terpuruknya perekonomian indonesia
TRANSCRIPT
Oleh :
Alexander Arif Christian S
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Angkatan 2012
NRP 3203012189
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Berhasilnya Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Presiden Barack
Obama untuk bangkit dari krisis ekonomi yang menimpa mereka pada tahun
2008 silam rupanya berdampak “ pahit “ bagi Indonesia. The Fed yang
selama krisis terus memberikan stimulus bagi pemerintah dengan cara
membeli obligasi pemerintah Amerika Serikat kini seiring dengan
membaiknya kondisi perekonomian mulai melaksanakan kebijakan baru.
Jika ketika krisis The Fed mengeluarkannya kebijakan dengan istilah
Quantitative Easing kini kebijakan dengan mengurangi stimulus yang
diberikan dikenal dengan istilah Tapering Off. Semenjak berhembusnya
kabar akan dikeluarkannya kebijakan tersebut pada Mei 2013 oleh Gubernur
The Fed, Ben Bernanke maka nilai tukar Dollar Amerika Serikat terhadap
rupiah sudah mulai menguat. Penguatan Mata Uang Negeri Paman Sam
tersebut berlangsung secara terus menerus hingga mencapai puncaknya pada
tahun 2015 ini, semenjak pertengahan tahun 2015 ini, 1 Dollar Amerika
Serikat bernilai di atas Rp. 14,000. Indonesia terpuruk harga Dollar naik,
harga barang – barang impor ikut naik sedangkan Indonesia sebagai Negara
berkembang sangat tergantung pada barang ekspor dari Negara – Negara
maju akibatnya para pengusaha di Indonesia menjerit tingginya harga pokok
produksi/ penjualan akan berdampak pada harga jual yang tinggi sehingga
daya saing menurun selain itu suku bunga pinjaman di bank pun meroket
maka para pengusaha tidak mampu untuk melunasi hutang – hutangnya.
Belum lagi jatuhnya harga barang – barang komoditas yang selama ini
menjadi andalan ekspor Indonesia seperti batu bara, karet dan minyak sawit
maka kinerja ekspor Indonesia pun turut merosot. Sebagai domino effect
dari kejadian ini adalah terjadinya deficit neraca perdagangan Indonesia
yang semakin bertambah parah. Sehingga dibutuhkan lagi pinjaman luar
negeri untuk menutupi terjadinya deficit neraca transaksi berjalan tersebut.
Maka hutang luar negeri Indonesia pun akan bertambah bengkak.
Rumusan Masalah
1. Mengapa kondisi Perekonomian Indonesia mengalami kondisi yang
buruk ?
2. Mengapa Mata Uang Rupiah terus melemah ?
3. Apa sajakah penyebab Perekonomian Indonesia terpuruk ?
4. Bagaimanakah sikap dan tindakan dari Pemerintah Indonesia saat ini
dalam menghadapi keterpurukan Perekonomian Indonesia saat ini ?
Tujuan Pembuatan Makalah
1. Mengetahui penyebab terjadinya kondisi perekonomian yang buruk
di Indonesia.
2. Mengetahui hal – hal apa saja yang mendrong terjadinya perlemahan
mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
3. Mengidentifikasi penyebab – penyebab Perekonomian Indonesia
terpuruk seperti saat ini.
4. Mengetahui sikap dan tindakan Pemerintah Indonesia dalam
menghadapi kondisi perekonomian seperti saat ini,
Penyebab Carut Marutnya Ekonomi
Indonesia
Mafia Berkeley Pemegang Ekonomi Indonesia
Dalam buku yang ditulis John Pilger dan yang juga ada film
dokumenternya, dengan judul The New Rulers of the World, antara lain,
dikatakan: “Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari
kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih
telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program
penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat
kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar”.
Ini terkenal dengan istilah nation building dan good governance oleh “empat
serangkai” yang mendominasi World Trade Organisation (Amerika Serikat,
Eropa, Canada, dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF,
dan Departemen Keuangan AS). Mereka mengendalikan setiap aspek detail
dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka
diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara
termiskin membayar USD 100 juta per hari kepada para kreditor Barat.
Akibatnya adalah sebuah dunia yang elitenya -dengan jumlah lebih sedikit
dari satu miliar orang- menguasai 80 persen kekayaan seluruh umat
manusia.”
Itu ditulis oleh John Pilger, seorang wartawan Australia yang bermukim di
London, yang tidak saya kenal. Antara John Pilger dan saya, tidak pernah
ada komunikasi. Namun, ada beberapa kata yang saya rasakan berlaku untuk
bangsa Indonesia dan yang relevan dengan yang baru saya kemukakan.
Kalimat John Pilger itu begini: “Their power derives largely from an
unrepayable debt that forces the poorest countres…” dan seterusnya. Dalam
hal Indonesia, keuangan negara sudah bangkrut pada 1967. Paling tidak,
demikianlah yang digambarkan oleh para teknokrat ekonom Orde Baru yang
dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk memegang tampuk pimpinan dalam
bidang perekonomian. Maka, dalam buku John Pilger tersebut, antara lain,
juga dikemukakan sebagai berikut:
(Saya kutip halaman 37) “Dalam bulan November 1967, menyusul
tertangkapnya ’hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life
Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu
tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi
para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-
perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di
seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller
disebut “ekonoom-ekonoom Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ’the Berkeley Mafia’,
karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah
Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka
datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan
oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari
negara dan bangsanya, mereka menawarkan : … buruh murah yang
melimpah… cadangan besar dari sumber daya alam … pasar yang besar.”
Di halaman 39 ditulis: “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi,
sektor demi sektor. ’Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffry
Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan
mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Sampson,
telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ’Mereka membaginya ke
dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain,
industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi;
yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang
mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para
investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini
berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami
inginkan: ini, ini, dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang
infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia.
Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal
global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai
negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi
mereka ke dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat
(Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat
nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari
bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang,
dan Prancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan
Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang
dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini
bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali
ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia
(IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada,
Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan
Bank Dunia.” Sekali lagi, semuanya itu tadi kalimat-kalimatnya John Pilger
yang tidak saya kenal.
Kalau kita percaya John Pilger, Brad Sampson, dan Jeffry Winters, sejak
1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh para
elite bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa.
Sejak itu, Indonesia dikepung oleh kekuatan Barat yang terorganisasi
dengan sangat rapi. Instrumen utamanya adalah pemberian utang terus-
menerus sehingga utang luar negeri semakin lama semakin besar. Dengan
sendirinya, beban pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya semakin
lama semakin berat. Kita menjadi semakin tergantung pada utang luar
negeri. Ketergantungan inilah yang dijadikan leverage atau kekuatan untuk
mendikte semua kebijakan pemerintah Indonesia. Tidak saja dalam bentuk
ekonomi dan keuangan, tetapi jauh lebih luas dari itu. Utang luar negeri
kepada Indonesia diberikan secara sistematis, berkesinambungan, dan
terorganisasi secara sangat rapi dengan sikap yang keras serta persyaratan-
persyaratan yang berat. Sebagai negara pemberi utang, mereka tidak sendiri-
sendiri, tetapi menyatukan diri dalam organisasi yang disebut CGI.
Negara-negara yang sama sebagai pemberi penundaan pembayaran cicilan
utang pokok dan bunganya yang jatuh tempo menyatukan diri dalam
organisasi yang bernama Paris Club. Pemerintah Indonesia ditekan oleh
semua kreditor yang memberikan pinjaman kepada swasta Indonesia supaya
pemerintah menekan para kreditor swasta itu membayar tepat waktu dalam
satu klub lagi yang bernama London Club. Secara kolektif, tanpa dapat
dikenali negara per negara, utang diberikan oleh lembaga multilateral yang
bernama Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia. Pengatur dan pemimpin
kesemuanya itu adalah IMF. Jadi, kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan
kartel internasional yang sudah berhasil membuat Indonesia sebagai
pengutang yang terseok-seok.
Sejak itu, utang diberikan terus sampai hari ini. Dalam krisis di tahun 1997,
Indonesia sebagai anggota IMF menggunakan haknya untuk memperoleh
bantuan. Ternyata, ada aturan ketat untuk bantuan itu. Bantuan uang tidak
ada, hanya dapat dipakai dengan persyaratan yang dibuat demikian rupa,
sehingga praktis tidak akan pernah terpakai. Dengan dipegangnya pinjaman
dari IMF sebagai show case, IMF mendikte kebijakan-kebijakan pemerintah
Indonesia, yang dengan segala senang hati dipenuhi oleh para menteri
ekonomi Indonesia, karena mereka orang-orang pilihan yang dijadikan kroni
dan kompradornya.
Maka, dalam ikatan EFF itulah, pemerintah dipaksa menerbitan surat utang
dalam jumlah Rp 430 triliun untuk mem-bail out para pemilik bank yang
menggelapkan uang masyarakat yang dipercayakan pada bank-bank mereka.
Mereka tidak dihukum, sebaliknya justru dibuatkan perjanjian perdata
bernama MSAA yang harus dapat meniadakan pelanggaran pidana menurut
undang-undang perbankan. Dalam perjanjian perdata itu, asalkan penggelap
uang rakyat yang diganti oleh pemerintah itu dapat mengembalikan dalam
bentuk aset yang nilainya sekitar 15 persen, dianggap masalahnya sudah
selesai, diberikan release and discharge.
Lima tahun lamanya, yaitu untuk tahun 1999 sampai dengan tahun 2003,
pembayaran utang luar negeri yang sudah jatuh tempo ditunda. Namun,
mulai tahun 2004, utang yang jatuh tempo beserta bunganya harus dibayar
sepenuhnya. Pertimbangannya tidak karena keuangan negara sudah lebih
kuat, tetapi karena sudah tidak lagi menjalankan program IMF dalam bentuk
yang paling keras dan ketat, yaitu EFF atau LoI.
Setelah keuangan negara dibuat bangkrut, Indonesia diberi pinjaman yang
tidak boleh dipakai sebelum cadangan devisanya sendiri habis total.
Pinjaman diberikan setiap pemerintah menyelesaikan program yang
didiktekan oleh IMF dalam bentuk LoI demi LoI. Kalau setiap pelaksanaan
LoI dinilai baik, pinjaman sebesar rata-rata USD 400 juta diberikan.
Pinjaman ini menumpuk sampai jumlah USD 9 miliar, tiga kali lipat
melampaui kuota Indonesia sebesar USD 3 miliar. Karena saldo pinjaman
dari IMF melampaui kuota, Indonesia dikenai program pemandoran yang
dinamakan Post Program Monitoring.
Mengapa Indonesia tidak mengembalikan saja yang USD 6 miliar supaya
saldo menjadi USD 3 miliar sesuai kuota agar terlepas dari post program
monitoring. Berkali-kali saya mengusulkan dalam sidang kabinet agar
seluruh saldo utang sebesar USD 9 miliar dikembalikan. Alasannya, kita
harus membayar, sedangkan uang ini tidak boleh dipakai sebelum cadangan
devisa milik sendiri habis total. Cadangan devisa kita ketika itu sudah
mencapai USD 25 miliar, sedangkan selama Orde Baru hanya sekitar USD
14 miliar. Yang USD 9 miliar itu harus dicicil sesuai jadwal yang ditentukan
oleh IMF. Skemanya diatur sedemikian rupa sehingga pada akhir 2007
saldonya tinggal USD 3 miliar. Ketika itulah, baru program pemandoran
dilepas. Alasannya kalau yang USD 9 miliar dibayarkan sekarang, cadangan
devisa kita akan merosot dari USD 34 miliar menjadi USD 25 miliar. Saya
mengatakan, kalau yang USD 9 miliar dibayarkan, cadangan devisa kita
meningkat dari USD 14 miliar menjadi USD 25 miliar. Toh pendapat saya
dianggap angin lalu sampai hari ini.
Mari sekarang kita bayangkan, seandainya cadangan devisa kita habis pada
akhir 2007. Ketika itu, utang dari IMF tinggal USD 3 miliar sesuai kuota.
Barulah ketika itu utang dari IMF boleh dipakai. Olehnya secara implisit
dianggap bahwa ini lebih kredibel, yaitu mengumumkan bahwa cadangan
devisa tinggal USD 3 miliar yang berasal dari utang IMF. Kalau seluruh
utang yang USD 9 miliar dibayar kembali karena sudah mempunyai
cadangan devisa sendiri sebesar USD 25 miliar dikatakan bahwa Indonesia
tidak akan kredibel karena cadangan devisa merosot dari USD 34 miliar
menjadi USD 25 miliar.
Jelas sekali sangat tidak logisnya kita dipaksa untuk memegang utang dari
IMF dengan pengenaan bunga yang tinggi, sekitar 4 persen setahun, tanpa
boleh dipakai. Jelas sekali bahwa Indonesia dipaksa berutang yang
jumlahnya melampaui kuota yang sama sekali tidak kita butuhkan.
