bab v identifikasi religiositas ambon-kristen
TRANSCRIPT
207
BAB V
IDENTIFIKASI RELIGIOSITAS AMBON-KRISTEN:
REFLEKSI FENOMENOLOGIS
Sebagaimana telah dikonstatir pada bab I, bahwa
pendekatan fenomenologi itu pada hakikatnya berbasis empirik.
Dengan konstatasi tersebut, maka refleksi fenomenologi yang
dilakukan terhadap religiositas orang Ambon-Kristen ini pun,
bertolak dari fenomena empirik, berdasarkan realita konteks
dalam hal mana manusia Soya-Ambon-Kristen itu bertumbuh,
hidup dan mengartikulasikan religiositasnya. Pendekatan ini
relevan dengan pola “keberagamaan dari bawah”, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Marx, Weber, maupun Durkheim dengan
teori mereka tentang agama. Dengan pola keberagamaan yang
sedemikian, maka faktor manusia (sebagai masyarakat) dengan
sejarah dan kesadarannya, karakter budaya dan perubahannya
(evolusi), serta alam dan kepercayaannya, sangat menentukan
pembentukan dan penghayatan masyarakat tersebut dengan
religiositasnya dan sekaligus respons terhadap apa yang
dipandang sebagai yang “sakral” dan yang “profan”.
Sehubungan dengan itu, setelah dilakukan penelusuran
fenomenologis terhadap Cuci Negeri Soyabeserta diferensiasinya,
maka pada bab ini, penulis hendak merumuskan karakteristik
religiositas Ambon-Kristen. Kendati patut digarisbawahi pula
bahwa, sesungguhnya karakteristik ini berkelindan satu dengan
yang lainnya. Namun, pendekatan fenomenologis mengisyaratkan
perlunya upaya identifikasi, yang memungkinkan adanya
pembacaan terhadap hal-hal yang dominan menonjol dari suatu
fenomena.
V.1. Religiositas Adati-Ritual
Tipologi Religiositas Adati-Ritual ini dimengerti sebagai
suatu kesadaran religius yang berakar dan bertumbuh pada
pranata-pranata adat-budaya, baik yang datang dari sistem
208 Religiositas Ambon-Kristen …
kepercayaan tradisional, maupun yang dipengaruhi oleh
kepercayaan non-tradisional namun telah di-pakem-kan menjadi
sebuah tatanan adati-ritual orang Ambon-Kristen.
Sebagaimana yang telah dikonstatir oleh Watloly tentang
lapisan sistem kepercayaan orang Maluku1, maka fenomena yang
sama pula tampak dalam lapisan religiositas orang Ambon, yang
ditandai dengan ciri religiositasnya yang adati-ritual. Sehubungan
dengan itu, penting untuk mengingat konstatasiBellah bahwa, bila
lapisan itu laksana tahapan-tahapan (stages) evolutif religiositas
manusia, maka tahapan lapisan tersebut sama sekali tidak berarti
benar-benar ditinggalkan. Sebab, semua tahapan lapisan
sebelumnya terus hidup berdampingan dengan tahapan lainnya,
dan seringkali dalam waktu yang cukup lama, sebagaimana yang
ditulisnya, “No stage is ever completely abandoned; all earlier stages
continue to coexist with and often within later ones”2
Ketika melakukan analisis komparatif terhadap ritual cuci
negeri di Soya dengan yang berlangsung di Naku dan Hukurila,
penulis tiba pada kesimpulan bahwa kendati masing-masing
negeri memiliki perbedaan karakteristik konteksnya (historis,
budaya, dan tahapan ritualnya), namun pada umumnya, ketiga
negeri tersebut memiliki kesamaan dalam hal adanya pertautan
yang kuat antara penghayatan kepercayaan adatinya dengan
kekristenannya, dan saling korelatif pengaruhnya. Korelasi
tersebut, antara lain tercermin pada keterlibatan para pelaku dan
pelbagai ekspresi simbolik, yang dipergunakan dalam cuci negeri
tersebut di masing-masing negerinya. Fenomena tersebut tampak
pada argumentasi sikap adati dan pertanggungjawaban imani dari
para informan kunci dari masing-masing negeri. Ketika ditanyakan
tentang alasan utama dari pentingnya pelaksanaan ritual cuci
negeri dari sudut perspektif orang Kristen, semua informan senada
menjawab, bahwa salah satu alasannya adalah sesuai dengan yang
1 Aholiab Watloly, Cermin Eksistensi Masyarakat Kepulauan dalam Pembangunan
Bangsa (Jakarta: PT. Intimedia Cipta Nusantara 2013), 337-338. 2 Robert Bellah, “Religious Evolution”,dalam American Sociological Review 29:
1964,361.
Identifikasi Religiositas Ambon …209
firman (Alkitab) nyatakan ~dengan mengutip kata-kata Yesus
dalam injil: “Berikanlah kepada kaisar apa yang kaisar punya dan
kepada Allah apa yang Allah punya” (Matius 22:21; Markus 12:17;
Lukas 20:25). Selain itu, semuanya pun dengan tegas menyatakan
bahwa mereka sama sekali tidak menyembah para leluhur selama
berlangsungnya ritual cuci negeri. Menurut mereka, sikap yang
diperlihatkan dalam ritual cuci negeri adalah sikap menghargai
dan mengenang para leluhur dengan hal-hal yang baik, yang telah
diperbuat bagi anak-cucu negeri. Ketegasan dari jawaban ketiga
negeri tersebut, relevan dengan fenomena yang sama, namun
dengan lokus penelusuran yang berbeda (yakni di negeri
Kamarian, kabupaten Seram Bagian Barat), sebagaimana yang
dikonstatir oleh Talupun dalam kesimpulan disertasinyabahwa,
sesungguhnya kepercayaan dan perlakuan kepada para leluhur
(tetenene moyang) bukanlah suatu penyembahan, melainkan suatu
penghormatan.3
Dalam pengulasannya tentang fenomena leluhur yang
turut membingkai religiositas Ambon dan Maluku ini, Tamaela4
menjelaskan bahwa, sesungguhnya di Ambon itu, ada 2 Leluhur,
yakni: (1) Leluhur manusia (human ancestors), dan (2) Leluhur
tuhan (god ancestors). Para tete nene moyang itu tergolong pada
leluhur yang manusia itu. Sedangkan god ancestor itu merupakan
kesadaran dan keyakinan ~jauh sebelum masuknya agama-agama
besar~ tentang adanya sang pencipta, yang disebut dengan bahasa
tanah dengan sebutan: Upu Lanite kai Taipela (Tuhan Langit dan
Bumi). Ketika masuknya Islam pada abad ke-14, maka terjadilah
kombinasi dengan menambahkan kata Allah, Ala, Ilah, menjadi Upu
La Taala,Upukatalla. Di Seram Nualu menjadi Upuku Anahatana;di
Nunusaku menjadi Upu Ilah Kahuresi;di Buru menjadi UpuLastala.5
3Johanna Silavana Talupun, “Pertama Tuhan, Kedua Tete Nene Moyang,Hermeneutik
Poskolonial Terhadap Ulangan 26:1-15 dan Upaya Memahami Praktik Penghormatan Kepada Nenek Moyang dalam Konteks Masyarakat Kamarian”, Disertasi (Yogyakarta: Program Pascasarjana Teologi UKDW, Tidak diterbitkan, 2018), 264 dyb.
4 Transkrip wawancara Jumat 17 November 2017 di Piru. 5 Bandingkan, M. Azis Tunny., Beta Agama Noaulu (Yogyakarta: Smart Writing,2013),
30-31,34.
210 Religiositas Ambon-Kristen …
Selanjutnya pada abad ke-16 masuk Portugis, dengan
memperkenalkan sebutan Noster Pater (Bapa Kami). Kemudian
pada abad 17, masuk Belanda dengan memperkenalkan konsep
Trinitas. Apapun diferensiasi yang terjadi pada paham
“ketuhanan”, namun orang Ambon-Maluku tetap menempatkan
para leluhur dalam “hibridisasi ketuhanan” tersebut, sebagai
wujud rememberance, pengingatan kembali dalam konteks
mengenang dan menghormati mereka.
Fenomena keberagamaan yang adati-kultural sedemikian,
sesungguhnya merupakan fenomena yang lazim berlaku hampir
pada semua agama. Menurut Weber, agama (termasuk konsepsi
tentang Tuhan), sesungguhnya merupakan bagian dari evolusi
budaya dan sistem sosial suatu kelompok masyarakat. Sejalan
dengan itu, sistim kepercayaan dan pemujaan adati merupakan
elemen dasariah yang ada dalam setiap kesadaran religius
kelompok masyarakat, sesuai dengan konteksnya masing-masing.
Dalam kalimat yang lain, namun memiliki substansi yang sama
dengan apa yang dikemukakan oleh Weber maupun Durkheim,
Titaley mengungkapkan bahwa, “Kesadaran itu ada dalam semua
agama ...lewat pemahaman budayawi mereka. Atau... yang
terungkapkan melalui konseptual bahasa budayawi seperti: orang
Kristen dengan ‘Allah Tritunggal-nya’, orang Toraja dengan ‘Puang
Matua-nya’, Orang Jawa dengan ‘Gusti-nya’.6 Bahkan terkait dengan
formulasi Trinitas pun, menurut Titaley, kekristenan setempat (di
Indonesia) dapat merumuskan corak trinitas yang relevan dengan
konteks budayanya, yang tidak harus sama dan serupa dengan
yang ada di Barat.7Dengan demikian, fenomena perumusan trinitas
versi orang Soya- Ambon-Kristen sebagaimana yang terungkap
dalam doa pasawari mereka yaitu: Kapua Upu Ilah Kahuressy
Lebehanua, Kedua Yang Mahabesar Tuhan kami Isa Almasih, dan
6 John Titaley, “Negara, Agama dan Hak Azasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme
Agama”, Makalah disampaikan pada Sidang Raya PGI, 30 November-4 Desember tahun 2004 di Caringin, Bogor, Tidak diterbitkan,22.
7 John Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga Tiga – Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013,,ii.
Identifikasi Religiositas Ambon …211
Ketiga Rohul Kudus, patut dimengerti sebagai ungkapan
religiositas adati-ritual orang Soya-Ambon-Kristen, yang telah
mengalami proses hibridisasi akibat perjumpaan keambonan
dengan kekristenan.
Sejalan dengan itu, dapat dimengerti pula bila orang
Ambon-Maluku melihat bahwa tatanan adati dan ritual dengan
semua rumusan keberagamaan dan ketuhanannya, merupakan
warisan ketentuan yang arif dan sakral dari para leluhur, demi
kebaikan hidup anak-cucu, yang patut dipelihara dan
diberlakukan. Sebuah semboyan atau kata-kata petuah yang lazim
dikenal di masyarakat Ambon dan Seram (Maluku Tengah), kuat
tertancap dalam memori kolektif anak negeri, melalui pepatah
simbolik, yaitu: “Sei hale hatu, hatu lisa pei, Sei lesi sou, sou lesi ei...”
Yang artinya: “Siapa balik batu, batu tindis dia. Siapa melanggar
sumpah, sumpah bunuh dia.”8
Ketika terjadi perjumpaan keambonan dengan kekristenan,
maka lapisan dasar karakter religiositas yang adati-ritual inipun
lalu turut mewarnai corak kekristenan Ambon. Fenomena tersebut
terlihat dalam karakteristik bergereja orang Ambon-Maluku, yang
cenderung formalistik-ritual dan organisatoris. Sebuah proses
chemistry yang berkelindan, antara karakter gereja “negara”
dengan latar protestantisme warisan calvinisme Belanda dengan
karakter adati-ritual orang Ambon. Begitu kuatnya pertautan ini,
sehingga kekristenan dengan pelbagai ajaran, aturan, ritual dan
simbolisasinya itu sendiri telah dipandang sebagai adat, atau
semacam “adat Kristiani”. Banyak contoh yang dapat dikemukakan
tentang corak ini. Namun beberapa yang dapat disebutkan,
misalnya dalam pola berbusana. Pola berbusana, baik pelayan
(majelis jemaat) maupun warga jemaat, seperti menampakkan
suatu konfigurasi tatanan yang “khas” dan sudah menjadi
semacam “aturan” yang baku, yang patut dihidupi. Hampir jarang
ditemukan seorang Ambon-Kristen pergi ke gereja (ibadah
Minggu) dengan busana “pasar” atau “santai”, terkecuali ibadah di
8 M. Christine Boulan, Uru, Son of The Sunrise. Belgia:1983. Diterjemahkan oleh Saul J.M. Sijauta, Uru, Lelaki dari Matahari Terbit. AmbonL Tanpa Penerbit, 1986, 84.
212 Religiositas Ambon-Kristen …
luar gedung (seperti ibadah pantai, padang, dan sejenisnya).
Fenomena berbusana yang formal-ritual dalam momentum
gerejawi maupun acara adati seperti Cuci Negeri, telah menjadi
semacam pola yang baku. Kendati tak dapat disangkal, bahwa
perkembangan kontemporer dengan trend busananya, turut
merasuki fenomena ini, sebagaimana yang dapat dilihat pada
perbandingan foto di bawah ini.
