sosok filsafat indonesia: sebuah spekulasi keliru

27
Sosok Filsafat Indonesia: Sebuah Spekulasi Keliru Oleh Richard Oh Di sebuah symposium yang kebetulan didukung oleh seorang kelirulogi, sebuah permainan keliru- keliruan mungkin bisa bermanfaat. Mari kita susun ulang ketiga kata di atas menjadi Indonesia Filsafat Sosok. Menarik tentunya untuk ditelusuri dan menggali betapa terpesonanya komunitas kita pada tokoh dan segala hal yang mengonsolidasikannya. Penelusuran ini bisa jadi sangat berguna untuk mengurai kenapa kedipan mata pada sosok lebih menjurus ke sebuah kultus karisma daripada mengisyaratkan sebuah penggambaran tebal (thick description) Clifford Geertz. 1

Upload: independent

Post on 03-Feb-2023

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Sosok Filsafat Indonesia: Sebuah Spekulasi Keliru

Oleh Richard Oh

Di sebuah symposium yang kebetulan didukung oleh

seorang kelirulogi, sebuah permainan keliru-

keliruan mungkin bisa bermanfaat. Mari kita susun

ulang ketiga kata di atas menjadi Indonesia

Filsafat Sosok. Menarik tentunya untuk ditelusuri

dan menggali betapa terpesonanya komunitas kita

pada tokoh dan segala hal yang

mengonsolidasikannya. Penelusuran ini bisa jadi

sangat berguna untuk mengurai kenapa kedipan mata

pada sosok lebih menjurus ke sebuah kultus karisma

daripada mengisyaratkan sebuah penggambaran tebal

(thick description) Clifford Geertz.

1

Atau bisa juga kalau kita mencoba merunut ketiga

kata ini dalam sebuah segitiga René Girard.

Indonesia (subjek) –> Sosok (model) –>

Filsafat (object)

Sebuah sirkulasi hasrat mimesis yang senantiasa

melambungkan nilai objek tanpa bisa merenggutnya.

Atau kita selipkan kata filsafat di palang

susunan ini.

Sosok (penanda)/Indonesia (tertanda)

Palang pemisah ini sekarang berfungsi sekaligus

sebagai pemisah dan sebuah ambang pengitaran

paradigmatik kedua kata: Sosok dan Indonesia.

Mungkin dengan ilustrasi di atas, saya ingin

menyampaikan bahwa sejak Tan Malaka menerbitkan

buku filsafat pertama Indonesia, Madilog, hingga

hari ini bios theorethikos masih menggunakan aparatus-

2

aparatus sejenis untuk orientasi pikiran. Namun,

72 tahun kemudian, Logika Mistika yang ingin

disingkirkan Tan Malaka dengan memperkenalkan

filsafat Materialis Dialektika Logika, masih

berakar dan kian hari berlukar.

Mungkin lewat Keliruloginya, Jaya Suprana

menemukan akar persoalan yang sedang kita hadapi.

Saya ingin memositkan, mungkin Kelirulogi yang

ditemukan Jaya Suprana menggambarkan sebuah modus

kehidupan: bahwa masyarakat kita lebih mencondong

ke vita activa daripada vita contemplativa. Sebuah

kehidupan aktif di mana spontanitas gerak menjadi

bagian penting sebuah kehidupan produktif.

Keliru menjadi bagian persenggolan hidup yang

lazim dan tak menuntut sebuah interval

refleksifitas yang semestinya bisa mengoreksi

haluan ke arah yang lebih efisien. Waktu menjadi

3

sekaligus tanpa batas dan membataskan

kontemplasi. Kesalahan menjadi bagian dari

kreatifitas kehidupan ketok magic. Selesai, asal

selesai, menjadi acuan utama sedangkan efisiensi

dan pengulangan teruji menjadi musuh utama

vitalitas produktifitas.

Dua kata yang sering kita dengar dengan nada

gusar atau frustrasi adalah minder dan asumsi.