Tujuannya hanya supaya Indonesia dikenai pemandoran yang bernama post
program monitoring. Jelas ini hanya mungkin dengan dukungan dan kerja
sama dari kroni-kroninya Kartel IMF.
Mengapa kami dan teman-teman yang sepikiran dan sepaham dikalahkan
terus-menerus? Mengapa pikiran yang tidak masuk akal seabsurd itu
dipertahankan? Sebab, para menteri ekonomi yang ada dalam kabinet dan
otoritas moneter sedikit pun tidak menanggapinya. Memberikan komentar
pun tidak mau. Mengapa? Sebab, perang modern yang menggunakan
seluruh sektor ekonomi sebagai senjata, terutama sektor moneternya,
membutuhkan kroni atau komprador bangsa Indonesia sendiri yang mutlak
mengabdi pada kepentingan agresor.
Kalau kita percaya pada Brad Sampson, Jeffrey Winters, dan John Pilger,
dan kita perhatikan serta ikuti terus sikap satu kelompok tertentu, kiranya
jelas bahwa kelompok pakar ekonomi yang dijuluki “the Berkeley Mafia”
adalah kelompok kroni dalam bidang ekonomi dan keuangan. Lahirnya
kelompok tersebut telah dikemukakan dalam studi Brad Sampson yang tadi
saya kutip. Pengamatan saya sendiri juga membenarkan bahwa kelompok
itu menempatkan dan memfungsikan diri sebagai kroni kekuatan asing.
Yang paling akhir menjadi kontroversi adalah sikap beberapa menteri dalam
Kabinet Indonesia Bersatu terhadap uluran tangan spontan dari beberapa
kepala pemerintahan beberapa negara Eropa penting berkenaan dengan
bencana tsunami. Baru kemarin media massa penuh dengan komentar minor
mengapa tim ekonomi pemerintah utang lagi dalam jumlah besar sehingga
jumlah stok utang luar negeri keseluruhannya bertambah? Ini sangat
bertentangan dengan yang dikatakan selama kampanye presiden dan juga
dikatakan oleh para menteri ekonomi sendiri bahwa stok utang akan
dikurangi. Berdasar pengalaman, saya yakin bahwa kartel IMF yang
memaksa kita berutang dalam jumlah besar supaya dapat membayar utang
yang jatuh tempo. Buat mereka, yang terpenting memperoleh pendapatan
bunga dan mengendalikan Indonesia dengan menggunakan utang luar negeri
yang sulit dibayar kembali.
Mafia Berkeley
Mafia Berkeley adalah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Mereka
mempunyai atau menciptakan keturunan-keturunan. Para pendirinya
memang sudah sepuh, yaitu Prof Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil
Salim, Soebroto, Moh. Sadli, J.B. Soemarlin, Adrianus Mooy, dan masih
sangat banyak lagi. Yang sekarang dominan adalah Sri Mulyani, Moh.
Ikhsan, Chatib Basri, dan masih banyak lagi. Mereka tersebar pada seluruh
departemen dan menduduki jabatan eselon I dan II, sampai kepala biro.
Ciri kelompok itu ialah masuk ke dalam kabinet tanpa peduli siapa
presidennya. Mereka mendesakkan diri dengan bantuan kekuatan agresor.
Kalau kita ingat, sejak akhir era Orde Lama, Emil Salim sudah anggota
penting dari KOTOE dan Widjojo Nitisastro sudah sekretaris Perdana
Menteri Djuanda. Widjojo akhirnya menjabat sebagai ketua Bappenas dan
bermarkas di sana. Setelah itu, presiden berganti beberapa kali. Yang
“kecolongan” tidak masuk ke dalam kabinet adalah ketika Gus Dur menjadi
presiden. Namun, begitu mereka mengetahui, mereka tidak terima. Mereka
mendesak supaya Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional. Seperti
kita ketahui, ketuanya adalah Emil Salim dan sekretarisnya Sri Mulyani.
Mereka berhasil mempengaruhi atau “memaksa” Gus Dur bahwa mereka
diperbolehkan hadir dalam setiap rapat koordinasi bidang ekuin. Tidak puas
lagi, mereka berhasil membentuk Tim Asistensi pada Menko Ekuin yang
terdiri atas dua orang saja, yaitu Widjojo Nitisastro dan Sri Mulyani.
Dipaksakan bahwa mereka harus ikut mendampingi Menko Ekuin dan
menteri keuangan dalam perundingan Paris Club pada 12 April 2000,
walaupun mereka sama sekali di luar struktur dan sama sekali tidak
dibutuhkan. Mereka membentuk opini publik bahwa ekonomi akan porak-
poranda di bawah kendali tim ekonomi yang ada. Padahal, kinerja tim
ekonomi di tahun 2000 tidak jelek kalau kita pelajari statistiknya sekarang.
Yang mengejutkan adalah Presiden Megawati yang mengangkat Boediono
sebagai menteri keuangan dan Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian.
Aliran pikir dan sikap Laksamana Sukardi sangat jelas sama dengan
Berkeley Mafia, walaupun dia bukan anggotanya. Ada penjelasan tersendiri
tentang hal ini. Presiden SBY sudah mengetahui semuanya. Toh tidak dapat
menolak dimasukkannya ke dalam kabinet tokoh-tokoh Berkeley Mafia
seperti Sri Mulyani, Jusuf Anwar, dan Mari Pangestu, seperti yang telah
disinaylir oleh beberapa media massa.
Mafia Berkeley Penyebab Indonesia Miskin
Nyaris tidak ada kasus sejenis di dunia, dimana satu kelompok ekonom
berkuasa selama hampir 40 tahun nyaris tiada henti dari 1966-2006,
menentukan strategi dan kebijakan ekonomi suatu negara. Indonesia telah
mengalami pergantian presiden 5 kali sejak tahun 1966, perubahan sistem
dan struktur politik, pergantian pemimpin sipil maupun militer, reformasi
tentara, tetapi pelaku perumus kebijakan ekonomi (Mafia Berkeley) nyaris
tidak berubah selama 40 tahun. Tidak aneh jika tidak ada terobosan inovatif
dalam strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia. Patut disayangkan karena
dalam periode 40 tahun terakhir, ekonomi global telah banyak mengalami
perubahan ke arah yang lebih maju, terutama ekonomi kawasan Asia yang
terus semakin dinamis. Sebagai konsekuensi dari kegagalan melakukan
perubahan kebijakan ekonomi sejak tahun 1960-an, Indonesia akhirnya
semakin tertinggal dibanding negara-negara besar lainnya di Asia.
Kelompok Mafia perumus kebijakan ekonomi Indonesia telah dipersiapkan
secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama sepuluh tahun
sebelum berkuasa (1956-1965) sebagai bagian dari strategi perang dingin
menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia.
Kelompok tersebut dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” karena
kebanyakan dari generasi pertamanya lulusan Program Khusus di
Universitas Berkeley, California. Di kemudian hari, alumnus dari
universitas lain bergabung dalam kelompok ini, tetapi tetap menganut garis
strategis yang sama. Padahal para mahasiswa Universitas Berkeley tahun
1960an terkenal progresif dan mayoritas anti perang Vietnam. Tetapi
program untuk Mafia Berkeley dirancang khusus untuk orang Indonesia
yang dipersiapkan untuk dikemudian hari menjadi bagian dari hegemoni
global Amerika. Disebut “Mafia”, mengambil ide dari organisasi kejahatan
terorganisir di Amerika, karena mereka secara sistematis dan terorganisir
menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.
Segera setelah kejatuhan Presiden Soekarno, kelompok Mafia Berkeley
mengabdi selama 32 tahun kepada regim otoriter Soeharto. Banyak dari
anggota dan muridnya yang menduduki posisi-posisi kunci dalam bidang
ekonomi dan menjadi saluran strategi dan kebijakan yang dirumuskan oleh
IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan Amerika Serikat. Mafia
Berkeley sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memonitor agar kebijakan
ekonomi Indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi
yang digariskan oleh Washington. Garis kebijakan ini di kemudian hari
dikenal dengan “Washington Konsensus”. Sekilas program Washington
Konsensus tersebut sangat wajar dan netral, namun demikian dibalik
program tersebut tersembunyi kepentingan negara-negara Adikuasa.
Pertama, kebijakan anggaran ketat, selain untuk mengendalikan stabilitas
makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia
surplus anggaran untuk membayar utang. Bahkan penghapusan subsidi
untuk rakyat seperti untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, UKM,
dipaksakan hanya agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang.
Pembayaran utang adalah suatu keharusan, sementara anggaran untuk
pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan,
perumahan, dll adalah urusan belakangan. Kedua, liberalisasi keuangan
untuk memperlancar transaksi global dan menjamin modal dan dividen
setiap saat dapat keluar dari negara berkembang. Ketiga, liberalisasi industri
dan perdagangan memudahkan negara-negara maju mengekspor barang dan
jasa ke negara berkembang. Tetapi negara-negara maju sendiri melakukan
perlindungan terhadap sektor industri dan pertaniannya melalui kuota,
kebijakan anti-dumping, export restraint, subsidi dan hambatan non-tarif.
Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik negara dimaksudkan
agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang sekecil mungkin. Dalam
prakteknya program penjualan aset-aset negara tersebut dilakukan dengan
harga sangat murah (under-valued) sehingga sering terjadi program
privatisasi identik dengan rampokisasi (piratization), seperti diungkapkan
Prof. Marshall I. Goldman dari Harvard.
Dalam prakteknya, kebijakan Konsesus Washington sering dipaksakan
sekaligus kepada negara berkembang tanpa tahapan, fleksibilitas dan
persiapan untuk memperkokoh kekuatan ekonomi domestik. China, yang
melakukan proses reformasi ekonomi sejak 1978, menggunakan pendekatan
yang kerap disebut Deng Xiaoping sebagai “crossing the river by feeling the
stones”. Walaupun melakukan liberalisasi, tetapi proses liberalisasi tersebut
dilakukan secara bertahap dan dipersiapkan, dengan terlebih dulu
memperkuat kekuatan produktif di dalam negeri. China menempatkan
liberalisasi sektor keuangan pada tahap akhir dari reformasi ekonomi.
Bahkan ketika cadangan devisanya nyaris mencapai US$ 1 triliun, China
tetap tidak bersedia melakukan liberalisasi penentuan nilai tukarnya.
Pada pertengahan tahun 1960-an GNP perkapita Indonesia, Malaysia,
Thailand, Taiwan, China nyaris sama, yaitu kurang dari US$100 per kapita.
Setelah lebih dari 40 tahun, GNP perkapita negara-negara tersebut pada
tahun 2004, mencapai: Indonesia sekitar US$ 1.000, Malaysia US$ 4.520,
Korea Selatan US$ 14.000, Thailand US$ 2.490, Taiwan US$ 14.590, China
US$ 1.500. Ternyata bahwa kekuasaan dan peranan Mafia Berkeley nyaris
40 tahun tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan
mewariskan potensi sebagai salah satu negara gagal (failed state) di Asia.
Kenyataannya Indonesia bukanlah the next Korea, dan bahkan bukan the
next Malaysia. Setelah 40 tahun di bawah kendali Mafia Berkeley,
Indonesia justru berpotensi menjadi the new Philipina.
Mafia Berkeley telah gagal membawa Indonesia menjadi negara yang
sejahtera dan besar di Asia walaupun didukung regim otoriter selama 32
tahun. Selain ketinggalan dari segi pendapatan perkapita, Indonesia juga
merupakan salah satu negara yang memiliki distribusi pendapatan paling
timpang, stok utang paling besar, serta memiliki landasan struktural dan
industri yang sangat rapuh. Padahal negara-negara seperti Taiwan,
Malaysia, Korea Selatan, China dan Thailand tidak memiliki sumber daya
alam yang besar seperti Indonesia. Dibawah pengaruh dan kekuasaan Mafia
Berkeley, utang yang besar dan habisnya kekayaan alam dan hutan yang
rusak, ternyata hanya menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$
1.000. dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat minimum serta
ketergantungan mental maupun finansial terhadap utang luar negeri.
Mafia Berkeley juga gagal melakukan reformasi terhadap birokrasi dan
justru mendorong pegawai negeri dan ABRI untuk bertindak koruptif karena
penentuan skala gaji yang sangat tidak manusiawi. Anggota dan murid
Mafia Berkeley sendiri direkayasa untuk mendapatkan pendapatan yang
sangat tinggi melalui penunjukan mereka sebagai komisaris di BUMN-
BUMN, double/tripple billing di BI, DepKeu dan Bappenas. Dengan
pendapatan yang tinggi tersebut, Mafia Berkeley tidak memiliki empati
terhadap nasib pegawai negeri dan ABRI sehingga tidak berupaya
melakukan reformasi penggajian pegawai negeri dan ABRI. Dengan sengaja
maupun tidak sengaja, mereka mendorong pegawai negeri dan ABRI
menjadi koruptor.