Keterangan Foto:
Atas: Corak dan Warna Busana yang mirip dipakai oleh para petugas CN
di Soya, Hukurila dan Naku.
Bawah: Fenomena busana adati dalam konteks zaman “now”,
sebagaimana yang dipakai oleh petugaspenabuh gong, yang pada bagian
belakangnya bertuliskan, “New Generation Soya, Move on”, dan busana
adati yang dipadukan dengan celana bermerk jeans, yang dikenakan oleh
salah satu pemuka adat.(Sumber: Dokumentasi Pribadi dan
http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-soya-
08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)
Dalam laporan-laporan tertulis tentang keberadaan hidup
bergereja di masa kolonial misalnya, tercatat ada laporan tentang
Identifikasi Religiositas Ambon …213
busana yang dikenakan oleh seorang pendeta saat berkhotbah,
yang dipandang tidak sepatutnya, dan mendapatkan respons
ketidaksenangan dari kalangan warga jemaat. Melalui surat yang
dibuat oleh Joseph Kam kepada William Carey (ayah dari J. Carey),
yang melaporkan pola busana J. Carey pada saat berkhotbah,
antara lain ditulis demikian:
“Adapun saya terlibat dalam pelayanan gereja yang berdiri di daerah jajahan ini. Untuk itu saya diutus ke bagian dunia. Setiba saya di sini, Paduka Tuan Gubernur Martin membuat saya berkenalan dengan anak Saudara yang baik, Tuan J. Carey.... Saya mengalami pula kesulitan lain. Jemaat tidak senang kalau orang memberitahukan Injil kepada mereka tanpa mengenakan jubah kita yang lazim. (Maksudnya: ketika memimpin ibadah, Jabez Carey tidak mengenakan toga hitam).”9
Di tengah perkembangan kontemporer, pola berbusana
gerejawi ini justru lebih mendapat tempatnya yang khas, ketika
berlangsungnya momentum peneguhan sidi. Pada saat itu, para
calon anggota sidi gereja, mengenakan busana hitam-putih yang
sangat khas dengan motif dan desainnya, yang hampir tidak
dijumpai pada busana calon sidi gereja di gereja non-GPM,
khususnya yang berada di luar Maluku.10
9Ibid,56. 10 Fenomena yang patut dikemukakan juga terkait dengan ini adalah, tentang warga
Ambon-Kristen yang berdiam di Belanda, yang justru dengan bangga dan teguh mempertahankan corak berbusana yang sama dengan yang di Ambon. Bahkan bila diperbandingkan dengan fenomena orang Ambon-Kristen di Belanda, dijumpai bahwa bukan hanya dalam hal berbusana gerejawi yang khas, melainkan dalam praktik bergereja tertentu, orang Ambon Kristen di Belanda lebih menonjol corak religiositas adati-ritualnya, ketimbang orang Ambon-Kristen yang ada di Ambon sendiri. Terhadap fenomena ini kita dapat lihat pada ulasan Teolog Ambon-Belanda, Verry Patty, ketika mengulas tentang praktik Piring Natzar, yang mendapat tempat khusus dalam religiositas orang Ambon-Kristen di Belanda. Sebab bagi mereka, bila pada hari Minggu, gerejalah yang menjadi pusat, maka pada hari Senin hingga Sabtu, piring Natzar-lah (yang terdapat di rumah masing-masing), yang justru menjadi pusat. Menurut Patty, bagi mereka Piring Natzar memiliki dimensi mistik dan menunjuk pada rumah tua dan gunung tanah. Lihat, Verry Patty,”Kebatinan Orang Ambon sebagai Kekuatan Hidup”. Artikel dalam Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM), Menelusuri Identitas..., 169-170.
214 Religiositas Ambon-Kristen …
Adapun corak religiositas yang adati-ritual ini,
sesungguhnya mengisyaratkan kecenderungan hidup bergereja
dengan pola pengorganisasian institusi maupun aktifitas ritual
(ibadah) dan pelayanannya, yang cenderung bersifat rapi-teratur,
sesuai dengan aturan (atau sering juga muncul dengan istilah:
“harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku”), dan bernuansa
serimonial-protokoler. Hampir menjadi wajah yang jamak dari
corak religius orang Soya-Ambon-Kristen, ketika dalam
kehidupannya, ada begitu banyaknya aktifitas ritual-serimonial
gerejawi, yang ~suka atau tidak suka~ “wajib” dilalui, diupayakan
dan dirayakan secara khas dan total. Beberapa momentum ritual
kehidupan, seperti dari kelahiran (hari jadi), pembaptisan (orang
sarane), peneguhan sidi, perkawinan dan kematian, telah menjadi
sangat khas diwarnai dengan nuansa ritual religius Ambon-
Kristen. Momentum ini belum ditambahkan dengan ritual yang
berkaitan dengan peristiwa lainnya, seperti: Perjamuan Kudus
(terlebih di Perjamuan Kudus Jumat Agung), yang sering disebut
pula dengan istilah “gereja basar”(maksudnya: ibadah khusus dan
agung), Ibadah menyongsong Natal pada tanggal 24 Desember
(ibadah malam kajadiang) dan ibadah akhir tahun (ibadah konci
taong) pada tanggal 31 Desember. Fenomena yang tak tersangkali
adalah betapa nuansa hari-hari perayaan tersebut, sungguh-
sungguh mendapatkan respons dan tempat tersendiri dalam
penghayatan religiositas orang Ambon-Kristen.
Corak perayaan yang khas dan total ini~sebagai akibat dari
religiositas Ambon-Kristen yang adati-ritual tersebut~, patut
diakui turut menimbulkan sejumlah ironi, yang hingga kini, tidak
mudah untuk dilakukan pembatasan, apalagi penghapusan total.
Ironisme tersebut misalnya tampak dalam perayaan pesta-pesta
baptisan dan peneguhan sidi. Hampir tak dapat dipungkiri realita
tentang upaya “habis-habisan” yang dilakukan oleh sebuah
keluarga (tidak pandang status sosial dan latar belakang ekonomi
dari keluarga tersebut), terkait dengan momentum ritual tersebut.
Fenomena ini kian ditambahkan pula dengan ritual syukuran
lainnya, seperti Nikah, Wisuda, Ulang Tahun, dan sebagainya.
Identifikasi Religiositas Ambon …215
Begitu banyaknya frekuensi pesta dan syukuran yang dilakukan,
sehingga muncullah semacam ungkapan sinisme, “Orang Ambon-
Kristen itu, hampir seng ada hidup tanpa pesta deng syukuran.”11
Sementara itu, ironisme lainnya, terlihat pada aktifitas
pembangunan gedung-gedung gereja baru. Tidak jarang kita
menemukan, berdirinya gedung gereja yang kokoh, megah, dengan
pembiayaan yang ratusan juta bahkan milyaran rupiah, dibangun
di tengah sebuah komunitas negeri atau jemaat, yang secara riil
mungkin memiliki tingkat pendapatan ekonomi menengah ke
bawah. Namun terhadap fenomena ini pun, jemaat pada umumnya
tidak melihatnya sebagai beban, bahkan justru akan merasa
bangga dan bersyukur, ketika memiliki gedung gereja yang
dipandang cukup fenomenal. Sekali lagi, fenomena sedemikian,
sudah cukup kuat dan lama berurat-akar dalam religiositas
Ambon-Kristen, tidak peduli dengan segala “ironisme”-nya.
Sebagai gereja yang “cukup tua”, tentunya GPM memiliki
warisan protestantisme-calvinis yang cukup lama dihidupi dan
dapat dikatakan telah merasuki sendi-sendi kehidupan bergereja,
yang telah berkelindan dengan karakter budaya orang Ambon,
Maluku. Suatu fenomena yang mengisyaratkan bahwa upaya
perubahan dan pembaruan dalam lingkup gerejawi dan
masyarakat (adat), tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan, kendati bukan berarti tidak mungkin. Sudah cukup lama
fenomena ini dicatat oleh Cooley sendiri bahwa, “Pendeta yang
mencoba memperkenalkan sesuatu perubahan dalam hal liturgi
atau membuat pembaruan atas pola tradisional dari ibadat gereja,
pasti akan menghadapi reaksi yang keras, terutama dari kalangan
orang-orang tua.”12
Dampak lainnya dari corak religiositas ini, terlihat pula
pada sikap penghormatan atau perlakuan yang istimewa kepada
simbol-simbol dan tokoh utama religius, dan bahkan terhadap
benda-benda ritual tertentu (seperti alkitab, salib, gedung gereja,
11Terjemahannya: “Orang Ambon-Kristen itu, hampir tidak hidup tanpa mengadakan
pesta syukuran”. Bandingkan, Cooley, Mimbar dan Takhta...,308. 12 Ibid.,274.
216 Religiositas Ambon-Kristen …
roti dan anggur perjamuan, air baptisan, uang natzar dan
sebagainya), yang cenderung sangat disakralkan, bahkan ada yang
dimagiskan. Orang Ambon-Kristen akan sangat menempatkan
sosok pendeta dalam sikap kepatuhan dan penghormatannya.
Bahkan ketika pendeta tertentu melakukan kesalahan, dalam
batas-batas tertentu, seorang Ambon-Kristen akan berkata, “Biar
nanti Tuangala jua yang hukum dia, maar katong jangan coba-coba
balas atau biking apa-apa dengan pandita tuh”(Terjemahan:
Biarkan saja, nanti Tuhan Allah saja yang menghukum pendeta
yang bersangkutan, tetapi kita tidak usah membalas apapun
terhadap si pendeta itu).13
Adapun fenomena religiositas seperti ini, dapat dimengerti
melalui perspektif tabu yang dikemukakan oleh Weber dan
Durkheim. Menurut Weber, akar dari gagasan tentang tabu itu
disebabkan adanya keyakinan tentang masuknya “roh” ke dalam
seseorang atau suatu benda. Roh tersebut dapat dianggap suci atau
kotor. Dengan begitu maka diharapkan tidak ada yang boleh
mengganggu roh tersebut, karena dapat membahayakan. Ketika
Durkheim menempatkan masyarakat sebagai basis
keberagamaan, maka ketika masyarakat memandang seseorang
merupakan representasi energi yang berpengaruh pula terhadap
masyarakat itu sendiri, maka seseorang tersebut lalu mendapat
perlakuan dan tempat yang istimewa. Dalam perspektif inilah, kita
dapat memahami tentang religiostias orang Soya-Ambon-Kristen,
yang sangat kuat terhadap tokoh spiritual seperti pendeta, yang
dalam bingkai penghayatan adati, disejajarkan dengan mauweng
(semacam pendeta adat dalam tatanan masyarakat adati).
13 Fenomena penghormatan dan kepatuhan terhadap orang yang sangat dihormati
seperti pendeta ini, dapat dimengerti bila melihat akar korelasinya dengan salah satu fenomena taboo (tabu) dalam masyarakat asli (Alifuru) Seram, yaitu suku Huaulu yang masih ada hingga kini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Valeri dalam temuannya. Antara lain bahwa: mereka harus menjaga harus menjaga penghormatan kepada seseorang yang dipandang memiliki otoritas sebagai orang tua atau dipandang memiliki kualifikasi otoritas yang istimewa. Hal ini merupakan tabu pertama dari 5 (lima) tabu di masyarakat Huaulu, dalam kaitannya dengan moralitas dasar mereka untuk tidak “bikin malu”, atau dalam ungkapan bahasa aslinya membuat Ita Mukae (kita atau kami malu!). Lihat, Valerio Valeri, The Forest of Taboos, Morality, Hunting, and Identity Among the Huaulu of the Moluccas (Madison, Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 2000),403.
Identifikasi Religiositas Ambon …217
Ketua Sinode GPM saat ini, Pdt..A.J.S. (Ates) Werinussa,
dalam tanggapannya terhadap fenomena religiositas Ambon yang
adati-ritual, justru lebih cenderung untuk memetaforakan
religiositas Ambon-Kristen itu bukan sebagai “kekristenan kue
lapis”, tetapi “kekristenan bruder sageru”14. Werinussa
mengandaikan, bahwa bruder-nya bisa bernuansa kekristenan
(barat), tetapi sentuhan sageru-nya itu harus bernuansa
tradisional Ambon, Maluku. Bahkan, menurutnya, kenikmatan kue
tersebut justru ada di “sageru”-nya itu. Sebab menurutnya, dengan
mengambil sentuhan budaya lokal, maka hal itu akan memperkaya
kekristenan itu sendiri. Secara kritis, Werinussa justru
mempertajam pandangannya ini dengan memunculkan
pertanyaan retorik: “Apakah salah dengan kekristenan Ambon yang
menghidupi pengajaran Yesus dengan tetap menempatkannya
dalam bentuk dan bingkai tradisi-tradisi tradisional dan adat
istiadat kami di Ambon dan Maluku, yang tidak sama dengan yang
lain, misalnya dari Barat ?”15 Sebuah pertanyaan retorik tetapi
sekaligus pula reflektif, yang menantang sikap dan
pertanggungjawaban kritis teologis-kultural terhadap apa
14 Kue Lapis adalah jenis kue dari tepung terigu yang berbentuk lapisan beberapa
warna (antara lain merah, putih dan hijau). Analogi “kue lapis” ini telah lama muncul di kalangan para sejarahwan atau antropologi agama tentang kekristenan Ambon. Sedangkan kue bruder sageru, adalah sejenis cake yang cukup populer di kalangan warga Ambon, dibuat dengan turut menggunakan sageru (minuman arak lokal) sebagai salah satu bahan yang dicampur untuk memberikan aroma kenikmatan yang khas.
