bab v identifikasi religiositas ambon-kristen

44
207 BAB V IDENTIFIKASI RELIGIOSITAS AMBON-KRISTEN: REFLEKSI FENOMENOLOGIS Sebagaimana telah dikonstatir pada bab I, bahwa pendekatan fenomenologi itu pada hakikatnya berbasis empirik. Dengan konstatasi tersebut, maka refleksi fenomenologi yang dilakukan terhadap religiositas orang Ambon-Kristen ini pun, bertolak dari fenomena empirik, berdasarkan realita konteks dalam hal mana manusia Soya-Ambon-Kristen itu bertumbuh, hidup dan mengartikulasikan religiositasnya. Pendekatan ini relevan dengan pola “keberagamaan dari bawah”, sebagaimana yang dikemukakan oleh Marx, Weber, maupun Durkheim dengan teori mereka tentang agama. Dengan pola keberagamaan yang sedemikian, maka faktor manusia (sebagai masyarakat) dengan sejarah dan kesadarannya, karakter budaya dan perubahannya (evolusi), serta alam dan kepercayaannya, sangat menentukan pembentukan dan penghayatan masyarakat tersebut dengan religiositasnya dan sekaligus respons terhadap apa yang dipandang sebagai yang “sakral” dan yang “profan”. Sehubungan dengan itu, setelah dilakukan penelusuran fenomenologis terhadap Cuci Negeri Soyabeserta diferensiasinya, maka pada bab ini, penulis hendak merumuskan karakteristik religiositas Ambon-Kristen. Kendati patut digarisbawahi pula bahwa, sesungguhnya karakteristik ini berkelindan satu dengan yang lainnya. Namun, pendekatan fenomenologis mengisyaratkan perlunya upaya identifikasi, yang memungkinkan adanya pembacaan terhadap hal-hal yang dominan menonjol dari suatu fenomena. V.1. Religiositas Adati-Ritual Tipologi Religiositas Adati-Ritual ini dimengerti sebagai suatu kesadaran religius yang berakar dan bertumbuh pada pranata-pranata adat-budaya, baik yang datang dari sistem

Upload: khangminh22

Post on 25-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

207

BAB V

IDENTIFIKASI RELIGIOSITAS AMBON-KRISTEN:

REFLEKSI FENOMENOLOGIS

Sebagaimana telah dikonstatir pada bab I, bahwa

pendekatan fenomenologi itu pada hakikatnya berbasis empirik.

Dengan konstatasi tersebut, maka refleksi fenomenologi yang

dilakukan terhadap religiositas orang Ambon-Kristen ini pun,

bertolak dari fenomena empirik, berdasarkan realita konteks

dalam hal mana manusia Soya-Ambon-Kristen itu bertumbuh,

hidup dan mengartikulasikan religiositasnya. Pendekatan ini

relevan dengan pola “keberagamaan dari bawah”, sebagaimana

yang dikemukakan oleh Marx, Weber, maupun Durkheim dengan

teori mereka tentang agama. Dengan pola keberagamaan yang

sedemikian, maka faktor manusia (sebagai masyarakat) dengan

sejarah dan kesadarannya, karakter budaya dan perubahannya

(evolusi), serta alam dan kepercayaannya, sangat menentukan

pembentukan dan penghayatan masyarakat tersebut dengan

religiositasnya dan sekaligus respons terhadap apa yang

dipandang sebagai yang “sakral” dan yang “profan”.

Sehubungan dengan itu, setelah dilakukan penelusuran

fenomenologis terhadap Cuci Negeri Soyabeserta diferensiasinya,

maka pada bab ini, penulis hendak merumuskan karakteristik

religiositas Ambon-Kristen. Kendati patut digarisbawahi pula

bahwa, sesungguhnya karakteristik ini berkelindan satu dengan

yang lainnya. Namun, pendekatan fenomenologis mengisyaratkan

perlunya upaya identifikasi, yang memungkinkan adanya

pembacaan terhadap hal-hal yang dominan menonjol dari suatu

fenomena.

V.1. Religiositas Adati-Ritual

Tipologi Religiositas Adati-Ritual ini dimengerti sebagai

suatu kesadaran religius yang berakar dan bertumbuh pada

pranata-pranata adat-budaya, baik yang datang dari sistem

208 Religiositas Ambon-Kristen …

kepercayaan tradisional, maupun yang dipengaruhi oleh

kepercayaan non-tradisional namun telah di-pakem-kan menjadi

sebuah tatanan adati-ritual orang Ambon-Kristen.

Sebagaimana yang telah dikonstatir oleh Watloly tentang

lapisan sistem kepercayaan orang Maluku1, maka fenomena yang

sama pula tampak dalam lapisan religiositas orang Ambon, yang

ditandai dengan ciri religiositasnya yang adati-ritual. Sehubungan

dengan itu, penting untuk mengingat konstatasiBellah bahwa, bila

lapisan itu laksana tahapan-tahapan (stages) evolutif religiositas

manusia, maka tahapan lapisan tersebut sama sekali tidak berarti

benar-benar ditinggalkan. Sebab, semua tahapan lapisan

sebelumnya terus hidup berdampingan dengan tahapan lainnya,

dan seringkali dalam waktu yang cukup lama, sebagaimana yang

ditulisnya, “No stage is ever completely abandoned; all earlier stages

continue to coexist with and often within later ones”2

Ketika melakukan analisis komparatif terhadap ritual cuci

negeri di Soya dengan yang berlangsung di Naku dan Hukurila,

penulis tiba pada kesimpulan bahwa kendati masing-masing

negeri memiliki perbedaan karakteristik konteksnya (historis,

budaya, dan tahapan ritualnya), namun pada umumnya, ketiga

negeri tersebut memiliki kesamaan dalam hal adanya pertautan

yang kuat antara penghayatan kepercayaan adatinya dengan

kekristenannya, dan saling korelatif pengaruhnya. Korelasi

tersebut, antara lain tercermin pada keterlibatan para pelaku dan

pelbagai ekspresi simbolik, yang dipergunakan dalam cuci negeri

tersebut di masing-masing negerinya. Fenomena tersebut tampak

pada argumentasi sikap adati dan pertanggungjawaban imani dari

para informan kunci dari masing-masing negeri. Ketika ditanyakan

tentang alasan utama dari pentingnya pelaksanaan ritual cuci

negeri dari sudut perspektif orang Kristen, semua informan senada

menjawab, bahwa salah satu alasannya adalah sesuai dengan yang

1 Aholiab Watloly, Cermin Eksistensi Masyarakat Kepulauan dalam Pembangunan

Bangsa (Jakarta: PT. Intimedia Cipta Nusantara 2013), 337-338. 2 Robert Bellah, “Religious Evolution”,dalam American Sociological Review 29:

1964,361.

Identifikasi Religiositas Ambon …209

firman (Alkitab) nyatakan ~dengan mengutip kata-kata Yesus

dalam injil: “Berikanlah kepada kaisar apa yang kaisar punya dan

kepada Allah apa yang Allah punya” (Matius 22:21; Markus 12:17;

Lukas 20:25). Selain itu, semuanya pun dengan tegas menyatakan

bahwa mereka sama sekali tidak menyembah para leluhur selama

berlangsungnya ritual cuci negeri. Menurut mereka, sikap yang

diperlihatkan dalam ritual cuci negeri adalah sikap menghargai

dan mengenang para leluhur dengan hal-hal yang baik, yang telah

diperbuat bagi anak-cucu negeri. Ketegasan dari jawaban ketiga

negeri tersebut, relevan dengan fenomena yang sama, namun

dengan lokus penelusuran yang berbeda (yakni di negeri

Kamarian, kabupaten Seram Bagian Barat), sebagaimana yang

dikonstatir oleh Talupun dalam kesimpulan disertasinyabahwa,

sesungguhnya kepercayaan dan perlakuan kepada para leluhur

(tetenene moyang) bukanlah suatu penyembahan, melainkan suatu

penghormatan.3

Dalam pengulasannya tentang fenomena leluhur yang

turut membingkai religiositas Ambon dan Maluku ini, Tamaela4

menjelaskan bahwa, sesungguhnya di Ambon itu, ada 2 Leluhur,

yakni: (1) Leluhur manusia (human ancestors), dan (2) Leluhur

tuhan (god ancestors). Para tete nene moyang itu tergolong pada

leluhur yang manusia itu. Sedangkan god ancestor itu merupakan

kesadaran dan keyakinan ~jauh sebelum masuknya agama-agama

besar~ tentang adanya sang pencipta, yang disebut dengan bahasa

tanah dengan sebutan: Upu Lanite kai Taipela (Tuhan Langit dan

Bumi). Ketika masuknya Islam pada abad ke-14, maka terjadilah

kombinasi dengan menambahkan kata Allah, Ala, Ilah, menjadi Upu

La Taala,Upukatalla. Di Seram Nualu menjadi Upuku Anahatana;di

Nunusaku menjadi Upu Ilah Kahuresi;di Buru menjadi UpuLastala.5

3Johanna Silavana Talupun, “Pertama Tuhan, Kedua Tete Nene Moyang,Hermeneutik

Poskolonial Terhadap Ulangan 26:1-15 dan Upaya Memahami Praktik Penghormatan Kepada Nenek Moyang dalam Konteks Masyarakat Kamarian”, Disertasi (Yogyakarta: Program Pascasarjana Teologi UKDW, Tidak diterbitkan, 2018), 264 dyb.

4 Transkrip wawancara Jumat 17 November 2017 di Piru. 5 Bandingkan, M. Azis Tunny., Beta Agama Noaulu (Yogyakarta: Smart Writing,2013),

30-31,34.

210 Religiositas Ambon-Kristen …

Selanjutnya pada abad ke-16 masuk Portugis, dengan

memperkenalkan sebutan Noster Pater (Bapa Kami). Kemudian

pada abad 17, masuk Belanda dengan memperkenalkan konsep

Trinitas. Apapun diferensiasi yang terjadi pada paham

“ketuhanan”, namun orang Ambon-Maluku tetap menempatkan

para leluhur dalam “hibridisasi ketuhanan” tersebut, sebagai

wujud rememberance, pengingatan kembali dalam konteks

mengenang dan menghormati mereka.

Fenomena keberagamaan yang adati-kultural sedemikian,

sesungguhnya merupakan fenomena yang lazim berlaku hampir

pada semua agama. Menurut Weber, agama (termasuk konsepsi

tentang Tuhan), sesungguhnya merupakan bagian dari evolusi

budaya dan sistem sosial suatu kelompok masyarakat. Sejalan

dengan itu, sistim kepercayaan dan pemujaan adati merupakan

elemen dasariah yang ada dalam setiap kesadaran religius

kelompok masyarakat, sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Dalam kalimat yang lain, namun memiliki substansi yang sama

dengan apa yang dikemukakan oleh Weber maupun Durkheim,

Titaley mengungkapkan bahwa, “Kesadaran itu ada dalam semua

agama ...lewat pemahaman budayawi mereka. Atau... yang

terungkapkan melalui konseptual bahasa budayawi seperti: orang

Kristen dengan ‘Allah Tritunggal-nya’, orang Toraja dengan ‘Puang

Matua-nya’, Orang Jawa dengan ‘Gusti-nya’.6 Bahkan terkait dengan

formulasi Trinitas pun, menurut Titaley, kekristenan setempat (di

Indonesia) dapat merumuskan corak trinitas yang relevan dengan

konteks budayanya, yang tidak harus sama dan serupa dengan

yang ada di Barat.7Dengan demikian, fenomena perumusan trinitas

versi orang Soya- Ambon-Kristen sebagaimana yang terungkap

dalam doa pasawari mereka yaitu: Kapua Upu Ilah Kahuressy

Lebehanua, Kedua Yang Mahabesar Tuhan kami Isa Almasih, dan

6 John Titaley, “Negara, Agama dan Hak Azasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme

Agama”, Makalah disampaikan pada Sidang Raya PGI, 30 November-4 Desember tahun 2004 di Caringin, Bogor, Tidak diterbitkan,22.

7 John Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga Tiga – Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013,,ii.

Identifikasi Religiositas Ambon …211

Ketiga Rohul Kudus, patut dimengerti sebagai ungkapan

religiositas adati-ritual orang Soya-Ambon-Kristen, yang telah

mengalami proses hibridisasi akibat perjumpaan keambonan

dengan kekristenan.

Sejalan dengan itu, dapat dimengerti pula bila orang

Ambon-Maluku melihat bahwa tatanan adati dan ritual dengan

semua rumusan keberagamaan dan ketuhanannya, merupakan

warisan ketentuan yang arif dan sakral dari para leluhur, demi

kebaikan hidup anak-cucu, yang patut dipelihara dan

diberlakukan. Sebuah semboyan atau kata-kata petuah yang lazim

dikenal di masyarakat Ambon dan Seram (Maluku Tengah), kuat

tertancap dalam memori kolektif anak negeri, melalui pepatah

simbolik, yaitu: “Sei hale hatu, hatu lisa pei, Sei lesi sou, sou lesi ei...”