Kegagalan penting lainnya yang dilakukan oleh Mafia Berkeley adalah
mengundang keterlibatan IMF untuk mengatasi krisis ekonomi pada bulan
Oktober 1997. Keterlibatan IMF tersebut membuat krisis menjadi lebih
parah. Tanpa keterlibatan IMF, krisis ekonomi akan tetap terjadi, tetapi
skalanya akan relatif lebih kecil (pertumbuhan ekonomi antara - 2% sampai
0%) pada tahun 1998, tetapi keterlibatan IMF telah mengakibatkan ekonomi
Indonesia anjlok luar biasa –12,8% pada tahun 1998, terburuk sepanjang
sejarah Indonesia. Biaya sosial ekonomis dari krisis tersebut dalam bentuk
kerusuhan sosial (IMF-provoked riots), peningkatan puluhan juta
pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta, biaya
rekapitalisasi bank lebih dari Rp 600 trilliun, serta tambahan beban utang
puluhan milyar dollar masih terasa sampai saat ini. Dokter yang diminta
tolong untuk menyembuhkan penyakit pasien, selain gagal menyembuhkan
penyakit juga melakukan berbagai amputasi yang tidak perlu dan ternyata
membebankan biaya kegagalannya kepada sang pasien.
Dalam menjawab berbagai kegagalan tersebut, anggota Mafia Berkeley
biasanya menggunakan alasan klasik yang menyesatkan, yaitu akibat prilaku
mantan Presiden Soeharto. Adalah betul bahwa Soeharto penuh KKN, tetapi
berbagai kegagalan tersebut tidak dapat dibebankan hanya kepada Soeharto.
Ketika ekonomi tumbuh lebih tinggi pada awal 1990-an, Mafia Berkeley
dengan tanpa malu mengklaimnya sebagai keberhasilan mereka, tetapi
ironisnya ketika krisis 1997/1998 terjadi, semua kesalahan kemudian
ditimpakan kepada Soeharto. Padahal Mafia Berkeley lah yang seharusnya
bertanggung jawab karena mereka yang merumuskan strategi, kebijakan dan
terlibat dalam implementasinya. Banyak dari berbagai kegagalan tersebut
berada pada tataran sangat teknis dan operasional yang tidak dipahami oleh
Soeharto. Adalah sangat tidak bertanggungjawab dan tidak ksatria, besedia
mejadi pejabat selama 32 tahun, ikut menikmati privileges dan ekses
kekuasaan Soeharto, tetapi kemudian menimpakan semua kegagalan dan
kesalahan kepada Soeharto, itupun baru berani setelah Soeharto tidak
berkuasa.
Menjadi pertanyaan, mengapa Mafia Berkeley gagal membawa Indonesia
menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun berkuasa selama
nyaris 40 tahun? Karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang
dirancang oleh Mafia Bekeley akan selalu menempatkan Indonesia sebagai
subordinasi (sekedar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Padahal
tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya
dengan mengikuti model Washington Konsensus. Kemerosotan selama dua
dekade di Amerika Latin (1980-2000) adalah contoh monumental dari
kegagalan tersebut. Justru negara-negara yang melakukan penyimpangan
dari model Washington Konsensus seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan,
Malaysia, China, dll. berhasil meningkatkan kesejahteran dan memperbesar
kekuatan ekonominya. Negara-negara yang berhasil tersebut mengikuti
model pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan yang seimbang
antara negara dan swasta, serta ketergantungan utang yang minimal. Dua
negara Asia, Indonesia dan Philipina yang patuh pada Washington
Konsensus, mengalami kemerosotan ekonomi terus-menerus,
ketergantungan utang yang permanen, ketimpangan pendapatan sangat
mencolok, kemiskinan yang merajalela dan kerusakan lingkungan yang
parah.
Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan global
mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan
Undang-Undang, strategi dan kebijakan ekonomi. Indonesia juga tidak
memiliki fleksibilitas untuk merumuskan strategi ekonomi karena terpaku
pada model generik Washington Konsensus. Padahal model tersebut
dirancang terutama untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi global
sehingga negara-negara yang mengikutinya justru akan gagal meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Hasil tipikal dari model Washington Konsensus
adalah siklus terus-menerus dari “krisis ekonomi dan akumulasi utang”,
seperti yang terjadi di banyak negara Latin Amerika, Afrika dan Indonesia.
Krisis ekonomi biasanya diselesaikan hanya dengan menambah beban utang
yang kemudian akan kembali menjadi sumber krisis baru. Namun dari segi
kepentingan ekonomi global, krisis ekonomi merupakan peluang untuk
memaksa negara yang bersangkutan melakukan liberalisasi ekstrim dan
privatisasi ugal-ugalan. Liberalisasi ekstrim ala Washington Konsensus
sangat berbeda dengan keterbukaan bertahap dan penuh persiapan untuk
memperkuat ekonomi domestik yang dilakukan oleh negara-negara Asia
lainnya. Jepang, Korea, China dan bahkan Malaysia dan Thailand terlebih
dahulu memberikan insentif ekspor kepada industri domestik dalam upaya
meningkatkan produktivitas dan daya saing. Liberalisasi dilakukan hanya
setelah ekonomi domestik telah cukup kuat dan mampu bersaing di level
global. Ketergantungan terhadap utang juga memungkinkan kepentingan
global ikut intervensi merumuskan Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah seperti Undang-undang tentang privatisasi air, BUMN, migas
dsb.
Modus Operandi Mafia Berkeley Memeras
Indonesia
Modus operandi utama dari Mafia Berkeley adalah mengabdi kepada
kekuasaan apapun konsekuensinya, tidak penting apakah pemerintahan
tersebut otoriter, pelanggar hak asasi manusia, ataupun penuh KKN. Tidak
ada sikap etis dan moral untuk menolak tawaran jabatan dari pemerintahan
yang melanggar prinsip-prinsip demokratis dan keadilan. Dalam banyak
kasus, Mafia Berkeley justru menjadi corong public relations di berbagai
forum dan media untuk memperlunak dan mempermanis image
pemerintahan otoriter dan represif.
Efektifitas media relations Mafia Berkeley terutama dilakukan dengan
memberikan akses khusus, dalam bentuk bocoran informasi dan dokumen-
dokumen rahasia kepada satu media harian dan satu media mingguan
terkemuka. Diskriminasi akses informasi tersebut merupakan tindakan tidak
fair dalam kompetisi pers di Indonesia. Kedua media tersebut memilik
pandangan yang sangat liberal dalam bidang politik dan sosial, tetapi sangat
konservatif dalam bidang ekonomi: bagaikan partai Demokrat di Amerika
dalam bidang politik dan sosial, tetapi bagaikan partai Konservatif di
Amerika dalam bidang ekonomi.
Pola rekruitmen Mafia Berkeley dilakukan dengan mengandalkan prinsip
utama loyalitas dan feodalisme, diatas kriteria profesionalisme. Dengan
prinsip utama tersebut, kepatuhan dan loyalitas anggota, murid dan cucu-
murid Mafia Berkeley dapat terus dipertahankan. Kaderisasi kemudian
dilanjutkan dengan memberikan kesempatan akademis di Amerika sehingga
terjadi sinkronisasi dan kesamaan cara berpikir. Patut dicatat bahwa karakter
anggota dan murid-murid Mafia Berkeley sangat berbeda dengan generasi
pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Hatta, Syahrir, Ali Sostroamidjojo
dkk. yang semangat nasionalismenya justru semakin kuat ketika mendapat
kesempatan belajar di luar negeri. Mereka juga menarik pelajaran dari sisi
positif kehidupan politik dan sosial Barat dan sekaligus memahami ekses
negatif dari sistem kapitalisme Barat. Sangat berbeda dengan Hatta dkk,
kader-kader Mafia Berkeley yang memang “diprogram” untuk menjadi alat
kepentingan global justru semakin melecehkan arti penting semangat
nasionalisme dan kemandirian. Kader-kader Mafia Berkeley ini kemudian
diberikan kesempatan untuk menjadi Ketua Depertemen, Dekan, ketua
lembaga penelitian ekonomi, dsb. Penunjukan jabatan struktural akademis
tersebut biasanya diberikan kepada kader yang lebih loyal dan patuh, dan
bukan yang paling mampu secara akademik ataupun profesional. Sebagai
kompensasi loyalitas, kader-kader Mafia direkayasa untuk menjadi
komisaris BUMN-BUMN, walaupun terbukti kinerja BUMN selama nyaris
40 tahun dibawah pengaruh Mafia Berkeley tidak pernah menunjukkan
kinerja yang menonjol. Di samping itu para kader diberikan berbagai bonus
dalam bentuk perjalanan ke luar negeri, keanggotaan di berbagai komite
dengan kompensasi finansial. Dengan struktur dan skala pendapatan yang
berkali lipat lebih tinggi dari pegawai negeri dan ABRI, kader Mafia
Berkeley merasa dirinya sangat elitis sehingga tidak memiliki empati
terhadap nasib pegawai-negeri, ABRI, dan rakyat biasa.
Lembaga-lembaga akademik dan penelitian yang dikontrol dan menjadi
instrumen Mafia Berkeley dikelola dengan prinsip loyalitas, feodalisme dan
kepatuhan. Sumber pembiayaan utama dari lembaga-lembaga yang
dikontrol Mafia Berkeley terutama berasal dari hibah dari IMF, Bank Dunia,
USAID dan lembaga-lembaga kreditor internasional lainnya. Tidak aneh
jika hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan yang dikeluarkan oleh
lembaga penelitian dan akademik tersebut, biasanya sejalan dan sebangun
dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF–Bank Dunia dan policy
papers USAID. Inilah salah satu mekanisme sosialisasi publik dari
rekomendasi dan kebijakan Washington Konsensus/IMF-Bank Dunia. Elit
politik dan masyarakat awam sering terkecoh karena diberikan kesan bahwa
hasil penelitian tersebut sekan-akan independen dan netral.
Untuk memperkuat images di dalam maupun di luar negeri, Mafia Berkeley
melalui lembaga-lembaga yang dikontrolnya, termasuk Departemen Teknis,
biasanya memperkerjakan banyak konsultan asing yang dibiayai anggaran
non-budgeter atau pinjaman/hibah dari IMF, Bank Dunia dan USAID. Para
konsultan ini kemudian menjadi mesin public relation yang terus-menerus
memuji kehebatan Mafia Berkeley dalam bentuk penulisan buku, artikel
maupun wawancara di media massa. Inilah yang menjelaskan mengapa
Mafia Berkeley mampu bertahan dan mengendalikan kebijakan ekonomi
Indonesia selama hampir 40 tahun, meskipun kebijakan Mafia Berkeley
telah menyebabkan krisis ekonomi paling buruk sepanjang sejarah
Indonesia, ketimpangan distribusi pendapatan yang sangat besar, serta
sektor finansial dan struktur industri yang sangat rapuh. Biasanya pemimpin
politik negara yang kurang paham dengan modus operandi Mafia Berkeley,
sering terpengaruh oleh opini-opini “bayaran” seperti itu, yang kemudian
biasanya dikutip ulang oleh media harian dan mingguan yang merupakan
kolaborator Mafia Berkeley. Mesin public relation Mafia Berkeley
menciptakan propaganda, media yang menjadi kolaborator Mafia Berkeley
kemudian mempublikasikannya, lembaga riset domestik dan konsultan
asing mengamininya dan pemimpin politik pun akhirnya ikut terpengaruh.
Jika ada kebijakan Presiden atau menteri lainnya, yang bukan anggota Mafia
Berkeley, yang menyimpang dari arahan Washington Konsensus/IMF–Bank
Dunia, USAID, anggota-anggota Mafia dengan cepat melaporkan kepada
perwakilan IMF–Bank Dunia, USAID untuk dikritik di laporan-laporan
resmi lembaga-lembaga kreditor. Kritik-kritik tersebut kemudian
dipublikasikan di kedua media kolaborator dalam negeri. Untuk menjaga
agar arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dengan arahan
IMF–Bank Dunia-USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan
undang-undang atau peraturan pemerintah dikaitkan dengan pinjaman utang
luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional
Indonesia dijamin menjadi sub-ordinasi kepentingan global sehingga
berbagai potensi Indonesia untuk menjadi negara besar di Asia tidak akan
pernah terealisasikan. Mekanisme mengaitkan utang luar negeri dengan
penyusunan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah juga memungkinkan
adanya intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan
politik Indonesia.