15 Transkrip wawancara, tanggal 18 Oktober 2017. Bahkan dengan melakukan
perbandingan kontemporer antara kekristenan Ambon yang adati dengan kekristenan
Barat saat ini, beliau dengan kritis dan lugas melanjutkan pertanyaan retorik tersebut
dengan kalimat: “Kita harus meyakini, bahwa salah satu buktinya adalah ternyata dari dulu
hingga kini, orang Maluku berbicara tentang tete nene moyang, tetapi mereka tidak punah,
mereka tetap eksist hingga kini. Itu berarti kasih karunia Allah masih menyertai mereka.
Kecuali kalau berbicara tentang tete nene moyang lalu katong punah. Sementara fenomena
yang terbalik justru sementara berlangsung di Barat. Mereka yang mengagung-agungkan
kekrisitenan Barat, tapi coba lihat, apa yang terjadi sekarang justru merupakan fenomena
yang menyedihkan. Muncul kebebasan seksual, kapitalisme dan eksploitasi yang
menyengsarakan rakyat dan penghancuran lingkungan, individualisme, hedonisme, dan
pelbagai hal yang lebih membawa kekuatiran. Itu semua adalah produk kekristenan Barat.
Dan karena itu kita tidak perlu harus mati-matian belajar atau berkiblat ke sana. Kita sendiri
bisa menjadi jatidiri kita sendiri. Termasuk penghargaan terhadap alam dan budaya kita
yang kaya ini.”
218 Religiositas Ambon-Kristen …
sesungguhnya yang dapat dilakukan dalam menyikapi fenomena
religiositas yang sedemikian. Sebab, seperti yang diingatkan oleh
Lattu, bahwa betapapun upaya kita untuk menegasikan atau
mengkristenisasikan warisan tradisional adati itu, namun sama
sekali tidak dapat mengubahkan bentuk dan substansi dari
kepercayaan dan adat tradisional dari the local indigenous rituals,16
termasuk dalam hal ini, ritual cuci negeri, seperti yang berlangsung
di Soya.
V.2. Religiositas Dialektis
Adapun yang dimaksudkan dengan Religiositas Dialektis
ini adalah suatu tipologi kesadaran religius orang Ambon-Kristen
yang dibentuk dan membentuk kesadarannya dari sebuah proses
dialektika antara yang individualitas dan sosialitas, kesamaan dan
perbedaan, tertutup (eksklusif) dan terbuka (inklusif), dan
merangkul sekaligus mengkritisi pelbagai polarisasi yang ada
(misalnya antara agama dan adat; orang dalam dan orang luar; dan
sebagainya). Tak dapat dipungkiri bawah fenomena religiositas ini
berkorelasi dengan karakter manusia Ambon-Maluku yang
dialektis, sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian
penelusuran filosofis-kultural dan perwatakan orang Ambon.
Artinya, religiositas Ambon-Kristen yang sedemikian, tidak sama
sekali lahir dan terbentuk dalam ruang hampa pengaruh,
melainkan terajut melalui jalinan-jalinan kultural-budayawi
sebagai manusia Ambon yang juga berkarakter yang sama.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Hick, bahwa
sesungguhnya pemahaman dan kesadaran tentang Tuhan,
sangatlah berkorelasi dengan sejarah dan budaya manusia, yang
pada gilirannya berkaitan pula dengan kondisi geografis, iklim dan
16 Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,123. Cooley (dalam
Cooley, Mimbar dan Takhta....,195), bahkan mencatat bahwa upaya penyederhanaan ritual CN Soya telah diupayakan cukup lama, namun dalam pencermatan penulis, sama dengan yang dikonstatir oleh Lattu, penyederhanaan itu pun sama sekali tidak mengubah esensi tradisional adati dari ritual tersebut, sebagaimana yang berlangsung hingga saat ini.
Identifikasi Religiositas Ambon …219
ekonomi, psikososialnya, dan sebagainya.17 Konstatasi Hick
relevan, karena melalui ekspresi budayawi dalam simbol-simbol
suatu ritual, maka manusia mengungkapkan rasa menyatu, baik
dalam komunitasnya maupun dengan alam semesta.18 Upacara-
upacara ritual yang dilakukan itu, dapat dipandang sebagai
pernyataan simbolis yang teratur dalam suasana hati struktur
fondasi religius (sentimen) tertentu.19
Religiositas yang dialektis ini, hampir terlihat dalam
praktik ritual cuci negeri, yang fenomenanya bukan hanya tampak
di Soya, tetapi juga terlihat di Naku dan Hukurila. Perlakuan dalam
memadukan adat-tradisi dengan unsur-unsur kekristenan
tersebut, dapat dimungkinkan oleh adanya fenomena religius yang
dialektis. Sebagai contoh, dalam penentuan waktu (tanoar)
terhadap pelaksanaan ritual cuci negeri, semua negeri
menempatkan momentum pelaksanaannya yang setahun sekali itu
dalam bulan Desember. Hampir semua negeri memberikan
argumentasi yang sama,20 tentang korelasi penentuan waktu
tersebut dengan momentum ritual kristiani dari minggu-minggu
Adventus, Natal, Kunci Tahun dan Tahun Baru, dengan pemaknaan
tentang pentingnya “pembersihan dan pembaharuan” hidup
pribadi, keluarga dan negeri dalam penghayatan hari-hari ritual
kristiani tersebut.
Dengan identitas religius yang dialektis ini, ketiga negeri
menatakembangkan ritual cuci negeri dengan sebuah format ritual
yang dapat penulis sebut sebagai formasi “terbuka sekaligus
tertutup”. Formasi sedemikian tampak misalnya dalam
17 John Hick, The Fifth Dimension: An Exploration of the Spiritual Realm (Oxford: One
World,1999),50-52. 18 Noerid H Radam, Religi Orang Bukit (Yogyakarta: Semesta, 2001),1-2. 19Ibid. 20 Alasan yang sedikit berbeda penulis jumpai di Soya, yang beralasan bahwa
penentuan waktu bulan Desember itu telah ditentukan oleh para leluhur. Dan hal itu berkaitan dengan pemahaman orangtatua dolo-dolo (para leluhur), bahwa pada bulan Desember itu adalah waktu datangnya angin Barat (musim Barat). Seiring dengan datangnya angin Barat, datang pula para datuk atau leluhur. Selain itu, sehabis musim Timur (Penghujan) biasanya terjadi tanah longsor, atap rumah bocor, jembatan rusak, sumur-sumur kotor, dan banyak hal lagi yang harus diperbaiki dan dibaharui. Bandingkan, Transkrip wawancara dengan bapa raja Soya, opa Huwa’a (kepala soa adat Soya) dan bapa Ateng Huwa’a. Lihat pula John L Rehatta, Negeri Soya...,10.
220 Religiositas Ambon-Kristen …
menempatkan secara dialektis posisi dan peran agama (dalam hal
ini gereja) dalam konteks adat. Pada semua negeri (kebetulan
beragama Kristen, jemaat GPM Soya, Naku, dan Hukurila),
pelibatan Pendeta dan majelis jemaat setempat dalam prosesi
ritual cuci negeri, bersifat mutlak.21 Bahkan dapat dikatakan bahwa
sebuah ritual cuci negeri saat ini,akan dianggap “tidak sah” apabila
tanpa keterlibatan dari unsur tokoh dan pelayan gerejawi
setempat. Sekalipun demikian, hal yang hampir tidak berbeda juga
berlaku dalam kaitannya dengan pemberian ruang dan partisipasi
dari “orang dalam dan orang luar”, termasuk antar basudara pela-
gandong. Corak dialektika tersebut menghasilkan pula sikap
“tertutup dan sekaligus terbuka” dalam pelibatan warga asli dan
warga pendatang (termasuk kaum pela-gandong). Orang atau
marga “luar” dirangkul melalui “soa bebas atau soa pendatang”,
tapi sekaligus dibatasi untuk tidak dapat mengikuti secara bebas
tahapan-tahapan ritual tertentu, yang hanya dikhususkan bagi
marga atau soa tertentu pula (yang bukan pendatang).
Fenomena religiositas Ambon-Kristen yang dialektis ini,
dapat dimengerti bila merujuk pada konstatasi Bellah, yang
menegaskan bahwa dari tahapan-tahapan evolusi agama suatu
kelompok masyarakat, sesungguhnya tidak ada tahapan yang
sepenuhnya memudar. Karena semua tahap yang lebih dulu, akan
terus ada bersamaan dengan tahapan yang berikutnya, dan
seringkali juga ada dalam tahapan yang lebih belakangan. Itulah
sebabnya, kendati telah mengalami perjumpaan dan pembauran
21 Hal ini dapat dimengerti karena dalam struktur pemerintahan adati di Ambon,
Maluku, ada posisi petugas ritual-adat atau “pendeta” di Kakehan yang disebut dengan istilah “Mauweng”. Dan posisi Mauweng saat ini ditempatkan sebagai kepala soa adat. Dialektika tersebut terlihat dalam pelaksanaan tugas antara pendeta adat dengan pendeta jemaat. Dalam moment ritual adat cuci negeri, memang dihadirkan, namun hanya memimpin doa dalam tahapan-tahapan tertentu saja. Misalnya pada saat tahapan Rapat Saniri Negeri, agenda makan bersama, atau acara syukuran untuk mengakhiri seluruh rangkaian ritual cuci negeri. Selain itu, peran doa adat (pasawari) dibawakan oleh mauweng. Dalam diferensiasi kemudian, Mauweng ini dimaknai baru dengan menempatkan tokoh agama setempat. Bartels dalam penelusurannya, menemukan “pengadopsian” Mauweng tersebut di Islam Ambon misalnya terjadi di Hatuhaha (kelompok negeri Muslim di pulau Haruku), yang menggantikan mauweng besar dengan kadli (berasal dari kata kadi, yang berarti hakim Islam). Lihat: Bartels, Di Bawah Naungan....,306,310.
Identifikasi Religiositas Ambon …221
dengan kekristenan, namun elemen dasar keambonan yang
melatari religiositas orang Ambon-Kristen, yang bercorak
tradisional-adati, tidak pernah akan memudar. Religiositas yang
dialektis dan tidak pernah memudar tersebut,memungkinkan pula
adanya keterhubungan antar pelbagai pihak yang berbeda latar
apapun, termasuk di antara salam dan sarane, yang memiliki akar
kekerabatan adati bagi orang Ambon pada khususnya dan Maluku
pada umumnya.22
Dalam konteks ini, Tamaela justru lebih konkret dan
menohok, ketika menempatkan fenomena religiositas yang
dialektis ini dengan contoh kasusritual cuci negeri. Menurutnya,
bila pemaknaan tentang “pembersihan diri” dalam bingkai
dialektika, maka kita dapat membandingkannya pula dengan ritual
pinamou atau posuno yang berlangsung di Noaulu Seram. Dalam
ritual tersebut, seorang perempuan yang mendapatkan menstruasi
pertama, harus mengalami ritual “pembersihan diri” untuk durasi
waktu tertentu. Sampai tiba saatnya ia, yang sudah “bersih”, baru
bisa kembali terintegrasi dengan keluarga dan masyarakat.23
Contoh lainnya pula, menurut Tamaela, dialektika itu dapat
terlihat pada mitos Hainuwele dan pica Nunusaku, yang pada
hakikatnyamemberikan pemaknaan tentang pembersihan dari
segala yang jahat. Konflik atau perpecahan Nunusaku itupun mesti
dilihat dalam kesadaran dialektika atau heka-leka itu. Hancur dulu
baru menyatu hidup kembali !24
Religiositas orang Ambon-Kristen yang dialektis ini
senyawa dengan karakter atau perwatakannya, sebagaimana yang
telah dikemukakan pada bab IV. Melalui religiositas yang
sedemikian, kita dapat mengerti, bagaimana corak religiositas ini
terimplementasi melalui perlakuan yang dialektikal, antara lain:
yang membuatnya bisa penuh emosional tapi juga bisa sangat
22 Aholiab Watloly, Cermin Eksistensi....,344- 347. 23 Transkrip Wawancara dengan Pdt. Christian Tamaela. Untuk ritual pinamou, Lihat,
Azis Tuni, Beta Agama Noaulu,73-76. 24 Menurut Tamaela, dialektika itu tampak pada simbol Siwalima dan tarian maru-
maru, yang bergerak dari Kanan ke Kiri, arah terbalik jarum jam. Arah terbalik itu bermakna
arah kembali, kembali balik ke arah yang baik.
222 Religiositas Ambon-Kristen …
sentimental; bisa cepat marah meluap-luap, tapi juga bisa cepat
meneteskan airmata; bisa geram melihat ketidakbenaran dan
sekaligus membela yang dipandang benar, tetapi sekaligus bisa
cepat pula memaafkan (dan berdamai) dengan pihak yang salah;
bisa kelihatan sangat egois dan individualistis, namun pada sisi
lainnya bisa terlihat begitu sangat sosial, memperjuangkan
kepentingan orang banyak. Corak religiositas inipun berkorelasi
dengan keenam religiositas lainnya.
