ini:

a. ketakutan dan perasaan terteror;

b. rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri dan kemampuan

bertindak;

c. gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual;

d. gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan

pencernaan tanpa indikasi medis);

e. fobia atau depresi temporer.

Pembuktian kekerasan psikis harus didasarkan pada dua aspek

secara terintegrasi, yaitu tindakan yang diambil pelaku dan

implikasi psikologis yang dialami korban. Diperlukan keterangan

psikologis atau psikiatris yang tidak saja menyatakan kondisi

psikologis korban tetapi juga uraian penyebabnya.

3. Kekerasan Seksual

Seperti halnya kekerasan fisik dan psikis, kekerasan seksual juga

dibagi menjadi kekerasan seksual berat dan ringan. Kekerasan

seksual berat berupa:

a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,

menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta

perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror,

terhina, dan merasa dikendalikan.

b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau

pada saat korban tidak menghendaki.

c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,

merendahkan dan  atau menyakitkan.

d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan

pelacuran dan atau tujuan tertentu.

e. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan

posisi ketergan-tungan korban yang seharusnya dilindungi.

f. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa

bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

Kekerasan seksual ringan berupa pelecehan seksual secara

verbal, seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan,

dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah,

gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian

seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan

atau menghina korban. Jika kekerasan seksual ringan dilakukan

berulang-ulang (repitisi), maka dapat dimasukkan senagai

kekerasan seksual berat.

Kata “pemaksaan hubungan seksual” lebih diuraikan untuk

menghindari penafsiran bahwa “pemaksaan hubungan seksual” hanya

dalam bentuk pemaksaan fisik semata (seperti harus adanya unsur

penolakan secara verbal atau tindakan), tetapi pemaksaan juga

dapat terjadi dalam tataran psikis (seperti di bawah tekanan,

sehingga tidak dapat melakukan penolakan dalam bentuk apapun).

Dengan demikian pembuktiannya tidak dibatasi hanya pada bukti-

bukti bersifat fisik, tetapi dapat juga dibuktikan melalui

kondisi psikis yang dialami korban. 

Tindakan-tindakan kekerasan seksual ini dalam dirinya sendiri

(formil) merupakan tindakan kekerasan dengan atau tanpa melihat

implikasinya. Implikasi itu sendiri harusnya dimasukkan sebagai

unsur pemberat (hukuman), seperti rusaknya hymen, hamil,

keguguran, terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), kecacatan,

dan lain-lain.

4. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi

dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa memaksa korban

bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang

korban bekerja tetapi menelantar-kannya, dan mengambil tanpa

sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau

memanipulasi harta benda korban. Kekerasan ekonomi ringan, berupa

melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung

atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan

dasarnya. Kekerasan ekonomi yang dimaksud dalam UU ini adalah

tindakan-tindakan dimana akses korban secara ekonomi dihalangi

dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan,

kekayaan korban dimanfaat-kan tanpa seijin korban, atau korban

dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan materi. Dalam

kekerasan ini, ekonomi digunakan sebagai sarana untuk

mengendalikan korban. 

2.3 Faktor-faktor pendorong terjadinya KDRT

Kekerasan dalam keluarga adalah implikasi dari ideologi gender.

Hubungan ats bawah yang hiearkis dalam keluarga, membuat pola

hubungan itu sendiri menjadi disharmonisasi. Nilai-nilai

manusiawi yang semestinya termanifestasikan dalam keluarga

menjadi terkaburkan. Kekaburan inilah yang kemudian mengakibatkan

berbagai akibat yang bersifat akumulatif, akut, permanen. Tanpa

disadari, kalangan perempuan sendiri ikut serta dalam membangun

struktur sosial itu, hingga muncul korban diskriminasi ganda.

