teori kausalitas
TRANSCRIPT
http://sharingilmupajak.blogspot.co.id/2013/11/sejarah-filsafat-hukum-pada-
zaman.htmlKAUSALITAS DAN MELAWAN HUKUM
I. AJARAN SEBAB-AKIBAT
(KAUSALITAS/CAUSALITEITSLEER)
Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, demikian
seterusnya; yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu linggaran sebab akibat. Hal ini
disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas[1]. P.A.F Lamintang
mendifinisakan causaliteitsleer atau ajaran mengenai sebab akibat adalah ajaran yang mempersalahkan
hingga berapa jauh suatu tindakan dapat dipandang sebagai penyebab dari suatu keadaan atau hingga
berapa jauh suatu keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu akibat suatu tindakan, dan sampai dimana
seseorang yang telah melakukan tindakan tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum
pidana[2].
Ajaran kausalitas diperlukan pada jenis delik tertentu, yaitu :
• Delik Materiil[3] : Delik yang dalam perumusannya mementingkan unsur akibat , mis. Ps. 338, Ps 359,
Ps 360
• Delik yang terkualifikasi/dikwalifisir[4] : tindak pidana yang karena situasi dan kondisi khusus yang
berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang bersangkutan atau karena akibat-akibat khusus yang
dimunculkannya, diancam dengan sanksi pidana yang lebih berat ketimbang sanksi yang diancamkan
pada delik pokok tersebut. mis. Ps 351 (1) à Ps 351 (2)/ à Ps 351 (3)
• Delik Omisi tak murni/semu[5] (delicta commissiva per omissionem/ Oneigenlijke Omissiedelicten):
Pelaku melanggar larangan (timbulnya akibat) dengan pasif (tidak berbuat), Pasal. 194
Dalam ajaran kausalitas dikenal beberapa teori yang dikemukan oleh beberapa ahli hukum dalam
menentukan sejauh mana suatu tindakan menjadi suatu sebab atas tejadinya akibat yang dapat dipidana,
antara lain :
1. Teori Conditio sine quanon oleh Von Buri
Teori Conditio sine quanon yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak
dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian factor-faktor yang bersangkutan harus dianggap sebab
(causa) akibat itu[6].
Von Buri dalam teori ini juga menyatakan bahwa tiap faktor dapat dihilangkan (weggedacht) dari
rangkaian faktor – faktor yaitu faktor yang tidak perlu/berhubungan dengan akibat yang
bersangkutan dan tidak diberi nilai. Begitu juga sebaliknya, tiap faktor tidak dapat dihilangkan
(niet weggedacht) dari rangkaian faktor – faktor yaitu faktor yang perlu/berhubungan dengan akibat yang
bersangkutan dan diberi nilai sama atau sederajat, hal ini yang menyebabkan teori ini dikenal juga dengan
teori ekivelensi (aequoivalentie-leer)[7]. Van Hattum, Simons dan Jonkers berpendapat bahwa teori ini
sama sekali tidak dapat dipakai. Von Buri sendiri pernah mengakui bahwa teorinya tidak dapat dipakai
dalam hukum pidana.[8]
2. Teori Restriksi (Pembatasan) oleh Van Hamel
Van Hamel berpendapat bahwa teori Von Buri pada prinsipnya dapat diterima, namun harus diimbangi
dengan restriksi (pembatasan). Pembatasan yang dimaksud oleh Van Hamel dengan melihat unsur
kesalahan dan kealpaan (opzet en schuldleer)[9].
3. Teori yang mengindividualiskan (Individualiserende Theorien)
Salah satu yang mengemukan teori ini adalah Birkmeyer. Teori Birkmeyer juga didasari oleh teori Von
Buri. Namun, teori ini mengambil satu causa yang dianggap paling berpengaruh atas terjadinya akibat
yang bersangkutan[10]. Teori ini juga banyak menuai kritikan yang pada intinya adalah bagaimana
menentukan faktor yang paling berpengaruh atas terjadinya akibat dari rangkaian faktor – faktor yang
ada. Karena dalam penentuan itu bersifat subyektif (setiap orang punya penilaian sendiri). Selain
Birkmeyer, ahli hukum lain juga mempunyai yang pendapat tentang teori ini antara lain Binding ( teori
Uebergwicht) dan Ortmann (teori “letze bedingung”).