V.3. Religiositas Musikal
“Orang Ambon-Maluku itu, waktu lahir lagi, suara
tangisannya sudah seperti bayi yang bernyanyi.” Demikianlah
ungkapan hiperbolis yang sering terucap, baik dari pihak orang
Ambon sendiri, tetapi juga semacam pengakuan dari orang luar
Ambon.25Oleh sebab itu, Religiositas Musikal ini dimengerti
sebagai sebuah ekspresi kesadaran orang Ambon-Kristen dalam
mengartikulasikan potensi musikalitasnya melalui pelbagai cara di
pelbagai ruang dan waktu kehidupannya.
Hampir dapat diduga, bahwa penetapan kota Ambon
sebagai City of Music oleh Pemerintah Kota Ambon, bukanlah
tanpa alasan, kalau bukan karena ada kenyataan riil dari potensi,
bakat, dan karakteristik orang Ambon yang kuat bersentuhan
dengan dunia musikal. Sehubungan dengan potensi yang
fenomenaltersebut, Tamaela justru mengkonstatir bahwa
sebenarnya yang tepat bukan hanya sebagai city of music, tapi
seharusnya disebut the island of music, bagi Ambon pada
khususnya dan Maluku pada umumnya. Oleh karena, menurut
Tamaela,wilayah Maluku yang kepulauan, archiphelago, adalah
wilayah alam yang musikal. Ia pun berujar, “Coba lihat,...hembusan
angin, suara ombak, dedaunan, margasatwa bahkan gemerisik pasir
25 Ungkapan seperti ini kerap penulis dengar, karena sering terlibat dalam kegiatan
PESPARAWI (Pesta Paduan Suara Gerejawi), baik untuk kalangan umum maupun yang khusus bagi Mahasiswa. Ungkapannya kian bergema, terlebih lagi bila kontingen PESPARAWI dari Ambon atau Maluku keluar sebagai pemenang.
Identifikasi Religiositas Ambon …223
pun bermusik, semuanya melahirkan suatu resonansi.”26 Baginya,
alam kita, Ambon dan Maluku ini, adalah alam resonansi musik.
Hal itu disebabkan kita memiliki alam yang terbuka. Pulau Ambon
sendiri, dalam pandangan Tamaela, merupakan suatu alat musik.
Karena topografi alam yang berlekak-lekuk, ada gunung dan
lembah yang menghasilkan gaung atau gema. Tetapi sekaligus juga
alam musikal tersebut melahirkan harmonisasi, karena musik
itupun sebuah harmoni. Jadi, ada harmoni alam di Ambon ini.
Menurutnya, alam menyebabkan cara berbicara orang Ambon
dengan nada dan dinamikanya mirip orang Afrika, yakni berbicara
dengan suara besar. Bahkan dengan alam yang menantang dan
sekaligus membentuk suaranya, maka orang Maluku itupun bisa
bernyanyi saat mencari dan mendapatkan ikan, atau saat memetik
buah (cengkeh-pala). Karena itu, melalui alam, maka manusia
Ambon-maluku menjadi manusia melodis, manusia musikal, dan
manusia harmoni.
Alam Soya, alam Ambon dan alam Malukuyang musikal
serta sekaligus indah itu, melahirkan sense of music dan sekaligus
juga sense of beauty. Itulah sebabnya, Tamaela menambahkan,
muncul ungkapan: “biar katong ada di mana lae, tapi katong rindu
pulang ke Ambon, Maluku.” Alam Ambon dan Maluku dengan
landscape yang khas dan indah serta kaya dengan pelbagai flora
dan faunanya, hutan, gunung dan lautannya, melahirkan ikatan
batin dan religiositas yang menyatu kuat dengan alam.
Karakter asali manusia Ambon-Maluku yang musikal
tersebut, melahirkan nyanyian-nyanyian Kapatadan Suhat, yang
melaluinyaorang Ambon-Maluku bernyanyi dan badendang.
Ekspresi musikal tersebut menjadi saluran pengungkapan hidup
dengan pelbagai kisahnya, sejarahnya, ekspresi religiusnya dan
pelbagai muatan-muatan memori kolektif yang sarat makna.
Sebagaimana yang ditandaskan oleh Lattu, melalui Kapata kita
dapat menemukan pula sumber-sumber pengetahuan dan kearifan
lokal, sejarah, sapaan, dan lamentasi dari suatu komunal di
26 Transkrip Wawancaa dengan Chr. Tamaela.
224 Religiositas Ambon-Kristen …
Ambon.27Fenomena nyanyian adati tersebut sangat menyatu erat
dengan ritual Cuci Negeri, baik yang berlangsung di Soya, maupun
di Hukurila dan Naku. Nuansa musikal tersebut terlibat dari
peralatan musik tifa-gong yang dipergunakan di ketiga negeri
tersebut. Demikian pula dengan Kapata. Secara khusus di Soya,
Suhat merupakan sejenis nyanyian adati yang sangat populer,
namun tidak sembarang orang bisa menjadi “biduan tunggal atau
soloist”-nya. Singkatnya, Soya pada khususnya dan Ambon pada
umumnya, seperti memiliki warisan genetika musikal yang
mengalir secara alami.
Senada dengan itu, Tamaela pun dalam kajian disertasinya
tentang kontekstualisasi musik dan liturgi di GPM, tiba pada
kesimpulan bahwa indegenous music sangat kuat berakar dalam
tradisi dan budaya orang Maluku, baik musik instrumental
maupun musik vokal.28 Pada pencermatan lainnya, Watloly
menggarisbawahi pernyataan Tanamal, yang mengkonstatir
bahwa Manusia Ambon-Maluku adalah manusia yang musikal,
periang, suka bernyanyi dan berdendang di tengah alamnya yang
keras dan ganas, baik di laut maupun darat, di musim hujan atau
panas. Semuanya membuat anak negeri Ambon-Maluku menjadi
manusia yang dialektis, lembut tetapi juga keras dan tidak kenal
rasa takut (pemberani).29 Lebih jauh, ketika mendeskripsikan
tipologi Manusia Maluku yang musikal, Watloly, antara lain
menyatakan bahwa “Musik anak negeri, bukan sekadar imajinasi
seni, tetapi lebih merupakan ungkapan kebatinan alami yang kaya
dan menyatu kuat dengan gunung tana, sejarah kekerabatan
(persekutuan hidup), dan kampung halamannya.”30
Lapisan karakter manusia Ambon-Maluku yang musikal ini,
seakan mendapatkan ruang dan wadah ekspresi religiositasnya,
ketika masuk Kekristenan Barat, dengan menghadirkan pelbagai
27 Izak Yohan Matriks Lattu, Disertation..., 64-65. 28 Izaac Christian Tamaela, Contextualization of Music and Liturgy in the Moluccan
Church, With special Reference to the Protestant Church of the Moluccas, Dissertation, Unpublished(Amsterdam: Vrije Universiteit, 2015),37-58
29 A. Watloly, Bangkitnya Mesin...,215-216. 30 A. Watloly, Maluku Baru...,215.
Identifikasi Religiositas Ambon …225
jenis musik gerejawi, yang semula berbeda karakteristiknya
dengan corak musik tradisional Ambon, namun dalam
perkembangan selanjutnya mengalami diferensiasi dan adaptasi,
sehingga memungkinkan penghayatan religius Ambon yang
musikal tersebut, mendapatkan coraknya yang hibrid. Menurut
Tamaela, corak musik tradisional Ambon lebih cenderung pada
pola nada pentatonik, sementara pola Barat lebih cenderung pada
diatonik. Namun, kini orang Ambon dapat melantunkan kidung-
kidung pujian dengan pelbagai instrumentalianya, baik dalam
nuansa tradisional maupun dalam nuansa Barat-Modern.31
Dalam kaitan dengan itu, semenjak tahun 2005
(berdasarkan keputusan Sidang ke-35 Sindoe GPM), GPM dalam
kerjasama dengan GIM (Gereja Injili Maluku) di Belanda, telah
mengupayakan lahirnya sebuah buku Nyanyian Jemaat GPM, yang
menghimpun 342 buah lagu gerejawi, hasil karya sendiri dan
orisinal dari warga GPM, yang berasal dari latar belakang asal sub
etnis yang berbeda-beda. Dalam buku nyanyian tersebut, terlihat
bahwa nuansa musikal dengan pola pentatonik dan diatonis telah
diakomodir. Sungguh, patut dibanggakan, betapa di tengah
mengalir derasnya nuansa musik dan lagu gerejawi rohani populer
di tanah air, dengan corak yang beragam dan tak menentu, GPM
dengan religiositas musikalnya, berhasil memperlihatkan jati
dirinya yang survive pada satu pihak, namun tetap terbuka pula
terhadap proses adaptasi terhadap perkembangan zaman.
Sebagaimana dikonstatir oleh Weber, bahwa agama dan
seni pada intinya memiliki keterkaitan yang erat sejak awal. Sebab
menurutnya, agama sendiri telah menjadi sumber yang tak pernah
habis bagi pengekspresian artistik. Sementara, menurutnya pula,
musik merupakan alat pembangkit ekstasis, yang menyertai suatu
tindakan pemujaan. Dan tampaknya ketiga kategorisasi Weber
tentang agama dan seni (orgiastik, ritual, dan kasih) termanifestasi
dalam ekspresi-ekspresi seni musikal selama berlangsungnya
ritual CN Soya, seperti musik dan tarian, ekspresi simbolik dan
puisi (yang dalam hal ini dapat “disejajarkan” dengan kapata dan
suhat, serta pantun yang ditampilkan).
31 Tamaela, Contextualization of Music and Liturgy...,Dissertation,38-39.
226 Religiositas Ambon-Kristen …
Dalam kaitan itu, proses pembentukan indentitas religius
yang musikal ini tidaklah berlangsung secara alami. Melainkan
seperti yang diisyaratkan oleh Erickson bahwa konfigurasi
pengalaman melalui pola pengasuhan dan pendisiplinan hidup
dari masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa, turut
memengaruhi watak identitas seseorang dalam konteks sosialnya.
Identitas religius personal, menurut Erickson, tidak dapat
dipisahkan dari identitas komunalnya. Singkatnya, dalam konteks
identitas religius yang musikal ini, teori Erickson hendak
menegaskan bahwa identitas tersebut merupakan konfigurasi
integratif dari masa lampau dengan masa sekarang, dari dalam
dengan yang dari luar, menuju ke dalam suatu keseluruhan yang
baru. Fenomena ini jelas terlihat pada kesadaran warga Soya
dalam mengikutsertakan kalangan anak-remaja (generasi muda)
dalam rangkaian acara Cuci Negeri, sebagai bagian dari proses
pembentukan dan pewarisan identitas religius Soya-Ambon-
Kristen.
Keterangan Foto:
Keterlibatan generasi muda Soya sebagai bagian dari proses
pewarisan nilai dan kesadaran budaya Soya dalam konteks Cuci
Identifikasi Religiositas Ambon …227
Negeri, a.l.: para jujaro (gadis) yang menari Lenso, diiringi musik
Tifa-Totobuang; Orangtatua yang membasuh anak-cucu mereka di
air sumur keramat; dan beberapa anak remaja yang sudah mulai
dibiasakan untuk ikut terlibat dalam menabuh tifa. (Sumber:
Dokumentasi Pribadi dan http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-
photos-adat-cuci-negeri-soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei
2018.).
Upaya untuk menumbuhkembangkan religiositas musikal
ini, patut mendapatkan atensi dari pelbagai pihak, sebagaimana
diisyaratkan oleh Watloly, bahwa “ciri musikal ini harus terus
dibudayakan sebagai jati diri dan identitas kemanusiawian anak
negeri...karenanya, tidak dapat...dinafikan...dalam memahami
dinamika eksistensi dan misteri kehidupan anak negeri....”32
Sehubungan dengan itu, Tamaela mengusulkan 5 (lima) strategi,
yang disebutnya dengan nama “Strategi 5 M”, agar musik dan juga
religiositas musikal itu sendiri dapat terwujudkan dan bahkan
dapat meluas dampaknya (bukan hanya dalam lingkup gerejawi,
tetapi juga masyarakat umum), yaitu:33
(1) Menghargai atau mengapresiasi musik dengan berusaha
untuk mengetahui (menguasai secara ilmu, bukan
berdasarkan bakat alami semata;
(2) Menggali (digging),: mengadakan riset, kajian studi, dengan
berupaya untuk mencari keunggulan, keaslian dan keunikan
identitas kita. Menggali itu diikuti dengan penyimpanan,
akomodasi, pendokumentasian;
(3) Mengkaji: melakukan analisa, melakukan pemetaan dan
kategorisasi terhadap bentuk, genre, notasi dan sebagainya.
Baik terhadap musik gerejawi maupun non gerejawi;
(4) Mengembangkan, dengan memperkenalkan kepada
masyarakat (sosialisasi dan edukasi). Termasuk menjadikan
muatan lokal dengan kurikulum musik tradisional;
32Ibid,216. 33 Transkrip Wawancara dengan Chr. Tamaela.