Strauss A. Murray mengidentifikasikan hal dominasi pria dalam

konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Marital Violence)

sebagai berikut :

1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumberdaya dibandingkan

dengan wanita sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita

2.Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja

mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan

ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan

kekerasan

3.Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja menjadikannya menanggung beban sebagai

pengasuh anak. Ketika terjadi hal yan tidak diharapkan terhadap

anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga terjadi

kekerasan dalam rumah tangga

4. Wanita sebagai anak-anak

Konsep wanita sebagai hak milik menurut hukum, mengakibatkan

keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak

dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan

kekerasan sebagai seorag bapak melakukan kekerasan terhadap anak

agar menjadi tertib

5.Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri didalam rumah tangga yang mengalami

kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum,

sehingga kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim

dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi

suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks

harmoni keluarga

2.4 Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT

Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah

yang

baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung

reda, malahan

memperlihatkan kecenderungan peningkatan. untuk mengungkap kasus

kekerasan

dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan

tangan.

1) Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan

keyakinan bahwa

anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.

2) Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam

masyarakat.

3) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.

4) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.

5) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.

6) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan

inferior.

7) Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan

orang tua yang

sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.

8. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan

dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

9. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja

mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan

ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan

kekerasan.

10. Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai

pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap

anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi

kekerasan dalam rumah tangga.

11. Wanita sebagai anak-anak

konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,

mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan

mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa

punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak

melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.

12. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami

kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum,

sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.

Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya

legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang

bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

2.5 Akibat dari terjadinya KDRT

1 Dampak Pada Perempuan/ istri.

Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa

takut

tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak

tanduknya bahkan

ketakutan dapat mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan

mimpi-mimpi

buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan kebergantungan kepada

obat-obat tidur

dan obat penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan

dirinya. Bahkan

akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka mulut,

atau bila ia

berusaha meninggalkan lelaki itu. Dengan dasar dominasi perasaan

takut, respondan

pengalaman psikologis yang sering muncul dari korban kekerasan

domestik maka

muncul sikap seperti:

1. Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa

alasan:.

• Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan.

• Keyakinannya bahwa ia bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

2. Terisolasi

Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan

jaringan dan

dukungan personal.

3. Perasaan tidak berdaya.

Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi learned

helplessness

fenomena yang dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker

(1979). Yang

dimaksud adalah mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk

mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasinya

ternyata tidak

berhasil

4. Menyalahkan diri (internalizes blame)

Perempuan korban kekerasan, sama seperti kita dan orang-orang

lain, sering

mempercayai mitos-mitos tentang kekerasan dalam hubungan intim

dan dalam

rumah tangga. Ia berpikir dialah yang menyebabkan kekerasan

terjadi karena

pasangannya tidak jarang bertanya:” Mengapa kamu membuat saya

terpaksa

memukuli kamu? Kalau kamu melakukan apa yang saya inginkan, yang

seperti ini tidak akan terjadi.” Sementara itu orang luar juga

mungkin

bertanya:” Suamimu lelaki yang baik, apa sih yang kamu lakukan

sampai ia

memukul kamu?”. Ia berusaha untuk menjadi makin sempurna, tidak

menyadari bahwa kekerasan tersebut sesungguhnya lekat dan menjadi

tanggung jawab pelaku.

5. Ambivalensi

Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan

kekerasan.

Kadang kala ada saat bahwa ia merasa pasangannya adalah laki-laki

yang baik

dan mencintainya.

6. Harga diri rendah.

Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri.

Perasaan

berharga dan keyakinan diri, kepercayaan akan kemampuan diri

dirusakkan.

Yang sangat merendahkan adalah bahwa ia mendapat kekerasan dari

orang

yang dipilih menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi,

menghormati dan menyenangkannya.

7. Harapan.

Perempuan yang menjadi korban berharap suaminya akan berubah,

akan

menjadi pasangan seperti yang diimpikannya. Adalah penting bahwa

konselor

menghormati mimpi-mimpinya akan kehidupan rumah tangga yang

bahagia.

Mimpinya tidak aneh, mimpi tersebut umum diimpikan orang. Sering

kita

menyalahkan perempuan dengan pertanyaan: “Kenapa sih dia masih

terus

bertahan dalam situasi demikian?”, kembali mempersalahkannya.

Berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, istri yang menjadi korban

kekerasan

dalam rumah tangga berasal dari semua golongan masyarakat, dari

berbagai lapisan

sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama, maupun

tentang usia telah

tertimpa musibah kekerasan.

Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan

timbulnya

berbagai macam penderitaan seperti:

a. Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit

perut, dll.

b. Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut.

c. Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku.

d. Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.

2 . Dampak Pada Anak-anak.

Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas

kepada

istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa

mengalamipenganiayaan

secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan

penganiayaan yang

dialami ibunya. Paling tidak, setengah dari anak-anak yang hidup

di dalam rumah

tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan, juga mengalami

perlakuan kejam.

Sebagian besar tidak diperlakukan kejam secara fisik, sebagian

lagi secara emosional

maupun seksual. Kehadiran anak di rumah tidak membuat suami tidak

menganiaya

istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa

anaknya

menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu

sebagai cara

tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.

Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis

bagi

anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak

mampu berbuat

sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha

menghentikan

tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain.

Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri

anak yang

menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:

1. Sering gugup

2. Suka menyendiri

3. Cemas

4. Sering ngompol

5. Gelisah

6. Gagap

7. Sering menderita gangguan perut

8. Sakit kepala dan asma

9. Kejam pada binatang

10. Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam

11. Suka memukul teman

Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada

anak

bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang

wajar dari sebuah

kehidupan

Mengingat bahwa orangtua lebih sibuk dengan permasalahan dan

ketegangannya sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak

memberikan perhatian

pada kebutuhan anak, khususnya kebutuhan psikologisnya untuk

merasa aman,

dicintai, didengarkan. Karena itu, banyak hal dapat muncul,

seperti:

1. Usia pra sekolah

a.Keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut.

b.Adanya gangguan tidur seperti insomnia, takut gelap, ngompol.

c.Kecemasan berlebihan bila berpisah dari orangtua.

2.Usia sekolah

a.Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak perempuan:

keluhan-keluhan somatik, perilaku menarik diri, pasif, tidak

dapat mandiri, sangat bergantung kepada ingin diterimaorang

lain, toleransi frustasi rendah, atau justru kesabaran

berlebihan,

sikap penolong, khususnya perhatian untuk dapat membantu

ibu.

b.Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak laki-laki:

toleransi frustasi rendah, perilaku agresif, mengganggu,

menggertak, berlagak jagoan, tempertantrums (mudah sekali

marah dengan ekspresi fisik yang berlebihan, seperti

menendang-nendang, berteriak-teriak, dan berguling-guling,

dsb.)

c. Sebagian anak mengalami gangguan konsentrasi dan belajar,

sering membolos, kikuk, sering celaka, dianggap lambat, atau

mengalami masalah belajar.

3. Remaja

Remaja sangat mungkin menampilkan perilaku melarikan diri

dan merusak diri sendiri. Beberapa hal yang mungkin dilakukan

adalah: lari dari kenyataan dengan mengkonsumsi obat-obat adiktif

dan

alkohol, kabur dari rumah, perilaku seksual bebas, agresivitas

dan

aktivitas kriminal.

4. Dewasa

Anak yang menyaksikan kejadian kekerasan berulang-ulang di

rumahnya, dan menyaksikan ibu (perempuan) menjadi korban dapat

mengembangkan pola hubungan yang sama dimasa dewasanya. Cukup

banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan berasal dari

keluarga abusive dimasa kanaknya, biasa menyaksikan kekerasan

yang

dilakukan ayah pada ibu, tidak jarang ia sendiri juga menjadi

korban

kekerasan ayah. Sementara itu, perempuan yang dimasa kanaknya

berada dalam suasana keluarga demikian juga akan melihat dan

belajar

untuk meyakini bahwa laki-laki adalah makhluk yang memang harus

menang, keras kepala dan egois, harus serba dilayani, sementara

perempuan adalah makhluk yang harus melayani, menyesuaikan diri,

mencoba menyenangkan laki-laki dengan berbagai cara

2.6 Pandangan Masyarakat tentang KDRT

Muhajir (49 tahun)

