studi kasus dana bos dengan pendekatan ilmu politik

15
Studi Kasus Dana BOS Dengan Pendekatan Ilmu Politik Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Metodologi Ilmu Politik Ditulis oleh: Maria Angelica Christy Aka NIM : 15/384273/SP/26985 Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 2016

Upload: ugm

Post on 11-Dec-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Studi Kasus Dana BOS Dengan Pendekatan Ilmu Politik

Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Metodologi Ilmu Politik

Ditulis oleh:

Maria Angelica Christy Aka

NIM : 15/384273/SP/26985

Departemen Politik dan Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gadjah Mada

2016

Pengantar

Kita mengenal bahwa setidaknya ada sepuluh hak yang menjadi hak dasar

manusia dan pada poin ketiga tercantum bahwa warga negara berhak untuk

mengembangkan dirinya. Hal ini dimanifestasikan dalam UUD RI 1945 Bab XA

Pasal 28C (1), yang berbunyi:

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan

dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari

ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan

kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” (UUD RI

1945)

Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan kemudian dijelaskan

lagi pada Bab XIII Pasal 31 ayat 1-5, dimana ayat 2 berbunyi: “Setiap warga

negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”

Oleh karena itu, negara wajib menyediakan rancangan pendidikan sedemikian

rupa sebagai upaya untuk mewujudkan hak warga negara Indonesia untuk

mendapatkan pendidikan. Kemudian, pendistribusian pendidikan ini haruslah

secara merata dan dapat diterima oleh berbagai kalangan, tidak hanya

diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai uang untuk mengakses pendidikan

tersebut. Maka dari itu, untuk mensukseskan program wajib belajar yang

diamanatkan pemerintah agar warga negara berusia 7-15 tahun dapat menikmati

pendidikan dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)

membentuk program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimulai sejak

bulan Juli 2005 untuk membantu percepatan pencapaian program wajib belajar 9

tahun. (bos, 2012)

Dalam pelaksanaannya, BOS terkesan negara-sentris karena

penyelenggaraannya sangat struktural dan harus melalui lembaga yang satu dan

yang lainnya, sehingga tak jarang beberapa sekolah terlambat mendapatkan dana

penyaluran karena sistem yang bertele-tele. Selain itu, kurangnya fungsi

pengawasan dari pemerintah dan elemen lain menyebabkan proses akuntabilitas

yang dibuat sekolah menjadi kendor, sehingga tak jarang kita temui tentang kasus

korupsi dan penyalahgunaan lainnya. Oleh karena itu, dalam penugasan kali ini,

penulis akan mengangkat kasus tentang dana BOS dengan menggunakan

pendekatan Neo-Institusionalisme sebagai kritik atas pendekatan Institusionalisme

yang membuat pelaksanaan BOS sangat hirarkis.

1. Kerangka Teori

Untuk menjelaskan kelemahan dari struktur program BOS yang kaku,

penulis akan menggunakan pendekatan Institusionalisme atau Tradisionalis yang

menafsirkan negara sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang

formal. Rhodes, dkk. menguraikan pendekatan tradisionalis dengan: “kajian-

kajian lama mengenai institusi berakar institusi aturan/undang-undang (law) dan

hukum (legal), yang tidak hanya memusatkan perhatian pada bagaimana “aturan-

aturan” menyalurkan perilaku, tetapi juga tentang bagaimana dan mengapa aturan-

aturan lahir untuk pertama kali, dan di atas semua itu, apakah aturan-aturan

bekerja atas nama kebaikan bersama atau tidak” (Ishiyama & Breuning, 2013).

Selain itu, Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik menyebut

pendekatan tradisionalis ini sebagai pendekatan legal yang mencakup unsur legal

maupun unsur institusional. Maka, pendekatan ini erat kaitannya dengan

kekuasaan serta wewenang, hubungan formal dengan badan eksekutif, struktur

organisasi atau hasil kerjanya (Budiardjo, 2008).

Tentu pendekatan tersebut tidak salah jika diterapkan dalam pemerintahan.