Dari intensitas sindiran-sindiran seperti itu

kadang kita menjadi berbesar hati dan berpikir:

aha, sebuah gelombang kritis telah hadir di

cakrawala. Sebuah kondisi telah secara sadar

dikritik. Ternyata seruan-seruan ini hanyalah

ungkapan-ungkapan direnggut dari tubuh kebiasaan,

kemudian ditempelkan pada jidat yang sama.

4

Paling tidak sekarang kita memiliki dua kata

acuan untuk ditelusuri lebih lanjut. Ada apa di

balik minder dan asumsi? Kenapa mereka menjadi

dua kata yang paling sering dilekatkan pada

kebiasaan kebanyakan orang kita? Apakah minder

yang dimaksud berkonotasi sebuah kompleks

inferioritas? Kenapa pula asumsi dipersoalkan?

Mungkin minder yang dimaksud bukan sebuah

kompleks inferioritas. Karena kompleks

inferioritas berorientasi pada kompleksitas:

yakni mengisyaratkan sebuah kemampuan untuk

merujuk pada yang lebih kompleks atau sebuah

wujud kompleksitas yang beranjak dari multiple

kompleksitas. Atau mungkin ini symptom lain dari

kompleks inferioritas? Lebih mendekati: semacam

ketakberdayaan atau keberingsutan di hadapan

kompleksitas? Tentu saja ini jauh dari keseharian

5

vita activa yang berorientasi pada sirkulasi

produktifitas, pada selesai, asal selesai,

ketimbang penilaian pada kualitas maupun

perhatian pada prosedur penyelesaian.

Mungkin keminderan yang disebut lebih merujuk

pada sebuah kondisi vita activa, di mana fokus pada

vitalitas produktifitas mendahului segalanya,

sehingga kemusyawarahan menjadi budaya karena

menghemat waktu dan kerukunan memastikan

pekerjaan di lapangan tak terganggu. Asumsi,

dengan demikian, adalah anak produk pragmatis

dari budaya silaturahmi. Tak mengherankan

kemudian asumsi hadir sebagai sebuah spekulasi

tak berdasarkan arbitrasi akal dari faktor-faktor

bersangkutan. Seperti itulah sindiran minder

menjadi sebuah ungkapan yang kemudian tereifikasi

6

menjadi sebuah tubuh anthropomorfik masyarakat

kita.

Seandainya hipotesa di atas benar, kita perlu

menanyakan ini. Bukankah vita activa membekalkan

ketrampilan, dan dalam prakteknya kreatifitas?

Lalu kenapa di negara yang begitu kaya sumber

alam ini sekaligus juga negara paling miskin

inovasi? Merefleksikan ini saya kembali pada

anjungan pikiran yang membawa saya ke serat

pemikiran ini.

Mungkinkah kondisi budaya silaturahmi juga

berperan di sini? Ketrampilan dan kreatifitas

sebagai produktifitas dari komunitas untuk dan

sejauh keperluan komunitas. Di manakah jenjang

kebanggaan dari ketrampilan dan terobosan

kreatifitas? Apakah mereka terhempas dalam

7

kepuasan tak menuntut dari sebuah acuan

kerukunan? Bilamana tetangga saya bisa bernafkah

sebagai tukang kayu, saya belajar darinya bukan

supaya suatu hari menjadi seorang ahli, namun

supaya punya sebuah profesi ketrampilan yang

memberi nafkah. Diteropong demikian maka

ketrampilan dan kreatifitas yang beredar adalah

ketrampilan dan kreatifitas sejauh kriteria

kebutuhan atau produktifitas vita activa. Referensi

sebagai peningkatan jenjang ketrampilan dan

kreatifitas tidak menjamah masyarakat seperti

ini. Interaksi, sebuah dialog kreatif, dengan

dunia luar komunitas pupus dalam kesibukan

produktifitas. Di sela-sela kesibukan sehari-

hari, penampilan ketrampilan dan kreatifitas luar

biasa dari dunia lain menjadi sebuah pesona

berjarak, sesekali diduplikasi dengan trampil

namun tak memicu dorongan pada terobosan. Seakan-

8

akan terobosan sebuah keganjilan budaya

silaturahmi.

Paedeia, dirapal mirip dengan pede-ah, adalah

kata akar bahasa Yunani yang artinya pendidikan.