Asal: Sukabumi

Pekerjaan: Pedagang ice cream

Saya tidak setuju bila isteri harus mengalami kekerasan atau

penyiksaan dari suaminya. Isteri itu kan harus disayang. Menurut

saya, kekerasan terhadap isteri merupakan tindakan yang kurang

bagus. Pelakunya harus dijebloskan ke penjara dan korbannya harus

diobati. Kalau saya melihat atau mendengar ada yang mendapat

kekerasan, kalau parah sekali, harus dilaporkan ke polisi. Tapi

kalau hanya ribut biasa antara isteri dan suami, penyelesaiannya

diserahkan kepada keluarga masing-masing dan biasanya orang tua

ikut ambil alih. Saya tidak mau mencampuri urusan orang lain

kalau ada masalah keluarga. Banyak isteri tidak mau melapor bila

kasus KDRT menimpa mereka karena takut dan masih sayang pada

suaminya.

2.7 Pandangan Hukum tentang KDRT

KDRT dari sudut pandang Hukum Negara (UU No.23 th 2004)

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram,

dan damai merupakan dambaan setiap orang. Dengan demikian, setiap

orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan

kewajiban harus didasari oleh agama. Hal itu perlu terus

ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.

Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan

dalam rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan

pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan

falsafah Pancasila dan UUD 1945. Negara berpandangan bahwa segala

bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah

pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

kemanusiaan serta bentuk dikriminasi.

“ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,

serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan

hak asasi” (vide Pasal 28 huruf G ayat 1 UUD 1945).

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara

fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada

kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang

memadai untuk menghapus Kekerasan dalam Rumah Tangga (disingkat

KDRT).

Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau

tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan

sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama KDRT.

Pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang

ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum

masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak

KDRT secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara

umum di dalam KUHP telah diatur mengenai delik penganiayaan (vide

pasal 351 KUHP), delik kesusilaan (vide pasal 284 KUHP) serta

delik penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan

kehidupan (vide pasal 304 KUHP).

Undang-undang No.23 th 2004 tentang Penghapusan KDRT ini terkait

erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah

berlaku sebelumnya, antara lain UU No.1 thn 1946 tentang KUHP

serta perubahannya, UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 tahun 1984

tentang pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk

Diskriminasi terhadap Wanita ( Convention on the Elimination of

All Forms of Discrimination Againts Women), Undang-undang Nomor

39 tahun 1999 tentang HAM.

Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 ini selain mengatur

ihwalpencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban

kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik

kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur

tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang

diatur dalam KUHP. Selain itu undang-undang ini juga mengatur

ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan,

pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk

melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif

terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada

keutuhan dan kerukunan rumah tangga.

Untuk melakukan pencegahan KDRT, Negara RI melalui Menteri bidang

pemberdayaan perempuan melaksanakan tindakan pencegahan dengan

yaitu :-

1. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan KDRT.

2. Menyelenggarakan komunikas, informasi dan edukasi tentang

KDRT.

3. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT

4. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitive gender dan

isu kekerasan KDRT serta menetapkan standard dan akreditasi

pelayanan yang sensitif gender.

2.8 Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga,

diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga,

antara lain:

a.Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang

teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak

terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.

b.Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah

keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih

sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga

antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat

yang ada.

c.Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar

tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di

dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan

diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu

timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.

d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan

sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga

dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling

percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika

tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu

yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-

lebihan.

2.9 Tindakan yang dilakukan untuk menolong korban dari KDRT

1. Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan

sosial bukan

individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan

HAM.

2. Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan

yang tidak dapat

dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara

mengubah pondasi

KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama

membutuhkan.

3. Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang

tidak dapat diterima.

4. Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan

di media yang

mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan

patut menerima

penghargaan.

5. Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio

dan internet adalah

macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan

mengurangi

kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).

2.10 Pandangan Kristen tentang KDRT

KDRT dari sudut pandang Etika KristenJika dihubungkan dengan

ajaran Etika Kristen, tentang KDRT tidak ada ditemukan. Di dalam

Alkitab Perjanjian Baru banyak kita baca tentang ajaran yang

berhubungan dengan rumah tangga Kristen yang mengutamakan KASIH.