Menjadi pertanyaan apakah Mafia Berkeley masih relevan dengan tantangan
yang dihadapi Indonesa saat ini? Sampai saat ini murid dan cucu murid
Mafia Berkeley masih terus menjejali Indonesia dengan kebijakan
Neoliberal ala Washington Consensus. Padahal perlu dicatat bahwa dalam
satu dekade terakhir, Bank Dunia dan IMF –yang merupakan “Tuan” dari
kebijakan ekonomi neoliberal— telah mengakui berbagai kesalahannya dan
telah melakukan sejumlah koreksi terhadap kebijakan mereka selama ini.
Dalam berbagai kesempatan, Bank Dunia dan IMF menyatakan bahwa
liberalisasi keuangan yang terlalu cepat telah meningkatkan kemungkinan
suatu negara terkena krisis. Dalam publikasi terakhir Bank Dunia tentang
ekonomi Asia Timur (An East Asian Renaissance: Ideas for Growth, 2007),
Bank Dunia juga mengakui bahwa pemerintah harus mengambil suatu
tindakan untuk mengoreksi ketidaksempurnaan pasar, terutama dengan
berupaya meningkatkan skala industri domestik. Dengan kata lain,
menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar dianggap bukan lagi
merupakan pendekatan yang tepat dalam kebijakan ekonomi. Namun Mafia
Berkeley dan kroninya masih terus saja menggunakan pemahaman atau
semboyan lama bahwa kegagalan pemerintah lebih buruk daripada
kegagalan pasar, dan dengan menyerahkan semuanya kepada mekanisme
pasar, mereka juga seakan-akan telah melindungi negara dari kepentingan
dan intervensi pihak-pihak tertentu. Padahal fakta sesungguhnya adalah
Mafia Berkeley merupakan representasi dari kepentingan ekonomi dan
finansial “Tuan” mereka di Washington.
Selain itu, kemungkinan keberhasilan murid dan cucu murid Mafia Berkeley
untuk membawa Indonesia mengejar ketertinggalan dari negara Asia
lainnya, juga sangat kecil karena modus operandi Mafia yang berlandaskan
prinsip subordinasi dan kepatuhan global, sangat tidak cocok dengan iklim
Indonesia yang demokratis pasca kejatuhan Soeharto. Mayoritas murid dan
cucu-murid Mafia Berkeley juga tidak memiliki kemampuan leadership dan
implementasi yang tangguh karena terbiasa didukung oleh kekuatan otoriter
dan perlindungan terus-menerus dari kekuatan global. Padahal tantangan
utama kebijakan ekonomi di era demokratis ini adalah leadership yang kuat
dan kemampuan persuasi berlandaskan fakta. Pemimpin dituntut mampu
mendemonstrasikan kepada rakyat dan DPR bahwa pilihan kebijakan
ekonomi benar-benar memiliki keberpihakan kepada rakyat dan kepentingan
nasional, bukan lagi dengan metode paksaan melalui penerapan berbagai
peraturan layaknya era otoriter.
Penyebab Rupiah Terus Melemah
Kekecewaan pasar terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK menjadi salah
satu penyebab terus melemahnya rupiah terhadap dolar AS. Saat ini, rupiah
masih berada di kisaran Rp 13.000 per dolar AS.
Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto mengatakan, sedikitnya terdapat lima
faktor yang menyebabnya rupiah makin terpuruk, baik dari faktor internal
(domestik) maupun eksternal (luar negeri). "Ada akumulasi faktor internal
yang membuat pasar kecewa, yang paling utama adalah kinerja ekonomi
kuartal I-2015 yang buruk. Ditambah ada sentimen dari luar negeri," kata
dia di Jakarta, Minggu (10/5).
Secara rinci, penyebab terpuruknya rupiah versi pengamat pasar uang Ryan
Kiryanto adalah seperti berikut.
Pertama, mata uang suatu negera mencerminkan atau merefleksikan
funfamental ekonomi negara bersangkutan. Artinya, jika
fundamental suatu negara jelek yang ditandai dengan perlambatan
ekonomi maka yakinlah bahwa mata uang negara tersebut akan
terdepresiasi. Begitu juga pada rupiah, pelaku pasar melihat kinerja
makro kuartal I-2015 jelek, di bawah ekspektasi dan konsesus
ekonom yang menyatakan pertumbuhan ekonomi di periode itu
setidaknya bisa 4,9%, realisasinya hanya 4,7%. "Makanya, pasar
kecewa, mereka sebagian beralih ke dolar, rupiah melemah, investor
sebagian lagi keluar ke emerging economy yang lain yang
ekonominya tumbuh lebih baik. Jangan lupa, kondisi ekonomi
negara-negara ASEAN lebih baik dari Indonesia, seperti Filipina,
Vietnam, dan Myanmar," ungkap Ryan.
Kedua, pasar juga melihat bahwa sampai kuartal I-2015 atau empat
bulan pertama 2015, janji-janji pemerintah untuk membangun
infrastruktur belum kelihatan hasilnya. "Pasar terlalu lama
menunggu, sudah hampir enam bulan, pasar melihat, mana katanya
janji mau bangun kok belum kelihatan bentuknya," ujar dia.
Ketiga, di luar kinerja kuartal I-2015, perkiraan inflasi lebih tinggi
0,3% dari biasanya dan konsesus ekonom yang hanya 0,1-0,2%.
Sampai Maret 2015, inflasi tahunan sesuai konsensus hanya 6,38%,
namun besaran inflasi bulanan, inflasi tahunan menjadi 6,69%. "Ini
lebih jelek dibanding sesama negara ASEAN yang rata-rata inflasi
tahunan hanya 4%," kata dia.
Keempat, sentimen dari The Fed, yang mana pelaku pasar melihat
adanya kenaikan suku bunga entah tahun ini atau kuartal I-2016.
"Pelaku pasar sudah ancang-ancang pegang dolar dari saat ini,"
jelasnya.
Kelima, kondisi tersebut di atas makin diperparah dengan sebagian
besar kinerja perusahaan terbuka atau emiten pada kuartal I-2015
yang juga di bawah ekspektasi, tidak sebaik kuartal I-2014. "Ini
terjadi juga pada emitan dengan kapitalisasi besar, hal ini makin
membuat investor beralih ke emerging market lain," kata dia.
Menurut Ryan, untuk membalikkan rupiah butuh waktu dan energi.
Pemerintah harus membuat kebijakan yang investor friendly, di sisi lain
mempercepat belanja infrastruktur. "Kalaupun itu efektif, baru awal tahun
depan rupiah bisa rebound, setidaknya di level Rp 12.500," kata Ryan
Kiryanto.
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Rupiah
Melemah
Sejak akhir tahun 2013, nilai tukar Rupiah terus melemah, bahkan hingga
mencapai level diatas 12.000 Rupiah per Dollar AS. Berbagai peristiwa
telah diungkapkan oleh pemerintah dan analis ekonomi, disebut-sebut
sebagai alasan kenapa Rupiah melemah. Realitanya, Rupiah memang salah
satu mata uang terlemah di Dunia, yang nilainya mudah ditekan oleh
perubahan kondisi ekonomi, baik di luar maupun di dalam negeri.
Perekonomian Yang Kurang Mapan
Rupiah termasuk soft currency, yaitu mata uang yang mudah berfluktuasi
ataupun terdepresiasi, karena perekonomian negara asalnya relatif kurang
mapan. Mata uang negara-negara berkembang umumnya adalah mata uang
tipe ini, sedangkan mata uang negara maju seperti Amerika Serikat disebut
hard currency, karena kemampuannya untuk mempengaruhi nilai mata uang
yang lebih lemah. Karakteristik khusus mata uang soft currency adalah
sensitivitasnya terhadap kondisi ekonomi internasional. Krisis finansial,
spekulasi di pasar finansial, dan ketidakstabilan ekonomi bisa
mengakibatkan jatuhnya nilai soft currency. Contohnya saat krisis tahun
97/98, ketika perekonomian Indonesia dalam bahaya. Begitu pula, ketika
terjadi krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat, Rupiah sempat
terkena imbasnya.
Selain itu, sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia berbagi
sentimen dengan negara berkembang lainnya. Artinya, ketika sentimen
terhadap negara-negara berkembang secara umum baik, maka nilai Rupiah
akan cenderung menguat. Sebaliknya, ketika di negara-negara berkembang
yang lain banyak kerusuhan, bencana, dan lain sebagainya, maka nilai
Rupiah akan melemah.
Pelarian Modal (Capital Flight)
Modal yang beredar di Indonesia, terutama di pasar finansial, sebagian besar
adalah modal asing. Ini membuat nilai Rupiah sedikit banyak tergantung
pada kepercayaan investor asing terhadap prospek bisnis di Indonesia.
Semakin baik iklim bisnis Indonesia, maka akan semakin banyak investasi
asing di Indonesia, dan dengan demikian Rupiah akan semakin menguat.
Sebaliknya, semakin negatif pandangan investor terhadap Indonesia, Rupiah
akan kian melemah.
Mari ambil contoh pemotongan stimulus yang dilakukan oleh Bank Sentral
Amerika Serikat, The Fed, baru-baru ini. Kebijakan uang ketat (tight money
policy) tersebut membuat investor memindahkan investasinya dari Indonesia
kembali ke Barat. Selain kejadian tersebut, sudah sering Indonesia
mengalami capital flight yang kemudian diikuti oleh pelemahan nilai
Rupiah.
Ketidakstabilan Politik-Ekonomi
Dari dalam negeri, faktor yang paling mempengaruhi Rupiah adalah kondisi
politik-ekonomi. Di masa-masa ketidakpastian menjelang pemilu sekarang,
investor cenderung was-was dan akan menunggu hingga terpilih pemimpin
baru untuk menunjukkan sentimen ekonomi yang lebih meyakinkan.
Akibatnya, musim menjelang pemilu umumnya ditandai oleh pelemahan
nilai Rupiah.
Performa data ekonomi Indonesia, seperti pertumbuhan PDB (Produk
Domestik Bruto/Gross Domestic Product), inflasi, dan neraca perdagangan,
juga cukup mempengaruhi Rupiah. Pertumbuhan yang bagus akan
menyokong nilai Rupiah, sebaliknya defisit neraca perdagangan yang
bertambah akan membuat Rupiah terdepresiasi. Dua sisi dalam neraca
perdagangan, impor dan ekspor, sangat penting disini. Inilah sebabnya
kenapa sangat penting bagi Indonesia untuk menggenjot ekspor dan
mengurangi ketergantungan pada produk impor.
Demikianlah uraian singkat mengenai tiga faktor utama penyebab
melemahnya nilai Rupiah. Ketiga faktor tersebut menggambarkan garis
besar kondisi Indonesia saat ini. Namun, seiring dengan menguatnya
perekonomian Indonesia, niscaya nilai Rupiah juga akan ikut menguat.
Penyebab Terpuruknya Perekonomian Indonesia
Perekonomian Amerika Serikat membaik dan Dollar pun “ Pulang
Kampung “
Pasca pemulihan dari terjadinya krisis ekonomi di Amerika Serikat pada
tahun 2008, Bank Central Amerika Serikat ( The Fed ) menghembuskan
rencana Tapering Off atau pemangkasan Quantitative Easing yang biasa
disebut sebagai Stimulus Ekonomi. Rencana ini dicanangkan oleh Gubernur
Bank Central United States America pada bulan Mei 2013 dan sejak saat
itulah mata uang Dollar mengalami penguatan nilai tukar terhadap seluruh
mata uang di dunia karena suplai dolar akan berkurang.
Keterangan :
Quantitative Easing :
The Fed mencetak Dollar lebih banyak
The Fed menguyur Stimulus dengan membeli Obligasi
Dollar mengalir kepada Emerging Market, termasuk Indonesia
Mata uang dunia menguat terhadap Dollar
Tapering :
Memotong stimulus
Menaikan suku bunga
The Fed menjual obligasi untuk menarik dana
Dollar dipenjuru dunia kembali ke Amerika
Penguatan Dollar
Dollar menjadi langka tetapi diburu untuk keperluan transaksi
Mata uang Global melemah terhadap Dollar
Terus Tertekan oleh Sinyal Buruk The Fed
Nilai tukar seluruh mata uang dunia terhadap Dollar AS mengalami
pelemahan tak terkecuali Rupiah. Wacana pembelian obligasi yang akan
dikurangi pada Mei 2013 membawa dampak pada sentiment pasar modal
karena dengan melakukan pengurangan dan penjualan obligasi maka
Dollar AS yang pada saat Amerika Serikat mengalami krisis seperti “
tersebar ” di seluruh penjuru dunia dengan penjualan obligasi atau kebijakan
Quantitative Easing yang dilaksanakan pemerintahan Amerika Serikat
terpaksa ditarik untuk “ pulang ” ke Negara asalnya. Sehingga Dollar AS
menjadi langka di pasar dunia dan menyebabkan permintaan akan Dollar
AS lebih besar daripada penawaran.