Yang artinya: “Siapa balik batu, batu tindis dia. Siapa melanggar

sumpah, sumpah bunuh dia.”8

Ketika terjadi perjumpaan keambonan dengan kekristenan,

maka lapisan dasar karakter religiositas yang adati-ritual inipun

lalu turut mewarnai corak kekristenan Ambon. Fenomena tersebut

terlihat dalam karakteristik bergereja orang Ambon-Maluku, yang

cenderung formalistik-ritual dan organisatoris. Sebuah proses

chemistry yang berkelindan, antara karakter gereja “negara”

dengan latar protestantisme warisan calvinisme Belanda dengan

karakter adati-ritual orang Ambon. Begitu kuatnya pertautan ini,

sehingga kekristenan dengan pelbagai ajaran, aturan, ritual dan

simbolisasinya itu sendiri telah dipandang sebagai adat, atau

semacam “adat Kristiani”. Banyak contoh yang dapat dikemukakan

tentang corak ini. Namun beberapa yang dapat disebutkan,

misalnya dalam pola berbusana. Pola berbusana, baik pelayan

(majelis jemaat) maupun warga jemaat, seperti menampakkan

suatu konfigurasi tatanan yang “khas” dan sudah menjadi

semacam “aturan” yang baku, yang patut dihidupi. Hampir jarang

ditemukan seorang Ambon-Kristen pergi ke gereja (ibadah

Minggu) dengan busana “pasar” atau “santai”, terkecuali ibadah di

8 M. Christine Boulan, Uru, Son of The Sunrise. Belgia:1983. Diterjemahkan oleh Saul J.M. Sijauta, Uru, Lelaki dari Matahari Terbit. AmbonL Tanpa Penerbit, 1986, 84.

212 Religiositas Ambon-Kristen …

luar gedung (seperti ibadah pantai, padang, dan sejenisnya).

Fenomena berbusana yang formal-ritual dalam momentum

gerejawi maupun acara adati seperti Cuci Negeri, telah menjadi

semacam pola yang baku. Kendati tak dapat disangkal, bahwa

perkembangan kontemporer dengan trend busananya, turut

merasuki fenomena ini, sebagaimana yang dapat dilihat pada

perbandingan foto di bawah ini.

Keterangan Foto:

Atas: Corak dan Warna Busana yang mirip dipakai oleh para petugas CN

di Soya, Hukurila dan Naku.

Bawah: Fenomena busana adati dalam konteks zaman “now”,

sebagaimana yang dipakai oleh petugaspenabuh gong, yang pada bagian

belakangnya bertuliskan, “New Generation Soya, Move on”, dan busana

adati yang dipadukan dengan celana bermerk jeans, yang dikenakan oleh

salah satu pemuka adat.(Sumber: Dokumentasi Pribadi dan

http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-soya-

08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)

Dalam laporan-laporan tertulis tentang keberadaan hidup

bergereja di masa kolonial misalnya, tercatat ada laporan tentang

Identifikasi Religiositas Ambon …213

busana yang dikenakan oleh seorang pendeta saat berkhotbah,

yang dipandang tidak sepatutnya, dan mendapatkan respons

ketidaksenangan dari kalangan warga jemaat. Melalui surat yang

dibuat oleh Joseph Kam kepada William Carey (ayah dari J. Carey),

yang melaporkan pola busana J. Carey pada saat berkhotbah,

antara lain ditulis demikian:

“Adapun saya terlibat dalam pelayanan gereja yang berdiri di daerah jajahan ini. Untuk itu saya diutus ke bagian dunia. Setiba saya di sini, Paduka Tuan Gubernur Martin membuat saya berkenalan dengan anak Saudara yang baik, Tuan J. Carey.... Saya mengalami pula kesulitan lain. Jemaat tidak senang kalau orang memberitahukan Injil kepada mereka tanpa mengenakan jubah kita yang lazim. (Maksudnya: ketika memimpin ibadah, Jabez Carey tidak mengenakan toga hitam).”9

Di tengah perkembangan kontemporer, pola berbusana

gerejawi ini justru lebih mendapat tempatnya yang khas, ketika

berlangsungnya momentum peneguhan sidi. Pada saat itu, para

calon anggota sidi gereja, mengenakan busana hitam-putih yang

sangat khas dengan motif dan desainnya, yang hampir tidak

dijumpai pada busana calon sidi gereja di gereja non-GPM,

khususnya yang berada di luar Maluku.10

9Ibid,56. 10 Fenomena yang patut dikemukakan juga terkait dengan ini adalah, tentang warga

Ambon-Kristen yang berdiam di Belanda, yang justru dengan bangga dan teguh mempertahankan corak berbusana yang sama dengan yang di Ambon. Bahkan bila diperbandingkan dengan fenomena orang Ambon-Kristen di Belanda, dijumpai bahwa bukan hanya dalam hal berbusana gerejawi yang khas, melainkan dalam praktik bergereja tertentu, orang Ambon Kristen di Belanda lebih menonjol corak religiositas adati-ritualnya, ketimbang orang Ambon-Kristen yang ada di Ambon sendiri. Terhadap fenomena ini kita dapat lihat pada ulasan Teolog Ambon-Belanda, Verry Patty, ketika mengulas tentang praktik Piring Natzar, yang mendapat tempat khusus dalam religiositas orang Ambon-Kristen di Belanda. Sebab bagi mereka, bila pada hari Minggu, gerejalah yang menjadi pusat, maka pada hari Senin hingga Sabtu, piring Natzar-lah (yang terdapat di rumah masing-masing), yang justru menjadi pusat. Menurut Patty, bagi mereka Piring Natzar memiliki dimensi mistik dan menunjuk pada rumah tua dan gunung tanah. Lihat, Verry Patty,”Kebatinan Orang Ambon sebagai Kekuatan Hidup”. Artikel dalam Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM), Menelusuri Identitas..., 169-170.

214 Religiositas Ambon-Kristen …

Adapun corak religiositas yang adati-ritual ini,

sesungguhnya mengisyaratkan kecenderungan hidup bergereja

dengan pola pengorganisasian institusi maupun aktifitas ritual

(ibadah) dan pelayanannya, yang cenderung bersifat rapi-teratur,

sesuai dengan aturan (atau sering juga muncul dengan istilah:

“harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku”), dan bernuansa

serimonial-protokoler. Hampir menjadi wajah yang jamak dari

corak religius orang Soya-Ambon-Kristen, ketika dalam

kehidupannya, ada begitu banyaknya aktifitas ritual-serimonial

gerejawi, yang ~suka atau tidak suka~ “wajib” dilalui, diupayakan

dan dirayakan secara khas dan total. Beberapa momentum ritual

kehidupan, seperti dari kelahiran (hari jadi), pembaptisan (orang

sarane), peneguhan sidi, perkawinan dan kematian, telah menjadi

sangat khas diwarnai dengan nuansa ritual religius Ambon-

Kristen. Momentum ini belum ditambahkan dengan ritual yang

berkaitan dengan peristiwa lainnya, seperti: Perjamuan Kudus

(terlebih di Perjamuan Kudus Jumat Agung), yang sering disebut

pula dengan istilah “gereja basar”(maksudnya: ibadah khusus dan

agung), Ibadah menyongsong Natal pada tanggal 24 Desember

(ibadah malam kajadiang) dan ibadah akhir tahun (ibadah konci

taong) pada tanggal 31 Desember. Fenomena yang tak tersangkali

adalah betapa nuansa hari-hari perayaan tersebut, sungguh-

sungguh mendapatkan respons dan tempat tersendiri dalam

penghayatan religiositas orang Ambon-Kristen.

Corak perayaan yang khas dan total ini~sebagai akibat dari

religiositas Ambon-Kristen yang adati-ritual tersebut~, patut

diakui turut menimbulkan sejumlah ironi, yang hingga kini, tidak

mudah untuk dilakukan pembatasan, apalagi penghapusan total.

Ironisme tersebut misalnya tampak dalam perayaan pesta-pesta

baptisan dan peneguhan sidi. Hampir tak dapat dipungkiri realita

tentang upaya “habis-habisan” yang dilakukan oleh sebuah

keluarga (tidak pandang status sosial dan latar belakang ekonomi

dari keluarga tersebut), terkait dengan momentum ritual tersebut.

Fenomena ini kian ditambahkan pula dengan ritual syukuran

lainnya, seperti Nikah, Wisuda, Ulang Tahun, dan sebagainya.

Identifikasi Religiositas Ambon …215

Begitu banyaknya frekuensi pesta dan syukuran yang dilakukan,

sehingga muncullah semacam ungkapan sinisme, “Orang Ambon-

Kristen itu, hampir seng ada hidup tanpa pesta deng syukuran.”11

Sementara itu, ironisme lainnya, terlihat pada aktifitas

pembangunan gedung-gedung gereja baru. Tidak jarang kita

menemukan, berdirinya gedung gereja yang kokoh, megah, dengan

pembiayaan yang ratusan juta bahkan milyaran rupiah, dibangun

di tengah sebuah komunitas negeri atau jemaat, yang secara riil

mungkin memiliki tingkat pendapatan ekonomi menengah ke

bawah. Namun terhadap fenomena ini pun, jemaat pada umumnya

tidak melihatnya sebagai beban, bahkan justru akan merasa

bangga dan bersyukur, ketika memiliki gedung gereja yang

dipandang cukup fenomenal. Sekali lagi, fenomena sedemikian,

sudah cukup kuat dan lama berurat-akar dalam religiositas

Ambon-Kristen, tidak peduli dengan segala “ironisme”-nya.

Sebagai gereja yang “cukup tua”, tentunya GPM memiliki

warisan protestantisme-calvinis yang cukup lama dihidupi dan

dapat dikatakan telah merasuki sendi-sendi kehidupan bergereja,

yang telah berkelindan dengan karakter budaya orang Ambon,

Maluku. Suatu fenomena yang mengisyaratkan bahwa upaya

perubahan dan pembaruan dalam lingkup gerejawi dan

masyarakat (adat), tidaklah semudah membalikkan telapak

tangan, kendati bukan berarti tidak mungkin. Sudah cukup lama

fenomena ini dicatat oleh Cooley sendiri bahwa, “Pendeta yang

mencoba memperkenalkan sesuatu perubahan dalam hal liturgi

atau membuat pembaruan atas pola tradisional dari ibadat gereja,

pasti akan menghadapi reaksi yang keras, terutama dari kalangan

orang-orang tua.”12

Dampak lainnya dari corak religiositas ini, terlihat pula

pada sikap penghormatan atau perlakuan yang istimewa kepada

simbol-simbol dan tokoh utama religius, dan bahkan terhadap

benda-benda ritual tertentu (seperti alkitab, salib, gedung gereja,

11Terjemahannya: “Orang Ambon-Kristen itu, hampir tidak hidup tanpa mengadakan

pesta syukuran”. Bandingkan, Cooley, Mimbar dan Takhta...,308. 12 Ibid.,274.

216 Religiositas Ambon-Kristen …

roti dan anggur perjamuan, air baptisan, uang natzar dan

sebagainya), yang cenderung sangat disakralkan, bahkan ada yang

dimagiskan. Orang Ambon-Kristen akan sangat menempatkan

sosok pendeta dalam sikap kepatuhan dan penghormatannya.

Bahkan ketika pendeta tertentu melakukan kesalahan, dalam

batas-batas tertentu, seorang Ambon-Kristen akan berkata, “Biar

nanti Tuangala jua yang hukum dia, maar katong jangan coba-coba

balas atau biking apa-apa dengan pandita tuh”(Terjemahan:

Biarkan saja, nanti Tuhan Allah saja yang menghukum pendeta

yang bersangkutan, tetapi kita tidak usah membalas apapun

terhadap si pendeta itu).13

Adapun fenomena religiositas seperti ini, dapat dimengerti

melalui perspektif tabu yang dikemukakan oleh Weber dan

Durkheim. Menurut Weber, akar dari gagasan tentang tabu itu

disebabkan adanya keyakinan tentang masuknya “roh” ke dalam

seseorang atau suatu benda. Roh tersebut dapat dianggap suci atau

kotor. Dengan begitu maka diharapkan tidak ada yang boleh

mengganggu roh tersebut, karena dapat membahayakan. Ketika

Durkheim menempatkan masyarakat sebagai basis

keberagamaan, maka ketika masyarakat memandang seseorang

merupakan representasi energi yang berpengaruh pula terhadap

masyarakat itu sendiri, maka seseorang tersebut lalu mendapat

perlakuan dan tempat yang istimewa. Dalam perspektif inilah, kita

dapat memahami tentang religiostias orang Soya-Ambon-Kristen,

yang sangat kuat terhadap tokoh spiritual seperti pendeta, yang

dalam bingkai penghayatan adati, disejajarkan dengan mauweng

(semacam pendeta adat dalam tatanan masyarakat adati).

13 Fenomena penghormatan dan kepatuhan terhadap orang yang sangat dihormati

seperti pendeta ini, dapat dimengerti bila melihat akar korelasinya dengan salah satu fenomena taboo (tabu) dalam masyarakat asli (Alifuru) Seram, yaitu suku Huaulu yang masih ada hingga kini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Valeri dalam temuannya. Antara lain bahwa: mereka harus menjaga harus menjaga penghormatan kepada seseorang yang dipandang memiliki otoritas sebagai orang tua atau dipandang memiliki kualifikasi otoritas yang istimewa. Hal ini merupakan tabu pertama dari 5 (lima) tabu di masyarakat Huaulu, dalam kaitannya dengan moralitas dasar mereka untuk tidak “bikin malu”, atau dalam ungkapan bahasa aslinya membuat Ita Mukae (kita atau kami malu!). Lihat, Valerio Valeri, The Forest of Taboos, Morality, Hunting, and Identity Among the Huaulu of the Moluccas (Madison, Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 2000),403.