4. Teori yang menggeneralisasi (Generaliserende Theorien)
Dalam teori ini, causa yang diambil adalah faktor yang menurut pengalaman atau yang pada umumnya
menjadi causa. Utrecht melihat ada 2 (dua) teori yang menarik yang dapat digolongkan dalam teori ini,
yaitu[11] :
a. Teori subjektif-adaequaat atau subyektive Prognose oleh Van Kries
Disebut Teori subjektif-adaequaat karena dalam rangkaian faktor –faktor yang dapat dihubungkan dengan
terjadinya delik, ada satu yang dianggap menjadi causa yaitu faktor yang sesuai atau seimbang
(adaequaat) dengan terjadinya akibat yang bersangkutan. Artinya, sebelumnya telah dapat diketahui oleh
pembuat. Oleh karena itu, teori ini disebut juga teori subyektive Prognose, karena perbuatan yang diambil
menjadi causa tersebut dapat diramalkan dengan kemungkinan yang besar menimbulkan delik.
b. Teori Obyektif-nachttraglicher Prognose oleh Rumelin
Teori ini mengambil satu faktor dari rangkaian faktor – faktor yang dapat dihubungkan dengan terjadinya
delik untuk menjadi causa, yaitu ditinjau dari sudut obyektif adalah faktor yang harus/perlu ada untuk
terjadinya delik itu. Teori ini berbeda dari teori sebelumnya, karena teori ini tidak mempertimbangan
sipembuat sebelumnya telah dapat mengetahui atau tidak akan terjadinya delik. Jadi, teori ini hanya
menekankan bahwa faktor yang setelah terselesainya delik, “umum diterima” sebagai faktor yang
menyebabkan terjadinya delik tersebut.
II. MELAWAN HUKUM
(WEDERECHTELIJK)
Pengertian melawan hukum dapat diartikan bermacam – macam, antara lain:
- Tanpa hak sendiri (Zonder eigen recht)
- Bertentangan dengan hak orang lain (tegen een anders recht)
- Bertentangan dengan hukum obyektif (tegen het obyektieve recht)[12]
- Tanpa alasan yang wajar
- Bertentangan dengan hukum positif
Istilah “melawan hukum” dalam peraturan perundang – undangan, :
a) tidak berhak
b) tanpa izin
c) dengan melampaui kekuasaan
d) menyalahgunakan kewenangan
Menurut Pompe, jika diinterpretasikan secara teologis istilah lain “melawan hukum”, adalah :
a) Tanpa tujuan yang wajar (302 KUHP)
b) Tindakan asusila (290 KUHP)
c) Melanggar kesusilaan (282 KUHP)[13]
Dalam peraturan perundang – undangan hukum pidana, sifat melawan hukum tidak selalu dicantumkan
sebagai suatu delik. Hal ini mengakibatkan timbulnya persoalan, apakah sifat melawan hukum harus
selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik walaupun tidak dirumuskan secara tegas, atau baru
dianggap suatu unsur delik jika dirumuskan dengan tegas dalam delik[14]. Jika ditelusuri dari sejarah
perumusan unsur melawan hukum dalam delik, karena ada kekhawatiran jika sifat melawan hukum tidak
disebut, maka seseorang yang benar – benar menjalankan hak/kewajiban dapat dianggap telah melakukan
suatu delik tertentu[15]. Contohnya : seorang penyidik yang sedang menangani sebuah kasus dan
membutuhkan barang bukti, maka barang bukti tersebut disita dari pemiliknya.
Akibat persoalan tersebut, para ahli hukum mempunyai pandangan – pandangan yang berbeda, sehingga
pembahasan tentang “melawan hukum” mengalami perdebatan yang sangat panjang. Secara umum,
“melawan hukum” dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. “Melawan hukum” formil
Para ahli hukum yang menganut ajaran ini salah satunya Simons menganggap bahwa “melawan hukum
adalah melanggar ketentuan undang – undang[16] atau lebih luas lagi peraturan perundang – undangan.
2. “Melawan hukum” materiil
Bahwa “melawan hukum” adalah melanggar kepatutan yang terdapat dalam masyarakat, penganut aliran
ini antara lain : Zevenbergen, Van Hamel, Vos, Jonkers, Moeljatno, Roeslan Saleh[17]. Melawan hukum
materiil dapat dibagi 2 (dua), yaitu :
ü Berfungsi Negatif
Perbuatan yg menurut UU dilarang, tapi masyarakat menganggapnya tindak melanggar hukum pidana
(bukan tindak pidana). Cth : seorang ayah yang memukul anaknya karena nakal.
ü Berfungsi Positif
Perbuatan yg menurut UU tidak dilarang tapi masyarakat menganggapnya sebagai suatu tindak pidana.
Namun hal ini bertentangan dgn asas legalitas. Cth : seorang laki – laki dan perempuan dewasa yang
sama – sama belum menikah melakukan hubungan suami istri di hotel.
Perbandingan antara ajaran melawan hukum formil dan ajaran melawan hukum materiil
Formil Materiil
“melawan hukum” sebagai unsur
delik.
Hanya dianggap sebagai unsur
jika dirumuskan secara tegas
dalam delik.
Dirumuskan atau tidak dalam
suatu delik, “melawan hukum”
merupakan unsur dalam setiap
delik.
Apabila “melawan hukum” tidak
dirumuskan dalam suatu delik.
Tidak perlu dibuktikan tentang
sifat melawan hukumnya, karena
dengan melanggar UU maka
telah “melawan hukum’’.
Walaupun tidak dirumuskan,
sifat “melawan hukum” dianggap
ada dalam setiap delik. Sehingga
harus dibuktikan.
Apabila “melawan hukum”
dirumuskan dalam dalam suatu
delik.