228 Religiositas Ambon-Kristen …
(5) Melestarikan. Ibarat ungkapan sakamese nanala (menjaga dan
mewarisikannya selama-lamanya), maka patut dilakukan
upaya pelestarian dan pewarisan lintas generasi.
V.4. Religiositas yang Menyatu dengan Alam
Adapun tipologi Religiositas orang Ambon-Kristen yang
menyatu dengan alam, sesungguhnya mengisyaratkan karakter
alami kesadaran dan kearifan religius yang termanifestasi akibat
realitas konteks kehidupan manusia Ambon-Kristen yang berdiam
di negeri dengan alamnya yang eksotis-menawan, menyatukannya,
menantangnya,menghidupinya dan memuliakannya. Bersama dan
melalui alam, manusia Ambon-Kristen hidup, berkarya dan bahkan
berritual.
Ketika mengulas pandangan mereka tentang ritual, Victor
Turner dan Catherine Bell, sama-sama tidak menafikan korelasi
sebuah ritual dengan Lingkungan. Adapun lingkungan yang
dimaksud bukan hanya dalam relasi ekonomi, politik dan sosial,
melainkan pula kaitannya dengan lingkungan alam, di mana
masyarakat itu berada dan mengekspresikan apa yang mereka
alami, rasakan dan harapkan. Korelasi dengan lingkungan alam
tersebut, menyebabkan masyarakat setempat mengformulasikan
dan sekaligus mempertunjukkan (performance) tradisi dan
kepercayaannya terhadap hal-hal yang dipandang tabu dan sakral,
melalui simbol-simbol, yang juga memiliki korelasi dengan
lingkungan alamnya itu sendiri.34
Keterikatan orang Ambon-Maluku dengan alam, dapat
dilihat pada fenomena pola hidup dan religiositas suku Nuaulu,
suku asli di Seram yang masih ada hingga kini. Orang Nuaulu
memiliki keterikatan dengan alam yang sangat kuat, sehingga
membuat mereka selalu menjaga, menata, dan melindungi alam
34 Lihat, Victor Turner, The Ritual Process – Structure and Anti-Structure (Ithaca, New
York: Cornell University Press, 1966), 6,10 dan Catharine Bell, Ritual Perspective Dimensions (New York: Oxford University Press,1997),2-3.
Identifikasi Religiositas Ambon …229
dengan kearifan lokal mereka.35 Sebagian besar ritual-ritual dari
suku asli Seram, seperti Nuaulu dan Huaulu, pada hakikatnya
mengekspresikan tiga relasi yang berkelindan, yaitu: relasi
manusia dengan Tuhan dan leluhurnya, relasi manusia dengan
sesamanya, dan relasi manusia dengan alamnya.36
Dalam penelusurannya tentang sejarah Tuhan, Amstrong
sendiri telah menyatakan bahwa sejak awal sekali, agama telah
membantu umat manusia untuk berhubungan dengan alam dan
mengakarkan diri di dalamnya. Kultus tempat suci telah
mendahului semua refleksi tentang alam dan membantu manusia
menemukan sebuah fokus di semesta yang mencengangkan ini.37
Pendewaan kekuatan-kekuatan alam mengungkapkan ketakjuban
dan kekaguman yang telah senantiasa menjadi bagian dari respons
manusia terhadap alam.
Dalam ritual cuci negeri, salah satu simbol alami yang
menonjol adalah air sumur itu sendiri, sebagai media pemaknaan
pembersihan diri dan lingkungan. Pada salah satu kapata yang
diucapkan, saat berlangsungnya CN Soya, terdapat ungkapan
nasihat, “Wae Werhalouw Neka Kal Ada Puti Puti”, yang inti
maknanya berarti ajakan untuk membersihkan diri dengan air
yang bersih. Ungkapan ini mengisyaratkan sebuah ajakan agar kita
bukan hanya dapat membersihkan diri secara fisik melainkan
pentingnya pembersihan hati dan pikiran, laksana simbol air yang
berguna untuk suatu pembersihan hidup. Dan bagi orang Soya
sendiri, tidak mungkin orang mendapatkan kebersihan dari
sumber (air) yang kotor.38 Oleh karena itu, sumber air itupun patut
dibersihkan, sehingga pada gilirannya dapat membersihkan orang
yang membersihkannya. Dengan begitu, maka penyadaran diri
“kembali ke sumber” menjadi penting. Ketika ada kesalahan yang
35 Abd. Khalik Latuconsina, Pataheri dan Posuno...,Disertasi,76. Banding, Tunny, Beta
Agama Noaulu,107. 36 Bandingkan, Latuconsina, Pataheri dan Posuno, Disertasi, 6. 37Karen armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-
Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun (Bandung: Mizan, 2002),392. 38 Sebagaimana tuturan Bp Thom Tamtelahittu, 55 th(Kepala Soa Pera) dalam
wawancara dengan penulis pada tanggal 7 Desember 2017.
230 Religiositas Ambon-Kristen …
pernah dilakukan, maka manusia perlu membersihkan dirinya
dengan Sang Penguasa kehidupan, dan selanjutnya
diimplementasikan dalam jalinan kehidupan yang bersih (baru)
dengan dirinya, sesamanya dan alam sekitarnya..39
Adapun konsep keterikatan manusia dengan alam, cukup
kuat mengakar dalam religiositas asli orang Seram, sebagaimana
terlihat dalam sikap orang Bati (Seram). Mata rantai sebagai
pengikat antara orang Bati dengan hutan (esu) masih terjaga,
terlindungi secara baik sampai saat ini di tanah Bati, sehingga
kawasan ini tidak dapat dimasuki oleh orang luar sesuka hati
mereka. Memasuki wilayah hutan (esu) di tanah Bati harus melalui
persetujuan orang Bati dan hal itu pun harus didasarkan pada
“niat” yang jelas dan baik, sehingga tidak merusak tatanan hidup
yang sudah tercipta. Dikemukakan dalam kapata orang Bati
tentang pentingnya menjaga relasi dan sekaligus memelihara alam,
yaitu:
Jadi manlo yang bisa tawei nai nini wanuya supaya kela Menggeilu tata anak si darasa. Artinya, Kampung ini tidak mati meninggalkan kita, tetapi kitalah yang akan mati meninggalkan kampung ini.40
Religiositas yang menyatu dengan alam ini dilatari dengan
kesadaran yang kuat pada orang Ambon, yang sangat percaya
kepada tiga kekuatan, yaitu gunung, tanah, dan tete nene moyang.
Diyakini bahwa gunung mewakili unsur langit (laki-laki), tanah
mewakili unsur bumi (perempuan), dan tete nene moyang
mewakili roh para leluhur. Keselarasan, keseimbangan dan
harmoni antara ketiga unsur tersebut akan berdampak pada
kehidupan pribadi, sosial, dan negeri.41 Keselarasan dengan alam
39 Herlina Tomasoa, Gayda Bachmid, Salea-Warouw, Ungkapan Bermakna Budaya
pada Upacara Adat Cuci Negeri Soya di Kota Ambon (Menado: Universitas Sam Ratulangie), Tanpa tahun dan halaman..
40 P.J. Pelupessy, Esuriun Orang Bati (Bogor: Kekal Press, 2013), 258. 41 Huliselan dalam John Chr. Ruhulessin, Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di
Maluku, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana University Press, Program Pascasarjana Progdi Sosiologi Agama UKSW,2005),198-199..
Identifikasi Religiositas Ambon …231
itu pula yang menjadi suatu karakteristik dari orang Noaulu
dengan kepercayaannya, yang tentu berakar pula pada agama
Nunusaku.42
Orang Ambon, Maluku, pada asalinya tidak mengenal
kosakata “tanah air”. melainkan kosakata “gunung tana”. Sebuah
kosakata yang memiliki kandungan kosmologis dan kebatinan
kultural religius yang amat kaya dan mendalam, yang sekaligus
melahirkan ikatan-ikatan lahir-batin dengan negeri
kediamannya.43 Karena, seperti yang direfleksikan oleh Watloly,
bila “gunung” dilihat sebagai pusat dan sumber sejarah
kehidupannya, maka “tanah dan air” merupakan darah dan daging,
dengan pelbagai nilai kehidupannya.44
Air bagi orang Ambon dan Maluku, tidak semata-mata
sebagai unsur material dengan kandungan rumus kimiawi H2O,
melainkan memiliki makna yang mendalam, yang berkorelasi
dengan hakikat keberadaan geografis orang Ambon-Maluku yang
hidup di wilayah kepulauan (lebih dari 80% wilayah Ambon-
Maluku adalah wilayah perairan). Makna korelatif tentang air pun
memiliki kandungan makna filosofis religius kultural, yang terkait
dengan pancaran tiga batang air (tiga aliran sungai utama) yang
terpancar dari Nunusaku, yaitu: Eti, Tala, dan Sapalewa. Bartels
menulis bahwa, dalam tradisi lisan di Ambon-Lease, hampir
dikenal kisah-kisah tentang pembentukan suatu kampung atau
negeri dengan penceritaan keberhasilan seorang kapitang
(pemimpin perang) yang tampil gagah perkasa, yang dengan
kekuatan supranaturalnya menikam tombak ke tanah (tikam
tombak), lalu muncullah air dari sumbernya. Dengan begitu, maka
kehadiran air sekaligus menjadi semacam pertanda kebaikan dan
kecocokan bagi warga atau suatu komunitas untuk menjadikan
tempat itu sebagai tempat kediaman mereka, atau menjadi negeri
defintif.45
42 Bandingkan, M. Azis Tunny., Beta Agama Noaulu (Yogyakarta: Smart
Writing,2013),107. 43 Bandingkan, A. Watloly, Cermin Eksistensi...,399-408 44Ibid, 401. 45 Bartels, Di Bawah Naungan...,29.
232 Religiositas Ambon-Kristen …
Dari latar filosofis historis-kultural tersebut, maka
keterikatan dengan “gunung tana” itulah, yang menyebabkan
orang Ambon begitu selalu rindu pulang kampong(atau akrab
disebut dengan kata mangente negeri), sekalipun berada jauh di
“tanah orang.”Dan bahkan, orang Ambon ~yang memiliki
religiositas yang menyatu dengan alam ini~, sadar betul bahwa
lebih baik ia tidak berjanji untuk pulang kampung, daripada
berjanji tetapi tidak dapat memenuhinya. Bila dalam kenyataannya
ia telah berjanji namun tidak dapat memenuhinya, maka ia akan
berusaha di lain kesempatan, untuk dapat memenuhi janji “pulang
kampung”-nya.
Rasa menyatu manusia Soya-Ambon-Kristen dengan
alamnya menyebabkan ia pun akan bersikap tidak gegabah dalam
membawa dan menentukan waktu kegiatan. Dalam istilah kearifan
lokal, disebut dengan kata tanoar, kotika dan nanaku, sebagai
wujud daripada materialisasi rasio dan religiositasnya, dalam
“membaca” dan “merespons tanda-tanda alam di tengah ruang dan
waktu kehidupannya.46 Kearifan lokal ini menyebabkan manusia
Ambon-Kristen akan mempertimbangkan betul tentang siklus
“Bulan”, ketika ~misalnya~ hendak memotong kayu atau bambu,
dalam rangka membangun rumah. Bila tidak tepat nanaku tanoar,
maka kayu atau bambu tersebut akan gampang dimakan rayap
(zoro).47 Fenomena yang mirip juga berlaku pada ketiga negeri
(Soya, Naku, Hukurila), ketika hendak menentukantanoar yang
tepat bagi pelaksanaan cuci negeri.
Mengakhiri pemaparan tentang religiositas Ambon-Kristen
yang menyatu dengan alamnya ini, kita dapat menyimak
kedalaman batin dan penghayatan religius tersebut, yang
dipadukan dengan karakter religius yang musikal, sebagaimana
terungkap dalam beberapa lagu Ambon, Maluku yang cukup
46 Kemenyatuan dengan alam ini, menyebabkan orang Ambon sering membaca isyarat
hewan di sekitarnya. Salah satu yang sering sekali penulis jumpai adalah suara cicak yang ditandai sebagai suara yang membenarkan narasi seseorang yang sedang bercerita. Lazimnya, setelah bercerita dan mendengarkan suara cicak, maka si pencerita akan memukul tangannya di kursi atau tembok.
47 Resume Hasil FGD di gedung gereja “tua” SOYA, Minggu 17 Desember 2017
Identifikasi Religiositas Ambon …233
populer di kalangan masyarakat Ambon pada khususnya, tetapi
juga sudah merambah hingga ke luar Maluku, bahkan ke
mancanegara, antara lain sebagai berikut:
BETA BERLAYAR JAUH Beta berlayar jauh. Jauh dari ambon, ee ... di tanah orang baru beta manyaesal, ee ... Mengapa beta mau, buang diri bagini jauh dari pangku mama, sungguh asing lawang, ee ... sio apa tempo beta pulang ka Ambon, ee ... Lautan lebar, gunung tapele sio mari mama gendong beta la bawa pulang, dolo, ee ... ka tanah yg kucinta Ambon, manise . . . OMBAK PUTIH-PUTIH Ombak putih-putih, Ombak datang dari laut eh kipas lenso putih tanah Ambon sudah jauh Nusaniwe, nusaniwe dan tanjong Allang eh waktu beta, waktu beta kaluar Ambon eh ombak pukul, ombak pukul di badan kapal ehh, sioh lah hati beta, hati beta sio tak karuan eh
MALUKU TANAH PUSAKA Sio Maluku tampa beta putus pusa e pasir putih aluse, gunung deng tanjong beta seng lupa e Ina Ama lama lawang seng bakudapa e Sio biar jauh bagini e tapi dekat di hati beta e Ref. Dari ujung Halmahera, Sampai Tenggara jauh Katong samua basudara Nusa Ina katong samua dari sana Biar jauh bagini e, beta seng bisa lupa Maluku Tanah pusaka Satu nama satu gandong, satu suku Maluku manise, ..
