sosok filsafat indonesia: sebuah spekulasi keliru
TRANSCRIPT
Sosok Filsafat Indonesia: Sebuah Spekulasi Keliru
Oleh Richard Oh
Di sebuah symposium yang kebetulan didukung oleh
seorang kelirulogi, sebuah permainan keliru-
keliruan mungkin bisa bermanfaat. Mari kita susun
ulang ketiga kata di atas menjadi Indonesia
Filsafat Sosok. Menarik tentunya untuk ditelusuri
dan menggali betapa terpesonanya komunitas kita
pada tokoh dan segala hal yang
mengonsolidasikannya. Penelusuran ini bisa jadi
sangat berguna untuk mengurai kenapa kedipan mata
pada sosok lebih menjurus ke sebuah kultus karisma
daripada mengisyaratkan sebuah penggambaran tebal
(thick description) Clifford Geertz.
1
Atau bisa juga kalau kita mencoba merunut ketiga
kata ini dalam sebuah segitiga René Girard.
Indonesia (subjek) –> Sosok (model) –>
Filsafat (object)
Sebuah sirkulasi hasrat mimesis yang senantiasa
melambungkan nilai objek tanpa bisa merenggutnya.
Atau kita selipkan kata filsafat di palang
susunan ini.
Sosok (penanda)/Indonesia (tertanda)
Palang pemisah ini sekarang berfungsi sekaligus
sebagai pemisah dan sebuah ambang pengitaran
paradigmatik kedua kata: Sosok dan Indonesia.
Mungkin dengan ilustrasi di atas, saya ingin
menyampaikan bahwa sejak Tan Malaka menerbitkan
buku filsafat pertama Indonesia, Madilog, hingga
hari ini bios theorethikos masih menggunakan aparatus-
2
aparatus sejenis untuk orientasi pikiran. Namun,
72 tahun kemudian, Logika Mistika yang ingin
disingkirkan Tan Malaka dengan memperkenalkan
filsafat Materialis Dialektika Logika, masih
berakar dan kian hari berlukar.
Mungkin lewat Keliruloginya, Jaya Suprana
menemukan akar persoalan yang sedang kita hadapi.
Saya ingin memositkan, mungkin Kelirulogi yang
ditemukan Jaya Suprana menggambarkan sebuah modus
kehidupan: bahwa masyarakat kita lebih mencondong
ke vita activa daripada vita contemplativa. Sebuah
kehidupan aktif di mana spontanitas gerak menjadi
bagian penting sebuah kehidupan produktif.
Keliru menjadi bagian persenggolan hidup yang
lazim dan tak menuntut sebuah interval
refleksifitas yang semestinya bisa mengoreksi
haluan ke arah yang lebih efisien. Waktu menjadi
3
sekaligus tanpa batas dan membataskan
kontemplasi. Kesalahan menjadi bagian dari
kreatifitas kehidupan ketok magic. Selesai, asal
selesai, menjadi acuan utama sedangkan efisiensi
dan pengulangan teruji menjadi musuh utama
vitalitas produktifitas.
Dua kata yang sering kita dengar dengan nada
gusar atau frustrasi adalah minder dan asumsi.
Dari intensitas sindiran-sindiran seperti itu
kadang kita menjadi berbesar hati dan berpikir:
aha, sebuah gelombang kritis telah hadir di
cakrawala. Sebuah kondisi telah secara sadar
dikritik. Ternyata seruan-seruan ini hanyalah
ungkapan-ungkapan direnggut dari tubuh kebiasaan,
kemudian ditempelkan pada jidat yang sama.
4
Paling tidak sekarang kita memiliki dua kata
acuan untuk ditelusuri lebih lanjut. Ada apa di
balik minder dan asumsi? Kenapa mereka menjadi
dua kata yang paling sering dilekatkan pada
kebiasaan kebanyakan orang kita? Apakah minder
yang dimaksud berkonotasi sebuah kompleks
inferioritas? Kenapa pula asumsi dipersoalkan?