Maka dapat kita lihat bahwa Alkitab banyak sekali mengajarkan

kepada setiap keluarga tentang tindakan preventif (pencegahan)

agar sebuah rumah tangga hidup dalam damai sejahtera penuh dengan

Kasih Kristus.

Hal-hal yang menentukan kebahagiaan sebuah keluarga Kristen

sekaligus menjadi anti terjadinya KDRT yaitu :-

1. Saling menasehati

2. Saling menghibur

3. Saling membela

4. Sabar seorang terhadap yang lain

5. Saling mengampuni

6. Saling berbuat baik

7. Ciptakan suasana sukacita dalam keluarga.

Masalah yang paling besar dalam keluarga ialah bagaimana

menjalani hidup bahagia dengan suami yang kasar dan sukar

dimengerti, atau suami bertitel sedang istri tidak

berpendidikan, atau istri cantik sedangkan suami jelek, atau

istri muda belia sedangkan suami lanjut usia atau istri

keturunan orangkaya sedangkan suami hanya seorang supir bis

dsb.Perbedaan-perbedaan semacam ini seringkali menjadi pemicu

terjadinya KDRT. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,

menurut Pendeta Yacob Nahuway satu-satunya yang menjadi

obatnya adalah KASIH, karena dengan KASIH akan membuahi 4

(empat) pokok penyelesaian yaitu :-

1. Kasih membuat kita melihat setiap orang dalam keluarga

adalah orang-orang penting dan istimewa.

2. Kasih membuat kita melihat apa yang menjadi prioritas di

dalam keluarga.

3. Kasih itu tidak sombong, karena kesombongan pribadi

menghancurkan keluarga.

4. Kasih membuat kita rela mengorbankan apa saja demi keluarga

bahagia

2.11 Keterlibatan Kristen dalam mencegah KDRT

 Peran Lembaga Keagamaan Kristen Dalam Penanggulangan KDRT

Secara institusi gereja, Gereja Kristen Indonesia (GKI) secara

program kerja tidak memiliki program tentang penanggulangan KDRT.

Namun demikian apabila terjadi persitiwa-peristiwa pelaporan KDRT

GKI telah memiliki sistem-sistem terpadu yang berbasis komunitas

antar jemaat di wilayah wilayah jemaat GKI tinggal.  KDRT pada

jemaat GKI secara umum ditangani oleh kelompok komunitas gereja.

Namun apabila KDRT dinilai cukup berat dan tidak bisa

diselesaikan maka kasus tersebut ditangani oleh pendeta.

Hasil penelitian menunjukan persoalan KDRT juga menimpa pada

beberapa jemaatnya GKI. Masalah KDRT yang pernah ditangani

rohaniwan GKI mulai dari kekerasan fisik sampai dengan kekerasan

non fisik. Contoh KDRT yang perah dialami oleh jemaat GKI adalah

perkosaan terhadap pasangan sendiri, pemukulan dan lain-lain.

Sedangakan KDRT yang bersifat non fisik berupa penelantaran, dan

perkataan kasar pasangan. Namun demikian intensitas KDRT yang

dialami oleh jemaat GKI dan dilaporkan pada pihak gereja

terbilang sangat jarang.

Dalam agama Kristen tidak dikenal istilah perceraian. Oleh karena

itu pendeta akan semaksimal mungkin berusaha melakukan mediasi

dan proses perdamaian kepada pihak-pihak bermasalah. Namun

apabila pasangan bermasalah bersikeras untuk berpisah maka

pendeta mempersialakan pasangan bermasalah untuk mencari jalan

sendiri diluar agama kristen.

2.12 keterlibatan keristen dalam menolong pelaku/korban dari KDRT

1. Edukasi diri. Cari organisasi, lembaga, atau komunitas

yang bisa membantu Anda mendapatkan pengetahuan tepat

mengenai kekerasan terhadap perempuan atau KDRT. Melalui

jaringan ini Anda bisa mencari tahu cara yang lebih tepat

dalam penanganan kekerasan.