POHON SAGU Pohon sagu itu suatu hasil di seb’lah Timur, di Maluku, di Maluku Pulau-pulau Selatan, Lease, Seram dan Buru,
234 Religiositas Ambon-Kristen …
itu daerah, daerah Maluku Di kelilingi oleh lautan, yang penuh dengan kekayaan Biru laut tidak ketakutan, tidak dianggap nelayan Oh Maluku, Maluku ku sayang, lagi kucinta Cintaku, selama hidupku...!
Sedangkan bagi orang Soya sendiri, lagu “Gunung Sirimau”
~yang juga cukup lama populer~ memiliki kandungan makna
yang mendalam dan bersejarah hingga kini.
Kandungan makna tersebut sangat memiliki korelasi
dengan ritual CN Soya ~di mana terdapat situs tempayang, tetapi
sekaligus pula menjadi pengungkapan kecintaan orang Soya
dengan alamnya. Syair lengkapnya demikian,48
GUNUNG SIRIMAU Kamu-kamu49 meliputi gunung Sirimau Bungkus pohon dan rumput-rumput meskipun siang Dari dulu sudah ada tempayang di situ Yang selalu mengisi air meskipun t’ra hujan Reff. Sirimau tempat orang berteduh
Melepaskan hati susah dan keluh Sirimau b’ri keteduhan dan ketenangan Bagi orang yang dalam susah dan kebimbangan.
48 Syair lagu tersebut dilampirkan dalam buku panduan sejarah tentang CN Soya,
Lihat, John L. Rehatta,Negeri Soya...,21. 49 Artinya “Kabut”, yang biasanya terdapat di pegunungan. Lihat, Jan Piet Mailoa,
Kamus Bahasa Harian Dialek Orang Ambon (Ambon: Kulibia,2006), 50.
Identifikasi Religiositas Ambon …235
Keterangan Foto:
Dalam keyakinan akan karya penyelamatan Tuhan di tengah
sejarah peradaban manusia pada umumnya dan Soya pada
khususnya, penulis melafaskan doa syukur di lokasi Tempayang
Sirimau, penuhkekhusukan dan kebanggaan bersama alam dan
budaya anak negeri Soya Ambon, seraya memohonkan
hikmatNyaagar penyelamatan Tuhan bagi orang tatua dan para
leluhur di masa lampau, dapat berkelanjutan dalam tanggung
jawab bersama semua pihak, demi eksistensi anak cucu Soya,
Ambon dan Maluku untuk berkiprah di tengah sejarah tanpa
kehilangan religiositasnya yang berdampak.(Sumber:
Dokumentasi Pribadi)
V.5. Religiositas Kapitang
Religiositas Kapitang sesungguhnya mengisyaratkan
tipologi spirit dan karakter religius orang Ambon-Kristen yang
melalui tempaan alam, budaya dan sejarahnya, melahirkan
semangat perjuangan dan pengabdian yang gigih demi membela
kehormatan dan tanggung jawab yang ada pada dirinya.
236 Religiositas Ambon-Kristen …
Benarlah ungkapan ini: Maluku adalah “kepala” dan
Maluku adalah “negeri raja-raja”.50Terlepas dari polemik tentang
etimologi nama Maluku, fakta sejarah yang tak terbantahkan
adalah bahwa, sebagai wilayah kepulauan, hampir dipastikan
bahwa setiap kelompok negeri berada pada statusnya yang
“otonom” dalam memerintah dirinya sendiri. Dalam konteks itulah
maka, sebelum hadirnya jabatan dan terminologi “raja”,
sesungguhnya yang berdaulat di setiap negeri adalah “Kapitang”.51
Fenomena sejarah ini dapat dimengerti, karena dalam sejarah
terbentuk dan survival-nya sebuah negeri di suasana persaingan
dan perebutan wilayah kediaman di antara negeri-negeri di Seram
50Istilah “Maluku” memang memiliki keragaman pandangan yang cukup lama. Leirissa
dalam disertasinya merilis bahwa istilah Maluku tersebut mulanya digunakan untuk empat pusat kerajaan di Maluku Utara (Ternate, Tidore, Bacan, dan Halmahera). Dalam masa VOC kemudian berubah jangkauannya, mencakup Maluku Utara, sebagian Papua, dan Sulawesi Utara. Selanjutnya berkembang lagi meliputi Ambon, Seram Timur dan Nusa Tenggara Timur. Lihat, R.Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo, Pergolakan Sekitar Laut Seram Awal Abad 19 (Jakarta: Balai Pustaka, 1996),16. Sementara bagi bangsa Eropa, nama Maluku itu sendiri tak dapat dimengerti, apalagi pandangan dan kesatuan yang meliputi wilayah yang luas dan beraneka ragam. Andaya mengulas bahwa pada pertengahan abad XVI, Francis Xavier telah diberitahu bahwa kata Maluku berarti “kepala banteng.” Ia menafsirkan hal itu berarti bahwa Ternate, yang rajanya telah disebutkan dalam salah satu tradisi sebagai Raja Maluku, merupakan pemimpin pusat dari kerajaan yang besar. Dengan mengambil dari dokumen-dokumen dari tempat penyimpanan arsip kerajaan Spanyol, Argensola menyetujui penafsiran ini. Fakta bahwa semua penulis kronik dan pengamat bangsa Iberia tampaknya menyetujui bahwa Maluku berarti “kepala” dapat dilacak kepada definisi asli dari Xavier. Hanya pada berabad-abad kemudianlah terdapat upaya penjelasan secara islami, meskipun nama itu telah ada sejak sebelum kedatangan Islam di Maluku pada akhir abad XV. Salah satu ahli sejarah lokal, sebagai contoh, berpendapat bahwa Maluku berasal dari kata Arab malik (muluk) yang berarti “raja” (Dikutip dalam Fraasen, “Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel,” vol.1,hlm.24). Sebuah sajak berbahasa Jawa yang berasal dari abad XIV, Nagarakretagama, memuat bukti pertama mengenai penggunaan istilah Maluku untuk mengacu kepada sebuah kepulauan penghasil cengkih. Lihat, Leonard Y. Andaya, Dunia Maluku, Indonesia Timur Pada Zaman Modern Awal (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2015),38-39. Fenomena yang diuraikan oleh Andaya dapat dimengerti, ketika dalam perkembangan kemudian, rujukan etimologi maluku lebih ditautkan dengan istilah Arab, sebagaimana diungkapkan oleh Toekan dalam tulisannya demikian:”....bangsa Arab menamakan Maluku sebagai “Jazirah Al Mamlakatul Mulukiyah” atau Tanah Raja-Raja, dinukilkan oleh Ibnu Khaldum dalam sebuah karya spektakuler yang berjudul Mukaddimah. Ini karena beberapa wilayah di Maluku diperintah oleh raja-raja. Negeri ini memiliki sejarah raja-raja yang cukup panjang. Lihat, H. Idrus E. Toekan, “Peranan Umat Beragama dalam Membangun Perdamaian yang Berrkelanjutan di Maluku,” artikel dalam: Karel Albert Ralahalu, Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri (ambon: Ralahalu Institut, 2012), 403-404.
51 Bandingkan Elifas Tomix Maspaitella, “Tiga Batu Tungku:... dalam, Menelusuri Identitas....,79-82.
Identifikasi Religiositas Ambon …237
Nusaina, maka posisi dan peran seorang kapitang sangatlah
menentukan. Berkaitan dengan itu, sejarahpun memperlihatkan
bahwa keberadaan Soya di waktu lampau, tercatat sebagai salah
satu dari dua kerajaan yang cukup besar dan berpengaruh di pulau
Ambon (Kerajaan Soya dan kerajaan Hitu). Fenomena Soya sebagai
kerajaan besar dan cukup tua di Ambon, sesungguhnya dilatari
oleh berpengaruhnya religiositas kapitang, sebagaimana
terindikasi dalam ritual CN Soya.
Dalam prosesi ritual CN Soya, bapa Marets Pesulima, tampil
sebagai Kapitang Soya yang berjalan sambil memegang tombak
dan salawaku di depan rombongan pembawa bendera, para saniri
negeri, dan para pemusik,ketika rombongan tersebut hendak
menjemput bapa raja, istri dan para tamu. Posisi dan peran
kapitang yang sedemikian, telah memperlihatkan perwatakan
orang Soya-Ambon-Kristen, untuk tidak gentar tampil dalam
mengerjakan pelbagai aktifitas pionir (yang merintis dan
membuka jalan). Fenomena perwatakan kapitang ini, hampir
jamak dijumpai di negeri-negeri di kawasan pulau Ambon, Seram
dan Lease.52
52Sebagai contoh terhadap fenomena ini, antara lain: Pada tanggal 28 Juli 2018 yang
lalu, tokoh Maluku Karel Albert Ralahalu (mantan gubernur Maluku), dipercayakan mewakili masyarakat Maluku untuk menghadiri pertemuan bersama para tokoh dunia di kota Durres Albania, Eropa. Hasil pertemuan tersebut melahirkan Deklarasi Durres, yang pada intinya mengakui secara obyektif perjuangan kapitang Pattimura, Thomas Matulessy, ketika pada tanggal 15 Mei tahun 1817 mengambil peran dan tanggung jawab penuh sebagai pionir pergerakan kebangkitan nusantara melawan kolonial. Jiwa dan semangat serta religiositas kapitang dalam diri seorang Thomas Matulessy itulah yang mengobarkannya untuk melawan ketidakadilan, penindasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh kolonial Belanda, bahkan sekalipun ia rela dihukum mati dengan cara digantung di lapangan merdeka Ambon. Oleh karena itu, Deklarasi Durres pun mengusulkan agar tanggal 15 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nusantara se-dunia. Deklarasi tersebut, ditandatangani antara lain oleh Presiden Dunia HE, Mr.Djuyoto Suntani, mewakili masyarakat internasional 202 negara, mantan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu me-wakili masyarakat Maluku, Mr Maripaus mewakili masyarakat Nusantara, Mr Rabit Sadiku mewakili masyarakat Eropa Timur dan Mr Franco Cetinich mewakili masyarakat Eropa Barat. Sumber: http://www.siwalimanews.com/post/deklarasi_durres_dorong_15_mei _sebagai_hari_kebangkitan_nusantara Diunduh tanggal 5 Desember 2018.
238 Religiositas Ambon-Kristen …
Keterangan Foto:
Kapitang Soya yang berasal dari marga Pesulima, berjalan di depan
rombongan sambil memegang tombak dan salawaku, menjemput
bapa raja Soya untuk menuju Baileo (Sumber:
http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-
soya-08-desember-2017/)Diunduh 2 Mei 2018.)
Dalam konteks bergereja, religiositas kapitang ini terlihat
sangat memengaruhi geliat partisipasi dan semangat ikhtiar dari
orang Soya-Ambon-Kristen di hampir pelbagai lini aktifitas
bergereja. Fenomena tersebut sangat kuat tampak dalam peran-
serta dan pengorbanan untuk menyukseskan pembangunan fisik
gerejawi. Ketika penulis mewawancarai bapa raja Soya, diperoleh
fenomena religiositas kapitang ini dalam diri bapa raja dan juga
warga Soya pada umumnya, khususnya terkait dengan
pembangunan kembali gedung gereja tua Soya pasca pembakaran
di saat konflik tahun 1999-2000 yang lalu. Bapa raja bertutur, “
Jujur saja, setelah gereja tua habis terbakar, maka yang berkobar
dalam beta pung hati cuma satu. Beta harus berupaya dengan tidak
perlu menunggu bantuan pemerintah, untuk segera membangun
kembali gereja tersebut. Syukur pada Tuhan Yesus, sebab hanya
dalam waktu tidak sampai 1 tahun, gedung gereja Soya telah
Identifikasi Religiositas Ambon …239
dibangun dan diresmikan, dengan corak arsitektur yang nyaris
tidak berbeda dari yang lama.”53
Penuturan bapa raja Soya tersebut, mencerminkan kuatnya
religiositas kapitang dari seorang pemimpin Soya-Ambon-Kristen,
sebagaimana yang disinyalir oleh Goffman tentang peran-peran
agresif yang dimainkan dalam sautu hirarkhi status sosial tertentu.