Identifikasi Religiositas Ambon …217

Ketua Sinode GPM saat ini, Pdt..A.J.S. (Ates) Werinussa,

dalam tanggapannya terhadap fenomena religiositas Ambon yang

adati-ritual, justru lebih cenderung untuk memetaforakan

religiositas Ambon-Kristen itu bukan sebagai “kekristenan kue

lapis”, tetapi “kekristenan bruder sageru”14. Werinussa

mengandaikan, bahwa bruder-nya bisa bernuansa kekristenan

(barat), tetapi sentuhan sageru-nya itu harus bernuansa

tradisional Ambon, Maluku. Bahkan, menurutnya, kenikmatan kue

tersebut justru ada di “sageru”-nya itu. Sebab menurutnya, dengan

mengambil sentuhan budaya lokal, maka hal itu akan memperkaya

kekristenan itu sendiri. Secara kritis, Werinussa justru

mempertajam pandangannya ini dengan memunculkan

pertanyaan retorik: “Apakah salah dengan kekristenan Ambon yang

menghidupi pengajaran Yesus dengan tetap menempatkannya

dalam bentuk dan bingkai tradisi-tradisi tradisional dan adat

istiadat kami di Ambon dan Maluku, yang tidak sama dengan yang

lain, misalnya dari Barat ?”15 Sebuah pertanyaan retorik tetapi

sekaligus pula reflektif, yang menantang sikap dan

pertanggungjawaban kritis teologis-kultural terhadap apa

14 Kue Lapis adalah jenis kue dari tepung terigu yang berbentuk lapisan beberapa

warna (antara lain merah, putih dan hijau). Analogi “kue lapis” ini telah lama muncul di kalangan para sejarahwan atau antropologi agama tentang kekristenan Ambon. Sedangkan kue bruder sageru, adalah sejenis cake yang cukup populer di kalangan warga Ambon, dibuat dengan turut menggunakan sageru (minuman arak lokal) sebagai salah satu bahan yang dicampur untuk memberikan aroma kenikmatan yang khas.

15 Transkrip wawancara, tanggal 18 Oktober 2017. Bahkan dengan melakukan

perbandingan kontemporer antara kekristenan Ambon yang adati dengan kekristenan

Barat saat ini, beliau dengan kritis dan lugas melanjutkan pertanyaan retorik tersebut

dengan kalimat: “Kita harus meyakini, bahwa salah satu buktinya adalah ternyata dari dulu

hingga kini, orang Maluku berbicara tentang tete nene moyang, tetapi mereka tidak punah,

mereka tetap eksist hingga kini. Itu berarti kasih karunia Allah masih menyertai mereka.

Kecuali kalau berbicara tentang tete nene moyang lalu katong punah. Sementara fenomena

yang terbalik justru sementara berlangsung di Barat. Mereka yang mengagung-agungkan

kekrisitenan Barat, tapi coba lihat, apa yang terjadi sekarang justru merupakan fenomena

yang menyedihkan. Muncul kebebasan seksual, kapitalisme dan eksploitasi yang

menyengsarakan rakyat dan penghancuran lingkungan, individualisme, hedonisme, dan

pelbagai hal yang lebih membawa kekuatiran. Itu semua adalah produk kekristenan Barat.

Dan karena itu kita tidak perlu harus mati-matian belajar atau berkiblat ke sana. Kita sendiri

bisa menjadi jatidiri kita sendiri. Termasuk penghargaan terhadap alam dan budaya kita

yang kaya ini.”

218 Religiositas Ambon-Kristen …

sesungguhnya yang dapat dilakukan dalam menyikapi fenomena

religiositas yang sedemikian. Sebab, seperti yang diingatkan oleh

Lattu, bahwa betapapun upaya kita untuk menegasikan atau

mengkristenisasikan warisan tradisional adati itu, namun sama

sekali tidak dapat mengubahkan bentuk dan substansi dari

kepercayaan dan adat tradisional dari the local indigenous rituals,16

termasuk dalam hal ini, ritual cuci negeri, seperti yang berlangsung

di Soya.

V.2. Religiositas Dialektis

Adapun yang dimaksudkan dengan Religiositas Dialektis

ini adalah suatu tipologi kesadaran religius orang Ambon-Kristen

yang dibentuk dan membentuk kesadarannya dari sebuah proses

dialektika antara yang individualitas dan sosialitas, kesamaan dan

perbedaan, tertutup (eksklusif) dan terbuka (inklusif), dan

merangkul sekaligus mengkritisi pelbagai polarisasi yang ada

(misalnya antara agama dan adat; orang dalam dan orang luar; dan

sebagainya). Tak dapat dipungkiri bawah fenomena religiositas ini

berkorelasi dengan karakter manusia Ambon-Maluku yang

dialektis, sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian

penelusuran filosofis-kultural dan perwatakan orang Ambon.

Artinya, religiositas Ambon-Kristen yang sedemikian, tidak sama

sekali lahir dan terbentuk dalam ruang hampa pengaruh,

melainkan terajut melalui jalinan-jalinan kultural-budayawi

sebagai manusia Ambon yang juga berkarakter yang sama.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Hick, bahwa

sesungguhnya pemahaman dan kesadaran tentang Tuhan,

sangatlah berkorelasi dengan sejarah dan budaya manusia, yang

pada gilirannya berkaitan pula dengan kondisi geografis, iklim dan

16 Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,123. Cooley (dalam

Cooley, Mimbar dan Takhta....,195), bahkan mencatat bahwa upaya penyederhanaan ritual CN Soya telah diupayakan cukup lama, namun dalam pencermatan penulis, sama dengan yang dikonstatir oleh Lattu, penyederhanaan itu pun sama sekali tidak mengubah esensi tradisional adati dari ritual tersebut, sebagaimana yang berlangsung hingga saat ini.

Identifikasi Religiositas Ambon …219

ekonomi, psikososialnya, dan sebagainya.17 Konstatasi Hick

relevan, karena melalui ekspresi budayawi dalam simbol-simbol

suatu ritual, maka manusia mengungkapkan rasa menyatu, baik

dalam komunitasnya maupun dengan alam semesta.18 Upacara-

upacara ritual yang dilakukan itu, dapat dipandang sebagai

pernyataan simbolis yang teratur dalam suasana hati struktur

fondasi religius (sentimen) tertentu.19

Religiositas yang dialektis ini, hampir terlihat dalam

praktik ritual cuci negeri, yang fenomenanya bukan hanya tampak

di Soya, tetapi juga terlihat di Naku dan Hukurila. Perlakuan dalam

memadukan adat-tradisi dengan unsur-unsur kekristenan

tersebut, dapat dimungkinkan oleh adanya fenomena religius yang

dialektis. Sebagai contoh, dalam penentuan waktu (tanoar)

terhadap pelaksanaan ritual cuci negeri, semua negeri

menempatkan momentum pelaksanaannya yang setahun sekali itu

dalam bulan Desember. Hampir semua negeri memberikan

argumentasi yang sama,20 tentang korelasi penentuan waktu

tersebut dengan momentum ritual kristiani dari minggu-minggu

Adventus, Natal, Kunci Tahun dan Tahun Baru, dengan pemaknaan

tentang pentingnya “pembersihan dan pembaharuan” hidup

pribadi, keluarga dan negeri dalam penghayatan hari-hari ritual

kristiani tersebut.

Dengan identitas religius yang dialektis ini, ketiga negeri

menatakembangkan ritual cuci negeri dengan sebuah format ritual

yang dapat penulis sebut sebagai formasi “terbuka sekaligus

tertutup”. Formasi sedemikian tampak misalnya dalam

17 John Hick, The Fifth Dimension: An Exploration of the Spiritual Realm (Oxford: One

World,1999),50-52. 18 Noerid H Radam, Religi Orang Bukit (Yogyakarta: Semesta, 2001),1-2. 19Ibid. 20 Alasan yang sedikit berbeda penulis jumpai di Soya, yang beralasan bahwa

penentuan waktu bulan Desember itu telah ditentukan oleh para leluhur. Dan hal itu berkaitan dengan pemahaman orangtatua dolo-dolo (para leluhur), bahwa pada bulan Desember itu adalah waktu datangnya angin Barat (musim Barat). Seiring dengan datangnya angin Barat, datang pula para datuk atau leluhur. Selain itu, sehabis musim Timur (Penghujan) biasanya terjadi tanah longsor, atap rumah bocor, jembatan rusak, sumur-sumur kotor, dan banyak hal lagi yang harus diperbaiki dan dibaharui. Bandingkan, Transkrip wawancara dengan bapa raja Soya, opa Huwa’a (kepala soa adat Soya) dan bapa Ateng Huwa’a. Lihat pula John L Rehatta, Negeri Soya...,10.

220 Religiositas Ambon-Kristen …

menempatkan secara dialektis posisi dan peran agama (dalam hal

ini gereja) dalam konteks adat. Pada semua negeri (kebetulan

beragama Kristen, jemaat GPM Soya, Naku, dan Hukurila),

pelibatan Pendeta dan majelis jemaat setempat dalam prosesi

ritual cuci negeri, bersifat mutlak.21 Bahkan dapat dikatakan bahwa

sebuah ritual cuci negeri saat ini,akan dianggap “tidak sah” apabila

tanpa keterlibatan dari unsur tokoh dan pelayan gerejawi

setempat. Sekalipun demikian, hal yang hampir tidak berbeda juga

berlaku dalam kaitannya dengan pemberian ruang dan partisipasi

dari “orang dalam dan orang luar”, termasuk antar basudara pela-

gandong. Corak dialektika tersebut menghasilkan pula sikap

“tertutup dan sekaligus terbuka” dalam pelibatan warga asli dan

warga pendatang (termasuk kaum pela-gandong). Orang atau

marga “luar” dirangkul melalui “soa bebas atau soa pendatang”,

tapi sekaligus dibatasi untuk tidak dapat mengikuti secara bebas

tahapan-tahapan ritual tertentu, yang hanya dikhususkan bagi

marga atau soa tertentu pula (yang bukan pendatang).

Fenomena religiositas Ambon-Kristen yang dialektis ini,

dapat dimengerti bila merujuk pada konstatasi Bellah, yang

menegaskan bahwa dari tahapan-tahapan evolusi agama suatu

kelompok masyarakat, sesungguhnya tidak ada tahapan yang

sepenuhnya memudar. Karena semua tahap yang lebih dulu, akan

terus ada bersamaan dengan tahapan yang berikutnya, dan

seringkali juga ada dalam tahapan yang lebih belakangan. Itulah

sebabnya, kendati telah mengalami perjumpaan dan pembauran

21 Hal ini dapat dimengerti karena dalam struktur pemerintahan adati di Ambon,

Maluku, ada posisi petugas ritual-adat atau “pendeta” di Kakehan yang disebut dengan istilah “Mauweng”. Dan posisi Mauweng saat ini ditempatkan sebagai kepala soa adat. Dialektika tersebut terlihat dalam pelaksanaan tugas antara pendeta adat dengan pendeta jemaat. Dalam moment ritual adat cuci negeri, memang dihadirkan, namun hanya memimpin doa dalam tahapan-tahapan tertentu saja. Misalnya pada saat tahapan Rapat Saniri Negeri, agenda makan bersama, atau acara syukuran untuk mengakhiri seluruh rangkaian ritual cuci negeri. Selain itu, peran doa adat (pasawari) dibawakan oleh mauweng. Dalam diferensiasi kemudian, Mauweng ini dimaknai baru dengan menempatkan tokoh agama setempat. Bartels dalam penelusurannya, menemukan “pengadopsian” Mauweng tersebut di Islam Ambon misalnya terjadi di Hatuhaha (kelompok negeri Muslim di pulau Haruku), yang menggantikan mauweng besar dengan kadli (berasal dari kata kadi, yang berarti hakim Islam). Lihat: Bartels, Di Bawah Naungan....,306,310.

Identifikasi Religiositas Ambon …221

dengan kekristenan, namun elemen dasar keambonan yang

melatari religiositas orang Ambon-Kristen, yang bercorak

tradisional-adati, tidak pernah akan memudar. Religiositas yang

dialektis dan tidak pernah memudar tersebut,memungkinkan pula

adanya keterhubungan antar pelbagai pihak yang berbeda latar

apapun, termasuk di antara salam dan sarane, yang memiliki akar

kekerabatan adati bagi orang Ambon pada khususnya dan Maluku

pada umumnya.22

Dalam konteks ini, Tamaela justru lebih konkret dan

menohok, ketika menempatkan fenomena religiositas yang

dialektis ini dengan contoh kasusritual cuci negeri. Menurutnya,

bila pemaknaan tentang “pembersihan diri” dalam bingkai

dialektika, maka kita dapat membandingkannya pula dengan ritual

pinamou atau posuno yang berlangsung di Noaulu Seram. Dalam

ritual tersebut, seorang perempuan yang mendapatkan menstruasi

pertama, harus mengalami ritual “pembersihan diri” untuk durasi

waktu tertentu. Sampai tiba saatnya ia, yang sudah “bersih”, baru

bisa kembali terintegrasi dengan keluarga dan masyarakat.23

Contoh lainnya pula, menurut Tamaela, dialektika itu dapat

terlihat pada mitos Hainuwele dan pica Nunusaku, yang pada

hakikatnyamemberikan pemaknaan tentang pembersihan dari

segala yang jahat. Konflik atau perpecahan Nunusaku itupun mesti

dilihat dalam kesadaran dialektika atau heka-leka itu. Hancur dulu

baru menyatu hidup kembali !24

Religiositas orang Ambon-Kristen yang dialektis ini

senyawa dengan karakter atau perwatakannya, sebagaimana yang

telah dikemukakan pada bab IV. Melalui religiositas yang

sedemikian, kita dapat mengerti, bagaimana corak religiositas ini

terimplementasi melalui perlakuan yang dialektikal, antara lain:

yang membuatnya bisa penuh emosional tapi juga bisa sangat

22 Aholiab Watloly, Cermin Eksistensi....,344- 347. 23 Transkrip Wawancara dengan Pdt. Christian Tamaela. Untuk ritual pinamou, Lihat,

Azis Tuni, Beta Agama Noaulu,73-76. 24 Menurut Tamaela, dialektika itu tampak pada simbol Siwalima dan tarian maru-

maru, yang bergerak dari Kanan ke Kiri, arah terbalik jarum jam. Arah terbalik itu bermakna

arah kembali, kembali balik ke arah yang baik.