Di sinikah duduk persoalannya seperti

terkumandang di berbagai lapisan akademi? Di

mana-mana kita mendengar bunyi pujian bernada: oh

nyeninya, beraninya, imajinatifnya, vokalnya

seseorang, namun jarang terdengar ungkapan

menyenggol ironi, kontemplasi dan paradigma.

Seandainya, sekali lagi, hipotesa demikian itu

benar adanya, bagaimana pendidikan bisa menyusup

ke dalam sirkulasi budaya silaturahmi seperti

ini?

Kita tahu dari beribu tahun sejarah filsafat, Bios

Theoretikhos lahir dari keinginantahu. Michel

9

Foucault, dalam sebuah wawancara bersama Alain

Badiou, diminta untuk menjelaskan perbedaan

antara filsafat dan psikologi. Michel Foucault

menegaskan: psikologi lahir dari sebuah budaya,

tapi filsafat lahir di mana saja manusia

menanyakan kenapa. Sebuah jawaban sekaligus

memberi pencerahan pada persoalan kita, namun

juga membuat kita terhenti menimbang-nimbang.

Berita yang membesarkan hati adalah di mana saja

manusia bertanya kenapa di situlah bibit filsafat

akan muncul. Berita kurang menyenangkan adalah

kenyataan bahwa budaya silaturahmi telah mengakar

dan adat telah menjadi sebuah pilar kehidupan.

Kerukunan yang terekat pada adat dan keyakinan

mayoritas menjadi panduan alami keseharian.

Pengejaran pada kebenaran terbatas dan pupus

dalam keyakinan normatif.

10

Seandainya kita mengatakan, pada titik

argumentasi ini yang sengaja saya bangun bagan

logikanya sedemikian, bahwa jelas psikologi lebih

dibutuhkan masyarakat silaturahmi daripada

filsafat, maka kita akan melakukan sebuah

kesalahan yang sering dilakukan oleh bios

theorethikos: yakni, mengarah ke satu sudut terakses

dari sebuah reduksi dikotomi kecendurungan

(given). Saya telah secara sengaja mereduksi

keberagaman hidup menjadi sebuah nama, budaya

silaturahmi, di sebuah sudut dualisme dan

menjadikannya sebuah objek bidikan teori,

kemudian menyodorkan sebuah solusi yang seakan

memenuhi kriteria dari dualisme yang saya ajukan.

Sambil mengeyampingkan predikat yang menengahkan

saya dan objek, dan lebih menyesatkan lagi

menjadikan objek itu seakan seragam dalam satu

keutuhan. Jikalau saya sebagai subjek peninjau

11

disingkirkan dari sebuah posisi subjektif

terhadap objek maka yang hadir bukanlah sebuah

trajeksi subjek ke objek tetapi sebuah posisi

persilangan setara antar objek pada objek yang

kemudian dari perbandingan objek dan objek lain

memproduksikan sebuah makna bernilai dari

pertukaran yang mengubah. Sebagai contoh, tak ada

dua komunitas bisa disamakan walau terdeteksi

kuatnya anasir budaya silaturahmi yang sama.

Karena apa yang tampak secara eksternal pada

umumnya sebuah tuntutan perwujudan di permukaan,

namun di bawah permukaan terdapat intensitas,

atraktor, bifurkasi, difusi, konjungsi, disjungsi

yang senantiasa berubah tergantung pada anasir

terkumpul, terpilah, vektor, diferensiasi

progresif dll. Pertimbangkan juga: bahwa tiap

individu yang terhitung di dalam sebuah

masyarakat pada waktu yang sama berada di luar

12

masyarakat tersebut. Karena setiap individu

adalah utuh dalam kesendiriannya agar ia bisa

menghitung yang lain (inklusif) dan keberadaannya

dihitung oleh yang lain (ekslusif).

Mengejar sebuah kebenaran dari sebuah teori

itulah yang sering membuat bios theorethikos luput

memandang dunia kenyataan. Karena pikiran yang

merujuk pada kebenaran pada hakekatnya membelah

dunia menjadi dualisme Benar dan Salah tanpa

menimbang sebuah perspektif sebaliknya, umpamanya

dari sudut pandang Salah, atau dari sebuah

superposisi antara Benar dan Salah, atau sebuah

jalan tengah yang menerima contrario sebagai sebuah

kecenderungan.