Masalahnya adalah ketika yang terjadi yaitu lambatnya proses penanggulangan

dan penyelesaian atas masalah yang terjadi karena harus melewati lembaga yang

satu dan seterusnya karena sarat dengan proses yang hirarkis. Oleh karena itu,

dalam membahas program BOS ini, penulis mengkritik pendekatan

institusionalisme yang terlalu diterapkan ketika menjalankan program tersebut

dengan pendekatan Neo-Institusionalisme. Institusionalisme baru ini merupakan

penyimpangan dari institusionalisme lama yang mengupas lembaga-lembaga

kenegaraan secara statis. Sebaliknya, institusionalisme baru mengeksplorasi

bagaimana struktur, aturan, norma, dan kebudayaan institusi menghambat pilihan-

pilihan dan tindakan-tindakan individu tatkala mereka merupakan bagian dari

suatu institusi politik (Ishiyama & Breuning, 2013). Perspektif neo-institusionalis

mengombinasikan kajian level mikro terhadap perilaku individu dengan penelitian

level makro untuk memahami faktor-faktor institusional yang membantu

membentuk perilaku (Miller, 1995:6). Berkaitan dengan hal ini, Miriam Budiardjo

menjelaskan lebih jauh bahwa institusionalisme baru sebenarnya dipicu oleh

pendekatan perilaku yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari

perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya

mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh

para aktor serta pilihannya. Dengan demikian kedudukan sentral dari institusi-

institusi dalam kebijakan publik dinomorduakan. Sehingga, berbeda dengan

pendekatan institusionalisme yang hanya memandang cara kerja dan kedudukan

sentral lembaga formal, institusionalisme baru lebih menekankan pada interaksi

antar aktor, bagaimana menghimpun preferensi dari banyak aktor untuk

menentukan kepentingan kolektif (Budiardjo, 2008).

2. Analisis Masalah

1. Pendekatan Institusionalisme

Dalam menjalankan program dana BOS, negara melalui Kemendikbud

membentuk tim-tim manajemen di setiap tingkatan. Tim yang berada paling

atas adalah pada tingkat pusat, kemudian tingkat provinsi, tingkat

kabupaten/kota, baru yang terakhir adalah tingkat sekolah. Di satu sisi,

pembagian tingkatan ini akan membuat pekerjaan semakin terspesialisasi

sehingga meminimalisir adanya overlapping antar lembaga. Namun

sayangnya, hal tersebut juga berdampak pada lambatnya kinerja petugas

dalam menyikapi suatu masalah. Ketika terjadi kelebihan penyaluran dana,

maka sekolah harus melaporkan kepada tim BOS kabupaten/kota, kemudian

tim ini akan melaporkan lagi ke tim manajemen BOS provinsi. Baru pada

tahap ini akan dilakukan pengurangan dana BOS di sekolah tersebut pada

periode penyaluran berikutnya. Proses ketika terjadinya kekurangan

penyaluran dana akan sama-sama melalui tahap di atas. Kalau dana yang

kurang tersebut mencukupi kebutuhan sekolah, maka prosesnya akan selesai.

Tetapi, kalau tidak, artinya sekolah masih kekurangan dana, maka tim

manajemen provinsi harus mengajukan laporan keuangan lagi pada tim

manajemen pusat melalui laporan BOS-K9 paling lambat akhir minggu kedua

bulan kedua di setiap triwulan.

Karena harus melalui berbagai tingkatan untuk menyelesaikan masalah

penyaluran tersebut, seringkali yang terjadi adalah pemerintah terlambat

mengembalikan dana BOS sehingga dalam satu triwulan, sekolah tersebut bisa

tidak mendapatkan dana operasional BOS sama sekali. Selama ini,

keterlambatan transfer terjadi karena berbagai faktor, seperti keterlambatan

transfer oleh pemerintah pusat dan lamanya keluar surat pengantar pencairan

dana oleh tim manajer BOS daerah. Akibatnya, kepala sekolah harus mencari

berbagai sumber pinjaman untuk mengatasi keterlambatan itu. Bahkan, ada

yang meminjam kepada rentenir dengan bunga tinggi. Padahal, alokasi dana

BOS tidak boleh digunakan untuk keperluan membayar bunga pinjaman.