Maka harus dibuktikan bahwa
perbuatan tersebut “melawan
hukum”.
Maka harus dibuktikan bahwa
perbuatan tersebut “melawan
hukum”.
Pengecualian terhadap sifat
“melawan hukum’
Hanya yang dikecualikan dalam
UU. Cth : Pasal 49 KUHP
Dikecualikan berdasarkan hukum
tertulis dan tidak tertulis.
Alasan – alasan penganut melawan hukum formil
Simons adalah salah satu penganut pandangan ini, maka untuk membenarkan pendiriannya ini dia
berpendapat[18] :
1. Dari adagium “setiap orang dianggap mengetahui undang – undang”, maka tidak perlu dicari apakah
tindakan seseorang itu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat atau tidak.
2. Jika diterapkan sifat melawan hukum materiil, maka setiap orang akan membela diri dengan
mengatakan bahwa ia tidak mengetahui perbuatan itu dilarang dan diancam pidana oleh UU. Berarti
hakim harus membuktikan sifat terlarang perbuatan itu. Dengan tugas tersebut, ada kemungkinan hakim
akan melepaskannya dan keberlakukan KHUP diperlunak.
3. Hakim bukanlah pencipta UU untuk menentukan suatu tindakan terlarang atau tidak, melainkan tugas
dari pembentuk UU.
4. Dengan penerapan sifat melawan hukum materiil, maka para hakim akan mengadakan tafsiran sendiri
yang tidak terlepas dari pengaruh subyektivitasnya, dan akan banyak penafsiran yang berbeda – beda
yang mengakibatkan ketidak pastian hukum.
Alasan – alasan penganut melawan hukum materiil
1. Bahwa delik itu tidak mempersoalkan tindakan – tindakan yang terlarang saja, namun mempersoalkan
apakah seseorang dapat dipersalahkan karena melakukann tindakan yang dilarang. Dapat dipersalahkan
jika tidak mengindarahi melakukan perbuatan yang dilarang dan yang melawan hukum[19].
2. Vos berpendapat, bahwa hukum pidana ditunjukan kepada perbuatan yang luar biasa. Oleh sebab itu,
harus ada patokan/ukurannya, yaitu apakah setiap orang dalam keadaan yang sama melakukan perbuatan
yang sama pula[20].
3. Bahwa Hakim juga merupakan sumber hukum. Dalam praktek, setiap putusan yang berisi pendapat –
pendapat hakim dapat diikuti oleh para hakim lainya. Hakim juga wajib mengikuti perkembangan
kesadaran hukum masyarakat dan tidak boleh menolak untuk memberi putusan terhadap suatu perkara
dengan alasan tidak terang hukumnya[21].
4. Bahwa unsur Pasal 302 KUHP “tanpa tujuan yang patut” mengarahkan kepada pengertian kepatutam
dalam masyrakat.
AJARAN SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS)
Hubungan sebab akibat ( kausalitas). berasal dari kata causalitas yaitu sebab. ajaran ini banyak
berhubungan dengan delik materiil. sebab inti dari delik materiil adalah adanya akibat yang dilarang.
contohnya : Delik formil (pasal 362, 242 KUHP)
Delik materil (pasal 338, 351, 187 KUHP)
Tujuan pada akibat adalah sebab dari pada akibat. disini dicari banyak atau beberapa sebab yang
dinamakan syarat dari akibat itu. adalah tiap perbuatan yang merupakan syarat dari akibat apabila
perbuatan itu tidak dapat ditiadakan untuk menimbulkan suatu akibat.
SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS) MENURUT BEBERAPA TEORI
Suatu akibat tertentu terkadang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan yang saling terkait yang menjadi
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya akibat. Yang menjadi permasalahan adalah kepada siapa akan
dipertanggungjawabkannya suatu akibat tersebut. Dalam hal ini para ahli hukum berbeda
pendapat. Berikut adalah teori-teori kausalitas menurut para sarjana hukum :
1). Teori conditio sine qua non
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau
mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan
(weggedacht) ) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).
Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada
hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet
weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya
akibat.
Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie),karena tiap factor yang tidak
dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat, dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa
sebab (meervoudige causa) ).
Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat), disebut demikian karena
dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Dalam perkembangan teori Von Buri banyak menimbulkan kontra dari para ahli hukum, sebab teorinya
dianggap kurang memperhatikan hal-hal yang sifatnya kebetulan terjadi ). Selain itu teori ini pun tidak
digunakan dalam hukum pidana karena dianggap sangat memperluas dasar
pertanggungjawaban (strafrechtelijke aansprakelijheid) .
Van Hamel adalah satu penganut teori Von Buri. Menurut Von Hamel teori conditio sine qua non adalah
satu-satunya teori yang secara logis dapat dipertahankan. Teori conditio sine qua non “baik” untuk
digunakan dalam hukum pidana, asal saja didampingi atau dilengkapi dengan teori tentang
kesalahan (schuldleer) yang dapat mengkorigir dan meregulirnya ). Teori Van Hamel disebut “teori sebab
akibat yang mutlak” (absolute causaliteitsleer) ). .) teori yang d ikemukakan Van Hamel yaitu Tindak
pidana merupakan kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang (wet), yang bersifat melawan
hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Jadi perbuatan itu merupakan perbuatan
yang bersifat dapat dihukum dan dilakukan dengan kesalahan.