Mungkin minder yang dimaksud bukan sebuah
kompleks inferioritas. Karena kompleks
inferioritas berorientasi pada kompleksitas:
yakni mengisyaratkan sebuah kemampuan untuk
merujuk pada yang lebih kompleks atau sebuah
wujud kompleksitas yang beranjak dari multiple
kompleksitas. Atau mungkin ini symptom lain dari
kompleks inferioritas? Lebih mendekati: semacam
ketakberdayaan atau keberingsutan di hadapan
kompleksitas? Tentu saja ini jauh dari keseharian
5
vita activa yang berorientasi pada sirkulasi
produktifitas, pada selesai, asal selesai,
ketimbang penilaian pada kualitas maupun
perhatian pada prosedur penyelesaian.
Mungkin keminderan yang disebut lebih merujuk
pada sebuah kondisi vita activa, di mana fokus pada
vitalitas produktifitas mendahului segalanya,
sehingga kemusyawarahan menjadi budaya karena
menghemat waktu dan kerukunan memastikan
pekerjaan di lapangan tak terganggu. Asumsi,
dengan demikian, adalah anak produk pragmatis
dari budaya silaturahmi. Tak mengherankan
kemudian asumsi hadir sebagai sebuah spekulasi
tak berdasarkan arbitrasi akal dari faktor-faktor
bersangkutan. Seperti itulah sindiran minder
menjadi sebuah ungkapan yang kemudian tereifikasi
6
menjadi sebuah tubuh anthropomorfik masyarakat
kita.
Seandainya hipotesa di atas benar, kita perlu
menanyakan ini. Bukankah vita activa membekalkan
ketrampilan, dan dalam prakteknya kreatifitas?
Lalu kenapa di negara yang begitu kaya sumber
alam ini sekaligus juga negara paling miskin
inovasi? Merefleksikan ini saya kembali pada
anjungan pikiran yang membawa saya ke serat
pemikiran ini.
Mungkinkah kondisi budaya silaturahmi juga
berperan di sini? Ketrampilan dan kreatifitas
sebagai produktifitas dari komunitas untuk dan
sejauh keperluan komunitas. Di manakah jenjang
kebanggaan dari ketrampilan dan terobosan
kreatifitas? Apakah mereka terhempas dalam
7
kepuasan tak menuntut dari sebuah acuan
kerukunan? Bilamana tetangga saya bisa bernafkah
sebagai tukang kayu, saya belajar darinya bukan
supaya suatu hari menjadi seorang ahli, namun
supaya punya sebuah profesi ketrampilan yang
memberi nafkah. Diteropong demikian maka
ketrampilan dan kreatifitas yang beredar adalah
ketrampilan dan kreatifitas sejauh kriteria
kebutuhan atau produktifitas vita activa. Referensi
sebagai peningkatan jenjang ketrampilan dan
kreatifitas tidak menjamah masyarakat seperti
ini. Interaksi, sebuah dialog kreatif, dengan
dunia luar komunitas pupus dalam kesibukan
produktifitas. Di sela-sela kesibukan sehari-
hari, penampilan ketrampilan dan kreatifitas luar
biasa dari dunia lain menjadi sebuah pesona
berjarak, sesekali diduplikasi dengan trampil
namun tak memicu dorongan pada terobosan. Seakan-
8
akan terobosan sebuah keganjilan budaya
silaturahmi.
Paedeia, dirapal mirip dengan pede-ah, adalah
kata akar bahasa Yunani yang artinya pendidikan.
Di sinikah duduk persoalannya seperti
terkumandang di berbagai lapisan akademi? Di
mana-mana kita mendengar bunyi pujian bernada: oh
nyeninya, beraninya, imajinatifnya, vokalnya
seseorang, namun jarang terdengar ungkapan
menyenggol ironi, kontemplasi dan paradigma.
Seandainya, sekali lagi, hipotesa demikian itu
benar adanya, bagaimana pendidikan bisa menyusup
ke dalam sirkulasi budaya silaturahmi seperti
ini?