Suatu tampilan peran “being a viable member of a morally cohesive
social order.” (menjadi anggota yang layak dari tatanan sosial yang
kompak atau kohesif secara moral).54
Hal yang patut dikemukakan pula bahwa, sesungguhnya
faktor alam Maluku, Ambon dan Soya, turut membentuk
perwatakan religius yang bercorak kapitang ini. Selain faktor
internal, diakui pula adanya faktor eksternal yang turut
membentuk religiositas manusia. Sejumlah faktor eksternal
tersebut antara lain, seperti lingkungan alam (geografis). Erickson
menegaskan bahwa relasi ego dengan lingkungan alam, sosio-
budaya dan historis sangatlah penting.Karena selain faktor-faktor
biogenetik, fisiologis dan anatomis, bagi Erickson, seluruh faktor
sosial, alam, budaya dan historis tersebut, sangat signifikan.
Mengikuti (namun sekaligus mengembangkan) pemikiran Freud,
yang menekankan pentingnya bentuk susunan batiniah dalam jiwa
manusia, Erickson melengkapinya dengan menegaskan tentang
pentingnya pengaruh dan dimensi luar, yang disajikan oleh
pelbagai tatanan lembaga kemasyarakatan, kebudayaan dan
sejarah. Dan menurut Erickson, semua dimensi “luar” tersebut,
sangat formatif terhadap proses terjadinya identitas ego setiap
individu.
Dari hampiran teoritik tersebut, sangatlah dapat dipahami,
bila perwatakan religiositas kapitang orang Ambon-Kristen,
memungkinkannya selalu dapat mengambil prakarsa-prakarsa
53 Sumber: Data wawancara penulis dengan raja Soya, bapa Rido Rehatta di rumah
Kayuputih Soya, pada tanggal 30 Juni 2017. Menurut beliau, salah satu motif yang kuat mendorongnya untuk segera membangun kembali gedung gereja tersebut adalah, dorongan untuk membuktikan dan sekaligus menyaksikan kepada “dunia” bahwa iman kita hidup, karena Tuhan yang empunya kita adalah Tuhan yang hidup. Semakin lama membiarkan gedung gereja seperti puing-puing berserakan, maka itu sama saja dengan mempermalukan diri, negeri dan Tuhan yang dipercayai.
54 Branaman, The Goffman reader, lxxiii.
240 Religiositas Ambon-Kristen …
pionir (perintis); mendorongnya untuk mengambil sikap setia dan
bersedia rela berkorban terhadap sesuatu nilai yang diyakini
sebagai sebuah kebenaran. Alam Maluku, Ambon, dan Soya, telah
ikut menempa dan membentuk religiositas orang SoyaAmbon-
Kristen menjadi seorang petarung dan bukan pecundang; seorang
yang tidak gampang menyerah dan putus asa, melainkan tetap
bersemangat. Religiositas kapitang tersebut turut melatari
antusiasme orang Ambon-Kristen bukan hanya dalam konteks
sosial-budaya-politis, melainkan juga dalam gerak aktifitas
misionaris (pekabaran injil) dan pelayanan gerejawi.Cerminan
perwatakan religiositas kapitang tersebut, terkandung dalam
beberapa ungkapan kearifan filosofis kultural dari para leluhur
orang Ambon maupun Soya, antara lain: Lawamena Haulala (maju
terus pantang mundur), Lawamena hiti hala, lawamena
haulala(maju kedepan beramai-ramai kobarkan pertempuran dan
hancurkan musuh); Hotumese (berkembang dalam tantangan),
Mena-Muria (siap muka-belakang). Ungkapan-ungkapan kultural
tersebut pada hakikatnya juga mengisyaratkan bahwa fenomena
religiositas kapitang sama sekali tidak dimaksudkan sebagai suatu
penampakan egoisme-individualis. Namun dalam bingkai
religiositas kapitang, maka posisi diri pribadi dan komunal
ditempatkan secara dialektis dan sinergis, sebagaimana kosa-kata
persaudaraan dalam semangat masohi: laeng tolong-tolong laeng,
laeng tongka-tongka laeng (saling menolong satu dengan yang
lainnya, saling menopang satu dengan yang lainnya).
V.6. Religiositas Orang Basudara
Dari 5 (lima) butir pernyataan yang termaktub dalam
rumusan Deklarasi Kebudayaan Maluku yang diberi judul “Bersatu
Memperkuat Identitas Kemalukuan”, maka pada butir yang ke-
empat, dirumuskan pernyataan sebagai berikut:
Bahwa “Kebudayaan Maluku” adalah jiwa dan spirit orang Maluku; kadar emosionalitas orang Maluku; basis dari cara pandang dan cara berpikir orang Maluku. Oleh karena itu, “Kebudayaan Maluku” harus terus-menerus dirawat dan dikembangkan
Identifikasi Religiositas Ambon …241
sebagai hakikat jati diri yang mencirikan identitas ke-Maluku-an sebagai orang basudara.55
Merujuk pada rumusan monumental tersebut, maka
tipologi Religiositas Orang Basudara, sesungguhnya dimaknai
sebagai kesadaran dan sikap religius orang Ambon-Kristen yang
bertumpu pada penghayatan dirinya yang tidak semata hidup
berorientasi pada kepentingan dirinya sendiri, melainkan selalu
menata relasi dirinya dengan yang lain (sanglian atau the others),
baik dalam bingkai persaudaraan genealogis-kultural maupun
lintas perbedaan dengan siapapun.
Tak dapat dipungkiri bahwa secara umum, spirit
religiositas orang Ambon-Kristen tersebutsangat identik pula
dengan religiositas orang Maluku, khususnya terhadap religiositas
orang basudara ini. Kearifan lokal dengan spirit orang basudara ini
turut melapisi bahkan menghidupi religiositas orang Ambon-
Maluku, sebagaimana yang dikonstatir oleh Watloly ketika
merefleksikan spirit keberagamaan orang basudara yang
dialektis,56
Fanatisme keagamaan itu bukan ‘fanatisme buta’, tetapi fanatisme yang cerdas dalam arus kearifan hidup orang basudara....terbuka pada perbedaan...selalu memandang perbedaan sebagai saudara...bukan musuh. Di mana salam-sarane menjadi titik dialektika (titik konsentris) dan pusat gerakan penghubung atau pemersatu yang merangkul, mengayomi dan saling menghidup-hidupkan kebersamaannya di dalam perbedaan sistim keyakinan yang dimiliki. Salam-Sarane bukan hanya untuk melayani Islam dan Kristen di Maluku, tetapi juga saudara seagama dan keyakinan yang lain...yang mendukung identitas orang basudara....Itulah habitat asli orang beragama dan agama-agama orang basudara di Maluku.
55 LKDM, Menelusuri Identitas...., xx. 56 Aholiab Watloly, Cermin Eksistensi Masyarakat Kepulauan dalam Pembangunan
Bangsa (Jakarta: PT. Intimedia Cipta Nusantara, 2013),345-346.
242 Religiositas Ambon-Kristen …
Tidak ada Salam sejatitanpa saudaranya yang Sarane, juga tidak ada Sarane sejati tanpa saudaranya yang Salam....Spirit keagamaan orang basudara itu telah begitu kuat mendasar dalam membangun kerukunan hidup umat beragama dari bumi Maluku....Akibatnya, pola keberagamaan masyarakat kepulauan Maluku lebih bersifat dialektis, di mana pada satu sisi, pertumbuhan spiritual dan keberagamaannya memiliki akar yang kuat pada warisan teks kitab suci (Islam, Kristen, Hindu, Buddha), namun di sisi lain, mereka masih mempertahankan tradisi adat yang diwarisi, sehingga semuanya berlangsung dalam sebuah hubungan dialektis dengan konteks hidup kekiniannya yang begitu terbuka dengan berbagai tawaran perubahannya yang terus bergonta-ganti.
Makna baru tentang persaudaraan atau orang basudara,
menempatkan perspektif relasi persaudaraan yang terbuka
melintasi batas-batas perbedaan apapun. Dan fenomena religositas
sedemikian dapat dilihat dalam tatanan pengorganisasian
masyarakat adati Soya yang memiliki dua Soa, yakni Soa Pera, yang
dikhususkan kepada kelompok marga yang dipandang sebagai
keturunan asli Soya, dan soa Eraang, yang terbuka ruang untuk
mengakomodir marga pendatang dari latar suku, budaya dan
agama apapun, yang datang dan berdiam dan menjadi penduduk
Soya.57 Fenomena soa pendatang ini pun dijumpai di negeri Naku
dan Hukurila, sebagai perwujudan dari religiositas kultural yang
terbuka dan menjalin siapapun, dari latar belakang manapun, yang
berkeinginan untuk masuk menjadi bagian dalam entitas
komunitas kultural negeri setempat. Bahkan dalam kaitannya
dengan pelaksanaan CN Soya misalnya, perwujudan religiositas
orang basudara ini terungkap melalui keterbukaan ruang dan
partisipasi yang diberikan kepada basudara pela-gandong yang
57 Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation, 125.
Identifikasi Religiositas Ambon …243
islam dari negeri Morela, serta simbol kain gandong yang
dipergunakan dalam ritual CN tersebut.
Dalam konsepsi tentang Politics of Piety dan Hybrid
Religiosity, sesungguhnya terungkap adanya dialektika hidup suatu
kelompok masyarakat dalam keterhubungannya dengan orang lain
(baik dalam konteks relasi basudara maupun yang bukan
basudara). Konsepsi tersebut mengisyaratkan bahwa, pada satu
pihak identitas pribadi dan kelompok beserta pelbagai
“kesalehannya” (entah secara religi maupun budaya) berusaha
untuk dipertahankan, namun pada sisi lainnya, proses pembauran
dan keterbukaan terhadap pihak lain pun tetap tak terhindarkan.
Keterangan Foto:
Tampak beberapa ibu dari basudara pela-gandong asal negeri
Morela (Islam) yang ikut terlibat dalam kegiatan Cuci Negeri di
Soya. (Sumber: http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-
adat-cuci-negeri-soya-08-desember-2017/)Diunduh 2 Mei 2018.
Dalam perspektif yang sama, namun dengan rumusan yang
lain, Nobert Ellias ~ketika menguraikan tentang fenomena
perjumpaan “orang dalam” (the esthablised) dengan “orang luar”
(the outsider)~, mengisyaratkan bahwa betapapun jurang
perbedaan yang melatari “orang dalam-orang luar” tersebut,
namun melalui perjumpaan sosial budaya, religi maupun politik,
proses sivilisasi (civilizing process) keduanya akan terus
berlangsung dalam dua kecenderungan, yakni (1) terdiferensiasi
244 Religiositas Ambon-Kristen …
dan (2) terintegrasi. Fenomena itu pula yang terlihat dari
religiositas orang basudara di balik ritual CN Soya. Perjumpaan
orang Soya asli dengan Soya pendatang, perjumpaan adat budaya
Soya dengan kekristenan, serta perjumpaan orang Soya dengan
orang lainnya yang berbeda budaya dan agama, sama sekali tidak
terluput dari kedua kecenderungan tersebut: selalu mengalami
suatu proses diferensiasi, namun sekaligus pula adanya proses
integrasi.
Lebih jauh, religiositas orangAmbon-Kristen yang
berkarakter orang basudara ini, mendapatkan perspektif yang
mendasar, sebagaimana disampaikan oleh Werinussa selaku Ketua
Sinode GPM, khususnya ketika ia mengitrodusir gagasan GPM
selaku gereja orang basudara (GOB), dalam bingkai kearifan
budaya orang Ambon dan Maluku, antara lain sebagai berikut:58
“....Persaudaaan itu kan warisan adat. Dan ke dalam wadah warisan itu kita tanamkan pesan injil berdasarkan Kejadian 1 ayat 26-27 itu, tentang imago dei (gambar/citra Allah). Bagi beta, PesanAlkitab ini menjadi simpul yang mentautkan kekristenan dengan adat-istiadat tersebut. Jadi, kita semua ini “gambar Allah”. Karena di situlah kemanusiaan kita yang sesungguhnya.
Perspektif GOB ini bukan hanya merangkul kemanusiaan dalam batas-batas keagamaan tertentu, seperti Islam-Kristen, melainkan semua elemen, termasuk agama-agama tradisional adati. Sebab core dari GOB itu terletak pada kemanusiaannya. Terminologi basudara itu memang terminologi kontekstual budaya, tetapi GPM menghidupinya menjadi terminologi yang memiliki muatan teologi. Menurut beta, kita sendiri di Ambon dan Maluku (GPM) yang mengalami dan menghidupinya, yang bisa mengelaborasi fenomena ini daripada orang Barat dengan teologinya. Persenyawaan yang khas antara kekristenan dengan keambonan itulah yang menjadi postur
58 Transkrip Wawancara dengan Pdt. Ates Werinussa.
Identifikasi Religiositas Ambon …245
kekristenan Ambon itu sendiri. Sebagai contoh yang konkret adalah pada saat momentum peresmian gedung gereja Kariu....59
Bagi beta, keagamaan tanpa kebudayaan tidak akan berbentuk. Karena itu agama dan budaya adalah fakta yang tak terelakerangkan di manapun. Itupun juga yang berlaku dengan keyahudian, kekristenan maupun keislaman.”