2). Teori der meist wirksame bedingung
Teori ini berasal dari Birkmeyer. Teori ini mencari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu yang
paling banyak berperan untuk terjadinya akibat (meist wirksame) diantara rangkaian syarat-syarat yang
tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Jadi, teori ini mencari syarat yang paling berpengaruh
diantara syarat-syarat lain yang diberi nilai.
Teori ini mengalami kesulitan untuk menjawab permasalahan yang muncul yakni, bagaiman cara
menentukan syarat yang paling berpengaruh itu sendiri atau dengan kata lain bagaimana mengukur
kekuatan suatu syarat untuk menentukan mana yang paling kuat, yang paling membantu pada timbulnya
akibat) . Apalagi jika syarat-syarat itu tidak sejenis) .
3).Teori gleichewicht atau uebergewicht
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Karl Binding, teori ini mengatakan bahwa musabab adalah
syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat positif untuk melebihi syarat-syarat negative) .
Menurut Binding, semua syarat-syarat yang menimbulkan akibat adalah sebab, ini menunjukkan bahwa
ada persamaan antara teori ini dengan teori conditio sine qua non.
4). Teori die art des werden
Teori ini dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah syarat yang menurut sifatnya
(art) menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari ajaran Birkmeyer) . Syarat-syarat yang
menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai yang hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat
mana yang menimbulkan akibat.
5). Teori Letze Bedingung
Dikemukakan oleh Ortman, menyatakan bahwa factor yang terakhir yang mematahkan keseimbanganlah
yang merupakan factor, atau menggunakan istilah Sofyan Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat
penghabisan yang menghilangkan keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga
akhirnya syarat positiflah yang menentukan.
6). Teori Adequate (keseimbangan)
Dikemukakan oleh Von Kries. Dilihat dari artinya, jika dihubungkan dengan delik, maka perbuatan harus
memiliki keseimbangan dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat
diramalkan dengan pasti oleh pembuat.
Teori ini disebut “teori generaliserend yang subjektif adaequaat”, oleh karenanya Von Kries berpendapat
bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik,
hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat) .
7). Teori objective nachtraglicher prognose (teori keseimbangan yang objektif)
Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah
factor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik,
setelah delik terjadi.
Tolak ukur teori ini adalah menetapkan harus timbul suatu akibat. Jadi, walau bagaimanpun akibat harus
tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan objektif setelah terjadinya delik, ini merupakan
tolak ukur logis yang dicapai melalui perhitungan yang normal.
– Locus Delicti dan Tempus Delicti
Mempelajari tempat dan waktu dilakukannya suatu tindak pidana sebenarnya berhubungan dengan hukum
acara pidana. Locus delicti/ tempat dilakukan tindak pidana yaitu untuk menentukan hukum mana atau
pengadilan mana yang berwenang mengadili. sedangkan tempus delicti / waktu dilakukan tindak pidana
ialah waktu memberlakukan hukum pidana yang mana, yang baru atau yang lama yang harus diperlukan.
Hal ini berhubungan dengan kemungkinan perubahan perundang-undangan mengenai tempus delicti..
dapat dihubungkan dengan pasal 1 ayat (1) KUHP. hukum pidana berlaku ke depan tidak boleh berlaku
surut ( Non Retro Aktif). Asas ini Retro aktif tidak mutlak berlaku karena ada ketentua dalam pasal 1 ayat
(2) KUHP. contoh : peraturan lama ancaman hukuman lima tahun, sedangkan peraturan baru ancaman
hukuman tiga tahun.
8). Teori adequate menurut Traeger
Menurut Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya pada umumnya dapat
disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini bahwa
yang dimaksud dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid yang
artinya, disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.
9). Teori Relevantie
Dikemukakan oleh Mezger. Menurut teori ini dalam menentukan hubungan sebab akibat tidak
mengadakan pembedaan antara syarat dengan sebab, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan
tindak pidana yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan perbuatan manakah kiranya yang
dimaksud pada waktu undang-undang itu dibuat. Jadi, pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu
berdasarkan kepada apa yang dirumuskan dalam undang-undang.
10). Teori perdata
Teori ini berdasarkan Pasal 1247 dan 1248 KUHP Perdata (BW),yang menyatakan bahwa
“pertanggungjawaban “ hanya ada, apabila akibat yang timbul itu mempunyai akibat yang langsung dan
rapat sekali dengan perbuatan-perbuatan yang terdahulu atau dapat dibayangkan lebih dahulu. Teori ini
boleh dikatakan sama dengan teori adequate dari Von Kries. Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa
teori perdata ini dapat juga dipergunakan dalam hukum pidana.