Para filosof, Versucher, pemikir eksperimen, yang

ditunggu-tunggu Nietzsche telah berada di tengah

13

kita. Pemikir yang digambarkan oleh Nietzsche

sebagai Pemikir Mungkin ini telah sekian lama

hadir. Namun obsesi pada kebenaran telah membuat

Bios Theoretikhos semakin berjarak dari heterologi

kehidupan di sebuah menara gegar kontemplasi.

Pengejaran pada teori telah membuka sebuah jarak

dikotomi terbentang lebar antara kehidupan

sebagai objek kontemplasi dan kontemplasi sebagai

sebuah pengasingan dari kehidupan. Teori-teori

pun terproduksi namun bagai untaian sahutan di

dalam ruang eksklusif semakin berjarak dari

praktik kehidupan. Sementara dunia terpecah

semakin kentara dikotominya antara para

fundamentalis Baik yang menempatkan altarnya di

sebuah lokus transenden dan mereka yang

menolaknya tanpa kecuali.

14

Sloterdijk menyalahkan Plato. Pikirannya tentang

bentuk, ide dan Baik telah menyerahkan

materialisme pada sebuah roh abstrak di seberang

sana. Tak heran menurut Sloterdijk bila Bios

Theoretikos semakin berjarak dari praktik kehidupan.

Askestisme para pemikir ini menjadi sebuah

dedikasi yang niscaya tertebus pada akhir hidup

dalam sebuah transendensi. “Interpretasi

Nietzsche perihal ini benar: Plato, dengan

membuat gurunya mengklaim secara tak langsung

bahwa ia (menjelang hukuman mati dengan racun hemlock)

saat itu juga pulih dari sebuah penyakit paling

akut, mentransformasi kematian sang terpelajar

(Socrates) menjadi sebuah adegan primal

penaklukan dunia dan kehidupan melalui sebuah

modus eksistensi filosofis.” Hal 177, The Art of Philosophy, Sloterdijk.

15

Sloterdijk melacak perwujudan dunia dari

pembentukan peta dunia yang bergesar seiring

waktu dari Mercator ke sebuah bentuk bola bundar.

Kebundaran ini, menurut Sloterdijk, tentu saja

mengacu pada kesempurnaan Baik. Walau

kenyataannya lingkaran bundar itu penuh retak tak

sempurna. Penelusurannya membawa Sloterdijk pada

sebuah konsep pemikiran yang disebutnya sebagai

teori pengendapan (theory of immersion). Pandangan

pemikir yang biasanya diarahkan pada dunia

kesempurnaan tak berujung di luar sana,

seyogyanya diarahkan balik dari sebuah titik

keleluasan semakin merapat ke bumi, ke kehidupan,

ke manusia. Memandang keluar dengan demikian

adalah sebuah pemantulan (refraksi) dari titik

infinitas ke yang terdekat. “Pembukaan ke

infinitas ini meningkatkan risiko lokalisasi

modern. Manusia ketahui, walau pada awalnya agak

16

kalut dan tak secara langsung, bahwa ia

tertampung atau tersesat—pada hakekatnya sama

artinya saat ini—di suatu tempat keleluasan tak

berujung. Ia paham bahwa ia tak bisa lagi

mengandalkan apapun kecuali ketakacuhan ruang

homogeinitas infinitas. Yang di luar berekspansi,

mengabaikan postulat proksimitas dalam ruang

lingkup manusiawi, bagai sebuah entitas asing

tanpa kecuali; prinsip pertama dan satu-satunya

tampaknya ketakpedulian pada humanitas.” Sloterdijk,

hal 23, Return to Earth, In the World Interior of Capital. Latour

mengingatkan: sejauh dan seluas peneropongan pada

Gaia, kita pada akhirnya kembali pada biosphere,

tempat kita berpijak, satu-satunya ruang lingkup

di mana keberadaan kita bersama dimungkinkan.