Rupiah Anjlok hingga 9,6% Bukan yang Terburuk namun juga Bukan
Hal yang Menggembirakan
Selamat Tinggal Booming Harga Komoditas
Tingginya impor yang dilakukan oleh Indonesia tidak sebanding dengan
ekspor yang dilakukan. Mulai menguatnya perekonomian Amerika Serikat
tentunya akan berdampak pada perekonomian Negara - Negara lain di
dunia. Dengan pulihnya perekonomian Amerika Serikat maka laju
pertumbuhan perekonomian di Negara – Negara lain akan sedikit banyak
melambat. Negara – Negara yang menjadi tujuan ekspor barang – barang
komoditi sedang tidak bergairah untuk melakukan impor ke negaranya.
Akibatnya harga jual dari barang – barang komoditi di Indonesia yang
sempat booming anjlok dan penurunan terbesar dialami oleh komoditi karet
yang merosot hingga 71% yakni dari Rp 57,000/ kg menjadi Rp. 16,000/ kg.
Para pengusaha barang – barang komoditas pun banyak yang “ gulung tikar
“ menghadapi pahitnya kenyataan tersebut.
Krisis Ekonomi 2015 LEBIH BURUK daripada Krisis Moneter di
Tahun 1998
Krisis Moneter yang berlanjut pada krisis multidimensi yang dialami
Indonesia pada tahun 1998 ternyata masih lebih baik ketimbang krisis yang
dialami Indonesia di tahun 2015 ini. Hal utama yang dijadikan
perbandingannya adalah ekspor Indonesia, dimana ketika tahun 1998 para
petani seakan “ berpesta “ ditengah porak porandanya perekonomian dan
kondisi social politik bangsa. Misalnya saja harga kopi, saat sebelum krisis
1998 harga kopi di pasar internasional “ hanya “ Rp. 2,000 – 3,000 per kg
namun saat krisis harga kopi menjadi Rp, 25,000 per kg nya. Saat itu harga
satu dollar Rp. 25,000. Namun saat ini naiknya harga dollar hingga hampir
menembus Rp. 15,000 tidak dapat diimbangi dengan naiknya atau bahkan
setidaknya stagnan untuk harga komoditas ekspor Indonesia yang selama
beberapa tahun terakhir didominasi oleh Batu Bara, Minyak Sawit, dan
Karet sehingga setidaknya Indonesia masih dapat tertolong dengan adanya
aktifitas ekspor. Kejatuhan harga terparah dialami oleh karet yakni hingga
71%. Hal yang lebih payah lagi ekspor Indonesia didominasi oleh barang –
barang komoditas tersebut.
Impor Lebih Besar daripada Ekspor, Apakah Indonesia Negara yang
Mandiri ?
Kapan Indonesia mampu menjadi Negara yang mandiri ? Pertanyaan inilah
yang bagi saya cocok dijawab dengan dua kata “ tidak mungkin “.
Tingginya KKN di pemerintahan Republik Indonesia saat ini dapat
dianalogikan seperti ini, “ Lebih banyak Setannya dibading Malaikat.” Ya
memang mulai banyak bermunculan pemimpin – pemimpin yang baik mulai
dari bupati, gubernur bahkan Indonesia saat ini dipimpin oleh seorang
pemimpin yang merakyat dan dianggap sebagai sosok yang paling mumpuni
saat ini untuk mempimpin Bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik namun
sosok – sosok pemimpin yang baik tersebut hanya segelintir masih banyak
para pejabat dan pemimpin di Indonesia yang sakit.
Belum lagi selama 40 tahun Indonesia telah dirampok oleh Mafia Berkley.
Mafia Berkeley adalah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Mereka
mempunyai atau menciptakan keturunan-keturunan. Para pendirinya
memang sudah sepuh, yaitu Prof Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil
Salim, Soebroto, Moh. Sadli, J.B. Soemarlin, Adrianus Mooy, dan masih
sangat banyak lagi. Yang sekarang dominan adalah Sri Mulyani, Moh.
Ikhsan, Chatib Basri, dan masih banyak lagi. Mereka tersebar pada seluruh
departemen dan menduduki jabatan eselon I dan II, sampai kepala biro.
Kebijakan – kebijakan yang diambil oleh mereka selama memimpin
Perekonomian Indonesia pun terbukti mampu untuk semakin “
menghancurkan “ Indonesia.
Pertama, kebijakan anggaran ketat, selain untuk mengendalikan
stabilitas makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan
agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Bahkan
penghapusan subsidi untuk rakyat seperti untuk pendidikan,
kesehatan, perumahan, UKM, dipaksakan hanya agar tersedia
surplus anggaran untuk membayar utang. Pembayaran utang adalah
suatu keharusan, sementara anggaran untuk pemenuhan kebutuhan
dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dll adalah
urusan belakangan.
Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global
dan menjamin modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara
berkembang.
Ketiga, liberalisasi industri dan perdagangan memudahkan negara-
negara maju mengekspor barang dan jasa ke negara berkembang.
Tetapi negara-negara maju sendiri melakukan perlindungan terhadap
sektor industri dan pertaniannya melalui kuota, kebijakan anti-
dumping, export restraint, subsidi dan hambatan non-tarif.
Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik negara
dimaksudkan agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang
sekecil mungkin. Dalam prakteknya program penjualan aset-aset
negara tersebut dilakukan dengan harga sangat murah (under-valued)
sehingga sering terjadi program privatisasi identik dengan
rampokisasi (piratization), seperti diungkapkan Prof. Marshall I.
Goldman dari Harvard.
Jadi, ketergantungan yang sangat tinggi terhadap impor barang dari luar
negeri baik barang produksi maupun konsumsi dan diimbangi dengan
rendahnya ekspor Indonesia maka dapat dipastikan untuk menjadikan
Indonesia sebagai Negara Mandiri dengan memiliki komoditas andalan
untuk ekspor adalah hal yang mustahil.
Bagaikan Domino Efek
Tingginya Impor dan tidak diimbangi oleh Ekspor membuat neraca
perdagangan Indonesia tidak seimbang dan terjadilah deficit sedangkan
pemasukan devisa untuk Indonesia rendah. Maka nilai tukar rupiah akan
terus merosot sehingga tidak mengherankan jika dikatakan Rupiah termasuk
dalam mata uang yang memiliki nilai terendah di dunia. Hasil akhir dari hal
ini adalah Indonesia harus menumpuk hutang lagi untuk melunasi neraca
perdagangan yang deficit. Sedangkan utang luar negeri hanya dapat dibayar
dengan devisa, salah satu devisa adalah Dollar Amerika Serikat.
Ini adalah Hasil Kerja yang Berhasil dicetak oleh Tim Ekonomi
Indonesia selama 40 Tahun Terakhir
Sejak akhir 2011 Indonesia telah dibebani oleh defisit transaksi berjalan
struktural yang menguatirkan baik para pembuat kebijakan maupun para
investor (asing). Meskipun pihak berwenang di Indonesia telah
mengimplementasikan reformasi kebijakan dan penyesuaian perekonomian
di beberapa tahun terakhir, defisit transaksi berjalan Indonesia hanya sedikit
berubah di 2015. Baik Bank Dunia maupun Bank Indonesia memprediksi
bahwa defisit transaksi berjalan akan tetap berada sedikit di bawah 3% dari
produk domestik bruto (PDB) di 2015, sangat dekat dengan batasan yang
memisahkan defisit yang sustainable dan yang unsustainable.
Apa yang dimaksud dengan Defisit Transaksi Berjalan ?
Neraca transaksi berjalan adalah alat ukur terluas untuk perdagangan
internasional Indonesia. Ini mencakup transaksi barang, jasa, pendapatan
faktor produksi (dari aset dan tenaga kerja), dan juga transfer uang. Oleh
karena itu, kalau sebuah negara mencatat defisit transaksi berjalan ini berarti
negara ini menjadi peminjam neto dari negara-negara lain di dunia dan
karenanya membutuhkan modal atau aliran finansial untuk membiayai
defisit ini.
Penting untuk menekankan bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu
buruk. Serupa dengan arus kas negatif sebuah perusahaan, defisit ini bisa
menjadi hal yang positif apabila dana ini digunakan untuk tujuan-tujuan
investasi produktif (yang menghasilkan aliran pendapatan di masa
mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur. Tetapi kalau
defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi ketidakseimbangan
struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran pendapatan di masa
mendatang. International Monetary Fund (IMF) baru-baru ini mengatakan
bahwa defisit transaksi berjalan sebesar 1,5% dari PDB adalah normal untuk
Indonesia. Meskipun begitu, walaupun defisit dapat menjadi suatu
kenormalan, defisit ini tetap menyebabkan tumpukan liabilitas neto pada
luar negeri dan hal ini mungkin memperbesar risiko seiring dengan waktu.
Karena defisit transaksi berjalan adalah data statistik yang penting, para
investor (di pasar finansial dan saham) disarankan untuk mengambil sedikit
waktu untuk belajar mengenai neraca transaksi berjalan sebuah negara
sebelum berinvestasi dalam aset apa pun. Adalah sebuah fakta yang
diketahui umum bahwa negara-negara yang dibebani defisit transaksi
berjalan sangat rentan pada capital outflows pada masa-masa guncangan
perekonomian. Contohnya waktu mantan pimpinan Federal Reserve Ben
Bernanke mengumumkan pada bulan Mei 2013 bahwa bank sentral
Amerika Serikat (AS) sedang mempertimbangkan untuk mengurangi
program quantitative easing yang berjumlah besar (memicu ketidakjelasan
dan volatilitas global yang sangat besar), Indonesia adalah salah satu negara
berkembang yang mendapatkan dampak paling buruk.
Dua grafik di bawah ini menunjukkan bahwa Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mulai sangat melemah sejak akhir
Mei 2013 setelah pernyataan Bernanke karena para investor asing menarik
dana keluar dari pasar Indonesia. Kendati baik saham maupun rupiah
menikmati dampak positif dari “efek Jokowi” (merujuk pada pengumuman
pencalonan Joko Widodo sebagai presiden di awal 2014 dan ikut menjadi
sebab tercatatnya inflow portofolio pada tahun itu), rupiah segera kembali
melemah (menjelang pengetatan moneter AS lebih lanjut yaitu kenaikan
suku bunga AS) sementara saham (meskipun volatilitas yang tinggi) mampu
menunjukkan trend menaik (sampai dengan triwulan kedua tahun 2015).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG):
Karena lambatnya pertumbuhan perekonomian global, terutama
berkurangnya kecepatan pertumbuhan pembangunan di Republik Rakyat
Tiongkok (mitra dagang utama Indonesia), ekspor Indonesia telah jatuh
drastis sejak 2011. Indonesia mulai mencatat defisit transaksi berjalan di
kuartal ke-4 tahun 2011, dan tetap negatif sejak saat itu. Penurunan
permintaan dan harga komoditi global menyebabkan shok perdagangan
yang besar. Indonesia, sebuah negara pengekspor komoditi yang besar,
mengalami penurunan pendapatan ekspor komoditi menjadi seperenamnya
selama periode 2011-2014. Terlebih lagi, untuk perdagangan dari komoditi-
komoditi utamanya (seperti batubara dan minyak sawit mentah), pendapatan
berkurang setengahnya.
Oleh karena itu, performa ekspor Indonesia menurun tajam sejak 2011.
Impor, di sisi lain, bertumbuh karena pemerintah Indonesia pada saat itu
mempertahankan program subsidi bahan bakarnya yang sudah berlangsung
selama beberapa dekade. Program ini, yang bertujuan untuk melindungi
segmen masyarakat Indonesia yang lebih miskin, masih masuk akal di tahun
1980an dan 1990an waktu Indonesia adalah sebuah eksportir minyak neto
(meskipun subsidi-subsidi semacam ini dalam jangka panjang selalu
menganggu perekonomian karena biaya-biaya transportasi yang dibuat-buat
rendah dan tidak mungkin untuk melanjutkan keadaan ini karena minyak
adalah sumberdaya yang akan habis). Meskipun begitu, waktu Indonesia
menjadi importir minyak neto di pertengahan 2000an (karena penurunan
tajam hasil produksi minyak dikombinasikan dengan permintaan domestik
yang cepat bertumbuh untuk bahan bakar) defisit perdagangan minyak &
gas bertumbuh.
Dalam Indonesia Economic Quarterly terbaru (Juli 2015), Bank Dunia
menyatakan bahwa “berkurangnya surplus transaksi perdagangan produk-
produk non-minyak & gas [Indonesia] berakibat, untuk hampir setengah
(49%), dari penurunan neraca transaksi berjalan sebesar 30,5 miliar dollar
AS pada periode 2010-2014, perdagangan minyak & gas sedikit di bawah
sepertiga (29%), dan peningkatan outflow pendapatan sekitar seperempat
(23%, sebagian besar terjadi di 2010).”