Dalam perspektif sedemikian, Werinussa lalu
memperhadapkan fakta historis yang mengindikasikan fenomena
religiositas orang basudara tersebut ketika menunjukkan
keterbukaan dan kerelaan dari orang Ambon-Kristen untuk
memberi atau melepaskan tanah warisan leluhurnya, agar dimiliki
pula oleh pelbagai suku bangsa yang datang dari luar. Antara lain
seperti orang Arab yang muslim, orang Cina, orang Jawa, dan
sebagainya. Menurut Werinussa, demikianlah contoh konkret dari
kepribadian dan religiositas Ambon-Kristen itu. Bahkan, ketika
mengakhiri penuturannya, Werinussa memprediksikan bahwa
“Suatu saat kita kan bisa berbeda dengan gereja Jawa atau gereja
Batak misalnya. Karena sebagai orang-orang yang telah
diselamatkan, kita kan juga perlu mencari wajah baru dalam cara
kita menyembah Kristus. Jadi bisa saja ke depan suatu saat, wajah
GPM akan berbeda, termasuk dengan Pengakuan Iman GPM.”60
V.7. Religiositas yang Survive dan Adaptif
Pada tipologi yang ketujuh ini, sesungguhnya yang
dimaksudkan dengan Religiositas yang Survive dan Adaptif adalah,
suatu tipologi kesadaran religius orang Ambon-Kristen yang selalu
menyejarah di tengah pelbagai konteks yang menantang dan
mengitarinya. Kesadaran religius tersebut memungkinkan orang
Ambon-Kristen untuk pada satu pihak memiliki kemampuan
beradaptasi dengan perubahan dan dinamika zaman, dan pada lain
59 Lihat: Lampiran 8. 60 Transkrip Wawancara dengan Pdt. Ates Werinussa.
246 Religiositas Ambon-Kristen …
pihak tidak kehilangan eksistensi dan jati dirinya, baik yang
berhubungan dengan keambonannya maupun kekristenannya.
Gubernur Maluku, Ir Said Assegaf dalam sambutannya di
buku Menelusuri Identitas Kemalukuan, yang diterbitkan oleh
Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku dalam rangka merangkum
tulisan dan hasil pergumulan Kongres Kebudayaan Maluku I,
mengkonstatir adanya 3 (tiga) gelombang asimilasi budaya, yang
dialami oleh Maluku dengan kebudayaannya. Ketiga gelombang
tersebut adalah:61(1) Asimilasi Budaya Gelombang I: Budaya
Maluku dan persentuhan awalnya dengan kebudayaan dunia; (2)
Asimilasi Budaya Gelombang II: Kebudayaan Maluku dalam
Pusaran Kebudayaan Nasional; dan (3) Asimilasi Budaya
Gelombang III: Kebudayaan Maluku dalam geliat hibridisasi
budaya global.
Filosofi di balik pemikiran tersebut di atas, tentunya
mengasumsikan bahwa kebudayaan Maluku~yang di dalamnya
terdapat pula “kebudayaan Ambon”~ tidaklah berada di
kevakuman sejarah dan habitusnya. Dengan kata lain, orang
Ambon dengan budayanya, religiositasnya, peradabannya, dan
segala dinamika historisitasnya, mengalami persentuhan dari
zaman ke zaman, dengan pengaruh yang datang secara eksternal
maupun internal sendiri. Dalam fenomena itulah, kemampuan
untuk survive dan adaptif, menjadi suatu kekuatan alami bagi
manusia Ambon pula. Hidup di tengah alam yang luas menantang
dan penuh misteri, justru telah ikut membentuk religiositas orang
Ambon-Kristen menjadi sebuah religiositas yang bercorak survive
dan adaptif. Tentunya religiositas ini pun dimungkinkan oleh
adanya religiositas yang dialektis dan religiositas yang menyatu
dengan alam tersebut. Pergulatan hidup (struggle of life dan
struggle for life) orang Ambon-Kristen, yang mampu melewati
sejarah peradaban yang panjang, di tengah alam laut-pulaunya
yang menantang, mampu berjumpa dengan agama-agama besar,
61 Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM), Menelusuri Identitas Kemalukuan
(Yogyakarta: Kanisius,2017),v-xii..
Identifikasi Religiositas Ambon …247
bersentuhan dengan kolonialisme, mengadaptasikan eksistensinya
di tengah-tengah negara-bangsa Indonesia semenjak kemerdekaan
hingga pelbagai dinamika pembangunan dan perpolitikannya,
hingga mampu pula memasuki era peradaban milenial
kontemporer, sesungguhnya semuanya itu dimungkinkan oleh
adanya modalitas religius yang survive dan adaptif, dari religiositas
orang Ambon-Kristen itu sendiri. Termasuk dalam realisme itu,
orang Ambon-Kristen merumuskan dan mengartikulasikan
“Tuhan” yang diimaninya dalam bingkai budaya dan aneka
ritualismenya. Sebagaimana yang ditandaskan oleh Nuban Timo,
ketika mengingatkan konstatasi Karen Amstrong, bahwa
“Sepanjang sejarah, manusia membentuk satu gagasan tentang
Allah untuk menjalani hidup. Ketika dirasa bahwa gagasan itu tidak
lagi menolong dia untuk terus berjalan, gagasan itu ditinggalkan,
dianggap usang. Lalu, dia menggumuli lagi gagasan baru.”62
Religiositas yang survive dan adaptif itu, mengisyaratkan
pula kemampuan untuk melakukan re-evaluasi, re-konstruksi, dan
mereformulasikan secara penad jatidiri suatu kelompok
masyarakat pada satu pihak dan pada pihak lainnya menyesuaikan
diri dengan fenomena perkembangan zaman dan budayanya yang
dijumpai. Dalam tahapan IV CN Soya, khususnya pada
prosesisekelompok anak muda Soya yang pergi ke puncak Sirimau
untuk “bersemedi” (matawana) tanpa makan-minum selama
kurang lebih 14 jam, terungkap adanya suatu adaptasi persyaratan
sebagai akibat dari perjumpaan tradisi Soya dengan aturan
kekristenan. Adaptasi tersebut terlihat pada ketentuan yang
diberlakukan secara ketat kepada setiap peserta yang akan terlibat
dalam ritual tersebut, yaitu diprasyarati dengan ketentuan bahwa
yang menjadi peserta haruslah pemuda Soya-Kristen yang telah
diteguhkan menjadi anggota Sidi gereja. Persyaratan ini terlihat
merupakan wujud dari perpaduan penerapan aturan tradisi
62 Ebenhaizer I Nuban Timo, “Ekklesiologi Gereja Protestan Maluku, Keluar dari
Calvinis Menuju ke Pancasilais”, Artikel dalam Rudolf Rahabeat & Johan Robert Saimima (Penyunting), Menuju Gereja Orang Basudara, Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku (Salatiga: UKSW Press & MPH Sinode GPM, 2017),xxi.
248 Religiositas Ambon-Kristen …
kakehang di Seram (Nunusaku, Nusaina) dengan acuan
kedewasaan iman dalam ketentuan sebagai anggota sidi gereja
yang telah menjalani masa katekisasi (pendidikan formal
gerejawi).
Pencermatan lainnya dari fenomena religiositas yang
survive dan adaptif ini, merujuk pula pada teori Erving
Goffman,khususnya tentang performansi dalam kaitannya dengan
kemampuan survive dan adaptif dari seseorang dengan perfomed
character-nya. Menurut Goffman,63 upaya pelibatan diri seseorang
dalam suatu konteks performansi yang bersifat hirarkhi sosial,
akan selalu dilatari dengan dua kecenderungan, yakni (1) upaya
untuk memelihara suatu tindakan sebagaimana yang
diekspektasikan oleh orang lain atau masyarakat, dan (2) upaya
untuk mengeksploitasi suatu tindakan demi apa yang diinginkan
oleh dirinya di hadapan orang lain atau masyarakat. Pada
kecenderungan yang pertama, sebuah performansi akan
selaludisesuaikan dengan aturan main ritual dari suatu tatanan
kehidupan sosial. Sementara pada kecenderungan yang kedua,
pelbagai pertimbangan kalkulatif (“untung-rugi”) lebih menjadi
prioritas dalam penampilan. Dengan begitu maka, penampilan
yang diwujudkan lebih bersifat adaptif. Fenomena tersebut, salah
satunya terindikasi melalui peran-peran dari beberapa petugas CN
Soya, yang pada dirinya melekat “peran ganda”. Misalnya, pada
satu pihak yang bersangkutan sementara menjadi majelis jemaat
(penatua atau diaken). Sementara pada lain pihak, dalam jajaran
pemerintahan adati setempat, yang bersangkutan juga berperan
sebagai salah satu staf saniri negeri atau pemuka adat dari salah
satu soa. Ketika peran ganda tersebut dipertanyakan, dalam
kaitannya dengan peran dan tanggung jawab yang bersangkutan
pada arena gerejawi dan pada arena tradisi-adati, maka hampir
jamak respons yang muncul adalah kutipan penggalan kata-kata
Yesus dalam Alkitab (Matius 22:21): “Berikanlah kepada kaisar apa
63 Frances Chaput Waksler, “Erving Goffman’s Sociology: An Introductory Essay,”
Human Studies...,4; dan Branaman dalam Branaman, The Goffman Reader ...., lxiii.
Identifikasi Religiositas Ambon …249
yang kaisar punya dan kepada Allah apa yang Allah punya”.
Ternyata fenomena jawaban yang sama, penulis temukan juga di
Hukurila maupun di Naku. Sebuah jawaban yang menurut penulis,
sesungguhnya dilatari oleh kemampuan religiositas orang Ambon-
Kristen yang survive dan adaptif tersebut.
Sehubungan dengan itu, dalam perkembangan
kontemporer selanjutnya, fenomena yang patut dicermati adalah
respons religiositas yang survive dan adaptif tersebut, di tengah
perkembangan dinamika dan tantangan kemajuan IPTEK,
khususnya di bidang teknologi infomarsi-komunikasi yang
semakin cepat dan canggih saat ini, sebagaimana diisyaratkan oleh
Manjaruni (direktur Media Center GPM), yang mensinyalir tentang
Radikalisme Online (RO), sebagai fenomena yang kian marak tapi
sekaligus menantang, antara lain melalui media sosial (facebook,
youtube, twitter dan instagram). Menurutnya, “Jika gereja tidak
tanggap terhadap gerakan atau isu RO maka gereja akan
kehilangan bentuknya, gereja menjadi gereja yang tidak berada
pada gelombang yang sama dengan mereka yaitu generasi digital
native.”64 Sinyalemen Manjaruni ini tidak dapat dinafikan. Namun,
dengan modal religiositas yang survive dan adaptif, sangat
dimungkinkan bagi orang Ambon-Kristen (baca: GPM),
dimampukan untuk tidak kehilangan identitas religiusnya di
tengah pusaran modernisasi dan teknologi.
Oleh karena itu, ritual CN Soya patut dilihat pula sebagai
perwujudan dari preserved religious capital orang Soya-Ambon
Kristen, dalam memelihara, mempertahankan, dan mengawetkan
modal religiositasnya sebagai basis dari strategi survival orang
Soya-Ambon Kristen sendiri di tengah ruang dan waktu serta
dinamika pelbagai pengaruh zaman yang mengitari
mereka.65Ketika bercakap dalam kelompok FGD ~dalam rangkaian
64 Maryo Indra Manjaruni, “GPM dan Teknologi Informasi: Bagaimana Respons
Protestantisme Terhadap Perkembangan IT dan Praktiknya? Artikel dalam Rudolf Rahabeat & Johan Robert Saimima (Penyunting), Menuju Gereja Orang Basudara...,276.
65 Bandingkan gagasan dan kesimpulan yang dirumuskan oleh Pariela ketika mencermati fenomena masyarakat Kristen dan Islam Wayame dalam mengupayakan perdamaian di tengah bara konflik Ambon-Maluku, dengan memelihara, mempertahankan
250 Religiositas Ambon-Kristen …
riset yang penulis lakukan di Soya~, diakui oleh peserta FGD
bahwa, religiositas yang survive dan adaptif tersebut, menjadi
tantangan yang tidak mudah, di tengah pengaruh zaman yang
menurut mereka “kian menggila” ini. Namun dengan satu tekad
dan harapan, mereka mengungkapkan sebuah pepatah arif yang
diwarisi dari orangtatua dan para leluhur Soya, demikian, “Bagi
katong, hidup itu tidak tongka langit, karena ada generasi
berikutnya yang harus mewarisi katong dan itulah yang akan
tongka katong pung hidup” (Pengertiannya: “Bagi kami, kami hidup
tidak ditopang oleh langit atau sesuatu yang mengawang atau
tidak jelas; tetapi kami hidup oleh karena ada anak-cucu kami,
sebagai generasi mendatang di bawah kami. Karena itu, kami
harus peduli terhadap apa yang akan kami wariskan kepada
mereka”).66[]
dan mengawetkan modal sosial mereka sebagai basis terhadap strategi survival masyarakat Wayame sendiri. Lihat, Tonny D. Pariela, Damai di Tengah Konflik Maluku – Preserved Social Capital sebagai Basis Survival Strategi, Disertasi (Salatiga: Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW, 2008),66-67.
66 Resume Hasil FGD di gedung gereja “tua” Soya, Minggu 17 Desember 2017.