2. Pendekatan tepat. Lakukan pendekatan dengan orang yang

Anda sayangi, dan menjadi korban dalam perspektif Anda.

Karena bisa jadi, kakak atau sepupu atau siapa pun yang

menurut Anda adalah korban kekerasan (psikis utamanya),

tak selalu merasa sebagai korban

3. Jangan mengkritik. Niat baik untuk mem

4. bantu jika dilakukan dengan cara kurang tepat takkan

membuahkan hasil. Dalam pandangan Anda, sikap suaminya

jelas keliru dan merupakan bentuk kekerasan. Tapi belum

tentu pandangan korban juga demikian.

5. Berhati-hati. Ingatkan teman atau saudara Anda bahwa

pasangannya yang melakukan kekerasan psikis (terlalu

protektif) juga akan mengontrol berbagai tindakannya.

Kalau si korban mencari informasi mengenai penanganan

kekerasan melalui komputer misalnya, si pelaku kekerasan

akan mengetahuinya karena ia akan mencari tahu apa yang

dilakukan korban.

6. Bantu cari rumah singgah sebatas perencanaan. Kalau orang

terdekat korban kekerasan memutuskan meninggalkan

pasangannya, bantu ia menemukan rumah singgah yang tepat

dengan perencanaan yang baik. Apalagi jika ada anak,

pastikan ketika korban meninggalkan pasangannya, ia telah

memiliki tempat tinggal yang aman.

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan

1. Setiap orang/jemaat yang mendengar, melihat, atau

mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib

melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya,

yaitu :-

a. mencegah berlangsungnya tindak pidana.

b. Memberikan perlindungan kepada korban

c. Memberikan pertolongan darurat

d. Membantu proses pengajuan permohonanpenetapan perlindungan.

2. Peran gereja/jemaat dalam menanggulangi permasalahan KDRT

yaitu :-

1. memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban korban

2. memberikan penguatan iman (konseling)

3. Dibawah ini ada beberapa tips ayat-ayat Alkitab yang dapat

kita jadikan sebagai pedoman untuk mencegah terjadinya KDRT

1. 1 Petrus 3 :1-7 : tentang hidup bersama suami istri

2. 1 Petrus 4 : 8 : tentang kasih menutupi banyak sekali DOSA

3. 1 Tim 2 : 8-15 : tentang sikap orang laki-laki dan

perempuan dalam ibadah jemaat.

4. 1 Tim 6 : 10 : tentang uang adalah akar segala kejahatan

5. Kolose 3 :18-19 : tentang hubungan antara anggota-anggota

rumah tangga

6. Efesus 5 : 22-23 : tentang Kasih Kristus adalah dasar hidup

suami istri

3.2 Saran

Pemerintah setempat perlu memberikan motivasi, sosialisasi, agar

tindakan KDRT seperti ini sudah tidak terjadi lagi. Pemerintah

sangat perlu mengontrol kehidupan masyrakat. Demikian yang dapat

kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah

ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu

kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya

membangun. Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan

masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati

untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan

pengawasannya.

Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT

dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya

dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang

perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi

psikisnya.

Daftar Pustaka

http://zonatheologia.blogspot.com/2013/03/kekerasan-dalam-rumah-

tangga-dan.html

http://bangunsiregar68.blogspot.com/2010/02/kekerasan-dalam-

rumah-tangga-kdrt.html

http://aamwibowo.wordpress.com/2011/11/19/peran-lembaga-

keagamaan-terhadap-penanggulangan-kdrt-terhadap-perempuan-di-

kota-yogyakarta/

 

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat

menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam

makalah ini kami membahas mengenai kekerasan dalam rumah tangga.

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan

dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan

hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak

yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. 

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada

makalah ini. Oleh karena itu kami meminta maaf yang sebesar-

besarnya dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan

makalah selanjutnya. Kritik konstruktif

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita

sekalian.

Makalah Pedidikan Agama Kristen ProtestanTentang

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Disusun Oleh :

Chris Dian Bastanta

Henny

Roliharni Pramita Purba

.

Fakultas MIPA | Jurusan Stastistik

Universitas Sumatera Utara

2013