Di kuartal kedua tahun 2013 Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan
dengan rekor tertinggi (dalam sejarah resen) sebesar 10,1 miliar dollar AS,
atau 4,4% dari PDB. Walaupun biasanya alasan musiman mengakibatkan
defisit transaksi berjalan Indonesia cenderung meningkat di kuartal kedua,
kenaikan ini tetap berada pada tingkat sangat menguatirkan. Secara umum,
defisit transaksi berjalan sampai 3% dari PDB dianggap masih dapat
ditangani. Perlu diingat bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk.
Meskipun begitu, seperti yang telah disebutkan di atas, alasan utama untuk
defisit transaksi berjalan Indonesia adalah menggelembungnya biaya impor
minyak Indonesia. Oleh karena itu, defisit ini tidak digunakan untuk tujuan-
tujuan investasi produktif (menghasilkan aliran pendapatan di masa
mendatang) namun karena konsumsi bahan bakar masyarakat yang terus
meningkat.
Penyesuaian Kebijakan untuk Melawan Defisit Transaksi Berjalan
Karena impor minyak yang menggelembung adalah salah satu masalah
utama, pemerintah Indonesia (waktu itu masih di bawah kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono) memutuskan untuk memotong subsidi bahan
bakar (untuk pertama kalinya sejak 2008) di akhir Juni 2013 dan secara
efektif menaikan harga gasoline sebesar 44% dan harga diesel 22%. Hal ini
dilakukan karena subsidi-subsidi ini mengancam untuk membesar menjadi
30 miliar dollar AS di 2013 dan mendorong defisit Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara jauh di atas batasan yang diharapkan yaitu 3% dari
PDB. Reformasi-reformasi yang lebih terbaru, di bawah kepemimpinan
Presiden Joko Widodo saat ini, telah memotong subsidi bahan bakar yang
dianggarkan menjadi 0,6% dari PDB, mengurangi subsidi energi yang
dianggarkan (baik untuk bahan bakar dan listrik) menjadi 1,2% dari PDB di
2015, menurun dari rata-rata 3,3% di 2011-2014. Reformasi-reformasi ini
seharusnya berkontribusi pada keberlanjutan stabil masa depan dari posisi
eksternal Indonesia dan mengurangi risiko-risiko fiskal dari - dan
meningkatkan daya tukar belanja - pelemahan rupiah lebih lanjut.
Setelah kondisi keuangan eksternal menurun secara signifikan sejak
pertengahan 2013, Bank Indonesia memutuskan untuk mengetatkan posisi
moneternya melalui kenaikan suku bunga dan tindakan-tindakan
makroprudensial yang bertujuan mengurangi permintaan domestik
(karenanya mengurangi impor). Suku bunga acuan Indonesia (BI rate), yang
mengalami rekor rendah pada 5,75% sejak Februari 2012, ditingkatkan
secara bertahap, namun agresif, dari Juni 2013 sampai November 2013 dari
5,75% menjadi 7,50%. Meskipun tindakan ini terutama dilakukan untuk
melawan inflasi yang meningkat sejak kenaikan harga bahan bakar
bersubsidi setelah Juni 2013, tingkat suku bunga yang lebih tinggi juga
mengurangi permintaan domestik untuk impor.
Manajemen nilai tukar Bank Indonesia yang fleksibel (sejak pertengahan
2013) juga berkontribusi pada stabilitas makroekonomi. Rupiah telah
melemah kira-kira 33% terhadap dollar AS selama dua tahun terakhir
karena bank sentral mengadopsi pendekatan yang lebih tidak terlibat untuk
nilai tukar mata uang rupiah. Bank Dunia mencatat bahwa “pelemahan
dalam konteks efektif yang sesungguhnya (yaitu diukur melalui pengaruh
perdagangan) telah menjadi lebih lumayan pada 10%, dan sebuah
penyesuaian awal yang tajam di pertengahan kedua tahun 2013 telah diikuti
oleh trend pelemahan yang secara umum teratur.” Pendekatan dari bank
sentral membantu meringankan dampak shock perdagangan dengan
mengurangi kejatuhan harga ekspor dalam konteks rupiah. Ini juga
meningkatkan likuiditas perdagangan mata uang dan mendukung pemulihan
dalam cadangan devisa kotor.
Dampak dari Penyesuaian Kebijakan pada Defisit Transaksi Berjalan
Indonesia
Meskipun subsidi bahan bakar telah hampir seluruhnya dihapus di awal
2015, harga minyak mentah global rendah, dan pengurangan pertumbuhan
permintaan domestik, defisit transaksi berjalan Indonesia tetap pada 2,9%
dari PDB di 2014 dan diproyeksikan untuk tetap pada level itu di 2015.
Alasan utama di balik ini adalah, sebagai dampak perlambatan
perekonomian global (dan sangat melambatnya pertumbuhan perekonomian
di Republik Rakyat Tionghoa), performa ekspor Indonesia terus menurun.
Sementara impor Indonesia menurun secara signifikan (sebanyak 4,5% pada
basis year-on-year di 2014), pendapatan ekspor Indonesia terus menurun
(sebanyak 3,7% pada basis year-on-year di 2014) juga. Secara umum,
rendahnya ekspor komoditi neto Indonesia tetap menurunkan neraca
transaksi berjalan Indonesia, sementara defisit perdagangan manufaktur
membaik secara bertahap (terutama karena penurunan impor sejak 2013),
sementara penurunan yang lebih terbaru pada harga minyak global telah
membantu menaikkan neraca perdagangan barang Indonesia kembali pada
surplus.
Memang betul bahwa di kuartal pertama tahun 2015 defisit transaksi
berjalan Indonesia berada pada 1,8% dari PDB. Meskipun begitu, hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor musiman yang menguntungkan.
Dibandingkan dengan kuartal yang sama di tahun lalu, defisit transaksi
berjalan hanya membaik 0,1%.
Kesimpulan Akhir
Defisit transaksi berjalan Indonesia disebabkan oleh campuran kompleks
dari berbagai faktor, kebanyakan adalah faktor struktural dan berjangka
panjang. Karena negara ini masih pada tahap yang relatif awal dari
konvergensi perekonomian menjadi mitra perdagangan berpendapatan
tinggi, hal ini menyebabkan tingkat pertumbuhan yang cepat, return modal
domestik yang lebih tinggi, dan kelebihan belanja investasi dibandingkan
simpanan domestik. Semua ini cenderung membawa transaksi berjalan
kepada defisit. Tindakan-tindakan kebijakan untuk memaksa transaksi
berjalan Indonesia menjadi surplus, contohnya dengan langsung mengurangi
impor melalui tindakan-tindakan kebijakan atau melalui kontraksi fiskal,
akan mendorong perekonomian keluar dari jalur trendnya, dengan harga
mengurangi pertumbuhan perekonomian. Meskipun begitu, untungnya,
Indonesia tidak harus membayar harga ini. Dengan asumsi bahwa tidak ada
kesulitan-kesulitan keuangan jangka pendek, defisit transaksi berjalan
berukuran moderat bisa berjalan selamanya, apabila defisit ini berkontribusi
pada kecepatan yang cukup dari ekspansi perekonomian yang struktural.
Pemerintah Indonesia seharusnya berfokus pada kebijakan-kebijakan yang
meningkatkan integrasi Indonesia pada pasar global dan berinvestasi pada
pembangunan infrastruktur dan juga sumberdaya manusia untuk mengatasi
kesenjangan kemampuan. Tindakan-tindakan ini akan mendongkrak daya
kompetisi internasional Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan,
pekerjaan, dan pendapatan. Meningkatnya investasi langsung asing,
dibutuhkan demi mendapatkan teknologi dan pengetahuan dan juga untuk
menjadi pusat produksi dan ekspor regional, dapat dilakukan dengan
menangani ketidakjelasan peraturan dan biaya-biaya tinggi di Indonesia.
Investasi langsung asing adalah sumber yang besar dan relatif stabil untuk
pembiayaan eksternal.
Ternyata Indonesia Memiliki Kawan yang juga Rapuh akan
Terjadinya Defisit Neraca Transaksi Berjalan
Satu – satunya Hal yang Dapat Membuat Rakyat Indonesia Tersenyum
di Tengah Krisis saat ini
Menguatnya Dollar Amerika Serikat terhadap seluruh Nilai Mata Uang
Dunia membuat banyak Negara menguras cadangan devisanya namun tidak
dengan Indonesia, Cina, Australia, dan India. Bank Central Indonesia
berusaha untuk membuat cadangan devisa tetap aman dan bahkan
mengalami peningkatan.
Pemerintah Jokowi Luncurkan 3
Paket Kebijakan Ekonomi
Kebijakan ini diharapkan langsung dirasakan manfaatnya oleh rakyat,
utamanya yang berpenghasilan rendah
Paket Kebijakan Ekonomi I
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengumumkan paket kebijakan
penyelamatan ekonomi tahap I yang berfokus pada tiga hal besar, yakni
meningkatkan daya saing industri, mempercepat proyek-proyek strategis
nasional, dan mendorong investasi di sektor properti.
“Dalam menyikapi ekonomi dunia yang berdampak pada perkenomian
banyak negara termasuk indonesia, pemerintah bersama otoritas moneter,
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, telah melakukan langkah-
langkah dalam upaya menciptakan kondsisi ekonomi makro yang kondusif,”
kata Jokowi membuka pidato.
“Tujuan dari kebijakan ini tidak saja berupa stimulus bagi dunia usaha,
tetapi juga dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak
terutama yang berpenghasilan rendah,” katanya.
Menurut Jokowi, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sebelumnya telah
melakukan upaya stabilisasi fiskal dan moneter, termasuk di dalamnya
adalah pengendalian inflasi. Sinergi kebijakan ini dilakukan guna
menggerakkan mesin pertumbuhan ekonomi, antara lain dengan mendorong
percepatan belanja pemerintah dan juga melakukan langkah-langkah
penguatan neraca pembayaran.
Selain itu, pemerintah juga telah melakukan langkah-langkah untuk
melindungi masyarakat, seperti pemberdayaan usaha mikro dan penyaluran
kredit dengan suku bunga rendah.
"Langkah-langkah konkrit yang akan dilakukan pemerintah antara lain
pengendalian harga komoditas pokok, seperti BBM dan pangan, kemudian
pembentukan tim evaluasi dan pengawas, realisasi anggaran, dan yang
ketiga pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk
mendorong pemanfaatan biodiesel 15 persen, sehingga dapat mengurangi
impor BBM dan harga ekspor kelapa sawit," jelasnya di Istana
Kepresidenan, Rabu (9/9).
Tak hanya itu, lanjut Jokowi, pemerintah juga telah melakukan langkah-
langkah untuk melindungi masyarakat dan menggerakkan ekonomi
pedesaan. Antara lain dengan memberdayakan usaha mikro dan kecil
dengan menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) dengan tingkat suku bunga
yang rendah.
"Bunga KUR yang dulunya 22-23 persen (diturunkan) menjadi 12 persen,"
tuturnya.
Untuk mendorong pembangunan infrastruktur di desa, lanjut presiden,
pemerintah juga mengupayakan percepatan pencairan dan penyederhanaan
pemanfaatan dana desa.
"Pemerintah juga melakukan penambahan alokasi beras sejahtera (Rastra)
bulan 13 dan bulan 14. Artinya ada tambahan selama dua bulan bagi
masyarakat yang berpendapatan rendah," tuturnya.
Namun, serangkaian kebijakan itu dirasa belum cukup oleh Jokowi.
Karenanya, pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi tambahan
untuk meningkatkan daya saing industri, mempercepat proyek-proyek
strategis nasional, dan mendorong investasi di sektor properti.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia meluncurkan paket kebijakan
ekonomi tahap pertama pada September 2015.
Paket-paket tersebut adalah:
1. Mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi dan
debirokrasi. “Ada 89 peraturan yang diubah dari 154,” kata Jokowi.
“Sehingga ini bisa menghilangkan duplikasi, bisa memperkuat, dan
memangkas peraturan yang tidak relevan, atau menghambat industri
nasional.”
2. Mempercepat proyek strategis nasional, termasuk penyediaan lahan
dan penyederhanaan izin, serta pembangunan infrastruktur.
3. Meningkatkan investasi di bidang properti dengan mendorong
pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Diharapkan kebijakan ini akan membuka peluang investasi yang
lebih besar di sektor properti.
Untuk mendorong daya saing industri, Jokowi menyebutkan terdapat 89
peraturan dari 154 regulasi yang sifatnya menghambat daya saing industri
akan dirombak. Kebijakan deregulasi ini diharapkan presiden dapat
menghilangkan tumpang tindih aturan dan duplikasi kebijakan.
"Juga sudah disiapkan 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 rancangan
peraturan presiden, 2 rancangan instruksi presiden, 63 rancangan peraturan
menteri dan 5 aturan lain," kata dia.