222 Religiositas Ambon-Kristen …

sentimental; bisa cepat marah meluap-luap, tapi juga bisa cepat

meneteskan airmata; bisa geram melihat ketidakbenaran dan

sekaligus membela yang dipandang benar, tetapi sekaligus bisa

cepat pula memaafkan (dan berdamai) dengan pihak yang salah;

bisa kelihatan sangat egois dan individualistis, namun pada sisi

lainnya bisa terlihat begitu sangat sosial, memperjuangkan

kepentingan orang banyak. Corak religiositas inipun berkorelasi

dengan keenam religiositas lainnya.

V.3. Religiositas Musikal

“Orang Ambon-Maluku itu, waktu lahir lagi, suara

tangisannya sudah seperti bayi yang bernyanyi.” Demikianlah

ungkapan hiperbolis yang sering terucap, baik dari pihak orang

Ambon sendiri, tetapi juga semacam pengakuan dari orang luar

Ambon.25Oleh sebab itu, Religiositas Musikal ini dimengerti

sebagai sebuah ekspresi kesadaran orang Ambon-Kristen dalam

mengartikulasikan potensi musikalitasnya melalui pelbagai cara di

pelbagai ruang dan waktu kehidupannya.

Hampir dapat diduga, bahwa penetapan kota Ambon

sebagai City of Music oleh Pemerintah Kota Ambon, bukanlah

tanpa alasan, kalau bukan karena ada kenyataan riil dari potensi,

bakat, dan karakteristik orang Ambon yang kuat bersentuhan

dengan dunia musikal. Sehubungan dengan potensi yang

fenomenaltersebut, Tamaela justru mengkonstatir bahwa

sebenarnya yang tepat bukan hanya sebagai city of music, tapi

seharusnya disebut the island of music, bagi Ambon pada

khususnya dan Maluku pada umumnya. Oleh karena, menurut

Tamaela,wilayah Maluku yang kepulauan, archiphelago, adalah

wilayah alam yang musikal. Ia pun berujar, “Coba lihat,...hembusan

angin, suara ombak, dedaunan, margasatwa bahkan gemerisik pasir

25 Ungkapan seperti ini kerap penulis dengar, karena sering terlibat dalam kegiatan

PESPARAWI (Pesta Paduan Suara Gerejawi), baik untuk kalangan umum maupun yang khusus bagi Mahasiswa. Ungkapannya kian bergema, terlebih lagi bila kontingen PESPARAWI dari Ambon atau Maluku keluar sebagai pemenang.

Identifikasi Religiositas Ambon …223

pun bermusik, semuanya melahirkan suatu resonansi.”26 Baginya,

alam kita, Ambon dan Maluku ini, adalah alam resonansi musik.

Hal itu disebabkan kita memiliki alam yang terbuka. Pulau Ambon

sendiri, dalam pandangan Tamaela, merupakan suatu alat musik.

Karena topografi alam yang berlekak-lekuk, ada gunung dan

lembah yang menghasilkan gaung atau gema. Tetapi sekaligus juga

alam musikal tersebut melahirkan harmonisasi, karena musik

itupun sebuah harmoni. Jadi, ada harmoni alam di Ambon ini.

Menurutnya, alam menyebabkan cara berbicara orang Ambon

dengan nada dan dinamikanya mirip orang Afrika, yakni berbicara

dengan suara besar. Bahkan dengan alam yang menantang dan

sekaligus membentuk suaranya, maka orang Maluku itupun bisa

bernyanyi saat mencari dan mendapatkan ikan, atau saat memetik

buah (cengkeh-pala). Karena itu, melalui alam, maka manusia

Ambon-maluku menjadi manusia melodis, manusia musikal, dan

manusia harmoni.

Alam Soya, alam Ambon dan alam Malukuyang musikal

serta sekaligus indah itu, melahirkan sense of music dan sekaligus

juga sense of beauty. Itulah sebabnya, Tamaela menambahkan,

muncul ungkapan: “biar katong ada di mana lae, tapi katong rindu

pulang ke Ambon, Maluku.” Alam Ambon dan Maluku dengan

landscape yang khas dan indah serta kaya dengan pelbagai flora

dan faunanya, hutan, gunung dan lautannya, melahirkan ikatan

batin dan religiositas yang menyatu kuat dengan alam.

Karakter asali manusia Ambon-Maluku yang musikal

tersebut, melahirkan nyanyian-nyanyian Kapatadan Suhat, yang

melaluinyaorang Ambon-Maluku bernyanyi dan badendang.

Ekspresi musikal tersebut menjadi saluran pengungkapan hidup

dengan pelbagai kisahnya, sejarahnya, ekspresi religiusnya dan

pelbagai muatan-muatan memori kolektif yang sarat makna.

Sebagaimana yang ditandaskan oleh Lattu, melalui Kapata kita

dapat menemukan pula sumber-sumber pengetahuan dan kearifan

lokal, sejarah, sapaan, dan lamentasi dari suatu komunal di

26 Transkrip Wawancaa dengan Chr. Tamaela.

224 Religiositas Ambon-Kristen …

Ambon.27Fenomena nyanyian adati tersebut sangat menyatu erat

dengan ritual Cuci Negeri, baik yang berlangsung di Soya, maupun

di Hukurila dan Naku. Nuansa musikal tersebut terlibat dari

peralatan musik tifa-gong yang dipergunakan di ketiga negeri

tersebut. Demikian pula dengan Kapata. Secara khusus di Soya,

Suhat merupakan sejenis nyanyian adati yang sangat populer,

namun tidak sembarang orang bisa menjadi “biduan tunggal atau

soloist”-nya. Singkatnya, Soya pada khususnya dan Ambon pada

umumnya, seperti memiliki warisan genetika musikal yang

mengalir secara alami.

Senada dengan itu, Tamaela pun dalam kajian disertasinya

tentang kontekstualisasi musik dan liturgi di GPM, tiba pada

kesimpulan bahwa indegenous music sangat kuat berakar dalam

tradisi dan budaya orang Maluku, baik musik instrumental

maupun musik vokal.28 Pada pencermatan lainnya, Watloly

menggarisbawahi pernyataan Tanamal, yang mengkonstatir

bahwa Manusia Ambon-Maluku adalah manusia yang musikal,

periang, suka bernyanyi dan berdendang di tengah alamnya yang

keras dan ganas, baik di laut maupun darat, di musim hujan atau

panas. Semuanya membuat anak negeri Ambon-Maluku menjadi

manusia yang dialektis, lembut tetapi juga keras dan tidak kenal

rasa takut (pemberani).29 Lebih jauh, ketika mendeskripsikan

tipologi Manusia Maluku yang musikal, Watloly, antara lain

menyatakan bahwa “Musik anak negeri, bukan sekadar imajinasi

seni, tetapi lebih merupakan ungkapan kebatinan alami yang kaya

dan menyatu kuat dengan gunung tana, sejarah kekerabatan

(persekutuan hidup), dan kampung halamannya.”30

Lapisan karakter manusia Ambon-Maluku yang musikal ini,

seakan mendapatkan ruang dan wadah ekspresi religiositasnya,

ketika masuk Kekristenan Barat, dengan menghadirkan pelbagai

27 Izak Yohan Matriks Lattu, Disertation..., 64-65. 28 Izaac Christian Tamaela, Contextualization of Music and Liturgy in the Moluccan

Church, With special Reference to the Protestant Church of the Moluccas, Dissertation, Unpublished(Amsterdam: Vrije Universiteit, 2015),37-58

29 A. Watloly, Bangkitnya Mesin...,215-216. 30 A. Watloly, Maluku Baru...,215.

Identifikasi Religiositas Ambon …225

jenis musik gerejawi, yang semula berbeda karakteristiknya

dengan corak musik tradisional Ambon, namun dalam

perkembangan selanjutnya mengalami diferensiasi dan adaptasi,

sehingga memungkinkan penghayatan religius Ambon yang

musikal tersebut, mendapatkan coraknya yang hibrid. Menurut

Tamaela, corak musik tradisional Ambon lebih cenderung pada

pola nada pentatonik, sementara pola Barat lebih cenderung pada

diatonik. Namun, kini orang Ambon dapat melantunkan kidung-

kidung pujian dengan pelbagai instrumentalianya, baik dalam

nuansa tradisional maupun dalam nuansa Barat-Modern.31

Dalam kaitan dengan itu, semenjak tahun 2005

(berdasarkan keputusan Sidang ke-35 Sindoe GPM), GPM dalam

kerjasama dengan GIM (Gereja Injili Maluku) di Belanda, telah

mengupayakan lahirnya sebuah buku Nyanyian Jemaat GPM, yang

menghimpun 342 buah lagu gerejawi, hasil karya sendiri dan

orisinal dari warga GPM, yang berasal dari latar belakang asal sub

etnis yang berbeda-beda. Dalam buku nyanyian tersebut, terlihat

bahwa nuansa musikal dengan pola pentatonik dan diatonis telah

diakomodir. Sungguh, patut dibanggakan, betapa di tengah

mengalir derasnya nuansa musik dan lagu gerejawi rohani populer

di tanah air, dengan corak yang beragam dan tak menentu, GPM

dengan religiositas musikalnya, berhasil memperlihatkan jati

dirinya yang survive pada satu pihak, namun tetap terbuka pula

terhadap proses adaptasi terhadap perkembangan zaman.

Sebagaimana dikonstatir oleh Weber, bahwa agama dan

seni pada intinya memiliki keterkaitan yang erat sejak awal. Sebab

menurutnya, agama sendiri telah menjadi sumber yang tak pernah

habis bagi pengekspresian artistik. Sementara, menurutnya pula,

musik merupakan alat pembangkit ekstasis, yang menyertai suatu

tindakan pemujaan. Dan tampaknya ketiga kategorisasi Weber

tentang agama dan seni (orgiastik, ritual, dan kasih) termanifestasi

dalam ekspresi-ekspresi seni musikal selama berlangsungnya

ritual CN Soya, seperti musik dan tarian, ekspresi simbolik dan

puisi (yang dalam hal ini dapat “disejajarkan” dengan kapata dan

suhat, serta pantun yang ditampilkan).

31 Tamaela, Contextualization of Music and Liturgy...,Dissertation,38-39.

226 Religiositas Ambon-Kristen …

Dalam kaitan itu, proses pembentukan indentitas religius

yang musikal ini tidaklah berlangsung secara alami. Melainkan

seperti yang diisyaratkan oleh Erickson bahwa konfigurasi

pengalaman melalui pola pengasuhan dan pendisiplinan hidup

dari masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa, turut

memengaruhi watak identitas seseorang dalam konteks sosialnya.

Identitas religius personal, menurut Erickson, tidak dapat

dipisahkan dari identitas komunalnya. Singkatnya, dalam konteks

identitas religius yang musikal ini, teori Erickson hendak

menegaskan bahwa identitas tersebut merupakan konfigurasi

integratif dari masa lampau dengan masa sekarang, dari dalam

dengan yang dari luar, menuju ke dalam suatu keseluruhan yang

baru. Fenomena ini jelas terlihat pada kesadaran warga Soya

dalam mengikutsertakan kalangan anak-remaja (generasi muda)

dalam rangkaian acara Cuci Negeri, sebagai bagian dari proses

pembentukan dan pewarisan identitas religius Soya-Ambon-

Kristen.

Keterangan Foto:

Keterlibatan generasi muda Soya sebagai bagian dari proses

pewarisan nilai dan kesadaran budaya Soya dalam konteks Cuci

Identifikasi Religiositas Ambon …227

Negeri, a.l.: para jujaro (gadis) yang menari Lenso, diiringi musik

Tifa-Totobuang; Orangtatua yang membasuh anak-cucu mereka di

air sumur keramat; dan beberapa anak remaja yang sudah mulai

dibiasakan untuk ikut terlibat dalam menabuh tifa. (Sumber:

Dokumentasi Pribadi dan http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-

photos-adat-cuci-negeri-soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei

2018.).