Maka untuk menutupi biaya ini, kepala sekolah memanipulasi surat

pertanggung jawaban yang wajib disampaikan setiap triwulan kepada tim

manajemen BOS daerah. Ini mudah karena kwitansi kosong dan stempel toko

mudah didapat. (Hendri, 2011)

Salah satu contoh adalah yang terjadi pada Kabupaten Kendal pada tahun

2011, dimana kabupaten tersebut mendapat dukungan dana yang sangat besar

yaitu sekitar RP 57 Milyar untuk 900an sekolah di tingkat SD/MI dan

SMP/MTs. Kucuran dana yang tergolong besar ini tidak hanya membantu

proses pendidikan di kabupaten tersebut, tetapi juga menambah polemik

akibat keterlambatan penyaluran dan pencairan dana ke sekolah-sekolah, baik

pada triwulan pertama maupun kedua, yang disebabkan oleh tiga hal utama:

(Mawardi, 2011)

a. Pada triwulan pertama, terjadi keterlambatan karena alasan

penetapan APBD molor. Alasan ini tidak rasional sebab sudah ada

Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan

Menteri Keuangan terkait proses pencairan dana BOS tahap

pertama yang memperbolehkan mencairkan dana sebelum APBD

ditetapkan.

b. Keterlambatan pencairan pada triwulan kedua disebabkan oleh

belum masuknya semua laporan pertanggung jawaban keuangan

pihak sekolah ke Dinas Pendidikan sehingga DPPKAD tidak

berani mencairkan dana sebelum ada permohonanan pencairan dari

DIKPORA.

c. Tertundanya proses pencairan akan membuat dana semakin lama

mengendap di bank sehingga mengakibatkan adanya bunga bank

atas dana BOS tersebut. Hal ini menimbulkan kerawanan terhadap

perbuatan korupsi oleh pejabat terkait, sebab berdasarkan audit

BPK banyak pihak di tahun 2010 yang tidak menyerahkan bunga

ke kas negara atas dana BOS yang mengendap di bank.

Keterlambatan ini disebabkan karena pihak yang terlibat dalam proses

penyaluran dana BOS hanya lembaga-lembaga formal tanpa melibatkan pihak

sekolah yang sebenarnya menjadi pihak yang tahu betul mengenai

permasalahan yang sedang dihadapi oleh sekolah tersebut.

Hal ini berlaku pula dalam melakukan proses pengawasan. Pada dasarnya

memang sudah ditentukan secara tertulis mengenai siapa-siapa saja, lembaga

apa saja yang terlibat, yang harus bertanggung jawab dalam melakukan fungsi

pengawasan. Pengawasan dana BOS ini terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu:

(Maruli, 2013)

a. Monitoring. Monitoring internal dilakukan oleh tim manajemen

BOS pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sementara, monitoring

eksternal dilakukan oleh Balitbang Kementerian Pendidikan

Nasional dan atau lembaga independen yang profesional seperti

Bank Dunia.

b. Pengawasan. Pengawasan dilakukan oleh pimpinan masing-masing

instansi pada bawahannya, baik di pusat, provinsi, dan khususnya

Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Pengawasan internal dilakukan

oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional dan

Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pengawasan eksternal

dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

(BPKP). Kemudian, ada pula pengawasan dari masyarakat yang

dilakukan oleh unsur masyarakat dan unit pengaduan masyarakat

yang terdapat di sekolah dan hasil pengawasan tersebut harus

disampaikan kepada pihak berwenang.

c. Pemeriksaan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK)

Masalahnya adalah terjadi ketimpangan dalam lapangan mengenai siapa yang

harus bertanggung jawab pada apa, dan sebagainya. Realitanya, lembaga-

lembaga tersebut tidak mengawasi secara langsung tentang penyaluran dan

pengoperasian dana BOS pada sekolah-sekolah. Sehingga yang terjadi adalah

sekolah dapat memanipulasi penggunaan dana BOS dan tidak akuntabel dalam

mempertanggung jawabkan laporannya.