Terkait percepatan proyek strategis nasional, Jokowi memastikan
pemerintah akan menghilangkan berbagai hal yang selama ini menyumbat
pelaksanaannya.
"Antara lain melakukan penyederhanaan izin, penyelesaian masalah tata
ruang, mempercepat pengadaan barang dan jasa, serta memberikan diskresi
menyangkut hambatan hukum," tuturnya.
Fokus yang ketiga, lanjut jokowi, pemerintah akan mendorong
pembangunan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah serta membuka
peluang investasi yang lebih besar di sektor properti.
"Saya ingin menekankan di sini bahwa paket kebijakan ekonomi ini
bertujuan untuk menggerakkan kembali sektor riil kita yang akhirnya
memberikan fondasi pelompatan kemajuan perekonomian kita ke depan,"
tuturnya.
Menurut Jokowi, paket kebijakan tahap pertama ini akan memperkuat
industri nasional.
“Akan mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, akan
memperlancar perdagangan antar daerah, akan membuat pariwisata semakin
bergairah, akan menyejahterakan nelayan,” katanya.
Paket Ekonomi Jilid IIBerbeda dengan Paket Kebijakan Ekonomi I yang meliputi banyak regulasi,
kali ini Presiden Joko Widodo mengarahkan paket kebijakan ekonominya
untuk fokus pada upaya meningkatkan investasi. Bentuk upaya ini berupa
deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah investasi,
baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal
asing (PMA).
Inilah isi lengkap kebijakan ekonomi tahap II Presiden Jokowi:
I. Kemudahan Layanan Investasi 3 Jam
Untuk menarik penanaman modal, terobosan kebijakan yang
akan dilakukan adalah memberikan layanan cepat dalam bentuk
pemberian izin investasi dalam waktu tiga jam di Kawasan
Industri. Dengan mengantongi izin tersebut, investor sudah bisa
langsung melakukan kegiatan investasi. Regulasi yang
dibutuhkan untuk layanan cepat investasi 3 jam ini adalah
Peraturan Kepala BKPM dan Peraturan Pemerintah mengenai
Kawasan Industri serta Peraturan Menteri Keuangan.
II. Pengurusan Tax Allowance dan Tax Holiday Lebih Cepat
Setelah dalam 25 hari syarat dan aplikasi dipenuhi, pemerintah
mengantongi keputusan bahwa investasi tersebut dapat
menerima tax allowance atau tidak. Sedangkan untuk tax
holiday, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
memutuskan pengesahannya maksimun 45 hari setelah semua
persyaratan dipenuhi.
III. Pemerintah Tak Pungut PPN Untuk Alat Transportasi
Kebijakan tersebut termaktub regulasi yang telah terbit,
Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 2015 tentang impor dan
penyerahan alat angkutan tertentu dan penyerahan jasa kena
pajak, terkait angkutan tertentu yang tidak dipungut PPN.
Pemerintah akan memberikan insentif berupa tidak memungut
PPN untuk beberapa alat transportasi, terutama adalah galangan
kapal, kereta api, pesawat, dan termasuk suku cadangnya
IV. Insentif fasilitas di Kawasan Pusat Logistik Berikat
Dengan adanya pusat logistik, maka perusahaan manufaktur
tidak perlu impor dan tidak perlu mengambil barang dari luar
negeri karena cukup mengambil dari gudang berikat.
Rencananya hingga menjelang akhir tahun akan ada dua pusat
logistik berikat yang siap beroperasi, yakni di Cikarang terkait
sektor manufaktur dan di Merak terkait BBM. "Kita ingin
dengan PP ini, daya saing kita untuk pusat logistik berikat bisa
diperkuat dan makin banyak pusat logistik berikat yang
beroperasi di Indonesia," kata Bambang Brodjonegoro Menteri
Keuangan.
V. Insentif pengurangan pajak bunga deposito
Insentif ini berlaku terutama eksportir yang berkewajiban
melaporkan devisa hasil ekspor (DHE) ke Bank Indonesia. DHE
disimpan dalam bentuk deposito 1 bulan, tarifnya akan
diturunkan 10 persen, 3 bulan maka menjadi 7,5 persen, 6 bulan
menjadi 2,5 persen dan di atas 6 bulan 0 persen. Jika dikonvert
ke rupiah, maka tarifnya 1 bulan 7,5 persen, 3 bulan 5 persen,
dan 6 bulan langsung 0 persen.
VI. Perampingan Izin Sektor Kehutanan
Izin untuk keperluan investasi dan produktif sektor kehutanan
akan berlangsung lebih cepat. Saat ini Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan mengeluarkan sebanyak 14 izin. Dalam
paket kebijakan tahap dua, proses izin dirampingkan menjadi 6
izin . Perampingan ini melibatkan revisi 9 peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Paket Ekonomi Jilid IIIUntuk mengatasi dampak pelemahan ekonomi yang tengah melilit
perekonomian Indonesia, Rabu (7/10/2015), pemerintah meluncurkan paket
kebijakan ekonomi tahap III.
Paket ini untuk melengkapi dua paket kebijakan ekonomi yang sudah
dilansir Presiden Joko Widodo pada September 2015 lalu. Melalui dua paket
kebijakan terdahulu, pemerintah melakukan berbagai deregulasi untuk
memperbaiki iklim usaha dan mempermudah perizinan usaha.
"Untuk kali ini, pemerintah menambahkan satu hal lagi, selain kemudahan
dan kejelasan berusaha, yaitu menekan biaya," kata Menteri Koordinator
Perekonomian Darmin Nasution kepada wartawan di Istana Kepresidenan
(7/10/2015).
Seperti dikutip dari siaran pers Humas Kementerian Koordinator
Perekonomian, paket kebijakan ekonomi tahap III mencakup tiga wilayah
kebijakan:
Pertama, penurunan tarif listrik dan harga BBM serta gas.
Kedua, perluasan penerima kredit usaha rakyat (KUR).
Ketiga, penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman
modal.
A. Penurunan harga BBM, listrik dan gas
1. Harga BBM
Harga avtur, LPG 12 kg, Pertamax, dan Pertalite efektif turun sejak
1 Oktober 2015.
Harga solar turun Rp 200 per liter baik untuk solar bersubsidi
ataupun non-subsidi. Dengan penurunan ini, harga eceran solar
bersubsidi akan menjadi Rp 6.700 per liter. Penurunan harga solar
ini berlaku 3 hari sejak pengumuman ini.
Harga BBM jenis premium tetap alias tidak berubah, yakni Rp 7.400
per liter di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) dan Rp 7.300 per liter
(di luar Jamali).
2. Harga gas
Harga gas untuk pabrik dari lapangan gas ditetapkan sesuai dengan
kemampuan daya beli industri pupuk, yakni sebesar 7 dollar AS
million metric british thermal unit (MMBTU).
Harga gas untuk industri lainnya (seperti petrokimia dan keramik)
akan diturunkan sesuai dengan kemampuan industri masing-masing.
Penurunan harga gas dimungkinkan dengan melakukan efisiensi
pada sistem distribusi gas serta pengurangan penerimaan negara atau
PNBP gas. Meski demikian, penurunan harga gas ini tidak akan
memengaruhi besaran penerimaan yang menjadi bagian perusahaan
gas yang berkontrak kerja sama.
Penurunan harga gas untuk industri tersebut akan efektif berlaku
mulai 1 Januari 2016. "Karena masih harus mengubah aturan tentang
PNBP-nya," ujar Darmin.
3. Tarif listrik
Tarif listrik untuk pelanggan industri I3 dan I4 akan turun mengikuti
turunnya harga minyak bumi (automatic tariff adjustment).
Diskon tarif hingga 30 persen untuk pemakaian listrik mulai tengah
malam pukul 23.00 hingga pagi hari pukul 08.00, pada saat beban
sistem ketenagalistrikan rendah.
Penundaan pembayaran tagihan rekening listrik hingga 60 persen
dari tagihan selama setahun dan melunasi 40 persen sisanya secara
angsuran pada bulan ke-13, khusus untuk industri padat karya.
B. Perluasan penerima KUR
Setelah menurunkan tingkat bunga KUR dari sekitar 22 persen
menjadi 12 persen pada paket kebijakan ekonomi tahap III ini,
pemerintah memperluas penerima KUR. Kini keluarga yang
memiliki penghasilan tetap atau pegawai dapat menerima KUR
untuk dipergunakan dalam sektor usaha produktif.
"Melalui perluasan penerima KUR ini, pemerintah berharap akan
muncul para wirausaha baru," ujar Darmin.
C. Penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman
modal
1. Kementerian ATR/BPN merevisi Permen Nomor 2 Tahun 2015
tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Agraria, Tata Ruang, dan
Pertanahan dalam Kegiatan Penanaman Modal.
2. Beberapa substansi pengaturan baru ini mencakup beberapa hal,
seperti:
a. Pemohon mendapatkan informasi tentang ketersediaan lahan
(semula 7 hari menjadi 3 jam).
b. Seluruh permohonan didaftarkan sebagai bentuk kepastian bagi
pemohon terhadap ketersediaan dan rencana penggunaan lahan.
Surat akan dikeluarkan dalam waktu 3 jam.
c. Kelengkapan perizinan prinsip:
Proposal, pendirian perusahaan, hak atas tanah menjadi persyaratan
awal untuk dimulainya kegiatan lapangan.
Ada persyaratan yang dapat menyusul sampai dengan sebelum
diterbitkannya keputusan tentang hak penggunaan lahan.
3. Jangka waktu pengurusan (persyaratan harus lengkap):
Hak guna usaha (HGU) dari semula 30–90 hari menjadi 20 hari kerja
untuk lahan dengan luas sampai dengan 200 hektar, dan menjadi 45
hari kerja untuk lahan dengan luas di atas 200 hektar.
Perpanjangan/pembaruan HGU dari semula 20–50 hari menjadi 7
hari kerja untuk lahan dengan luas di bawah 200 hektar atau 14 hari
kerja untuk lahan dengan luas di atas 200 hektar.
Permohonan hak guna bangunan/hak pakai dari semula 20–50 hari
kerja dipersingkat menjadi 20 hari kerja (luas lahan sampai dengan
15 hektar) atau 30 hari kerja (luas lahan di atas 15 hektar).
Perpanjangan/pembaruan hak guna bangunan/hak pakai dari semula
20–50 hari kerja menjadi 5 hari kerja (luas lahan sampai dengan 15
hektar) atau 7 hari kerja (luas di atas 15 hektar).
Hak atas tanah dari semula 5 hari kerja diperpendek menjadi 1 hari
kerja saja.
Penyelesaian pengaduan dari semula 5 hari kerja dipersingkat
menjadi2 hari kerja.
4. Perpanjangan hak penggunaan lahan yang didasarkan pada evaluasi
tentang pengelolaan dan penggunaan lahan, termasuk audit luas
lahan, tidak lagi memakai persyaratan seperti awal permohonan.
9 Poin Penting dalam Paket Kebijakan
Ekonomi Jokowi
Pemerintah berupaya menambah pasokan dolar Amerika
Presiden Joko “Jokowi” Widodo baru saja mengumumkan paket kebijakan
ekonomi di Istana Negara, Rabu, 9 September, didampingi Menteri
Keuangan Darmin Nasution dan Gubernur Bank Indonesia Agus
Martowardojo.
Ada 9 poin penting dalam pengumuman itu, antara lain:
1. Birokrasi yang ramping
Presiden akan melakukan deregulasi, debirokratisasi untuk dunia
usaha. Salah satunya dengan merombak 89 aturan tentang dunia
usaha, sehingga tidak ada aturan yang tumpah tindih.
Selain merampingkan, pemerintah juga menyederhanakan aturan
untuk mendukung dunia usaha, seperti izin dan layanan berbasis
elektronik.
2. Rumah murah untuk rakyat
“Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mendorong
pembangunan perumahan, khususnya untuk masyarakat
berpenghasilan rendah, serta membuka peluang investasi yang lebih
besar di sektor properti,” kata Jokowi.
3. Subsidi kredit UMKM
Bagi yang memiliki usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
dengan memberikan subsidi bunga kredit. “(Bunga kredit) yang
dulunya 22-23% menjadi 12%” kata Jokowi.
Darmin menambahkan bahwa pemerintah akan menjadikan koperasi
sebagai mitra UMKM, dengan membantu permodalan UMKM.
4. Mempermudah pengurusan visa
Jokowi berjanji akan mempermudah pengurusan visa kunjungan dan
aturan pariwisata.
5. Konversi elpiji untuk nelayan
Presiden mengatakan nelayan akan menggunakan elpiji (LPG), alih-
alih solar. Dengan konversi, Jokowi yakin nelayan bisa hemat biaya
bahan bakar hingga 70 persen.
Darmin menjelaskan contoh perhitungannya, “Sekali melaut nelayan
kecil butuh solar sampai dengan 30 liter x Rp 6.900 = Rp 207.000.