Upaya untuk menumbuhkembangkan religiositas musikal

ini, patut mendapatkan atensi dari pelbagai pihak, sebagaimana

diisyaratkan oleh Watloly, bahwa “ciri musikal ini harus terus

dibudayakan sebagai jati diri dan identitas kemanusiawian anak

negeri...karenanya, tidak dapat...dinafikan...dalam memahami

dinamika eksistensi dan misteri kehidupan anak negeri....”32

Sehubungan dengan itu, Tamaela mengusulkan 5 (lima) strategi,

yang disebutnya dengan nama “Strategi 5 M”, agar musik dan juga

religiositas musikal itu sendiri dapat terwujudkan dan bahkan

dapat meluas dampaknya (bukan hanya dalam lingkup gerejawi,

tetapi juga masyarakat umum), yaitu:33

(1) Menghargai atau mengapresiasi musik dengan berusaha

untuk mengetahui (menguasai secara ilmu, bukan

berdasarkan bakat alami semata;

(2) Menggali (digging),: mengadakan riset, kajian studi, dengan

berupaya untuk mencari keunggulan, keaslian dan keunikan

identitas kita. Menggali itu diikuti dengan penyimpanan,

akomodasi, pendokumentasian;

(3) Mengkaji: melakukan analisa, melakukan pemetaan dan

kategorisasi terhadap bentuk, genre, notasi dan sebagainya.

Baik terhadap musik gerejawi maupun non gerejawi;

(4) Mengembangkan, dengan memperkenalkan kepada

masyarakat (sosialisasi dan edukasi). Termasuk menjadikan

muatan lokal dengan kurikulum musik tradisional;

32Ibid,216. 33 Transkrip Wawancara dengan Chr. Tamaela.

228 Religiositas Ambon-Kristen …

(5) Melestarikan. Ibarat ungkapan sakamese nanala (menjaga dan

mewarisikannya selama-lamanya), maka patut dilakukan

upaya pelestarian dan pewarisan lintas generasi.

V.4. Religiositas yang Menyatu dengan Alam

Adapun tipologi Religiositas orang Ambon-Kristen yang

menyatu dengan alam, sesungguhnya mengisyaratkan karakter

alami kesadaran dan kearifan religius yang termanifestasi akibat

realitas konteks kehidupan manusia Ambon-Kristen yang berdiam

di negeri dengan alamnya yang eksotis-menawan, menyatukannya,

menantangnya,menghidupinya dan memuliakannya. Bersama dan

melalui alam, manusia Ambon-Kristen hidup, berkarya dan bahkan

berritual.

Ketika mengulas pandangan mereka tentang ritual, Victor

Turner dan Catherine Bell, sama-sama tidak menafikan korelasi

sebuah ritual dengan Lingkungan. Adapun lingkungan yang

dimaksud bukan hanya dalam relasi ekonomi, politik dan sosial,

melainkan pula kaitannya dengan lingkungan alam, di mana

masyarakat itu berada dan mengekspresikan apa yang mereka

alami, rasakan dan harapkan. Korelasi dengan lingkungan alam

tersebut, menyebabkan masyarakat setempat mengformulasikan

dan sekaligus mempertunjukkan (performance) tradisi dan

kepercayaannya terhadap hal-hal yang dipandang tabu dan sakral,

melalui simbol-simbol, yang juga memiliki korelasi dengan

lingkungan alamnya itu sendiri.34

Keterikatan orang Ambon-Maluku dengan alam, dapat

dilihat pada fenomena pola hidup dan religiositas suku Nuaulu,

suku asli di Seram yang masih ada hingga kini. Orang Nuaulu

memiliki keterikatan dengan alam yang sangat kuat, sehingga

membuat mereka selalu menjaga, menata, dan melindungi alam

34 Lihat, Victor Turner, The Ritual Process – Structure and Anti-Structure (Ithaca, New

York: Cornell University Press, 1966), 6,10 dan Catharine Bell, Ritual Perspective Dimensions (New York: Oxford University Press,1997),2-3.

Identifikasi Religiositas Ambon …229

dengan kearifan lokal mereka.35 Sebagian besar ritual-ritual dari

suku asli Seram, seperti Nuaulu dan Huaulu, pada hakikatnya

mengekspresikan tiga relasi yang berkelindan, yaitu: relasi

manusia dengan Tuhan dan leluhurnya, relasi manusia dengan

sesamanya, dan relasi manusia dengan alamnya.36

Dalam penelusurannya tentang sejarah Tuhan, Amstrong

sendiri telah menyatakan bahwa sejak awal sekali, agama telah

membantu umat manusia untuk berhubungan dengan alam dan

mengakarkan diri di dalamnya. Kultus tempat suci telah

mendahului semua refleksi tentang alam dan membantu manusia

menemukan sebuah fokus di semesta yang mencengangkan ini.37

Pendewaan kekuatan-kekuatan alam mengungkapkan ketakjuban

dan kekaguman yang telah senantiasa menjadi bagian dari respons

manusia terhadap alam.

Dalam ritual cuci negeri, salah satu simbol alami yang

menonjol adalah air sumur itu sendiri, sebagai media pemaknaan

pembersihan diri dan lingkungan. Pada salah satu kapata yang

diucapkan, saat berlangsungnya CN Soya, terdapat ungkapan

nasihat, “Wae Werhalouw Neka Kal Ada Puti Puti”, yang inti

maknanya berarti ajakan untuk membersihkan diri dengan air

yang bersih. Ungkapan ini mengisyaratkan sebuah ajakan agar kita

bukan hanya dapat membersihkan diri secara fisik melainkan

pentingnya pembersihan hati dan pikiran, laksana simbol air yang

berguna untuk suatu pembersihan hidup. Dan bagi orang Soya

sendiri, tidak mungkin orang mendapatkan kebersihan dari

sumber (air) yang kotor.38 Oleh karena itu, sumber air itupun patut

dibersihkan, sehingga pada gilirannya dapat membersihkan orang

yang membersihkannya. Dengan begitu, maka penyadaran diri

“kembali ke sumber” menjadi penting. Ketika ada kesalahan yang

35 Abd. Khalik Latuconsina, Pataheri dan Posuno...,Disertasi,76. Banding, Tunny, Beta

Agama Noaulu,107. 36 Bandingkan, Latuconsina, Pataheri dan Posuno, Disertasi, 6. 37Karen armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-

Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun (Bandung: Mizan, 2002),392. 38 Sebagaimana tuturan Bp Thom Tamtelahittu, 55 th(Kepala Soa Pera) dalam

wawancara dengan penulis pada tanggal 7 Desember 2017.

230 Religiositas Ambon-Kristen …

pernah dilakukan, maka manusia perlu membersihkan dirinya

dengan Sang Penguasa kehidupan, dan selanjutnya

diimplementasikan dalam jalinan kehidupan yang bersih (baru)

dengan dirinya, sesamanya dan alam sekitarnya..39

Adapun konsep keterikatan manusia dengan alam, cukup

kuat mengakar dalam religiositas asli orang Seram, sebagaimana

terlihat dalam sikap orang Bati (Seram). Mata rantai sebagai

pengikat antara orang Bati dengan hutan (esu) masih terjaga,

terlindungi secara baik sampai saat ini di tanah Bati, sehingga

kawasan ini tidak dapat dimasuki oleh orang luar sesuka hati

mereka. Memasuki wilayah hutan (esu) di tanah Bati harus melalui

persetujuan orang Bati dan hal itu pun harus didasarkan pada

“niat” yang jelas dan baik, sehingga tidak merusak tatanan hidup

yang sudah tercipta. Dikemukakan dalam kapata orang Bati

tentang pentingnya menjaga relasi dan sekaligus memelihara alam,

yaitu:

Jadi manlo yang bisa tawei nai nini wanuya supaya kela Menggeilu tata anak si darasa. Artinya, Kampung ini tidak mati meninggalkan kita, tetapi kitalah yang akan mati meninggalkan kampung ini.40

Religiositas yang menyatu dengan alam ini dilatari dengan

kesadaran yang kuat pada orang Ambon, yang sangat percaya

kepada tiga kekuatan, yaitu gunung, tanah, dan tete nene moyang.

Diyakini bahwa gunung mewakili unsur langit (laki-laki), tanah

mewakili unsur bumi (perempuan), dan tete nene moyang

mewakili roh para leluhur. Keselarasan, keseimbangan dan

harmoni antara ketiga unsur tersebut akan berdampak pada

kehidupan pribadi, sosial, dan negeri.41 Keselarasan dengan alam

39 Herlina Tomasoa, Gayda Bachmid, Salea-Warouw, Ungkapan Bermakna Budaya

pada Upacara Adat Cuci Negeri Soya di Kota Ambon (Menado: Universitas Sam Ratulangie), Tanpa tahun dan halaman..

40 P.J. Pelupessy, Esuriun Orang Bati (Bogor: Kekal Press, 2013), 258. 41 Huliselan dalam John Chr. Ruhulessin, Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di

Maluku, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana University Press, Program Pascasarjana Progdi Sosiologi Agama UKSW,2005),198-199..

Identifikasi Religiositas Ambon …231

itu pula yang menjadi suatu karakteristik dari orang Noaulu

dengan kepercayaannya, yang tentu berakar pula pada agama

Nunusaku.42

Orang Ambon, Maluku, pada asalinya tidak mengenal

kosakata “tanah air”. melainkan kosakata “gunung tana”. Sebuah

kosakata yang memiliki kandungan kosmologis dan kebatinan

kultural religius yang amat kaya dan mendalam, yang sekaligus

melahirkan ikatan-ikatan lahir-batin dengan negeri

kediamannya.43 Karena, seperti yang direfleksikan oleh Watloly,

bila “gunung” dilihat sebagai pusat dan sumber sejarah

kehidupannya, maka “tanah dan air” merupakan darah dan daging,

dengan pelbagai nilai kehidupannya.44

Air bagi orang Ambon dan Maluku, tidak semata-mata

sebagai unsur material dengan kandungan rumus kimiawi H2O,

melainkan memiliki makna yang mendalam, yang berkorelasi

dengan hakikat keberadaan geografis orang Ambon-Maluku yang

hidup di wilayah kepulauan (lebih dari 80% wilayah Ambon-

Maluku adalah wilayah perairan). Makna korelatif tentang air pun

memiliki kandungan makna filosofis religius kultural, yang terkait

dengan pancaran tiga batang air (tiga aliran sungai utama) yang

terpancar dari Nunusaku, yaitu: Eti, Tala, dan Sapalewa. Bartels

menulis bahwa, dalam tradisi lisan di Ambon-Lease, hampir

dikenal kisah-kisah tentang pembentukan suatu kampung atau

negeri dengan penceritaan keberhasilan seorang kapitang

(pemimpin perang) yang tampil gagah perkasa, yang dengan

kekuatan supranaturalnya menikam tombak ke tanah (tikam

tombak), lalu muncullah air dari sumbernya. Dengan begitu, maka

kehadiran air sekaligus menjadi semacam pertanda kebaikan dan

kecocokan bagi warga atau suatu komunitas untuk menjadikan

tempat itu sebagai tempat kediaman mereka, atau menjadi negeri

defintif.45

42 Bandingkan, M. Azis Tunny., Beta Agama Noaulu (Yogyakarta: Smart

Writing,2013),107. 43 Bandingkan, A. Watloly, Cermin Eksistensi...,399-408 44Ibid, 401. 45 Bartels, Di Bawah Naungan...,29.

232 Religiositas Ambon-Kristen …

Dari latar filosofis historis-kultural tersebut, maka

keterikatan dengan “gunung tana” itulah, yang menyebabkan

orang Ambon begitu selalu rindu pulang kampong(atau akrab

disebut dengan kata mangente negeri), sekalipun berada jauh di

“tanah orang.”Dan bahkan, orang Ambon ~yang memiliki

religiositas yang menyatu dengan alam ini~, sadar betul bahwa

lebih baik ia tidak berjanji untuk pulang kampung, daripada

berjanji tetapi tidak dapat memenuhinya. Bila dalam kenyataannya

ia telah berjanji namun tidak dapat memenuhinya, maka ia akan

berusaha di lain kesempatan, untuk dapat memenuhi janji “pulang

kampung”-nya.

Rasa menyatu manusia Soya-Ambon-Kristen dengan

alamnya menyebabkan ia pun akan bersikap tidak gegabah dalam

membawa dan menentukan waktu kegiatan. Dalam istilah kearifan

lokal, disebut dengan kata tanoar, kotika dan nanaku, sebagai

wujud daripada materialisasi rasio dan religiositasnya, dalam

“membaca” dan “merespons tanda-tanda alam di tengah ruang dan

waktu kehidupannya.46 Kearifan lokal ini menyebabkan manusia

Ambon-Kristen akan mempertimbangkan betul tentang siklus

“Bulan”, ketika ~misalnya~ hendak memotong kayu atau bambu,

dalam rangka membangun rumah. Bila tidak tepat nanaku tanoar,

maka kayu atau bambu tersebut akan gampang dimakan rayap

(zoro).47 Fenomena yang mirip juga berlaku pada ketiga negeri

(Soya, Naku, Hukurila), ketika hendak menentukantanoar yang

tepat bagi pelaksanaan cuci negeri.

Mengakhiri pemaparan tentang religiositas Ambon-Kristen

yang menyatu dengan alamnya ini, kita dapat menyimak

kedalaman batin dan penghayatan religius tersebut, yang

dipadukan dengan karakter religius yang musikal, sebagaimana

terungkap dalam beberapa lagu Ambon, Maluku yang cukup

46 Kemenyatuan dengan alam ini, menyebabkan orang Ambon sering membaca isyarat

hewan di sekitarnya. Salah satu yang sering sekali penulis jumpai adalah suara cicak yang ditandai sebagai suara yang membenarkan narasi seseorang yang sedang bercerita. Lazimnya, setelah bercerita dan mendengarkan suara cicak, maka si pencerita akan memukul tangannya di kursi atau tembok.