Quentin Meillassoux menilik dari sudut yang

berbeda. Bagi dia, dunia pemikiran terpecah

17

menjadi dua: idealis subjektif dan subjektalis.

Baik idealis subjektif (seperti Hegel dan Kant)

maupun subjektalis (seperti Deleuze) sebenarnya

tak lepas dari kesadaran. Objektifitas yang

mereka coba kukuhkan di satu sisi lewat sebuah

transendensi subjektif (seperti Hegel) atau

pengubyektifan objek-objek menjadi benda-benda

bernyawa pada akhirnya tak terlepas dari sebuah

lingkaran korelasi akal yang menyangkal diri

sendiri (closure of thought on itself). Sedangkan,

subjektalisme seperti yang dilakukan oleh Deleuze

lewat intensitas-infra (Deleuze) dikritik

Meillassoux sebagai lebih menekan pada perbedaan

derajat intensitas alam disubjektifikasi daripada

perbedaan sifat dasar alam itu sendiri.

Meillassoux berkutat mendalami subjektifitas

dalam pengertian seorang realis tulen: yakni

18

dengan meradikalisasikan fondasi yang dimulai

Berkeley, namun berangkat dari sebuah posisi

pemikir spekulatif materialisme. Ia membongkar

persoalan dari dua kubu yang bersilang ini

sebagai kegagalan untuk menelisik kesubjektifisan

akal. Bilamana akal tak mampu menjangkau sesuatu

seperti absolut itu bukan berarti absolut tak

bisa disertakan. Keterbatasan akal yang

senantiasa bersirkulasi dalam sebuah lingkaran

korelasi antara subjek dan objek, noetico-

noematic, kesadaran sebagai yang tercenderung,

Ada-dalam-dunia, dll, tak bisa ditafsir sebagai

ketidakmungkinan untuk menyertakan absolut.

“Karena kenyataannya, seperti kita ketahui,

sebuah bentuk non-material absolutisme, yang

prinsipnya terdiri bukan dari klaim untuk

memikirkan sebuah absolut non-korelasi, tapi

membuat korelasi itu sendiri sebagai absolut

19

adanya.” Hal 2, Iteration, Reiteration, Repetition: A Speculative

Analysis of the meaningless sign, Meillassoux. Menurut

Meillassoux akal bisa menyertakan absolut,

mandiri dari subjektifitas dan kesadaran.

Meillassoux memositkan lewat prinsip

faktialitasnya bahwa bilamana akal terpental

kembali dalam keterbatasannya sendiri, di dalam

satu lingkaran kebuntuhan korelasi, terbesit

dalam kebuntuhan itu sebenarnya sebuah faksitas,

yakni yang absolut. Seandainya korelasi lingkaran

ini diradikalkan menjadi sebuah korelasi faktial,

yakni diradikalkan subjektifitas akal, maka kita

akan tiba pada kesimpulan ini: bilamana saya bisa

membayangkan saya tiada, maka spekulasi realisme

ini, bukan materialisme, akan menyertakan

absolutisme. Ketiadaan saya adalah sebuah absolut

yang tak bisa dikorelasi oleh saya. Ia adalah

faksitas yang walaupun saya tahu Adanya namun tak

20

bisa bayangkan kebalikannya. Bagi Meillassoux

kepastian kontingensi bisa diderivasi dari

kendala-kendala anasirnya, yang disebut sebagai

Figur-figur kontingensi. Figur-figur ini selalu

ada dan stabil supaya kontingensi tidak menjadi

kontingensi dari kontingensi, yang membuat

penampakan dunia sekaligus ada dan tiada. Figur-

figur kontingensi inilah yang disebut Meillassoux

sebagai kebenaran abadi, yang ingin ditekuninnya.

Dia tak tertarik pada Fakta, Faksitas, ataupun

Arke-Faksitas, karena baginya itu pekerjaan para

Hyperphysics: fisikawan, ilmuwan yang ingin

menjelaskan hal-hal heuristik kenyataan.

Meillassoux juga menyatakan bahwa ia tak tertarik

pada sebuah sistem yang mengaku bisa menjelaskan

semua. Baginya heterogeneitas tak bisa direduksi

dari materi ke kehidupan, atau kehidupan ke

21

materi, monisme ke pluralisme-monisme, atau

monisme-pluralisme.