Maka dari itu, kurangnya pengawasan secara menyeluruh dari atas

(negara), sifat organisasi yang terlalu sentris dan kakunya regulasi dapat

menyebabkan terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan dana BOS oleh

sekolah. Oleh karenanya, negara perlu lebih fleksibel dalam membuat aturan

atau petunjuk teknis (juknis) dalam pengoperasian dana BOS, sehingga

sekolah tidak hanya terpaku dalam menggunakan dana BOS karena harus

mengikuti aturan dari juknis itu tadi. Kemudian, pihak sekolah dan unsur

masyarakat harus lebih dilibatkan lagi, baik dalam mengambil keputusan

maupun dalam mengawasi penggunaan dana BOS. Sehingga partisipasi dari

kedua pihak ini diharapkan dapat membantu keefektifan program BOS agar

tidak timpang dengan hanya membebankan pada suatu lembaga formal

bernama negara.

2. Pendekatan Neo-Institusionalisme

Aktor-aktor yang terlibat dalam dana BOS ternyata masih seputar lembaga

formal yang bekerja secara hirarkis. Tidak terjadi keseimbangan kekuasaan

antara lembaga formal dengan pihak sekolah dalam membuat keputusan dan

pengalokasian dana, juga antara sekolah dengan masyarakat dalam hal

akuntabilitas. Singkatnya, tidak terjadi sinergitas antar aktor, yang meliputi

negara, sekolah dan masyarakat, dalam mengoperasikan program BOS.

Ketiadaan interaksi ini bukan hanya membuat proses penanggulangan masalah

dan penyaluran dana menjadi lamban, tapi juga mengakibatkan proses

akuntabilitas yang dilakukan sekolah hanya menjadi angin lalu saja akibat

kurangnya pengawasan dari negara dan partisipasi masyarakat.

Munculnya guyonan di kalangan masyarakat yang mengatakan: “hanya

dua pihak yang mengetahui detail pengelolaan dana bantuan operasional

sekolah di sekolah, yakni kepala sekolah dan Tuhan” tentu bukan isapan

jempol belaka, karena kenyataannya banyak sekali manipulasi yang dilakukan

sekolah untuk mendapatkan dana yang lebih besar. Berikut adalah tahapan

modus sekolah untuk menambahkan dan menyelewengkan dana: (Trisulo,

2015)

a. Tahap perencanaan, adalah dengan menggelembungkan data

jumlah siswa. Siswa yang sudah pindah atau lulus tetap

dimasukkan dalam daftar penerima dana BOS dengan harapan

dana yang diperoleh sekolah bertambah. Modus lainnya dengan

mengajukan anggaran belanja fiktif, memperbanyak anggaran tak

terduga, menjalin kolusi dengan panitia, membikin belanja barang

habis pakai secara berulang-ulang, dobel anggaran, hingga

menerima program titipan.

b. Tahap pencairan, kebocoran dana BOS terjadi dengan modus

memperlambat pencairan hingga pemberian gratifikasi atau uang

terima kasih. Modus-modusnya rapi dan tak kasat mata. Pada tahap

pembelanjaan, modus membocorkan dana BOS dengan

menurunkan kualitas spesifikasi barang. Pengelola dana BOS telah

berkolusi dengan instansi/penyedia barang.

c. Tahap pelaporan. Bukan hanya keterlambatan pelaporan, tetapi

juga penyajian laporan meliputi transparansi dan akuntabilitas

laporan. Kasus-kasus demikian banyak ditemukan di berbagai

daerah ketika pemeriksa/pengawas membandingkan dokumen

rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) dengan laporan

pertanggung jawaban (LPj). Spesifikasi barang di RKAS dengan

LPj banyak yang berbeda. Dampaknya tak hanya kualitas yang tak

sesuai standar, tapi ada alokasi dana yang sengaja dihilangkan. 