47 Resume Hasil FGD di gedung gereja “tua” SOYA, Minggu 17 Desember 2017

Identifikasi Religiositas Ambon …233

populer di kalangan masyarakat Ambon pada khususnya, tetapi

juga sudah merambah hingga ke luar Maluku, bahkan ke

mancanegara, antara lain sebagai berikut:

BETA BERLAYAR JAUH Beta berlayar jauh. Jauh dari ambon, ee ... di tanah orang baru beta manyaesal, ee ... Mengapa beta mau, buang diri bagini jauh dari pangku mama, sungguh asing lawang, ee ... sio apa tempo beta pulang ka Ambon, ee ... Lautan lebar, gunung tapele sio mari mama gendong beta la bawa pulang, dolo, ee ... ka tanah yg kucinta Ambon, manise . . . OMBAK PUTIH-PUTIH Ombak putih-putih, Ombak datang dari laut eh kipas lenso putih tanah Ambon sudah jauh Nusaniwe, nusaniwe dan tanjong Allang eh waktu beta, waktu beta kaluar Ambon eh ombak pukul, ombak pukul di badan kapal ehh, sioh lah hati beta, hati beta sio tak karuan eh

MALUKU TANAH PUSAKA Sio Maluku tampa beta putus pusa e pasir putih aluse, gunung deng tanjong beta seng lupa e Ina Ama lama lawang seng bakudapa e Sio biar jauh bagini e tapi dekat di hati beta e Ref. Dari ujung Halmahera, Sampai Tenggara jauh Katong samua basudara Nusa Ina katong samua dari sana Biar jauh bagini e, beta seng bisa lupa Maluku Tanah pusaka Satu nama satu gandong, satu suku Maluku manise, ..

POHON SAGU Pohon sagu itu suatu hasil di seb’lah Timur, di Maluku, di Maluku Pulau-pulau Selatan, Lease, Seram dan Buru,

234 Religiositas Ambon-Kristen …

itu daerah, daerah Maluku Di kelilingi oleh lautan, yang penuh dengan kekayaan Biru laut tidak ketakutan, tidak dianggap nelayan Oh Maluku, Maluku ku sayang, lagi kucinta Cintaku, selama hidupku...!

Sedangkan bagi orang Soya sendiri, lagu “Gunung Sirimau”

~yang juga cukup lama populer~ memiliki kandungan makna

yang mendalam dan bersejarah hingga kini.

Kandungan makna tersebut sangat memiliki korelasi

dengan ritual CN Soya ~di mana terdapat situs tempayang, tetapi

sekaligus pula menjadi pengungkapan kecintaan orang Soya

dengan alamnya. Syair lengkapnya demikian,48

GUNUNG SIRIMAU Kamu-kamu49 meliputi gunung Sirimau Bungkus pohon dan rumput-rumput meskipun siang Dari dulu sudah ada tempayang di situ Yang selalu mengisi air meskipun t’ra hujan Reff. Sirimau tempat orang berteduh

Melepaskan hati susah dan keluh Sirimau b’ri keteduhan dan ketenangan Bagi orang yang dalam susah dan kebimbangan.

48 Syair lagu tersebut dilampirkan dalam buku panduan sejarah tentang CN Soya,

Lihat, John L. Rehatta,Negeri Soya...,21. 49 Artinya “Kabut”, yang biasanya terdapat di pegunungan. Lihat, Jan Piet Mailoa,

Kamus Bahasa Harian Dialek Orang Ambon (Ambon: Kulibia,2006), 50.

Identifikasi Religiositas Ambon …235

Keterangan Foto:

Dalam keyakinan akan karya penyelamatan Tuhan di tengah

sejarah peradaban manusia pada umumnya dan Soya pada

khususnya, penulis melafaskan doa syukur di lokasi Tempayang

Sirimau, penuhkekhusukan dan kebanggaan bersama alam dan

budaya anak negeri Soya Ambon, seraya memohonkan

hikmatNyaagar penyelamatan Tuhan bagi orang tatua dan para

leluhur di masa lampau, dapat berkelanjutan dalam tanggung

jawab bersama semua pihak, demi eksistensi anak cucu Soya,

Ambon dan Maluku untuk berkiprah di tengah sejarah tanpa

kehilangan religiositasnya yang berdampak.(Sumber:

Dokumentasi Pribadi)

V.5. Religiositas Kapitang

Religiositas Kapitang sesungguhnya mengisyaratkan

tipologi spirit dan karakter religius orang Ambon-Kristen yang

melalui tempaan alam, budaya dan sejarahnya, melahirkan

semangat perjuangan dan pengabdian yang gigih demi membela

kehormatan dan tanggung jawab yang ada pada dirinya.

236 Religiositas Ambon-Kristen …

Benarlah ungkapan ini: Maluku adalah “kepala” dan

Maluku adalah “negeri raja-raja”.50Terlepas dari polemik tentang

etimologi nama Maluku, fakta sejarah yang tak terbantahkan

adalah bahwa, sebagai wilayah kepulauan, hampir dipastikan

bahwa setiap kelompok negeri berada pada statusnya yang

“otonom” dalam memerintah dirinya sendiri. Dalam konteks itulah

maka, sebelum hadirnya jabatan dan terminologi “raja”,

sesungguhnya yang berdaulat di setiap negeri adalah “Kapitang”.51

Fenomena sejarah ini dapat dimengerti, karena dalam sejarah

terbentuk dan survival-nya sebuah negeri di suasana persaingan

dan perebutan wilayah kediaman di antara negeri-negeri di Seram

50Istilah “Maluku” memang memiliki keragaman pandangan yang cukup lama. Leirissa

dalam disertasinya merilis bahwa istilah Maluku tersebut mulanya digunakan untuk empat pusat kerajaan di Maluku Utara (Ternate, Tidore, Bacan, dan Halmahera). Dalam masa VOC kemudian berubah jangkauannya, mencakup Maluku Utara, sebagian Papua, dan Sulawesi Utara. Selanjutnya berkembang lagi meliputi Ambon, Seram Timur dan Nusa Tenggara Timur. Lihat, R.Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo, Pergolakan Sekitar Laut Seram Awal Abad 19 (Jakarta: Balai Pustaka, 1996),16. Sementara bagi bangsa Eropa, nama Maluku itu sendiri tak dapat dimengerti, apalagi pandangan dan kesatuan yang meliputi wilayah yang luas dan beraneka ragam. Andaya mengulas bahwa pada pertengahan abad XVI, Francis Xavier telah diberitahu bahwa kata Maluku berarti “kepala banteng.” Ia menafsirkan hal itu berarti bahwa Ternate, yang rajanya telah disebutkan dalam salah satu tradisi sebagai Raja Maluku, merupakan pemimpin pusat dari kerajaan yang besar. Dengan mengambil dari dokumen-dokumen dari tempat penyimpanan arsip kerajaan Spanyol, Argensola menyetujui penafsiran ini. Fakta bahwa semua penulis kronik dan pengamat bangsa Iberia tampaknya menyetujui bahwa Maluku berarti “kepala” dapat dilacak kepada definisi asli dari Xavier. Hanya pada berabad-abad kemudianlah terdapat upaya penjelasan secara islami, meskipun nama itu telah ada sejak sebelum kedatangan Islam di Maluku pada akhir abad XV. Salah satu ahli sejarah lokal, sebagai contoh, berpendapat bahwa Maluku berasal dari kata Arab malik (muluk) yang berarti “raja” (Dikutip dalam Fraasen, “Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel,” vol.1,hlm.24). Sebuah sajak berbahasa Jawa yang berasal dari abad XIV, Nagarakretagama, memuat bukti pertama mengenai penggunaan istilah Maluku untuk mengacu kepada sebuah kepulauan penghasil cengkih. Lihat, Leonard Y. Andaya, Dunia Maluku, Indonesia Timur Pada Zaman Modern Awal (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2015),38-39. Fenomena yang diuraikan oleh Andaya dapat dimengerti, ketika dalam perkembangan kemudian, rujukan etimologi maluku lebih ditautkan dengan istilah Arab, sebagaimana diungkapkan oleh Toekan dalam tulisannya demikian:”....bangsa Arab menamakan Maluku sebagai “Jazirah Al Mamlakatul Mulukiyah” atau Tanah Raja-Raja, dinukilkan oleh Ibnu Khaldum dalam sebuah karya spektakuler yang berjudul Mukaddimah. Ini karena beberapa wilayah di Maluku diperintah oleh raja-raja. Negeri ini memiliki sejarah raja-raja yang cukup panjang. Lihat, H. Idrus E. Toekan, “Peranan Umat Beragama dalam Membangun Perdamaian yang Berrkelanjutan di Maluku,” artikel dalam: Karel Albert Ralahalu, Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri (ambon: Ralahalu Institut, 2012), 403-404.

51 Bandingkan Elifas Tomix Maspaitella, “Tiga Batu Tungku:... dalam, Menelusuri Identitas....,79-82.

Identifikasi Religiositas Ambon …237

Nusaina, maka posisi dan peran seorang kapitang sangatlah

menentukan. Berkaitan dengan itu, sejarahpun memperlihatkan

bahwa keberadaan Soya di waktu lampau, tercatat sebagai salah

satu dari dua kerajaan yang cukup besar dan berpengaruh di pulau

Ambon (Kerajaan Soya dan kerajaan Hitu). Fenomena Soya sebagai

kerajaan besar dan cukup tua di Ambon, sesungguhnya dilatari

oleh berpengaruhnya religiositas kapitang, sebagaimana

terindikasi dalam ritual CN Soya.

Dalam prosesi ritual CN Soya, bapa Marets Pesulima, tampil

sebagai Kapitang Soya yang berjalan sambil memegang tombak

dan salawaku di depan rombongan pembawa bendera, para saniri

negeri, dan para pemusik,ketika rombongan tersebut hendak

menjemput bapa raja, istri dan para tamu. Posisi dan peran

kapitang yang sedemikian, telah memperlihatkan perwatakan

orang Soya-Ambon-Kristen, untuk tidak gentar tampil dalam

mengerjakan pelbagai aktifitas pionir (yang merintis dan

membuka jalan). Fenomena perwatakan kapitang ini, hampir

jamak dijumpai di negeri-negeri di kawasan pulau Ambon, Seram

dan Lease.52

52Sebagai contoh terhadap fenomena ini, antara lain: Pada tanggal 28 Juli 2018 yang

lalu, tokoh Maluku Karel Albert Ralahalu (mantan gubernur Maluku), dipercayakan mewakili masyarakat Maluku untuk menghadiri pertemuan bersama para tokoh dunia di kota Durres Albania, Eropa. Hasil pertemuan tersebut melahirkan Deklarasi Durres, yang pada intinya mengakui secara obyektif perjuangan kapitang Pattimura, Thomas Matulessy, ketika pada tanggal 15 Mei tahun 1817 mengambil peran dan tanggung jawab penuh sebagai pionir pergerakan kebangkitan nusantara melawan kolonial. Jiwa dan semangat serta religiositas kapitang dalam diri seorang Thomas Matulessy itulah yang mengobarkannya untuk melawan ketidakadilan, penindasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh kolonial Belanda, bahkan sekalipun ia rela dihukum mati dengan cara digantung di lapangan merdeka Ambon. Oleh karena itu, Deklarasi Durres pun mengusulkan agar tanggal 15 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nusantara se-dunia. Deklarasi tersebut, ditandatangani antara lain oleh Presiden Dunia HE, Mr.Djuyoto Suntani, mewakili masyarakat internasional 202 negara, mantan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu me-wakili masyarakat Maluku, Mr Maripaus mewakili masyarakat Nusantara, Mr Rabit Sadiku mewakili masyarakat Eropa Timur dan Mr Franco Cetinich mewakili masyarakat Eropa Barat. Sumber: http://www.siwalimanews.com/post/deklarasi_durres_dorong_15_mei _sebagai_hari_kebangkitan_nusantara Diunduh tanggal 5 Desember 2018.

238 Religiositas Ambon-Kristen …

Keterangan Foto:

Kapitang Soya yang berasal dari marga Pesulima, berjalan di depan

rombongan sambil memegang tombak dan salawaku, menjemput

bapa raja Soya untuk menuju Baileo (Sumber:

http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-

soya-08-desember-2017/)Diunduh 2 Mei 2018.)

Dalam konteks bergereja, religiositas kapitang ini terlihat

sangat memengaruhi geliat partisipasi dan semangat ikhtiar dari

orang Soya-Ambon-Kristen di hampir pelbagai lini aktifitas

bergereja. Fenomena tersebut sangat kuat tampak dalam peran-

serta dan pengorbanan untuk menyukseskan pembangunan fisik

gerejawi. Ketika penulis mewawancarai bapa raja Soya, diperoleh

fenomena religiositas kapitang ini dalam diri bapa raja dan juga

warga Soya pada umumnya, khususnya terkait dengan

pembangunan kembali gedung gereja tua Soya pasca pembakaran

di saat konflik tahun 1999-2000 yang lalu. Bapa raja bertutur, “

Jujur saja, setelah gereja tua habis terbakar, maka yang berkobar

dalam beta pung hati cuma satu. Beta harus berupaya dengan tidak

perlu menunggu bantuan pemerintah, untuk segera membangun

kembali gereja tersebut. Syukur pada Tuhan Yesus, sebab hanya

dalam waktu tidak sampai 1 tahun, gedung gereja Soya telah

Identifikasi Religiositas Ambon …239

dibangun dan diresmikan, dengan corak arsitektur yang nyaris

tidak berbeda dari yang lama.”53

Penuturan bapa raja Soya tersebut, mencerminkan kuatnya

religiositas kapitang dari seorang pemimpin Soya-Ambon-Kristen,

sebagaimana yang disinyalir oleh Goffman tentang peran-peran

agresif yang dimainkan dalam sautu hirarkhi status sosial tertentu.