11) Simon
Tindak pidana yaitu kelakuan yang dapat diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, behubungan
dengan melakukan kesalahan, dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Straftbar feit berisikan:
a. perbuatab bertentangan atau dilarang oleh hukum
b. diancam dengan hukuman
c. dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan dengan demikian dapat dipersalahkan
11) Prof. Moeljatno S.H
Ia menggunakan istilah perbuatan tindak pidana. Yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan tersebut disertai sanksi atau hukuman, yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatannya. Suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang. Sedangkan ancaman pidana ditujukan pada orang yang menimbulkan
kejadian itu.
Memisahkan antara perbuatan dan pertanggung jawaban, perbuatan menunjuk pada adanya kejadian
tertentu dan adanya orang yang berbuat yang menimbulkan adanya kejadian itu. Tindak pidana
merupakan perbuatan baik yang aktif atau pasif yang dilarang dan diancam hukuman apabila dilanggar.
-Contoh perbuatan pasif : pasal 164, 242, 522 KUHP
-Perbuatan aktif : pasal 338, 362, 351, 340, 406 KUHP
– Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu pebuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila
perbuatan itu :
1) melanggar hukum
2) merugikan masyarakat
3) dilarang oleh undang-undang
4) pelakunya diancam dengan pidana
A. Ajaran Kausalitas, pengertian, dan urgensinya
Secara etimologi, Kausalitas atau causalitied berasal dari kata causa yang berarti sebab. [1] Kata
Kausa dalam Kamus Hukum diartikan dengan alasan atau dasar hukum; suatu sebab yang dapat
menimbulkan suatu kejadian.[2] Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kausalitas merupakan suatu yang menyatakan tentang hubungan sebab dan akibat. Dalam ilmu hukum
pidana teori kausalitas dimaksudkan untuk menentukan hubungan objektif antara perbuatan manusia
dengan akibat yang tidak dikenhadi undang-undang. Penentuan sebab akibat dalam kasus-kasus pidana
menjadi persoalan yang sulit untuk dipecahkan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri tidak
petunjuk tentang hubungan sebab dan akibat yang dapat menimbulkan delik. Meskipun dalam beberapa
pasal KUHP dijelaskan bahwa dalam delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu guna
menjatuhkan pidana terhadap pembuatnya.[3]
Sebelum membahas lebih jauh tentang teori kausalitas, pada bagian ini diperlukan penjelasan
tentang tindak pidana berdasarkan cara merumuskannya. Tindak pidana dibagi menjadi dua, yaitu tindak
pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten). Tindak pidana formil
adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan suatu tikah laku tertentu. Artinya
dalam rumusan itu secara tegas disebutkan perbuatan tertentu yang menjadi pokok larangan. Dalam
kaitannya dengan kasus pidana, apabila perbuatan tersebut selesai dilakukan maka dapat disebut sebagai
tindak pidana, tanpa memandang akibat yang ditimbulkan. Misalnya tindak pidana pencurian Pasal 362
KUHP. Apabila pencurian telah selesai dilakukan maka dapat disebut sebagai tindak pidana.[4]
Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang menitik beratkan pada larangan
timbulnya akibat tertentu atau akibat konstitutif. Meskipun dalam rumusan tindak pidana disebutkan
adanya unsur tingkah laku tertentu. Untuk menyelesaikan tindak pidana tidak tergantung pada selesainya
perbuatan, akan tetapi tergantung pada akibat terlarang yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Misalnya menghilangkan nyawa pada kasus pembunuhan Pasal 338 KUHP. Perbuatan menghilangkan
nyawa seperti menusuk dengan benda tajam tidak bisa menimbulkan tindak pidana pembunuhan jika
korbannya tidak meninggal dunia. Tindakan ini dimasukkan dalam katagori percobaan pembunuhan pasal
338 KUHP.[5] Untuk menimbulkan tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat yang tak
terpisahkan, yaitu terwujudnya tingkah laku, terwujudnya akibat, dan adanya hubungan kausalitas di
antara keduanya.
Dalam menentukan adanya sebab yang benar-benar menimbulkan suatu akibat tidaklah mudah. Hal
ini disebabkan oleh kompleksitas faktor-faktor yang berkaitan dengan peristiwa yang dihadapi.
Contohnya, seorang laki-laki mengendarai sepeda motor mendadak menyeberang tanpa memberikan
isyarat lampu dan dari arah belakang melaju kencang sebuah mini bus, sopir mini bus yang kaget
membunyikan klakson dan menginjak rem sekuat tenaga sehingga tabrakan pun tidak sampai terjadi.
Namun, laki-laki tersebut tiba-tiba jatuh dan segera dilarikan ke rumah sakit. Beberapa jam kemudian,
laki-laki ini meninggal dunia karena serangan jantung. Pihak kepolisian menyatakan bahwa kecelakaan
yang terjadi akibat pengendara sepeda motor yang tidak mematuhi peraturan dan sopir minibus
dibebaskan. Namun ahli waris tidak terima terhadap pengehentian penyelidikan dan mengajukan upaya
pra peradilan ke Pengadilan Negeri agar menetapkan bahwa pengehntian penyelidikan tidak sah dan
memerintahkan kepada penyidik untuk melanjutkan perkara itu. Hal ini tentunya tidak mudah bagi
pengadilan negeri dan penyidik dalam menilai kasus ini.