Berkaca dari modus penyelewengan dana tersebut, maka yang dapat

menjadi alternatif pemecahan masalah adalah melalui akuntabilitas dan

transparansi. Pengelolaan dana BOS selama ini mutlak dalam kendali kepala

sekolah tanpa keterlibatan warga sekolah, seperti orang tua murid, komite

sekolah, guru, dan masyarakat sekitar sekolah. Partisipasi warga sekolah

dibatasi hanya dalam urusan pembayaran uang sekolah. Di luar urusan

tersebut, warga sekolah tidak boleh ikut campur (Hendri, 2011). Bahkan

anggota komite sekolah jarang dimintai masukan saat pembuatan keputusan

terkait alokasi anggaran BOS. Yang lebih umum terjadi adalah kepala sekolah

dan guru akan menentukan alokasi dana, kemudian menyampaikan keputusan

mereka kepada ketua komite sekolah untuk mendapat persetujuan (worldbank,

2015).

Hal di atas mengindikasikan bahwa yang kita butuhkan adalah partisipasi

dari berbagai institusi, bahwa yang terlibat bukan hanya kepala-kepala atau

pimpinan saja, tetapi juga melibatkan seluruh anggota dan juga unsur

masyarakat. Kemendikbud mengklaim bahwa telah membuka secara

transparan mengenai penyaluran dana BOS ke sekolah-sekolah di Tanah Air.

Namun, keterbukaan penggunaan dana tersebut kerap berhenti di tingkat

sekolah yang memiliki kewenangan otonomi atas pemanfaatan BOS tersebut

(Kompas, 2011). Jika demikian, maka untuk mendorong akuntabilitas

diperlukan keterlibatan antara dua aktor, yaitu sekolah itu sendiri dan aliansi

dari masyarakat.

Sekolah, dalam hal ini pimpinan sekolah atau kepala sekolah, juga harus

melibatkan para guru agar mengetahui anggaran pendapatan dan belanja

sekolah (APBS) yang didalamnya terdapat dana BOS. Jadi penggunaan dana

BOS itu tidak hanya dikontrol oleh satu aktor saja, karena hal ini akan rawan

pada tindakan korupsi. Ketika semua aktor dalam sekolah itu terlibat, maka

akan saling mengawasi sehingga proses check and balances akan tercipta.

Selanjutnya, sekolah harus membuat transparansi anggaran sehingga akan

meminimalisir jumlah laporan pertanggung jawaban yang manipulatif.

Penelitian yang dilakukan Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Solo,

menunjukkan lebih dari 80% sekolah menolak memberikan dokumen data

pengelolaan BOS kepada publik dengan berbagai alasan (Harian Solopos,

2014). Hal inilah yang menyebabkan peran masyarakat dalam melakukan

pengawasan sangat penting. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik telah menjamin dan membuka dengan lebar ruang bagi

publik, atau dalam hal ini orang tua siswa, untuk meminta transparansi dana

ke pihak sekolah, dan jika sekolah tidak atau menolak untuk memberikan

informasi, maka sekolah tersebut dapat langsung dilaporkan ke Dinas

Pendidikan, Inspektorat Daerah atau pejabat berwenang.

Karenanya, masyarakat juga menjadi salah satu aktor yang sangat berperan

penting dalam mendukung kelancaran program BOS, khususnya soal

transparansi dan akuntabilitas. Hal inilah yang mendorong dideklarasikannya

Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan Indonesia (APPI) pada 22 Februari

2011. Aliansi ini bertujuan untuk mendorong orang tua siswa agar lebih

berperan aktif dalam mengawasi sistem pendidikan Indonesia dan mendorong

orang tua untuk melakukan pengawasan dalam penggunaan dana publik di

sekolah (TEMPO Interaktif, 2011). Dibentuknya APPI ini pada awalnya

merupakan angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia yang lebih baik,

tetapi sayangnya kiprah aliansi ini sekarang seakan hilang begitu saja dan

tidak terdengar lagi.