Kita tahu dari beribu tahun sejarah filsafat, Bios
Theoretikhos lahir dari keinginantahu. Michel
9
Foucault, dalam sebuah wawancara bersama Alain
Badiou, diminta untuk menjelaskan perbedaan
antara filsafat dan psikologi. Michel Foucault
menegaskan: psikologi lahir dari sebuah budaya,
tapi filsafat lahir di mana saja manusia
menanyakan kenapa. Sebuah jawaban sekaligus
memberi pencerahan pada persoalan kita, namun
juga membuat kita terhenti menimbang-nimbang.
Berita yang membesarkan hati adalah di mana saja
manusia bertanya kenapa di situlah bibit filsafat
akan muncul. Berita kurang menyenangkan adalah
kenyataan bahwa budaya silaturahmi telah mengakar
dan adat telah menjadi sebuah pilar kehidupan.
Kerukunan yang terekat pada adat dan keyakinan
mayoritas menjadi panduan alami keseharian.
Pengejaran pada kebenaran terbatas dan pupus
dalam keyakinan normatif.
10
Seandainya kita mengatakan, pada titik
argumentasi ini yang sengaja saya bangun bagan
logikanya sedemikian, bahwa jelas psikologi lebih
dibutuhkan masyarakat silaturahmi daripada
filsafat, maka kita akan melakukan sebuah
kesalahan yang sering dilakukan oleh bios
theorethikos: yakni, mengarah ke satu sudut terakses
dari sebuah reduksi dikotomi kecendurungan
(given). Saya telah secara sengaja mereduksi
keberagaman hidup menjadi sebuah nama, budaya
silaturahmi, di sebuah sudut dualisme dan
menjadikannya sebuah objek bidikan teori,
kemudian menyodorkan sebuah solusi yang seakan
memenuhi kriteria dari dualisme yang saya ajukan.
Sambil mengeyampingkan predikat yang menengahkan
saya dan objek, dan lebih menyesatkan lagi
menjadikan objek itu seakan seragam dalam satu
keutuhan. Jikalau saya sebagai subjek peninjau
11
disingkirkan dari sebuah posisi subjektif
terhadap objek maka yang hadir bukanlah sebuah
trajeksi subjek ke objek tetapi sebuah posisi
persilangan setara antar objek pada objek yang
kemudian dari perbandingan objek dan objek lain
memproduksikan sebuah makna bernilai dari
pertukaran yang mengubah. Sebagai contoh, tak ada
dua komunitas bisa disamakan walau terdeteksi
kuatnya anasir budaya silaturahmi yang sama.
Karena apa yang tampak secara eksternal pada
umumnya sebuah tuntutan perwujudan di permukaan,
namun di bawah permukaan terdapat intensitas,
atraktor, bifurkasi, difusi, konjungsi, disjungsi
yang senantiasa berubah tergantung pada anasir
terkumpul, terpilah, vektor, diferensiasi
progresif dll. Pertimbangkan juga: bahwa tiap
individu yang terhitung di dalam sebuah
masyarakat pada waktu yang sama berada di luar
12
masyarakat tersebut. Karena setiap individu
adalah utuh dalam kesendiriannya agar ia bisa
menghitung yang lain (inklusif) dan keberadaannya
dihitung oleh yang lain (ekslusif).
Mengejar sebuah kebenaran dari sebuah teori
itulah yang sering membuat bios theorethikos luput
memandang dunia kenyataan. Karena pikiran yang
merujuk pada kebenaran pada hakekatnya membelah
dunia menjadi dualisme Benar dan Salah tanpa
menimbang sebuah perspektif sebaliknya, umpamanya
dari sudut pandang Salah, atau dari sebuah
superposisi antara Benar dan Salah, atau sebuah
jalan tengah yang menerima contrario sebagai sebuah
kecenderungan.