Berdasarkan ilustrasi di atas, disinilah letak urgensi ajaran kausalitas, yaitu ajaran yang mencari
dan menentukan ada atau tidaknya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat yang timbul.
[6] Selain itu, ajaran ini juga dapat menentukan hubungan antara suatu perbuatan dengan akibat dalam
tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya, yaitu suatu tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige
delicten) yang ditambah dengan unsur khusus. Unsur ini merupakan akibat dari perbuatan, baik yang
bersifat meringankan atau memberatkan. Misalnya pada tindak pidana penganiayaan sebagai bentuk
pokok, pasal 351 ayat (1) KUHP. Hukumannya akan menjadi lebih berat jika penganiayaan itu
menimbulkan luka berat (pasal 351 ayat (2)) atau kematian (pasal 351 ayat (3)) yang menjadi unsur
khusus.
Usaha menentukan hubungan sebab akibat dalam suatu kasus pidana terdapat beberapa teori yang
dapat digunakan. Meskipun demikian, tetap harus berpedoman pada falsafah Poset hoc non propter
hoc yang menyatakan bahwa suatu peristiwa yang terjadi setelah peristiwa lain belum tentu merupakan
akibat dari peristiwa yang mendahuluinya.[7]
B. Teori-teori Kausalitas
Ada beberapa ajaran kausalitas yang dikelompokkan menjadi tiga teori besar:
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dan mantan
presiden Reichsgericht (Mahkamah Agung) Jerman.[8] Von Buri mengatakan bahwa tiap-tiap syarat atau
semua faktor yang turut serta atau bersama-sama menjadi penyebab suatu akibat dan tidak dapat
dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap causa (akibat).
[9] Tiap-tiap faktor memiliki nilai yang sama dan sederajad tidak membedakan faktor syarat dan faktor
penyebab.[10] Jika salah satu syarat tidak ada maka akan menimbulkan akibar yang lain pula.[11] Teori
ini juga disebut dengan equivalent theori karena setiap syarat nilainya sama dan bedingung theori sebab
bagianya tidak ada perbedaan antara syarat dan penyebab.[12] Ajaran ini berimplikasi pada perluasan
pertanggungjawaban dalam perbuatan pidana.
Seperti halnya teori-teori yang lain, teori Von Buri ini memiliki kelemahan dan kelebihan
tersendiri. Kelemahan ajaran ini adalah tidak dibedakannya faktor syarat dan faktor penyebab. Dalam
ilustrasi kasus di atas, si pengemudi mini bus harus diminta pertanggung jawaban atas kematian
pengendara sepeda motor. Padahal bunyi klakson dan suara rem merupakan faktor syarat bukan faktor
penyebab. Hal ini dipandang tidak adil sebab tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan pada dirinya.
Artinya teori ini bertentangan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonden schuld).
Sedangkan kelebihan dari teori ini adalah mudah digunakan dan diterapkan tanpa menimbulkan
perdebatan dan pemikiran mendalam untuk mencari faktor penyebab yang sebenarnya.
Pengaut teori Von Buri adalah Van Hammel yang mengatakan bahwa teoriConditio Sine Qua
Non satu-satunya teori logis yang dapat dipertahankan. Namun, penggunaannya dalam hukum pidana
harus disertai oleh teori kesalahan. Teori menyatakan tidak semua orang yang perbuatannya menjadi
salah satu faktor di antara sekian banyak faktor dalam suatu peristiwa yang menimbulkan akibat terlarang
harus bertanggung jawab atas akibat itu, melainkan apabila perbuatan dirinya terdapat unsur kesalahan
baik kesengajaan atau kealpaan.[13] Pendapat Van Hammel ini dianggap wajar sebab ia adalah pengikut
aliran monistis yang tidak memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum
pidana.
Kritik dan keberatan atas teori ini kemudian bermunculan. Misalnya ada orang yang mati ditembak
orang lain. Menurut teori ini, pejual senjata api, perusahaan senjata api juga bertanggung jawab atas
kematian orang tersebut. Menurut Van Bammelan teori ini terlalu luas jangkauannya. Prof. Moelyatno
tidak bisa menerima teori ini meskipun secara logis adalah benar.[14] Teori ini bertentangan dengan
pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang justru membedakan antara syarat dan penyebab.
Menurutnya, perbuatan seorang penjual senjata api tidak dapat diterima sebagai penyebab terbunuhnya
seseorang yang disamakan dengan perbuatan pembunuhnya. Beliau membedakan perbuatan pidana
dengan pertanggungjawaban pidana. Ajaran tentang kesalahan digunakan apabila terdakwa telah terbukti
melakukan perbuatan pidana. Padahal hubungan kausalitas bertujuan menentukan apakah terdakwa
melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak.