Selain APPI, ada pula website dengan domain awasibos.org yang berisi

laporan-laporan mengenai penyalahgunaan dana BOS. Awasibos ini berperan

aktif dalam mengawasi sekolah-sekolah di Indonesia dengan beritanya yang

selalu up-to-date, sehingga berita ini akan diketahui oleh masyarakat luas dan

tentu akan membuat citra sekolah tersebut menjadi buruk. Namun sayangnya,

portal ini hanya sebatas untuk mengakses berita. Tidak ada fungsi pengawasan

lebih jauh seperti laporan pertanggung jawaban, dan sebagainya, yang akan

memerangi tindak kecurangan dalam dana BOS. Hal ini sangat disayangkan

karena meskipun partisipasi dan pengawasan dari masyarakat sangat

diperlukan dalam mendorong akuntabilitas penggunaan dana BOS, tetapi tidak

ada suatu aliansi yang benar-benar memadai yang akan mendukung aktivitas

masyarakat tersebut. Dan di lain pihak, pemerintah hanya menyerahkan,

bahkan terkesan menyalahkan, pada masyarakat dalam hal pengawasan

program ini, padahal belum ada tindakan yang benar-benar nyata yang

dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong adanya keterbukaan informasi

anggaran.

3. Refleksi

Penjelasan di atas tentunya telah memberi kita insight mengenai polemik

yang terjadi dalam dana BOS, dimana kondisi pengorganisasian BOS saat ini

yang sangat institusionalis dan hirarkis membuat penanggulangan terhadap

masalah sangat lamban dan bergantung pada institusi-institusi tertentu, ditambah

lagi prosesnya menjadi tidak akuntabel karena pemerintah justru tidak benar-benar

hadir dalam fungsi pengawasan. Pemerintah menyerahkan akuntabilitas

sepenuhnya pada sekolah, tanpa diimbangi dengan pengawasan yang ketat. Selain

itu, pemerintah memberikan petunjuk teknis mengenai apa-apa saja yang harus

dijadikan pedoman bagi sekolah dalam bertindak. Juknis tersebut berisi tentang

hal apa saja yang boleh menggunakan anggaran BOS, padahal kenyataannya pasti

ada dana tak terduga yang diperlukan sekolah. Pemerintah tidak berhasil dalam

menyikapi hal ini karena pemerintah sendiri tidak terjun langsung dalam

penggunaan dana BOS, sehingga tidak mengetahui polemik-polemik yang terjadi.

Ketika hal ini yang terjadi, maka pilihannya adalah negara perlu mengkaji

ulang tentang peraturan yang dikeluarkan supaya tidak terlalu baku dan membuat

ruang gerak sekolah jadi terbatas. Untuk itu, sangat diperlukan partisipasi oleh

perwakilan sekolah itu sendiri karena merekalah yang benar-benar paham

mengenai apa yang mereka butuhkan. Maka, pemerintah justru harus membuka

keran partisipasi sebesar-besarnya bagi sekolah agar dapat bersama-sama mencari

solusi. Kemudian berkenaan dengan proses akuntabilitas, pihak sekolah juga perlu

mendesain ulang cara kerjanya, yaitu dengan memberikan informasi dan

transparansi anggaran pada orang tua murid untuk meminimalisir adanya

kecurangan dana. Sebaliknya, orang tua harus secara aktif turut mengawasi

pelaksanaan dana BOS dan melaporkan setiap tindakan kecurangan. Gerakan ini

tentu bukan hanya dibebankan pada orang tua siswa dan masyarakat sipil saja,

tetapi negara juga wajib berperan dalam membantu melaporkan pertanggung

jawaban anggaran yang didistribusikan di setiap institusinya dan yang digunakan

di tiap-tiap sekolah. Intinya, untuk memperbaiki sistem program BOS yang

hirarkis, tidak transparan dan lamban, dibutuhkan adanya sinergitas antar aktor

yang erat kaitannya dengan partisipasi dan akuntabilitas.