Tapi dengan adanya konversi bisa hemat Rp 144.900. Artinya modal
Solar yang dibutuhkan hanya Rp 62.100,” katanya.
“Jika nelayan mendapatkan 10 kilogram ikan selama melaut, dengan
asumsi harga Rp 20 ribu/kilo, maka nelayan dapatkan keuntungan
tambahan sama dengan Rp 137.900 (per 10 kilogram),” katanya.
6. Harga daging sapi stabil
Jokowi mengatakan pemerintah akan menjamin stabilitas harga
komoditi pangan khususnya daging sapi. Caranya?
“Memperluas cakupan perdagangan dan negara asal impor sapi,
maupun daging sapi, sehingga dapat menciptakan harga sapi atau
daging sapi yang lebih kompetitif,” kata Darmin.
7. Pencairan dana desa
Menurut Darmin, untuk melindungi masyarakat berpendapatan
rendah dan menggerakkan ekonomi pedesaan, pemerintah akan
mempercepat pencairan dana desa.
Pemerintah akan mempermudah regulasi pencairan lewat Surat
Keputusan Bersama tiga menteri: Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, dan Menteri Pedesaan, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi.
8. Jatah beras untuk orang miskin ditambah
Pemerintah akan menambah alokasi beras sejahtera di bulan ke 13
dan 14. “Artinya ada tambahan selama dua bulan lagi bagi
masyarakat yang berpendapatan rendah,” kata Darmin.
9. Menambah persediaan dolar Amerika
Mata uang rupiah sedang bergejolak dan terus melemah atas dolar
Amerika, sehingga permintaan rupiah dan dolar Amerika tidak
seimbang. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi perekonomian
Indonesia. Apalagi akibat ketidakseimbangan ini, persediaan dolar
Amerika di tanah air disinyalir sedang seret.
Untuk itu, permintaan dan penawaran valas perlu diperkuat dengan
memperketat batas pembelian valas. Bagi yang ingin membeli valas
lebih dari US$ 25 ribu, harus menunjukkan bukti berupa identitas
dan Nomor Pengguna Wajib Pajak. Dulu aturan ini berlaku untuk
pembelian valas di atas $ 100 ribu.
Sementara itu untuk warga negara asing yang membuka rekening
hingga $ 50 ribu hanya perlu menunjukkan paspor.
Pelaku Usaha Bicara Trilogi
Paket Kebijakan Ekonomi
Dari Ketua Gaikindo hingga vice president Go-Jek, apa kata mereka soal
kebijakan paket ekonomi jilid 3 Jokowi?
PAKET KETIGA. Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan
pengantar pengumuman Paket Kebijakan Ekonomi III, di kantor
Kepresidenan, Jakarta, 7 Oktober.
Trilogi paket kebijakan ekonomi pemerintah kini semuanya telah
diluncurkan bersamaan dengan pengumuman peluncuran jilid ketiga di
Istana Negara pada Rabu, 7 Oktober.
Dari paket pertama hingga ketiga, pesannya jelas: Pemerintah ingin
mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang belakangan mengalami
perlambatan. Salah satu caranya adalah dengan memberikan berbagai
kemudahan bagi pelaku usaha dalam proses investasi dan produksi.
Bagaimana pelaku usaha merespons upaya pemerintah ini?
Jongkie D Sugiarto (Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor
Indonesia)
"Kami menyambut baik paket kebijakan ekonomi satu, dua, dan tiga itu, dan
berharap itu akan menjadi stimulus di sektor usaha dan bisnis di Indonesia.
Kalau untuk sektor otomotif sendiri, kami berharap ini akan mendorong
angka penjualan kendaraan bermotor.
Untuk yang dampaknya langsung, beberapa kebijakan akan memotong
biaya produksi. Misalnya, biaya listrik akan terpotong."
Arthur Batubara (Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estate
Indonesia)
"Saya soroti satu dulu, yaitu di bidang agraria. Kami menyambut baik
semangatnya karena akan ada percepatan proses sertifikasi baik untuk HGU
(Hak Guna Usaha) maupun Hak Guna Bangunan (HGB), seperti
disampaikan oleh Pak Menteri (Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Ferry M. Baldan). Meskipun kita belum tahu apakah
akan efektif di lapangan.
Kalau secara umum, kami berharap paket-paket kebijakan ini bisa
membantu pengusaha agar cash flow mereka akan menjadi lebih baik.
Karena kalau di sektor properti sendiri memang ada kelesuan. Di properti
kawasan industri sebagai contoh, penurunannya bisa sampai 80 persen year
on year."
Pingkan Irwin (Vice President Marketing Go-Jek Indonesia)
"Kalau dari kita, kita mendukung banget, terutama penurunan harga BBM
(bahan bakar minyak), karena itu kan merupakan salah satu pengeluaran
utama pengemudi-pengemudi kita."
Joshua Agusta (Partner MDI Venture, Grup Telkom Indonesia)
"Kita sebagai venture capitalist (pemodal ventura) lebih optimis karena
sekarang setidaknya fundamen makro kita lebih baik. Kemarin startup-
startup yang berinteraksi dengan kita banyak cerita kalau situasi ekonomi
yang memburuk membuat sejumlah rekan bisnis mereka jadi kekurangan
budget. Sekarang kita optimis ke depannya akan lebih baik."
6 Paket Kebijakan Ekonomi dari
OJK
Otoritas Jasa Keuangan Dukung Pemulihan Ekonomi dengan Paket
Deregulasi Sektor Keuangan
Ketua OJK Muliaman Hadad mengumumkan 6 Paket Deregulasi Sektor
Jasa Keuangan, di kantor Kepresidenan, Jakarta, 7 Oktober 2015.
Paket kebijakan ini diumumkan di Istana Negara, Rabu, 7 Oktober,
bersamaan dengan pengumuman paket ekonomi jilid 3 dari pemerintahan
Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
“Yang dulu kita nilai terlalu njelimet, kita sederhanakan. Dengan adanya
kebijakan ini, kami harapkan kemampuan industri perbankan nasional di
Indonesia bisa bertambah dalam menangani aktivitas manajemen valuta
asing,” kata Ketua Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman
Hadad, Rabu.
Apa saja 6 kebijakan ekonomi dari OJK? Berikut keterangan Ketua
komisioner OJK:
1. Relaksasi ketentuan persyaratan kegiatan usaha penitipan dan
pengelolaan valuta asing oleh bank (business trust)
Dalam hal ini, bank bertindak sebagai trustee, yang dipercayai mengelola.
Untuk mendukung stimulus lanjutan dan meningkatkan kemampuan bank
dalam kelola valas terutama sebagai kelanjutan dari paket kebijakan
ekonomi jilid 2, terutama yang terkait dengan pengelolaan valas hasil
ekspor, OJK menganggap perlu adanya kebijakan pendukung.
Pertama, jumlah banknya diperluas. Artinya tidak terbatas pada beberapa
bank seperti yang berlaku selama ini.
Kedua, persyaratan bagi bank dipermudah. Tidak perlu menggunakan
kantor bank asing yang ada di luar negeri. Bank dapat menggunakan kantor
bank yang ada di Indonesia.
Ketiga, persyaratan disederhanakan, misalnya terkait dengan kecukupan
modal.
2. Skema asuransi pertanian
OJK bekerjasama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan konsorsium beberapa perusahaan
asuransi, merancang skema asuransi pertanian, dan kini siap dijalankan.
Yang akan diterapkan pertama kali adalah asuransi usaha tani padi. Untuk
jenis ini 80 persen preminya dibayar pemerintah, sisanya yang 20 persen
dibayar petani. Dana untuk asuransi usaha tani padi ini sudah disediakan
oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Manfaat kebijakan
ini adalah membantu sektor pertanian yang sering terganggu oleh
ketidakpastian cuaca yang dapat merugikan petani.
Adanya skema asuransi membuat petani menjadi bankable. Jika alami
kerugian, dan tidak mampu membayar kredit, akan ditanggung asuransi.
Untuk tahap pertama, pemerintah alokasikan dana premi sebesar Rp 150
miliar, yang diharapkan bisa mencakup sekitar 1 juta hektar lahan pertanian
padi Skema akan diterapkan mulai musim tanam 2015. Premi per hektar
senilai Rp 180 ribu, di mana Rp 150 ribu dibayar pemerintah. Premi ini
cukup untuk menutup biaya tanam senilai Rp 6 juta per hektare. Biaya
tanam ini berdasarkan kalkulasi kementerian pertanian.
3. Revitalisasi industri modal ventura
Tujuannya mendukung pendanaan bagi usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM) serta usaha baru (startup), termasuk di sektor ekonomi kreatif.
Deregulasi yang dilakukan berupa perluasan bentuk badan hukum dan
badan usaha dapat melakukan modal ventura. Sebelumnya hanya dapat
dilakukan oleh badan hukum perseroan terbatas dan koperasi. Kini bisa
dilakukan oleh perseroan commanditer (CV), melalui pembentukan dana
ventura dengan skema, kontrak investasi bersama, yang merupakan kontrak
investasi kolektif antara perusahaan modal ventura dan investor. Dana
ventura ini nantinya menjadi sumber pendanaan bagi perusahaan ventura yg
berasal dari kumpulan dana-dana investor yang dikumpulkan dan diarahkan
pada penyertaan berbagai macam usaha produktif.
Perluasan lain tidak hanya dibidang kelembagaan tapi di bidang kegiatan
usaha. Usaha yang bisa dilakukan tidak terbatas pada penyertaan saham,
atau pembelian obligasi konversi tapi perusahaan modal ventura juga dapat
menyalurkan pendanaan pada usaha produktif antara lain pembelian surat
utang yang diterbitkan UMKM, termasuk oleh para start-up diberbagai
bidang, terutama industri kreatif. OJK menganggap fasilitas ini bakal
mendukung UMKM dalam kegiatan ekspor, yang mendatangkan devisa
bagi negara.
4. Pembentukan konsorsium pembiayaan industri berorientasi ekspor
dan ekonomi kreatif serta usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi
OJK telah membicarakan dengan Badan Ekonomi Kreatif, kementrian
keuangan dan lembaga pembiayaan ekspor untuk mendukung pembiayaan
dan penjaminan kredit. Paket kebijakan ini mirip dengan Kredit Usaha
Rakyat (KUR).
5. Pemberdayaan lembaga pembiayaan ekspor Indonesia
OJK bekerjasama dengan pemerintah, dalam hal ini kementerian keuangan
untuk memberdayakan lembaga pembiayaan ekspor Indonesia.
6. Implementasi konsep satu proyek dalam penetapan kualitas kredit
Aturannya selama ini sudah ada, dan akan disempurnakan agar bisa berjalan
lebih efektif.
Penutup
Kesimpulan
Terjadinya kondisi perekonomian seperti saat ini di Indonesia tidak bisa
lepas dari kinerja Tim Ekonomi Indonesia yang telah lebih dari 40 tahun
semenjak masa Orde Baru memimpin kebijakan – kebijakan Indonesia.
Bukannya membawa Indonesia ke arah yang baik dengan membangun
fondasi dasar ekonomi yang baik dengan mengandalkan kekayaan alam
Indonesia dan besarnya Sumber Daya Manusia yang dimiliki mereka malah
menjadi penghkianat bangsa dengan kebijakan – kebijakan ekonomi yang
membawa Indonesia pada kehancuran. Tim Ekonomi Indonesia lebih
percaya pada kebijakan Ekonomi liberal ala Amerika Serikat dibandingkan
“ berpikir sendiri “ mengenai apa yang baik dan bermanfaat bagi masa
depan perekonomian Bangsa Indonesia. Saat ini yang dapat dilakukan oleh
pemerintah hanyalah mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan yang
setidaknya dapat menyelamatkan Indonesia secara sementara namun untuk
masa depan Indonesia, maka Indonesia akan selalu membutuhkan uluran
tangan dari Negara – Negara lain untuk “ menghidupkan perekonomian
Indonesia “ selain itu hutang luar negeri Indonesia pun juga akan terus
berlanjut seiring mustahilnya kemandirian bagi Indonesia.
Daftar Pustaka
Hamid, Edy Suandi. (2005). Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Hamid, Edy Suandi. (2004). Sistem Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan
Politik-Ekonomi. Yogyakarta: UII Press.Hudiyanto. (2004). Ke luar dari
Ayun Pendulum Kapitalisme-Sosialisme. Yogyakarta: UMY Press.
Faisal Basri. (2002). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Hudiyanto. (2001). Ekonomi Indonesia: Sistem dan Kebijakan. Yogyakarta:
PPE UMY.
Dochak Latief. (2000). Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi
Global. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
www.mafiaindonesia.blogspot.co.id
www.katadata.co.id
www.beritasatu.com
www.seputarforex.com
www.cnnindonesia.com
www.tempo.com
www.Rappler.com
www.bisnis.vivanews.com