2. Teori Individualisasi
Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada
faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan. Dengan kata lain peristiwa dan akibatnya
benar-benar terjadi secara konkret (post factum).[15]Menurut teori ini tidak semua faktor merupakan
penyebab. Dan faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang sangat dominan atau memiliki peran terkuat
terhadap timbulnya suatu akibat. Pendukung teori ini adalah Birkmayer dan Karl Binding.
Birkmayer mengemukakan teori de meest werkzame factor pada tahun 1885 yang menyatakan
bahwa dari serentetan syarat yang tidak dapat dihilangkan, tidak semua dapat digunakan untuk
menimbulkan suatu akibat, hanya faktor yang dominan atau kuat pengaruhnyalah yang dapat dijaadikan
penyebab timbulnya suatu akibat. Kesulitannya adalah bagaimana menentukan faktor yang dominan
dalam suatu perkara.[16]Contohnya, faktor serangan jantung yang menjadi faktor dominan yang
menyebabkan seseorang meninggal dunia dalam ilutrasi di atas. Dan pengemudi mini bus yang
membunyikan klakson tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Karl Binding mengemukakan
teori ubergewischts theorie yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor terpenting dan sesuai
dengan akibat yang timbul. Dalam suatu peristiwa pidana, akibat terjadi karena faktor yang menyebabkan
timbulnya akibat lebih dominan (faktor positif) daripada faktor yang meniadakan akibat (faktor negatif).
Satu-satunya faktor sebab adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan kesimbangan dan
memenangkan faktor positif tadi.
Selain dua tokoh di atas, terdapat tokoh lain yang mengemukakan teori individualisir seperti,
Teori die art des werden yang dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah syarat
yang menurut sifatnya menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari ajaran Birkmeyer . Syarat-
syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai yang hampir sama akan sulit untuk
menentukan syarat mana yang menimbulkan akibat. Kemudian teori Letze Bedingung yang dikemukakan
oleh Ortman, menyatakan bahwa faktor yang terakhir yang mematahkan keseimbanganlah yang
merupakan factor, atau menggunakan istilah Sofyan Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat
penghabisan yang menghilangkan keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga
akhirnya syarat positiflah yang menentukan. [17]
Kelemahan dari teori ini adalah penentuan faktor yang paling kuat pengaruhnya jika semua faktor
sama-sama kuat untuk menimbulkan akibat. atau jika sifat dan corak pengaruh tidak sama dalam
rangkaian faktor tidak sama.[18] Kelemahan teori ini juga dapat dipahami dari ilustrasi berikut: A berniat
membakar gudang orang lain, lalu ditempatknya kaca pembesar di atas tumpukan jerami sehingga kalau
matahari mengenai kaca dapat menimbulkan percikan api yang memicu kebakaran. Berdasarkan teori ini
maka A luput dari jerat hukum pidana sebab faktor dominan terakhir adalah sinar matahari yang
mengenai kaca pembesar. Karena persoalan ini kemudian muncullah teori generalisasi.
3. Teori Generalisasi
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh
atau berhubungan dengan timbulnya akibat dilakukan dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang
secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat.
[19] Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi
pada pengalaman umum yang menurut akal dan kewajaran manusia. Persoalannya kemudian bagaimana
menentukan sebab yang secara akal dan menurut pandangan umum menimbulkan akibat? Berdasarkan
pertanyaan ini kemudian muncul teori Adequat yaitu:[20]
a. Teori Adequat Subjektif
Dipelopori oleh J. Von Kries yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor yang
berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni yang
sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat. Contoh, si A mengetahui bahwa si B mengidap penyakit
jantung dan dapat menimbulkan kematian jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memuukul
si B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka perbuatan mengejutkan itu dikatakan sebagai sebab.
b. Teori Adequat objectif-nachtraglicher prognose
Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah
faktor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik,
setelah delik terjadi. Atau dengan kata lain causa dari suatu akibat terletak pada faktor objektif yang dapat
dipikirkan untuk menimbulkan akibat.
c. Teori Adequate menurut Traeger
Menurut Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya pada umumnya dapat
disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini bahwa
yang dimaksud dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid yang
artinya, disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.
4. Ajaran Kausalitas dalam Hal Berbuat Pasif
Apabila dilihat dari unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana aktif
(tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak
pidana yang disebabkan oleh perbuatan pasif. Pelaku melanggar suatu kewajiban hukum (rechtsplicht)
untuk berbuat sesuatu. Misalnya barangsiapa oleh hukum diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan
akan tetapi dia tidak melakukan (pasal 304 KUHP) atau diperintahkan untuk datang tetapi tidak datang
(pasal 522 KUHP).
Tindak pidana pasif sendiri masih dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, tindak pidana pasif
murni yang merupakan tindak pidana formil yang tidak tergantung pada akibat. Misalnya, pasal 522
menyatakan Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak
datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Tidak
datangnya saksi yang dimaksud secara sempurna telah menimbulkan delik, tanpa memperhatikan akibat
yang ditimbulkan.