Program dana BOS ini sangat menarik karena di satu sisi kita tak lagi

sangsi dengan keberadaan negara. Melalui kasus ini, kita tahu betul bahwa negara

sudah memenuhi janjinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan

“menginvestasikan” sejumlah besar uang untuk program BOS yang membantu

tercapainya wajib belajar 9 tahun. Program ini tentu membantu masyarakat karena

semua lini masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah.

Tetapi, seperti kita ketahui, terlalu banyak lika-liku dalam pelaksanaan program

ini. Program BOS yang seharusnya membantu masyarakat Indonesia justru

memicu kasus korupsi baru yang jumlahnya tak sedikit.

Pengerjaan makalah ini menyenangkan. Tema ini sedikit banyak

menyadarkan penulis bahwa negara juga berusaha untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Ini membantah anggapan bahwa “yang di atas sana

hanya menikmati uang rakyat”, lagipula ketiadaan peran masyarakat juga

berpengaruh besar terhadap maraknya kasus korupsi. Nah, hal ini pula yang

memicu diskusi antara penulis dan teman-teman penulis. Kami pura-pura berlaku

sebagai pengamat politik Indonesia, lalu mengomentari tentang apa saja yang

perlu diperbaiki oleh ketiga ranah: negara, intermediary, masyarakat, mengenai

kasus ini dan kasus yang mereka bawa.

Karena kasus ini pernah dibahas dalam mata kuliah Pengantar Studi

Pemerintahan, maka penulis sudah sedikit tercerahkan dengan penjelasan

mengenai dana BOS dan masalah-masalahnya dari Mas Hanif dan Mbak Azizah.

Oleh karena itu, penulis sebenarnya tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam

menganalisis masalah. Mungkin letak yang membingungkan adalah pada

sistematika penulisan. Karena Mas Joash memberitahu lewat chat LINE dan tidak

menjelaskan secara langsung di kelas, maka menimbulkan interpretasi yang

berbeda-beda dan penulis bingung karena antar teman berbeda pula cara

menjelaskannya.

Selesainya makalah ini sangat melegakan. Ad Maiorem Dei Gloriam.

Daftar Pustaka

bos, 2012. Bantuan Operasional Sekolah (BOS). [Online] Available at: http://bos.kemdikbud.go.id/home/about[Accessed 2016 June 2016].

Budiardjo, M., 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Revisi ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Harian Solopos, 2014. BOS gamblang, Pendidikan Cemerlang. [Online] Available at: http://awasibos.org/liputan/biaya-pendidikan-dana-bos-bocor-dengan-berbagai-modus/[Accessed 15 June 2016].

Hendri, F., 2011. Kompas.com. [Online] Available at: http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/15/03155795/Skandal.Dana.BOS[Accessed 13 June 2016].

Ishiyama, J. T. & Breuning, M., 2013. Ilmu Politik dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu. 1 ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Kompas, 2011. Bantua Operasional Sekolah (BOS). [Online] Available at: http://bos.kemdikbud.go.id/home/artikel/4[Accessed 15 June 2016].

Maruli, A., 2013. Antaranews.com. [Online] Available at: http://www.antaranews.com/berita/405562/tanya-jawab-program-bantuan-operasional-sekolah-bos-4[Accessed 13 June 2016].

Mawardi, R., 2011. PATTIRO Sekolah Rakyat. [Online] Available at: http://sekorakyat.org/penyaluran-dana-bos-yang-bikin-masalah.html[Accessed 13 June 2016].

TEMPO Interaktif, 2011. TEMPO.co. [Online] Available at: https://m.tempo.co/read/news/2011/02/22/057315126/aliansi-orang-tua-murid-peduli-pendidikan-dideklarasikan[Accessed 15 June 2016].

Trisulo, 2015. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kemeterian Keuangan. [Online]

Available at: http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-anggaran-dan-perbendaharaan/20982-akuntabilitas-pengelolaan-dana-bos[Accessed 15 June 2016].

worldbank, 2015. The World Bank. [Online] Available at: http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/06/15/reviewing-ten-years-of-indonesia-school-grants-program[Accessed 15 June 2016].