Suatu tampilan peran “being a viable member of a morally cohesive

social order.” (menjadi anggota yang layak dari tatanan sosial yang

kompak atau kohesif secara moral).54

Hal yang patut dikemukakan pula bahwa, sesungguhnya

faktor alam Maluku, Ambon dan Soya, turut membentuk

perwatakan religius yang bercorak kapitang ini. Selain faktor

internal, diakui pula adanya faktor eksternal yang turut

membentuk religiositas manusia. Sejumlah faktor eksternal

tersebut antara lain, seperti lingkungan alam (geografis). Erickson

menegaskan bahwa relasi ego dengan lingkungan alam, sosio-

budaya dan historis sangatlah penting.Karena selain faktor-faktor

biogenetik, fisiologis dan anatomis, bagi Erickson, seluruh faktor

sosial, alam, budaya dan historis tersebut, sangat signifikan.

Mengikuti (namun sekaligus mengembangkan) pemikiran Freud,

yang menekankan pentingnya bentuk susunan batiniah dalam jiwa

manusia, Erickson melengkapinya dengan menegaskan tentang

pentingnya pengaruh dan dimensi luar, yang disajikan oleh

pelbagai tatanan lembaga kemasyarakatan, kebudayaan dan

sejarah. Dan menurut Erickson, semua dimensi “luar” tersebut,

sangat formatif terhadap proses terjadinya identitas ego setiap

individu.

Dari hampiran teoritik tersebut, sangatlah dapat dipahami,

bila perwatakan religiositas kapitang orang Ambon-Kristen,

memungkinkannya selalu dapat mengambil prakarsa-prakarsa

53 Sumber: Data wawancara penulis dengan raja Soya, bapa Rido Rehatta di rumah

Kayuputih Soya, pada tanggal 30 Juni 2017. Menurut beliau, salah satu motif yang kuat mendorongnya untuk segera membangun kembali gedung gereja tersebut adalah, dorongan untuk membuktikan dan sekaligus menyaksikan kepada “dunia” bahwa iman kita hidup, karena Tuhan yang empunya kita adalah Tuhan yang hidup. Semakin lama membiarkan gedung gereja seperti puing-puing berserakan, maka itu sama saja dengan mempermalukan diri, negeri dan Tuhan yang dipercayai.

54 Branaman, The Goffman reader, lxxiii.

240 Religiositas Ambon-Kristen …

pionir (perintis); mendorongnya untuk mengambil sikap setia dan

bersedia rela berkorban terhadap sesuatu nilai yang diyakini

sebagai sebuah kebenaran. Alam Maluku, Ambon, dan Soya, telah

ikut menempa dan membentuk religiositas orang SoyaAmbon-

Kristen menjadi seorang petarung dan bukan pecundang; seorang

yang tidak gampang menyerah dan putus asa, melainkan tetap

bersemangat. Religiositas kapitang tersebut turut melatari

antusiasme orang Ambon-Kristen bukan hanya dalam konteks

sosial-budaya-politis, melainkan juga dalam gerak aktifitas

misionaris (pekabaran injil) dan pelayanan gerejawi.Cerminan

perwatakan religiositas kapitang tersebut, terkandung dalam

beberapa ungkapan kearifan filosofis kultural dari para leluhur

orang Ambon maupun Soya, antara lain: Lawamena Haulala (maju

terus pantang mundur), Lawamena hiti hala, lawamena

haulala(maju kedepan beramai-ramai kobarkan pertempuran dan

hancurkan musuh); Hotumese (berkembang dalam tantangan),

Mena-Muria (siap muka-belakang). Ungkapan-ungkapan kultural

tersebut pada hakikatnya juga mengisyaratkan bahwa fenomena

religiositas kapitang sama sekali tidak dimaksudkan sebagai suatu

penampakan egoisme-individualis. Namun dalam bingkai

religiositas kapitang, maka posisi diri pribadi dan komunal

ditempatkan secara dialektis dan sinergis, sebagaimana kosa-kata

persaudaraan dalam semangat masohi: laeng tolong-tolong laeng,

laeng tongka-tongka laeng (saling menolong satu dengan yang

lainnya, saling menopang satu dengan yang lainnya).

V.6. Religiositas Orang Basudara

Dari 5 (lima) butir pernyataan yang termaktub dalam

rumusan Deklarasi Kebudayaan Maluku yang diberi judul “Bersatu

Memperkuat Identitas Kemalukuan”, maka pada butir yang ke-

empat, dirumuskan pernyataan sebagai berikut:

Bahwa “Kebudayaan Maluku” adalah jiwa dan spirit orang Maluku; kadar emosionalitas orang Maluku; basis dari cara pandang dan cara berpikir orang Maluku. Oleh karena itu, “Kebudayaan Maluku” harus terus-menerus dirawat dan dikembangkan

Identifikasi Religiositas Ambon …241

sebagai hakikat jati diri yang mencirikan identitas ke-Maluku-an sebagai orang basudara.55

Merujuk pada rumusan monumental tersebut, maka

tipologi Religiositas Orang Basudara, sesungguhnya dimaknai

sebagai kesadaran dan sikap religius orang Ambon-Kristen yang

bertumpu pada penghayatan dirinya yang tidak semata hidup

berorientasi pada kepentingan dirinya sendiri, melainkan selalu

menata relasi dirinya dengan yang lain (sanglian atau the others),

baik dalam bingkai persaudaraan genealogis-kultural maupun

lintas perbedaan dengan siapapun.

Tak dapat dipungkiri bahwa secara umum, spirit

religiositas orang Ambon-Kristen tersebutsangat identik pula

dengan religiositas orang Maluku, khususnya terhadap religiositas

orang basudara ini. Kearifan lokal dengan spirit orang basudara ini

turut melapisi bahkan menghidupi religiositas orang Ambon-

Maluku, sebagaimana yang dikonstatir oleh Watloly ketika

merefleksikan spirit keberagamaan orang basudara yang

dialektis,56

Fanatisme keagamaan itu bukan ‘fanatisme buta’, tetapi fanatisme yang cerdas dalam arus kearifan hidup orang basudara....terbuka pada perbedaan...selalu memandang perbedaan sebagai saudara...bukan musuh. Di mana salam-sarane menjadi titik dialektika (titik konsentris) dan pusat gerakan penghubung atau pemersatu yang merangkul, mengayomi dan saling menghidup-hidupkan kebersamaannya di dalam perbedaan sistim keyakinan yang dimiliki. Salam-Sarane bukan hanya untuk melayani Islam dan Kristen di Maluku, tetapi juga saudara seagama dan keyakinan yang lain...yang mendukung identitas orang basudara....Itulah habitat asli orang beragama dan agama-agama orang basudara di Maluku.

55 LKDM, Menelusuri Identitas...., xx. 56 Aholiab Watloly, Cermin Eksistensi Masyarakat Kepulauan dalam Pembangunan

Bangsa (Jakarta: PT. Intimedia Cipta Nusantara, 2013),345-346.

242 Religiositas Ambon-Kristen …

Tidak ada Salam sejatitanpa saudaranya yang Sarane, juga tidak ada Sarane sejati tanpa saudaranya yang Salam....Spirit keagamaan orang basudara itu telah begitu kuat mendasar dalam membangun kerukunan hidup umat beragama dari bumi Maluku....Akibatnya, pola keberagamaan masyarakat kepulauan Maluku lebih bersifat dialektis, di mana pada satu sisi, pertumbuhan spiritual dan keberagamaannya memiliki akar yang kuat pada warisan teks kitab suci (Islam, Kristen, Hindu, Buddha), namun di sisi lain, mereka masih mempertahankan tradisi adat yang diwarisi, sehingga semuanya berlangsung dalam sebuah hubungan dialektis dengan konteks hidup kekiniannya yang begitu terbuka dengan berbagai tawaran perubahannya yang terus bergonta-ganti.

Makna baru tentang persaudaraan atau orang basudara,

menempatkan perspektif relasi persaudaraan yang terbuka

melintasi batas-batas perbedaan apapun. Dan fenomena religositas

sedemikian dapat dilihat dalam tatanan pengorganisasian

masyarakat adati Soya yang memiliki dua Soa, yakni Soa Pera, yang

dikhususkan kepada kelompok marga yang dipandang sebagai

keturunan asli Soya, dan soa Eraang, yang terbuka ruang untuk

mengakomodir marga pendatang dari latar suku, budaya dan

agama apapun, yang datang dan berdiam dan menjadi penduduk

Soya.57 Fenomena soa pendatang ini pun dijumpai di negeri Naku

dan Hukurila, sebagai perwujudan dari religiositas kultural yang

terbuka dan menjalin siapapun, dari latar belakang manapun, yang

berkeinginan untuk masuk menjadi bagian dalam entitas

komunitas kultural negeri setempat. Bahkan dalam kaitannya

dengan pelaksanaan CN Soya misalnya, perwujudan religiositas

orang basudara ini terungkap melalui keterbukaan ruang dan

partisipasi yang diberikan kepada basudara pela-gandong yang

57 Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation, 125.

Identifikasi Religiositas Ambon …243

islam dari negeri Morela, serta simbol kain gandong yang

dipergunakan dalam ritual CN tersebut.

Dalam konsepsi tentang Politics of Piety dan Hybrid

Religiosity, sesungguhnya terungkap adanya dialektika hidup suatu

kelompok masyarakat dalam keterhubungannya dengan orang lain

(baik dalam konteks relasi basudara maupun yang bukan

basudara). Konsepsi tersebut mengisyaratkan bahwa, pada satu

pihak identitas pribadi dan kelompok beserta pelbagai

“kesalehannya” (entah secara religi maupun budaya) berusaha

untuk dipertahankan, namun pada sisi lainnya, proses pembauran

dan keterbukaan terhadap pihak lain pun tetap tak terhindarkan.

Keterangan Foto:

Tampak beberapa ibu dari basudara pela-gandong asal negeri

Morela (Islam) yang ikut terlibat dalam kegiatan Cuci Negeri di

Soya. (Sumber: http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-

adat-cuci-negeri-soya-08-desember-2017/)Diunduh 2 Mei 2018.

Dalam perspektif yang sama, namun dengan rumusan yang

lain, Nobert Ellias ~ketika menguraikan tentang fenomena

perjumpaan “orang dalam” (the esthablised) dengan “orang luar”

(the outsider)~, mengisyaratkan bahwa betapapun jurang

perbedaan yang melatari “orang dalam-orang luar” tersebut,

namun melalui perjumpaan sosial budaya, religi maupun politik,

proses sivilisasi (civilizing process) keduanya akan terus

berlangsung dalam dua kecenderungan, yakni (1) terdiferensiasi

244 Religiositas Ambon-Kristen …

dan (2) terintegrasi. Fenomena itu pula yang terlihat dari

religiositas orang basudara di balik ritual CN Soya. Perjumpaan

orang Soya asli dengan Soya pendatang, perjumpaan adat budaya

Soya dengan kekristenan, serta perjumpaan orang Soya dengan

orang lainnya yang berbeda budaya dan agama, sama sekali tidak

terluput dari kedua kecenderungan tersebut: selalu mengalami

suatu proses diferensiasi, namun sekaligus pula adanya proses

integrasi.

Lebih jauh, religiositas orangAmbon-Kristen yang

berkarakter orang basudara ini, mendapatkan perspektif yang

mendasar, sebagaimana disampaikan oleh Werinussa selaku Ketua

Sinode GPM, khususnya ketika ia mengitrodusir gagasan GPM

selaku gereja orang basudara (GOB), dalam bingkai kearifan

budaya orang Ambon dan Maluku, antara lain sebagai berikut:58

“....Persaudaaan itu kan warisan adat. Dan ke dalam wadah warisan itu kita tanamkan pesan injil berdasarkan Kejadian 1 ayat 26-27 itu, tentang imago dei (gambar/citra Allah). Bagi beta, PesanAlkitab ini menjadi simpul yang mentautkan kekristenan dengan adat-istiadat tersebut. Jadi, kita semua ini “gambar Allah”. Karena di situlah kemanusiaan kita yang sesungguhnya.

Perspektif GOB ini bukan hanya merangkul kemanusiaan dalam batas-batas keagamaan tertentu, seperti Islam-Kristen, melainkan semua elemen, termasuk agama-agama tradisional adati. Sebab core dari GOB itu terletak pada kemanusiaannya. Terminologi basudara itu memang terminologi kontekstual budaya, tetapi GPM menghidupinya menjadi terminologi yang memiliki muatan teologi. Menurut beta, kita sendiri di Ambon dan Maluku (GPM) yang mengalami dan menghidupinya, yang bisa mengelaborasi fenomena ini daripada orang Barat dengan teologinya. Persenyawaan yang khas antara kekristenan dengan keambonan itulah yang menjadi postur

58 Transkrip Wawancara dengan Pdt. Ates Werinussa.

Identifikasi Religiositas Ambon …245

kekristenan Ambon itu sendiri. Sebagai contoh yang konkret adalah pada saat momentum peresmian gedung gereja Kariu....59

Bagi beta, keagamaan tanpa kebudayaan tidak akan berbentuk. Karena itu agama dan budaya adalah fakta yang tak terelakerangkan di manapun. Itupun juga yang berlaku dengan keyahudian, kekristenan maupun keislaman.”