Para filosof, Versucher, pemikir eksperimen, yang
ditunggu-tunggu Nietzsche telah berada di tengah
13
kita. Pemikir yang digambarkan oleh Nietzsche
sebagai Pemikir Mungkin ini telah sekian lama
hadir. Namun obsesi pada kebenaran telah membuat
Bios Theoretikhos semakin berjarak dari heterologi
kehidupan di sebuah menara gegar kontemplasi.
Pengejaran pada teori telah membuka sebuah jarak
dikotomi terbentang lebar antara kehidupan
sebagai objek kontemplasi dan kontemplasi sebagai
sebuah pengasingan dari kehidupan. Teori-teori
pun terproduksi namun bagai untaian sahutan di
dalam ruang eksklusif semakin berjarak dari
praktik kehidupan. Sementara dunia terpecah
semakin kentara dikotominya antara para
fundamentalis Baik yang menempatkan altarnya di
sebuah lokus transenden dan mereka yang
menolaknya tanpa kecuali.
14
Sloterdijk menyalahkan Plato. Pikirannya tentang
bentuk, ide dan Baik telah menyerahkan
materialisme pada sebuah roh abstrak di seberang
sana. Tak heran menurut Sloterdijk bila Bios
Theoretikos semakin berjarak dari praktik kehidupan.
Askestisme para pemikir ini menjadi sebuah
dedikasi yang niscaya tertebus pada akhir hidup
dalam sebuah transendensi. “Interpretasi
Nietzsche perihal ini benar: Plato, dengan
membuat gurunya mengklaim secara tak langsung
bahwa ia (menjelang hukuman mati dengan racun hemlock)
saat itu juga pulih dari sebuah penyakit paling
akut, mentransformasi kematian sang terpelajar
(Socrates) menjadi sebuah adegan primal
penaklukan dunia dan kehidupan melalui sebuah
modus eksistensi filosofis.” Hal 177, The Art of Philosophy, Sloterdijk.
15
Sloterdijk melacak perwujudan dunia dari
pembentukan peta dunia yang bergesar seiring
waktu dari Mercator ke sebuah bentuk bola bundar.
Kebundaran ini, menurut Sloterdijk, tentu saja
mengacu pada kesempurnaan Baik. Walau
kenyataannya lingkaran bundar itu penuh retak tak
sempurna. Penelusurannya membawa Sloterdijk pada
sebuah konsep pemikiran yang disebutnya sebagai
teori pengendapan (theory of immersion). Pandangan
pemikir yang biasanya diarahkan pada dunia
kesempurnaan tak berujung di luar sana,
seyogyanya diarahkan balik dari sebuah titik
keleluasan semakin merapat ke bumi, ke kehidupan,
ke manusia. Memandang keluar dengan demikian
adalah sebuah pemantulan (refraksi) dari titik
infinitas ke yang terdekat. “Pembukaan ke
infinitas ini meningkatkan risiko lokalisasi
modern. Manusia ketahui, walau pada awalnya agak
16
kalut dan tak secara langsung, bahwa ia
tertampung atau tersesat—pada hakekatnya sama
artinya saat ini—di suatu tempat keleluasan tak
berujung. Ia paham bahwa ia tak bisa lagi
mengandalkan apapun kecuali ketakacuhan ruang
homogeinitas infinitas. Yang di luar berekspansi,
mengabaikan postulat proksimitas dalam ruang
lingkup manusiawi, bagai sebuah entitas asing
tanpa kecuali; prinsip pertama dan satu-satunya
tampaknya ketakpedulian pada humanitas.” Sloterdijk,
hal 23, Return to Earth, In the World Interior of Capital. Latour
mengingatkan: sejauh dan seluas peneropongan pada
Gaia, kita pada akhirnya kembali pada biosphere,
tempat kita berpijak, satu-satunya ruang lingkup
di mana keberadaan kita bersama dimungkinkan.
Quentin Meillassoux menilik dari sudut yang
berbeda. Bagi dia, dunia pemikiran terpecah
17
menjadi dua: idealis subjektif dan subjektalis.