Kedua, tindak pidana pasif yang tidak murni yang terjadi pada tindak pidana materiil yang
mementingkan aspek akibat daripada perbuatan pidananya. Tindak pidana meteriil tertentu bisa saja
terjadi meskipun dengan tidak berbuat. Misalnya seorang ibu sengaja tidak menyusui anaknya yang dapat
mengakibatkan kematian bagi anaknya tersebut (Pasal 338 KUHP). Persolan yang muncul adalah apakah
mungkin tidak berbuat sesuatu dapat menimbulkan akibat? mengenai persoalan ini ada beberapa
pandangan:[21]
a. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Tidak mungkin adanya hubungan antara akibat dengan tidak melakukan perbuatan. Pandangan ini tidak
sejalan dengan pandangan hukum yang mengatur tentang nilai. Dalam kehidupan sehari-hari banyak
kejadian pidana yang disebabkan oleh tidak berbuatnya seseorang, dimana menurut rasa keadilan
masyarakat perlu diminta pertanggungjawaban. Misal, kecelakaan kereta api yang menewaskan banyak
orang.
b. Pandangan Teori berbuat Lain (theori van het anders doen)
Perbuatan aktif merupakan perbuatan apa yang dilakuakan pada saat terwujudnya akibat terlarang.
Misalnya pada kasus kematian bayi karena tidak disusui. Bahwa ibu si bayi dipandang sedang melakukan
perbuatan apa pada saat bayinya meninggal. Seperti dia sedang selingkuh. Namun teori ini juga tidak
memuaskan, karena tidak ada hubungan antara selingkuh dengan kematian bayi.
c. Pandangan Teori berbuat Sebelumnya (theori van het voorrafgaande doen)
Yang seharusnya dipandang sebagai sebab dari timbulnya akibat adalah perbuatan yang mendahului pada
saat terwujudnya akibat. misalnya seorang penjaga pintu kereta api yang tidak menurunkan palang kereta
pada saat kereta akan lewat. Yang menjadi penyebabnya yaitu jabatan petugas penjaga palang kereta
diterima sebelum kejadian. Pendapat ini juga tidak memuaskan karena tidak ada hubungan antara
penerimaan jabatan dengan kecelakaan.
d. Pandangan berdasarkan Kewajiban Hukum
Seseorang dalam waktu dan keadaan tertentu diwajibkan oleh hukum untuk melakukan perbuatan. Jika
kemudian dia tidak berbuat dan menimbulkan akibat maka sebab dari akibat itu adalah kepemilikan
kewajiban hukum tersebut. Teori ini dipelopori oleh Van Hammel yang menyatakan bahwa seseorang
tidak berbuat, ia tidak dapat dianggap menyebabkan suatu akibat, apabila aia tidak memiliki kewajiban
hukum untuk berbuat. Sebagai upaya mengetahui bahwa seseorang memiliki kewajiban hukum atau tidak,
berdasarkan beberapa alasan: (1) pekerjaan atau jabatan (2) ditetapkan oleh hukum (3) kepatutan yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat.
5. Sikap Melawan Hukum
Moelyatno berpendapat bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak tindak pidana.
Sebab ia merupakan penilaian objektif terhadap suatu perbuatan. Sikap ini dibedakan menjadi dua yaitu
sikap melawan hukum formal, dimana suatu perbuatan dipandang bersifat melawan hukum jika perbuatan
diancam pidana dan dirimuskan dalam Undang-Undang dan sikap melawan hukum materiil yaitu suatu
perbuatan dipandang melawab hukum bukan hanya karena bertentangan dengan Undang-undang
melainkan juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis di masyarakat.
Kausalitas dalam hal tidak berbuat
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitasYang ada persoalan ialah pada delik commisionis per omission commissa. Pada delik ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa pendirian :
1. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana ini).
2. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh sipembuat pada saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi susu, yang disebut sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori inipun tidak dapat diterima, karena kepergian ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan dengan akibat itu.
3. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal seorang penjaga wesel yang menyebabkan kecelakaan kereta api karena tidak memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang menjadi sebab ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan, sebab sulit dilihat hubungannya antara penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.
4. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab dari sesuatu akibat, apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya yang nyata-nyata tertulis dalam suatu peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang berlaku dalam masyarakat yang teratur.
Di bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada kewajiban berbuat atau tidak :Contoh Kasus
Ada anak yang dibunuh; orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa-apa. Apakah orang tua bertanggung jawab sebagai ikut berbuat dalam pembunuhan ?
o Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober 1883): tidak, tetapi memang sikap semacam itu sangat tercela (laakbaar) dan tidak patut.
Seorang penjaga gudang membiarkan pencuri melakukan aksinya, ia dapat dipertanggungjawabkan, sebab sebagai penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan berbuat sesuatu.
Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat :sekarang tidak ada persoalan lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa (delik omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk diperbuat/dilakukan.
Maka dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif (yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah yang menyangkut orangnya.
Admin : Andi Akbar Muzfa, SH