Sementara Tristan Garcia, protégé Meillassoux dan

Badiou, meradikalisasikan realita menjadi sebuah

ontologi datar. Ia setarakan individu dengan

objek sebagai benda yang memiliki kebendaan yang

sama secara formil. Ia menetapkan adanya prinsip

ini: the thing which is (benda seadanya) dan the thing

which it is (benda yang ada). Tujuannya adalah ketika

individu disetarakan dengan objek tanpa kecuali

maka perbedaan yang terkuak dari paparan realita

(di sebuah semesta yang mencakup semua) menjadi

terlihat nilai aslinya tanpa bias, terungkap dari

intensitas berskala.

Di persimpangan pemikiran inilah sekarang kita

berada.

22

Menurut Francois Jullien kearifan tak punya nama

dan tak bisa dikonsepkan. Dia menjelaskan bahwa

pertanyaan seperti adakah makna sebuah kehidupan

sama sekali bukan sebuah pertanyaan yang bermakna

bagi kearifan. Nama dan konsep di sebuah dunia

yang melesat semakin cepat dan terpapar semakin

nyata keragamannya membuat fungsi berpikir

tertimbun di bawah tumpukan data dan teori. Nama

bagi Sylvan Lazarus (Archeology of Names) tak

terpatri pada yang tertulis, namun berada di

sebuah lokus pikiran agar nama itu selalu selaras

(congruent) dengan waktu.

Filosof-filosof Mungkin yang ditunggu-tunggu

Nietzsche, saya kira adalah pemikir-pemikir

kongruen seperti ini. Pemikir-pemikir yg lebih

tertarik pada arah panah penunjuk benda-benda

daripada penjelasan benda-benda itu. Pada

23

penguakan sebuah geografi perspektif daripada

pelipatan satu nama ke nama lain. Identitas bukan

lagi sebuah kartu pengenal yang membantu buka

pintu universalisme ataupun sebuah acuan untuk

menguak perbedaan makna. Sebuah peta pemikiran

sejak lama sudah dikumandang oleh Michel Serres:

mimesis yang sebenarnya bukan sebuah migrasi dari

internal ke eksternal, tapi sebuah regulasi

berawal dari eksternal ke internal. Moralitas

dengan demikian terobjekfikasi di eksternal

menjadikan obligasi kita bukan sebuah deliberasi,

tapi sebuah kemestian.

Ah, tapi symposium ini menuntut sebuah sosok

filsafat Indonesia. Sebuah nama, sebuah

genealogi, bagi sebuah praktek kearifan yang kian

hari kian bergeser dari diri dan nama dan

penamaan ke sebuah pengendapan aktif agar lebih

24

kongruen dengan waktu dan realita. Ketika seorang

pemikir Indonesia mengajukan sebuah orientasi

baru dalam pertukaran perspektif global, di

situlah mungkin dunia akan menemukan sosok

filsafat Indonesia. Sebuah pengendapan pikiran

teraktifkan dalam sebuah dialog global. Di dunia

berpikir, seorang Nietzsche atau seorang

Meillassoux lebih dikenal sosok pikirannya

daripada atribut-atribut formil lainnya.

Bagaimana kita memulainya? Sosok adalah

kontingensi dari filasafat dan filsafat adalah

faksitas dan internasional adalah sosoknya atau

sampulnya Indonesia. Mungkin mulai seperti itu.

Mungkin juga saya keliru. Tapi kita belajar dari

Meillassoux lebih baik adanya keliru itu sebagai

sebuah kemungkinan spekulasi non-filosofis

daripada sebuah acuan sistematis yang semakin

merujuk kita pada persilangan yang semakin kusut

25

dengan pelipatan teori. Dengan demikian pandangan

kita jauh lebih tak terbatas dan pelipatan

materiel terangkum dalam sebuah intensitas

semesta kehidupan di mana derajat perbedaan

membantu kita menguak kebuhulan keseharian.

September 19, 2014.

Makalah untuk Simposium Internasional Mencari

Sosok Filsafat Indonesia.

26

27