Baik idealis subjektif (seperti Hegel dan Kant)
maupun subjektalis (seperti Deleuze) sebenarnya
tak lepas dari kesadaran. Objektifitas yang
mereka coba kukuhkan di satu sisi lewat sebuah
transendensi subjektif (seperti Hegel) atau
pengubyektifan objek-objek menjadi benda-benda
bernyawa pada akhirnya tak terlepas dari sebuah
lingkaran korelasi akal yang menyangkal diri
sendiri (closure of thought on itself). Sedangkan,
subjektalisme seperti yang dilakukan oleh Deleuze
lewat intensitas-infra (Deleuze) dikritik
Meillassoux sebagai lebih menekan pada perbedaan
derajat intensitas alam disubjektifikasi daripada
perbedaan sifat dasar alam itu sendiri.
Meillassoux berkutat mendalami subjektifitas
dalam pengertian seorang realis tulen: yakni
18
dengan meradikalisasikan fondasi yang dimulai
Berkeley, namun berangkat dari sebuah posisi
pemikir spekulatif materialisme. Ia membongkar
persoalan dari dua kubu yang bersilang ini
sebagai kegagalan untuk menelisik kesubjektifisan
akal. Bilamana akal tak mampu menjangkau sesuatu
seperti absolut itu bukan berarti absolut tak
bisa disertakan. Keterbatasan akal yang
senantiasa bersirkulasi dalam sebuah lingkaran
korelasi antara subjek dan objek, noetico-
noematic, kesadaran sebagai yang tercenderung,
Ada-dalam-dunia, dll, tak bisa ditafsir sebagai
ketidakmungkinan untuk menyertakan absolut.
“Karena kenyataannya, seperti kita ketahui,
sebuah bentuk non-material absolutisme, yang
prinsipnya terdiri bukan dari klaim untuk
memikirkan sebuah absolut non-korelasi, tapi
membuat korelasi itu sendiri sebagai absolut
19
adanya.” Hal 2, Iteration, Reiteration, Repetition: A Speculative
Analysis of the meaningless sign, Meillassoux. Menurut
Meillassoux akal bisa menyertakan absolut,
mandiri dari subjektifitas dan kesadaran.
Meillassoux memositkan lewat prinsip
faktialitasnya bahwa bilamana akal terpental
kembali dalam keterbatasannya sendiri, di dalam
satu lingkaran kebuntuhan korelasi, terbesit
dalam kebuntuhan itu sebenarnya sebuah faksitas,
yakni yang absolut. Seandainya korelasi lingkaran
ini diradikalkan menjadi sebuah korelasi faktial,
yakni diradikalkan subjektifitas akal, maka kita
akan tiba pada kesimpulan ini: bilamana saya bisa
membayangkan saya tiada, maka spekulasi realisme
ini, bukan materialisme, akan menyertakan
absolutisme. Ketiadaan saya adalah sebuah absolut
yang tak bisa dikorelasi oleh saya. Ia adalah
faksitas yang walaupun saya tahu Adanya namun tak
20
bisa bayangkan kebalikannya. Bagi Meillassoux
kepastian kontingensi bisa diderivasi dari
kendala-kendala anasirnya, yang disebut sebagai
Figur-figur kontingensi. Figur-figur ini selalu
ada dan stabil supaya kontingensi tidak menjadi
kontingensi dari kontingensi, yang membuat
penampakan dunia sekaligus ada dan tiada. Figur-
figur kontingensi inilah yang disebut Meillassoux
sebagai kebenaran abadi, yang ingin ditekuninnya.
Dia tak tertarik pada Fakta, Faksitas, ataupun
Arke-Faksitas, karena baginya itu pekerjaan para
Hyperphysics: fisikawan, ilmuwan yang ingin
menjelaskan hal-hal heuristik kenyataan.
Meillassoux juga menyatakan bahwa ia tak tertarik
pada sebuah sistem yang mengaku bisa menjelaskan
semua. Baginya heterogeneitas tak bisa direduksi
dari materi ke kehidupan, atau kehidupan ke
21
materi, monisme ke pluralisme-monisme, atau
monisme-pluralisme.