Dalam perspektif sedemikian, Werinussa lalu

memperhadapkan fakta historis yang mengindikasikan fenomena

religiositas orang basudara tersebut ketika menunjukkan

keterbukaan dan kerelaan dari orang Ambon-Kristen untuk

memberi atau melepaskan tanah warisan leluhurnya, agar dimiliki

pula oleh pelbagai suku bangsa yang datang dari luar. Antara lain

seperti orang Arab yang muslim, orang Cina, orang Jawa, dan

sebagainya. Menurut Werinussa, demikianlah contoh konkret dari

kepribadian dan religiositas Ambon-Kristen itu. Bahkan, ketika

mengakhiri penuturannya, Werinussa memprediksikan bahwa

“Suatu saat kita kan bisa berbeda dengan gereja Jawa atau gereja

Batak misalnya. Karena sebagai orang-orang yang telah

diselamatkan, kita kan juga perlu mencari wajah baru dalam cara

kita menyembah Kristus. Jadi bisa saja ke depan suatu saat, wajah

GPM akan berbeda, termasuk dengan Pengakuan Iman GPM.”60

V.7. Religiositas yang Survive dan Adaptif

Pada tipologi yang ketujuh ini, sesungguhnya yang

dimaksudkan dengan Religiositas yang Survive dan Adaptif adalah,

suatu tipologi kesadaran religius orang Ambon-Kristen yang selalu

menyejarah di tengah pelbagai konteks yang menantang dan

mengitarinya. Kesadaran religius tersebut memungkinkan orang

Ambon-Kristen untuk pada satu pihak memiliki kemampuan

beradaptasi dengan perubahan dan dinamika zaman, dan pada lain

59 Lihat: Lampiran 8. 60 Transkrip Wawancara dengan Pdt. Ates Werinussa.

246 Religiositas Ambon-Kristen …

pihak tidak kehilangan eksistensi dan jati dirinya, baik yang

berhubungan dengan keambonannya maupun kekristenannya.

Gubernur Maluku, Ir Said Assegaf dalam sambutannya di

buku Menelusuri Identitas Kemalukuan, yang diterbitkan oleh

Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku dalam rangka merangkum

tulisan dan hasil pergumulan Kongres Kebudayaan Maluku I,

mengkonstatir adanya 3 (tiga) gelombang asimilasi budaya, yang

dialami oleh Maluku dengan kebudayaannya. Ketiga gelombang

tersebut adalah:61(1) Asimilasi Budaya Gelombang I: Budaya

Maluku dan persentuhan awalnya dengan kebudayaan dunia; (2)

Asimilasi Budaya Gelombang II: Kebudayaan Maluku dalam

Pusaran Kebudayaan Nasional; dan (3) Asimilasi Budaya

Gelombang III: Kebudayaan Maluku dalam geliat hibridisasi

budaya global.

Filosofi di balik pemikiran tersebut di atas, tentunya

mengasumsikan bahwa kebudayaan Maluku~yang di dalamnya

terdapat pula “kebudayaan Ambon”~ tidaklah berada di

kevakuman sejarah dan habitusnya. Dengan kata lain, orang

Ambon dengan budayanya, religiositasnya, peradabannya, dan

segala dinamika historisitasnya, mengalami persentuhan dari

zaman ke zaman, dengan pengaruh yang datang secara eksternal

maupun internal sendiri. Dalam fenomena itulah, kemampuan

untuk survive dan adaptif, menjadi suatu kekuatan alami bagi

manusia Ambon pula. Hidup di tengah alam yang luas menantang

dan penuh misteri, justru telah ikut membentuk religiositas orang

Ambon-Kristen menjadi sebuah religiositas yang bercorak survive

dan adaptif. Tentunya religiositas ini pun dimungkinkan oleh

adanya religiositas yang dialektis dan religiositas yang menyatu

dengan alam tersebut. Pergulatan hidup (struggle of life dan

struggle for life) orang Ambon-Kristen, yang mampu melewati

sejarah peradaban yang panjang, di tengah alam laut-pulaunya

yang menantang, mampu berjumpa dengan agama-agama besar,

61 Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM), Menelusuri Identitas Kemalukuan

(Yogyakarta: Kanisius,2017),v-xii..

Identifikasi Religiositas Ambon …247

bersentuhan dengan kolonialisme, mengadaptasikan eksistensinya

di tengah-tengah negara-bangsa Indonesia semenjak kemerdekaan

hingga pelbagai dinamika pembangunan dan perpolitikannya,

hingga mampu pula memasuki era peradaban milenial

kontemporer, sesungguhnya semuanya itu dimungkinkan oleh

adanya modalitas religius yang survive dan adaptif, dari religiositas

orang Ambon-Kristen itu sendiri. Termasuk dalam realisme itu,

orang Ambon-Kristen merumuskan dan mengartikulasikan

“Tuhan” yang diimaninya dalam bingkai budaya dan aneka

ritualismenya. Sebagaimana yang ditandaskan oleh Nuban Timo,

ketika mengingatkan konstatasi Karen Amstrong, bahwa

“Sepanjang sejarah, manusia membentuk satu gagasan tentang

Allah untuk menjalani hidup. Ketika dirasa bahwa gagasan itu tidak

lagi menolong dia untuk terus berjalan, gagasan itu ditinggalkan,

dianggap usang. Lalu, dia menggumuli lagi gagasan baru.”62

Religiositas yang survive dan adaptif itu, mengisyaratkan

pula kemampuan untuk melakukan re-evaluasi, re-konstruksi, dan

mereformulasikan secara penad jatidiri suatu kelompok

masyarakat pada satu pihak dan pada pihak lainnya menyesuaikan

diri dengan fenomena perkembangan zaman dan budayanya yang

dijumpai. Dalam tahapan IV CN Soya, khususnya pada

prosesisekelompok anak muda Soya yang pergi ke puncak Sirimau

untuk “bersemedi” (matawana) tanpa makan-minum selama

kurang lebih 14 jam, terungkap adanya suatu adaptasi persyaratan

sebagai akibat dari perjumpaan tradisi Soya dengan aturan

kekristenan. Adaptasi tersebut terlihat pada ketentuan yang

diberlakukan secara ketat kepada setiap peserta yang akan terlibat

dalam ritual tersebut, yaitu diprasyarati dengan ketentuan bahwa

yang menjadi peserta haruslah pemuda Soya-Kristen yang telah

diteguhkan menjadi anggota Sidi gereja. Persyaratan ini terlihat

merupakan wujud dari perpaduan penerapan aturan tradisi

62 Ebenhaizer I Nuban Timo, “Ekklesiologi Gereja Protestan Maluku, Keluar dari

Calvinis Menuju ke Pancasilais”, Artikel dalam Rudolf Rahabeat & Johan Robert Saimima (Penyunting), Menuju Gereja Orang Basudara, Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku (Salatiga: UKSW Press & MPH Sinode GPM, 2017),xxi.

248 Religiositas Ambon-Kristen …

kakehang di Seram (Nunusaku, Nusaina) dengan acuan

kedewasaan iman dalam ketentuan sebagai anggota sidi gereja

yang telah menjalani masa katekisasi (pendidikan formal

gerejawi).

Pencermatan lainnya dari fenomena religiositas yang

survive dan adaptif ini, merujuk pula pada teori Erving

Goffman,khususnya tentang performansi dalam kaitannya dengan

kemampuan survive dan adaptif dari seseorang dengan perfomed

character-nya. Menurut Goffman,63 upaya pelibatan diri seseorang

dalam suatu konteks performansi yang bersifat hirarkhi sosial,

akan selalu dilatari dengan dua kecenderungan, yakni (1) upaya

untuk memelihara suatu tindakan sebagaimana yang

diekspektasikan oleh orang lain atau masyarakat, dan (2) upaya

untuk mengeksploitasi suatu tindakan demi apa yang diinginkan

oleh dirinya di hadapan orang lain atau masyarakat. Pada

kecenderungan yang pertama, sebuah performansi akan

selaludisesuaikan dengan aturan main ritual dari suatu tatanan

kehidupan sosial. Sementara pada kecenderungan yang kedua,

pelbagai pertimbangan kalkulatif (“untung-rugi”) lebih menjadi

prioritas dalam penampilan. Dengan begitu maka, penampilan

yang diwujudkan lebih bersifat adaptif. Fenomena tersebut, salah

satunya terindikasi melalui peran-peran dari beberapa petugas CN

Soya, yang pada dirinya melekat “peran ganda”. Misalnya, pada

satu pihak yang bersangkutan sementara menjadi majelis jemaat

(penatua atau diaken). Sementara pada lain pihak, dalam jajaran

pemerintahan adati setempat, yang bersangkutan juga berperan

sebagai salah satu staf saniri negeri atau pemuka adat dari salah

satu soa. Ketika peran ganda tersebut dipertanyakan, dalam

kaitannya dengan peran dan tanggung jawab yang bersangkutan

pada arena gerejawi dan pada arena tradisi-adati, maka hampir

jamak respons yang muncul adalah kutipan penggalan kata-kata

Yesus dalam Alkitab (Matius 22:21): “Berikanlah kepada kaisar apa

63 Frances Chaput Waksler, “Erving Goffman’s Sociology: An Introductory Essay,”

Human Studies...,4; dan Branaman dalam Branaman, The Goffman Reader ...., lxiii.

Identifikasi Religiositas Ambon …249

yang kaisar punya dan kepada Allah apa yang Allah punya”.

Ternyata fenomena jawaban yang sama, penulis temukan juga di

Hukurila maupun di Naku. Sebuah jawaban yang menurut penulis,

sesungguhnya dilatari oleh kemampuan religiositas orang Ambon-

Kristen yang survive dan adaptif tersebut.

Sehubungan dengan itu, dalam perkembangan

kontemporer selanjutnya, fenomena yang patut dicermati adalah

respons religiositas yang survive dan adaptif tersebut, di tengah

perkembangan dinamika dan tantangan kemajuan IPTEK,

khususnya di bidang teknologi infomarsi-komunikasi yang

semakin cepat dan canggih saat ini, sebagaimana diisyaratkan oleh

Manjaruni (direktur Media Center GPM), yang mensinyalir tentang

Radikalisme Online (RO), sebagai fenomena yang kian marak tapi

sekaligus menantang, antara lain melalui media sosial (facebook,

youtube, twitter dan instagram). Menurutnya, “Jika gereja tidak

tanggap terhadap gerakan atau isu RO maka gereja akan

kehilangan bentuknya, gereja menjadi gereja yang tidak berada

pada gelombang yang sama dengan mereka yaitu generasi digital

native.”64 Sinyalemen Manjaruni ini tidak dapat dinafikan. Namun,

dengan modal religiositas yang survive dan adaptif, sangat

dimungkinkan bagi orang Ambon-Kristen (baca: GPM),

dimampukan untuk tidak kehilangan identitas religiusnya di

tengah pusaran modernisasi dan teknologi.

Oleh karena itu, ritual CN Soya patut dilihat pula sebagai

perwujudan dari preserved religious capital orang Soya-Ambon

Kristen, dalam memelihara, mempertahankan, dan mengawetkan

modal religiositasnya sebagai basis dari strategi survival orang

Soya-Ambon Kristen sendiri di tengah ruang dan waktu serta

dinamika pelbagai pengaruh zaman yang mengitari

mereka.65Ketika bercakap dalam kelompok FGD ~dalam rangkaian

64 Maryo Indra Manjaruni, “GPM dan Teknologi Informasi: Bagaimana Respons

Protestantisme Terhadap Perkembangan IT dan Praktiknya? Artikel dalam Rudolf Rahabeat & Johan Robert Saimima (Penyunting), Menuju Gereja Orang Basudara...,276.

65 Bandingkan gagasan dan kesimpulan yang dirumuskan oleh Pariela ketika mencermati fenomena masyarakat Kristen dan Islam Wayame dalam mengupayakan perdamaian di tengah bara konflik Ambon-Maluku, dengan memelihara, mempertahankan

250 Religiositas Ambon-Kristen …

riset yang penulis lakukan di Soya~, diakui oleh peserta FGD

bahwa, religiositas yang survive dan adaptif tersebut, menjadi

tantangan yang tidak mudah, di tengah pengaruh zaman yang

menurut mereka “kian menggila” ini. Namun dengan satu tekad

dan harapan, mereka mengungkapkan sebuah pepatah arif yang

diwarisi dari orangtatua dan para leluhur Soya, demikian, “Bagi

katong, hidup itu tidak tongka langit, karena ada generasi

berikutnya yang harus mewarisi katong dan itulah yang akan

tongka katong pung hidup” (Pengertiannya: “Bagi kami, kami hidup

tidak ditopang oleh langit atau sesuatu yang mengawang atau

tidak jelas; tetapi kami hidup oleh karena ada anak-cucu kami,

sebagai generasi mendatang di bawah kami. Karena itu, kami

harus peduli terhadap apa yang akan kami wariskan kepada

mereka”).66[]

dan mengawetkan modal sosial mereka sebagai basis terhadap strategi survival masyarakat Wayame sendiri. Lihat, Tonny D. Pariela, Damai di Tengah Konflik Maluku – Preserved Social Capital sebagai Basis Survival Strategi, Disertasi (Salatiga: Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW, 2008),66-67.

66 Resume Hasil FGD di gedung gereja “tua” Soya, Minggu 17 Desember 2017.