Sementara Tristan Garcia, protégé Meillassoux dan
Badiou, meradikalisasikan realita menjadi sebuah
ontologi datar. Ia setarakan individu dengan
objek sebagai benda yang memiliki kebendaan yang
sama secara formil. Ia menetapkan adanya prinsip
ini: the thing which is (benda seadanya) dan the thing
which it is (benda yang ada). Tujuannya adalah ketika
individu disetarakan dengan objek tanpa kecuali
maka perbedaan yang terkuak dari paparan realita
(di sebuah semesta yang mencakup semua) menjadi
terlihat nilai aslinya tanpa bias, terungkap dari
intensitas berskala.
Di persimpangan pemikiran inilah sekarang kita
berada.
22
Menurut Francois Jullien kearifan tak punya nama
dan tak bisa dikonsepkan. Dia menjelaskan bahwa
pertanyaan seperti adakah makna sebuah kehidupan
sama sekali bukan sebuah pertanyaan yang bermakna
bagi kearifan. Nama dan konsep di sebuah dunia
yang melesat semakin cepat dan terpapar semakin
nyata keragamannya membuat fungsi berpikir
tertimbun di bawah tumpukan data dan teori. Nama
bagi Sylvan Lazarus (Archeology of Names) tak
terpatri pada yang tertulis, namun berada di
sebuah lokus pikiran agar nama itu selalu selaras
(congruent) dengan waktu.
Filosof-filosof Mungkin yang ditunggu-tunggu
Nietzsche, saya kira adalah pemikir-pemikir
kongruen seperti ini. Pemikir-pemikir yg lebih
tertarik pada arah panah penunjuk benda-benda
daripada penjelasan benda-benda itu. Pada
23
penguakan sebuah geografi perspektif daripada
pelipatan satu nama ke nama lain. Identitas bukan
lagi sebuah kartu pengenal yang membantu buka
pintu universalisme ataupun sebuah acuan untuk
menguak perbedaan makna. Sebuah peta pemikiran
sejak lama sudah dikumandang oleh Michel Serres:
mimesis yang sebenarnya bukan sebuah migrasi dari
internal ke eksternal, tapi sebuah regulasi
berawal dari eksternal ke internal. Moralitas
dengan demikian terobjekfikasi di eksternal
menjadikan obligasi kita bukan sebuah deliberasi,
tapi sebuah kemestian.
Ah, tapi symposium ini menuntut sebuah sosok
filsafat Indonesia. Sebuah nama, sebuah
genealogi, bagi sebuah praktek kearifan yang kian
hari kian bergeser dari diri dan nama dan
penamaan ke sebuah pengendapan aktif agar lebih
24
kongruen dengan waktu dan realita. Ketika seorang
pemikir Indonesia mengajukan sebuah orientasi
baru dalam pertukaran perspektif global, di
situlah mungkin dunia akan menemukan sosok
filsafat Indonesia. Sebuah pengendapan pikiran
teraktifkan dalam sebuah dialog global. Di dunia
berpikir, seorang Nietzsche atau seorang
Meillassoux lebih dikenal sosok pikirannya
daripada atribut-atribut formil lainnya.
Bagaimana kita memulainya? Sosok adalah
kontingensi dari filasafat dan filsafat adalah
faksitas dan internasional adalah sosoknya atau
sampulnya Indonesia. Mungkin mulai seperti itu.
Mungkin juga saya keliru. Tapi kita belajar dari
Meillassoux lebih baik adanya keliru itu sebagai
sebuah kemungkinan spekulasi non-filosofis
daripada sebuah acuan sistematis yang semakin
merujuk kita pada persilangan yang semakin kusut
25
dengan pelipatan teori. Dengan demikian pandangan
kita jauh lebih tak terbatas dan pelipatan
materiel terangkum dalam sebuah intensitas
semesta kehidupan di mana derajat perbedaan
membantu kita menguak kebuhulan keseharian.
September 19, 2014.
Makalah untuk Simposium Internasional Mencari
Sosok Filsafat Indonesia.
26